Você está na página 1de 220

VIDEO SEMINAR

Daftar isi
Susunan Acara
Kata Pengantar
Makalah Kebijakan
1. Interoperabilitas Kebijakan dalam Pembangunan Perpustakaan Digital Nasional
Indonesia oleh Lilik Soelistyiowati.
2. Dukungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur terhadap Pembangunan TIK
Perpustakaan oleh DR. H. Iriyanto Lambrie (Sekda Prov. Kaltim).
3. Peningkatan Efisiensi & Efektivitas Melalui Interoperabilitas Perpustakaan Digital Oleh:
Zainal A. Hasibuan, Ph.D
4. Peran Perpustakaan Digital Dalam Pembangunan Masyarakat Berbasis Pengetahuan
oleh DR. Putut Irwan Pudjiono, MSc. (PDII-LIPI).

Makalah Undangan (invited)


5. Interoperabilitas Sebagai Kebijakan Teknologi oleh Putu Laxman Pendit, Ph.D
6. Penggunaan Control Vocabularies untuk memastikan Interoperabiliti dengan
Perpustakaan Dunia dan Memenuhi Kebutuhan Pengguna di Indonesia oleh Tanya
Torres
7. Perpustakaan digital dalam Kurikulum Pendidikan Ilmu Perpustakaan oleh Sulistyo
Basuki Ph.D
8. Penerapan IndoMARC Sebagai Format Standar Data Bibliografis Dalam Pembangunan
Katalog Induk Nasional oleh Dra. Dina Isyanti, MSi.
Call for papers
9. Jaringan Perpustakaan Digital Di Indonesia: Pembelajaran Dari indonesiadln, Inherent,
Jogjalib or All, Garuda Dan Jogjalib.Net Oleh Arif Surachman, S.I.P.
10. Layanan Copy Cataloging: Indonesia Ketinggalan 40 Tahun! Oleh B. Mustofa, MLS.
11. Persepsi Stakeholders Terhadap Sistem Interoperabilitas Perpustakaan Digital Oleh
Wanda Listiani, M.Ds
12. Interoperabilitas Antarsistem Dan Antarkomunitas: Studi Kasus Perpustakaan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Oleh: Tri Susiati
13. Perkembangan Komunikasi Data Pada Aplikasi Gdl 5.0 Oleh : Djembar Lembasono
14. Analisis Semantik Untuk Pengembangan Semantic-Web Dalam Sistem Informasi
Perpustakaan
Oleh: Retno Asihanti Setiorini, S. Hum.

15. Tantangan Menuju Interoperabilitas Akses Dan Koleksi Perpustakaan Digital Di


Indonesia -- Oleh: Alberto Pramukti Narendra, SS.
16. Pemanfaatan Cloud Computing untuk Mendukung Perpustakaan Berbasis Digital -- Oleh
Yoki Muchsam.
17. Hasil rapat pleno Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia (KPDI) ke 4.
Daftar peserta seminar

Kata Pengantar
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia (KPDI) Ke-4
Samarinda, 8 - 10 November 2011
Perkembangan TIK membuka peluang bagi setiap perpustakaan konvensional untuk mulai
membangun koleksi bahan perpustakaan digitalnya untuk dilayankan kepada pemakainya.
Teknologi jaringan juga membuka peluang bagi perpustakaan untuk memanfaatkan
bersama (sharing) sumber informasi digital yang dimiliki, yaitu dengan menyediakan akses
bagi perpustakaan lain ke koleksi digital miliknya dan sebaliknya, mengakses koleksi digital
milik perpustakaan lain. Dengan demikian peluang suatu perpustakaan untuk dapat
memenuhi kebutuhan informasi pemustaka masing-masing semakin besar.
Peralihan dari tahap pengembangan koleksi digital yang berdiri sendiri ke tahap
pengembangan jejaring perpustakaan digital untuk pemanfaatan bersama sumber
informasi yang dimiliki tentunya bukan merupakan proses yang sederhana. Salah satu
prasyarat yang harus dipenuhi agar jejaring perpustakaan digital dapat beroperasi
sebagaimana yang diharapkan adalah terwjudnya interoperabilitas antar perpustakaan
anggotanya. Saat ini di Indonesia telah dikembangkan sejumlah jejaring perpustakaan
digital, baik yang dibangun berdasarkan kesamaan komunitas pemakainya, jenis
perpustakaan, layanan, maupun koleksinya.

Mengingat pentingnya peran interoperabilitas, maka ditetapkan bahwa tema


penyelenggaraan Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia Ke-4 (KPDI-4) yang
berlangsung di Samarinda Kalimantan Timur adalah Interoperabilitas Sistem Perpustakaan
Digital.
Saat ini di Indonesia telah terbentuk beberapa jaringan-jaringan perpustakaan digital, baik
yang dibangun berdasarkan kesamaan jenis perpustakaan, layanan, maupun koleksinya.
Melalui KPDI-4 diharapkan akan semakin terbangun kesadaran para pengelola perpustakaan
akan pentingnya mewujudkan interoperabilitas antar anggota jejaring agar Perpustakaan
Digital Nasional Indonesia segera dapat terwujud dan berfungsi sebagaimana yang diharapkan.

Penyusun

SUSUNAN ACARA KPDI 4


Selasa, 8 November 2011
WAKTU
ACARA
12.00 - 18.00

Registrasi

14.00

Check in

16.00 - 16.30

Pembukaan

17.00 - 17.30

Keynote
Speech

17.30 - 19.00

Ishoma

19.00 - 20.00

20.00 - 21.00

Sesi Kebijakan

Sesi Kebijakan

JUDUL

OLEH

1. Laporan panitia
2. Sambutan Kepala Perpusnas
3. Sambutan Gubernur Kaltim

1. Kepala Bapusprov. Kaltim


2. Dra. Hj. Sri Sularsih M. Si
3. H. Awang Faroek Ishak

Recent developments
of digitization in Germany and Europe

Christel Mahnke, Goethe Institut

1. Peningkatan Efisiensi dan Efektifitas


Melalui Interoperabilitas Perpustakaan
Digital
2. Interoperabilitas
Kebijakan
dalam
Pembangunan Perpustakaan Digital
Nasional Indonesia

1. Dewan TIK Nasional (Ir. Zainal


Hasibuan, PhD)
2. Deputi
Bidang
Pengembangan Bahan Pustaka

dan Jasa Informasi. (Dra. Lilik


Soelistyowati, MM)
1. Dukungan
Pemerintah
Provinsi 1. H. Iriyanto Lambrie (Sekda Prov.
Kalimantan
Timur
terhadap
Kaltim)
Pembangunan TIK Perpustakaan
2. Peran Perpustakaan Digital Dalam 2. DR. Putut Irwan Pudjiono, MSc. (PDIIPembangunan Masyarakat Berbasis
LIPI)
Pengetahuan

Rabu, 9 November 2011


07.30 - 08.00 Breakfast (Untuk yang menginap di Hotel Mesra)
1. Interoperabilitas dalam Pengembangan
Perpustakaan Digital: Sisi Pandang
Kebijakan Teknologi
2. Penggunaan Controlled Vocabularies
untuk memastikan Interoperabilitas
dengan Perpustakaan Dunia dan
Memenuhi Kebutuhan Pengguna di
Indonesia
1. Interoperabilitas
dalam
konteks
pendidikan pustakawan di Indonesia
2. Penerapan IndoMARC Sebagai Format
Standar Data Bibliografis dalam
Pembangunan katalog Induk Nasional

08.00 - 09.00

09.00 - 10.00

10.00 - 10.30 Rehat Kudapan


10.30 12.00 Sponsor
1.
2.
3.
4.
5.
12.30 - 13.30 Ishoma

2. Tanya Torres

1. Sulistyo Basuki, Ph.D


2. Dra. Dina Isyanti, M.Si

Presentasi ProQuest
Presentasi Quadra Solution
Presentasi 3M
Presentasi Ebsco Host
Presentasi Ina Publikatama

Parallel
13.30 - 14.30

1. Putu Laxman Pendit, Ph.D

Call For Paper 1. Jaringan

Ruangan II

Ruangan I
Perpustakaan

Digital

Di 1. Persepsi

Stakeholders

Terhadap

Indonesia:
Pembelajaran
Dari
Indonesiadln, Inherent, Jogjalib for All,
Garuda Dan Jogjalib.Net Oleh: Arif
Surachman, S.I.P.

Sistem Interoperabilitas Perpustakaan


Digital Oleh: Wanda Listiani, M.Ds

2. Interoperabilitas Antarsistem Dan


2. Interoperabilitas
Copy
Cataloging
Antarkomunitas:
Studi
Kasus
Dalam Sistem Union Catalog - Oleh: B.
Perpustakaan Universitas Atma Jaya
Mustofa, MLS
Yogyakarta Oleh: Tri Susiati
1. Perkembangan Komunikasi Data Pada 1. Tantangan Menuju Interoperabilitas
Aplikasi Gdl 5.0 Oleh : Djembar
Akses Dan Koleksi Perpustakaan
Lembasono
Digital Di Indonesia - Oleh: Alberto
Pramukti Narendra, SS

14.30 - 15.00

Call For Paper


2.

15.00 - 15.30
15.30 - 17.00
17.00

Analisis Relasi Makna Pada Kata Kunci 2. Pemanfaatan Cloud Computing untuk
Artikel Ilmiah Di Pangkalan Data
Mendukung Perpustakaan Berbasis
Oleh: Retno Asihanti Setiorini, S. Hum
Digital Oleh: Yoki Muchsam

Rehat Kudapan
Tentang KPDI
Penutupan

Makan malam
Ramah tamah dan hiburan
19.00 - 21.00

Ketua Panitia Pengarah KPDI

Kamis, 10 November 2011


07.00 - 08.00 Breakfast (Untuk yang menginap di Hotel Mesra)
Kunjungan ke Badan Perpustakaan Kaltim dan Museum Mulawarman di Tenggarong
08.00 - 12.30 Makan Siang
12.30
14.00

Kembali ke Hotel
Check Out

KEBIJAKAN
1. Putut Irwan Pudjiono
2. Lilik Soelistyowati
3. Zainal A. Hasibuan (Modifikasi dari PPT)
4. Iriyanto Lambrie

Peran Perpustakaan Digital dalam


Pembangunan Masyarakat Berbasis
Pengetahuan
Putut Irwan Pudjiono
putut@pdii.lipi.go.id; pi_pudjiono@yahoo.com,
Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Gedung PDII LIPI, Jl. Gatot Subroto Kav 10 Jakarta, 12710,
http://www.pdii.lipi.go.id, PO Box 4298 Jakarta, Telp 021 5733465, Fax
0215733467, e-mail: admin@pdii.lipi.go.id
Abstrak
Diseminasi informasi yang dilaksanakan oleh perpustakaan merupakan
salah satu alur penting dalam pembentukan masyarakat berbasis
pengetahuan. Masyarakat yang inovatif, berdaya saing, dan memiliki
ketahanan yang kuat dapat terbangun jika informasi yang memiliki nilai
positif terhadap kehidupan dapat terus dialirkan ke masyarakat secara
efektif. Perubahan paradigma dan tuntutan masyarakat terhadap
perpustakaan telah bergeser terutama didorong leh perkembangan teknologi
digital. Teknologi ini telah mengubah cara masyarakat mengapresiasi dan
mengakses informasi. Perubahan paradigma tersebut harus diantisipasi
bahkan dipandang perlu agar perpustakaan melakukan reposisi supaya
dapat menjalankan fungsinya sebagai pusat repository informasi secara
berkesinambungan.

Pendahuluan
Data dan informasi merupakan akar yang akan membangun
pengetahuan dan kearifan masyarakat yang dapat bermuara pada
pembentukan keunggulan bahkan budaya masyarakat. Informasi atau data
yang kita dapatkan akan terekam dalam ingatan dan dapat menjadi
pengetahuan setelah kita ingin menggunakannya untuk menjelaskan,
menjawab, atau menyelesaikan suatu masalah pada konteks tertentu.
Secara umum dipercaya bahwa inovasi dapat terpacu pertumbuhannya
dengan dihadapkannya akumulasi pengetahuan yang dimiliki seseorang atau

kelompok dengan tantangan dan ancaman yang harus diatasi, termasuk di


dalamnya dorongan kebutuhan untuk membentuk keunggulan dalam arena
persaingan. Pengetahuan yang terakumulasi dan telah melekat menjadi
bagian dari kehidupan trersebut dapat membentuk kearifan-kearifan yang
merupakan bagian dari salah satu pembangun kearifan individu maupun
masyarakat. Praktek kearifan dalam kehidupan masyarakat merupakan akar
bagi pembentukan budaya yang dapat berkembang menjadi media yang
subur bagi pertumbuhan masyarakat erbasis pengetahuan, inovatif dan
berdaya saing.
Uraian ringkas di atas dapat dijadikan alur pemikiran yang menjelaskan
pentingnya posisi data dan informasi pada proses pembentukan masyarakat
berbasis pengetahuan yang inovatif dan berdaya saing. Berdasarkan hal itu,
pengelolaan data dan informasi, selanjutnya disebut informasi saja,
merupakan kegiatan yang perlu diutamakan dan terus dikembangkan serta
diperkuat sesuai dengan perkembangan teknologi serta kebutuhan dan
tuntutan masyarakat. Perpustakaan merupakan salah satu pengelola
informasi yang telah dan akan terus memberi manfaat yang banyak bagi
masyarakat. Adopsi teknologi digital saat ini sudah disadari telah menjadi
keniscayaan bagi perpustakaan agar dapat melangsungkan proses layanan
informasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pengelolaan informasi
pengetahuan

dan

pembentukan

masyarakat

berbasis

Gambar 1 menunjukkan skema pengelolaan informasi ilmiah yang


dilaksanakan oleh PDII-LIPI1) sebagai dasar pembicaraan. Pengelolaan
tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga alur atau siklus utama
yang terdiri atas siklus riset atau penelitian, pendidikan termasuk pelatihan,
dan pengembangan pengetahuan masyarakat. Masing-masing siklus
memiliki tujuan yang berbeda-beda sehingga memerlukan format diseminasi
informasi yang berbeda-beda pula. Untuk keperluan riset dan
pendidikan/pelatihan, informasi ilmiah sebaiknya disajikan serta dapat
diakses oleh masyaraket sesegera mungkin, misalnya untuk pembuatan
rancangan penelitan oleh para peneliti atau penyusunan silabus dan mata
pelajaran pada kegiatan pendidikan. Diseminasi ini menghendaki agar
informasi dapat segera diajikan dan diakses dengan mudah dalam bentuk
teks penuh1) (full text). Kecepatan dalam mengadopsi informasi ilmiah

terbaru akan menentukan produktifitas, kualitas, dan efektifitas kegiatan


riset dan pendidikan yang dikembangkan.

Gambar 1. Siklus utama pengelolaan informasi ilmiah.

Informasi juga memiliki peran penting dalam proses pembangunan,


terutama
melalui
peningkatan
pengetahuan
masyarakat
umum,
pengembangan
industri,
dan
pengembangan
kebijakan
serta
peraturan/perundang-undangan. Tujuan utama diseminasi informasi pada
siklus ini adalah untuk menyediakan informasi terbaru yang berdampak
pada usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Informasi ini
diharapkan dapat memberi manfaat yang besar terutama pada usaha
pembangunan
ekonomi
dan
pengembangan
kebijakan
dan
peraturan/perundangan yang menyuburkan usaha tersebut. Informasi ilmiah
untuk keperluan ini akan lebih mudah dipahami masyarakat jika dikemas
dalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhan daripada disajikan dalam
format ilmiah. Pengemaan informasi ilmiah dapat dibuat dengan

menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme ilmu pengetahuan (science


journalism) agar lebih mudah dipahami. Jurnalisme ilmiah tersebut
cenderung lebih menonjolkan teori-teori sensasional dan spekulatif daripada
ilmu pengetahuan yang fokus pada pengukuran-pengukuran kenyataan dan
empiris2). Produk yang dihasilkan telah banyak beredar diantaranya yang
berbentuk berita di koran atau tabloid, majalah ilmiah semi populer, sampai
yang berbentuk komik dan film atau media pandang-dengar. Produk-produk
tersebut dirancang sebagai media khusus untuk mengalirkan informasi dari
dunia riset ke masyarakat yang tidak terbiasa berkomunikasi menggunakan
bahasa ilmiah murni.
Informasi yang diterima masyarakat dapat mengalami proses menjadi
pengetahuan dan berlanjut pada pengembangan kearifan (wisdom) yang
melekat pada pola hidup seseorang dan masyarakat. Berdasarkan hal ini,
peningkatan produktifitas, kreatifitas, dan nilai-nilai kehidupan dapat
dijadikan indikator efektifitas aliran informasinya.
Perkembangan teknologi komunikasi
perpustakaan

dan implikasinya terhadap

Peran utama perpustakaan adalah repository informasi, menyimpan


untuk kepentingan pelestarian dan mendiseminasikan kepada masyarakat
agar informasi tersebut termanfaatkan. Peran ini melekat antara satu
dengan yang lain. Pada perpustakaan tradisional, yang berkembang sampai
beberapa dekade yang lalu, informasi dikoleksi terutama dalam bentuk
tercetak (termasuk yang ditulis, direkam, atau dilukis) pada berbagai media
fisik. Koleksi yang ada di perpustakaan-perpustakaan di Indonesia umumnya
berbentuk dokumen cetak pada media kertas, film seluloid, daun lontar, dan
kaca.
Mulai sekitar tahun 80an, perpustakaan di Indonesia mulai mengadopsi
sistem elektronik, dengan media optic dan magnetik, walaupun koleksi cetak
masih dominan. Saat ini perpustakaan-perpustakaan tradisional dihadapkan
pada tantangan untuk merubah pengelolaannya menggunakan sistem
digital.
Perkembangan
teknologi
komunikasi
terus
berkembang
dan
menimbulkan dampak yang besar terhadap cara masyarakat berkomunikasi.
Terobosan teknologi terus terjadi, diawali dengan telegraf pada abad ke 9
berlanjut ke digunakannya telepon, radio, televisi, fax, internet, telepon

seluler, sampai ke sistem-sistem komunikasi digital yang kita kenal saat ini.
Perkembangan tersebut diikuti oleh semakin populernya jejaring sosial yang
telah mengangkat informasi menjadi salah satu kebutuhan utama dalam
kehidupan. Tuntutan terhadap penyajian yang cepat untuk informasi baru
dengan kualitas penyajian yang prima juga meningkat. Perkembangan ini
harus diantisipasi dengan segera oleh para pengelola informasi khususnya
perpustakaan agar dapat menjalankan fungsinya dengan efektif.
Dalam era digital ini model perpustakaan integrasi terus tumbuh. Pada
model ini, koleksi informasi ditawarkan sebagai obyek berbagi dan setiap
orang dapat berperan sebagai pemustaka sekaligus kontributor yang dapat
menyebarluaskan informasinya melalui kecanggihan teknologi dan jejaring
sosialnya. Dalam konteks ini, perpustakaan menghadapi tantangan
tersendiri dalam usahanya mendiseminasikan informasi yang dinilai positif
untuk menangkal atau setidaknya menekan maraknya penyebaran informasi
yang dapat mengakibatkan pelunturan dan penurunan nilai-nilai kearifan
sosial. Sistem diseminasi informasi inilah yang saat ini dipandang perlu lebih
diutamakan dan ditingkatkan oleh perpustakaan. Kemasan-kemasan
informasi yang memanfaakan prinsip-prinsip jurnalistik dan sesuai
kebutuhan dengan format dan media baru perlu dikembangkan untuk
mengimbangi semakin tidak populernya media penyaluran informasi
tradisional seperti wayang, opera atau sandiwara rakyat, tarian tradisional,
dan lain-lain. Penjelasan ringkas ini menunjukkan adanya kaitan yang kuat
antara sistem pengelolaan informasi dengan usaha pembangunan
masyarakat berbasis pengetahuan dan membangun ketahanan budaya.
Tuntutan untuk terus meningkatkan kualitas dan efektifitas pengelolaan
informasi ini terus berkembang sejalan dengan laju perkembangan teknologi
digital. Keadaan tersebut dirasakan telah menciptakan paradigma baru
dengan tuntutan-tuntutan baru terhadap perpustakaan. Salah satu
perubahan yang dituntut oleh masyarakat dan dirasakan oleh perpustakaan
adalah agar perpustakaan dapat berperan sebagai pengembang
pengetahuan dan mengadopsi teknologi digital melalui penyajian informasi
secara cepat, akurat, murah, dan nyaman3).
Kelambanan perpustakaan untuk berubah sesuai dengan perkembangan
tuntutan masyarakat dapat mengakibatkan semakin lebarnya pemisah
antara perpustakaan dengan para pemustaka yang dilayaninya. Aliran
informasi dari perpustakaan ke masyarakat menjadi lamban atau bahkan

tidak efektif sehingga usaha pembangunan masyarakat yang berdaya saing


dapat terkendala juga. Jarak yang lebar antara layanan perpustakaan dan
kebutuhan atau tuntutan masyarakat ini dapat menimbulkan penilaian
bahwa perpustakaan tidak memiliki peran penting dalam usaha
pembentukan masyarakat berbasis pengetahuan dan tidak diperlukan. Lebih
jauh lagi, apresiasi masyarakat terhadap perpustakaan juga menghilang.

Pengelolaan informasi di era digital


Perpustakaan digital, jika dibandingkan terhadap perpustakaan
tradisional, memiliki beberapa keunggulan. Pengolahan dokumen atau
informasi dapat dilaksanakan jauh lebih mudah dan cepat sehingga
informasi dapat didiseminasikan segera. Peningkatan kecepatan ini
mendorong siklus informasi yang merupakan rangkaian produksi dan
diseminasi informasi berjalan jauh lebih cepat dibandingkan terhadap proses
pada perpustakaan tradisional3). Kapasitas simpan perpustakaan juga
meningkat, ditambah lagi dengan peluang untuk membangun sistem
terintegrasi dimana satu perpustakaan dapat berbagi koleksi dengan
perpustakaan atau kolektor informasi lainnya4). Kualitas hasil prosesnyapun
memiliki kualitas yang lebih komunikatif dan disukai pemustaka baik yang
merupakan hasil perekaman digital langsung maupun hasil simulasi atau
teknik-teknik lain yang dapat diterapkan untuk menghasilkan produk yang
menarik. Banyak sekali contoh hasil kemasan informasi digital yang telah
beredar dan terus bertambah baik yang berbentuk cetak dan multimedia
atau pandang-dengar.
Peran website dan database meningkat di era digital ini. Website saat
ini tidak saja berperan sebagai media pengenalan tetapi juga menjadi sarana
peningkatan nilai organisasi diantaranya dengan membangun pencitraan.
Database yang semula penggunaannya terbatas pada fasilitas penyimpanan,
saat ini telah berkembang menjadi sarana pengarsipan aset yang bersifat
lestari dan memiliki fungsi perlindungan hak kekayaan intelektual terhadap
kontennya.
Diseminasi informasi oleh perpustakaan
Besar sekali perubahan-perubahan yang harus dilakukan akibat
perkembangan teknologi digital ini, baik dipandang dari sisi hulu mulai dari
pengembangan koleksi, proses dokumentasi, sistem pengemasan informasi,

sampai diseminasinya ke masyarakat. Secara garis besar, terdapat 3


sasaran kelompok besar masyarakat untuk diseminasi ini yaitu kelompok
yang memperbarui infomasi, kelompok pendidikan, dan kelompok lainnya
yang memanfaatkan informasi untuk berbagai kepentingan. Pada dunia
penelitian,pembaruan
informasi
tersebut
dijalankan
melalui
penyelenggaraan kegiatan riset. Informasi baru yang dihasilkan dari
penelitian merupakan bahan penting bagi penyusunan silabus dan mata
ajaran di dunia pendidikan dan merupakan salah satu sumber informasi
penting bagi masyarakat. Proses apapun yang berlangsung, teori tentang
pengembangan informasi menjadi pengetahuan dan kearifan dipandang
tetap berlangsung. Masyarakat dapat mengekpresikan kemuliaan mereka
jika mereka terus menerima informasi yang memiliki nilai kebaikan. Oleh
sebab itu, penyampaian informasi yang dinilai baik kepada masyarakat
merupakan misi yang harus terus dijalankan dan dikembangkan oleh
perpustakaan.
Perdebatan tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud perpustakaan
digital masih berkembang terus. Secara sederhana dapat diungkapkan
bahwa perpustakaan digital merupakan hasil adopsi teknologi digital oleh
perpustakaan. Pada kenyataannya, dan berdasarkan berbagai alasan, tidak
semua perpustakaan langsung sepenuhnya berubah menjadi perpustakaan
digital. Salah satu kendala yang dihadapi untuk langsung berubah adalah
besarnya koleksi cetak yang telah dimiliki perpustakaan-perpustakaan besar,
terutama di Eropa, sehingga diperlukan biaya yang besar pula. Kompromi
antara perpustakaan digital
dan tradisional
dengan
membentuk
perpustakaan kombinasi tradisional-digital banyak ditempuh untuk
mengatasi masalah ini.
Dengan sumber-sumber yang sangat banyak, informasi yang dapat
diakses sangat banyak dengan jenis atau lingkup bidang yang luas.
Kenyataan ini akan menyadarkan siswa sebagai pemustaka untuk
meningkatkan kemampuannya dalam melakukan pencarian informasi yang
akurat dan efisien. Ketersediaan informasi dalam jumlah sangat besar
dengan ratusan atau bahkan ribuan sumber dengan format yang berbedabeda dapat mengakibatkan kebingungan pada pemustaka. Dalam hal
demikian, bantuan pustakawan sebagai navigator dan penyedia layanan
teknis akan memberi manfaat yang besar. Disamping itu, pemustaka
memiliki peluang untuk berkontribusi dalam penyediaan informasi dengan
mengunggah informasi yang telah dihasilkannya ke sistem-sistem

perpustakaan digital yang ada. Dalam melakukan eksplorasi, pengunduhan,


dan pengunggahan informasi ini, pemustaka juga akan mendapatkan
pengetahuan dan pengalaman tentang tanggungjawab yang harus
diperhatikan dalam menjalankan kegiatan ini, terutama yang berhubungan
dengan perlindungan hak kekayaan intelektual.
Peningkatan
efektifitas
diseminasi
informasi
oleh
beberapa
perpustakaan sangat terasa dengan mengadopsi teknologi digital. Teknologi
ini mampu membuka ruang-ruang baru bagi pemustaka untuk berekplorasi
di dunia informasi dan dapat merubah perilaku pemustaka untuk lebih
kreatif. Sebagai contoh, perpustakaan digital ternyata memiliki kelebihan
peran di dunia pendidikan daripada perpustakaan tradisional5) seperti ang
ditunjukkan secara ringkas pada Tabel 1. Kemampuannya untuk menyajikan
informasi terbaru dengan cepat telah terbukti dapat meningkatkan
kepercayaan dan keandalannya sebagai penyedia bahan
penyusunan
silabus dan bahan ajar. Akses yang mudah dan tersedianya sarana interaktif
dapat memberi pengalaman-pengalaman baru kepada siswa, meningkatkan
minat belajar, dan pengembangan rasa tanggungjawab khususnya dalam
hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan sistem informasi.
Ketersediaan sumber-sumber informasi yang banyak dan beragam pada
sistem perpustakaan yang terintegrasi memberi ruang yang sangat luas
pada siswa untuk mendapatkan informasi terbaru an memilih serta
menentukan sumber informasi yang mereka utamakan.

Perpustakaan digital dan pendidikan


Tabel 1 menunjukkan hubungan antara perpustakaan digital dengan
dunia pendidikan. Lingkungan atau suasana belajar bagi siswa di dunia
pendidikan juga dapat berubah dengan keberadaan perpustakaan digital
yang dapat menyediakan informasi-informasi terbaru. Kedekatan siswa atau
pemangku kepentingan lainnya dengan sumber informasi terbaru juga
terfasilitasi,
misalnya
melalui
penggunaan
blog
mereka sebagai
perpustakaan pribadi dengan isi (content) terseleksi, sesuai dengan
kebutuhan mereka. Proses pencarian informasi dari sumber-sumber tertentu
dan mengunduhnya untuk ditempatkan dalam blog dapat menjadi
pengalaman tersendiri. Siswa atau pemustaka dalam hal ini akan terdorong
untuk terus melakukan eksplorasi melalui penjelajahan sumber-sumber
informasi di dunia maya. Siswa dengan koleksi informasi yang dimiliki juga

dapat menjadi sumber informasi bagi siswa atau bloger lainnya. Pada
konteks seperti itulah rasa tanggungjawab siswa berpeluang untuk
berkembang.

Tabel 1. Manfaat perpustakaan digital bagi dunia pendidikan5)

Perkembangan teknologi digital saat ini juga menyediakan kemudahan


bagi siswa atau pemustaka untuk melakukan eksplorasi sendiri terhadap
koleksi-koleksi informasi yang ada, melakukan komunikasi secara interaktif
dengan pengajar, dan mempublikasikan karyanya secara langsung. Siswa
dengan menggunakan peralatan komunikasi terkini lebih mudah untuk
segera mendapatkan informasi terbaru dari sumber-sumber yang dipilihnya.
Perkembangan teknologi saat ini telah menyediakan fasilitas untuk
melakukan dialog interkatif secara langsung. Fasilitas ini dapat dimanfaatkan
untuk melakukan kegiatan konsultasi siswa dengan pengajar dengan waktu
yang lebih longgar dan nyaman bagi kedua belah pihak. Fasilitas digital juga
menyediakan peluang individu untuk mengunggah pendapat tertulis dan
berdialog secara langsung dengan pengajar serta mempublikasikan hasil
karyanya secara on-line. Dengan demikian, pemustaka bisa mendapatkan
informasi-informasi tertentu langsung dari sumber primernya. Penjelasan
ringkas ini mengindikasikan bahwa sistem perpustakaan digital dapat

membuka peluang berkembangnya cara-cara pembelajaran baru dalam


dunia pendidikan. Secara ringkas, penyelenggara pendidikan mendapat
banyak kemudahan untuk mengembangkan sistem yang efektif termasuk
kurikulum dan bahan ajarnya serta memiliki peluang untuk menerapkan
cara-cara pembelajaran baru. Di beberapa negara, terutama Jepang,
pergeseran kearah sistem pendidikan daring (online) terlihat walaupun
laporan hasil pengamatan belum dapat memastikan hal itu5).

Perpustakaan digital sebagai sarana komunikasi dengan masyarakat


Telah disebutkan bahwa sistem perpustakaan digital memberi peluang
pada setiap siswa sebagai pemustaka sekaligus sebagai penyedia informasi.
Keadaan ini juga berlaku bagi masyarakat umum. Hal yang perlu
diperhatikan dalam hal ini bahwa sejalan dengan perkembangan jejaring
sosial di dunia maya, facebook, twitter, dan sebagainya, dapat menimbulkan
kebingungan tentang bagaimana bentuk perpustakaan di masa datang dan
terbanjirinya pemustaka dengan informasi. Dari perspektif inilah muncul
pendapat bahwa perpustakaan dapat menempatkan diri sebagai navigator
dalam lautan pengetahuan4). Pemahaman tentang perpustakaan digital
sebagai pusat repositori dan spekulasi tentang bentuk perpustakaan di masa
datang ini masih terus bergulir. Reaksi terhadap situasi ini dantaranya
dengan munculnya pernyataan bahwa perubahan yang sangat drastis di era
digital memberi peluang kepada para pustakawan untuk menemukan
kembali jati dirinya6) (reinventing themselves). Terlepas dari ketidakpastian
diatas, perpustakaan harus tetap menjalankan fungsinya sebagai pusat atau
institusi repositori, mengarsipkan dan mendiseminasikan informasi kepada
masarakat, dengan penataan-penataan pengelolaan dan pengemasan
informasi dengan format baru.

Apresiasi terhadap perpustakaan


Uraian diatas menunjukkan bahwa perpustakaan memiliki posisi
strategis dalam diseminasi informasi terutama karena fungsinya sebagai
pusat inventori. Namun dalam menjalankan fungsi tersebut kendala yang
harus diatasi masih banyak, terutama bagi perpustakaan-perpustakaan di
Indonesia. Perpustakaan sampai saat ini masih didominasi dengan
pemahaman yang sangat sempit, sebagai pengurus buku. Pemahaman

seperti ini memiliki implikasi yang sangat luas. Perpustakaan di berbagai


tempat masih diperlakukan atau dinilia sebagai bagian dapur atau gudang.
Hal ini bertolak belakang dengan peran yang seharusnya dapat dijalankan
oleh perpustakaan seperti yang telah dibahas diatas dan ditunjukkan secara
skematis pada Gambar 1. Perpustakaan merupakan tempat dimana
catataan-catatan penting suatu institusi atau bahkan negara dikelola.
Catatan penting tersebut diantaranya yang memuat kebijakan yang pernah
diterapkan beserta dampaknya, prestasi yang pernah dicapai, hal-hal yang
berhubungan dengan aset tak wujud yang dimiliki, dsb. Berdasarkan hal itu,
perpustakaan merupakan sarana yang sangat ideal untuk pamer prestasi
dan pusat pembelajaran masyarakat. Bahkan di era digital ini, perpustakaan
dapat berperan sebagai navigator dalam lautan pengetahuan4).

Gambar 2. Perpustakaan Tradisional ke Digital

Perubahan-perubahan perlu dilaksanakan. Lebarnya jarak antara


kondisi saat ini dan tuntutan masyarakat menyebabkan perubahan yang
dilakukan sangat besar, mulai dari yang berhubungan dengan pengelolaan
secara umum, sarana yang diperlukan, jenis kemasan yang dikembangkan,
sampai ke masalah kebijakan. Perpustakaan dengan visi baru harus
dibangun. Gambar 2 menunjukkan ringkasan perubahan dari perpustakaan
tradisional ke perpustakaan baru7). Fungsi layanan penelusuran pada
pepustakaan tradisional berubah menjadi penyediaan akses, kepemilikan

dari koleksi pribadi menjadi aset untuk berbagi koleksi, dari akuisisi dan
pengembangan koleksi menjadi capture9), dsb. Pada perubahan tersebut,
sistem tradisional tidak harus disingkirkan tetapi dapat dikembangkan dan
ditata kembali agar sesuai dengan sistem pengelolaan baru yang merupakan
kombinasi pengelolaan perpustakaan tradisional dan digital. Telah
disinggung diatas bahwa perpustakaan kombinasi atau yang juga dikenal
dengan sistem hibrid banyak diterima dan dikembangkan. Yang utama
dalam hal ini adalah mengubah posisi perpustakaan, khususnya di
Indonesia, dari bagian belakang menjadi beranda depan. Strategi dan
langkah-langkah yang efektif perlu ditetapkan agar perubahan ini dapat
memberi manfaat besar baik bagi perpustakaan maupun masyarakat luas.
Segera mengadopsi sistem digital pada perpustakaan adalah langkah
awal yang tepat, terutama penguatan database dan website yang dimiliki
serta mengembangkan produk-produk kemasan digital. Masih banyak aset
yang belum diarsipkan dan didiseminasikan dengan baik sehingga aspek
perlindungan terhadap hak kepemilikan intelektual dan pemanfaatannya
tidak optimal. Database yang dibangun perlu dikembangkan menjadi sitem
yang memiliki interoperabilitas baik dan siap untuk berbagi pada sitem
terintegrasi4). Isinya tidak terbatas pada format teks saja tetapi dapat
memuat digital image, video streaming, atau produk-produk digital lainnya
yang lebih komunikatif7,9). Hal yang terakhir disebutkan ini merupakan
indikasi bahwa masih panjang jalan yang harus ditempuh dan memerlukan
komitmen yang kokoh pada seluruh lapisan organisasi perpustakaan.

Pustaka
1. Lukman, 2008, Pengembangan Jurnal Ilmiah Elektronik Indonesia, PDIILIPI, Jakarta
2. http://en.wikipedia.org/wiki/Science_journalism
3. Putut Irwan Pudjiono, Penguatan Sistem Pengelolaan Dokumentasi dan
Informasi Ilmiah Untuk Peningkatan Layanan Informasi Ilmiah: Studi
Kasus PDII LIPI, Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya
Ilmiah Nasional, Information for Society: Scientific Point of View, 20-21
Juli 2011, Gedung seminar PDII-LIPI, Jakarta.
4. Jrgen Seefeld and Ludger Syr (2007), Portals to the past and to the
future- Libraries in Germany, Georg Olms Verlag, New York, 2nd ed.

5. Mendel J M, Education Using Digital Library, Chapter 3 dalam WTEC Panel


Report
on
Digital
Information
Organization
in
Japan,
http://wtec.org/loyola/digilibs/toc.htm
6. Walters T O, Reinventing the Library How Reositories are causing
Librarians to Rethink Their Professional Roles, portal: Libraries and the
Academy, Vol. 7, No 2 (2007)
7. Putut Irwan Pudjiono, Lukman, dan Apallidya Sitepu, 2010, Kebijakan
Pengelolaan Karya Ilmiah di Indonesia, Makalah dipresentasikan pada
Temu kerjasama koordinasi dan komunikasi riset BRKP, Yogyakarta, 2223 Juli 2010
8. Ager T, Architecture and Systens, Chapter 4 dalam WTEC Panel Report on
Digital
Information
Organization
in
Japan,
http://wtec.org/loyola/digilibs/toc.htm
9. Apallidya Sitepu, 2008, Pengembangan Metadata Karya Ilmiah LIPI, PDIILIPI, Jakart

Video Putut Irwan Pudjiono

Interoperabilitas Kebijakan dalam Pembangunan Perpustakaan Digital


Nasional Indonesia 1
oleh:
Lilik Soelistyowati2

A. Latar Belakang
Pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia

merupakan salah satu program

prioritas yang telah ditetapkan DPR untuk dilaksanakan oleh Perpustakaan Nasional RI.
Persiapan yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI untuk pembangunan Perpustakaan
Digital Nasional Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2007, namun secara resmi pembangunan
Perpustakaan Digital Nasional Indonesia baru dimulai pada tahun anggaran 2008.

Mengenai perpustakaan digital, Digital Library Federation (1995) mendefinisikannya sebagai


berikut:
Organisasi yang menyediakan berbagai sumber daya, termasuk staf yang mampu
melakukan

pekerjaan

menyeleksi,

menata,

menyediakan

akses

intelektual,

menginterpretasikan, mendistribusikan, melestarikan keutuhan koleksi karya

digital,

termasuk memastikan ketersediaannya dari waktu kewaktu, agar bisa didapat dengan
mudah dan murah oleh komunitas atau sekumpulan komunitas tertentu.

Beberapa hal yang merupakan ciri perpustakaan digital, yaitu:

merupakan perpustakaan, yaitu organisasi yang memiliki koleksi sumber informasi dan
menyelenggarakan

layanan

berdasarkan

prinsip-prinsip

seleksi,

akuisisi,

akses,

manajemen dan pelestarian, yang dihubungkan dengan masyarakat pemustakanya;


merupakan perpustakaan tradisional yang meningkatkan layanannya melalui penerapan
teknologi informasi dan komunikasi, khususnya Internet;
tidak dapat diselenggarakan oleh sebuah perpustakaan saja, melainkan oleh lebih dari
satu perpustakaan yang secara bersama (berjejaring) menyediakan akses secara digital
ke koleksi masing-masing bagi pemustaka dari mana saja;

Makalah disampaikan dalam Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia Ke-4 pada tanggal 8-10 November 2011 di Hotel Mesra,
Samarinda.
2
Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Perpustakaan Nasional RI.

masing-masing anggota jejaring harus berpartisipasi dalam pengembangan perpustakaan


digital

melalui penyediaan koleksi bahan perpustakaan atau sumber informasi yang

bersifat unik atau lokal (local content) untuk dimanfaatkan secara bersama (shared);
harus memiliki portal di web sebagai titik akses layanan digital.
B. Perpustakaan Digital Nasional Indonesia

Berdasarkan rangkuman pengertian tentang perpustakaan digital yang dipaparkan di atas dapat
disusun pengertian mengenai Perpustakaan Digital Nasional Indonesia merupakan jejaring
perpustakaan berskala nasional yang beranggotakan berbagai jenis perpustakaan di Indonesia
menyediakan sumber informasi dalam format digital, menyediakan akses digital ke berbagai
jenis koleksinya, dan

menyelenggarakan layanan digital untuk dapat dimanfaatkan secara

bersama dalam rangka memenuhi kebutuhan pemustakanya.

