Você está na página 1de 23

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Penyebab kolestasis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak adalah atresia
bilier. Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga
menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia bilier adalah tidak adanya atau
kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang
menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi
penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk. Hanya tindakan bedah
yang dapat mengatasi atresia bilier. Bila tindakan bedah dilakukan pada usia 8
minggu, angka keberhasilannya adalah 86%, tetapi bila pembedahan dilakukan pada
usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 36%. Oleh karena itu diagnosis
atresia bilier harus ditegakkan sedini mungkin, sebelum usia 8 minggu.1

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Anatomi Sistem Bilier


Kandung empedu
Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang
panjangnya sekitar 10 cm, terletak dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi
antara lobus hati kanan dan kiri. Bagian ekstrahepatik dari kandung empedu ditutupi
oleh peritoneum.

Gambar 1. Atresia Bilier


Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum, dan kolum.
Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit memanjang
di atas tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum
adalah bagian yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan
daerah duktus sistikus. Infundibulum, yang juga dikenal sebagai kantong Hartmann,
adalah bulbus divertikulum kecil yang terletak pada permukaan inferior dari kandung
empedu, yang secara klinis bermakna karena proksimitasnya terhadap duodenum dan
karena batu dapat terimpaksi ke dalamnya. Duktus sistikus menghubungkan kandung

empedu ke duktus koledokus. Katup spiral dari Heister terletak di dalam duktus
sistikus; mereka terlibat dalam keluar masuknya empedu dari kandung empedu.
Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri kistika, secara khas
merupakan cabang dari arteri hepatika kanan, tetapi dari arteri kistika bervariasi.
Segitiga Calot dibentuk oleh arteri kistika, duktus koledokus, dan duktus kistikus.
Drainase vena dari kandung empedu bervariasi, biasanya ke dalam cabang kanan dari
vena porta. Aliran limfe masuk secara langsung ke dalam hati dan juga ke nodusnodus di sepanjang permukaan vena potrta. Saraf muncul dari aksis seliak dan
terletak di sepanjang arteri hepatika. Sensasi nyeri diperantarai oleh serat viseral,
simpatis. Rangsangan motoris untuk kontraksi kandung empedu dibawa melalui
cabang vagus dan ganglion seliaka.
Duktus biliaris
Traktus biliaris mempunyai asalnya sendiri di dalam duktus biliaris
intrahepatik kecil. Duktus hepatika kanan dan kiri keluar dari hati dan bergabung
dengan hilum untuk membentuk duktus hepatikus komunis, umumnya anterior
terhadapa bifurkasio vena porta dan proksimal dekat dengan arteri hepatika kanan.
Bagian ekstrahepatik dari duktus kiri cenderung lebih panjang. Duktus hepatikus
komunis membangun batas kiri dari segitiga Calot dan berlanjut dengan duktus
koledokus. Pembagian terjadi pada tingkat duktus kistikus. Duktus koledokus
panjangnya sekitar 8 cm dan terletak antara ligamentum hepatoduodenalis, ke kanan
dari arteri hepatika dan anterior terhadap vena porta.
Segmen distal dari duktus koledokus terletak di dalam substansi pankreas.
Duktus koledokus mengosongkan isinya ke dalam duodenum atau ampula Vateri,
orifisiumnya di kelilingi oleh muskulus dari sfingter Oddi. Secara khas, ada saluran
bersama dari duktus pankreatikus dan duktus koledokus distal.

II.2 Fisiologi Sistem Bilier


Absorpsi kandung empedu
Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan
absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang
kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik sampai 5-10 kali dan mengurangi
volumenya

80%-90%.

Meskipun

secara

primer

merupakan

suatu

organ

pengarbsorpsi, terjadi sekresi mukus selama keadaan patologis seperti misalnya


pembentukan batu empedu dan kadang-kadang dengan obstruksi duktus kistikus.
Aktivitas motoris kandung empedu dan traktus biliaris
Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan
diantarkan

ke

duodenum

setelah

rangsangan

makanan.

Penelitian

terbaru

menunjukkan bahwa aliran empedu terjadi dalam bentuk yang kontinu, dengan
pengosongan kandung empedu terjadi secara konstan. Faktor-faktor yang
bertanggung jawab untuk pengisian kandung empedu dan pengosongannya adalah
hormonal, neural, dan mekanikal. Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan
hormon duodenum, yaitu kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi
pengosongan kandung empedu; lemak merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor
CCK telah dikenal terletak dalam otot polos dari dinding kandung empedu.
Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120 menit setelah konsumsi
makanan. Motilin, sekretin, histamin, dan prostaglandin semuanya terlihat
mempunyai pengaruh yang berbeda pada proses kontraksi. Faktor neural yang
predominan dalam mengatur aktivitas motoris kandung empedu adalah stimulasi
kolinergik yang menimbulkan kontraksi kandung empedu. Pengisian kandung
empedu terjadi saat tekanan dalam duktus biliaris (berkaitan dengan aliran dan
tekanan sfingter) lebih besar daripada tekanan di dalam kandung empedu. Sejumlah
peptida usus, telah terlibat sebagai faktor endogen yang dapat mempengaruhi proses
ini.