Di samping itu, dapat ditarik pula kesimpulan bahwa pembangunan Perpustakaan Digital
Nasional Indonesia akan dilaksanakan secara bersama oleh berbagai jenis perpustakaan yang
ada di Indonesia dengan difasilitasi oleh Perpustakaan Nasional RI. Dengan kata lain,
Perpustakaan Nasional RI sebagai fasilitator perlu bekerja sama dengan berbagai jenis
perpustakaan dalam pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia .
C. Langkah-langkah Dalam Pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia

Sebagai fasilitator, pada tahun anggaran 2008, secara garis besar Perpustakaan Nasional
melaksanakan 3 langkah dalam pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia , yaitu:
1. Mengembangkan Layanan Digital di Perpustakaan Nasional RI;
2. Melaksanakan pembinaan perpustakaan mitra untuk membangun jejaring Perpustakaan
Digital Nasional Indonesia ;
3. Membangun layanan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia.

Pembinaan perpustakaan mitra diawali dengan perpustakaan daerah di tingkat provinsi, dengan
berbagai nama dan tingkat eselonisasi. Sesungguhnya mitra potensial yang harus dikelola
partisipasinya oleh

Perpustakaan Nasional RI dalam membangun Perpustakaan Digital

Nasional Indonesia mencakup berbagai jenis perpustakaan dan berbagai forum perpustakaan
yang telah membangun jejaring kerja sama secara online, misalnya jejaring perpustakaan

perguruan tinggi juga merupakan mitra potensial Perpustakaan Nasional RI.

Namun

perpustakaan umum mempunyai kelebihan sebagai mitra potensial, karena jenis perpustakaan
ini memiliki koleksi bahan pustaka bernilai budaya khas daerah yang bersangkutan sebagai
bagian dari koleksi warisan

budaya nasional (national heritage). Walaupun kondisi

perpustakaan daerah di tingkat provinsi juga sangat heterogen, khususnya bila ditinjau dari
implementasi TIK-nya, namun pembinaan dapat dilakukan secara hierarkhis. elalui program
pembinaan ini diharapkan perpustakaan daerah di semua provinsi segera dapat menyediakan
bahan perpustakaan digital sekaligus menyelenggarakan layanan digital sehingga siap untuk
bergabung dalam jejaring

Perpustakaan Digital Nasional Indonesia dan, pada gilirannya,

diharapkan dapat menyelenggarakan pembinaan serupa ke perpustakaan-perpustakaan umum


kabupaten/kota di wilayahnya.

Pelaksanaan program pembinaan mencakup 31 perpustakaan daerah (dua provinsi belum


memiliki perpustakaan daerah, yaitu provinsi Bangka Belitung dan Papua Barat), UPT
Perpustakaan Proklamator Bung Karno, dan Perpustakaan Bung Hatta, Perpustakaan Umum
Kabupaten Kulonprogo dan Perpustakaan Umum Kota Malang.

D. Kondisi Awal
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa perpustakaan di Indonesia, termasuk juga
perpustakaan-perpustakaan daerah di ibu kota provinsi, kondisinya sangat heterogen,
khususnya ditinjau dari kesiapannya untuk menjadi mitra dalam pembangunan Perpustakaan
Digital Nasional Indonesia. Kendala atau kekurangan yang banyak didapati, di antaranya:
1) Belum tersedianya

sistem komputer, termasuk jejaring

komputer dan perangkat keras

pendukung lainnya;
2) Belum tersedianya perangkat lunak aplikasi perpustakaan;
3) Belum tersedianya tenaga teknis pengolahan bahan perpustakaan berbasis MARC
(membuat katalog online);
4) Belum tersedianya saran-parasarana pendukung, seperti ruangan yang memadai,
pendingin ruangan, dsb.
5) Belum tersedianya akses internet;
6) Belum tersedianya koleksi dalam format digital;
7) Belum tersedianya kebijakan yang mendukung pembangunan perpustakaan digital.

E. Bantuan yang diberikan


Sehubungan dengan kondisi tersebut, sejak tahun anggaran 2008 sampai 2011 kepada 35
perpustakaan mitra di atas secara bertahap diberikan bantuan:

1) Jejaring

komputer lokal (LAN) beserta program aplikasi QALIS, yaitu program aplikasi

perpustakaan berbasis IndoMARC untuk membangun pangkalan data katalog perpustakaan


setempat dan Katalog Induk Daerah, berikut instalasi, pelatihan di tempat, dan migrasi
data dari sistem yang lama bila diperlukan.
2) Pembangunan/pengembangan situs web/portal perpustakaan digital daerah
3) Server untuk membangun pangkalan data Bibliografi Daerah
4) Pengembangan SDM pengelola perpustakaan, mencakup sosialisasi kepada para
pimpinan, pelatihan dan bimbingan teknis tenaga pengkatalog untuk pembuatan katalog
terbaca mesin

(format INDOMARC), tenaga untuk mengoperasikan program

aplikasi

perpustakaan ( QALIS), pelatihan tenaga trampil alih media dan membuat bahan
perpustakaan dalam format digital.
5) Akses Internet melalui jejaring

intranet (closed network) yang menghubungkan 35

perpustakaan mitra dan Perpustakaan Nasional.

F. Hasil monitoring dan evaluasi pada akhir T.A. 2010


Monitoring dan evaluasi terhadap implementasi TIK dengan memanfaatkan batuan yang telah
diberikan dilakukan setiap akhir tahun. Aspek yang dievaluasi mencakup:
1) Pengoperasian program aplikasi perpustakaan
2) Ketersediaan sumber daya manusia
3) Pengoperasian server
4) Pengoperasian workstations ( pc)
5) Pengoperasian peralatan lainnya
6) Ketersediaan daya listrik
7) Ketersediaan ruang server dan lingkungan yang memadai
8) Pemanfaatan jaringan Intranet (closed network)

Berdasarkan hasil evaluasi, perpustakaan mitra dikelompokkan ke dalam 3 peringkat (grade),


yaitu
1) Peringkat A - perpustakaan yang mengelola implementasi TIK-nya dengan baik (semua
aspek nilainya baik)

2) Peringkat B - perpustakaan yang mengelola implementasi TIK-nya dengan cukup baik (


75% nilainya baik)
3) Peringkat B - perpustakaan yang mengelola implementasi TIK-nya dengan cukup

baik

(kurang dari 50% nilainya baik)

Hasil monitoring dan evaluasi pada akhir Tahun Anggaran 2010 adalah sebagai berikut. Hanya
16 pperpustakaan yang berperingkat A, 10 perpustakaan yang berperingkat B, dan masih ada 9
perpustakaan yang berperingkat C.

G. Permasalahan
Dari hasil monitoring, diketahui bahwa penyebab yang paling signifikan belum dioperasikannya
sistem sebagaimana seharusnya, di antaranya:

Masih ada resistensi pimpinan maupun staf terhadap pembangunan Perpustakaan Digital
Nasional Indonesia, dengan sebab bervariasi, umumnya non teknis (bentuk resistensi
misalnya masih menganggap program ini sebagai beban tambahan sehingga kuarng serius
dalam pelaksanaannya)

Belum semua pimpinan perpustakaan mitra memberikan dukungan penuh dengan


penyebab bervariasi (dukungan mencakup peraturan, anggaran, sarana dan prasaran, dsb.
)

Mobilitas SDM di beberapa daerah, baik pada level pimpinan maupun pelaksana teknis,
sangat tinggi.

Permasalahan di atas sangat terkait dengan kebijakan, baik kebijakan pemerintah daerah
maupun pimpinan perpustakaan. Perpustakaan Digital Nasional Indonesia akan terwujud bila
terjalin kerja sama yang sinergis antara Perpustakaan Nasional dengan perpustakaanperpustakaan mitra. Perlu diwujudkan interoperabilitas kebijakan yang diterapkan pada semua
perpustakaan mitra, di antaranya:
1. Keinginan yang kuat/ komitmen pimpinan perpustakaan mitra untuk berpartisipasi dalam
pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia;
2. Kesadaran akan pentingnya pemanfaatan bersama (sharing) suber informasi;
3. Kesadaran akan pentingnya pembangunan katalog perpustakaan, KID maupun Bibliografi
Daerah;
4. Komitmen untuk menjadi fasilitator pengembangan jejaring

perpustakaan digital di

wilayahnya.
G. Penutup

Pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia

merupakan salah satu program

prioritas untuk kemaslahatan masyarakat luas. Pembangunannya menjadi tanggung jawab


Perpustakaan Nasional RI. Sebagai perpustakaan pembina, Perpusnas wajib menjadi fasilitator
dalam pengembangan jejaring kemitraan dan juga melaksanakan fungsi sebagai pusat jejaring
tersebut. Pembangunan Perpustakaan Digital Nasional Indonesia

mencakup sejumlah

kegiatan, seperti pembangunan Katalog Induk Nasional, Bibliografi Nasional, Koleksi Pusaka
Digital Nasional, Pengarsipan Web dan sebagainya. Pekerjaan besar ini

tidak mungkin dapat

dilaksanakan oleh Perpusnas sendiri, tanpa bekerja sama dengan seluruh jenis perpustakaan
yang ada di Indonesia. Jejaring kemitraan dengan seluruh jenis perpustakaan di Indonesia
sangat menentukan keberhasilannya. Salah satu syarat agar jejaring kemitraaan akan dapat
bekerja dengan baik bila dapat diwujudkan interoperabilitas kebijakan di antara anggota
jejaring.

-ooOOoo--

VIDEO SEMINAR

Peningkatan Efisiensi & Efektivitas Melalui Interoperabilitas Perpustakaan Digital


Oleh: Zainal A. Hasibuan, Ph.D
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia
Samarinda, 8-10 November, 2011

1. Latar Belakang
Volume informasi digital mencapai 281 Exabytes (281 Milyar Gigabytes, IDC
2007).
Diprediksi tahun 2011 ini, jumlahnya bertambah 10 kali
Setengah dari informasi digital tersebut tidak tersimpan secara permanent
Tata kelola (Governance) informasi digital masih lemah
Perpustakaan digital menjadi salah satu alternatif untuk menghimpun konten ini
Sekitar 70 % dari dunia digital dibuat secara individu
Basis dari Industri konten kreatif
Entry barier-nya rendah: mudah muncul dan mudah hilang
Publikasi Digital di Indonesia Tersebar
Penerbit buku, majalah, surat kabar
Perpustakaan
Perorangan / individu
Sekolah
Perguruan tinggi
Forum online
Fasilitas file sharing (Contoh : rapidshare, netupload, ziddu, hotfile, dll)
Volumenya belum diketahui. Berdasarkan kajian Romi Wahono, diperkirakan
kontribusi konten digital Indonesia dibawah 1 persen

2. Tren Teknologi Informasi dan Komunikasi


Gartners Top 10 Strategic Technologies for 2011:
1. Cloud Computing
2. Mobile Applications and Media Tablets
3. Social Communications and Collaboration
4. Video
5. Next Generation Analytics
6. Social Analytics

Butuh Strategi
Pengelolaan
Perpustakaan
Digital

7. Context-Aware Computing
8. Storage Class Memory
9. Ubiquitous Computing
10. Fabric-Based Infrastructure and Computers

Tren TIK :Konvergensi Komputer, Komunikasi, dan


Broadcast
Mainframe

Mobile

Dampak Tren TIK ke Perpustakaan


Semakin banyak koleksi perpustakaan tersedia dalam bentuk digital.

Semakin dituntut layanan-2 perpustakaan berorientasi ke pengguna untuk:


searching, browsing, dan referencing.
Sistem perpustakaan semakin heterogen karena dibangun oleh platform dan
protocol yang berbeda-beda.
Sistem perpustakaan semakin terdistribusi melalui internet, tetapi terintegrasi.
Kontributor koleksi perpustakaan digital semakin bervariasi: individu, komunitas,
organisasi.

3. Mengapa Perlu Interoperabilitas Sistem Perpustakaan?


Kondisi system perpustakaan yang dibangun saat ini menghasilkan pulau-pulau
(Silo System).
Kondisi

system

perpustakaan

yang

tersedia

sekarang

beraneka

ragam

(Heterogeneous System).
Kebutuhan akan fungsionalitas antar system perpustakaan pada prinsipnya sama.
Akibatnya, satu sistem perpustakaan dengan sistem perpustakaan yang lain tidak
bisa berkomunikasi dan tidak bisa sharing sumber dayanya

Pengertian Interoperabilitas
The Ability of two or more systems or components to exchange information and
to use the information that has been exchanged (IEEE).
The capability to communicate, execute programs, or transfer data among
various functional units in a manner that requires the user to have little or no
knowledge of the unique characteristics of those units (ISO/IEC 2382-01).
Intinya: Interoperabilitas menyebabkan dua atau lebih sistem bisa sharing
sumberdayanya.

Manfaat Interoperabilitas Sistem Perpustakaan


Memudahkan proses tukar

menukar data koleksi digital

antar

sistem

perpustakaan.
Meningkatkan pelayanan sistem perpustakaan, karena kemampuan searching,
browsing, dan referencing semakin luas.

Meningkatkan efesiensi, efektifitas, dan produktivitas kinerja perpustakaan,


karena masing-masing perpustakaan bisa fokus dikekuatannya (strength).
Lapisan dari Interoperabilitas (Sumber: European Interoperability Framework)
Technical Interoperability: Meliputi isu teknis pada keterhubungan sistem dan
servis: open interface, interconnection services, data integration and middle
ware, data presentation dan exchange, accessibility dan security services.
Organizational Interoperability: Pendefinisian tujuan kegiatan, permodelan
kegiatan dan membawa ke level administrasi untuk pertukaran informasi.
Bermuara kepada pemenuhan kebutuhan pelayanan masyarakat Kebijakan.
Symantic Interoperability: Memungkinkan sistem untuk mengkombinasikan
informasi yang diterima dari berbagai sumber lain untuk diproses menghasil
sesuatu yang berarti.

Prinsip-prinsip

dari

Interoperabilitas (Sumber: European

Interoperability

Framework)
Accessibility: Akses yang sama dan kesempatan yang sama.
Multilingualism: Menggunakan bahasa yang dimengerti.
Security: Pertukaran data menjamin tingkat keamanan.
Privacy: Pertukaran informasi mengedepankan kerahasiaan
Subsidiary: Menjamin penerapan interoperabilitas dari

para pemangku

kepentingan
Use of Open Standards: Menggunakan sistem yang terbuka, agar mudah
dikembangkan lebih lanjut
Assess the benefits of Open Source Software: memanfaatkan keuntungan dari
perangkat lunak open sources.
Use of Multilateral Solutions: interoperbilitas harus mendukung solusi dengan
multi aktor atau multi solusi.

4. Interoperabilitas Sistem Perpustakaan


Perpustakaan
Nasional
Memiliki
Koleksi Nusantara

Perguruan
Tinggi A

Perguruan
Tinggi B

Memiliki
Koleski Kesehatan

Memiliki
Koleksi Sejaran

Perpustakaan Daerah
Risau
Memiliki
Koleksi Budaya Melayu

Perpustakaan Daerah
Yogyakarta
Memiliki
Koleksi Budaya Jawa

Perguruan
Tinggi C

Perguruan
Tinggi D

Memiliki
Jejaring
Kerjasama
Industri

Memiliki
Lisensi
Sejumlah
Produk/Jasa

KHAZANAH ILMU PENGETAHUAN


& ASET INTELEKTUAL

PT X
PT X
Komunitas

PT Y
PT Y
Individu

PT X
PT X
LSM

PT Y
PT Y
Pusat Informasi
Pemerintah

PT X
PT X
Swasta

PT Y
PT Y
Dll

QALIS Quadra Automation Library Information System

Perpustakaan
Nasional RI
Medan

Global

Bengkulu
Riau

Lokal

Papua

Bukit Tinggi
Padang

ISP

Aceh

1,5
2 MBPS
MBPS
1,5
MBPS

5,5
MBPS
512
KBPS

2 MBPS2 MBPS
2 MBPS

Ambon
Maluku
512
Kupang
KBPS 512
Mataram
KBPS 1 MBPS
Manado
1 MBPS
1 MBPS
1 MBPS

Jambi
2 MBPS
Palembang
Lampung

2 MBPS
2 MBPS

MPLS

1 MBPS
1,5
MBPS
1,5
MBPS
1,5
MBPS
1 MBPS
1 MBPS

2 MBPS
2 MBPS
Banten
2 MBPS
1,5
DKI Jakarta
2 MBPS
MBPS
2 MBPS 2 MBPS
2 MBPS
Bandung
2 MBPS
2 MBPS2 MBPS
Semarang
Yogyakarta
Kulon Progo
Blitar Bali
Surabaya Malang

Gorontalo
Mamuju
Kendari
Makasar
Samarinda

Palangkaraya
Pontianak
Banjarmasin

Arsitektur Sistem Yang Interoperabel


Access
Layer

Standard dan Interconnectivity Untuk Interoperability


Standard for electronic resources (metadata): Dublin Core
Standard Protocol untuk interconnectivity
OPEN Archive Initiative (OAI)-PMH
Z39.50
Standard data interchange in the Web: XML (eXtensible Markup Language)

Contoh Penerapan Interoperabilitas Perpustakaan Perguruan Tinggi


Facilitate National e-journal database subscribtion
Facilitate National digitalized publication repository (500,000 titles): collaboration
between universities, libraries, and research centers all over Indonesia
(garuda.kemendiknas.go.id)

Konteks
Motivasi
5. Langkahdan
Langkah
Menuju Interoperabilitas

Strategic Level
Operational Level

Technology Level
Menjamin Interoptabilitas pada tingkatan
strategic, operational dan technology

Langkah-Langkah(lanjutan)
Mengharmonisasikan peraturan dan perundang-undangan,
sehingga saling mendukung. Serta menyamakan visi misi
dan strategi antar tiap para pemangku kepentingan.
Menyelaraskan tata kelola organisasi dalam
mengimplementasikan fungsi strategis dan fungsi
teknologi.

Menjamin keberlangsungan pertukaran informasi


dibutuhkan. Interoptabilias terjadi pada lingkup: data
software, hardware, network.

Produksi Bahan Pustaka Digital


Pertama kali di ciptakan sudah dalam bentuk elektronis (e-book, e-journal, e-foto,
tesis, disertasi, dll)
Alih media dari tercetak ke digital
Proses digitalisasi: scanning, editing
Konservasi dan preservasi
Sudah tersedia dalam bentuk elektronis dari sumber atau situs lain
Electronic databases
Kelebihan Koleksi Digital
Adanya koleksi digital, dapat memperpanjang usia koleksi fisik dan mengurangi
resiko rusaknya koleksi fisik.
Informasi koleksi digital lebih mudah disimpan di dalam suatu media penyimpanan
(repositori budaya).
Informasi koleksi digital lebih mudah diakses, disebarluaskan / dipublikasikan, dan
dimanfaatkan.
Koleksi digital tidak membutuhkan perawatan fisik (konservasi), yang biasanya
membutuhkan biaya besar.

6. Kendala Interoperabilitas
Kurangnya sosialisasi pemahaman visi interoperabilitas di tingkat pengambil
keputusan.
Akibatnya, masih banyak kebijakan dan peraturan yang perlu disempurnakan
dan dilengkapi
Sistem perpustakaan digital yang dikembangkan, belum mengacu ke sistem
standar terbuka.
Akibatnya, sistem yang terbangun bersifat silo, atau jalan sendiri-seindiri.
Incompatible peralatan Teknologi informasi dan Komunikasi.

Konten digital di Indonesia masih sangat kurang.

Landasan Hukum Perpustakaan Digital


UU No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan Nasional
UU No. 4 Tahun 1990 Tentang Deposit
Kepres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen
SK Kaperpusnas No. 03 Tahun 2001 Tentang Organisasi Perpusnas
Hasil Rakornas di Lembang , akhir tahun 2008
RUU Tentang Cagar Budaya
UU ITE
UU Perlindungan Hak Cipta
7. Penutup
Kemajuan teknologi dari statis ke mobile, menuntut tersedianya informasi yang
bisa di akses dari mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja.
Perpustakaan digital harus berorientasi ke pengguna.
Interoperabilitas menjamin setiap perpustakaan bersifat otonom, tetapi pada saat
yang bersamaan sumberdaya yang dimilikinya dapat dimanfaatkan secara
bersama (resource sharing).
Interoperabilitas akan meningkatkan kinerja perpustakaan digital: efisiensi,
efektivitas, dan produktivitas.
Informasinya: Available, Accessible, Affordable, High Quality, dan menjangkau
seluruh daerah.

VIDEO SEMINAR

DUKUNGAN PEMPROV. KALTIM DALAM PENGEMBANGAN TIK DI


PERPUSTAKAAN
Oleh
Iriyanto Lambrie
Sekda Prov. Kalimantan Timur

PENDAHULUAN
Perpustakaan memiliki peran sentral dan staretgis dalam mewujudkan
masyarakat gemar membaca (reading society) menuju masyarakat yang gemar belajar
(learning society). Dalam rnenghadapi era globalisasv pembinaan cten pengembangan
perpustakaan tidak terlepas dari pengaruh pesatnya perkembangan ipteks termasuk
perkembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi informasi dan
komunikasi <TIK) mengacu pada penggunaan peralatan elektronik (terutama komputer)
untuk memproses suatu kegiatan tertentu. TIK mempunyai kontribusi yang potensial
untuk berperan dalam mencapai manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang signifikan.
Di Indonesia, bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu dari enam
bidang fokus utama pengembangan iptek (Ristek 2005), yaitu: (1] Ketahanan pangan. [2\
Sumber energi baru dan terbarukan; [3] Teknologi dan manajemen transportasi. [4]
Teknologi informasi dan komunikasi, [5] teknologi pertahanan, dan [6] teknologi
kesehatan dan obat-obatan. Dalam menbukung kegiatan pembangunan perpustakaan,
TIK memiiiki peranan yang sangat penting untuk mendukung tersedianya sumber
informasi yang relevan dan tepat waktu.
Core bisnis perpustakaan adalah menyediakan bahan pustaka dalam
beragam bentuk untuk didayagunakan oleh masyarakat. Beragam sumber informasi yang
disediakan oleh perpustakaan merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam
meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat. Integrasi yang efektif antara TIK
dalam dunia perpustakan akan menuju pada pembangunan SDM yang berkelanjutan
melalui penyiapan informal yang tepat waktu relevan, yang dapat memberikan informasi
yang tepat kepada pemustaka. TIK dapat memperbaiki aksesibilitas masyarakat terhadap
sumber informasi yang diperlukannya yang secara positif berdampak pada peningkatan
kecerdasan masyarajat.

PERMASALAHAN
Membangun sebuah masa depan elektronis (perpustakaan berbsis TtK)
memerlukan strategi daa program untuk menyiapkan pustakawan dengan kompetensi
TIK. Dengan mengintegrasikan TIK dalam pembangunan perpustakaan melalui
peningkatan kapasitas pustakawan, maka akan terwujud layanan perpustakaan berbasis
TIK dengan berorientasi pada kepentingan pemakai. Permasalahan yang terkait dengan
aplikasi TtK dalam pengembangan perpustakaan yang seringkali muncul adalah:
1) Sejauhmana

manfaat

aplikasi

TIK

untuk

mendukung pengembangan

perpustakaa?
2) Hambatan-hambatan apa saja yang dapat terjadi dalam aplikasi TIK untiik mendukung
pengembangan layanan perpustakaan berbasis TIK ?
3) Sejauh mana dukungan Pemerintah Daerah terhadap pengembangan aplikasi TIK di
perpustakaan?

TUJUAN
Makalah ini secara umum bertujuan untuk menganalisis peranan TIK dalam
pengembangan perpustakaan. Adapun tujuan khususnya adalah:
1) Menganalisis manfaat TIK untuk mendukung pengembangan peprusiakaan di Kaltim;
2) Mengidentifikasi hambatan-hambatan yang dapat terjadi dalam aplikasi TIK untuk
mendukung pembangunan perpustakaan di Kaltim;
3) Mendeskfipsikan bentuk dukungan Pemerinteh Peov. Kaftim dalam pengembangan
TIK di perpustakaan.

APLIKASI TIK DI PEPRUSTAKAAN


Apresiasi masyarakat yang tinggi terhadap arti pentingnya perpustakaan sebagai
pusat sumber informasi dan juga kesadaran akan pentingnya minat dan budaya baca
sangat kita perlukan dalam upaya menciptakan kualitas sumber daya manusia yang
berkualitas dan berakhlak karena perpustakaan dan minat baca memiliki andil yang
sangat penting untuk mewujudkannya.

Peran dan fungsr perpustakaan yang sangat strategis tersebut hanya dapat
diwujudkan bila dttopang dengan komitmen dan kreartivitas para pengelota
perpustakaan (pustakawan) untuk mewujudkan sosok layanan perpustakaan berbasis
teknoiogi informasi.
Di era globalisasi dewasa ini, perkembangan teknoiogi dalam memberdayakan
peran perpustakaan sudah merupakan kebutuhan. Era perpustakaan digital (e~library)
perlu disikapi secara positif Demikian pula kemudahan akses masyarakat ke
perpustakaan melalui internet, perlu direspon dan terus dikembangkan. Melalui
pelayanan dan kemudahan akses, masyarakat akan lebih tertarik mengunjungi
perpustakaan. Minat berkunjung ke perpustakaan, akan mempercepat proses menuju
bangsa yang cerdas dan berbudaya ilmiah.
Pertimbangan yang paling mendasar yang mendorong perlunya pembangunan
perpustakaan digital adalah perlunya ditingkatkan upaya pemenuhan kebutuhan
informasi masyarakat dengan menerapkan teknoiogi informasi dan komuniskasi di
perpustakaan, seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007
tentang Perpustakaan pasal 12 ayat 1. pasal \ A ayst 3, pasal 19 ayat 2, pasai 22 ayat 3,
pasal 23 ayat 5, pasal 24 ayat 3, pasal 38 ayat 2, pasal 42 ayat 3 serta di penjelasan
umum yang intinya menitikberatkan perlunya penerapan Teknoiogi Informasi dan
Komunikasi dalam mendukung jasa layanan pada semua jenis perpustakaan.
Istilah perpustakaan digital {digital library) atau perpustakaan maya (virtual library)
dipakai secara bergantian dengan isitilah perpustakaan elektronik {electronic library atau
disingkat e-library). Meskipun terdapat perbedaan penyebutan namun secara umum
istilah tersebut mengacu pada pemahaman bahwa perpustakaan digital bukan
merupakan sutau entitas tunggal perpustakaan, melainkan merupakan suatu organisasL
asosiasi atau jaringan kerjasama yang terdiri dari atas lebih dari satu perpustakaan. Untuk
itu, perpustakaan digital memerlukan teknoiogi untuk menghubungkan banyak resource,
perpustakaan dan pelayanan informasi yang berorientasi pada kepuasan pengguna.
Hubungan antar anggota perpustakaan digital bersifat transparan dengan tujuan untuk
menyediakan akses dan pelayanan informasi secara universal.

Program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemernitah Provinsi Kalimantan


Timur daiam upaya mengembangkan TIK di perpustakaan melafui Badan Perpustakaan
Provinsi Kalimantan Timur, diantaranya :
1) Menyelenggarakan jasa layanan perpustakaan on-line. Program ini telah dilaunching
oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrast pada bulan
Maret 2009.
2) Pembentukan Jaringan kerjasama perpustakaan digital Kaltim pada bulan Agustus
2009.

Kerjasama

tersebut

adalah

jaringan

kerjasama

perpustakaan

yang

beranggotakan berbagai jenis perpustakaan yang ada di wilayah Kaltim yang


bekerjasama untuk menyediakan berbagai bahan informasi termasuk katalog digital
yang berisi data koleksi dari masing-masing perpustakaan yang dapat diakses publik
melalui internet secara terbuka. Tujuan pengembangan perpustakaan digital Kaltim
adalah untuk mempromos-ikan pemahaman dan kesadaran antara daerah dan
budaya dalam lingkup wilayah Kalimantan Timur, menyediakan sumber belajar,
mendorong ketersediaan bahan pustaka dan informasi yang mengandung nilai
budaya local mendukung penelitian ilmiah, Dalam pembangunan perpustakaan digital
Kaltim ini Badan Perpustakaan provinsi Kalimantan Timur berperan sebagai fasilitator.
3) Pembangunan infrastruktur IT dibawah koordinasi Dinas Komunikasi dan Informatika
Prov. Kaltim
4) Memfasilitasi berbagai jenis perpustakaan dengan program aplikasi sistem IT
perpustakaan sekaligus memberikan asistensi dalam kerangka membangunan
kerjasama perpustakaan digital di KBltim.

Manfaat yang dapat diperoleh melalui penerapan TIK, khususnya dalam


mendukung pengembangan perpustakaan di antaranya adalah:
1. Mendorong

terbentuknya jaringan informasi pertanian

di tingkat lokal dan

nasional.
2. Membuka akses masyarakat

terhadap beragam sumber informasi dalam

kerangka menc'iptakan struktur masyarakat yang berwawasan )uas dan cerdas


3. Mendorong tumnuh kembangnya industri kreatif di masyarakat
4. Memfasilitasi dokumentasi informasi terutama budaya local

HAMBATAN DALAM APLIKASI TIK


Meskipun disadari TIK memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung
pernbangunan termasuk dalam hal pengembangan layanan perpustakaan, namun
sampai saat aplikasi TIK di perpustakaan masih terkesan lamban.
Beberapa hambatan dalam aplikasi TIK untuk mendukung pengembangan
perpustakaan dapat diidentifikasi secara ringkas sebagai berikut;
1. Belum adanya komitmen dari manajemen di level stakeholders yang ditunjukkan
dengan adanya kebijakan yang belum konsisten.
2. Kemampuan tingkat managerial pimpinan di level stakeholders (khususnya di lingkup
pemda dan dinas kabupaten) sebagian besar masih belum memiliki kapasitas di
bidang teknologi informasi, sehingga banyak sekali proses pengolahan input yang
seharusnya dapat difasilitasi dengan aplikasi teknologi informasi tidak diperhatikan dan
bahkan cenderung dihindari penerapannya.
3. Sebagian besar level manajerial belum mengetahui secara persis konsep aplikasi
teknologi informasi, sehingga berimplikasi pada rendahnya aplikasi teknologi informasi
untuk mendukung operasionalisasi peiaksanaan tugas sehari-hari.
4. Infrastruktur penunjang tidak mendukung operast pengelolaan dan penyebaran
informasi berbasis teknologi informasi. seperti misalnya pasokan listrik yang masih
kurang memadai, perlengkapan hardware tidak lersedia secara mencukupi baik
kualitas maupun kuantitasnya, gedung atau ruangan yang tidak memadai, serta
jaringan koneksi internet yang masih sangat terbatas (khususnya untuk wilayah remote
area).
5. Biaya untuk operasional aplikasi teknologi informasi untuk akses dan pengelolaan
informasi yang disediakan oleh pemerintah daerah khususnya sangat tidak memadai
terutama untuk biaya langganan ISP untuk pengelolaan informasi yang berbasis
internet.
6. Infrastruktur telekomunikasi yang belum memadai dan mahal. Kalaupun semua
fastlitas ada, harganya masih relatif mahal.
7. Tempat akses informasi metalui aplikasi teknologi informasi sangat terbatas. Di
beberapa tempat di luar negeri, pemerintah dan masyarakat bergotong-royong untuk

menciptakan access point yang terjangkau, misalnya di perpustakaan umum (public


library). Di Indonesia hal ini seharusnya dapat dilakukan di kantor pos, kantor
pemerintahan dan tempat-tempat umum lainnya.
8. Dunia teknologi informasi terlalu cepat berubah dan berkembang, sementara sebagian
besar sumber daya manusia yang ada di lembaga subsistem jaringan informasi
cenderung kurang memiliki motivasi untuk terus belajar mengejar kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi, sehingga seringkati kapasitas SDM yang ada tidak dapat
mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan cenderung menjadi
lambat dalam menyelesaikan tugas.

DUKUNGAN PEMPROV. KALTIM DALAM PENGEMBANGAN TIK PERPUSTAKAAN


Perhatian dan dukungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalm

upaya

pengembangan TIK di Kalimantan Timur, khususnya dalam hal pengembangan layanan


perpustakaan diimplementasikan melalui kebijakan dan langkah-langkah berikut:

1. Penguatan Keiembagaan
Pengiuatan keiembagaan dilakukan dengan membentuk SKPD yang mengelola
penerapan TIK.
-

Pembentukan Dinas Komunikasi dan informatika

Pembentukan Badan Perpustakaan yang terpisah secara organisasi dengan


Badan Arsip. Pemerintah Prov. Kaltim memandang bahwa pemisahan antara
Perpustakaan dan Arsip harus dilakukan dan akan dipertahankan dengan
pertimbangan akan lebih efektif dan lebih focus dalam melaksanakan pembinaan
dan pengembangan perpustakaan di daerah ini.

2. Mainstreaming dan fokus isu-agenda TIK


Isu-agenda TIK dibawa ke tengah pusaran 'isu-agenda-tantangan' pembangunan
daerah; isu teknis ke isu kebijakan; isu agenda sektoral ke isu agenda bersama SKPD
maupun publik; dan parsial ke integral kebijakan. tata kelola dan SDM.

3. Pengembangan suprastruktur TIK (Kelembagaan, Kebijakan/Reguiasi, SDM,


e-Leadership, Tata Kelola/SOP, Dukungan Anggaran.dan Kemitraan)

3. Pengembangan infrastruktur TIK Pengembangan infrastruktur TIK berkaitan dengan


sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan dan pemanfaatan TIK.
Infrastruktur TIK meliputi jaringan komunikasi (LAN, WAN, dan akses internet); pusat
data (data center); perangkat keras pengguna (desktop, notebook dan lain lain);
saluran layanan (service delivery channel) berbasis web, telepon. sms, dan lain lain;
fasilitas pendukung seperti ruangan khusus, AC, UPS, Genset, serta sarana
pengamanan fasilitas lainnya.

A.Pengembangan intostruktur TIK Pengembangan infostruktur TIK berkaitan dengan


ketersediaan dan tingkat pemanfaatan perangkat lunak aplikasi yang mendukung
layanan e-Government, baik secara langsung (front office) maupun tidak langsung
(back office). Pengembangan dan pemanfaatan aplikasi tersebut didasarkan atas
fungsi kepemerintahan yang dikelompokkan dalam blok fungsi dasar umum dan fungsi
kedinasan dan kelembagaan.

4. Pemetaan dan Fokus Pemetaan pengembangan e-Government mengacu Grand


Design Pengembangan Teknoiogi Informasi dan Komunikasi Provinsi Kalimantan
Timur. Disamping itu, pengembangan e-Government sebagai faktor pendorong
percepatan, tranformasi, dan inovasi Pembangunan Daerah fokus pada 4 (empat)
bidang berikut:
1. TIK untuk mendorong pendidikan berkualitas
2.TIK untuk mendorong Pemberdayaan Masyarakat
3.TIK untuk mendorong Good Governance/Public Service
4.TIK untuk mendorong ekonomi kreatif

6. Penganggaran
Dalam hal penganggaran untuk mendukung pengembangan TIK di perpustakaan.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur memberikan perhatian dan komitmen yang
cukuptinggi. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk :

O Pengalokasian anggaran secara berkesinambungan untuk mendukung program


dan kegiatan Badan Perpustakaan Prov. Kaltim. Alokasi anggaran Badan
Perpustakaan Prov. Kaltim dalam kiuoin waktu 3 tahun teTakhir rata-rata
mencapai 16 Milyar per tahun.
O

Pengalokasian anggaran APBD Kaftim untuk mendukung program nasional


pembangunan Pusat Unggulan Budaya Lokal Kalimantan (center of excellence)
pada tahun anggaran 2012 senilai 8 milyar rupiah.

Pengalokasian anggaran untuk mendukung kegiatan peningkatan jam layanan


perpustakaan rata-rata senilai Rp. 900.000.000 per tahun. Alokasi anggaran
tersebut digunakan untuk mendukung biaya operasional layanan Badan
Perpustakaan Prov. Kaltim pada malam hari dan juga layanan perpustakaan untuk
hari Sabtu dan Minggu.

Video Iriyanto Lambrie

Makalah Undangan (Invited)


1. Sulistyo Basuki
2. Putu Laxman Pendit
3. Dina Isyanti
4. Tanya Torres

Interoperabilitas dalam konteks


pendidikan pustakawan di Indonesia

[1]

Sulistyo-Basuki[2]
Pendahuluan
Pustakawan sejak awal sudah berhadapan dengan teknologi sesuai
dengan perkembangan zamannya.Misalnya tahun 1860 an ,pustakawan
Amerika menghadapi teknologi baru yang semula mendapat tentangan
karena dianggap melanggar kaidah yang sudah lama berlangsung, padahal
teknologi tersebut adalah penggunaan mesin tik! Teknologi baru tersebut
mulai digunakan di kalangan pustakawan Indonesia pada tahun 1952
seiiring dengan pembukaan Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakaan.
Kursus tersebut menggunakan teknologi baru berupa kartu catalog.
Kartu catalog menggantikan kartuiu berkas (sheaf catalogue) yang sudah
digunakan selama hamper 1 abad. Pada waktu itu pustakawan Indonesia
menggunakan teknologi baru ( mesin tik) untuk menggandakan kartu
catalog (juga merupakan teknologi). Untuk membuat kartu tambahan,
pustakawan harus mengetik kartu satu demi satu. Kemudian penggandaan
kartu katalog dipermudah pada tahun 1970 an dengan digunakannya
duplikator antara lain model Chiang dan Paisu .
Ketika PC (Personal Computers) mulai digunakan di perpustakaan
diikuti dengan perangkat lunak Micro CDS-ISIS sejak tahun 1984
mahasiswa ilmu perpustakaan mulai menggunakan komputer untuk
menggandakan kartu. Pada masa ini mahasiswa sudah mulai berkenalan
dengan konsep interoperabilitas antara komputer dengan mesin cetak
Praktik penggunaan komputer untyuk membuat kartu katalog ini
mulai ditinggalkan dengan munculnya format MARC (Machine Readable
Catalogue). Micro CDSISIS dengan format IndoMARC merupakan fitur
dominan dalam pendidikan pustakawan karena kedua-duanya diajarkan di
sekolah. Micro CDSISIS bahkan demikian dominan sehingga pada tahun
1980 an dan 1990 an secara de facto merupakan perangkat lunak resmi
perpustakaan Inonesia. Hal itu nampak dari pengajaran CDS ISIS di semua
pendidikan pustakawan serta iklan lowongan yang mensyaratkan
kemampuan CDS ISIS.
Mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikannya ketika bekerja
masih menggunakan CDS SIS. Mereka mengalami kesulitan manakala
sistem yang mereka kembangkan berhadapan dengan sistemr lain; dengan
kata lain muncul masalah interoperabilitas. Lalu timbul pertanyaan apakah
selama kuliah tidak diajarkan konsep interoperabilitas?

Kurikulum pendidikan pustakawan


Pendidikan sarjana ilmu perpustakaan dan kemudian ilmu
perpustakaan dan informasi (selanjutnya disingkat IP&I) dimulai pada tahun
1969 di Universitas Indonesia disusul IKIP Bandung (kelak pindah ke
Universitas Padjadjaran pada tahun 1986) berbasis Sardjana Muda. Pola ini
berlangsung sampai dengan tahun 1986, setelah itu pendidikan IP&I
berbasis SMA.
Pada pendidikan sarjana berbasis Sardjana Muda, kurikulum
ditentukan oleh jurusan masing-masing. Maka komponen mata kuliah
relatife sedikit yang mengandung komponen teknologi informasi (untuk
selanjutnya disingkat TI) karena memang pada waktu itu komputer masih
jarang digunakan di perpustakaan. Tahun 1970 an teknologi yang masuk ke
perpustakaan adalah duplikator pengganda kartu katalog.
Tatkala pendidikan sarjana berbasis SMA dibuka pada tahun 1986
sesuai dengan sistem pendidikan yang ada pada waktu itu[3], maka
muncullah kurikulum yang diatur oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Kurikulum yang diatur Menteri praktis mencakup semua mata kuliah
termasuk SKSnya sehingga hanya memberikan ruang gerak bagi
jurusan/program studi/departemen untuk membuat mata kuliah pilihan.
Kurikulum Menteri Pendidikan & Kebudayaan 1994
Kurikulum ini hanya memuat Pengantar Komputer, Automasi
Perpustakaan, tidak menjelaskan apa saja yang harus diajarkan. Kuliah
berbobor 2 SKAS
Kurikulum UNESCO untuk Asia Tenggara
UNESCOs ASTINFO programme menyusun kurikulum yang ditujukan
bagi masyarakat informasi [sic] tahun 1997 (UNESOCO, 1998). Kurikulum
dibagi menjadi 4 kelompok (Creation, Collection, Communication,
Consolidation). Tentang TI dimasukkan sebagai bagian Information
Technology
skills.
Dibandingkan
dengan
kurikulum
1994
mau
pun Konssorsium, kurikulum UNESCO lebih rindi dengan uraian tujuan da
hasil pembelajaran. Ada pun tujuan dan sasaran ketrampilan teknologi
informasi ialah mengembangkan ketrampilan teknologi tingkat tinggi,
termasuk kemampuan mendayagunakn sejumlah paket perangkat lunak.
Menyangkut hasil akhir pembelajaran dinyatakan bahwa mahasiswa
hendaknya : (i) mampu menggunakan dengan mudah sejumlah paket
aplikasi, termasuk pemrosesan kata, lembatangsebar (spreadsheet) dan
pangkalan data (basis data, databases); (ii) mampu menelusur informasi

dengan menggunakan sejumlah media, termasuk internet dan (iii) mampu


mengevaluasi berbagai jenis peralatan dan perangkat lunak.
Kurikulum Nasional ( Konsorsium 2000)
Munculnya kurikulum ini dilatarbelakangi era reformasi yang
menginginkan universitas (dalam hal ini diartikan termasuk institut, sekolah
tinggi, akademi dsb) menyusun kurikulum yang sesuai dengan keperluan
masing-masing universitas. Hal serupa juga menghinggapi IP&I.
Sebagai tanggapan atas tuntutan tersebut, Konsorsium Sastra dan
Filsafat Dikti menyusun semacamkurikulum nasional dengan tujuan agar
setiap departemen jurusan/program studi memiliki komponen mata kulaih
yang sama untyuk selanjutnya dikembangkan oleh masing-masing
departemen jurusan/program studi. Dalam kurikulum nasional tersebut
sudah diperhirungkan mata kuliah wajib nasional Pancasila, Bahasa
Indonesia), mata kuliah wajib universitas (berbeda antara universitas
dengan institusi, misalnya IAIN memiliki mata kuliah wajib universditas
paling banyak), mata kuliah wajib fakultas (mata kuliah ini berbeda ,
misalnya antara Fakultas Sastra dengan Fakultas Ilmu Komunikasi). Baru
sedudah itu dijabarkan mata kuliah wajib. Mata kuliah 2000 dipengaruhi oleh
laporan UNESCO yang disusun del Delors, sehingga dikenal sebagai Delors
report,
yang
membagi
mata
kuliah menjadi 4 pilar
pendidikn yaitu Learning to know (keimuan dan kertampilan), Learning to
do (keahlian berkarya), Learning to live together learning to live with
others (peri kehidupan bersama), dan Learning to be (perilaku berkarya)
(Delors, 1998; Konsorsium Sastra dan Filsafat, 2000)
Salah satu kelompok adalah mata kuliah Keahlian Berkarya yang i
bertujuan:
(a) memberikan dasar kompetensi profesional informasi.
(b) memberikan landasan penguasaan ilmu perpustakaan dan informasi
(c) membekali kompetensi teknologi komunikasi dan informasiuntuk
kepentingan lembaga, pemakai dan masyarakat;
(d) mengembangkan wawasan profesi dan akademis yang terbuka
dan toleran terhadap perkembangan ilmu dan teknologi;
(e) memberikan
landasan
untuk
pengembangan
ilmu
pengetahuan, khususnya dalam bidang perpustakaan dan informasi
Salah satu mata kuliah adalah Mata kuliah yang Teknologi Komunikasi
dan Informasi. Maka seperti kurikulum terdahulu, isi mata kuliah diserahkan
ke masing-masing departemen /jurusan/ program studi. Maka menyangkut
topic interoperabilitas diserahkan ke masing-masing departemen / jurusan/
program studi.

Dengan menyimak kurikulum yang ada tentang TI maka muatannya


lebih banyak diserahkan kepada departemen /jurusan/ program studi.
Tujuan dan sasaran serta hasil akhir pembelajaran juga tidak dinyatakan
pada Urikulum Menteri Pendidikan Nasional 1994 mau pun Kurikum
nasional versi Konsorsium. Juga dalam kurikulum UNESCO (1998) tidak
dijelaskan
Maka konsep interoperabilitas dalam pendidikan IP&I merupakan hal
baru
walau
pun
pengalaman
mahasiswa
sudah
ada.
Misalnya
interoperabilitas antara sistem komputer dengan peripheral, antara
komputer di sebuah perpustakaan dengan komputer di perpustakaan lain,
atau bagaimana sistemr komputer hanya saja hal tersebut tidak diuraikan
secara khusus.
Interoperabel
Interoperability berasal dari kata interoperable; kata terarkhir ini
bermakna dapat beroperasi bersama dengan. Seperti dikatakan Miller
(2000) To be interoperable, one should actively engaged in the ongoing
process of ensruing that the systems, procedures and culture of an
organization are managed in such a way as to maximize opportunities for
exchange and re-useof information, whether internally or externally
Interoperabilitas
Dari
kata interoperable berkembang
kata interoperability atau
interoperabilitas dalam Bahasa Indonesia. Interoperabilitas adalah
kemampuan sistem atau produk untuk bekerja dengan sistem atau produk
lain tanpa upaya khusus dari pemakai. Interoperabilitas menjadi kualitas
pentingnya produk TI sebagai konsep yang mendukung Jaringan adalah
komputer menjadi kenaytaan. Karena hal tersebut maka istilah
interoperabilitas digunakan secara luas dalam deskripsi pemasaran produk
(interoperability. (Miller, 2000)
Berdasarkan sebuah UKOLN Interoperability Focus, interoperabilitas
merupakan kata yang bermakna luas, mencakup berbagai isu bersinggungan
dengan efektivitas berbagai sumber daya informasi hidup berdampingan
yang saling menguntungkan. Ada pun jenis interoperabilitas adalah
interoperabilitas teknik, ~politik/manusia, ~interkomunitas, hukum,dan
interoperabilitas internasional.
Interoperabilitas teknik
Interoperabilitas teknik merupakan aspek paling langsung dari
interoperabikilitas. Hal tersebut dibuat untuk mengupayakan agara
komponen eprangkat keras dan perangkat lunak jaringan dan system

informasi dapat berkomunikasi dan mentransfer informasi.. Mungkin hal itu


sudah dianggap wajar dalam dunia Internet, namun di balik permukaaan
ada usaha keras untuk mengupayakan agar interoperabilitas berjalan lancar.
Interoperabilitas semantic
Interoperabilitas semantic mengacu pada makna informasi bagi
pemakai (dalam hal ini manusia) bukan hanya trsnsfer data saja. Upaya ini
akan gagal bila pemakai menggunakan istilah yang berlainan untuk konsep
yang sama (misalnya sapil, lembu, jawi, cows) atau menggunakan istilah
yang sama untuk berbagai hal yang berbeda (misalnya bureaus untuk
perabot, bagian organisasi, ).
Interoperabilitas politik/manusia
Interoperabilitas politik/manusia menyangkut kesediaan berbagai
pemangku kepentingan tentang upaya agar sumber daya informasi terbukja
lebih lebar dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Pembukaan
sumber daya yang lebih luas bertautan dengan lembaga yang berkaitan
(lembaga merasa kehilangan kendali atas sumber daya atau kehilangan
kendali atas kepemilikan sumber daya), staf lembaga (Miller,
Interoperabilitas memungkinkan akses universal, mendorong berbagai isi
dan sumber daya pndidkan, efisieinsi dan bagi mahasiswa mendorong
pengembangan proses tim, kerja kolaboratif dan pemebelajaran dari
pembimbing dengan pembimbing guna membantu mahasiswa berperan
dalam pengembangan kemampuan pembelajarannya
Interoperabilitas interkomunitas
Interoperabilitas
interkomunitas
berkaitan
dengan
semakin
kaburntya batas antara lembaga dan disiplin; dengan demikian pemakai
semakin menuntut akses informasi ke sejumlah besar sumber daya, baik
dalam batas disipklinnya sendiri r mau pun di luarnya
Interopwerabilitas antarkomunitas
Interoperabilitas budaya menyangkut keteroperasian sebuah sistemr
pada budaya yang berbeda. Mungkin ini berkaitan dengan pemakai sistemr
informasi yang berbeda, katakanlah dari sistemr yang mengarah ke sistem
berbasis komputer dengan sistemr yang berbasis komputer tingkat lanjut.
Demikian pula istem yang digunakan dua generasi, generasi yang
merupakan imigran digital dengan generasi sepenuhnya lahir digital.

Mengapa interoperabilitas itu penting?


Interoperabilitas itu penting karena berbagai penyedia informasi
seperti perpustakaan, museum dan data arsip dalam salingberoperasi,
bertukar dan berbagi data, memungkinkan sinergi berbagai sumber daya
informasi.
Interoperabilitas memungkinkan akses universal, meningkatkan
akses bagi semua pihak ke jasa terpasang (dalam jarring,online),
meningkatkan efisiensi. Keunggulan lain ditunjukkan oleh AICTEC Standards
Sub-committee,interoperabilitas menunjang pelatihan dalam jarring atnpa
memandang masalah waktu, tempat, kelompok kerja, memanfaatkan
interoperabilitas
infrastruktur
teknik,
pengajar
dan
siswa
dapat
berpartisipasi dalam pengajaran, pembelajaran dan pengembangan
professional.
`
Karena kemaknawian tersebut, maka pemahaman interoperabilitas
perlu dikenalkan pada pendidikan IP&I, sebagai bagian dari nata kuliah
TeknologiInformasi dan Komunikasi.
Siapa yang memberikan
Untuk pendidikan pustaawan, topic interoperabilitas
diberikan oleh dosen pengelola TI. Karena topic interoperabilitas ini relative
baru dalam kurikulum, ada baiknya pengajar TI lembaga pendidikan IP&I
bertemu dengan tujuan menghasilkan kesepakatan cakupan kurikulum,
tingkat pemberian (misalnya komponen, jumlah jam, praktik yang
diberikan). Karena interoperabilitas bertautan dengan bidang lain seperti
keterbukaan informasi, privasi, perundang-undangan maka ada abiknay
dalam topic interoperabilitas juga diberikan berbagai aspek bertautan. Juga
dapat diundng sebagai penceramah tamu pustakawan yang berpengalana
dalam hal interoperabilitas walau pun hal ini dapat menimbulkan masalah
karena praktik yang dihadapi pustakawan praktisi mungkin hanya berlaku
bagi perpustakaannya sendiri. Di samping itu relatife pengajar TI juga
memiliki banyak pengalaman lapangan.
Penutup
Interoperabilitas adalah kemampuan sistem atau produk untuk
bekerja dengan sistem atau produk lain tanpa upaya khusus dari pemakai.
Istilah tersebut memiliki makna luas, berbagai isu menyangkut
interoperabilitas teknik, semantic, politik/manusia/interkomuniyas dan
internasional. Karena memiliki kemaknawian (signifikansi) bagi berbagai
system dan sumber daya informasi seperti museum, perpustakaan, depo
arsip maka konsep interoperabilitas perlu diajarkan pada pendidikan IP&I.

Pengajaran dapat dilakukan dosen pengampu matakuliah TI dibantu oleh


praktisi dan pakar dari disiplin lain karena interoperabilitas dapat bersifat
lintas bidang.
Bibliografi
AICTEC Standards Sub-committee.
http://www.aictec.edu.au/priorities/standards
Delors, Jacques (1998).Learning: the treasure within:report to UNESCO of
the International
Commission on Education for the Twenty-first century. Paris:UNESCO
Publishing.
Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1994) Keputusan
Menteri
Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat (2001) Kurikulum inti program
sarjana (S1). Jakarta
Miller, Paul (2002). "Interoperability. What is it and why should I want
it?" Ariadne,
24.
http://www.ariadne.ac.uk/issue24/interoperability/intro.html Akses
21Sept 2011
------. (2002)What is interoperability and why is it important?
http://webmail.indosat.net.id/cp/ps/Mail/Mgsbody/?=dinosat.net.id&c.
.Diunduh 18 Agustus 2001
Sulistyo-Basuki (2006). Political reformation and its impact to library and
information science education and practice: a case study
of Indonesia during
and post-President-Soeharto
administration .
DalamPproceedings of the Asia Pacific Library and Education Practice.
UK
Interoperability
Focus:
About.. http://www.ukoln.ac.uk/interopfocus/about. Diunduh 21 September 2011
UNESCO Principla Regional Office for Asia and The Pacific (1998) A
curriculum for an information society: educating and training
information professionals in the Asia-Pacific region. Bangkok: UNESCO
PROAP

[1]

Makalah, Kongres Perpustakaan Digital Indonesia, ke 4, Samarinda, November 2011


Pengajar tidak tetap, Program Pascasarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi di UI, IPB, dan UIN Sunan Kalijaga
[3]
Pada saat itu mulai dikenal pendidikan akademik dan profesi; pendidikan akademik dimulai dengan strata 1,2, dan
3 sementara pendidikan profesi dimulai dengandiploma 2 sampai dengan diploma 4.
[2]

VIDEO SEMINAR

Interoperabilitas dalam Pengembangan


Perpustakaan Digital: Sisi Pandang
Kebijakan Teknologi
Putu Laxman Pendit, Ph.D.
Abstrak
Interoperabilitas dalam sistem informasi pada umumnya dan perpustakaan
digital pada khususnya mencakup dimensi teknis maupun non-teknis.
Makalah ini mencoba menguraikan pengertian interoperabilitas secara
menyeluruh,
sekaligus
mencoba
mengajukan
rancangan
solusi
organisasional terhadap isu-isu teknologi. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan teori sosio-teknis sebab sampai saat ini belum cukup
terkumpul data empirik tentang kondisi interoperabilitas secara nasional di
Indonesia. Melalui pendekatan teoritis diharapkan akan ada gambaran yang
lebih komprehensif tentang faktor pendorong maupun penghalang upaya
interoperabilitas di Indonesia, khususnya yang menyangkut kebijakan
teknologi informasi sebagai panduan dan acuan bagi upaya komputasi yang
sekaligus terbuka dan mengakomodasi perbedaan sistem.
Kata kunci : interoperabilitas, kebijakan informasi, pendekatan sosio-teknis.
Pendahuluan
Interoperability is the capability to communicate, execute programs,
or transfer data among various functional units in a manner that
requires the user to have little or no knowledge of the unique
characteristics of those units.(ISO/IEC 2382 Information Technology
Vocabulary, Information technology -- Vocabulary -- Part 1:
Fundamental terms)
the ability of two or more systems or components to exchange
information and to use the information that has been exchanged.
(Institute of Electrical and Electronic Engineers - IEEE)
Definisi-definisi formal tentang interoperabilitas sebagaimana dikutip di atas
terfokus pada dua hal utama, yaitu kemampuan berkomunikasi antar unit
atau sistem informasi yang berbeda, dan kemudahan bagi pengguna yang
tak
perlu
direpotkan
oleh
perbedaan
tersebut.
Sesungguhnya,
interoperabilitas bermaksud memfasilitasi pemanfaatan sebesar-besarnya

oleh pengguna akhir (end users) dalam sebuah lingkungan informasi yang
mengandung berbagai sistem berbeda.
Secara naif kita mungkin akan bertanya, mengapa di dunia informasi,
khususnya yang berbantuan komputer, harus ada perbedaan antar sistem;
mengapa tidak ada satu sistem tunggal saja sehingga tak perlu
interoperabilitas? Jawaban sederhananya adalah karena sistem-sistem
tersebut memang dibangun untuk tujuan yang berbeda, sehingga memiliki
keunikannya masing-masing. Keunikan ini semakin dimungkinkan karena
teknologi komputer adalah salah satu teknologi paling lentur (malleable
technology) dalam kehidupan manusia. Namun keunikan ini sebenarnya juga
bertujuan memproteksi sebuah sistem dari gangguan, sekaligus menjamin
bahwa sistem tersebut terkendali/terkontrol oleh pemiliknya saja. Selain itu,
penggunaan teknologi mutakhir dalam sebuah sistem pada akhirnya juga
mengandung pertimbangan ongkos dan manfaat, sehingga praktis semua
sistem informasi dibuat untuk memastikan bahwa manfaatnya sebanding
dengan ongkos yang telah dikeluarkan untuk membangun, dan manfaat ini
harus terlebih dahulu sebesar-besarnya untuk kepentingan (interest) si
pemilik atau pengembang sistem tersebut.
Jadi, walaupun definisi interoperabilitas di awal tulisan di atas seolah hanya
memperlihat persoalan teknis komunikasi atau pertukaran data, sebenarnya
adalah mustahil membicarakan interoperabilitas tanpa terlebih dahulu
mempertimbangkan hakikat dari keragaman/perbedaan, khususnya karena
akhirnya kita harus juga mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan
organisasional dari setiap sistem yang berbeda tersebut. Aspek-aspek ini
akan menentukan seberapa mudah sebuah kepentingan dari sebuah
organisasi dapat dijadikan bagian dari kepentingan yang lebih besar dalam
sebuah situasi kerjasama (kooperatif). Jelas bahwa interoperabilitas secara
teoritis mencoba mengatasi kemungkinan konflik antara kepentingan khusus
di satu sisi dengan kebutuhan kerjasama demi kepentingan lebih umum di
sisi lain, walaupun secara teknis interoperabilitas dapat diciptakan hanya
dengan memastikan bahwa berbagai mesin komputer dapat saling bertukar
data di dalam infrastruktur informasi yang sama.
Jelas pula bahwa secara teoritis interoperabilitas amatlah berbeda dari
penyeragaman atau peleburan sistem, sebab interoperabilitas mengakui dan
menjamin keunikan dari masing-masing unit/sistem. Interoperabilitas lebih
mirip dengan integrasi berdasarkan keragaman; lebih mirip bhineka tunggal
ika daripada kesatuan (unity). Dasar dari interoperabilitas adalah kemauan
dari berbagai pihak berbeda untuk berkomunikasi secara terbuka
berdasarkan kesepakatan yang mengatasi perbedaan. Itulah sebabnya
interoperabilitas segera mensyarakatan adanya standar dan protokol, selain
penggunaan landasan yang sama (common platform). Itu pulalah sebabnya

interoperabilitas dekat dengan konsep sistem yang terbuka (open system)


karena menjamin keunikan serta keamanan masing-masing sistem,
sehingga praktis setiap upaya mengembangkan interoperabilitas akan
dimulai dengan kepastian tentang standar dan keamanan data (data
security).
Di dunia teknologi informasi, interoperabilitas dalam pengertian di atas
memang semakin diperlukan. Sebagai ilustrasi, sebuah komputer laptop
saat ini memerlukan sedikitnya 250 standar interoperabilitas atau bahkan
sampai 500 standar, agar dapat digunakan seluas mungkin untuk sebanyak
mungkin kepentingan pengguna akhir, tanpa kehilangan ciri-ciri unik dari
masing-masingnya (lihat Biddle, White, dan Woods, 2010). Sebagian
standar interoperabilitas ini dibuat oleh konsorsium swasta, dan hanya
sepertiganya yang dibuat oleh badan-badan formal/publik (atau standard
development organizations, SDO). Sisanya bahkan dibuat oleh perusahaanperusahaan tunggal. Keterlibatan pihak swasta yang dominan ini
menunjukkan bahwa di sebuah industri informasi yang amat kompetitif pun
akhirnya harus ada kesepakatan-kesepakatan antar berbagai pemain agar
pada akhirnya pihak konsumen dapat leluasa menggunakan produk yang
mereka beli. Tentu saja, pada gilirannya keleluasaan ini meningkatkan
penjualan dan profit kepada pihak produsen juga.
Sementara itu di wilayah publik (public domain) interoperabilitas tentu saja
amat bergantung pada inisiatif badan-badan pemerintahan. Motivasinya
tentu berbeda dari pihak swasta, walaupun tujuan akhirnya sama: yaitu
memudahkan pihak pengguna akhir sebagai pihak yang paling mendapatkan
manfaat dari interoperabilitas tersebut. Salah satu inisiatif yang paling
banyak mendapat perhatian adalah interoperabilitas dalam lingkup
administrasi pemerintahan elektronik (e-government) atau e-government
interoperability. Menurut UNDP, konsep ini secara umum adalah the ability
of constituencies to work together. Sementara secara teknis adalah the
ability of two or more diverse government information and communications
technology (ICT) systems or components to meaningfully and seamlessly
exchange information and use the information that has been exchanged.
(United Nation Development Programmes, 2007, hal. 1).
Untuk mencapai e-Government interoperability perlu diperhatikan dua hal,
yaitu standardisasi dan arsitektur. Untuk arsitektur, UNDP menggunakan
konsep IEEE, yaitu pengorganisasian secara mendasar terhadap sebuah
sistem, sebagaimana yang terwujud di komponen-komponen dan kaitannya
(baik antar mereka, maupun dengan lingkungan) dan di prinsip-prinsip yang
menuntun perancangan maupun kegiatan sistem tersebut (the fundamental
organization of a system, embodied by its components and their
relationships to each other and to the environment and by the principles

guiding its design and activity). Jelaslah di situ bahwa interoperabilitas


amat memerlukan pengorganisasian yang akhirnya berkaitan dengan
misi/tujuan
sebuah
sistem,
sehingga
tak
mungkinlah
sebuah
interoperabilitas tercapai tanpa pengaturan-pengaturan di tingkat organisasi.
Interoperabilitas dalam Perpustakaan Digital
Dalam
konteks
perpustakaan
digital
(digital
libraries)
konsep
interoperabilitas bahkan menjadi salah satu aspek sentral karena dua hal
penting. Pertama, perpustakaan digital membawa terus hakikat dasar dari
perpustakaan yang sudah berakar sejak lama, yaitu hakikat kerjasama,
misalnya dalam aktivitas layanan saling pinjam atau interlibrary loan sebagai
aplikasi kongkrit penggunaan sumberdaya secara bersama (resource
sharing). Kedua, konsep perpustakaan digital itu sendiri langsung
mengandung pengakuan tentang adanya keragaman dan perlunya
kerjasama demi memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya digital yang
berpotensi melimpah-ruah.
Tidaklah mengherankan jika pada masa-masa awal pengembangan
perpustakaan digital, muncul konsep yang di satu sisi mengakui adanya
keragaman namun di lain pihak sekaligus menginginkan keleluasaan akses.
Simak misalnya pandangan Drabenstott (1994) yang futuristik di masanya;
ia menyatakan perpustakaan digital is not a single entity (bukan entitas
tunggal) dan membutuhkan teknologi yang mampu mengait-ngaitkan
sumberdaya digital yang beragam. Ia juga menekankan perlunya
transparansi bagi pengguna berupa kemudahan dan keluasan akses
(universal access), selain bahwa objek digital yang dikelola mungkin saja tak
memiliki bentuk tercetak sama sekali (born digital). Demikian pula
Mukaiyama (1997) dari sisi pandang teknologi telah sejak awal
mengingatkan bahwa ada 7 teknologi yang diperlukan untuk mewujudkan
perpustakaan digital. Butir 4 sampai 7 berkali-kali menegaskan adanya
keragaman dan keluasan sumberdaya digital.
Dalam
sejarah
interoperabilitas
di
perpustakaan
digital,
peran
perkembangan teknologi komputer yang amat dinamis memang sangat
menentukan. Perlu kiranya diingat bahwa konsep dan aplikasi perpustakaan
digital muncul tahun 1994 di Amerika Serikat ketika pemerintah
menggelontorkan 24,4 juta dollar untuk 6 perguruan tinggi terkemuka di
negeri itu. Waktu itu, riset yang dikembangkan melulu adalah riset
komputasi, khususnya tentang hakikat dari objek digital, simpan dan temu
kembali, serta jaringan berskala besar. Masa itu dikenal sebagai DLI-1
(Digital Library Initiative 1) yang bersifat eksperimental dan belum

sepenuhnya melibatkan kepustakawanan3. Dari segi keterlibatan universitas


dan teknolog komputer, maka sejarah pegembangan perpustakaan digital
Indonesia juga mirip dengan di Amerika Serikat, walau dari segi eksperimen
kita jauh tertinggal.
Baru pada DLI-2 (dimulai pada 1998) aspek-aspek kepustakawanan menjadi
penentu perkembangan perpustakaan digital dan di saat itulah segera
muncul masalah interoperabilitas. Ketika fase DLI-2 dimulai inilah muncul
pula pertimbangan yang semakin berorientasi pada kemudahan akses,
khususnya karena kepustakawanan di era digital ingin terus melanjutkan
prinsip-prinsip dasarnya, yaitu akses yang setara (equal) bagi semua orang
dan kebebasan informasi (dalam bentuk keleluasaan dan kemudahan).
Dalam perkembangan DLI-2 ini pula Arms (2000) lalu menyatakan bahwa
interoperabilitas adalah sebuah upaya mengembangkan jasa yang terpadu
bagi pengguna perpustakaan digital sedemikian rupa sehingga mereka dapat
memanfaatkan sumberdaya yang disediakan oleh beragam sistem dan
beraneka institusi. Penekanan Arms adalah pada keterpaduan layanan dan
kemudahan penggunaan. Secara lebih terinci lagi, Miller (2000) menyatakan
bahwa interoperabilitas mengandung 6 aspek, mulai dari interoperabilitas
teknis, semantik, politik, antar-komunitas, legalitas, sampai interoperabilitas
internasional.
Selain dari segi teknis, interoperabilitas dalam perkembangan perpustakaan
digital juga amat didorong oleh perkembangan pandangan tentang
keterbukaan yang diwakili oleh jargon open. Misalnya yang terkandung
dalam Open Archive Initiative. Asal muasal OAI adalah penampungan e-print
(e-print repositories)4. Penampungan inilah yang diartikan sebagai archives
dalam kepanjangan OAI. Pada mulanya, berbagai ruang penyimpanan eprint ini memiliki beragam antarmuka, sehingga jika seorang ilmuwan perlu
mencari di berbagai tempat penyimpanan berbeda maka dia perlu berkalikali berganti strategi pencarian. Untuk mempermudah pencarian lintas
bidang dan lintas e-prints, OAI menyebarluaskan pemakaian protokol atau
kesepakatan yang dikenal dengan nama The Open Archives Initiative's
Protocol for Metadata Harvesting (OAI-PMH). Pada dasarnya OAI-PMH
mengandung sebuah kerangka kerja (framework) sederhana yang ditujukan
bagi pengembangan apa yang dikenal dengan metadata harvesting. Jika
sebuah tempat penampungan e-print mengikuti standar OAI-PMH, maka
3

Untuk pembahasan yang menarik tentang inisiatif awal perpustakaan digital, lihat Bishop dan Star, 1996; Borgman
et al., 1996; Griffin, 1999.
4
Istilah e-prints dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai naskah elektronik, merupakan versi elektronik atau
digital dari laporan penelitian ilmiah atau karya sejenis lainnya. Naskah ini dapat merupakan pre-print atau naskah
yang belum diperiksa (belum melalui proses peer review), atau juga yang merupakan post-print atau sudah
diperiksa. Termasuk pula di sini segala versi digital dari artikel jurnal, bab dari sebuah buku, makalah yang
ditampilkan di seminar ilmiah, atau segala bentuk laporan penelitian yang tergolong technical reports.

mesin-mesin pemanen
(harvesters) dapat mengumpulkan informasi
metadata darinya dan menyelaraskan informasi itu dengan yang didapat dari
tempat lain, sedemikian rupa sehingga seolah-olah berbagai tempat
penampungan itu memiliki satu himpunan metadata. Lalu, ketika seorang
ilmuwan bermaksud mencari secara lintas bidang, dia tidak perlu
mengunjungi semua tempat penampungan tadi, melainkan cukup
mencarinya di himpunan metadata hasil panen tersebut.
OAI-PMH merupakan salah satu contoh upaya interoperabilitas yang cukup
berhasil. Dalam hal ini, OAI sebenarnya dapat dikatakan telah mengikuti
jejak saudara tua-nya yaitu Open Archival Information System (OAIS) yang
dimotori oleh Consultative Committee for Space Data Systems (CCSDS)
pada tahun 1982, sebagai sebuah forum internasional untuk badan-badan
ruang angkasa bagi kerjasama dalam pengelolaan data penelitian mereka.
Pada tahun 1990, CCSDS mulai bekerjasama dengan International
Organization for Standardization (atau ISO) untuk menyusun sebuah standar
bagi sistem penyimpanan dan penyediaan data penelitian ruang angkasa.
Dari sinilah lahir sebuah model rujukan (reference model) untuk sebuah
sistem informasi kearsipan yang terbuka. Inilah cikal bakal OAIS yang
akhirnya berlaku di semua bidang yang memerlukan pengarsipan dan
preservasi digital, tidak hanya yang berkaitan dengan penelitian ruang
angkasa. Setelah melalui diskusi internasional yang terbuka dan pembuatan
ragangan (draft) yang bolak-balik, akhirnya tercapailah ragangan ISO pada
tahun 2000. Lalu, setelah proses finalisasi, resmilah ragangan itu menjadi
standar ISO nomor 14721 tahun 2002 untuk diberlakukan secara
internasional.
Baik OAI-PMH maupun OAIS sangat memengaruhi perkembangan konsep
perpustakaan digital dan interoperabilitas. Boleh dikatakan, kedua inisiatif
tersebut mematangkan pondasi bagi perkembangan perpustakaan digital
selanjutnya sehingga prinsip-prinsip kepustakawanan yang tradisional
seperti union catalog, interlibrary loan dan resource sharing dapat
dilanjutkan dalam skala yang lebih besar dengan bantuan teknologi digital.
Semnentara itu, dari sisi teknis, perkembangan teknologi pertukaran data
(data exchange technology), khususnya yang memanfaatkan Internet dalam
bentuk Web Service, ikut mendorong pengembangan perpustakaan digital
mutakhir
dan
menghilangkan
keraguan
tentang
interoperabilitas.
Penggunaan XML sebagai bahasa yang tergolong sederhana dan
ketersediaan protokol seperti SOAP, WSDL, dan UDDI, menambah marak
upaya pengembangan perpustakaan digital yang berjangkauan luas
sekaligus terbuka untuk berinteraksi.

Interoperabilitas Metadata: metode dan kompleksitasnya.


Jika kita simak lebih rinci, maka terlihat bahwa aspek interoperabilitas yang
paling dahulu ditangani di DLI-2 adalah interoperabilitas dalam temukembali informasi, khususnya yang melalui fasilitas akses publik terhadap
katalog terpasang (online public access catalogue). Sesungguhnya aspek ini
adalah aspek klasik dari setiap upaya penerapan teknologi di
perpustakaan. Sejak katalog berkembang dari tanah liat ke kertas, lalu ke
kartu katalog, kemudian ke pangkalan data digital, selalu muncul masalah
interoperabilitas dan solusinya selalu adalah dengan menciptakan
kesepakatan, standar, dan protokol pertukaran data. Dalam waktu relatif
cepat, perpustakaan digital di negara-negara yang sudah mapan dalam
temu-kembali ini
berhasil mengatasi masalah interoperabilitas melalui
pengaturan metadata dan penggunaan protokol semacam Z39-50.
Namun dari upaya interoperabilitas tahap awal ini, segera pula terlihat
bahwa solusi teknis (metadata, protokol) harus diikuti pula dengan solusi
lain yang tak selamanya berhubungan dengan teknis. Salah satu contoh
yang dapat kita periksa adalah pengalaman Australia. Sesuai hasil survei
Hider (2004) terhadap 40 institusi yang mengelola koleksi digital, ditemukan
bahwa perhatian dan kesadaran terhadap standar format metadata memang
tinggi, tetapi juga terlihat penggunaan skema metadata yang amat
beragam. Walaupun keterbukaan sudah tersedia, yaitu karena beberapa
institusi sudah membuka diri dan mengizinkan orang lain mengimpor data
mereka, namun belum tentu peluang ini dimanfaatkan institusi lain. Selain
memang diperlukan upaya interoperabilitas di pihak pengimpor atau
pemanen (harvester), persoalan lain adalah keraguan tentang kualitas
metadata yang tersedia secara terbuka itu. Demikian pula, walaupun hampir
semua institusi menganggap penting standardisasi metadata, dan semuanya
menginginkan fungsi-fungsi federated search, namun tetap ada perbedaan
persepsi tentang perlu-tidaknya pertukaran data.
Menurut analisis Hider, walaupun semua pustakawan mengerti konsep
interoperabilitas sebagai konsep tentang sistem informasi yang berdasarkan
prinsip gotong royong, namun tetap ada pandangan berbeda tentang
bagaimana dan mengapa sistem-sitem itu harus bekerjasama. Penyebab
utama dari perbedaan ini adalah perspektif institusi. Misalnya, sejauhmana
interoperabilitas bersifat menghemat ongkos sangat tergantung pada
keunikan sumberdaya digital dari masing-masing institusi. Ada koleksi digital
yang karena satu lain hal menyebabkan si pustakawan merasa harus
mendahulukan
kepentingan
domestik,
yaitu
dipusatkan
pada
interoperabilitas di dalam institusi itu dan di antara koleksi mereka sendiri
(disebut internal interoperability). Padahal ada institusi lain yang lebih
berorientasi publik mungkin memiliki persepsi yang lebih luas, sehingga

sampai memperhatikan integrasi antar-institusi, bahkan antar domain


berbeda, dan kalau perlu mencakup seluruh Internet (disebut external
interoperability).
Juga ada perbedaan persepsi tentang cara mencapai interoperabilitas,
karena konteks informasi yang berbeda. Para pengelola perpustakaan digital
harus menetapkan prioritas, apakah akan memastikan agar koleksi digital
mereka
memenuhi
standar
interoperabilitas
(bahkan
jika
perlu
mengkonversi semua data serta sistem temu-kembali mereka agar dapat
diakses secara meluas), atau mengembangkan sistem yang dapat
menangani koleksi digital yang beragam, atau keduanya.
Dari survei
memang ada institusi yang memilih untuk menaati standar dan struktur data
yang sudah mapan dan dipakai meluas, sementara institusi lain ada yang
mementingkan pengembangan teknologi untuk menangani variasi dalam
metadata dan formatnya.
Dari segi teknologi metadata dan temu-kembali di bidang perpustakaan
digital, fleksibilitas memang dimungkinkan, terutama setelah filosofi dan
pendekatan-pendekatan satu skema yang dulu mendasari MARC dan AACR2
telah dikoreksi oleh kesepakatan dalam bentuk Dublin Core dan Warwick
Framework5. Inilah yang mendorong berlakunya apa yang disebut pengaitan
antar paket metadata (interlocking containers and packages of metadata)
sehingga masing-masing komunitas berbeda dapat mengembangkan serta
merawat sendiri skema metadata mereka, tetapi tetap interoperating
dengan paket metadata dari komunitas lain. Di sinilah Dublin Core berfungsi
sebagai sebuah rangkaian penyatu (unifying set) untuk keperluan temukembali lintas komunitas, lalu setiap komunitas dapat menggunakan apa
yang kemudian kita kenal dengan qualifiers sesuai kebutuhan unik mereka.
Perkembangan dan
dinamika teknologi temu-kembali memang amat
memengaruhi pendekatan dan prioritas yang berbeda di masing-masing
pengembang perpustakaan digital. Dalam survei yang dilakukan AlipourHafezi et.al. (2010) terlihat bahwa masing-masing perpustakaan biasanya
menggunakan teknologi dan alat kerja berbeda, disebabkan perbedaan
dalam waktu pengembangan, jumlah dana yang dialokasikan, dan kaidah
efisiensi yang dipakai ketika mengembangkannya. Pada umumnya
perpustakaan yang ingin menawarkan jasa terintegrasi sebagai bagian dari
kerjasama antar perpustakaan tentu saja harus memperhatikan metode
yang cocok untuk pengguna mereka terlebih dahulu. Ada kaitan amat erat
antara kinerja dan ongkos teknologi di satu sisi dan kualitas isi dan
pengguna di sisi lain.

Untuk penjelasan lebih lengkap, lihat misalnya http://www.dlib.org/dlib/july96/lagoze/07lagoze.html

Dalam konteks inilah kita dapat melihat tiga model dasar interoperabilitas,
yaitu (1) berserikat (federated), memanen (harvesting), dan menghimpun
(gathering) yang dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut:
1. Metode berserikat terjadi jika masing-masing perpustakaan digital
dapat mengirim perintah pencarian ke berbagai himpunan
(repositories) lalu hasilnya dikumpulkan untuk disajikan ke pengguna.
Pada tahun 1984, protokol Z39.50 sudah dijadikan standar nasional di
Amerika
Serikat
dan
dipakai
Library
of
Congress
untuk
mengembangkan jasa yang tersebar. Untuk menjalankan metode ini
secara efektif, harus ada sistem yang bertindak sebagai klien dan
penyedia (server). Penyedia bertugas memperbarui terus kandungan
datanya dan memberi respon kepada setiap pencarian, sementara
klien menjadi perantara bagi pengguna-akhir untuk berhubungan ke
penyedia. Dalam perkembangannya, muncul pula teknologi perangkat
perantara
(middleware)
yang
memungkinkan
pengguna-akhir
mengontak berbagai penyedia secara langsung. Jelaslah bahwa di
metode berserikat ini peran protokol yang dapat menerjemahkan
bahasa pencarian untuk berbagai skema metadata maupun kandungan
isi yang berbeda, amatlah penting. Selain itu, jelas pula bahwa
teknologi untuk pihak penyedia maupun klien harus cukup tinggi agar
sistem informasi dapat berjalan terus secara cepat dan lancar.
2. Metode memanen merupakan jawaban bagi tuntutan teknologi yang
terlalu mahal jika menggunakan metode berserikat. Dengan metode
memanen, semua peserta jaringan menyediakan semacam jasa
bersama yang sederhana, dan masing-masing pihak tak perlu
membangun sistem yang sama canggihnya. Penggerak utama dari
metode ini adalah model OAI-PMH sebagaimana sudah diterangkan di
atas, yaitu setiap perpustakaan menyediakan metadata sederhana
untuk dipanen (diambil atau diimpor) oleh perpustakaan mitra kerja.
Perpustakaan pemanen kemudian dapat menyediakan jasa untuk
pengguna akhir mereka berdasarkan hasil panen tersebut. Sama
halnya dengan metode berserikat, metode memanen juga
mengandalkan protokol, namun untuk menghemat biaya digunakanlah
protokol sederhana berbasis HTTP, menggunakan perangkat lunak
yang juga sederhana dan tersedia secara gratis/terbuka bagi semua
pihak yang berminat 6.
3. Metode menghimpun merupakan metode yang paling sederhana
dengan memanfaatkan kemampuan mesin pencari berbasis web dan
mengandalkan data yang tersedia secara umum/publik di Internet.
Pihak penghimpun maupun pihak penyedia data publik tak perlu
terlibat dalam kerjasama formal. Tentu saja, tak ada jaminan tentang
6

Misalnya, interoperabilitas di antara pemakai CDS/ISIS diusulkan Jayakanth et al. (2006), menggunakan model
memanen. Untuk middleware-nya mereka mengusulkan CDSOAI yang berbasis OAI. .

kualitas informasi serta keajegan dalam ketersediaan data maupun


struktur informasinya. Inisiatif penghimpunan sepenuhnya ada pada
pihak yang memiliki kemampuan mengembangkan dan memelihara
mesin pencari web.
Metode apa yang akan dipilih di antara tiga metode tersebut oleh sebuah
perpustakaan atau sekelompok perpustakaan digital amat bergantung pada
ketersediaan sumberdaya (baik perangkat keras, lunak, maupun
sumberdaya manusia) di masing-masing pihak. Selain itu, sumberdaya di
sebuah perpustakaan juga akan menentukan tingkatan interoperabilitas
yang akhirnya dipilih. Sebagaimana dikatakan Chan dan Zeng (2006a,
2006b), ada tiga tingkatan interoperabilitas, yaitu tingkatan skema,
tingkatan rekod, dan tingkatan repository. Dalam tingkatan skema, fokusnya
adalah pada pengembangan elemen-elemen yang terbebas dari persyaratan
aplikasi, misalnya dengan mengutamakan pembuatan
crosswalks,
application profiles, dan registries. Di dalam tingkatan rekod, dilakukan
mapping terhadap semua rekod sebelum diintegrasikan. Di dalam tingkatan
repository, maka handalannya adalah teknik pengumpulan (aggregation)
berdasarkan metadata repository.
Pilihan-pilihan metode dan tingkatan interoperabilitas tersebut di satu sisi
memungkinkan fleksibilitas, namun di sisi lain menimbulkan kepusingan
tersendiri karena menciptakan berbagai sistem dan skema terisolasi, yang
pada akhirnya memerlukan lagi interoperabilitas di antara mereka (lihat,
misalnya, hasil kajian OCLC/RLG Working Group on Preservation Metadata,
2002). Pernah ada usul untuk mengadopsi uniform metadata framework
untuk menciptakan interoperabilitas maksimum. Secara idealnya, jika semua
komunitas pemilik data diwajibkan menggunakan standar dan pendekatan
interoperabilitas yang sama, maka pastilah akan terjamin konsistensi antar
metadata, seperti yang sudah tercapai di kalangan pustakawan selama 40
tahun lebih dalam bentuk MARC. Namun pada akhirnya perkembangan,
dinamika teknologi, dan variasi kebutuhan masyarakat dianggap terlalu
cepat untuk dihadapi dengan cara pandang dan sistem yang cenderung kaku
(rigid) serta memerlukan waktu lama untuk dimodifikasi. Menurut Blanchi
and Petrone (2001),
[F]or practical, technical, and political reasons, this approach is neither
realistic nor necessarily desirable. Indeed, if a single standard were
adopted, the resulting metadata would not be appropriate for
describing all types of data and in effect, would not be interoperable. A
one-size-fits-all standard would either not provide enough information
about the described data or the metadata would be overwhelmingly
difficult to generate, resulting in imprecise descriptions.7
7

Lihat http://www.dlib.org/dlib/december01/blanchi/12blanchi.html.