Aktivitas motoris traktus biliaris dan sfingter Oddi


Aliran empedu ke dalam duodenum tergantung pada koordinasi kontraksi
kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi. Makanan merangsang dilepaskannya
CCK, sehingga mengurangi fase aktivitas dari sfingter Oddi yang berkontraksi,
menginduksi relaksasi, oleh karena itu memungkinkan masuknya empedu ke dalam
duodenum.
Pembentukan empedu
Empedu secara primer terdiri dari air, lemak organik, dan elektrolit, yang
normalnya disekresi oleh hepatosit. Komposisi elektrolit dari empedu sebanding
dengan cairan ekstraseluler. Kandungan protein relatif rendah. Zat terlarut organik
yang predominan adalah garam empedu, kolesterol dan fosfolipid. Asam empedu
primer, asam xenodeoksikolat dan asam folat, disintesis dalam hati dari kolesterol.
Konjugasi dengan taurin atau glisis terjadi di dalam hati. Kebanyakan kolesterol yang
ditemukan dalam empedu disintesis de novo dalam hati. Asam empedu merupakan
pengatur endogen penting untuk metabolisme kolesterol. Pemberian asam empedu
menghambat sintesis kolesterol hepatik tetapi meningkatkan absorpsi kolesterol.
Lesitin merupakan lebih dari 90% fosfolipid dalam empedu manusia.
Sirkulasi enterohepatik dari asam empedu
Lebih dari 80% asam empedu terkonjugasi secara aktif diabsorpsi dalam
ileum terminalis. Akhirnya, kurang lebih separuh dari semua asam empedu yang
diabsorpsi dalam usus dibawa kembali melalui sirkulasi porta ke hati. Sistem ini
memungkinkan kumpulan garam empedu yang relatif sedikit untuk bersikulasi ulang
6-12 kali perhari dengan hanya sedikit yang hilang selama tiap perjalanan. Hanya
sekitar 5% dari asam empedu yang diekskresikan dalam feses.
II.3 Definisi Atresia Bilier
Proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada
duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi,

atresia bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan
traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di
dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin
direk.(1,4,5)
Pasien dengan atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 grup, yakni :
1. Perinatal form ( Isolated Biliary Atresia) 65 90 %
Bentuk ini ditemukan pada neonatal dan bayi berusia 2-8 minggu. Inflamasi
atau peradangan yang progresif pada saluran empedu ekstrahepatik timbul
setelah lahir. Bentuk ini tidak muncul bersama kelainan kongenital lainnya.
2. Fetal Embrionic form 10 35 %
Bentuk ini ditandai dengan kolestatis yang muncul amat cepat, dalam 2
minggu kehidupan pertama. Pada bentuk ini, saluran empedu tidak terbentuk
pada saat lahir dan biasanya disertai dengan kelainan congenital lainnya
seperti situs inversus, polysplenia, malrotasi, dan lain-lain.(7,8)

Gambar 2. Atresia Bilier


II.4 Epidemiologi
Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier
pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Dari 904 kasus atresia bilier yang
terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier didapat pada ras Kaukasia (62%), berkulit
hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian Amerika (1,5%).1

Gambar 3. Sistem Hepatobiler


II.5 Klasifikasi
Klasifikasi atresia bilier berdasarkan Kasai sebagai berikut:
I

Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.

IIa

Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus,


dan kandung empedu semuanya normal).

IIb

Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus.


Kandung empedu normal.