Akhirnya yang terjadi adalah kombinasi berbagai pendekatan yang


kemudian menimbulkan tantangan baru dalam interoperabilitas antar
sistem. Sebagaimana di Australia dan negara-negara yang sudah
berkembang lainnya, keadaan di Indonesia juga serupa. Persoalan
interoperabilitas yang semula terlihat teknis akhirnya meluas menjadi
persoalan organisasional dan antar-organisasi. Hal ini sebenarnya sudah
diantisipasi oleh teoritisi perpustakaan digital (Miller sudah sejak 11 tahun
yang lalu mengingatkan ada 6 persoalan interoperabilitas, dan
interoperabilitas
teknis
hanyalah
salah
satunya).
Kompleksitas
interoperabilitas ini terbukti memang merupakan bagian dari fenomena
penerapan teknologi informasi, khususnya jika sudah meningkat menjadi
komputasi berskala besar (large scale computing).
Interoperabilitas Organisasional dan Dimensi Kebijakan
Jika Miller (2000) menyatakan bahwa diperlukan interoperabilitas politik,
interoperabilitas
antar-komunitas, dan interoperabilitas legal, maka
Misuraca et. al. (2011) mengutip European Interoperability Framework (EIF)
dan UNDP e-Government Interoperability Study Group, menyimpulkan
perlunya interoperabilitas organisasional dengan kata-kata,
For an effective and far-reaching cooperation between two (or more)
organizations, organizational interoperability also needs to be
addressed. The latter means that the two (or more) cooperating
organizations are able to effectively perform a cooperative task,
exchanging information and services. Furthermore, this strand also
includes the progressive adoption of best practices, necessary to ease
an effective interoperability. Organizational interoperability is generally
supported by adopting an appropriate framework, such as ebXML,
TOGAF, or e-GIF.
Walaupun Misuraca et. al. berbicara dalam konteks e-government dan egovernance, pernyataan mereka amat relevan dikutip di sini karena dua
alasan. Pertama, seperti yang dikatakan di atas, upaya interoperabilitas
perpustakaan digital cenderung meluas menuju large scale computing
karena kemungkinan bertumbuhnya sistem-sistem yang menggunakan
skema berbeda dan karena potensi penetrasi Internet ke seluruh negeri. Di
Indonesia sudah terlihat ada kelompok perpustakaan digital publik
(melibatkan Perpustakaan Nasional dan semua jenis perpustakaan untuk
umum lainnya), kelompok perpustakaan digital perguruan tinggi, dan
perpustakaan digital swastaatau komunitas (sedikit banyaknya terlepas
dari inisiatif dua sebelumnya). Di antara ketiganya akan harus ada
interoperabilitas.
Kedua,
berkaitan
dengan
kenyataan
pertama,
pengembangan perpustakaan di Indonesia merupakan pengembangan

institusi publik8 yang mengandalkan fasilitas dan dukungan negara. Apalagi


untuk penerapan teknologi informasi yang cenderung mahal dan memiliki
kompleksitas tinggi, belum pernah ada inisiatif pengembangan perpustakaan
di
Indonesia
yang
sepenuhnya
terlepas
dari
campurtangan
negara/pemerintah.
Dengan dua alasan itu, adalah penting untuk memperhatikan pengaruh dari
apa yang disebut Misuraca et al sebagai value driver atau nilai penggerak.
Artinya, kita tak dapat memahami interoperabilitas hanya sebagai upaya
menyelaraskan teknik metadata dan pertukaran data, melainkan juga
sebagai bagian dari upaya mewujudkan nilai-nilai tertentu, sebagaimana
terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 1 Nilai Penggerak Tata Kelola
Nilai Penggerak

Kinerja

Keterbukaan

Inklusi

Dimensi
Kelola

Tata Dimensi Kualitas

Ekonomi
Efisiensi
Temporal
Prosedural
Kehandalan penyediaan
Efektivitas
jasa
Temporal
Akses ke
informasi
Kultural
Teknologi
Interoperabilitas Penggunaan data secara
bersama
Transparansi
Akuntabilitas
Partisipasi
Jasa untuk pihak yang
kurang
Aksesibilitas
Teknologi yang memadai
Kemudahan bagi pihak
tak mampu
Kesetaraan
Kemudahan
bagi
kelompok pinggiran
(diambil dari Misuraca et al, 2011, hal 107)

Menurut asumsi penulis, sebagai institusi yang tak punya orientasi profit maka semua perpustakaan di Indonesia
pada dasarnya adalah untuk kepentingan masyarakat umum, terlebih jika kita menyadari bahwa kepustakawanan
juga berprinsip equal access for all sebagai bagian dari motivasi untuk menerapkan interoperabilitas.

Jelas terlihat dalam tabel di atas, upaya interoperabilitas adalah bagian dari
keterbukaan yang juga tak terlepas dari aspek kinerja institusi publik dan
motivasi untuk menciptakan inklusi sosial (social inclusion). Dengan kata lain
pula, tak mungkin upaya interoperabilitas dilepaskan dari upaya
menciptakan efisiensi, efektivitas, keluasan akses, akuntabilitas, dan
kesetaraan. Setiap institusi publik, termasuk perpustakaan, idealnya
bergerak mengupayakan interoperabilitas sambil menyempurnakan aspekaspek lainnya. Ketika interoperabilitas dibiarkan terlepas dari aspek lain,
maka akan muncul persoalan organisasional dan antar-organisasional.
Itulah sebabnya, upaya interoperabilitas akhirnya perlu menyentuh dimensi
kebijakan (policy) organisasi. Sebagaimana dikatakan Innocenti et. al
(2010), kebijakan di sini dapat diartikan sebagai mekanisme politis,
manajemen, finansial, dan administratif yang dibentuk untuk memastikan
terciptanya hasil dan perilaku yang konsisten.
Dalam konteks
pengembangan perpustakaan digital, sebuah kebijakan dapat dilihat sebagai
sebuah
gambaran
kondisi,
pemahaman,
atau
pengaturan
yang
mengendalikan kegiatan atau operasional perpustakaan yang bersangkutan.
Kebijakan ini mudah terlihat dalam bentuk aturan-aturan, misalnya:
Aturan untuk komputerisasi yang dapat diterjemahkan oleh
teknolog dalam bentuk program/aplikasi.
Aturan untuk pengguna jasa yang seringkali berisi kesepakatan
tentang apa yang dapat disediakan dan tidak dapat disediakan oleh
perpustakaan serta bagaimana memanfaatkan jasa tersebut.
Aturan tentang koleksi yang tak hanya berkaitan dengan
pengembangan dan kualitasnya, tetapi juga keamanan dan sistem
kepercayaannya (trusted systems).
Upaya interoperabilitas tak mungkin dilepaskan dari kebijakan tentang aspek
lainnya dalam sebuah organisasi perpustakaan. Selain itu, Innocenti et. al
juga menekankan perlunya kebijakan khusus dalam hal interoperabilitas
(policy interoperability) antar-organisasi. Kebijakan ini merupakan business
level interoperability, berupa sebuah kerangka kerja yang memungkinkan
perbandingan secara transparan dalam hal nilai dan tujuan organisasiorganisasi yang akan saling bekerjasama. Jika ada pihak ketiga yang
diperkirakan akan terlibat dalam upaya interoperabilitas (misalnya pihak
pengembang, penyedia infrastruktur cloud computing, dan sebagainya),
maka harus ada pernyataan kebijakan tentang hal ini. Jelaslah bahwa
kebijakan ini merupakan kebijakan tingkat tinggi (high level policy) yang
perlu dibuat dan disepakati oleh semua pihak di awal upaya pengembangan
interoperabilitas. Di tingkat kebijakan ini pula perlu ada kejelasan dalam
beberapa sub-kebijakan penting, misalnya kebijakan dalam akses, akuisisi,
administrasi, kerjasama, preservasi, diseminasi, manajemen jaringan,

pemanfaatan Internet, sumberdaya manusia, keamanan, dan perlindungan


pribadi.
Jelas kiranya bahwa semakin besar jumlah pihak yang akan dilibatkan dalam
interoperabilitas, maka semakin rumit dan peliklah kesepakatan yang harus
dicapai. Dari sisi inilah akhirnya kita dapat melihat upaya interoperabilitas
dalam skala besar sebagai sebuah sistem sosio-teknis yang tidak hanya
berisi permasalahan teknis. Sebagai sistem yang demikian, maka ada
berbagai unsur non-teknis yang justru seringkali lebih berperan
menentukan berhasil-tidaknya sebuah large scale computing yang dilakukan
dalam konteks institusi publik. Dengan sangat baik, Soares dan Amaral
(2011) menggambarkan unsur-unsur tersebut berdasarkan pengalaman di
Portugal, sebagaimana terlihat di tabel berikut:
Tabel 2. Pendorong dan Penghalang Interoperabilitas
Faktor Pendorong
Sudah ada political will

Keterlibatan dan komitmen


berbagai badan pemerintah

Sudah ada kerangka kerja


interoperabilitas

Sudah ada jaminan


keamanan informasi
Sudah ada electronic
signature

Faktor Penghalang
Tidak ada tata kelola khusus tentang
interoperabilitas
Tidak ada standar nasional tentang
interoperabilitas
Tidak ada leaderships intra maupun
antar-badan
Tidak ada monitoring antar-badan
Tidak ada inisiatif pengendalian
antar-badan
Tidak ada dana khusus untuk
interoperabilitas
Kekurangan dalam sumber daya
manusia
Tidak
ada
koordinator
penanggungjawab antar-badan
Belum
ada
kerangka
arsitektur
enterprise
Domain untuk public administration
belum jelas
Pengalaman bersama dan salingpercaya belum ada
Siklus dana tidak teratur
Tidak ada transparansi dalam public
administration
Masih ada masalah semantik
Otoritas terbatas pada masing-

masing badan
Keraguan dalam otonomi dan otoritas
Portugal adalah anggota EU antar-badan
Konflik kepentingan antar-badan
Sikap anti-perubahan
Pertimbangan
untung-rugi
antarbadan
Ketidakpercayaan antar-badan
Kemitraan badan publikKecurigaan tentang privacy dan
swasta ada
proteksi data
Ketimpangan teknologi antar-badan
Kekuatiran kehilangan status quo
Persoalan
prinsip-prinsip
konstitusional
(diadaptasi dari Soares dan Amaral, 2011, hal. 84)
Temuan Soares dan Amaral memang tak sepenuhnya relevan, dan
kerumitan yang mereka temukan adalah dalam konteks interoperabilitas
antar badan pemerintahan antar negara-negara Eropa, sehingga jelas
sangat high level dan meluas. Namun kita dapat menggunakan kerangka di
atas sebagai acuan untuk memahami persoalan interoperabilitas
perpustakaan digital di Indonesia. Dalam lingkup nasional, semua unsur
pendorong dan penghalang di tabel di atas dapat kita periksa. Demikian
pula, untuk lingkup sektoral (publik, perguruan tinggi, swasta/inisiatif
masyarakat) semua unsur di atas dapat dijadikan rujukan. Sebuah kajian
yang mendalam dan menyeluruh terhadap upaya-upaya interoperabilitas di
Indonesia kiranya akan dapat mengungkap persoalan apa yang harus kita
hadapi dan bagaimana menemukan solusinya.
Rangkuman dan Kesimpulan
Dari seluruh paparan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa persoalan
interoperabilitas dalam pengembangan perpustakaan digital merupakan
persoalan sosio-teknis yang secara khusus memerlukan penanganan
teknologi maupun manajemen/organisasional. Berhasil-tidaknya upaya
pengembangan interoperabilitas dan perpustakaan digital di Indonesia amat
ditentukan oleh kemampuan kepustakawanan Indonesia memahami
interoperabilitas sebagai perkembangan teknologi informasi yang perlu
diadopsi sesuai keragaman dan variasi kepentingan perpustakaanperpustakaan itu sendiri yang notabene bertanggungjawab kepada
komunitas mereka masing-masing. Pilihan pendekatan interoperabilitas
harus disesuaikan dengan karakter domain (wilayah) informasi di mana
perpustakaan digital akan dikembangkan. Penulis melihat setidaknya ada
tiga wilayah yang memerlukan pendekatan berbeda, yaitu wilayah publik

(perpustakaan umum), wilayah akademik (perpustakaan perguruan tinggi),


dan wilayah swasta/inisiatif masyarakat. Masing-masing wilayah ini akan
menggunakan skema, metode, dan disain teknologi yang berbeda. Di tingkat
nasional, maka nanti akan diperlukan interoperabilitas antar wilayah pula
yang akan bercirikan large scale computing.
Dimensi kebijakan amat penting dikembangkan secara seksama di
Indonesia, dan fungsi insiator harus ada di setiap wilayah tersebut di atas,
selain juga di tingkat nasional. Kebijakan-kebijakan lokal (di setiap
perpustakaan), antar-organisasi (di masing-masing wilayah), dan nasional
(antar wilayah) perlu dibuat. Kebijakan yang dimaksud di sini adalah
kebijakan informasi (information policy). Menurut Rowland (1997) semua
kebijakan informasi diarahkan untuk tujuan politik, dan karena kebijakan ini
biasanya datang dari pemerintah, maka pembentukan, pelaksanaan dan
evaluasinya perlu terus dilakukan. Perlu juga kiranya diingat bahwa amatlah
sulit melepaskan kebijakan informasi dari keseluruhan konteks sosial dan
politik suatu masyarakat. Setidaknya ada tiga tingkatan hirarki kebijakan
informasi yang juga relevan untuk persoalan interoperabilitas, yaitu:
Kebijakan infrastruktural, seperti misalnya kebijakan tentang
sarana pendidikan yang berlaku secara meluas di sebuah
masyarakat, dan berpengaruh langsung atau tidak langsung
terhadap kebijakan informasi. Kebijakan infrasturktural ini
membentuk konteks sosial-ekonomi bagi kebijakan dan kegiatan
informasi.
Kebijakan informasi horisontal, yang mengandung aplikasi khusus
dan langsung berpengaruh pada sektor informasi, seperti kebijakan
yang mengharuskan penyediaan perpustakaan umum, pajak
terhadap buku, atau undang-undang proteksi data.
Kebijakan informasi vertikal, yang berlaku untuk sektor informasi
tertentu saja, misalnya pengaturan di kalangan komunitas
pengelola informasi geografis yang akan berbeda dari pengaturan
kalangan pengelola informasi kebudayaan.
Perlu kiranya dipahami, selain cenderung kompleks setiap kebijakan
informasi pada dasarnya juga memastikan sumberdaya yang harus
disediakan dalam pengembangan interoperabilitas. Jika negara/pemerintah
serius ingin mengembangkan interoperabilitas sebagai bagian dari strategi
nasional di bidang informasi, maka diperlukan alokasi anggaran yang jelas,
disertai manajemen pendanaan yang transparan, selain pengorganisasian
dan manajemen yang sistematik dengan kepemimpinan (leaderships) yang
terbuka. Tanpa ini semua, maka upaya interoperabilitas akan hanya
menyentuh tingkatan teknis, sebuah tingkatan yang amat mendasar tetapi
tak akan mampu menimbulkan manfaat akhir yang dituju, yaitu kemudahan
dan keleluasan bagi masyarakat pengguna.

Daftar Bacaan
Alipour-Hafezi, M., Horri, A., Shiri, A., dan Ghaebi, A. (2010),
Interoperability models in digital libraries: an overview dalam The
Electronic Library Vol. 28 No. 3, hal. 438-452.
Biddle, B., White, A., dan Woods, S. (2010), How many standards in a
laptop? (And other empirical questions) makalah konferensi ITU-T
Beyond The Internet? Innovations For Future Networks And Services
Pune, India, (http://itu-kaleidoscope.org/2010), diturunkan dari
http://ssrn.com/abstract=1619440 pada 11 September 2011.
Bishop, A. dan Star, S.L. (1996), Social informatics for digital library use
and infrastructure dalam Martha Williams (ed.), Annual Review of
Information Science and Technology 31, hal. 301401, Medford :
Information Today.
Blanchi, C., dan Petrone, J. (2001), Distributed interoperable metadata
registry
dalam
D-Lib
Magazine,
vol
7
no.
12.
http://www.dlib.org/dlib/december01/ blanchi/12blanchi.html
Borgman, C. (1997), Now that we have digital collections, why do we need
libraries? dalam Candy Schwartz dan Mark Rorvig (eds.), ASIS '97:
Proceedings of the 60th ASIS Annual Meeting, vol. 34. Medford :
Information Today.
Borgman, C. et al. (1996), Social Aspects of Digital Libraries, Final Report to
the National Science Foundation. Digital Libraries Initiative.
http://dli.grainger.uiuc.edu/national.htm.
Chan, L.M., dan Zeng, M. L. (2006a), Metadata interoperability and
standardization A study of methodology, Part I: Achieving
interoperability at the schema level. Dlib Magazine, vol 12 no 6
http://www.dlib.org/dlib/june06/chan/ 06chan.html.
Chan, L.M., dan Zeng, M.L. (2006b), Metadata interoperability and
standardization A study of methodology, Part II: Achieving
interoperability at the record and repository levels. D-Lib Magazine, vol
12 no 6 http://www.dlib.org/dlib/ june06/zeng/06zeng.html
Drabenstott, K.M. (1994), Analytical Review of the Library of the Future,
Washington, DC: Council Library Resources.
Griffin, S.M. (1999), Digital Libraries Initiative Phase 2: fiscal year 1999
Awards, D-Lib
Magazine (5),
78,
http://www.dlib.org/dlib/july99/07griffin.html.
Hider, P. (2004), Australian digital collections: metadata standards and
interoperability dalam Australian Academic & Research Libraries, vol.
35 no. 4, http://alia.org.au/publishing/aarl/35.4/full.text/hider.html.
diunduh pada 1 Agustus 2011.

Innocenti, P., Vullo, G., dan Ross, S. (2010), Towards a digital library policy
and quality interoperability framework: the DLrg Project dalam New
Review of Information Networking, no 15, hal. 2953
Jayakanth, F., Maly, K., Zubair, M. dan Aswath, L. (2006), A dynamic
approach to make CDS/ISIS databases interoperable over the Internet
using the OAI protocol dalam Program: electronic library and
information systems, Vol. 40 No. 3, hal. 277-285.
Miller, P. (2000), Interoperability: what is it and why should we want it?
dalam
Ariadne.
24.
tersedia
di:
http://www.ariadne.ac.uk/issue24/interoperability
Misuraca, G.,
Alfano, G., dan Viscusi, G. (2011),
Interoperability
challenges for ICT-enabled governance: towards a Pan-European
conceptual framework dalam Journal of Theoretical and Applied
Electronic Commerce Research vol. 6 , no. 1, hal. 95-111.
Mukaiyama, Hiroshi (1997). Technical Aspect of Next Generation Digital
Library Project dalam prosiding International Symposium on Digital
Library
1997,
Tokyo,
http://www.dl.ulis.ac.jp/ISDL97/proceedings/mukaiyama.html.
OCLC/RLG Working Group on Preservation Metadata (2002), Preservation
metadata and the OAIS information model: A metadata framework to
support
the
preservation
of
digital
objects.
(http://www.oclc.org/research/projects/pmwg/ pm_framework.pdf
Rowlands, I (1997), Understanding information policy : concepts,
frameworks and research tools dalam Understanding Information
Policy, ed. I. Rowlands, London : Bowker-Saur, hal. 27 45.
Soares, D. dan Amaral, L. (2011), Information Systems Interoperability in
Public Administration: Identifying the Major Acting Forces through a
Delphi Study dalam Journal of Theoretical and Applied Electronic
Commerce Research, vol 6 no. 1, hal. 61-94
United
Nations
Development
Programme
(2007),
e-Government
Interoperability: Overview, Bangkok : UNDP Regional Centre.

VIDEO SEMINAR

Penerapan IndoMARC Sebagai Format Standar Data


Bibliografis Dalam Pembangunan Katalog Induk
Nasional9
oleh: Dina Isyanti10
A. Latar Belakang
Katalog merupakan sarana temu kembali bahan perpustakaan atau
informasi yang tersedia dalam suatu koleksi. Katalog Perpusnas misalnya,
merupakan sarana temu kembali bahan perpustakaan yang tersedia dalam
koleksi Perpusnas, baik yang merupakan koleksi deposit maupun koleksi
yang bukan diperoleh melalui penerapan UU No. 4 Tahun 1990. Karena
setiap bahan perpustakaan yang ada dalam koleksi terwakili oleh sebuah
cantuman, selain sebagai sarana temu kembali informasi, katalog
perpustakaan juga memberikan gambaran lengkap mengenai koleksi sebuah
perpustakaan. Tanpa katalog, sebuah perpustakaan tidak dapat disebut
perpustakaan, melainkan hanya merupakan tempat penyimpanan buku.
Katalog induk, secara sederhana, merupakan gabungan cantuman katalog
milik dua atau lebih perpustakaan yang tujuan utama pembangunannya
adalah
untuk
mendukung
layanan
peminjaman
antarperpustakan
(interlibrary lending) dan berbagai bentuk pemanfaatan sumber daya secara
bersama (resource sharing) (Gourman, 2007: 2). Menurut Nadia Caidi,
tujuan pembangunan katalog induk adalah untuk menyediakan akses ke
koleksi bahan perpustakaan yang dimiliki perpustakaan, dan untuk
memastikan bahwa sumber daya yang tersedia tersebut dapat dengan
mudah ditemukan dan diketahui lokasinya oleh berbagai jenis pemustaka
(peneliti, pelajar, masyarakat umum, orang asing, dsb.) (Caidi, 2004: 123).
Dari kedua definisi di atas terlihat bahwa tujuan pembangunan katalog induk
adalah untuk mendukung pemanfaatan sumber daya secara bersama
antarperpustakaan.
Membangun katalog induk, baik secara manual maupun berbasis TIK,
tentunya melibatkan jejaring kerja sama antarperpustakaan. Salah satu
syarat beroperasinya sebuah jejaring kerja sama adalah adanya
9

Makalah disampaikan dalam Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia Ke-4, tanggal 8-10 November di 2011 di Hotel Mesra
Samarinda.
10
Kepala Bidang Kerja Sama Perpustakaan dan Otomasi Perpustakaan Nasional RI.

interoperabilitas antarsistem di masing-masing anggota jejaring. Menurut


Paskin, interoperabilitas adalah kemampuan lebih dari satu sistem yang
berdiri sendiri untuk saling bertukar informasi yang mempunyai arti dan
kemampuan sistem-sistem tersebut untuk mendorong sistem lainnya agar
melakukan tindakan dalam rangka pengoperasian sistem secara bersama
untuk kemaslahatan bersama (2010). Definisi lainnya, interoperabilitas
adalah kempuan untuk berkomunikasi, melaksanakan program, tukarmenukar data di antara berbagai unit fungsional dengan cara sedemikian
rupa sehingga pemakai data tidak atau nyaris tidak mengetahui keunikan
karakteristik masing-masing unit (ISO/IEC 2382 Information Technology
Vocabulary)
Khusus mengenai interoperabilitas semantik, dalam Wikipedia didefinisikan
sebagai berikut: di luar kemampuan dua atau lebih sistem komputer untuk
bertukar informasi, interoperabilitas semantik adalah kemampuan untuk
secara otomatis menginterpretasikan pertukaran informasi secara berarti
dan akurat agar memberikan hasil yang berguna sebagaimana didefinisikan
oleh pemakai (end user) kedua sistem. Agar interoperabilitas semantik
dapat tercapai, kedua pihak harus mengacu kepada model pertukaran
informasi yang sama. Konten dalam pertukaran informasi harus didefinisikan
dengan tegas tanpa ada yang menimbulkan keraguan: yang dikirim harus
sama dengan yang dimaksud.
Dalam kesempatan ini dipaparkan upaya Perpustakaan Nasional
memberlakukan sebuah skema standar data bibliografis atau katalog,
IndoMARC untuk memecahkan masalah interoperabilitas antarsistem
perpustakaan dengan skema data bibliografis yang bervariasi dalam rangka
pembangunan Katalog Induk Nasional. Paparan ini tidak menyajikan data
kuantitatif, karena yang ingin disampaikan oleh penulis adalah bahwa upaya
untuk mencapai salah satu aspek interoperabilitas harus dibarengi dengan
upaya untuk mencapai aspek interoperabilitas lainnya.
Hal lain yang ingin digambarkan penulis adalah bahwa skema katalog
IndoMARC belum banyak dikenal, apalagi dipahami, di kalangan pengelola
perpustakaan, pustakawan maupun tenaga teknis perpustakaan.

B. Katalog Induk Nasional


Katalog induk nasional merupakan katalog yang memuat data bibliografis
bahan
perpustakaan yang dimiliki atau menjadi koleksi seluruh
perpustakaan di sebuah negara. Dengan kata lain, katalog induk nasional
merupakan gabungan katalog semua perpustakaan yang ada di sebuah
negara. Katalog induk nasional dibangun untuk mendukung pemanfaatan
sumber daya secara bersama antarperpustakaan di sebuah negara.
Pembangunan katalog induk nasional merupakan tanggung jawab
perpustakaan nasional di negara yang bersangkutan.
Dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan
disebutkan bahwa: Perpustakaan Nasional RI adalah lembaga pemerintah
non departemen yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang
perpustakaan yang berfungsi sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan
rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian,
perpustakaan
pelestarian dan pusat jejaring perpustakaan, serta berkedudukan di ibu kota
Negara (Pasal 1 Ayat 5).
Dalam Pasal 21 Ayat 3 undang-undang yang sama disebutkan bahwa
Perpustakaan Nasional RI bertanggung jawab atas pengembangan koleksi
nasional yang memfasilitasi terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang
hayat; mengembangkan koleksi nasional untuk melestarikan hasil budaya
bangsa; melakukan promosi perpustakaan dan gemar membaca dalam
rangka mewujudkan masyarakat pembelajar sepanjang hayat;
dan
mengidentifikasi dan mengupayakan pengembalian naskah kuno di luar
negeri.

Berdasarkan
kedua ayat dalam Undang-Undang Perpustakaan di atas
terlihat bahwa Perpustakaan Nasional RI mempunyai sejumlah tugas yang
dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Pengembangan koleksi nasional
2. Pengelolaan kendali bibliografis
3. Penyediaan akses ke seluruh koleksi nasional.
Salah satu kegiatan yang wajib dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI
dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas tersebut adalah membangun

Katalog Induk Nasional (KIN), yaitu katalog yang memuat data bibliografis
bahan perpustakaan koleksi seluruh perpustakaan di Indonesia. Tujuannya
adalah untuk mendukung pemanfaatan sumber daya secara bersama
antarperpustakaan di Indonesia.
Dengan adanya KIN:

Tersedia sarana temu kembali informasi agar pemustaka dapat mencari


data bahan perpustakaan yang diperlukannya sekaligus mengetahui di
perpustakaan mana bahan perpustakaan tersebut berada.
Mendapatkan gambaran yang akurat mengenai berbagai aspek koleksi
nasional, yaitu seluruh bahan perpustakaan yang tersedia di semua
perpustakaan di Indonesia.
Membantu identifikasi bahan perpustakaan terbitan Indonesia atau
tentang Indonesia yang belum termuat dalam Bibliografi Nasional
Indonesia atau Biblioteka Indonesiana. Data tersebut dapat digunakan
sebagai acuan dalam mengupayakan kelengkapan koleksi Deposit
Nasional.
Menyediakan layanan salin katalog (copy cataloging) bagi perpustakaan
yang membutuhkan.

Sejak awal berdirinya, jauh sebelum UU No. 43 Tahun 2007 Tentang


Perpustakaan diterbitkan, Perpustakaan Nasional telah mulai melaksanakan
tugas membangun Katalog Induk Nasional untuk Indonesia. Pada mulanya
KIN diterbitkan secara berkala dalam bentuk tercetak untuk disebarluaskan
ke perpustakaan dan lembaga yang membutuhkan di dalam maupun di luar
negeri.
Format tercetak mempunyai banyak keterbatasan, di antaranya: sebelum
diterbitkan data yang diserahkan oleh perpustakaan-perpustakaan
memerlukan pengetikan, penyuntingan, pengaturan tata letak, dan
pencetakan. Jumlah entri data yang dimuat dalam setiap nomor juga
terbatas karena harus mempertimbangkan ketebalan terbitan, terutama
untuk edisi kumulatif. Dalam hal distribusi, perlu waktu yang cukup lama
untuk pengiriman ke perpustakaan/lembaga yang memerlukan. Para
pemustaka harus membuka-buka beberapa nomor terbitan KIN sebelum
menemukan data bahan perpustakaan yang diperlukan. Beberapa tahun
terakhir, Katalog Induk Nasional (KIN) dalam bentuk dokumen, bukan
pangkalan data, juga diterbitkan dalam media CD.

Karena dikelola secara manual, maka KIN yang diterbitkan dalam bentuk
tercetak tersebut sama sekali belum mencerminkan kondisi koleksi nasional.
Secara berkala Perpusnas mengumpulkan data tambahan koleksi dari
perpustakaan yang menjadi anggota jejaring KIN saja, yang umumnya
berlokasi di Jakarta, ditambah data koleksi bahan perpustakaan yang dimuat
dalam KID (Katalog Induk Daerah) yang diterbitkan oleh masing-masing
perpustakaan provinsi. Selain lingkupnya yang terbatas, penyusutan akibat
berbagai hal, seperti hilang atau penyiangan (weeding) tidak tercermin.

C. Dukungan Teknologi Informasi


Perkembangan teknologi informasi, khususnya teknologi pangkalan data
dan jejaring Internet, memberikan banyak kemudahan dalam pelaksanaan
tugas Perpusnas yang diamanatkan dalam undang-undang, baik UU No. 4
Tahun 1990 maupun UU No. 43 Tahun 2007. Teknologi pangkalan data
memungkinkan dibangunnya pangkalan data Katalog Induk Nasional yang
secara menerus mengalami pemutakhiran data.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembangunan katalog
induk, di antaranya:

Pertama, bahwa pengatalogan yang hasilnya akan disumbangkan kepada


katalog induk harus memenuhi standar nasional dan internasional.
Kedua, bahwa setiap perpustakaan yang berpartisipasi berkomitmen akan
melaksanakan pengatalogan sesuai
dengan tujuan, yaitu membuat
katalog baru (original cataloguing) untuk digunakan bersama dan
memanfaatkan cantuman
katalog yang sudah dibuat sesuai
kebutuhannya.
Ketiga, bahwa pengatalogan bukan hanya harus standar tetapi juga harus
dilakukan dengan memperhitungkan waktu (bersegera). Tak ada yang
dapat mengakses, baik di tempat maupun jarak jauh, sumber daya
informasi yang belum dikatalog.
Keempat, adanya keinginan yang kuat untuk berbagi pemanfaatan
(share) sumber daya lokal dengan pihak lain dan untuk memanfaatkan
sumber daya di tempat lain melalui silang layan
dan pengiriman
dokumen. Intinya, menyumbangkan sekaligus mengambil manfaat dari
sitem yang dibangun untuk pemanfaatan sumber daya secara bersama
tersebut.
Kelima, anggaran yang memadai untuk pengelolaan katalog induk dan
sistem pemanfatan sumber daya secara bersama (Gourman, 2007: 5)

Sejalan dengan itu, teknologi Internet memberikan banyak kemudahan


dalam pelaksanaan tugas Perpusnas, yaitu:
1. Koordinasi dengan para mitra akan dapat dilakukan secara lebih cepat
dengan menggunakan berbagai fasilitas komunikasi yang tersedia di
Internet.
2. KIN dapat disediakan dalam bentuk pangkalan data dapat, sehingga
penambahan dan pemutakhiran data dapat
dilakukan dengan lebih
cepat. Internet memungkinkan dilakukannya pengumpulan data secara
daring (online).
3. Pangkalan data KIN dapat memberikan gambaran mengenai berbagai
aspek koleksi nasional secara lebih mudah dan komprehensif.
4. Data terbitan Indonesia dalam KIN yang belum dimuat dalam pangkalan
data Bibliografi Nasional Indonesia dapat lebih mudah diidentifikasi dan
disalin.
5. Pemustaka dapat mengakses data dalam pangkalan data KIN dari mana
saja sepanjang tersedia akses ke Internet. Pemustaka juga tidak perlu
melakukan pencarian berkali-kali karena seluruh data tersimpan dalam
satu pangkalan data.
Dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas dalam tulisan ini, perlu
dicermati syarat pertama, yaitu yang menyangkut kualitas cantuman katalog
yang harus memenuhi standar nasional
maupun internasional.
Perpustakaan Nasional RI telah menyusun dan menerapkan skema/format
data bibliografis sebagai standar nasional yang memenuhi standar
internasional, yaitu IndoMARC.
D. IndoMARC
Machine Readable Cataloging (MARC) dikembangkan pertama kali oleh
Library of Congress, berupa format atau skema LC MARC yang dirancang
terutama untuk menentukan spesifikasi yang diperlukan untuk pertukaran
informasi bibliografis dan informasi lain yang terkait antara satu sistem
dengan sistem lain yang digunakan di perpustakaan di Amerika serikat. LC
MARC kemudian dikembangkan menjadi USMARC dan digunakan di seluruh
Amerika Serikat. Keberhasilan penerapan USMARC membuat negara lain
turut mengembangkan forrmat MARC sejenis bagi kepentingan nasionalnya
masing-masing.

IndoMARC merupakan format atau skema yang ditetapkan oleh


Perpustakaan Nasional untuk kepentingan pertukaran data bibliografis
antarsistem yang digunakan perpustakaan di Indonesia. IndoMARC awalnya
diadopsi dari USMARC. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi,
format MARC terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Untuk
mengikuti
perkembangan teknologi informasi, USMARC yang telah
mengalami berbagai penyempurnaan diubah menjadi MARC21 yang
ditetapkan sebagai standar internasional untuk format katalog terbacakan
mesin. Dengan adanya perubahan tersebut, dengan sendirinya diperlukan
juga penyempurnaan terhadap IndoMARC yang dikembangkan berdasarkan
USMARC. Untuk itu, dilaksanakanlah kegiatan revisi terhadap IndoMARC :
Format MARC Indonesia.
Ketika MARC disusun teknologi jejaring komputer yang sedemikan canggih,
seperti Internet, belum ada. MARC sangat erat kaitannya dengan peraturan
pengatalogan yang diterapkan di perpustakaan pada umumnya, AACR2.
Oleh karenanya, pembagian kelompok, ruas dan subruas dalam cantuman
MARC sangat berkaitan dengan pembagian bidang atau area dalam AACR2.
Setiap unsur data katalog dimasukkan ke dalam ruas dan subruas yang
telah ditentukan, dengan cara penulisan yang telah ditentukan. Setiap ruas
dan subruas diberi identitas berupa kode yang terdiri atas susunan angka
atau huruf yang terbacakan oleh mesin. Dengan demikian, semua program
aplikasi perpustakaan yang dikembangkan berdasarkan aturan MARC tidak
akan kesulitan membaca cantuman yang dihasilkan oleh program aplikasi
lain yang juga dikembangkan berdasarkan MARC karena mesin hanya
memindahkan ruas/subruas dari sistem yang satu ke dalam ruas/subruas
dengan identitas yang sama dalam sistem yang lain.
Dalam skema IndoMARC, cantuman bibliografis terdiri dari tiga bagian
utama, dengan urutan sebagai berikut: Label cantuman, Direktori, dan Ruas
tidak tetap.
1. Label cantuman (record label), juga disebut leader atau header, adalah
suatu ruas tetap yang terdiri dari 24 karakter numerik atau dalam bentuk
kode. Label cantuman terdapat pada awal cantuman dan memberikan
informai untuk pengolahan cantuman tersebut.
2. Direktori (directory), berfungsi sebagai daftar isi atau gambaran
tentang informasi yang dimuat dalam sebuah cantuman.
3. Ruas-ruas (fields), berisi data bibliografis karya yang dikatalog. Setiap
ruas akan diberi identitas berupa nomor tengara (tag) dan diakhiri
dengan tanda akhir ruas. Setiap ruas dapat terdiri atas satu atau lebih
subruas. Masing-masing subruas diberi identitas berupa kode huruf atau

angka. Pada ruas/subruas tertentu diisi dengan kode yang telah


ditetapkan, yang dimuat dalam 7 (tujuh) Daftar Kode IndoMARC.
Contoh cantuman IndoMARC
001 vtls004213060
003 JKPNPNA
005 20041012192400.0
008 960205s1995 jki b 001 ind p
020 $a9794162426
039 9$a200410121924$bVLOAD$y200407211600$zVLOAD
040 $aJKPNPNA
0411 $aind$heng
043 $aa-io--- 08204$a320.959 8$2[20]
090 $a320.509 598 Fei s
090 $a320.959 8 Fei s
1001 $aFeith, Herbert,$d193024510$aSoekarno - Militer dalam demokrasi terpimpin /$cHerbert Feith ; diterjemahkan
dari bahasa Inggris oleh Tim Pustaka Sinar Harapan
250 $aCet. 1
260 $aJakarta :$bPustaka Sinar Harapan,$c1995
300 $a188 hlm. ;$c20 cm.
500 $aIndeks
500 $aJudul asli : Dinamics of guided democracy
504 $aBibliografi : hlm. 175-178
650 7$aDemokrasi
650 7$aIdeologi politik$zIndonesia
651 7$aIndonesia$xPolitik dan pemerintahan$y1962-1965
659 $aDNP 659 $aDNR 7101 $aTim Pustaka Sinar Harapan

7400 $aDinamics of guided democracy


949 $AVIRTUAITEM$a320.509 598 Fei
s$D000010000$X0000$F0001$61951006091$z200407211600
949 $AVIRTUAITEM$a320.509 598 Fei s$D000010005$X0000$F0001$61971003355
990 $a1288/PN/96 [2] 990 $a3355/PN/97 [1] 990 $a4062/PN/96 [1]
990 $a6091/PN/95 [1] 999 $aVIRTUA00 900 01707 am a2200469 4500

Kualitas sebuah cantuman bibliografis yang dibuat dalam format IndoMARC


sangat dipengaruhi oleh konsistensi dalam penerapan AACR2 serta alat
kerja seperti berkas kendali (authority files), berbagai daftar tajuk, dan
skema klasifikasi yang digunakan.
Penetapan IndoMARC sebagai skema standar untuk data bibliografis atau
cantuman katalog bahan perpustakaan juga merupakan upaya untuk
mewujudkan interoperabilitas semantik antarsistem dalam rangka
pembangunan Katalog Induk Nasional di Indonesia.

E. Pembangunan Katalog Induk Nasional


Pembangunan Pangkalan Data Katalog Induk Nasional dilaksanakan
Perpusnas sebagai bagian dari pembangunan Perpustakaan Digital Nasional
Indonesia, yaitu jejaring kerja sama perpustakaan berskala nasional yang
beranggotakan berbagai jenis perpustakaan di Indonesia untuk menyediakan
sumber informasi dalam format digital, menyediakan akses digital ke
berbagai jenis koleksinya, dan menyelenggarakan layanan digital yang
dapat dimanfaatkan secara bersama dalam rangka memenuhi kebutuhan
pemustaka.
Pembangunan Katalog Induk Nasional tidak mungkin dapat dilaksanakan
oleh Perpusnas sendiri, tanpa bekerja sama dengan seluruh jenis
perpustakaan yang ada di Indonesia. Katalog Induk Nasional (KIN) yang
lengkap dan akurat
hanya dapat terwujud bila seluruh perpustakaan
bersedia berpartisipasi untuk memberikan atau menyediakan akses ke
katalog koleksinya. Oleh karenanya, pengembangan jejaring kemitraan
dengan seluruh jenis
perpustakaan di Indonesia sangat menentukan
keberhasilan dalam menghimpun data sangat menunjang kelengkapan

Katalog Induk Nasional. Sebagai perpustakaan pembina, Perpusnas wajib


menjadi fasilitator dalam pengembangan jejaring
kemitraan dan juga
melaksanakan fungsi sebagai pusat jejaring tersebut.
Dalam membangun katalog induk, yang perlu dilakukan adalah:

Menentukan model katalog induk yang akan diterapkan


Menyatakan standar cantuman dan konten lainnya yang akan digunakan
Menetapkan mekanisme untuk memastikan penggunaan standar yang
telah ditetapkan (Carlton, 2009)

E.1. Kondisi Awal Tahun 2008


Mitra potensial Perpustakaan Nasional dalam membangun Perpustakaan
Digital Nasional Indonesia adalah semua perpustakaan di Indonesia dan
berbagai forum dan komunitas perpustakaan yang telah membangun
jejaring
kerja sama tersendiri secara online, misalnya jejaring
perpustakaan perguruan tinggi. Akan tetapi perlu diingat bahwa terdapat
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebuah perpustakaan untuk
dapat turut serta dalam penyelenggaraan perpustakaan digital, yaitu:
a. memiliki bahan perpustakaan digital,
b. memiliki akses Internet,
c. memiliki situs web untuk menyelenggarakan layanan digital.
Ditinjau dari segi implementasi teknologi informasi dan komunikasi, kondisi
perpustakaan di Indonesia masih bervariasi.Di samping itu, walaupun semua
jenis perpustakaan di Indonesia merupakan mitra potensial dalam
pembangunan Perpustakaan Digital Nasional, perpustakaan umum
mempunyai kelebihan, karena jenis perpustakaan ini memiliki koleksi bahan
pustaka bernilai budaya khas daerah yang bersangkutan sebagai bagian dari
koleksi warisan budaya nasional (national heritage).
Kondisi perpustakaan umum kabupaten/kota yang jumlahnya ratusan
sendiri sangat bervariasi. Bahkan perpustakaan daerah/provinsi, yang
mempunyai tugas pembinaan pun kondisinya bervariasi dari yang sama
sekali masih beroperasi secara manual, yang sudah terotomasi, sampai
dengan yang sudah menyelenggarakan layanan digital.

Secara garis besar, perpustakaan daerah (dengan berbagai tingkat eselon


dan nomenklaturnya), dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok:
a. Belum mempunyai sistem berbasis komputer (belum terotomasi).
b. Sudah menggunakan
sistem perpustakaan yang tidak berbasis

IndoMARC. Program aplikasi yang digunakan juga bervariasi, yaitu:


menggunakan yang ada di pasaran dan mengembangkan sendiri.
c. Sudah menggunakan sistem yang tidak berbasis IndoMARC untuk
mengelola perpustakaan dan jejaring perpustakaan di provinsi yang
bersangkutan.
E.2. Strategi Pembangunan Katalog Induk Nasional
Berdasarkan kondisi yang ada, ditetapkan bahwa Perpusnas melaksanakan
strategi pembinaan secara hierarkis dan bertahap, yaitu dimulai dari
perpustakaan daerah di tingkat provinsi, dengan berbagai nama dan tingkat
eselonisasi, yang kondisinya juga sangat heterogen. Pembinaan
dilaksanakan, di antaranya, melalui pemberian bantuan pinjaman untuk
pengembangan infrastruktur dan pelatihan kepada 31 perpustakaan daerah,
Perpustakaan Proklamator Bung Karno, Perpustakaan Bung Hatta. Dengan
kata lain, Perpusnas membangun federasi dengan 35 mitra yang telah
ditetapkan. Program pembinaan ini merupakan salah satu kegiatan yang
sudah ditetapkan dalam Grand Design Perpustakaan Digital Nasional
Indonesia tahun 2010-2014.
Melalui program pembinaan ini diharapkan perpustakaan daerah di semua
provinsi segera dapat segera membangun koleksi digital dan sumber
informasi digital lainnya serta menyediakan akses untuk berbagai (sharing)
dengan perpustakaan lainnya. Perpustakaan daerah di semua provinsi juga
diharapkan mampu membangun jejaring perpustakaan di wilayahnya
sebagai bagian dari jejaring Perpustakaan Digital Nasional Indonesia. Salah
satu sasaran utamanya ialah terbangunnya pangkalan data Katalog Induk
Daerah (KID). Secara berkala,
mesin di Perpusnas akan memanen
(harvesting) cantuman bibliografis dalam pangkalan data Katalog Induk
Daerak (KID) dan pangkalan data Katalog Perpusnas dalam rangka
pembangunan pangkalan data Katalog Induk Nasional.

Sehubungan dengan strategi tersebut, sejak tahun anggaran 2008 sampai


2011 kepada 35 perpustakaan mitra di atas secara bertahap diberikan
bantuan:
a. Pembangunan infrastruktur berbasis TIK:
1) Jejaring komputer lokal (LAN), (semua mitra pada tahun 2008).
2) Program aplikasi perpustakaan berbasis IndoMARC untuk mengelola

koleksi perpustakaan setempat dan untuk membangun pangkalan data


Katalog Induk Daerah dan Bibliografi Daerah pada server yang telah
disediakan (semua mitra pada tahun 2008)
3) Pembangunan/pengembangan situs web/portal perpustakaan digital
daerah
4) Akses Internet yang merupakan bagian dari jejaring intranet (closed
network) yang menghubungkan 35 perpustakaan mitra dan
Perpustakaan Nasional, sejak tahun 2009 dan direncanakan sampai
dengan 2014.

b. Pengembangan SDM pengelola perpustakaan


1) Sosialisasi konsep perpustakaan digital

kepada para pengambil


keputusan di perpustakaan mitra (kepala dan pejabat struktural
lainnya), tahun 2008, 2009, 2010.
2) Melaksanakan diklat-diklat dan bimbingan teknis tentang materi yang
diperlukan untuk pengelolaan perpustakaan berbasis TIK, 2009, 2010,
2011.

3) Melaksanakan workshop pengelolaan perpustakaan berbasis TIK bagi

para pengelola implementasi TIK di perpustakaan mitra, tahun 2008,


2009, 2010.

E.3. Kondisi Pada Pertengahan Tahun Anggaran 2011


Perkembangan yang terjadi pada 35 perpustakaan mitra dicapai setelah
dilaksanakan pembinaan sejak tahun anggaran 2008 cukup bervariasi.

a. Perkembangan

pada perpustakaan yang semula belum mempunyai


sistem komputer dapat dikelompokkan ke dalam 3 jenis.
1) Yang pertama, memulai program otomasi perpustakaannya dengan
mengoperasikan bantuan yang diberikan sebagaimana mestinya. Pada
kasus ini umumnya dukungan pimpinan kuat, sehingga pengoperasian
sistem secara terintegrasi menjadi tanggung jawab seluruh unit kerja
yang ada. Keinginan untuk berpartisipasi dalam pembangunan KIN
cukup besar. Hambatan pada umumnya pada masalah finansial. Pada
kasus ini, kontribusi data bibliografis dari perpustakaan tersebut
kepada
Katalog Induk Nasional cukup signifikan, sesuai dengan
pertumbuhan data di perpustakaan tersebut.
2) Kelompok kedua, perpustakaan yang tidak segera memanfaatkan

bantuan yang diberikan. Pada kasus ini penyebabnya namun pada


umumnya sifatnya non teknis, seperti kurangnya perhatian pimpinan
terhadap upaya otomasi perpustakaan, konflik internal, kondisi sosial
masyarakat di lingkunganya, dsb. Pada kasus ini, tidak didapatkan
kontribusi data bibliografis dari perpustakaan tersebut kepada Katalog
Induk Nasional.
3) Kelompok

ketiga, perpustakaan memanfaatkan bantuan yang


diberikan namun perkembangannya sangat lamban. Pada kasus ini
umumnya tanggung jawab keberoperasian sistem dibebankan pada
seorang atau sekelompok pengelola (teknis) yang tidak berani punya
akses ke unit kerja lain atau tidak punya otoritas untuk meminta
staf/unit kerja melakukan tugas berkaitan dengan pengoperasian
sistem. Orang atau kelompok tersebut berjalan sendiri dalam upaya
pengoperasian program. Pada kasus ini, kontribusi data bibliografis
dari perpustakaan tersebut kepada Katalog Induk Nasional sangat
tidak signifikan, sesuai dengan lambannya pertumbuhan data di
perpustakaan tersebut.

b. Perkembangan pada perpustakaan yang semula menggunakan sistem

yang dikembangkan sendiri yang


dikelompokkan ke dalam 3 jenis.

tidak

berbasis

IndoMARC

dapat

1) Yang pertama, sebagian besar bersedia beralih ke program aplikasi

berbasis IndoMARC. Pada umumnya karena program aplikasi yang


dikembangkan sendiri mengalami masalah. Pengembang tidak
memprediksi bahwa perpustakaan mengelola informasi dengan volume
yang relatif besar dan tidak sederhana dan melibatkan berbagai
transaksi yang tidak sederhana pula. Perlakuan terhadap kasus
semacam ini adalah: data yang sudah ada dimigrasikan ke dalam
pangkalan data berbasis IndoMARC. Pemasukan data selanjutnya
sepenuhnya beralih ke pangkalan data baru. Pada kasus ini, peralihan
ke sistem umumnya berjalan agak lambat karena diperlukan berbagai
penyesuaian, namun kontribusi data bibliografis dari perpustakaan
tersebut kepada Katalog Induk Nasional selanjutnya cukup signifikan,
sesuai peryumbuhan data di perpustakaan tersebut.
2) Kedua, perpustakaan yang tidak bersedia beralih ke program aplikasi

berbasis IndoMARC. Beberapa pertimbangan yang disampaikan, di


antaranya: perpustakaan sudah terlanjur menanam investasi dalam
jumlah yang cukup signifikan, sehingga akan menimbulkan masalah
bila beralih ke program aplikasi lain begitu saja; skema data
bibliografis pada program aplikasi sangat sederhana, sehingga beralih
ke program aplikasi dengan skema data IndoMARC dipandang
merepotkan; pengambil keputusan memiliki kepentingan terhadap
keterpakaian program aplikasi yang digunakan tersebut. Pada kasus
ini Perpusnas akan membuatkan crosswalk untuk mengalihkan
(migrasi) data di perpustakaan mitra tersebut ke dalam pangkalan
data KID berbasis IndoMARC dalam server yang telah disediakan.
Perpustakaan mitra diminta secara berkala menyetorkan datanya ke
dalam pangkalan data KID agar dapat dipanen secara otomatis ke
dalam pangkalan data KIN. Karena skema datanya sederhana dan
unsur data yang dideskripsikan kurang memberikan informasi tentang
bahan perpustakaan yang dideskripsikan, maka kualitas data yang
dikontribusikan kepada KIN sangat tidak memadai dan tidak
memenuhi standar, terutama untuk keperluan layanan salin katalog.
3) Yang ketiga, perpustakaan tidak segera mengambil keputusan apakah

akan beralih ke program aplikasi baru yang berbasis IndoMARC. Pada


kasus ini umumnya tanggung jawab keberoperasian sistem

dibebankan pada pengelola (teknis) yang tidak berani mengambil


risiko untuk memutuskan beralih ke program aplikasi baru, sementara
dukungan dalam bentuk kebijakan pimpinan tidak ada. Pada kasus ini,
tidak didapatkan kontribusi data bibliografis dari perpustakaan
tersebut kepada Katalog Induk Nasional.
c. Perkembangan pada perpustakaan yang semula menggunakan sistem

yang ada di pasaran yang tidak atau tidak sepenuhnya berbasis


IndoMARC.
1) Yang

pertama, bersedia beralih ke program aplikasi berbasis


IndoMARC
dengan
pertimbangan,
di
antaranya:
setelah
membandingkan skema data dan fitur kedua program aplikasi,
pengelola tertarik untuk beralih ke program aplikasi berbasis
IndoMARC;
menyadari
pentingnya
sharing
informasi
untuk
kepentingan bersama. Pada kasus ini, peralihan ke sistem umumnya
berjalan agak lambat karena diperlukan berbagai penyesuain, namun
kontribusi data bibliografis dari perpustakaan tersebut kepada Katalog
Induk Nasional selanjutnya cukup signifikan, sesuai data di
perpustakaan tersebut.

2) Kedua, perpustakaan yang tidak bersedia beralih ke program aplikasi

berbasis IndoMARC. Beberapa pertimbangan yang disampaikan, di


antaranya: perpustakaan sudah terlanjur menanam investasi dalam
jumlah yang cukup signifikan, sehingga akan menimbulkan masalah
bila beralih ke program aplikasi lain begitu saja; perpustakaan sudah
memulai
pembangunan
jejaring
kerja
sama
berbasis
TIK
antarperpustakaan di provinsi tempatnya berada menggunakan
program aplikasi yang sama dengan yang dioperasikan di
perpustakaan daerah sebagai fasilitatornya. Pada kasus ini Perpusnas
akan membuatkan crosswalk untuk mengalihkan (migrasi) data di
perpustakaan mitra tersebut ke dalam pangkalan data KID berbasis
IndoMARC dalam server yang telah disediakan. Perpustakaan mitra
diminta secara berkala menyetorkan datanya ke dalam pangkalan
data KID agar dapat dipanen secara otomatis ke dalam pangkalan data
KIN. Kualitas data yang dikontribusikan kepada KIN berbeda pada
masing-masing kasus, tergantung skema data bibliografis yang
digunakan pada program aplikasinya. Cantuman yang aslinya dibuat
menggunakan skema data yang sederhana, muatan informasinya
tentu tidak selengkap yang memang dibuat berdasarkan IndoMARC,

sehingga ketika dimigrasikan ke pangkalan data KIN akan terlihat


banyak ruas/subruas yang tidak terisi.
3) Terdapat kasus khusus menyangkut perpustakaan mitra yang yang

semula menggunakan sistem yang ada di pasaran yang tidak berrbasis


IndoMARC. Perpustakaan mitra tersebut sekaligus berperan sebagai
fasilitator jejaring kerja sama berbasis TIK antarperpustakaan di
provinsi tempatnya berada, namun program aplikasi yang digunakan
pada masing-masing perpustakaan bervariasi. Untuk pengoperasian di
perpustakaannya sendiri, perpustakaan mitra tersebut beralih ke
program aplikasi berbasis IndoMARC, namun perpustakaan lain di
provinsi tersebut tetap menggunakan program aplikasi masingmasing. Pada kasus ini, Perpusnas membuatkan crosswalk untuk
mengalihkan (migrasi) data di pangkalan data KID setempat ke
pangkalan data berbasis IndoMARC pada server yang disediakan
Perpusnas. Data katalog perpustakaan mitra sendiri juga disetorkan
ke pangkalan data tersebut. Dari server inilah Perpusnas memanen
data untuk KIN. Kualitas data yang diperoleh sangat bervariasi,
sehingga kurang mendukung penyelenggaraan layanan salin katalog.
Sistem perpustakaan yang menggunakan program aplikasi dengan skema
yang berbeda tentunya tidak dapat dengan mudah memanfaatkan layanan
salin katalog karena struktur datanya yang berbeda.
F. Penutup
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa membangun interoperabilitas
antarsistem di perpustakaan tidaklah mudah. Interoperabilitas teknis relatif
lebih mudah dicapai selama anggaran yang tersedia memadai. Upaya
membangun interoperabilitas semantik dipengaruhi oleh aspek-aspek yang
sangat bervariasi, yang umumnya bersifat non-teknis, mulai masalah
komitmen, kebijakan dalam bentuk aturan, kondisi sosial budaya, masalah
personal, dsb.
Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan interoperbilitas, Perpusnas
menetapkan penggunaan skema IndoMARC untuk pengatalogan atau
pembuatan data bibliografis. Walaupun skema ini sudah mulai digunakan
dan di sosialisasikan sejak tahun 1992, namun di Indonesia belum ada
program aplikasi di luar yang dikembangkan Perpusnas yang dikembangkan
sepenuhnya berbasis IndoMARC. Salah satu kemungkinan adalah karena
pengembang tidak mengetahui tentang adanya format atau skema standar

tersebut, namun terdapat juga kemungkinan bahwa pengembang malas


untuk bersusah-payah mengikuti aturan IndoMARC yang dianggap rumit.
Sebagai jalan pintas dalam memecahkan masalah standarisasi data
bibliografis ini Perpusnas bahkan memberikan bantuan program aplikasi
berbasis IndoMARC yang siap pakai kepada perpustakan mitra yang telah
ditetapkan dalam rangka pembangunan Perpustakaan digital Nasional
Indonesia, dengan harapan masing-masing perpustakaan provinsi yang
merupakan perpustakaan mitra dapat menjadi fasilitator pengembangan
jejaring perpustakaan digital di wilayahnya. Namun pemberian bantuan
tersebut ternyata tidak selalu dapat dengan mudah memecahkan masalah
dalam pembangunan Katalog Induk Nasional.
Pemahaman tentang IndoMARC di lingkungan pustakawan dan tenaga teknis
perpustakaan juga sangat kurang. Bahkan lulusan pendidikan formal ilmu
perpustakaan juga banyak yang tidak mengetahui tentang, apalagi,
memahami
IndoMARC.
Mungkin
sosialisasi
yang
dilakukan
oleh
Perpustakaan Nasional kurang gencar, namun pengenalan masalah standar
metadata melalui pendidikan formal tampaknya juga harus dimulai atau
ditingkatkan bila sudah ada.

Daftar Pustaka

Caidi, Nadia. 2004. Beyond Technology: Power and Culture in the


Establishment of National Union Catalogs in Union Catalogs at the
Crossroad, Hamburg : Hamburg University Press.
Gorman, Michael. 2007. Union catalogues: their role in library
networking and their continued relevance in a digital age. Paper
presented at the Libraries: Networking for National Development
Conference, [Kingston, Jamaica]: November 22 23.
National Information Standards Organization. 2004. Understanding
metadata, Bethesda: NISO Press.

Paskin, Norman. [2010]. DPE Briefing paper "Persistent Identifiers for


Cultural Heritage,
http://www.digitalpreservationeurope.eu/publications/briefs/persistent
_identifiers.pdf
Perpustakaan Nasional. 2010. Grand Design Perpustakaan Digital
Nasional Indonesia tahun 2010-2014.
Perpustakaan Nasional. 2005. INDOMARC - Format Marc Indonesia.
Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Samuels, Carlton. 2009. The National Union Catalogue: Facilitating
Access Through The Use Of Technological Tools National Union
Catalogue, Presented in National Union Catalogue Seminar,
[Kingston], April 21.
Union Catalogs At The Crossroad, edited By Andrew Lass and Richard E.
Quandt. 2004. Hamburg: Hamburg University Press.

Penggunaan Controlled Vocabularies untuk


memastikan Interoperabilitas
dengan Perpustakaan Seluruh Dunia dan Memenuhi
Kebutuhan Pengguna di Indonesia
oleh Tanya R. Torres, MLS/MPP
Abstrak:
Yayasan Lontar sedang membuat sebuah perpustakaan digital yang nantinya
akan berbagi informasi dengan perpustakaan-perpustakaan di seluruh dunia.
Perpustakaan Digital Lontar telah mengadopsi (yang dalam beberapa hal,
disesuaikan) dengan standar internasional untuk berbagai controlled
vocabularies, seperti:
-

Nama orang, perusahaan, dan nama geografis dari Library of Congress


Names Authority File (LCNAF); serta

Tajuk utama dari Library of Congress Subject Headings (LCSH)

Menggunakan
ontology
dan
controlled
vocabularies
akan
memungkinkan Perpustakaan Digital Lontar untuk harvest dan menyimpan data
dengan situs-situs berbasis internet, seperti Open Library dan Freebase, serta
menukar metadata menggunakan OAI-PMH dengan perpustakaan perguruan
tinggi seperti anggota Indonesia Digital Library Networks dan Southeast Asian
Digital Library (SEDAL) di Northern Illinois University di Amerika.
Sebagai bagian dari pekerjaan ini, Lontar telah mengambil sebuah subset dari
Library of Congress Subject Headings (LCSH) dan membuat paralel controlled
vocabulary dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan subjek dari
Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) dan Pusat Bahasa. Sistem ini akan
memudahkan pustakawan untuk mengkatalog tajuk utama (subject headings),
baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, berdasarkan standar
internasional, dan menjaga interoperabilitas dengan perpustakaan di seluruh
dunia.

Makalah ini akan menggambarkan beberapa aspek dari Lontar Digital Library (LDL)
yang sedang dikembangkan dengan bantuan dari Knowledge Management Resource
Group (KMRG) Institut Teknologi Bandung (ITB), yang mengembangkan perangkat
lunak open-source Ganesha Digital Library (GDL) dan menjadi dasar dari Indonesia
Digital Library Network (IndonesiaDLN). KMRG dan Yayasan Lontar bekerjasama untuk
menciptakan versi terbaru GDL (5.0), yang mengutamakan teknologi Linked Data, copy
cataloging menggunakan protokol Z39.50, pengaturan controlled vocabularies, dan
perangkat tambahan pemutar audio/video dan tampilan gambar.

Teknologi web semantik dan Linked Data memungkinkan perpustakaan kecil seperti
LDL untuk harvest dan mencantumkan data menggunakan teknologi Linked Data ke
berbagai website dan perpustakaan lainnya di seluruh dunia, sehingga orang dan
komputer bisa menemukan dan akses metadata perpustakaan kami. Perkembangan
terakhir oleh Library of Congress (McCallum, 2011), telah memungkinkan kita untuk
memanfaatkan struktur web semantik dan ontologi dan controlled vocabularies
tradisional seperti Library of Congress Subject Headings (LCSH) dan Names Authority
Files (LCNAF) untuk terhubung dengan Web Semantik dan memungkinkan
mengekspos data kita jauh lebih luas daripada sebelumnya.
Menurut World Wide Web Consortium (W3C), Web Semantik (juga dikenal sebagai
Web 3.0) adalah sebuah web data yang menggunakan kerangka umum yang
memungkinkan berbagi data dan digunakan kembali antara domain dan diproses
secara otomatis (oleh komputer) maupun manusia (Herman, 2009). Web Semantik
menggunakan Resource Description Framework (RDF) berarti struktur data dalam Web
dan RDF memggunakan web identifiers atau Uniform Resource Identifiers (URIs) dan
hal-hal sederhana lainnya untuk mengidentifikasikan hal-hal dalam WWW (RDF
Primer, n.d.) Model data ini berdasarkan gagasan pembuatan pernyataan subjekpredikat-objek tentang sumber-sumber (disebut triples). Contoh: Jika menyebut
Sapardi Djoko Damono Menulis Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari, dalam triple
RDF akan menjadi: Sapardi Djoko Damono menunjukkan subjek, ditulis oleh
menunjukkan predikat, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari menunjukkan objek.
Struktur yang mudah ini memungkinkan komputer atau mesin bisa memahami data dan
hubungan antara data seperti tergambar dalam Diagaram 1.
Diagram 1: Graphic Representation of an RDF Triple
Berjalan ke Barat di
Waktu Pagi Hari
Menulis

Sapardi Djoko
Damono

Hubungan yang lebih rumit dapat digambarkan dengan mengunakan tambahan triples,
seperti:
Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari diterjemahkan oleh John H. McGlynn
Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari diterjemahkan menjadi Walking Westward
in the Morning
Walking Westward in the Morning diterbitkan oleh Yayasan Lontar, dll.

Web semantik menggunakan teknologi penghubung disebut Linked Data yang


didefinisikan oleh tim peneliti di Freie Unibersitat Berlin sebagai berikut: Web data
dibangun atas dasar dua ide sederhana: Pertama, untuk menggunakan model data
RDF untuk mempublikasikan data terstruktur dalam web. Kedua, untuk (menggunakan
http URIs) untuk mengatur secara tegas RDF link antara data dalam sumber data yang
berbeda. (Isele, Jentzsch, Bizer, & Volz, 2011) Dengan menggunakan URIs untuk
menggambarkan subjek-predikat-objek dalam diagram di bawah, memungkinkan untuk
mengacu pada web identifiers untuk masing-masing elemen seperti terlihat dalam
Diagram 2. Dengan menggunakan URIs daripada memadukan teks untuk setiap
element dalam triple subjek-predikat-objek memungkinkan komputer untuk mencari
istilah yang sama dengan lintas bahasa dan negara yang berbeda.
Diagram 2: Graphic Representation of an External RDF Triple using URIs
Berjalan ke Barat di
DBPedia: http://dbpedia.org/page/Berjalan_ke_Barat_di_Waktu_Pagi_Hari
Waktu Pagi Hari
Dublin Core: http://purl.org/dc/elements/1.1/creator
Wrote

Sapardi Djoko
LCNAF: http://id.loc.gov/authorities/names/n50055906
Damono

Seperti terlihat dalam Diagram 3, Linked Data bergantung pada berbagi vocabulary dan
dapat diambil dan ditautkan dengan vocabulary yang lain (Heath & Bizer, 2011).
Dengan menautkan ke URI Sapardi Djoko Damono (Authorities & Vocabularies
(Library of Congress): Damono, Sapardi Djoko, 1940-, n.d.) dari Library of Congress
Names Authority, tautan sudah tersedia bisa ditemukan dalam sumber data yang
berbeda:
nama penulis dalam variasi yang berbeda,
the Library of Congress Classification untuk nama ini; dan,
Identifier web (URI) dari Virtual International Authority File (VIAF), yang
memungkinkan Anda untuk mengakses catatan dari lebih 16 authority files dari
13 perpustakaan nasional (Hickey, 2009) dan akses data tentang orang tersebut,
seperti:
o Seleksi penulis tambahan
o Negara-negara publikasi
o Statistik publikasi
o Penerbit terpilih
o Eksternal link ke Wikipedia dan Worldcat, dan
o Tampilam record dalam MARC-21, UNIMARC and RDF formats.

Diagram 3: Halaman LOC Name Authority File untuk Sapardi Djoko Damono

LDL akan menggunakan LCNAF sebagai controlled vocabulary untuk nama orang dan
organisasi dalam upaya untuk menyediakan authority control dan interoperabilitas
ketika copy katalog dari database bibliografi, seperti Australian National Bibliographic
Database (ANDB). Tahun 2011, Perpustakaan Lontar menjadi perpustakaan pertama di
Indonesia yang berpartisipasi dalam Perpustakaan Australia (About us | Libraries
Australia, 2011), sebuah layanan berlangganan yang menyediakan akses ke Australian
National Bibliographic Database (AND) dengan protokol Z39.50. LDL akan memiliki
kemampuan untuk akses bebas/terbuka database bibliografy serta langganan database
untuk copy katalog. Copy katalog dari database bibliografi perpustakaan nasional akan
memungkinkan LDL untuk mengikutiti standar internasional seperti LCNAF untuk nama
orang dan organisasi, LCSH untuk tajuk utama, dan LCC dan DDC untuk klasifikasi.
Kami juga akan meng-harvest informasi biografi penulis dan pencipta lainnya dari
DBpedia, untuk digunakan kembali dalam perpustakaan digital kami. DBpedia
mengambil informasi terstruktur dari Wikipedia, dikonvert ke RDF dan bisa digunakan
dalam Web ((wiki.dbpedia.org: About, 2011). Untuk LDL, kita bisa menggunakan

DBpedia URI Lookup Service untuk membuat urutan harvesting sederhana, sebagai
contoh:
http://lookup.dbpedia.org/api/search.asmx/KeywordSearch?QueryClass=Thing&QueryS
tring=Sapardi_Djoko_Damono
Dalam contoh ini, thing menunjukkan class dari query, dan string query adalah
Sapardi_Djoko Damono. Class bisa beberapa class dari Dbpedia ontology (All pages
(OntologyClass namespace) - DBpedia Mappings, 2011). Hasilnya akan terlihat seperti
ini:

Kita bisa menggunakan hasil permintaan untuk ekstrak informasi mengenai penulis
untuk LDL. Dalam tambahan untuk DBpedia Lookup Service, kita juga bisa
menggunakan SPARQL Protocol dan pengembang query RDF Query Language
(SPARQL) dan antarmuka untuk mengambil data dari DBpedia. (wiki.dbpedia.org:
Applications, 2011). Kami berencana untuk mencantumkan paragraph pertama dari
setiap biografi penulis/pencipta dan mencantumkan tautan URL ke biografi lengkap
dalam Wikipedia (lihat Diagram 4) baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris dalam
LDL (lihat Diagram 5).

Diagram 4: Wikipedia bahasa Indonesia untuk Sapardi Djoko Damono


(Sapardi Djoko Damono - Wikipedia, the free encyclopedia, 2011)
(Sapardi Djoko Damono - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, 2011)

Kami juga bekerjasama dengan Wikipedia/Indonesia untuk memperkaya data yang


sudah ada dan membuat data baru untuk penulis, pencipta dan penerbit Indonesia
dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
LDL juga akan menggunakan LCSH dalam usaha meningkatkan dan menjaga
interoperabilitas dengan metadata perpustakaan mitra kami. Saat ini, LDL saling
bertukar metadata dengan Southeast Asian Digital Library (SEADL) di Northern Illinois
University (NIU) di Amerika dengan cara manual, tapi mereka merencanakan awal
tahun depan untuk memulai harvesting data LDL lewat OAI-MPH.
Dengan menggunakan LCSH untuk LDL, kami memutuskan untuk mengembangkan
sebuah controlled voabulary paralel untuk tajuk utama dengan menggunaan LCSH
untuk tajuk utama dalam bahasa Inggris dan menggunakan kombinasi tajuk utama dari
Perpustakaan Nasional Undonesia dan Pusat Bahasa untuk tajuk utama dalam bahasa
Indonesia. Memiliki controlled vocabulary paralel dalam bahasa Inggris dan Indonesia
memungkinkan kami untuk melakukan cataloging dan copy-cataloging baik dalam
bahasa Indonesia atau Inggris, dan tajuk subjek yang sama tercermin dalam dua
bahasa tersebut.

Saat ini, the Library of Congress mengurus lebih dari 330,000 tajuk utama (Library of
Congress Subject Headings, 2011). Dalam upaya untuk menciptakan tajuk utama yang
spesifik sesuai dengan koleksi kami, digunakan ISBN dari setiap sumber dari koleksi
yang ada untuk membuat sebuah daftar. Kemudian kami menggunakan daftar ISBN
untuk unduh semua daftar sesuai dengan tajuk utama LCSH dari Australian National
Bibliographic Database (ANBD) melalui Libraries Australia (layanan berlanggan)
menggunakan protokol Z39.50. Hal ini memungkinkan kami untuk membuat sebuah
daftar LCSH sesuai dengan koleksi yang ada di Lontar. Kemudian kami menggunakan
daftar LCSH dalam bahasa Inggris untuk mengembangkan daftar paralel dari tajuk
utama dalam bahasa Indonesia menggunakan tajuk utama dari Perpustakaan Nasional
Indonesia dan Pusat Bahasa. Hasilnya, dalam daftar berisi hampir 300 tajuk utama
dalam dua bahasa, dan kami berharap daftar itu akan terus bertambah sesuai dengan
pertambahan isi dalam LDL. Kami berencana untuk menawarkan controlled vocabulary
tajuk utama paralel dalam bahasa Inggris dan Indonesia ini sebagai open-source
sehingga perpustakaan lain bisa menggunakan dan daftarnya bisa bertambah dari
waktu ke waktu.

Diagram 5: Halaman Lontar Digital Library (LDL) untuk Sapardi Djoko Damono

LDL menggambarkan sebuah bentuk baru dari sistem perpustakaan digital yang
terstruktur dengan mengambil keuntungan dari data yang sudah ada di Web untuk

sumber-sumber koleksi, penulis dan penerbit Lontar. Dengan mengambil keuntungan


dari teknologi Linked Data, struktur RDF dan ontology terkait, kita bisa menngunakan
kembali data seperti biografi penulis dalam Wikipedia (Diagram 5), serta menyediakan
tautan ke situs Linked Data untuk pengguna kami, seperti:
Open Library menyediakan tambahan informasi bibligrafi termasuk tautan ke versi
online, jika tersedia (Diagram 6). LDL akan harvest/post informasi tentang sumbersumber LDL ke OpenLibrary, termasuk tautan URI dua arah ke LDL untuk sumbersumber dan penulis sebagai upaya peningkatan penemuan.
Diagram 6: Open Library page for Suddenly the Night by Sapardi Djoko Damono
(Suddenly the night (Open Library), 2011)

WorldCat Identities menyediakan informasi lebih luas dari penulis/organisasi berasal


dari katalog WorldCat, termasuk LCNAF untuk otoritas nama, works by dan works
about (Diagram 7). LDL berencana untuk harvest data dari Worldcat Identities
menggunakan sebuah protokol bernama Seacrh/Retrieve menggunakan URL (SRU)
(Yaaqov, LeVan, & Morgan, 2010) sebagai upaya untuk menciptakan link ke otoritas
nama dan linked data lainnya.

Diagram 7: WorldCat Identities page for Sapardi Djoko Damono


(Damono, Sapardi Djoko 1940- [WorldCat Identities], 2011)

GoodReads menyediakan review pembaca dalam Bahasa Inggris dan Indonesia


(Diagram 8). LDL akan menggunakan ISBN untuk link ke GoodReads sebagai upaya
untuk menyediakan akses untuk review buku, diskusi dan social-networking lainnya
yang berkaitan dengan buku/membaca.
Diagram 8: Halaman GoodReads untuk Suddenly the Night oleh Sapardi Djoko
Damono
(Suddenly the Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono by Sapardi Djoko Damono Goodreads:
Reviews,
Discussion,
Bookclubs,
Lists,

2011)

Sebagai hasil dari menggunakan kembali data dari perpustakaan lainnya, database
bibliografi dan website/situs web terkait perpustakaan, kami bisa mengikuti standar
internasional dan mengunakan controlled vocabularies sebagai upaya meningkatkan
interoperabilitas kami dengan mitra dan jaringan perpustakaan kami, promosi
penemuan sumber-sumber kami sendiri pada saat yang bersamaan. Potensi dari Web
Semantik dan tersedianya akses dengan teknologi Linked Data memungkinkan banyak
perpustakaan seluruh dunia untuk menyediakan akses bagi pengguna lokal dan
menghubungkan mereka dengan web global yang memiliki kaitan data sesuai dengan
informasi yang mereka butuhkan.

References

About us | Libraries Australia. (2011).National Library of Australia. Retrieved September


10, 2011, from http://www.nla.gov.au/librariesaustralia/about/
All pages (OntologyClass namespace) - DBpedia Mappings. (2011). Retrieved
September 10, 2011, from
http://mappings.dbpedia.org/index.php?title=Special%3AAllPages&from=&to=&n
amespace=200
Authorities & Vocabularies (Library of Congress): Damono, Sapardi Djoko, 1940-. (n.d.).
Retrieved September 8, 2011, from
http://id.loc.gov/authorities/names/n50055906.html

Berners-Lee, T. (2006, July 27). Linked Data - Design Issues. Retrieved September 5,
2011, from http://www.w3.org/DesignIssues/LinkedData.html
Bizer, C., Lehmann, J., Kobilarov, G., Auer, S., Becker, C., Cyganiak, R., & Hellmann,
S. (2009). DBpedia-A crystallization point for the Web of Data. Web Semantics:
Science, Services and Agents on the World Wide Web, 7(3), 154165.
Byrne, G., & Goddard, L. (2010, November). The Strongest Link: Libraries and Linked
Data. D-Lib Magazine, Volume 16(Number 11/12). Retrieved from
http://dlib.org/dlib/november10/byrne/11byrne.html
Coyle, K. (2010a, June 24). Linked Data Libraries. Presented at the Linked Data:
Making Library Data Converse with the World. ALCTS Preconference Training,
ALA Annual Conference, Washington DC. Retrieved from
http://kcoyle.net/presentations/linkedData-ALA.pdf
Coyle, K. (2010b). RDA Vocabularies for a Twenty-First-Century Data Environment
(ALA/LITA No. v.46, No.2). Library technology reports. ALATechSource.
Retrieved from http://www.alatechsource.org/library-technology-reports/rdavocabularies-for-a-twenty-first-century-data-environment
Damono, Sapardi Djoko 1940- [WorldCat Identities]. (2011).WorldCat Identities.
Retrieved September 10, 2011, from http://www.worldcat.org/identities/lccn-n5055906
Heath, T., & Bizer, C. (2011). Linked Data: Evolving the Web into a Global Data Space.
Synthesis Lectures on the Semantic Web: Theory and Technology, 1:1, 1-136.
(1st ed.). Morgan & Claypool. Retrieved from
http://linkeddatabook.com/editions/1.0/
Herman, I. (2009, November 12). W3C Semantic Web FAQ. Retrieved September 6,
2011, from http://www.w3.org/RDF/FAQ
Hickey, T. (2009, September). The Virtual International Authority File:Expanding the
concept of universal bibliographic control. Next Space. Newsletter, . Retrieved
September 10, 2011, from http://www.oclc.org/us/en/nextspace/013/research.htm
Indonesian Digital Library Network. (n.d.). Retrieved September 9, 2011, from
http://hub.indonesiadl.net/gdl.php?mod=browse&op=faq
Isele, R., Jentzsch, A., Bizer, C., & Volz, J. (2011, June 1). Silk - A Link Discovery
Framework for the Web of Data. Retrieved September 6, 2011, from
http://www4.wiwiss.fu-berlin.de/bizer/silk/
Library of Congress Subject Headings. (2011). (33rd ed., Vols. 1-Six Volumes). Library
of Congress.
McCallum, S. H. (2011, August 10). ID Archives -- August 2011 (#1). Retrieved from
http://listserv.loc.gov/cgi-bin/wa?A2=ind1108&L=id&T=0&P=53
RDF Primer. (n.d.). Retrieved September 5, 2011, from http://www.w3.org/TR/rdfprimer/
Sapardi Djoko Damono - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.
(2011).Wikipedia bahasa Indonesia. Retrieved September 10, 2011, from
http://id.wikipedia.org/wiki/Sapardi_Djoko_Damono
Sapardi Djoko Damono - Wikipedia, the free encyclopedia. (2011).Wikipedia. Retrieved
September 10, 2011, from http://en.wikipedia.org/wiki/Sapardi_Djoko_Damono
Suddenly the night (Open Library). (2011).Open Library. Retrieved September 10, 2011,
from http://openlibrary.org/works/OL1030314W/Suddenly_the_night

Suddenly the Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono by Sapardi Djoko Damono Goodreads: Reviews, Discussion, Bookclubs, Lists. (2011).Goodreads. Retrieved
September 10, 2011, from
http://www.goodreads.com/book/show/1337369.Suddenly_the_Night
wiki.dbpedia.org: About. (2011, September 1). Retrieved September 7, 2011, from
http://wiki.dbpedia.org/About
wiki.dbpedia.org: Applications. (2011, June 30). Retrieved September 10, 2011, from
http://wiki.dbpedia.org/Applications
Yaaqov, Z., LeVan, R., & Morgan, E. L. (2010). Querying OCLC Web Services for
Name, Subject, and ISBN. The Code4Lib Journal, (9). Retrieved from
http://journal.code4lib.org/articles/2481

Call for Papers


1. B. Mustofa
2. Arif Surachman, S.I.P.
3. Wanda Listiani, M.Ds
4. Tri Susiati
5. Djembar Lembasono.
6. Retno Asihanti Setiorini, S. Hum
7. Alberto Pramukti Narendra, SS
8. Yoki Muchsam

INTEROPERABILITAS COPY CATALOGING


DALAM SISTEM UNION CATALOG

Oleh:
B. Mustafa
Perpustakaan IPB Bogor
mus@ipb.ac.id dan mustafa.mustari@gmail.com
dan
Bayu C. Raharjo
PT. beIT Inovasi Tiwikrama
bayu.raharjo@gmail.com dan bayu_fx@yahoo.com
Abstrak:
Copy Cataloging adalah layanan suatu pusat data bibliografi (metadata bibliografi) yang
memungkinkan perpustakaan lain melakukan proses penyalinan data bibliografi bahan
perpustakaan yang dimiliki, yang kemudian data bibliografi tersebut dengan sedikit modifikasi
dapat dimanfaatkan untuk keperluan lokal layanan perpustakaan. Dengan demikian setiap
perpustakaan tidak perlu selalu melakukan proses Original cataloging untuk setiap buku
yang baru dimilikinya. Proses Original cataloging adalah proses melakukan katalogisasi dan
klasifikasi dari awal (from scretch) untuk sebuah bahan perpustakaan yang baru dimiliki. Copy
cataloging merupakan layanan yang sejak tahun 70an sudah dikembangkan di luar negeri.
Namun sampai saat ini di Indonesia praktek seperti ini belum dikembangkan secara
sistematis, melembaga dan meluas. Sesungguhnya layanan seperti ini merupakan salah satu
tugas (walau tidak selalu) dari perpustakaan nasional suatu negara. Salah satu masalah
teknis dalam membangun sistem untuk memudahkan proses copy cataloging adalah
menjamin tingkat interoperabilitas (interoperability) tinggi dari sistem dan data yang dibangun.
Mengingat di Indonesia begitu beragam sistem dan format data bibliografi yang digunakan
oleh beragam jenis perpustakaan. Dibahas sekilas tentang aspek teknis dan nonteknis dalam
membangun sistem untuk memudahkan proses Copy cataloging serta tentang hubungan
konsep antara layanan
Copy cataloging dan layanan Union catalog dan peluang
mengintegrasikan keduanya. Dilain pihak usaha membangun Union catalog (Katalog Induk)
sudah gencar dikembangkan selama ini di Indonesia. Dahulu, idealnya dalam sistem aplikasi
katalog induk masing-masing entitas perpustakaan diwajibkan memiliki format data yang
sama atau bahkan sangat baik jika aplikasi manajemen perpustakaan juga sama. Namun saat
ini hal itu tidak diperlukan lagi. Beberapa lembaga internasional telah berinisiatif membentuk
standarisasi format pertukaran data. Paling tidak terdapat dua buah standar protokol (aturan)
pertukaran data yang banyak diterapkan dalam setiap aplikasi manajemen perpustakaan
yaitu Z39.50 dan OAI-PMH (Open Archive Initiative Protocol for Metadata Harvesting).
Dibahas tentang penggunaan salah satu protokol pertukaran data tersebut, yaitu Z39.50,
dalam sistem katalog induk, sehingga jenis database, format database, bahkan sistem
manajemen database perpustakaan yang akan bergabung dalam jaringan katalog induk, tidak
perlu sama untuk dapat menjalin suatu sistem katalog induk secara terintegrasi dalam rangka
meningkatkan derajat interoperabilitas tinggi antar komponen sistem.
Contoh kasus
pemanfaatan standar ini dalam suatu sistem di Indonesia juga disinggung.
1

Kata kunci:
Copy cataloging, pusat data bibliografi, kerja sama jaringan perpustakaan, standar pertukaran
data, format standar bibliografi, INDOMARC, original cataloging, katalog induk perpustakaan,
Union catalog, Z39.50, Interoperability.
Pendahuluan

American Library Association (ALA) Glossary mendefinisikan Copy Cataloging adalah


The Cataloging of a bibliographic item by using an existent bibliographic record and altering it
as needed to fit the item in hand and to conform to local cataloging practice. (The ALA
Glossary of Library and Information Science). Banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika
Utara, sudah sejak lama mengembangkan dan memanfaatkan konsep layanan copy
cataloging. Walau pusat metadata bibliografinya tidak selalu berada atau dilakukan oleh
perpustakaan nasional Negara tersebut, melainkan dapat juga dilakukan oleh organisasi atau
instansi lain. Seperti halnya BLCMP (Birmingham Library Center Management Project) sampai
saat ini masih aktif memberikan layanan Copy Cataloging dan kini mempunyai lebih 15 juta
records. Sedangkan OCLC (Online Catalog Library Center) di Ohio sampai sekarang
menjaring lebih 5000 perpustakaan untuk mendukung layanan copy catalogingnya.
Sementara itu BIBLINK yang merupakan proyek kerja sama perpustakaan nasional dan para
penerbit di Eropa bertujuan untuk mengontrol dan menyediakan layanan copy cataloging
untuk semua bahan pustaka di Eropa.