III

Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke


hilus.
Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable),

sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable).
Sayangnya dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II.1

Gambar 4. Klasifikasi Atresia Bilier


II.6 Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli
menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya
kelainan kromosom trisomi 17,18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30%
kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier
adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau
iskemi.1
Hal penting yang harus diketahui adalah bahwa atresia bilier bukanlah
penyakit yang diturunkan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar
identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut.6

II.7 Patofisiologi
Meskipun histopatologi atresia bilier telah dipelajari secara eksklusif dalam
bedah spesimen dari sistem bilier ekstrahepatic yang didapat dari bayi yang
mengalami portoenterostomy, patogenesis kelainan ini masih kurang dipahami.
Masalah atresia bilier yang muncul pada bentuk fetal berhubungan dengan anomali
kongenital lain. Namun, pada bentuk yang lebih umum, yakni tipe neonatal ditandai
oleh lesi inflamasi yang progresif, yang diakibatkan infeksi atau racun yang
menyebabkan rusaknya saluran empedu. Agen infeksi yang telah diteliti oleh
beberapa studi telah mengidentifikasi peningkatan titer untuk reovirus antibodi tipe 3
pada pasien dengan atresia bilier bila dibandingkan dengan kontrol. Virus lainnya
yang teridentifikasi, termasuk rotavirus dan sitomegalovirus (CMV).(1,4)

Gambar 5. Histopatologi Atresia Bilier


II.8 Gejala Klinik
Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama kolestasis
neonatal adalah iktcrus, tinja akolik, dan urin yang berwarna gelap. Namun, tidak ada
satu pun gejala atau tanda klinis yang patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan

umum bayi pada waktu lahir biasanya baik. Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau
tampak jelas pada minggu ke 3. Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan
tinja yang akolik. Sehubungan dengan itu sebagai upaya penjaring kasar tahap
pertama, dianjurkan melakukan pengumpulan tinja 3 porsi. Bila selama beberapa hari
ketiga porsi tinja tetap akolik, maka kemungkinan besar diagnosisnya adalah
kolestasis ekstrahepatik. Sedangkan pada kolestasis intrahepatik, warna tinja dempul
berfluktuasi pada pcmeriksaan tinja 3 porsi.
Ikterus

Ikterus timbul dikarenakan hepar yang immatur pada bayi baru lahir. Normalnya
ikterus akan menghilang pada 7-10 hari setelah lahir. Tetapi bayi dengan atresia
bilier, ikterusnya akan semakin nyata dalam 2-3 minggu.
Urin yang berwarna gelap

Hal ini disebabkan karena bilirubin yang meningkat dalam darah, kemudian
bilirubin terfiltrasi melalui ginjal, dan dibuang melalui urin.
Feses Acholic

Feses acholic timbul dikarenakan tidak adanya bilirubin yang masuk ke dalam
usus untuk mewarnai feses.
Penurunan berat badan (1,4,9)

II.9 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik, tidak ada temuan yang pathognomonic untuk atresia bilier

Bayi dengan atresia bilier biasanya mengalami pertumbuhan normal dan


peningkatan berat badan selama minggu pertama kehidupan.

Hepatomegali

Splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal.

Murmur jantung menunjukkan adanya kelainan pada jantung.7

10

II.10 Pemeriksaan Penunjang


Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya
diandalkan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik.
Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan:
1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi
hati (darah, urin, tinja);
2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati;
3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis
atresia bilier.
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen
bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu
dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar
bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar
SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke
suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5 kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut

Fitzgerald,

kadar

gamma-GT yang

rendah

tidak

menyingkirkan

kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total


atau bilirubin direk, dan alkali fosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam
menentukan atresia bilier.
b) Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang
cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik
dari pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar
bilirubin dalam empedu hanya 10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu

11

adalah 60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam cairan duodenum dapat
menentukan adanya atresia bilier.
2) Pencitraan
a) Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat
ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat
minum dan sesudah minum. Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu
berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan.
Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu, dan
meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis atresia bilier. Namun
demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier,
yaitu atresia bilier tipe I / distal.

12

Gambar 6. Gambaran USG atresia bilier


b) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m
mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan,
kepada pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis
selama 5 hari. Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit
berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier
proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak terjadi
sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang berat juga tidak akan
ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas

pemeriksaan

sintigrafi,

dilakukan

penghitungan

indeks

hepatik

(penyebaran isotop di hati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3
merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier. Teknik sintigrafi dapat digabung

13

dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi


mengemukakan bahwa dalam mendeteksi atresia bilier, yang terbaik adalah
menggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi.