Copy cataloging idealnya merupakan salah satu layanan Perpustakaan Nasional RI untuk
perpustakaan di seluruh Indonesia, bukan untuk pengguna akhir (end-user) dari perpustakaan
nasional.

Perpustakaan Nasional sebagai pembina dan berperan untuk pengembangan

perpustakaan di Indonesia pantas dan sesuai untuk melaksanakan tugas layanan copy
cataloging ini.

Dengan layanan Copy cataloging ini, Perpustakaan Nasional RI akan menyediakan metadata
(data bibliografi) dalam format standar, misalnya format MARC (Indonesian MAchine
Readable Catalog) secara digital untuk semua buku terbitan Indonesia atau buku mengenai
Indonesia yang diterbitkan di luar negeri.

Metadata tersebut dapat diakses dan diunduh

(download) melalui internet oleh perpustakaan seluruh Indonesia untuk digunakan pada
sistem otomasi perpustakaan mereka. Dengan demikian suatu judul buku tertentu tidak perlu
2

dibuat metadata bibliografinya secara berulang-ulang oleh setiap perpustakaan yang memiliki
buku yang sama. Seperti diketahui bahwa jumlah perpustakaan di Indonesia dari berbagai
jenis bisa mencapai lebih dari 100 ribu unit perpustakaan. Hal ini dapat diprediksi dari jumlah
perguruan tinggi yang mencapai lebih 5000 PTN/PTS, jumlah sekolah (SD, SLTP, SLTA) yang
mencapai lebih 300.000 sekolah, jumlah Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota yang bisa
mencapai lebih 450, Perpustakaan Provinsi yang lebih 30 sesuai jumlah provinsi, belum lagi
perpustakaan khusus/instansi dan perpustakaan komunitas serta taman-taman bacaan
masyarakat, yang marak dikembangkan dewasa ini oleh berbagai pihak. Semua perpustakaan
tersebut tentu memerlukan metadata bibliografi sesuai dengan koleksi bahan perpustakaan
mereka. Padahal tidak semua perpustakaan itu mempunyai tenaga yang kompeten dalam
membuat deskripsi bibliografis lengkap yang benar dan standar, termasuk deskripsi subjek
dan notasi klasifikasinya. Disinilah diperlukan keberadaan sistem layanan Copy cataloging.
Layanan Copy cataloging sudah barang tentu akan sangat menghemat biaya secara nasional
dan akan mempercepat proses layanan pada semua perpustakaan. Selain itu akan dihasilkan
format metadata bibliografi yang standar di perpustakaan seluruh Indonesia.
Dalam jangka panjang sistem ini akan menghemat biaya secara nasional. Memang dalam
tahap inisiasi diperlukan biaya yang besar, tetapi selanjutnya di masa yang akan datang, akan
menghemat biaya, terutama pada sisi ratusan ribu perpustakaan yang memanfaatkan layanan
tersebut. Sesungguhnya sistem ini juga akan membantu Perpustakaan Nasional dalam
mekanisme pengawasan bibliografi (Bibliographic Control) sebagai salah satu tugas
tambahan Perpustakaan Nasional RI, terutama karena adanya metadata yang dikenal dengan
nama EMMA (Extra MARC Materials), yaitu metadata yang disumbangkan oleh masingmasing perpustakaan dari seluruh Indonesia ke pusat data.

Ada empat hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam layanan copy cataloging, yaitu:
pertama, adalah proses katalogisasi atau penyediaan metadata bibliografi;

kedua,

standarisasi metadata dan authority control; dan ketiga, mekanisme atau proses akses
layanan copy cataloging; serta yang keempat yang tidak kalah pentingnya, terutama di era
pemanfaatan teknologi informasi adalah interoperabilitas (interoperability) sistem (termasuk
data dan konten yang akan dilayankan).

Union Catalog
Union catalog atau Katalog Induk adalah suatu kumpulan terpadu katalog dari beberapa
perpustakaan.

Melalui sistem katalog induk, orang dapat menelusur informasi mengenai

keberadaan suatu buku. Jaman dahulu beberapa perpustakaan di Bogor berhasil membangun
Katalog Induk Perpustakaan Bogor secara manual.

Namun inisiatif ini tidak berhasil

berkembang dengan baik, karena mekanismenya sangat manual, yaitu mencetak Katalog
Induk Perpustakaan Berupa Buku.

Usaha tersebut untuk beberapa tahun sempat

dimanfaatkan dengan baik oleh para pengguna perpustakaan Bogor. Perpustakanaan


Nasional RI sampai saat ini belum pernah benar-benar berhasil membangun Katalog Induk
Nasional,

walau

sebenarnya

sudah

berbagai

usaha

telah

dilakukan,

antara

lain

mengumpulkan database katalog perpustakaan dari berbagai perpustakaan, terutama


perpustakaan provinsi dan kabupaten/kota.

Berbagai usaha lain pernah dicoba berbagai pihak, misalnya mengkompilasi database dari
berbagai perpustakaan, tetapi seseungguhnya itu bukan merupakan katalog induk, tetapi
hanya kumpulan database perpustakaan, karena benar-benarnya hanya menggabung
database, tanpa mengintegrasikan isinya secara utuh.

Sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia inisiatif implementasi membangun semacam


katalog induk terus dilakukan. Atau lebih tepat mungkin dikatakan membangun suatu portal
pintu gerbang untuk memudahkan pemustaka mencari informasi yang tersebar di berbagai
sumber melalui suatu pintu masuk utama. Tersebutlah proyek inisiatif Garuda (Garba Rujukan
Digital) yang dikembangkan di Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (http:/garuda.kemdiknas.go.id). Sampai saat ini inisiatif ini dikembangkan
terus.

Garuda adalah salah satu inisiatif yang dapat dikatakan berusaha mencoba membangun
semacam katalog induk, walau dikhususkan untuk koleksi tertentu, terutama literatur kelabu
(grey literature) yang diusahakan dilengkapi dengan teks lengkap. Umumnya teks lengkapnya
hanya dilink ke repository awalnya melalui fitur permalink. Banyak perpustakaan perguruan
tinggi, negeri atau swasta dan sejumlah perpustakaan besar seperti PUSTAKA-Litbang
4

Pertanian dan PDII LIPI telah bergabung dalam Garuda.

Berbagai kendala dihadapi dalam membangun katalog induk, mulai dari masalah teknis,
menyangkut format standar data dan format standar pertukaran data, sampai masalah
nonteknis, misalnya ketidaksiapan atau ketidakrelaan sejumlah perpustakaan besar untuk
bergabung dalam bekerjasama.

Idealnya sistem Union catalog mewajibkan masing-masing entitas perpustakaan memiliki


format data yang sama atau bahkan aplikasi manajemen perpustakaan yang sama. Namun,
saat ini beberapa lembaga internasional telah berinisiatif untuk membentuk standarisasi
format pertukaran data. Jadi, dengan adanya standarisasi ini, perpustakaan yang ingin
tergabung dalam union catalog (sehingga katalognya dapat langsung ditelusur dari sistem
perpustakaan lain dengan kata lain searchable from other library systems) harus
mengimplementasikan standar yang berlaku umum pada sistem otomasi perpustakaannya.

Copy Cataloging Vs Union Catalog Konsep Copy Cataloging dan Union Catalog sering
dikaji secara bersama, namun sesungguhnya per definisi keduanya merupakan suatu konsep
yang berbeda, walau memang terdapat kaitan yang sangat erat, karena menyangkut objek
substansi yang sama, yaitu entitas metadata bibliografi. Meskipun kalau didekati secara
fungsional sangat berbeda jauh. Layanan Union catalog dapat digunakan langsung oleh
pengguna akhir yang mencari informasi. Sedangkan layanan Copy cataloging diperuntukkan
bagi perpustakaan yang ingin membangun katalog perpustakaan, yang pada akhirnya akan
digunakan juga oleh pengguna akhir masing-masing perpustakaan yang bersangkutan. Hal
yang dapat menjadi nilai tambah dari kombinasi Layanan Union catalog dan Copy cataloging
tentu saja dapat dilakukan.

Pendekatan ini dapat dilakukan jika kedua konsep digabung

menjadi satu layanan terintegrasi, yaitu mengintegrasikan kedua konsep layanan ini menjadi
satu dan namun tetap memberikan manfaat fungsional maksimal untuk kedua kepentingan.
Ini berarti bahwa perpustakaan yang memerlukan metadata bibliografi dapat mengakses
sistem layanan integrasi tersebut, untuk memperoleh metadata bibliografi standar dengan
derajat interoperabilitas tinggi, yang digunakan dalam sistem katalog lokal. Selain dari pada
itu perpustakaan dapat pula berkontribusi menyumbang metadata bibliografi standar ke pusat
data sistem integrasi untuk dimanfaatkan perpustakaan lain, jika metadata bibliografi
5

dimaksud belum terapat dalam sistem layanan intergrasi.

Di sisi lain untuk fungsi Union

catalog, perpustakaan dapat memanfaatkan layanan integrasi dalam rangka memberikan


layanan penelusuran informasi bagi pengguna akhir mereka.
Peranan Perpustakaan Nasional RI
Perpustakaan nasional suatu negara seharusnya merupakan perpustakaan utama dan paling
komprehensif melayani keperluan informasi dari penduduk suatu negara. Salah satu fungsi
perpustakaan nasional ialah menyimpan semua bahan pustaka yang tercetak dan terekam
yang diterbitkan di suatu negara. Sulistyo-Basuki (1991) mengatakan bahwa menurut
ketentuan perundang-undangan, tugas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia adalah: (1)
melaksanakan pengumpulan, pengolahan, dan pendayagunaan bahan pustaka yang
diterbitkan di Indonesia sebagai koleksi deposit nasional; (2) melaksanakan pengumpulan,
pengolahan, pengembangan, serta pendayagunaan bahan pustaka dengan mengutamakan
bidang ilmu ilmu sosial dan kemanusiaan terbitan asing; (3)

melaksanakan penyusunan

bibliografi nasional; (4) melaksanakan tugas sebagai pusat kerjasama antar perpustakaan di
dalam negeri maupun luar negeri; (5) memberikan jasa referensi studi, jasa bibliografi, dan
informasi ilmiah; (6) melaksanakan urusan tata usaha Perpustakaan Nasional. Sesuai dengan
ketentuan di atas, sampai saat ini Perpustakaan Nasional RI telah banyak melaksanakan
tugas dan fungsinya. Salah satu misi Perpustakaan Nasional RI yaitu melestarikan bahan
pustaka baik karya cetak maupun karya rekam sebagai hasil budaya bangsa. Dengan misi ini
Perpustakaan Nasional RI memiliki peraturan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 4
tahun 1990, yang bertujuan untuk menghimpun, melestarikan dan mewujudkan koleksi karya
cetak dan karya rekam secara nasional dan internasional. Di samping itu telah dirumuskan
dan pelaksanaan kebijakan pelestarian pustaka budaya bangsa dalam mewujudkan koleksi
deposit nasional dan pemanfaatannya. Kegiatan ini berkaitan dengan tugas Perpustakaan
Nasional RI sebagai agen nasional dalam rangka pengawasan bibliografi nasional. KDT
(Katalog Dalam Terbitan), ISBN (International Standard Book Number) dan BNI (Bibliografi
Nasional Indonesia) merupakan hasil kegiatan Perpustakaan Nasional yang sangat
dibutuhkan oleh setiap perpustakaan dalam rangka kerjasama pengatalogan.

KDT

dimanfaatkan oleh pengatalog di perpustakaan untuk membuat katalog dengan menyalin data
bibliografi dari KDT tersebut, namun pengatalog masih harus melakukan pengetikan ulang
6

baik untuk pembuatan katatog dalam bentuk kartu maupun OPAC (Online Public Accsess
Catalog).
Perpustakaan Nasional RI yang seharusnya berperan sebagai pembina seluruh perpustakaan
di Indonesia, di era digitalisasi ini bisa mengembangkan kerjasama yang lebih intensif dan
efisien dalam rangka pemanfaatan metadata bibliografi format digital baik untuk kebutuhan
pengawasan bibliografi nasional maupun untuk kegiatan lainnya seperti copy cataloging
dengan format digital yang menjadi topik artikel ini. Walau pun demikian pengelola pusat data
untuk layanan Copy Cataloging tidak harus Perpustakaan Nasional.

Lembaga lain yang

kompeten dapat saja menjadi pusat layanan Copy Cataloging.

Mekanisme Layanan Copy Cataloging


Perpustakaan Nasional atau institusi lain yang dibentuk yang berfungsi sebagai pusat
metadata bibliografi di Indonesia, membangun database yang menghimpun metadata
bibliografi secara digital seluruh terbitan buku di Indonesia dan terbitan mengenai Indonesia.
Format metadata bibliografi perlu menggunakan standar yang akan berlaku secara nasional
dan sesuai dengan standar internasional. Setidaknya ada dua standar yang dapat digunakan
yaitu standar format INDOMARC yang sudah banyak digunakan di Indonesia atau format
standar DUBLIN CORE, yang belakangan banyak digunakan untuk layanan dokumen digital
melalui perpustakaan digital. Selain itu, format RDA (Resource Description and Access) yang
disebut-sebut akan menggantikan aturan AACR2, yang selama ini digunakan di Indonesia,
dapat pula menjadi pertimbangan. Dalam tulisan ini disarankan menggunakan format standar
INDOMARC, karena sudah banyak diketahui perpustakaan di Indonesia, selain itu lebih
lengkap struktur datanya dibandingkan dengan format standar Dublin Core. Format Dublin
Core memang lebih sederhana karena hanya terdiri atas 15 ruas (field), namun format Dublin
Core belum banyak dikenal perpustakaan di Indonesia. Lain dari pada itu, karena formatnya
sangat sederhana, sesungguhnya banyak ruas yang diperlukan telah dihilangkan.
Pusat metadata menyediakan sistem layanan bagi seluruh perpustakaan di Indonesia untuk
mengakses dan mencari metadata bibliografi buku-buku tertentu melalui fasilitas internet. Jika
suatu perpustakaan memperoleh suatu buku baru, maka langkah pertama yang perlu
dilakukan untuk membuat katalog buku tersebut adalah mengakses layanan Copy Cataloging
7

(sebagai pusat metadata bibliografi) yang diharapkan telah meyimpan metadata bibliografi
buku itu. Jika memang metadata bibliografi buku sudah ada di pusat metadata bibliografi
nasional, maka perpustakaan pemilik buku tersebut hanya perlu mengunduh (dowonload)
metadata bibliografi buku tersebut.

Kemudian melakukan penyesuaian seperlunya untuk

dapat digunakan pada sistem otomasi perpustakaan lokal. Jika ternyata metadata bibliografi
buku tersebut tidak ditemukan pada pusat metadata bibliografi, dan ini dapat diasumsikan
bahwa belum ada metadata bibliografinya di pusat metadata bibliografi.

Karena itu,

perpustakaan yang memiliki buku tersebut, jika mempunyai kemampuan, dapat melakukan
proses katalogisasi awal (original cataloging) dengan menggunakan standar format
INDOMARC.

Selanjutnya jika metadata bibliografi itu sudah benar, perpustakan dapat

mengunggah (upload) metadata tersebut ke pusat metadata bibliografi untuk dapat digunakan
oleh perpustakaan lain.

INDOMARC Sebagai Standar Format Metadata Bibliografi


Format INDOMARC untuk standarisasi format metadata bibliografi di Indonesia sudah dibahas
dan dirancang tahun 1986 di Perpustakaan Nasional. Saat ini sudah umum digunakan untuk
membuat metadata bibliografi sistem otomasi perpustakaan di Indonesia. Sementara Dublin
Core (Dublin adalah nama kota di OHIO Amerika Serikat tempat format metadata bibliografi
untuk perpustakaan digital distandarkan), yang baru dibuat belakangan (tahun 1995) kini juga
sudah mulai banyak digunakan. Terutama untuk membuat metadata dalam membangun
perpustakaan digital.
Dalam praktek Copy Cataloging di luar negeri, dikenal pula istilah EMMA.

EMMA (Extra

MARC Materials) adalah metadata (data bibliografi) dalam format MARC (INDOMARC) dari
buku khas (lokal) yang dibuat oleh perpustakaan pemilik buku khas (lokal) tersebut, biasanya
bahan perpustakaan berupa literatur kelabu (grey-literature) dan kemudian diunggah dan
digabung ke dalam

metadata di pusat layanan Copy Cataloging

agar kemudian dapat

diunggah (dicopy cataloging) oleh perpustakaan lain untuk digunakan pada sistem otomasi
mereka jika sudah memiliki buku itu.

Satu hal yang tidak dapat pula dilupakan adalah

masalah authority control dalam proses katalogisasi, baik yang dilakukan di pusat data
maupun oleh perpustakaan penyumbang data bibliografi.

Selain itu, manfaat sistem copy cataloging ini akan membuat metadata bibliografi di Indonesia
menjadi lebih standar.

Jika semua sepakat menggunakan INDOMARC sebagai standar,

maka perlu sosialisasi INDOMARC lebih intensif. Tentu saja setiap perpustakaan dapat
membuat atau menambahkan informasi tertentu sesuai kebutuhan perpustakaan mereka ke
dalam ruas (field/TAG) tertentu.

Praktek Copy Cataloging selain berfungsi untuk menyediakan format digital metadata
bibliografi bagi seluruh perpustakaan di Indonesia, sesungguhnya bermanfaat pula bagi
Perpustakaan Nasional untuk melakukan proses pengawasan bibliografi (bibliographic control)
di Indonesia. Proses pengawasan bibliografi adalah suatu usaha untuk mengetahui seluruh
terbitan Indonesia dan terbitan mengenai Indonesia, yang dilakukan antara lain melalui
mekanisme pembuatan ISBN (International Standard Book Number), dan melalui peraturan
Wajib Simpan Karya Tulis dan Karya Rekam ke Perpustakaan Nasional serta dengan cara
mengumpulkan bahan rujukan berupa bibliografi atau indeks. Hal ini dapat diketahui karena
menurut penelitian yang dilakukan tahun 2004 atas kerja sama Perpustakaan Nasional
dengan Perpustakaan IPB Bogor, terungkap bahwa hanya 27 persen buku yang dibuat
ISBNnya di Perpustakaan Nasional. Padahal buku yang terbit pertahun rata-rata 6355 judul.
Sehingga masih banyak buku terbitan Indonesia yang tidak dibuatkan ISBNnya dan tidak
diserahkan ke Perpustakan Nasional sesuai dengan peraturan Wajb Simpan Karya Tulis dan
Karya Rekam. Melalui mekanisme Copy Cataloging ini, apalagi jika diintegrasikan dengan
layanan Union Catalog, diharapkan akan lebih banyak lagi judul buku terbitan Indonesia yang
diketahui keberadaannya, karena dilaporkan sendiri oleh pemilik buku tersebut, melalui
layanan ini.

Layanan Copy Cataloging Berbayar atau Gratis


Pemanfaatan layanan Copy Cataloging ini sesungguhnya dapat dikenai biaya sebagaimana
proses Copy Cataloging di OCLC. Layanan Copy Cataloging di OCLC mengharuskan
perpustakaan yang memerlukan metadata bibliografi untuk membayar sejumlah uang tertentu
untuk mendapatkan metadata bibliografi secara digital. Namun disarankan untuk Indonesia
pada tahap awal lebih baik layanan ini diberikan secara gratis.

Jenis dokumen yang dapat ditampung dan dilayanankan metadata bibliografinya di pusat
layanan metadata bukan saja yang berbentuk buku, namun diharapkan untuk semua bentuk
dokumen, termasuk dokumen yang dikenal dengan istilah dokumen Grey Literature atau
Bahan Perpustakaan Kelabu atau abu-abu. Grey Literature adalah bahan perpustakaan yang
tidak diterbitkan dalam jumlah banyak dan tidak diperjualbelikan secara umum, sehingga
aksesibilitasnya kurang luas secara umum. Misalnya laporan penelitian, orasi guru besar,
disertasi, tesis dan skripsi dsb. Bahkan dewasa ini metadata dari konten multimedia sudah
banyak dimiliki oleh berbagai perpustakaan, misalnya metadadata untuk bahan perpustakaan
berupa gambar diam (still image), rekaman audio, serta rekaman video. Jika dalam sistem
Copy cataloging dan Union catalog yang dibangun akan dikaitkan dengan konten lengkapnya,
maka factor interoperabilitas makin perlu menjai perhatian. Hal ini karena akan terjadi
transaksi data elektronik bukan saja berupa teks, melainkan juga dalam bentuk berkas
elektronik multimedia.
Implementasi Copy Cataloging sesuai dengan prediksi John Ashford (seorang konsultan
pengembangan perpustakaan di Indonesia beberapa tahun lalu) yang menggambar diagram
perubahan paradigma kegiatan dalam bidang perpustakaan. Diagram dari John Ashford yang
menekankan perubahan fokus pekerjaan pustakawan dari teknis ke layanan langsung kepada
pengguna, karena itu pekerjaan mengkatalog dan mengklasir akan berkurang, antara lain
karena pustakawan hanya perlu melakukan copy cataloging dan tidak perlu sering melakukan
proses orginal cataloging. Perhatikan diagram yang dikutip

Libraries toward 2000s


The changing tasks of the librarian
Traditional

Automated

Selection/Acquisition

More sources

Cataloging/Circulation
Less manual works,
more sharing
10

User support

This is what the


skills of the librarian
are really meant for

Gambar 1. Diagram Perubahan Fokus Pekerjaan Pustakawan Dalam Era Teknologi Informasi

Diagram diatas menggambarkan bahwa di masa depan, kegiatan katalogisasi, yang


merupakan kegiatan teknis di perpustakaan akan semakin berkurang dilakukan oleh
pustakawan secara sendiri-sendiri, melainkan melalui sistem kerjasama kolaborasi (sharing).
Sehingga pustakawan punya waktu banyak berintegrasi dengan pengguna akhir untuk
memberikan layanan prima sesuai kebutuhan mereka. Waktu pustakawan tidak habis dalam
urusan teknis mekanis.
Interoperabilitas
Secara sederhana interoperabilitas (interoperability) adalah kemampuan bekerja sama antar
komponen sistem.

Sebenarnya ada beberapa level interoperabilitas dari sisi teknologi

informasi, yaitu pada level perangkat keras (hardware), level jaringan (network), level
perangkat lunak sistem dan aplikasi (software), serta level data. Untuk bidang perpustakaan
dalam level data lebih khusus masih ditambah lagi dengan standarisasi format pertukaran
data. Dalam konteks pembahasan makalah ini, interoperabilitas dimaksudkan adalah tingkat
kemampuan kerjasama antar sistem katalog perpustakaan berbasis teknologi informasi,
sedemikian rupa sehingga implementasi kerja sama saling memanfaatkan metadata bibliografi
melalui katalog perpustakaan dalam suatu sistem layanan copy cataloging dan/atau union
catalog dapat terjadi dengan derajat interoperabilitas tinggi, dalam arti semua informasi dari
semua pihak (repositori) dapat dimanfaatkan secara optimal oleh semua pihak yang
bekerjasama, termasuk oleh pengguna akhir (end-user).

Dengan demikian yang diharapkan adalah standar metadata, paket konten informasi, maupun
sistem aplikasi yang digunakan dalam seluruh komponen yang terlibat dalam konsep layanan
Copy cataloging dan/atau Union catalog sudah dapat saling berbicara atau berkomunikasi
11

dengan baik, sehingga tidak meninggalkan beda pengertian atau bahkan kehilangan
data/informasi (corrupted) akibat tidak adanya kompatibilitas antar komponen sistem.

Untuk menjamin tingkat interoperabilitastinggi, paling tidak terdapat dua buah standar protokol
(aturan) pertukaran data yang idealnya diterapkan dalam setiap software/aplikasi manajemen
perpustakaan. Ini bukan berarti hanya ada dua protokol ini. Karena masih ada protokol lain
yang dapat menjadi pilihan. Dua protokol itu adalah Z39.50 dan OAI-PMH (Open Archive
Initiative Protocol for Metadata Harvesting).

Berikut adalah beberapa protokol yang tersedia saat ini yang digunakan dalam rangka
meingkatkan interoperabilitas kerja sama antar sistem.

Antarmuka/Standar
OAI-PMH

RSS

ATOM

SRW/U

Z39.50

OpenURL

SQI

Keterangan
Memungkinkan metadata dan bahkan dapat juga konten yang
telah dikemas dengan tepat, dapat diambil melalui mekanisme
harvesting, agregasi (mengumpulkan) dan disebarkan lagi
(deliver) melalui layanan provider. Informasi lengkap dapat
diakses di http://www.openarchives.org
Memungkinkan kontrol terhadap gabungan metadata oleh
sejumlah repository ke pembaca RSS dan layanan/aplilkasi RSS
lainnya. Informasi lengkap dapat dilihat di
http://en.wikipedia.org/wiki/RSS_file_format
Seperti RSS, yang memungkinkan kontrol terhadap gabungan
metadata, namun selain itu dapat pula mengontrol konten
melalui Base64 encoding ATOM. Informasi lanjut dapat dilihat di
http://www.atomenabled.org
Memungkinkan penelusuran ke repositori tertentu atau ke
kumpulan repositori. SRW berstandar SOAP-full, sedangkan
SRU berstandar REST-full. Informasi lebih lengkap dapat dilihat
di http://www.loc.gov/standards/sru
Pelopor SRW/U dan mendahului Web itu sendiri, Z39.50 juga
memungkinkan penelusuran terfokus. Informasi lebih lengkap di
http://www.loc.gov/z3950/agency
Memungkinkan hubungan kontekstual antara sumber informasi
(resources), yang dapat mencakup keluar repository atau ke
dalam satu OpenURL. Informasi lebih lengkap dapat dilihat di
http://www.niso.org/standards/standard_detail.cfm?std_id=783
SQI (Simple Query Interface) dikembangkan untuk memfasilitasi
interoperabiliti antar repositori objek pembelajaran. Informasi
12

lebih lengkap di http://ariadne.cs.kuleuven.ac.be/vqwiki2.5.5/jsp/Wiki?LorInteroperability


Selain pilihan protokol yang digunakan, perlu pula diperhatikan model arsitektur dari
penyimpanan data pada repositori. Ada beberapa pendekatan arsitektur yang dapat dilakukan
untuk mengelola komponen yang berbeda dalam mata rantai repositori dan pengguna akhir.
Tabel berikut memerikan ringkasannya.
Model Arsitektur

Keterangan

Terpusat (Centralised)

Metadata (database bibliografi) dan konten dikumpulkan


dalam suatu pusat
data, dan pengguna akhir yang
menelusur informasi diarahkan untuk mengakses ke pusat
data itu

Terbagi (Distributed)

Metadata dan konten tetap disimpan di repositori masingmasing secara terpisah, dan pengguna akhir yang mencari
informasi melalui portal pusat dapat berintegrasi langsung
dengan sistem repositori yang terpisah-pisah itu

Dipanen (Harvested)

Metadata dan mungkin juga konten, dikumpulkan ke pusat


secara berkala melalui mekanisme ditarik (pull mechanism).
Jika pengguna akhir yang menelusur informasi masih
memerlukan informasi lebih detil penelusuran dapat
dilanjutkan ke repositori sumber informasi awal

Didorong (Push)

Metadata dan mungkin juga konten, dikumpulkan ke pusat


secara berkala melalui mekanisme didorong (push
mechanism). Jika pengguna akhir yang menelusur informasi
masih memerlukan informasi lebih detil penelusuran dapat
dilanjutkan ke repository sumber informasi awal

Peer-to-peer

Semua repositori dapat salaing berintegrasi dan setiap


masing-masing repository dapat berintegrasi langsung
dengan setiap pengguna akhir yang mencari informasi

Protokol Z39.50
Protokol ini dimotori oleh Library of Congress dan sudah ada sejak tahun 1970an. Z39.50
merupakan protokol yang menganut pola interaksi client-server yang digunakan untuk
mengatur proses searching and retrieving informasi dari database komputer lain. Jadi, isinya
13

sebenarnya adalah sekumpulan perintah (berupa url command) yang digunakan untuk
melakukan aksi search, retrieve, sort, dan browse pada computer lain (yang lokasinya jauh,
tidak dalam satu sistem jaringan lokal, seperti di internet). Library of Congress menggunakan
protokol ini sehingga LoC dapat melayani (LoC sebagai server) setiap query (Z39.50
mendefinisikan Common Query Language) dari komputer lain melalui jaringan internet.

Sebagai ilustrasi penerapan sistem ini di Indonesia, PDII LIPI telah dibangun suatu sistem
yang mengintegrasikan beberapa sistem database yang berbeda, namun secara otomatis
dalam bekerja sama dalam sistem union catalog, saat ini sistem ini disebut OPAC Intergrasi.
OPAC Intergrasi PDII LIPI menerapkan protoko Z39.50.

Saat ini ada enam OPAC

perpustakaan dari enam satker (satuan kerja) dibawah PDII LIPI yang diintengrasikan.
Padahal ke enam perpustatakaan satker tersebut menggunakan sistem yang berbeda. SAda
yang menggunakan LARAS (buatan PDII LIPI), ada yang menggunakan SLiMS (Senayan),
ada yang menggunakan ISISONLINE serta juga dihubunkan dengan MySipisisPro. PDII LIPI
membangun server elib.pdii.lipi.go.id/union-opac yang bertindaksebagi server (pelayan) bagi
setiap request/pertanyaan penelusuran oleh khalayak umum. Namun, segera setelah
pertanyaan penelusuran itu diterima oleh server PDII-LIPI, ia berubah dan bertindak sebagai
client yang akan bertanya (melakukan query) kepada server-server di perpustakaanperpustakaan satker di bawah PDII-LIPI. Dan setiap perpustakaan di setiap satker akan
memasang server Z39.50. Sementara itu, PDII-LIPI sendiri juga menjadi server Z39.50 yang
ditanya oleh dirinya sendiri. Berikut adalah diagram konfigurasi instalasi Z39.50 di PDII-LIPI.

14

Z39.50

OPAC

Z39.50

Z39.50

Z39.50

Z39.50

Gambar 2. Diagram Konfigurasi Sistem OPAC Integrasi PDII LIPI dengan Protokol Z39.50

Protocol OAI-PMH
OAI-PMH yang diiinisiasi oleh OAI di awal tahun 2001, pada dasarnya sama dengan protokol
Z39.50. Kehadirannya bukan untuk menggantikan Z39.50, namun hanya menyediakan cara
yang lebih mudah diimplementasikan. Protocol Z39.50 memiliki fasilitas session management,
memfilter record yang dihasilkan dan fitur kompleks lainnya, namun OAI-PMH hadir dengan
tujuan mengurangi kendala teknis sehingga kendala interoperabilitas menjadi rendah.
Salah satu kemudahan OAI adalah OAI-PMH mewajibkan pertukaran data menggunakan
metadata Dublin Core (oai-dc xml). Inilah satu kendala teknis yang biasa menghalangi
interoperabilitas antar beragam format metadata. Misalnya ada USMARC, INDOMARC,
unstructured metadata dan memetakan antar metadata ini akan menjadi berformat Dublin
Core yang lebih bersifat general dan multi disipliner ilmu.
OAI-PMH menggunakan istilah data provider untuk penyedia data dan service provider untuk
penyedia layanan penelusuran ke sejumlah data provider. Beberapa protokol lain tidak
dibahas disini, karena tidak banyak digunakan dalam hal pertukaran data bibliografi.

Strategi Implementasi
15

Untuk dapat mengimplementasikan union catalog dengan modul copy cataloging sebenarnya
mutlak diperlukan implementasi salah satu dari standar-standar di atas. Dengan adanya
standar, maka kendala-kendala teknis menyangkut pemetaan (mapping) metadata masingmasing penyedia data dapat dengan mudah dilakukan.
Untuk meminimalisir kendala dalam membangun union catalog perlu dilakukan tahapan
evaluasi berikut:
1. Investigasi sistem, konektivitas dan format data setiap calon provider data
2. Pemetaan seluruh format data calon provider data
3. Penjajakan konvergensi format data melalui kemungkinan konsekuensinya sbb:
a. Penambahan fasilitas konversi ke format data yang seragam pada sistem manajemen
perpustakaan yang ada di setiap calon provider data namun belum mengimplementasikan
format standar interoperabilitas.
b. Pemilihan alternative penyeragaman sistem manajemen perpustakaan setiap data
provider
c. Implementasi sistem manajemen perpustakaan yang mendukung protokol pertukaran data
kepada data provider yang belum memiliki sistem manajemen perpustakaan (karena
hanya memiliki data saja)
d. Memasang konektivitas melalui jaringan internet untuk provider data yang sudah
menggunakan standar format data yang mendukung interoperabilitas namun belum online
(terkoneksike internet)
e. Memiliki konektivitas (opac online internet) namun tidak memiliki format data standar
interoperabilitas dan tidak mungkin ditambahkan fitur konversi data dinamis. Konsekuensi
yang paling besar kendala interoperability-nya karena harus dilakukan crawling, parsing,
dan indexing pada dokumen HTML yang dihasilkan dari OPAC internet setiap data
provider. Pilihan ini sangat sulit dan seharusnya menjadi pilihan terakhir apabila alternatif
di atas sudah tidak memungkinkan.
4. Proses integrasi dengan membangun sistem service provider di server pusat.

Penutup
Layanan Copy Cataloging yang diintegrasikan dalam layanan Union Catalog adalah layanan
suatu pusat medatata bibliografi yang memungkinkan perpustakaan lain melakukan proses
16

pengcopyan (menyalin) data bibliografi sebuah buku yang dimilikinya, yang kemudian data
bibliografi tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan layanan pembuatan katalog
perpustakaan.

Selain itu, pengguna akhir perpustakaan dapat pula mencari infortmasi

mengenai bahan perpustakaan melalui satu pintu gerbang utama pencarian informasi
sedemikian rupa sehingga dapat mengetahui dimana saja sebuh bahan perpustakaan dapat
ditemukan di perpustakaan yang tergabung dalam jaringan Union Catalog. Pusat layanan
Copy Cataloging

merupakan salah satu layanan yang dapat dikembangkan oleh

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, namun institusi lain selain Perpustakaan Nasional
dapat saja berinisiatif membangun sistem sepert ini. Banyak manfaat yang dapat diambil dari
kegiatan layanan Copy Cataloging dan Union Catalog yaitu :
1

Pengawasan bibliografi terhadap bahan perpustakaan baik yang diterbitkan maupun tidak
(grey literature) bisa lebih ditingkatkan sehingga pengawasan bibliografi nasional secara
menyeluruh bisa tercapai.

Standarisasi dalam bidang pengatalogan akan tercapai, sehingga akan menghindari


ketidak-taatazasan dalam pembuatan katalog.

Biaya pembuatan katalog perpustakaan akan lebih murah dan lebih efisien, karena prinsip
copy cataloging adalah satu untuk semua.

Kemungkinan kerjasama internasional untuk menuju pengawasan bibliografi secara


universal akan tercapai. Membantu pengguna akhir dalam menelusur informasi seluruh
koleksi bahan perpustakaan yang dimiliki oleh banyak perpustakaan dengan hanya
melalui satu pintu masuk penelusuran.Keberhasilan layanan copy cataloging dan union
catalog

perlu ditunjang oleh adanya pengatalog yang terlatih, yang dengan penuh

kesadaran mau menerima perubahan yang mendasar dalam prinsip pengatalogan


5 Di samping itu perlu adanya kerjasama yang baik antara perpustakaan baik dalam
standarisasi format pertukaran data bibliografi maupun kesadaran dalam hal kebutuhan
akan perlunya pengawasan bibliografi nasional. Tidak kalah pentingnya adalah
membangun sistem berbasis teknologi informasi mutakhir dengan menerapkan protokol
yang tepat yang dapat menjamin tingkat interoperabilitas tinggi antar komponen sistem
yang akan bergabung dalam sistem pusat, mengingat keragaman sistem yang digunakan
di Indonesia.

17

Daftar Pustaka
The ALA Glossary of Library and Information Science. Chicago: ALA, 1983
Awre, Chris and Swan, Alma. Linking uk repositories: Technical and organisational models to
support user-oriented services acrossinstitutional and other digital repositories. Scoping
study report.
Day, Michael; Heery, Rachel dan Powel, Andy. National Bibliographic Records in the Digital
Information Environmet Metadata, Links and Standards. Journal of Documentation,
55(1), January 1999: pp 16-32.
Godby, C.J., Young, J.A. and Childress, E. A repository of metadata crosswalks. D-Lib
Magazine, December 2004, 10 (12). Available at:
http://www.dlib.org/dlib/december04/godby/12godby.html
Lagoze, C. and Van de Sompel, H. The making of the Open Archives Initiative Protocol for
Metadata Harvesting. Library Hi Tech, 21 (2): 118-128.
Laporan Kajian Penerbitan Buku di Indonesia tahun 2002 dan 2003. Jakarta : Perpustakaan
Nasional RI, 2004.
Lynch, C.A. Institutional repositories: essential infrastructure for scholarship in the digital age.
ARL Bimonthly Report 226, February 2003. Available at
http://www.arl.org/newsltr/226/ir.html
Lyon, L. eBank UK: building the links between research data, scholarly communication and
learning. Ariadne, July 2003, Issue 36. Available at
http://www.ariadne.ac.uk/issue36/lyon/
Mason, Mayo K. Copy cataloguing : where is it taking us on our quest for perfect copy?.
Http://www.moyak.com/researcher/paper/clog4mkm.html. Diakses tanggal 30 April
2005.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Pusat Pengembangan Perpustakaan. Prosiding
pengembangan jabatan pustakawan di Perguruan Tinggi Swasta. 2002. 98 p.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Pusat Pengembangan Perpustakaan. Prosiding
rapat koordinasi kerja sama pengembangan jabatan pustakawan dengan pemerintah
provinsi, kabupaten/kota. Jakarta 4-6 Oktoer 2004.
Sulistyo-Basuki. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Wulandari, Lily, dan Wicaksana, I Wayan Simiri. Semantic-web solusi interoperabilitas
informasi sebagai
Penunjang jaringan sistem produksi.

18

JARINGANPERPUSTAKAANDIGITALDIINDONESIA:
PembelajarandariIndonesiaDLN,InherentDL,JogjalibforAll,GarudadanJogjalib.Net1
ArifSurachman,S.I.P.2

Abstrak
Kesadaran akan pentingnya diseminasi informasi dan ilmu pengetahuan serta
perkembangan teknologi informasi telah mendatangkan berbagai upaya dari
sebagianatausekelompokmasyarakatuntukmengembangkanjejaringinformasi
digital. Baik yang awalnya hanya diperuntukkan hanya sekedar berbagi
informasi bibliografis digital hingga kepada sharing ilmu pengetahuan dan hasil
karya yang tersimpan dalam format digital. Mereka mencoba berusaha untuk
menggabungkandanmenyatukanberbagaicontentdigital yangdimilikidalam
satu buah wadah yang diharapkan akan mampu memberikan kontribusi yang
positif bagi masyarakat. Di Indonesia, hal ini sebetulnya bukan merupakan hal
baru, bahkan sudah sekitar satu dasawarsa lalu (sejak awal millennium) upaya
upayamembangunjaringanperpustakaandigitalinidilakukan.Namunhasilnya
sampaisaatinibelumterlalumenggembirakan.Beberapaupayaitudiantaranya
dilakukanmelaluiIndonesiaDLN,InherentDL,PortalGarudaDikti,JogjalibforAll,
dan Jogjalib.Net. Apa yang sudah dilakukan bukannya gagal sama sekali, hanya
mungkin tidak seperti yang diharapkan sebelumnya. Ada berbagai macam
kendala dan pengalaman yang dapat menjadi media pembelajaran bagi upaya
membangun jaringan perpustakaan digital ke depan di Indonesia. Tulisan ini
mencoba ingin mengulas dari berbagai aspek berbagai hal yang menyangkut
upayamembangunjaringanperpustakaandigitaldiIndonesia.Salahsatufaktor
utama yang menjadi kendala dari keberadaan jaringan itu adalah masalah
kebijakan,aspekinteroperabilitas,danaksesolehpengguna.Disampingtentunya
adanya masalah lain seperti kesinambungan, sumber daya, pengelolaan,
infrastruktur, dan aspek teknis lainnya. i kajian dan analisis ini merupakan satu
bentuk lesson learned atau pembelajaran bagi pengembangan Perpustakaan
Digitaldimasayangakandatang.
Katakunci:PerpustakaanDigital,JaringanPerpustakaanDigital,Informasi
Digital,DigitalLibraries,JaringanPerpustakaanDigitalIndonesia,
Interoperabilitas

MakalahdisampaikandalamKonferensiDigitalIndonesia,Samarinda810November2011.
PustakawanFakultasEkonomikadanBisnis,UniversitasGadjahMada,Yogyakarta.Email:
arif@gadjahmada.edu,website:http://arifs.staff.ugm.ac.id

I. PENDAHULUAN
1.1. LatarBelakang
Perkembangan teknologi digital dan juga kesadaran akan kebebasan
informasi publik serta diseminasi informasi telah membawa banyak
perubahan terhadap pola penanganan koleksi dan informasi yang ada di
perpustakaan. Banyaknya informasi yang ada dan juga terbatasnya akses
kepada sumbersumber informasi tertentu menjadikan para pengelola
perpustakaan berinisiatif untuk membangun jaringan perpustakaan digital
yangakanmempermudahdanmemperluasaksesinformasiyangdimilikinya.
Pengelola dan pemerhati perpustakaan di Indonesia pun menyadari
akan kebutuhan itu. Sebelum dan awal millennium di Indonesiasudah mulai
dibentuk embrio dari sebuah jaringan perpustakaan digital yang diharapkan
akan mampu memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu
pengetahuan di Indonesia. Sekitar tahun 1998an Universitas Petra bersama
dengan 8 institusi membentuk jaringan InCUVL dan tahun 2000an muncul
sebuah proyek bersama yang bernama Indonesia Digital Library Network
(IDLN). Hermanto (2009) dalam artikelnya menyatakan bahwa IDLN
mempunyai misi Unlock access to Indonesian Knowledge dimana open
content dan content sharing ilmu pengetahuan menjadi fokus agar rakyat
Indonesiadenganmudahmengakseskepadailmupengetahuantersebut.
Kinisetelah11tahunlebihberlalu,InCUVLdanIDLNtidaklagiberdiri
sendiri, berbagai kelompok di Indonesia mulai mengembangkan konsep
jaringan perpustakaan digital baik yang berasal dari kalangan pemerintah,
swastamaupunkomunitasmasyarakat.Tentuhalinisangatmenggembirakan.
Namun disisi lain terdapat pula keprihatinan. Ternyata perkembangan dari
waktu ke waktu proyekproyek beberapa jaringan perpustakaan digital ini
mengalamipasangsurutbahkanadayangsampaiyangmatisuri.Salahsatu
faktor yang penting terkait permasalahan tersebut adalah masalah
interoperabilitasantarapenggunajaringan,disampingtentunyafaktorfaktor
lain seperti sustainability, masalah kebijakan, akses oleh pengguna, dan
masalahteknislainnya.
Terkait dengan masalah kebijakan, menurut Pendit dalam
pernyataannya kepada penulis menyatakan bahwa faktor yang cukup
mendasardanpentingdalammembangunsebuahperpustakaandigitaladalah
faktor kebijakan. Perpustakaan digital hendaknya mulai dibangun dengan

menyiapkan dokumen yang rapi dan jelas terkait dengan desain, kebijakan,
perencanaan, tujuan, dan langkahlangkah pengembangan ke depan, hingga
penanganan masalah teknis. Nah, hal ini juga ternyata sering dilupakan oleh
parapengembangperpustakaandigitaldiIndonesia.Tentuhalinitidakdapat
dibiarkanagarkedepanperkembanganjaringanperpustakaandigitalinitetap
dapatdipertahankandanterusberkembangdiIndonesia.
Menyikapi hal tersebut, maka perlu kiranya melihat kembali
perkembanganbeberapajaringanperpustakaandigitalyangadadiIndonesia,
serta upayaupaya yang sudah dan akan dilakukan. Tujuannya adalah agar
dapat dipetik pelajaran (lesson learned) bagi pengembangan jaringan
perpustakaan digital di Indonesia ke depan. Paling tidak tulisan ini akan
menggugah kita untuk berpikir kembali dan mencari solusi yang tepat bagi
permasalahanpermasalahan yang selama ini menghambat proses
pengembanganjaringanperpustakaandigitaldiIndonesia.
Selain itu, karena salah satu tujuan keberadaan perpustakaan digital
adalah melayani masyarakat atau komunitasnya, maka perlu juga dipelajari
bagaimana pandangan masyarakat pengguna terhadap keberadaan
perpustakaan digital di Indonesia. Melalui survei online yang dilakukan dan
disebarkan melalui berbagai milist yang berisi para pustakawan dan aktifis
atau pemerhati di bidang informasi, penulis mencoba untuk mengumpulkan
data terkait pandangan masyarakat terkait akses pada perpustakaan digital
yangadadiIndonesia,terutamayangmenjadikajiankaliini.
1.2. DefinisidanPengertian
KataPerpustakaandigitalsendirimerupakanterjemahanlangsungdari
digitallibraries(Pendit,2008).Katalibraries(denganes)yangberartijamak
sebetulnya sudah menunjukkan bahwa perpustakaan digital tidak berdiri
sendiri atau bisa dikatakan sebagai sebuah jaringan atau network . Hal ini
didukung oleh pernyataan Pendit (2008) yang mengatakan bahwa
perkembangan perpustakaan digital di dunia menunjukkan persamaan
menyolokdalamduahal,yakni:
Pembangunan perpustakaan digital merupakan upaya besar yang
melibatkan sekaligus banyak pihak, dengan dukungan formal dari
Negara
Perpustakaan digital dikembangkan sebagai sebuah jaringan raksasa
yang berupaya menghimpun keragaman sumber daya informasi,
denganmengandalkaninterkoneksitelekomunikasidaninternet.


Jadi dalam hal ini jelas bahwa yang dimaksud dengan perpustakaan
digital disini adalah merupakan sebuah jaringan kerjasama atau bukan
entitasyangberdirisendiri.

Digital Library Federation dalam Pendit (2008) menyatakan bahwa


definisi perpustakaan digital adalah berbagai organisasi yang menyediakan
sumber daya, termasuk pegawai yang terlatih khusus, untuk memilih,
mengatur,menawarkanakses,memahami,menyebarkan,menjagaintegritas,
dan memastikan keutuhan karya digital, sedemikian rupa sehingga koleksi
tersedia dan terjangkau secara ekonomis oleh sebuah atau sekumpulan
komunitasyangmembutuhkannya.

Adapun istilah interoperabilitas (interoperability) yang menjadi faktor


penting dalam penerapan jaringan perpustakaan digital dapat didefinisikan
sebagai sebuah upaya mengembangkan jasa yang terpadu bagi pengguna
perpustakaandigitalsedemikianrupasehinggamerekadapatmemanfaatkan
sumberdaya yang disediakan oleh beragam sistem dan beraneka ragam
institusi(Arms,2000dalamPendit,2008).

Interoperabilitasinilahyangakanmenyatukandanmenjadijembatan
bagi sebuah jaringan perpustakaan digital. Satu perpustakaan digital dengan
perpustakaan digital lainnya akan dapat saling berkomunikasi dan bertukar
informasi karena adanya faktor interoperabilitas diantara sistem atau
aplikasiyangdigunakan.
II. MENGENALJARINGANPERPUSTAKAANDIGITALDIINDONESIA
2.1.
IndonesiaDigitalLibraryNetwork(IDLN)
Indonesia Digital Library Network merupakan salah satu pioneer
dalam pengembangan jaringan perpustakaan digital di Indonesia. Adalah
PerpustakaanInstitutTeknologiBandung(ITB)yangmenjaditempatdimulai
nyasebuahpilotprojectbagipembangunanjaringanperpustakaandigitaldi
Indonesia.
Hermanto(2009)dalammakalahnyamengatakanbahwapadaawalnya
IDLN ini dikembangkan hanya untuk keperluan internal, namun dikemudian
hariupaya inidiperluasmenjadisebuahprogramyang diharapkanmampu
berkembang secara nasional bahkan internasional yang akan menyatukan
berbagaipengetahuandaninformasidigital.OnnoWPurbodanIsmailFahmi
adalah dua nama yang tidak lepas dari proseslahirnya IDLN ini dari sebuah

tim yang bernama Knowledge Management Research Group pada tahun


1998. Fahmi dalam makalahnya menyebutkan bahwa gagasan membentuk
jaringan perpustakaan Digital dimunculkan dalam seminar Digital Library
bulan Oktober 2000 di ITB dimana dihadiri oleh 23 institusi pendidikan dan
riset di seluruh Indonesia. Seminar itu menghasilkan kesepakatan untuk
membentuk IndonesiaDLN. Namun secara resmi IDLN dibentuk pada bulan
Juni 2001 bersamaan dengan peluncuran aplikasi GDL 3.1 sebagai aplikasi
resmi yang akan digunakan sebagai sarana tukar menukar akses informasi
digital melalui jaringan perpustakaan digital ini. Beberapa institusi yang
tergabung dalam IDLN pada saat itu adalah Perpustakaan Pusat ITB,
Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Katolik Atmajaya Jakarta,
Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan Jakarta, Magister
Management Agribisnis IPB, Universitas Bina Nusantara, Universitas Syah
KualaBandaAceh,Universitas Sam RatulangiManado,UniversitasHeluoleo
Kendari,danUniversitasCendrawasihPapua.
Ganesha Digital Library atau GDL menjadi aplikasi andalan yang
dikembangkan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan institusi yang
terlibatdidalamIDLNyakniGDL4.0padatahun2003dengankonsepneons
(networkofnetwork)danGDL4.2padatahun2006(bulanDesember)yang
dikembangkan oleh Beni Rio Hermanto dan tim dengan mengaplikasikan
konsep web 2.0 standar yaitu RSS dan folksonomy. Versi terakhir ini yang
digunakan dalam rangka mendukung program jaringan perpustakaan atau
informasi digital yang disebut INHERENT DIKTI. Selain itu juga terdapat
aplikasi lain yakni New Spektra yang dikembangkan oleh Universitas Petra
Surabaya melalui InCUVL yang memungkinkan untuk saling bertukar data
dengan GDL dalam jaringan IDLN, dengan menggunakan standar Metadata
IndonesiaDLN.
Sebagaijaringanyangcukuptuayaknisudahberumur10tahunlebih,
jaringaninimencobauntuk tetapeksisdanmelakukan berbagai upayaagar
tidak mati. Hanya dari pengamatan penulis ternyata terdapat banyak situs
yang terkait IDLN sehingga terkesan kurang fokus mana yang menjadi situs
utama dari IDLN ini. Sampai saat ini IDLN dapat diakses melalui alamat
http://gdl.itb.ac.id, http://digilib.itb.ac.id, dan http://hub.IndonesiaDL.net.
Bahkan satu situs yang sepertinya menjadi situs resmi saat ini tidak dapat
diakses(tidakaktif)yaknihttp://www.Indonesiadln.org.

BerikutinistatistikdatakontributordarimasingmasingsituswebIDLN
yangmasihaktif:
Grafik1.StatistikIDLNGDL.ITB.AC.ID

Grafik2.StatistikIDLNHUB.INDONESIADL.NET

2.2.
JaringanInherentdanPortalGaruda
2.2.1. JaringanPerpustakaanDigitalINHERENT
INHERENT merupakan kependekan dari Indonesia Higher Education
Network atau Jaringan Perguruan Tinggi Indonesia, yaitu jaringan teknologi
informasi dan komunikasi yang menghubungkan setiap perguruan tinggi di
Indonesia (inherentdikti.net). Jaringan ini dibangun oleh DIKTI pada tahun
2006 sebagai bentuk dari implementasi kebijakan strategi jangka panjang

pendidikan tinggi 20032010 dengan tujuan utama kerjasama komunikasi


dataantarperguruantinggidiIndonesia.
Salah satu program atau kegiatan dari INHERENT ini adalah jaringan
Perpustakaan Digital Perguruan Tinggi melalui INHERENT. Dikutip dari
presentasi yang disampaikan oleh Luki Wijayanti bahwa tujuan jaringan ini
adalah menyediakan onestop service, memberikan layanan 24 jam,
mengkoleksi dan menyediakan akses ke sumbersumber informasi yang
tersebar di seluruh dunia, dan meningkatkan kepuasan pengguna. Jaringan
perpustakaandigitalmelaluiINHERENT inidilakukandengan memanfaatkan
simpulsimpul yang terhubung dalam jaringan INHERENT. Pada awalnya
terdapat 32 simpul utama perguruan tinggi yang tersebar di seluruh
Indonesia, dimana setiap simpul tersebut dapat mengembangkan
jaringannya dalam simpulsimpul lokal di daerahnya. Contoh, simpul UGM
dapat mengembangkan jaringan dengan menghubungkan ke simpul lokal
perguruantinggilaindiYogyakarta.
Adapun akses ke dalam jaringan perpustakaan digital ini dapat
dilakukan melalui masingmasing situs web dari simpul utama yang ada di
perguruantinggi,contohmelaluihttp://ilib.ugm.ac.id/untukmengakseske
dalamjaringanperpustakaandigitalyangterhubungkesimpulUGM.Namun
sayangsekali,sepertinyajaringanperpustakaandigitalmelaluiINHERENTini
tidakberumurpanjang,karenakoneksikesimpulsimpullainsudahmatiatau
tidakdapatdilakukanlagi.
2.2.2. JaringandalamPortalGaruda
Garuda (Garba Rujukan Digital) merupakan portal penelusuran
referensiilmiahyangmenjadipintuaksesmasyarakatterhadapkaryailmiah
yangdihasilkanolehparaakademisidanpenelitidiseluruhIndonesia.Garuda
sendiridiluncurkanolehDIktiKemendiknasRIbekerjasamadenganPDIILIPI
pada15Desember2009yangmemuatjurnalelektronikdomestikdankarya
ilmiah seperti laporan penelitian, tugas akhir mahasiswa, patent, prosiding,
standardnasionalIndonesia(SNI),danpidatopengukuhangurubesar.
Berdasar file presentasi sosialisasi, Portal Garuda sendiri
dikembangkan dengan visi ingin menjadi acuan pertama dan utama untuk
akses informasi ilmiah dan umum demi pengembangan ilmu pengetahuan
dan kemajuan peradaban bangsa. Sedangkan misinya adalah menyediakan
layanan dan akses global ke sumber informasi bagi ilmuwan, peneliti, dan

masyarakat umum untuk mewujudkan lingkungan yang informative/kaya


akaninformasi.
Sampaisaatini(Agustus2011)PortalGarudatelahmenampungtidak
kurang dari 399.861 judul, 393.010 abstrak dan 382.531 permalinks yang
berasal dari berbagai kontributor yang terdiri dari 36 perguruan tinggi di
Indonesia,PDIILIPI,BadanPerencanaanPembangunanNasional,Warintek
Ristek, Jurnal ITB, Swiss Germany University, Proquest, dan EProceeding.
Dari semua kontributor yang ada, PDIILIPI merupakan lembaga yang
memberikan kontribusi data tertinggi yakni 138.021 judul, 137.280 abstrak
dan138.020permalinks.
Berikutinigambaranprosentase10besarkontibutorportalGaruda.
Grafik3.StatistikKontributorPortalGaruda

Portalgarudainidapatdiaksesmelaluialamathttp://garuda.dikti.go.idatau
http://garuda.kemdiknas.go.id.
2.3.

JogjaLibraryforAll

Berbeda dari 2 jaringan perpustakaan digital sebelumnya, Jogja


Library for All adalah jaringan yang berskala regional atau lokal di satu
wilayah provinsi saja, yakni di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jaringan ini
dibangun oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah, propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta bersama beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta.
Secararesmi,proyekinidiluncurkanpadatanggal30November2005oleh
SriSultanHamengkuBuwonoXdanditandaidenganpenandatangananMOU
denganRektordari4perguruantinggidiYogyakartayakniUniversitasGadjah
Mada,UniversitasNegeriYogyakarta,InstitutSeniIndonesiaYogyakarta,dan

Universitas Islam Indonesia dimana sebagai cikal bakal keberadaan Jogja


Library for All. Sejak dicanangkan, saat ini terdapat 19 perpustakaan yang
tergabung dalam jaringan Jogja Library for All yang terdiri 18 perpustakaan
Perguruantinggidan1PerpustakaanDaerah.
Pada awal perkembangannya, Jogjalibrary for all ini didukung oleh PT.
Gamatechno dan mempunyai beberapa situs web seperti
http://jogjalibraryforall.blogspot.com,
http://jogjalibraryforall.wordpress.com,http://jogjalibraryforall.multiply.com
danjugasubdomaindihttp://jogjalib.gamatechno.com.Saatinijaringanini
dapat diakses melalui alamat http://jogjalib.jogjakarta.go.id. Namun sayang
sekali sampai saat ini jaringan ini hanya merupakan jaringan yang berisi
metadata katalog dari masingmasing perpustakaan yang tergabung dalam
JogjaLibraryforAll.
Berikut ini adalah gambaran sebaran rekod metadata yang ada di Jogja
LibraryforAll.
Grafik4.StatistikMetadataJogjaLibraryforAll

2.4.

Jogjalib.Net
Satulagijaringanperpustakaandigitalyangdirintisdaridaerahyakni
Jogjalib.Net. Awalnya Jogjalib.Net adalah merupakan proyek ujicoba yang
dilakukanolehkomunitaspenggunaperangkatlunakSLIMS(SenayanLibrary
Information Management System) yang berada di Yogyakarta. Jaringan ini
memangdibentuksebagaimediapembelajaranbersamadalammembangun
sebuahjaringaninformasidigitalberbasisSLIMS.

Saat ini, Jogjalib.Net menghubungkan tidak kurang 40 sumber data


dan informasi koleksi perpustakaan di wilayah DIY dan Jateng. Berbeda
dengan jaringanjaringan yang ada sebelumnya, jogjalib.Net mencoba
menghubungkan berbagai jenis perpustakaan, tidak hanya perpustakaan
perguruan tinggi, akan tetapi juga ada perpustakaan sekolah, perpustakaan
lembagapenelitian,perpustakaanLSM,hinggaperpustakaanpribadi.Sampai
pada bulan Agustus ini tercatat ada 15 perpustakaan perguruan
tinggi/akademi, 14 perpustakaan sekolah, 6 perpustakaan komunitas/lsm, 3
perpustakaan lembaga dan 2 perpustakaan pribadi yang tergabung dalam
Jogjalib.Net. Adapun rekod data yang berhasil dihimpun adalah sebanyak
83.880rekoddata.
Berikut ini adalah gambaran distribusi statistik rekod metadata yang
adadiJogjalib.Net.

Grafik5.StatistikRekodDataJogjalib.Net

TahapawaliniJogjalib.Nethanyamencobamenggabungkanberbagai
metadata katalog yang ada, tapi ke depan tidak menutup kemungkinan
dikembangkan menjadi sebuah jaringan perpustakaan digital yang tidak
hanya berisi informasi bibliografis dalam katalog akan tetapi juga content
contentdigitalyangdapatdiaksessecaralangsung.Jaringanperpustakaanini
dapatdilihatdalamsitushttp://www.jogjalib.net
III. JARINGANPERPUSTAKAANDIGITALDANPERMASALAHANNYA
Jaringan perpustakaan digital di Indonesia muncul karena adanya
semangat untuk berbagi ilmu pengetahuan dan informasi serta sebagai upaya
untuk memberikan kemudahan akses bagi masyarakat di Indonesia. Penggagas
awal biasanya memang berasal dari kalangan akademisi di lingkungan
pendidikan, walaupun ada juga yang berasal dari masyarakat atau komunitas.

Latarbelakangpenggagasdanorganisasiataulembagayangterlibatdidalamnya
menjadikan jaringan perpustakaan digital dapat berisi beraneka ragam jenis
penyedia informasi digital maupun yang hanya berasal dari satu lembaga atau
komunitas tertentu yang memiliki kesamaan baik dari segi informasi yang
dikelolamaupunpenggunanya.Demikianpuladengantatacarapengelolaannya,
terdapatberbagaiperbedaanyangkedepandapatmenjadipenghambatapabila
tidak direncanakan dengan baik. Seperti masalah kebijakan, masalah
interoperabilitas, masalah akses pengguna, masalah jaminan keberlangsungan,
masalahinfrastrukturdanlainsebagainya.
Permasalahandiatasjugatidakluputdialamiolehjaringanperpustakaan
seperti IndonesiaDLN, InherentDL, Portal Garuda, Jogja Library for All dan
Jogjalib.Net. Pembahasan selanjutnya penulis mencoba untuk memberikan
sedikitgambaranbeberapapermasalahanyangadadalamjaringanperpustakaan
digitaldiatas.
Kajian ini dilakukan dengan melakukan wawancara dengan beberapa
pengelola jaringan perpustakaan digital di atas dan survei pengguna yang
melibatkantidakkurangdari80respondendiseluruhIndonesiayangtergabung
dalam
milist
theics@yahoogroups.com,
icsisis@yahoogroups.com,
IndonesiaDLN@yahoogroups.com,
pustakawanmeneliti@yahoogroups.com,
pustakawanUGM@yahoogroups.com,
pipiuinsuka@yahoogroups.com,
indolib@yahoogroups.com, dan referensimaya@yahoogroups.com. Adapun
sebaranrespondendilihatdariprofesinyaadalahberasaldariprofesipustakawan
(63),PekerjaInformasi(6),Dosen/Guru(5),Mahasiswa/Pelajar(2),Karyawan
Swasta (1), dan profesi lain (3). Sedangkan apabila dilihat dari asal responden,
sebarannya adalah DKI Jakarta (21), DIY (21), Jabar (16), Jatim (12), Jateng (4),
Banten(2)danLuarJawa(4).
Untuk mempermudah kajian, maka permasalahan dalam jaringan
perpustakaan digital ini akan dibagi menjadi 3 bagian besar yang menurut
penuliscukuppenting,yaknipermasalahankebijakan,interoperabiltasdanakses
olehpengguna.

3.1. SisiKebijakan
Masalah kebijakan merupakan masalah penting yang sering diabaikan
olehparapengelolajaringanperpustakaandigital.Padahalkebijakaninilahyang
akan menjadi dasar utama bagi keberhasilan sebuah perpustakaan digital (dan
jaringannya),karenadalamkebijakaninilahsemestinyadiaturberbagaihalmulai
dari desain, perencanaan, tujuan, arah, pendanaan, infrastruktur, aplikasi,

standardata,danhalteknislainnya.Kalopunadakebijakanseringkalibersifat
kesepakatan yang kurang mengikat dan tidak dilandasi sebuah desain yang
menyeluruh. Hal ini menghasilkan jaringan hanya berjalan ketika pada awal
projek setelah itu mati, dikarenakan tidak ada lagi yang memayunginya,
berhentinyakomitmenparakontributor,tidakadanyadanauntukinfrastruktur,
hinggatidakadanyapersoninchargeyangmenanganihalhalteknis.
Masalah kebijakan ini juga terlihat pada pola pengembangan kelima
jaringan perpustakaan digital di Indonesia yang kita kaji. IndonesiaDLN sendiri
menyadariini,Hermanto (2009) dalammakalahnyamenyampaikanbahwasifat
organisasi yang independent dimana hanya berdasar pada inisiatif anggota
menyebabkanaktivitascontentsharingtidakbersifatarahandalambentuktop
down sehingga perkembangan content menjadi lambat dan tidak jelas. Hal ini
jelas akibat tidak adanya suatu kebijakan baku yang mendasari para anggota
jaringan dalam beraktifitas dan berkontribusi. Inherent dan Portal Garuda juga
demikian, DIKTI lebih memposisikan sebagai sebuah institusi penyedia fasilitas
daninfrastrukturtanpadibarengidengansebuahkebijakanyangmengikatpara
anggota atau kontributornya. Hal ini memberikan potensi bahwa jaringan ini
akan mati begitu DIKTI lepas dari program ini atau projek ini dianggap selesai
dantidakadalagiinstitusiyangmenaunginya.HalsamaterjadipadaJogjalibrary
forAll,dukungankebijakansangatbergantungpadakeadaanbirokrasi.Priyanto
dalam makalahnya menyatakan bahwa pergantian kepemimpinan di
Perpustakaan Daerah (BPAD) sebagai institusi yang menaungi program Jogja
Library for All memberikan kontribusi bagi lambatnya perkembangan jaringan
perpustakaanini.Danitusemuamuaranyaadalahmasalahkebijakandandesain
yang kurang matang, sehingga kebijakan yang ada tak lebih hanya sekedar
sebuahkesepakatanyangitumudahsekaliberubahseiringdenganperjalanan
waktu. Jogjalib.Net yang berbasis komunitas lebih beresiko lagi apabila
komitmen dari para anggota jaringan tidak kuat. Karena dengan pembentukan
yang berasal dari rasa solidaritas ini harus mampu menjaga ritme semua
anggota sehingga tidak bernasib seperti IndonesiaDLN yang karena
independensinya justru sulit menjadi berkembang, walaupun sampai saat ini
tetapberusahauntukbertahan.

3.2. SisiInteroperabilitas
Hal penting yang sering menjadi momok bagi pembangunan sebuah
jaringan atau sistem, apalagi jika berangkat dari desain yang berbeda adalah
masalah interoperabilitas. Interoperabilitas sendiri dalam Wikipedia dibedakan

menjadi 3 tingkatan atau level interoperabilitas yakni compatibility, De Facto


Standard,danInteroperability.
Compatibilityataukompatibilitasdimanamerupakanlevelterendahdari
interoperabilitas menekankan sebuah sistem atau perangkat kompatibel atau
dapat disesuaikan dengan perangkat atau sistem yang lain. Jadi intinya bahwa
kedua sistem yang berbeda itu dapat disatukan dalam satu buah sistem
walaupunmasingmasingtetapmempunyaifungsiyangberbeda.
Sedangkan De Facto Standard berarti bahwa beberapa sistem atau
perangkat dapat berhubungan satu buah sistem dengan standar sistem atau
aplikasitertentu.
Pada tingkat Interoperabiltas setiap sistem dan atau perangkat yang
berbedaakandapatsalingberhubungan,berkomunikasidanbertukarinformasi
satu dengan lainnya dengan menggunakan sebuah aplikasi standar sebagai
penghubung. Jadi semua sistem yang ada disatukan oleh satu buah sistem
aplikasi penghubung atau pencerna. Gambaran tentang ketiga tingkatan itu
dapatdilihatpadagambarberikutini.

Compatibility

DeFactoStandard

Interoperability

Masalahinteroperabilitassendiri,apabiladikaitkandenganperpustakaan
digital paling tidak menyangkut beberapa aspek. Miller dalam Pendit (2008)
mengatakan bahwa interoperabilitas berkaitan langsung dengan penggunaan
standardanmengandungaspekaspekseperti:
Technical interoperability, yakni merupakan standar komunikasi,
pemindahan,penyimpanandanpenyajiandatadigital.
Semantic interoperability, yakni merupakan standar penggunaan
istilahdalampengindeksandantemukembali.
Political/human interoperability, yakni merupakan keputusan untuk
berbagibersamadanbekerjasama.
Intercommunityinteroperability,yaknimerupakankesepakatanuntuk
berhimpunantarinstitusidanberagamdisiplinilmu.

Legal interoperability, yakni terkait peraturan dan perundangan


tentangakseskekoleksidigital,termasuksoalhakintelektual.
International interoperability, yakni terkait standar yang
memungkinkankerjasamainternasional.
Sehingga dalam masalah interoperabilitas, pendit (2008) menyatakan
bahwa sebenarnya hanya ada 2 dimensi interoperabilitas yakni dimensi teknik
dandimensisosial.Dimensiteknismemfokuskan bagaimanadarisisiteknologi
interoperabilitas dikelola dan dikembangkan, sedangkan dimensi sosial
menekankan bagaimana kerjasakam atau kehendak untuk bekerjasama antar
pengelolaperpustakaandigitaldilakukan.Terkaitdenganjaringanperpustakaan
digitaldiIndonesiakeduadimensidiatassepertinyamasihmenjadimasalahbagi
keberlangsungandanpengembanganjaringanperpustakaandigital
Berikut ini gambaran aspekaspek interoperabilitas dari masingmasing
jaringanperpustakaandigitaldiIndonesia:

Aspek Inter
operabilitas

IDLN

INHERENTDL

GARUDADIKTI

JLA

Technical

(+) Adanya satu


perangkat
lunak
(GDL) yg berfungsi
sebagai server dan
client
yang
menghubungkan
data dari masing
masing
penyedia
informasi.

(+)
Inherent
menyediakan
jaringan
dan
bandwidth
tersendiri.

(+) Dukungan
teknis
dari
DIKTI
terkait
infrastruktur
ServerInduk.

()
Masih
belum adanya
aplikasi yang
tetap
bagi
pengembanga
n JLA ke
depan.

()
Hanya
tergantung
pada
satujenisperangkat
lunak yakni GDL;
Tergantung
kemampuan
masing2
perpustakaan untuk
tetaponline

Semantic

() Ketergantungan
terhadap
ketersediaan
jaringan,
ketika
jaringan
mati
maka
seluruh
jaringan
perpustakaan
digital juga mati
atauberhenti.

()
Ketergantungan
terhadap DIKTI
membuataspek
teknis
ini
mempunyai
potensi untuk
menjadi
penghambat
apabila
dukungan DIKTI
()
berhenti berhenti.
sebelum jaringan
sempat
berkembang

(+) Adanya standar N.A.


metadata
yang

N.A.

JLN

(+)
Menggunakan
satuperangkat
lunak
yakni
SLIMS
yang
memungkinka
n
untuk
terhubung ke
() Pertukaran luar aplikasi
baru sekedar lain.
metadata
(cataloginduk) ()
Potensi
pendanaan
() tergantung untuk hosting
pada support hanya
produsen
disediakan
dalam
oleh pengelola
memberikan
komunitas.
datanya.

() perbedaan (+)
Standar
metadata
metadata
menjadikan

disepakatibersama

banyakdatadi
server induk
yang
tidak
lengkap atau
belum dapat
diakomodir.

()
Tidak
ada
kesepakatan
mengenai
penggunaan istilah,
terbukti
ada
duplikasi
penggunaanistilah.

Political
Human

Inter
community

Legal

()
untuk
penggunaan
istilah belum
ada
kesepakatan

() belum ada
kesepakatan
penggunaan
istilah

/ (+) ada kesepakatan (+) kesepakatan (+)Kesepakatan (+)


sudah
untukberbagi
untukberbagi
yang digalang adanya
DIKTI dan LIPI kesepakatan
() Tidak adanya ()
Kurangnya mampu
untukberbagi
kewajiban
komitmen
para menjadi
berkomitmen
anggota
masalah
kekuatan dari ()
menyebabkan data pengembang
birokrasi
aspekini.
tidakberkembang
menjadi
()
kendala
ketergantungan
terhadap
penyokong
utama (DIKTI)
shg komitmen
jaringan tidak
bertahanlama
(+)
Mampu (+)
Mampu
menghubungkan
menghubungkan
berbagaikomunitas antar
simpul
jaringan
di
()
komunitas beberapadaerah.
kurangberkembang
() Hanya pada
komunitas
perguruan tinggi
saja yg tergabung
dalam
jaringan
INHERENT

(+)
Mampu
menggabungka
n
berhagai
sumber
dari
komunitas
perguruan
tinggi
dan
lembaga
penelitian.

()
seputar
perpustakaan
perguruan
tinggi

(+)OpenSource

N.A.

N.A.

()
tidak
ada
kesepakatan
masalah hak akses

sudahsama

N.A.

(+)Timbuldari
kesadaran
untuk berbagi
dan
belajar
bersama
() tidak ada
kesepakatan
yangmengikat

(+) Mencoba
menghubungk
an beberapa
perpustakaan
PT

(+)
sangat
terbuka,
mampu
menghubungk
an berbagai
perpustakaan
Masih digital
()
baru
sebatas
pengguna
SLIMS
(+)
Open
Source
() tidak ada
kesepakatan

danisi

International

(+) Dengan dasar N.A.


protocol OAIMPH
dan Dublin Core
memungkinkan
untuk
pengembangan
standar
internasional
()
tidak
ada
kesepakatandengan
tukar menukar data
dengan
institusi
internasional

masalah hak
aksesdanisi
(+) Mencoba N.A.
memasukkan
database
e
journal (EBSCO
+PROQUEST)

(+)
Punya
kemampuan
untuk berbagi
data dengan
standar
internasional
sepertidengan
Library
of
Congress,dll
() tidak ada
kesepakatan
untuk tukar
menukar data
dengan
institusi
internasional

Keterangan: IDLN (Indonesia Digital Library Network), InherentDL (Indonesia


Higher Education Network Digital Library), Garuda (Garba Rujukan Digital) , JLA
(JogjaLibraryforAll),JLN(Jogjalib.NET).

Hasil pengamatan dan wawancara dengan beberapa pengelola


memperlihatkan bahwa hampir semua jaringan perpustakaan digital yang ada
menggunakan model Open Archives Initiatives (OAI) sebagai model
pengembangan perpustakaan digital sebagai solusi interoperabilitas. Dengan
menggunakan protocol OAIMPH antara pengelola (manajemen) mengambil
data dari produsen untuk disebarluaskan kepada konsumen. Metode
pengambilandataolehserverdilakukanbaikdenganharvestingsecaralangsung
dari server lokal maupun secara manual mengirimkan data dalam bentuk Excel
atau CSV. IndonesiaDLN, InherentDL, Portal Garuda dan Jogja Library for All
menggunakan standar metadata Dublin Core dan metode di atas dalam
pengembangan databasenya. Sedangkan untuk JLN menggunakan standar
Marc21danteknologiXMLdalammelakukantukarmenukardataantaraserver
lokaldanserverinduknya.Secaraprinsipkeduanyahampirsama,artinyaserver
induk melakukan harvesting secara langsung kepada server lokal atau dengan
mengirimkan data yang berupa file excel atau CSV untuk dimasukan dalam
databaseinduk.

Kedua metode yang digunakan dalam jaringan perpustakaan digital di


Indonesia mengandung resiko kemacetan data ketika server lokal mati atau
produsentidaklagimengirimkandatanyakepadaserverinduknya.Halinibanyak
ditemuidihampirseluruhjaringanperpustakaandigitalyangada.

3.3. SisiAksesolehPengguna
Masalah akses juga menjadi hal yang diperhatikan oleh para pengguna.
Hasilsurveiyangdilakukanjugamenemukandatamenarikmengenaiaksesoleh
pengguna. Dari 80 responden yang ada ternyata ada 9 responden yang tidak
mengetahui keberadaan jaringan perpustakaan digital di Indonesia. Fakta lain
menunjukkan bahwa untuk saat ini Portal Garuda DIKTI menjadi jaringan yang
palingpopulerdanseringdiaksesolehresponden.
Berikutinigambaranpopularitasjaringanperpustakaandigitaldanakses
olehresponden:
NAMAJARINGAN
POPULARITAS SERINGNYA
FREKUENSIAKSES
PORTALGARUDA
57Responden 39Responden
INDONESIADLN
37Responden 11Responden
JOGJALIB.NET(JLN)
23Responden
14Responden
JOGJALIBFORALL(JLA)
16Responden
4Responden
INHERENTDL
16Responden
1Responden
5Responden
LAINNYA: INCUVL, APTIK, JPLH, 7Responden
PRIMURLIB, KATALOGBERSAMA.NET,
dan jaringan perpustakaan digital
lokal.

Data di atas juga menunjukkan bahwa walaupun pengetahuan


masyarakat terhadap keberadaan perpustakaan digital di Indonesia cukup baik,
namun akses terhadap perpustakaan digital itu sendiri masih rendah. Hal ini
tentumenimbulkanpertanyaanlebihlanjut,kenapahalitudapatterjadi?Penulis
melihatbahwapermasalahanaksesdanisidariperpustakaandigitalsendiriyang
berpengaruhpadaketerpakaianatauaksesolehpengguna.Berdasarsurveiyang
dilakukan pada 80 responden dan pengamatan langsung ke situs jaringan
perpustakaan digital, ada beberapa permasalahan terkait dengan akses oleh
penggunayakni:
Lambatnya akses ke dalam server perpustakaan digital (termasuk dalam
penelusurannya).
Masih banyaknya missing link atau informasi yang ada tidak dapat diakses
lebihlanjut.

Masihbanyakinformasiyangkuranglengkapbahkankosong.
Lambatnyaperkembanganisidatabaseyangada,kuranguptodate.
Sistemfolderyangtidaktersusunsecararapidankadangterjadiduplikasi.
Pergantianalamatsituswebuntukakses
Masih banyak yang sekedar menampilkan metadata atau data bibliografi,
belumsampaikepadaaksesfulltext.
Jaringan(server)yangseringdownatauoffline.
Untuk itu menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama agar ke depan
permasalahan akses di atas juga harus menjadi pertimbangan bagi para
pengelola jaringan perpustakaan digital. Karena salah satu kunci kesuksesan
jaringanperpustakaandigitaladalahketerpakaiandanaksesolehpenggunaatau
masyarakat, semakin banyak masyarakat yang menggunakan dan merasa
terbantu dengan keberadaan jaringan perpustakaan digital tersebut maka nilai
keberhasilanjaringanperpustakaandigitalsemakinnyata.