Gambar 8. Gambaran sintigrafi hati


c) Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary
Iminodeacetic Acid). HIDA melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam
tubuh, sehingga dapat menunjukkan bila terdapat blokade pada aliran empedu.

d) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography)
mcrupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia
bilier dengan kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan,
dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini
pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas untuk membedakan
kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.
3) Biopsi hati

14

Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat


diandalkan. Di tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi
diagnostiknya mencapai 95%, sehingga dapat membantu pengambilan keputusan
untuk melakukan laparatomi eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan
operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai ditentukan oleh
diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus 100-200
u atau 150 400 u maka aliran empedu dapat terjadi. Desmet dan Ohya menganjurkan
agar dilakukan frozen section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk menentukan
apakah portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang
mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi
pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus
disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong
diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena
itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu.
II.11 Diagnosa
Diagnosis atresia bilier ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis utama atresia bilier adalah tinja
akolik, air kemih seperti air teh, dan ikterus. Ada empat keadaan klinis yang dapat
dipakai sebagai patokan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik, yaitu: berat badan lahir, warna tinja, umur penderita saat tinja mulai
akolik, dan keadaan hepar. Kriteria ini (Tabel 1) mempunyai akurasi diagnostik
sampai 82%. Moyer dkk. menambahkan satu kriteria lagi, yaitu gambaran
histopatologik hati.

15

Tabel 1. Empat kriteria klinis terpenting untuk membedakan Kolestasis


Intrahepatik dan Ekstrahepatik
II.12 Diagnosa Differential

Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier

Perforasi spontan duktus bilier

Massa (neoplasma, batu)

Inspissated bile syndrome

Hepatitis neonatal idiopatik

Displasia arteriohepatik (sindrom Alagille)

Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik).

Hepatitis

16

II.13 Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu
(asam litokolat), dengan memberikan :
- Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral. Fenobarbital akan
merangsang enzim glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi
bilirubin direk); enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi aliran empedu).
- Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu.
Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder.
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :
- Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam
ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang
hepatotoksik.1
Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak
tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorpsi lemak.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.

Terapi bedah
Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan
empedu ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita.
Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus,
dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil jika
17

dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu. Biasanya pembedahan ini hanya


merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan
hati.

Gambar 9. Kasai Prosedure


Prosedur kasai bisa membuat sebagian pasien berumur panjang. Namun,
fungsi hati pada sebagian pasien lainnya semakin memburuk. Umumnya, pasien
datang ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah buruk, yakni saat bayi berusia lebih
dari dua bulan. Penderita penyakit ginjal memiliki alternatif pengobatan dialisa, tetapi
tidak demikian halnya dengan penderita penyakit hati yang berat. Jika hati sudah
tidak berfungsi lagi, maka satu-satunya pilihan pengobatan adalah pencangkokkan
hati.(2,6)
Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia
bilier dan kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam

18

beberapa tahun terakhir. Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga
dewasa, beberapa bahkan telah mempunyai anak.
Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan
untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier. Di masa lalu,
hanya hati dari anak kecil yang dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati
harus cocok. Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati
orang dewasa, yang disebut "reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk
transplantasi pada anak dengan atresia bilier.

II.14 Komplikasi
Kolangitis: Komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan
aliran empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. This
occurs particularly in the first weeks or months after the Kasai procedure in 30-60%
of cases (72, 73). Hal ini terjadi terutama dalam minggu-minggu pertama atau bulan
setelah prosedur Kasai sebanyak 30-60% kasus. This infection may be severe and
sometimes fulminant. Infeksi ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan. There are
signs of sepsis (fever, hypothermia, impaired haemodynamic status), recurrent
jaundice, acholic stools and perhaps abdominal pain. Ada tanda-tanda sepsis (demam,
hipotermia, status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang, feses acholic dan
mungkin timbul sakit perut.The diagnosis can be confirmed by cultures of blood
and/or liver biopsies (73). Diagnosis dapat dipastikan dengan kultur darah dan/atau
biopsi hati. The treatment requires IV antibiotics, and effective intravenous
resuscitation.
Portal hypertension: Portal hypertension occurs in at least two-thirds of the children
after portoenterostomy (74, 75), even in those with complete restoration of the bile
flow.Hipetensi portal: Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anakanak setelah portoenterostomy.The most common site of varices are in the
oesophagus, stomach, at the site of the Roux loop anastomosis and the anorectum.

19

Hal paling umum yang terjadi adalah varises esofagus.If the Kasai operation has
clearly failed with poor biochemical liver function and persisting jaundice then liver
transplantation is indicated. In those cases with good liver function and an absence of
jaundice, endoscopic therapy may be the only treatment necessary (76, 77).
Hepatopulmonary syndrome and pulmonary hypertension: As in patients with other
causes of spontaneous (cirrhosis or prehepatic portal hypertension) or acquired
(surgical) portosystemic shunts, pulmonary arteriovenous shunts may occur even
after complete clearance of jaundice (hepatopulmonary syndrome).Hepatopulmonary
syndrome dan hipertensi pulmonal: Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara
spontan (sirosis atau prehepatic hipertensi portal) atau diperoleh (bedah)
portosystemic shunts, shunts pada arterivenosus pulmo mungkin terjadi.Typically this
causes hypoxia, cyanosis, dyspnoea and digital clubbing, the diagnosis being
confirmed by confirmed by pulmonary scintigraphy. Biasanya, hal ini menyebabkan
hipoksia, sianosis, dan dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan scintigraphy paru.
Alternatively, pulmonary hypertension can occur in cirrhotic children and be a cause
of malaise and even sudden death.Selain itu, hiper6si pulmonal dapat terjadi pada
anak-anak dengan sirosis yang menjadi penyebab kelesuan dan bahkan kematian
mendadak.The diagnosis in these cases is suggested by echocardiography. Diagnosis
dalam kasus ini dapat ditegakan oleh echocardiography.Liver transplantation reverses
pulmonary shunts (81), and can reverse pulmonary hypertension at its early stage
(82). Transplantasi liver dapat membalikan shunts, dan dapat membalikkan hipertensi
pulmonal ke tahap semula.
Malignancies: Hepatocarcinomas, hepatoblastomas (84) and cholangiocarcinomas
(85) have been described in the cirrhotic livers of patients with BA, in childhood or
adulthood.Keganasan:

Hepatocarcinomas,

hepatoblastomas,

dan

cholangiocarcinomas dapat timbul pada pasien dengan atresia bilier yang telah
mengalami sirosis.Screening for malignancy has to be performed regularly in the
follow-up of patients with successful Kasai operations. Skrining untuk keganasan

20

harus dilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang
berhasil.
Outcome after unsuccessful Kasai operationHasil setelah gagal operasi Kasai
Biliary cirrhosis is progressive if the Kasai operation fails to restore the bile
flow, and should lead to liver transplantation.Sirosis bilier bersifat progresif jika
operasi Kasai gagal untuk memulihkan aliran empedu, dan pada keadaan ini harus
dilakukan transplantasi hati.This is usually performed in the second year of life, but
may be necessary earlier (from 6 months of life) in case of rapid deterioration in the
liver disease. Hal ini biasanya dilakukan di tahun kedua kehidupan, namun dapat
dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk mengurangi kerusakan dari hati.
Biliary atresia represents more than half of the indications for liver transplantation in
childhood. Atresia bilier mewakili lebih dari setengah dari indikasi untuk
transplantasi hati di masa kanak-kanak. It may also be required in those cases where
there is an initially successful outcome after the Kasai operation usually due to
recurrence of jaundice (secondary failure of the Kasai operation), or to various
complications of cirrhosis (eg hepatopulmonary syndrome). Hal ini juga mungkin
diperlukan dalam kasus-kasus dimana pada awalnya sukses setelah operasi Kasai
tetapi timbul ikterus yang rekuren (kegagalan sekunder operasi Kasai), atau untuk
berbagai komplikasi dari sirosis (hepatopulmonary sindrom).
II.15 Prognosis
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi,
gambaran histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli
bedahnya sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka
keberhasilannya 71,86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu
maka angka keberhasilannya hanya 34,43%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan,
maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia
12 bulan. Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam.

21

Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat


dilakukan operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had,
tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit
hipertensi portal

BAB III
PENUTUP

III.1. Kesimpulan
Atresia bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau
keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu.
Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan
peningkatan bilirubin direk
Klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :
I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus
sistikus, dan kandung empedu semuanyanormal).
IIb. Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus
sistikus. Kandung empedu normal.
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke
hilus.
Pada atresia bilier operasi lebih baik dilakukan pada usia < 8 minggu karena
tingkat keberhasilannya lebih baik daripada operasi dilakukan pada usia > 8 minggu.
Tetapi bila dengan operasi Kasai tidak berhasil atau tidak membaik, maka harus
dilakukan transplantasi hati.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. North American Society For Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and


Nutrition.

Biliary

Atresia.

Available

from

url

http://www.naspghan.org/user/Documents/pdf/diseaseInfo/BiliaryAtresiaE.pdf.
2. Mark Davenport. Biliary Atresia. London: 2010. Available from : url :
http://asso.orpha.net/OFAVB/__PP__4.html.

3. ST. Louis Children's Hospital. Biliary Atresia. Washington University


School

of

Medicine.

2010.

Available

from

url

http://www.stlouischildrens.org/content/greystone_779.htm
4. Steven M. Biliary Atresia. Emedicine. 2009. Available from: url :
http://emedicine.medscape.com/article/927029-overview.
5. Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu
Kesehatan Anak FK UNAIR. Surabaya. 2006. Available from : url :
http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-ena504-pkb.pdf.
6. Schwartz, Seymour I. Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah. Edisi ke-6. Jakarta:

EGC; 2000.h.455-63.

23

Você também pode gostar