IV. UPAYADANREKOMENDASIBAGIPENGEMBANGANPERPUSTAKAAN
DIGITALDIINDONESIA
ParapengembangdanpengelolajaringanperpustakaandigitaldiIndonesia
bukannya tidak melakukan upayaupaya pembenahan terhadap beberapa
permasalahan yang ada. Jaringan Perpustakaan Digital IDLN misalnya telah
menyiapkan aplikasi dan standar metadata yang menjadi solusi masalah
interoperabilitasteknis,semanticdanlegal.Sedangkanuntukmempertahankan
sustainabilitas,IDLNmengadakanpertemuansecararutinsertamembuatmilist
untukparapengelolaataukontributordiIDLN.KemudianportalGarudamelalui
DIKTI juga cukup progressif untuk melakukan upaya pengayaan bagi database
portal dengan meminta kontribusi dari para dosen dan lembaga pendidikan
tinggisertaberupayamemasukkanakseskedalamdatabaseyangdilangganoleh
DIKTI. Sedangkan Jogja Library for All juga melakukan berbagai upaya untuk
tetap bertahan dengan mengajak lebih banyak lagi perpustakaan untuk
bergabung, dan melakukan pertemuanpertemuan untuk melakukan perbaikan
teknis dan juga mematangkan konsep yang ada. Jogjalib.Net sampai saat ini
melakukan upaya mengkoneksikan berbagai data dari berbagai perpustakaan
yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya, dengan membebaskan siapapun dan
lembaga apapun bergabung didalamnya. Bahkan untuk saat ini pendanaan
server induk masih didukung sepenuhnya oleh komunitas SLIMS Yogyakarta
sebagai pengelola. Untuk InherentDL saat ini sudah tidak lagi diadakan
perbaikan dikarenakan memang selesai begitu proyek INHERENT berhenti,
walaupunsalahsatusitusatauservernyamasihdapatdiakseshinggasekarang.

Belajar dari permasalahan dan kajian di atas, maka ada beberapa


rekomendasi terkait dengan pengembangan jaringan perpustakaan digital di
Indonesiayangmungkinbisadiupayakankedepan,yakni:

Perlu adanya kebijakan secara Nasional yang memberikan payung bagi


penyelenggaraan jaringan perpustakaan digital di Indonesia baik di
tingkatpusatmaupundaerah.

Perlu adanya kesepakatan standar yang memungkinkan untuk


kemudahan dalam interoperabilitas tidak saja sebatas politic/human
interoperabilityyangmenghasilkankesepakatanuntukberbagisaja,akan
tetapi juga terkait interoperabilitas teknis, interoperabilitas semantic,
interoperabilitas antar komunitas, dan interoperabilitas legal. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengumpulkan para pengembang jaringan
perpustakaan digital dalam sebuah forum resmi secara Nasional khusus
untukmembahasini.

Perlu adanya dokumen dan desain jaringan perpustakaan digital yang


dapat dijadikan panduan bagi para pengelola dan pengembang jaringan
perpustakaan digital, mulai dari dokumen yang berisi perencanaan,
tujuan, arah kebijakan, pendanaan, kesepakatan hingga terkait halhal
teknisoperasionalnya.

Perlu disiapkan sumber daya yang lebih baik, baik sumber daya
manusianya maupun sumber daya informasinya, sehingga jaminan
kualitas dan keberlangsungan jaringan perpustakaan digital tidak
terkendalamasalahteknisdanselaluuptodate.

Perlu adanya jaminan pada keberlangsungan infrastruktur jaringan


perpustakaandigitalsepertiketersediaanserveryanghandal(baikserver
lokal maupun induk), ketersediaan hosting dan domain yang pasti,
hingga ketersediaan bandwidth yang cukup dari jaringan internet(akses
internet)bagiparakontributornya.

V. PENUTUP
JaringanperpustakaandigitaldiIndonesiasebetulnyacukupberkembang
dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Bahkan tidak hanya yang
disebut di atas, sebetulnya masih ada jaringan perpustakaan digital lainnya
seperti INCUVL, APTIK, Jaringan Perpustakaan Lingkungan Hidup dan lain
sebagainya. Kiranya apabila masalah dimensi teknis dan dimensi sosial dalam

masalah interoperabilitas itu dapat ditangani secara serius dalam kerangka


Nasional, maka bukan tidak mungkin bahwa jaringan perpustakaan digital di
Indonesia akan dapat sustain dan berkembang sesuai harapan. Kendala dan
masalah yang selama ini ada mestinya dapat menjadi bagian dari upaya
perbaikankedepan.Sehinggakedepanbukanhanyaantarperpustakaandigital
yang dapat disatukan, tapi mungkin antar jaringan perpustakaan digital sendiri
itupundapatdisatukanmenjadisatuJaringanPerpustakaanDigitalNasional.
Tulisan ini merupakan kajian awal dan masih jauh dari sempurna
dikarenakan keterbatasan data dan informasi yang dihimpun. Ke depan
diharapkanadapenelitiandankajianyanglebihlengkapsehinggapermasalahan
jaringanperpustakaandigitaldiIndonesiainidapatsegeraterselesaikandengan
baik. Pengalaman adalah Guru yang terbaik, ungkapan ini juga berlaku bagi
proses pengembangan jaringan perpustakaan digital. Keberhasilan dan
kegagalan mengembangkan jaringan perpustakaan digital di masa lalu dan
sekarang adalah sebuah pengalaman yang menjadi pelajaran penting bagi kita
untuk perbaikan ke depan. Semoga jaringan perpustakaan digital di Indonesia
akantetapeksisdanmampumemenuhiharapandankebutuhanmasyarakat.
DAFTARPUSTAKA&BAHANBACAAN
Fahmi, Ismail. 2000. Pendayagunaan Digital Library Network untuk Mendukung
Riset Nasional. Bandung: KMRG, ITB. Diakses dari
http://www.batan.go.id/ppin/lokakarya/LKSTN_12/Ismail.pdf
pada
tanggal1Agustus2011.
___________. nodate. The Indonesian Digital Library Network: menuju
masyarakat berbasis ilmu pengetahuan. Bandung: KMRG ITB. [slide
presentasi].
Diakses
dari
http://belajar.internetsehat.org/pustaka/libraryswhw/digital
library/gdl40/ppt/posteridln.pptpadatanggal1Agustus2011.
Hermanto, Beni Rio. 2009. Indonesia Digital Library Network dalam Program
PembangunanPerpustakaanDigitalNasional.MakalahdalamProsiding
KongresPerpustakaanDigitalIndonesiaKedua,Jakarta,1012Desember
2009.Diaksesdarihttp://kpdi2.pnri.go.idpadatanggal1Agustus2011.
Pendit, Putu Laxman. 2008. Perpustakaan Digital dari A sampai Z. Jakarta: Cita
KaryakarsaMandiri.
Priyanto, Ida F. 2009. Jogja Library for All: tantangan, peluang dan hambatan.
MakalahdalamProsidingKongresPerpustakaanDigitalIndonesiaKedua,
Jakarta,1012Desember2009.Diaksesdarihttp://kpdi2.pnri.go.idpada
tanggal1Agustus2011.

Purwoko. 2011. Garuda (Garba Rujukan Digital). Makalah disampaikan pada


sosialisasi Garuda untuk pustakawan UII, Yogyakarta 22 Januari 2011.
Diakses dari http://purwoko.staff.ugm.ac.id/dl/garuda.pdf pada tanggal
1Agustus2011.
Suprabowo, Arif. No date. Pemanfaatan Jaringan INHERENT dengan
Membangun Perpustakaan Digital menggunakan Aplikasi GDL 4.2.
Bandung:KMRGITB.Diaksesdarilibrary.iaitribakti.ac.idpadatanggal1
Agustus2011.
Tim Pengembang GARUDA. nodate. Garuda: Referensi Ilmiah dan Umum
(http://garuda.kemendiknas.go.id). [slide presentasi]. Diakses dari
http://lppm.ut.ac.id/pdffiles/Portal_Garuda.ppt pada tanggal 1 Agustus
2011.
Wijayanti, Luki. 2006. Merintis Perpustakaan Digital Perguruan Tinggi di
Indonesia. Makalah dalam Seminar Sosialisasi Inherent di UNAIR
Surabaya 6 Desember 2006. [slide presentasi]. Diakses dari
http://staff.ui.ac.id/internal/131779843/publikasi/Merintis_Perpustakaa
n_Digital_PT_di_Indonesia.pptpadatanggal1Agustus2011.
http://en.wikipedia.org/interoperability/
DAFTARWEBSITEJARINGANPERPUSTAKAANDIGITAL
http://hub.indonesiadl.netINDONESIADLN
http://gdl.itb.ac.idINDONESIADLN
http://garuda.dikti.go.idPORTALGARUDA
http://garuda.kemdiknas.go.idPORTALGARUDA
http://www.jogjalib.netJOGJALIB
http://jogjalib.jogjakarta.go.idJOGJALIBFORALL
http://svl.petra.ac.id/INCUVL
http://adl.aptik.or.id/Default.aspxAPTIKDLN
http://ilib.ugm.ac.id/INHERENTDL

KREDIT:AdityaNugraha(PETRAINCUVL),BeniRioHermanto(IDLN),IdaFajar
Priyanto(JLA),IsmailFahmi(IDLN),KlarensiaNaibaho(GARUDA),Purwoko(JLN),
PutuLaxmanPendit(Melbourne),RizalFathoniAji(GARUDA),UmiProboyekti
(JLA)

PERSEPSI STAKEHOLDERS TERHADAP SISTEM


INTEROPERABILITAS PERPUSTAKAAN DIGITAL

Oleh : Wanda Listiani, M.Ds

Abstrak
Beragamnya perangkat lunak yang digunakan dalam perpustakaan
digital, menghasilkan berbagai kendala dalam pertukaran informasi.
Kendala-kendala yang menimbulkan biaya yang tidak sedikit.
Interoperabilitas mampu mengurangi biaya dan waktu yang diperlukan
untuk pertukaran informasi antar perpustakaan. Interoperabilitas antar
perangkat lunak juga mampu mempermudah proses upgrade ataupun
migrasi perangkat lunak yang dilakukan oleh sebuah perpustakaan.
Namun kurangnya kemauan berbagi data dan informasi (resource
sharing) antar stakeholders mengakibatkan munculnya kesulitan dalam
pengembangan interoperabilitas aplikasi perpustakaan digital untuk
mempersatukan berbagai sistem informasi. Setiap stakeholder
mempunyai persepsi masing-masing mengenai interoperabilitas
perpustakaan digital. Penelitian ini bertujuan memaparkan persepsi
stakeholders akan interoperabilitas perpustakaan digital pada 115 pustaka
yang ditemukan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian pustaka.
Kajian ini menganalisis pustaka yang membahas tentang interoperabilitas
baik yang ditulis oleh akademisi, peneliti, penerbit, pengelola
perpustakaan, mahasiswa perpustakaan maupun berbagai stakeholders
dalam bisnis multimedia lainnya di berbagai negara dalam bentuk artikel,
karya ilmiah maupun laporan di media massa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi stakeholders
tentang interoperabilitas berbeda. Sebagian besar aplikasi sistem
informasi perpustakaan digital belum saling terhubung, sering ditemukan
ketidaksesuaian data antara sistem di satu perpustakaan dengan
perpustakaan lainnya. Banyaknya pembangunan berbagai aplikasi sistem
interoperabilitas
namun
kemauan
untuk
berbagi
maupun
mengkomunikasikan data dan informasi yang dimiliki masih kurang.
Kata kunci : stakeholders,
perpustakaan digital

interoperabilitas,

resource

sharing,

Pendahuluan
Perpustakaan digital menggambarkan berbagai kegiatan yaitu
manajemen data, temu kembali informasi, ilmu perpustakaan, manajemen
dokumen ke layanan web, sistem informasi, proses visualisasi koleksi dan
jaringan, kecerdasan artifisial, interaksi komputer dengan pengguna dan
sebagainya. Perpustakaan digital merupakan aplikasi yang multidimensi
dimana dimensi berbagai kepentingan berkaitan dengan konten, sistem
dan kebijakan organisasi. Kata sistem sebagai kata kunci dalam
perpustakaan digital. Sistem perpustakaan digital dan sistem manajemen
perpustakaan

digital

dengan

fitur

pengguna,

operasional

dan

pengembangan perpustakaan digital. Pengelola perpustakaan digital yaitu


desainer,

admin

sistem

dan

pengembang

aplikasi.

Kerangka

pengembangan yang dimulai dari konsep abstrak mengenai perpustakaan


digital menuju implementasi sistem melalui prototipe yang berbeda
memberikan bentuk spesifik ke dalam bentuk baru dari sebelumnya.
Dengan demikian karakteristik perpustakaan digital dapat dipahami
sebagai sebuah infrastruktur, kebijakan dan prosedur, organisasi,
pentingnya mekanisme ekonomi politik untuk mengakses dan memelihara
konten digital dalam sebuah organisasi.
Pada kenyataannya, implementasi perpustakaan digital mempunyai
beragam karakter dan jenis konten. Beberapa koleksi sejenis dengan
berbagai topik atau media lain dengan beragam karakter sehingga sering
dijumpai perpustakaan digital mempunyai sistem informasi dan sistem
perangkat lunak instan dalam berbagai arsitektur informasi. Desain
perpustakaan digital sendiri menjelaskan fungsi dan arsitektur sebuah
sistem informasi organisasi tertentu. Model referensi perpustakaan digital
merupakan konsep abstrak tentang wilayah kebutuhan relasi dengan
berbagai karakteristik perpustakaan yang berstandar khusus.

Interoperabilitas merupakan sistem yang dibangun untuk koleksi


yang dikelola dan digunakan oleh pengguna atau organisasi yang lain
untuk pekerjaan yang lebih besar. Kolaborasi perpustakaan digital,
pertama, berupa pertukaran sumber mempunyai proses dan struktur
internal yang berbeda. Kedua pemahaman berbagai sistem perpustakaan
digital yang dikembangkan. Kemampuan sistem untuk menerima sumber
dengan proses dan sistem yang lain. Ketiga, keterhubungan sistem
komputer dan layanan yang diimplementasikan oleh perpustakaan digital
dan organisasi.
Kehadiran

sistem

interoperabilitas

memungkinkan

berbagai

organisasi dapat bekerja sama. Kondisi saat ini, organisasi masih bekerja
sendiri. Padahal dengan perkembangan teknologi dan jaringan, organisasi
harus bergerak dari arsip digital yang terisolasi menuju perpustakaan
digital yang mempunyai ruang informasi umum yang dapat digunakan
oleh pengguna untuk penelusuran dengan berbagai sumber yang berbeda
dengan satu sistem yang terintegrasi.
Makalah ini memberikan gambaran persepsi stakeholders tentang
sistem

interoperabilitas

perpustakaan

digital

di

berbagai

negara.

Pengalaman dan pemahaman stakeholders dicerminkan dari pendapat


mereka mengenai sistem interoperabilitas perpustakaan digital

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library
research). Metode riset kepustakaan (Zed, 2004: 3) ialah serangkaian
kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka,
membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Data berupa
sumber sekunder yaitu artikel, hasil penelitian dan laporan. Beikut tahapan
pengumpulan data :
1. Data

dikumpulkan

kepentingan

berdasarkan

interoperabilitas
3

kata

perpustakaan

kunci

pemangku

digital,

sistem

interoperabilitas,

system

interoperability, digital

interoperability,

library interoperability

stakeholders
serta

sistem

interoperabilitas perpustakan digital.


2. Data yang terkumpul kemudian dicatat secara simultan dengan
kegiatan membaca. Tidak mudah untuk membuat catatan yang
sistematik dan lengkap. Untuk tujuan itulah maka peneliti mulai
dengan cara mengorganisasikan pencatatan ke dalam suatu sistem
yang praktis, bentuk-bentuk isi catatan penelitian kepustakaan dan
teknik membuat catatan itu sendiri.
3. Pada tahapan ini peneliti melakukan analisis terhadap data. Data
penelitian (Zed, 2004: 70) yang terkumpulkan diolah pada tahap
selanjutnya yaitu tahap analisis dan sintesis. Analisis (harfiah
uraian, pemilahan) ialah upaya sistematik untuk mempelajari pokok
persoalan penelitian dengan memilah-milahkan atau menguraikan
komponen informasi yang telah dikumpulkan ke dalam bagianbagian atau unit analisis. Sintesis ialah upaya menggabunggabungkan kembali hasil analisis ke dalam struktur konstruksi yang
dimengerti secara utuh, keseluruhan dengan mempertimbangkan
tiga unsur yaitu teks, konteks dan wacana (discourse). Teks bukan
hanya sekedar kata-kata yang tercetak atau tertulis pada artikel,
laporan dan hasil penelitian namun juga gambar, bagan, dan
sebagainya. Konteks ialah relasi antarteks yang memasukkan
semua situasi yang terkait pula dengan hal-hal yang berada di luar
teks, tetapi mempengaruhi penggunaan sistem interoperabilitas
perpustakaan digital. Dalam hal ini misalnya siapa pembuat teks,
situasi dimana teks itu dibuat, fungsi teks dalam kerangka tujuan
tertentu dan sebagainya. Sintesis (Zed, 2004: 76-77) adalah
kelanjutan dari proses analisis dalam upaya rekonstruksi teks dan
konteks dalam wacana keseluruhan. Proses sintesis memerlukan
perbandingan, penyandingan (kombinasi) dan penyusunan isu-isu
dan bukti dalam rangka menerangkan secara rinci dan cermat

tentang

persepsi

pemangku

kepentingan

tentang

sistem

interoperabilitas perpustakaan digital.


4. Dari 115 pustaka yang ditemukan tentang sistem interoperabilitas
perpustakaan digital kemudian dilakukan reduksi data. Reduksi
data berarti

merangkum, memilih hal hal yang pokok,

memfokuskan hal hal yang penting, dicari tema dan polanya.


Data yang telah direduksi diharapkan memberikan gambaran yang
lebih jelas tentang persepsi pemangku kepentingan tentang sistem
interoperabilitas perpustakaan digital. Penyajian data

dilakukan

dalam bentuk uraian singkat dengan teks yang bersifat naratif.


Pada bagian penutup, peneliti membuat kesimpulan awal yang
masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan
pada tahap pengumpulan data pada penelitian selanjutnya.
Hasil Analisa dan Pembahasan
Pengertian persepsi menurut Gibson (Robbins, 2000: 10-11)
merupakan

suatu proses pengenalan maupun proses pemberian arti

terhadap lingkungan atau objek pengamatan oleh individu. Persepsi


stakeholders terlihat pada tulisan maupun pengertian tentang sistem
interoperabilitas perpustakaan digital yang diperoleh dari pemahaman
pengalaman dalam berbagai bentuk. Berdasarkan hasil analisa data,
persepsi stakeholders tentang sistem interoperabilitas perpustakaan
digital dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Pengertian
kemampuan

interoperabilitas

yang

dititikberatkan

perangkat

lunaknya.

Persepsi

pada
sistem

interoperabilitas pada penekanan kemampuan perangkat lunak


ini berdampak pada keinginan mereka untuk membangun
sistem saja bukan untuk berbagi (sharing) informasi. Salah satu
contoh definisi interoperabilitas sebagai berikut :
Interoperability as the ability of two or more software
components to cooperate despite differences in language,
interface, and execution platform. It is a scalable form of
reusability, being concerned with the reuse of server resources
5

by clients whose accessing mechanisms may be plugin


compatible with sockets of the server. (Wegner, 1996)
2. Pengertian interoperabilitas sebagai layanan data bersama.
Definisi ini membawa stakeholders pada keinginan untuk
berbagi

sehingga

interoperabilitas
dimanapun

mereka

yang

dan

membangun

dapat

kapanpun.

standar

digunakan

oleh

Berikut

contoh

sistem

siapapun,
definisi

interoperabilitas:
Interoperability is the ability of disparate and diverse
organisations to interact towards mutually beneficial and agreed
common goals, involving the sharing of information and
knowledge between the organizations via the business
processes they support, by means of the exchange of data
between their respective information and communication
technology(ICT) systems. (European Commission adopts the
European Interoperability Framework (EIF), h.11)

Guna pelayanan dan penggunaan data bersama, perlu


kesepakatan bersama mengenai protokol, prosedur dan kode
menjadi persyaratan yang harus dipahami oleh penyedia
maupun pengguna sistem interoperabilitas, berikut salah satu
contoh :
Interoperability are services and data with one another. It is
based on agreements between requesters and providers on, for
example, message passing protocols, procedure names, error
codes, and argument types. (Heiler, 1995)

Penutup
Penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi stakeholders tentang
interoperabilitas berbeda. Sebagian besar aplikasi sistem informasi
perpustakaan

digital

belum

saling

terhubung,

sering

ditemukan

ketidaksesuaian data antara sistem di satu perpustakaan dengan


perpustakaan lainnya. Banyaknya pembangunan berbagai aplikasi sistem

interoperabilitas

namun

kemauan

untuk

berbagi

maupun

mengkomunikasikan data dan informasi yang dimiliki masih kurang.


Ketepatan

dan

kemudahan

akses

informasi

pada

sistem

interoperabilitas ditentukan oleh kata kunci yang dimiliki setiap pengguna


dan sistem yang ternavigasi dengan baik. Berikut salah satu contoh :
The informational content and semantic structure of the entire
field have to be made accessible to an exploratory approach
supported by a controlled and focused navigation. (Boteram,
2010: 413)
Sistem interoperabilitas memungkinkan semua sistem informasi
dapat saling berinteraksi dengan penentuan tingkat akses, peraturan serta
kesepakatan tertentu, tidak ada kekhawatiran data akan disalahgunakan
karena sumber data diakses langsung oleh pihak yang memerlukan. [\

Daftar Pustaka

Borgman, Christine L., 2003. Personal Digital Libraries: Creating individual


spaces for innovation, NSF Workshop
Boteram, Felix, 2010. Content Architecture : Semantic Interoperability in
an International Comprehensive Knowledge Organisation System,
Aslib Proceedings : New Informan Perspectives Vol 62 No. 4/5,
Emerald
Robbins, Stephen E., 2000, Bergson, Perception and Gibson, Milwaukee :
Center for Advanced Product Engineering
Varatharajan, N dan M. Chandrasekhara, 2006. Digital Library And
Interoperability : A General Perspective, Gulbarga : Inflibnet Centre
Zed, Mestika, 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia.

INTEROPERABILITAS ANTARSISTEM DAN ANTARKOMUNITAS:


STUDI KASUS PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
A.Tri Susiati
Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Jl. Babarsari No.6- Yogyakarta 55581
Trisusi07@yahoo.co.id
Abstrak
Sistem otomasi perpustakaan perguruan tinggi relatif
telah berjalan dengan
menggunakan sistem informasinya sendiri-sendiri. Perpustakaan Universitas Atma Jaya
Yogyakarta menggunakan NCI Bookman (edisi revisi) sebagai perangkat lunak dalam
pengelolaan perpustakaan digitalnya, sementara berbagai perpustakaan perguruan tinggi di
Yogyakarta maupun luar Yogyakarta menggunakan sistem informasi yang berbeda. Sistem
informasi yang berbeda tersebut menimbulkan masalah karena kendala berbagai keragaman
dalam pengelolaan datanya, sehingga tidak tercipta standar yang sama untuk database yang
digunakan, untuk itu diperlukan suatu interoperabilitas agar berbagai sistem informasi pada
masing-masing perguruan tinggi dapat berjalan tanpa menganggu sistem perpustakan namun
tetap dapat membantu perpustakaan untuk berbagi sumber daya koleksi demi kepentingan
pemakai.
Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta melakukan berbagai kerjasama dalam
rangka layanan informasi bagi pemustakanya. Kerjasama yang dilakukan menggunakan berbagai
model seperti format tunggal dan interoperabilitas. Model interoperabilitas yang dilakukan dalam
rangka kerjasama menggunakan model web services untuk memudahkan pemustaka
mendapatkan informasi dari perpustakaan yang tergabung dalam komintas yang sudah
melakukan kerjasama dan dapat lebih cepat dikembangkan jika kerjasama juga dilakukan antar
komunitas.
Kata kunci
Interoperabilitas, Academic libraries, Yogyakarta, Resource sharing, Library co-operation

Pendahuluan
Perpustakaan digital di Indonesia semakin berkembang seiring kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK). Masing-masing perpustakaan menggunakan sistem informasi
yang berbeda karena berbagai pertimbangan kepentingan institusi. Perpustakaan Universitas
Atma Jaya Yogyakarta yang merupakan perpustakaan perguruan tinggi juga menggunakan
sistem informasi dalam rangka memenuhi kebutuhan civitas akademika untuk memperoleh
1

informasi yang lengkap dalam proses pembelajaran. Hoo dalam Solichin (2011) menyebutkan
prioritas utama penyediaan sumber-sumber informasi digital, di lingkungan perpustakaan
perguruan tinggi diarahkan pada pengembangan strategi dan sistem dimana para mahasiswa dan
dosen dapat memperoleh akses yang maksimal terhadap sejumlah layanan dan sumber-sumber
informasi perpustakaan baik lokal maupun jarak jauh. Memahami akan pentingnya kebutuhan
informasi bagi anggota, perpustakaan tinggi hampir sebagian besar sudah menggunakan sistem
informasi. Semakin banyak perguruan tinggi yang mengembangkan sistem informasi, maka
semakin banyak ragam data yang digunakan.
Keinginan untuk mewujudkan sistem informasi di perpustakaan merupakan hal positif
yang perlu di cermati karena data-data yang merupakan bagian dari sebuah sistem informasi
akan mudah untuk diakses minimal bagi pengguna secara terbatas di lingkungannya. Seiring
dengan perkembangan model digitalisasi dalam sistem informasi masing-masing perguruan
tinggi , maka akan semakin banyak ragam data yang berbeda satu sama lain. Sistem informasi
biasanya dibuat sesuai kemampuan masing-masing misalnya anggaran yang terbatas dan sumber
daya manusia yang kurang memadai. Sistem informasi yang dibangun tanpa melakukan
komunikasi dengan perpustakaan lain sering menghambat perpustakaan untuk saling
berkomunikasi mengenai koleksi masing-masing. Informasi yang tidak bisa diakses secara
bersama menyebabkan ketidakefisienan dalam mencari sumber-sumber informasi. Di sisi lain
pemustaka harus di buat nyaman dalam menelusur informasi yang dikehendaki. Pemustaka tidak
harus mengetahui model dan cara yang dipakai untuk menghasilkan informasi, yang terpenting
adalah kelengkapan informasi didapatkan. Model tertentu harus diupayakan untuk membantu
menjembatani informasi yang masih berada dalam pulau pulau informasi (istilah depkominfo
untuk informasi yang tidak saling terkait) menjadi suatu informasi yang terintegrasi yang disebut
interoperabilitas. Interoperabilitas akan menjadi sangat penting dilakukan agar pencari informasi
dapat menemukan informasi yang diperlukan secara efisien dan lengkap

Pengertian Interoperabilitas

Berikut ini adalah beberapa definisi dari interoperabilitas :

IEEE (1990) The ability of two or more systems or components to exchange information and to
use the information that has been exchanged..

Taylor (2004 the compatibility of two or more system such that they can exchange information
and can use the exchanged information and data without any special manipulation

NISO(2004) the ability of multiple systems, using difference hardware and software platforms,
data structures, and interfaces, to exchange and share data.

Definisi-definisi ini menunjukkan bahwa secara teknis interoperabilitas menggabungkan


dua atau lebih sistem atau komponen dalam pertukaran informasi dan dapat menggunakan sistem
secara bersama-sama. Beberapa perpustakaan meragukan pertukaran informasi dapat berjalan
dengan lancar karena masih beranggapan bahwa penyatuan sistem informasi ini akan
menyebabkan perubahan pada sistem informasi yang dibangunnya, padahal sebenarnya fungsi
interoperabilitas adalah untuk menyatukan standarisasi format pertukaran data sebagai acuan
bersama, jadi interoperabilitas tidak mengganti sistem operasi, database maupun bahasa
pemrograman yang sudah ada. Secara teknis saat ini format pertukaran data banyak yang
menggunakan basis Extensible Markup Language (XML). XML yang dikembangkan tahun 1996
merupakan format dokumen yang mampu menjelaskan struktur dan semantik (makna) dari data
yang dikandung oleh dokumen tersebut dan lebih berfokus pada substansi data sehingga lebih
cocok digunakan sebagai pertukaran data. Spesifikasi format XML telah menjadi standar di
dalam tiap aplikasi yang memerlukannya. XML tidak mengubah struktur data, sehingga data
yang ditransfer pada sistem informasi tetap berada ditempatnya dan tidak dihilangkan, dengan
demikian XML dapat menjadi standar bagi pertukaran data antar aplikasi computer dan dapat
mempersatukan persepsi terhadap suatu informasi yang digunakan dalam pertukaran informasi.
(Kerangka Acuan dan pedoman interoperabilitas, 2008).

Interoperabilitas selayaknya juga perlu memperhatikan faktor teknologi, prosedur dan


konten berikut ini :
1. Accesibility: Sarana pengaksesan data atau informasi yang termasuk elektronik kepada
public dengan menghindari diskriminasi, seperti penerapan interface yang juga dapat
dimanfaatkan oleh orang cacat, juga bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh
masyarakat luas,
2. Security: secara umum pertukaran informasi perlu menerapkan kebijakan yang memadai
dalam pelayanan dengan menghitung tingkat keamanannya. Dari sudut pandang pemakai,
fungsi yang terkait keamanan seperti identifikasi, otentifikasi, non repudiation,
kerahasiaan harus memiliki tingkat ketransparanan yang maksimum dengan memberikan
tingkat keamanan yang memadai
3. Privacy: perlu diberikan keyakinan akan kerahasiaan data individu atau masyarakat yang
digunakan sesuai dengan kepentingan ketika data diberikan oleh masyarakat
4. Open standard: untuk mencapai interoperabilitas maka pemanfaatan open standar perlu
dipertimbangkan dengan optimal.
5. Open source: memanfaatkan keuntungan yang diberikan oleh open source selain
keterbukaan system dan dokumen, open source software juga mendukung open standard
6. Multi solution: dalam interoperabilitas harus mendukung solusi dengan multi faktor dan
multi sosial

Kerjasama Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta


Kerjasama Perpustakaan dilakukan oleh perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta
dalam rangka pengembangan fasilitas layanan dan jejaring, karena perpustakaan tidak akan
lengkap tanpa melakukan kerjasama. Kerjasama yang pertama dan secara intensif dilakukan
salah satunya adalah kerjasama sharing data dengan perpustakaan perpustakaan perguruan
katolik Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Perpustakaan Aptik (JPA) sejak tahun 1989.
Model yang dilakukan adalah menggunakan data bersama dengan sistem yang sama yaitu
menggunakan CDS-ISIS. Anggota komunitas yang belum menggunakan sistem yang sama
menggunakan database seperti DBMS, atau MS office seperti excell. Model yang dilakukan ini
disebut sebagai model format tunggal yang merupakan pengembangan dalam satu sistem
informasi, satu database server, satu bahasan pemrograman dan satu interkoneksi. Model ini
4

dilakukan untuk menjembatani beberapa kesulitan anggota komunitas yang belum memiliki
sarana dan prasarana yang memadai untuk membuat sistem perpustakaan yang kompatibel untuk
dapat berbagi data secara langsung disamping kesiapan sumber daya manusia yang tidak merata
antar anggota komunitas. Model ini mudah dilakukan oleh anggota komunitas, meskipun
ketergantungan terhadap pengembang sangat besar. Anggota komunitas juga melakukan
pekerjaan dua kali karena proses pertukaran informasi menggunakan data yang harus melalui
proses transfer setiap kali akan melakukan penambahan data untuk keperluan kerjasama. Model
kerjasama menggunakan format tunggal dengan APTIK ini juga menunjukkan bahwa
komunitasnya sangat dekat dan intens dalam berkomunikasi sehingga sistem informasi yang
besar dan satu sistem dapat menunjukkan kesatuan komunitas melalui satu sitem informasi.
Kerjasama dengan APTIK ini melalui beberapa uji coba sistem informasi, walaupun semua
kerjasama yang dilakukan menggunakan format tunggal, tetapi perkembangan kerjasamanya
melalui beberapa tahapan.
Tahap pertama : menggunakan data CDS/ISIS yang dikirim melalui disket atau CD, kemudian
disatukan dalam katalog induk menggunakan sistem informasi CDS/ISIS, kegiatan ini dilakukan
sampai dengan tahun 2000
Tahap kedua : masih menggunakan

data CDS/ISIS tetapi sebenarnya ASKO di Jaringan

Perpustakaan Aptik menggunakan situs JPA melalui jpa.aptik.or.id untuk mengganti katalog
induk yang digunakan
Tahap ketiga : menggunakan APTIK Digital Library (ADL) yang menyatukan semua data dalam
sistem informasi berbasis web. Perkembangan ADL adalah bahwa semua dilakukan secara
terstruktur oleh admin yang ditunjuk oleh masing-masing perguruan tinggi anggota. Model
interoperabilitas yang digunakan adalah tetap menggunakan format tunggal.
Kerjasama yang lain dilakukan dengan model interoperabilitas antarsistem. Model ini
dikembangkan oleh Jogja Library for All (JLA) yang memberikan informasi katalog pada setiap
anggota komunitas yang ikut di dalamnya. Berbeda dengan kerjasama yang dilakukan dengan
menggunakan format tunggal, kerjasama yang dilakukan ini sistemnya menerapkan
interoperabilitas yang sebenarnya. Perpustakaan UAJY dibantu oleh tim Teknologi Informasi
Universitas UAJY (Kantor Sistem Informasi) bekerjasama dengan tim pengembang JLA (waktu
itu GAMATECHNO) melakukan pemetaan data informasi yang dimiliki oleh UAJY agar dapat
digunakan dalam pengembangan kerjasama dengan JLA. Standar yang telah disepakati akan
5

menjadi acuan tim untuk pertukaran data.

Secara teknis proses pertukaran data kemudian

dilakukan oleh tim TI dengan mempersiapkan program berbasis web service sebagai penghubung
kerjasama.
Proses-proses yang dilakukan dalam rangka kerjasama diatas menunjukkan bahwa
perpustakaan perlu memiliki sumber daya manusia yang dapat memahami bahwa kerjasama
sangat diperlukan dalam berbagi data dan informasi antar perpustakaan sekaligus dapat
melakukan kerjasama dengan tenaga teknologi informasi di institusi jika perpustakaan memang
belum memiliki sumber daya yang menguasai teknologi informasi. Berikut ini kami sampaikan
contoh kerjasama yang dilakukan dengan Jogja Library for All.

Gambar 1 . Model interoperabilitas komunitas perpustakaan

Model interoperabilitas yang terlihat pada gambar menunjukkan bahwa interoperabilitas berjalan
pada sistem informasi komunitas JLA setelah melalui proses interoperabilitas pada masingmasing perguruan tinggi yang tergabung didalamnya. Standar acuan interoperabilitas untuk
pertukaran data yang digunakan akan membuat perpustakaan digital komunitas berjalan standar,
meskipun setiap anggotanya menggunakan sistem informasi yang berbeda. Keuntungan
menggunakan

interoperabilitas

adalah

mudah

dilaksanakan

dan

mengurangi

faktor

ketergantungan terhadap pengembang. Beberapa referensi yang ada menunjukkan bahwa saat ini
model yang ideal digunakan adalah interoperabilitas antar sistem yang pelaksanaannya dilakukan
pada awal kerjasama, dan kegiatan berikutnya sudah berjalan dengan sendirinya dengan standar
yang telah disepakati, sehingga perpustakaan perguruan tinggi yang tergabung dalam Jogja
6

Library for all (JLA) yang menggunakan sistem informasi beragam seperti SHINTA,
SENAYAN, WINISIS,NCI BOOKMAN dan sistem informasi lain dapat disatukan dalam
katalog Jogja Library for All. Kunci yang memudahkan proses interoperabilitas di JLA bukan
saja dari sisi kerjasama yang dilakukan, tetapi pemodelan standar perpustakaan seperti format
Dublin core sangat membantu proses pembuatan program yang menghubungkan antar sistem.

Pengembangan kerjasama antar komunitas.


Pengembangan interoperabilitas, saat ini dilakukan pada pada kelompok-kelompok
tertentu, misalnya konsorsium perguruan tinggi berbasis agama, atau kelompok perguruan tinggi
negeri. Sistem yang dilakukan komunitas yang tergabung dalam Jogja Library for All dapat
dikembangkan untuk Perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia. Interoperabilitas akan lebih
mudah dilakukan karena hampir sebagian besar sudah mempunyai sistem informasi di
instansinya masing-masing, tetapi kerjasama ini akan lebih berdaya guna jika model
kerjasamanya dilakukan antar komunitas yang membawahi banyak perpustakaan sejenis. Standar
yang dilakukan untuk keperluan interoperabilitas akan lebih dapat dimaksimalkan karena satu
kerjasama komunitas sebenarnya sudah merupakan kerjasama dari banyak perpustakaan
perguruan tinggi di dalamnya. Pemekaran kerjasama akan dapat terjalin dengan cepat apabila
komunitas besar di Indonesia sudah dilakukan. Perkembangan berikutnya mengarah tanpa lintas
batas kerjasama antar negara.
Permasalahan yang ada adalah kunci pengembangan yang terpadu ini terletak pada
penentu kebijakan. Berbagai kendala yang menghalangi kelompok kerjasama yang besar ini
dapat diminimalisir apabila dilakukan sosialisasi yang merata, baik terhadap perpustakaan yang
telah menggunakan sistem informasi menggunakan teknologi atau yang sedang mengarah kepada
pembuatan sistem informasi. Penulis mengusulkan bahwa untuk kerjasama perpustakaan
perguruan tinggi, program INHERENT yang telah dikembangkan sebelumnya dapat digunakan
sebagai wadah dari seluruh perpustakaan di Indonesia dan dapat mengakomodasi keperluan ini .

Penutup
Interoperabilitas antar komunitas memerlukan kebijakan secara teknis seperti
penyeragaman format dan teknis bagaimana data dipertukarkan. Kerjasama yang dilakukan
dengan model interoperabilitas menjadikan perpustakaan menyadari pentingnya standar metadata
bagi perpustakaannya. Standar seperti MARC, DUBLIN CORE yang memang dimiliki oleh
ranah perpustakaan dapat menjembatani dan memudahkan hal-hal teknis yang harus dilakukan
dalam berbagi informasi. Pengetahuan ini seharusnya sudah harus disosialisasikan kepada
pustakawan terutama yang akan melakukan kerjasama. Keamanan informasi juga penting untuk
dipikirkan bersama, jika komunitas antar perpustakaan perguruan tinggi sudah saling
bekerjasama, maka kewenangan baik antar komunitas atau kesepakatan di dalam komunitas
perlu diperjelas secara tegas agar jalannya kerjasama dapat dilaksanakan dengan baik. Gagasan
untuk menggabungkan komunitas menjadi komunitas yang lebih besar yang perkembangannya
dapat signifikan berjalan akan meminimalkan kesenjangan yang terjadi diantara anggota
komunitas. Fasilitas bersama yang dilayankan juga akan lebih memuaskan pemustaka dalam
mencari sumber-sumber informasi. Penentu kebijakan yang menjadi wadah bagi komunitas yang
besar ini menentukan jalannya pertukaran data antar komunitas. Pengalaman melakukan
berbagai kerjasama ini merupakan pelajaran yang berharga bagi perpustakaan Universitas Atma
Jaya Yogyakarta untuk dapat melakukan kerjasama lain dengan persiapan yang matang baik dari
sisi sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teknologi informasi,
sekaligus

paham

akan

kepustakawanannya

dalam

kapasitas

perpustakaan

sebagai

PUSDOKINFO.

Daftar pustaka

Arianto, M.Solihin. 2011. Perpustakaan Digital: Strategi Peningkatan Akses Sumber-Sumber


Informasi dan Pengelolaan Local Content. Rakor Pengembangan Perpustakaan Daerah,
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Yogyakarta tanggal 22 Maret 2011
Chan, Lois May. N.a. Metadata Interoperability : a Study of Methodology. University of
Kentucky : USA. Terarsip dalam http://www.white-clouds.com/iclc/cliej/cl19chan.htm.
diakses tanggal 29 Agustus 2011
Direktorat Sistem Informasi, Perangkat Lunak dan Konten.2008. Kerangka Acuan dan Pedoman
Interoperabilitas Sistem Informasi Instansi Pemerintah. Departemen Komunikasi dan
Informatika.
Institute of Electrical and Electronics Engineers. 1990. IEEE Standard Computer Dictionary: A
Compilation of IEEE Standard Computer Glossaries. New York.
Iswara, Vincentius Widya.2010. Katalog Induk jaringan Perpustakaan APTIK (JPA). Terarsip
dalam http://kpdi3.pnri.go.id/makalah_kpdi3/index.html diakses tanggal 3 September
2011
National Information Standards Organization. 2004. Understanding Metadata. Terarsip dalam
http://www.niso.org/publications/press/UnderstandingMetadata.pdf. Diakses tanggal 2 september
2011
Taylor, Arlene, 2004. The Organization of Information. 2nd ed. Wesport, CN : Libraries
Unlimited.

Perkembangan Komunikasi Data pada Aplikasi GDL 5.0


Djembar Lembasono, S.Sos. (anduz@kmrg.itb.ac.id)

Abstrak: OAI-PMH (Open Archive Initiative Protocol Metadata Harvester)
masih menjadi unggulan sebagai middle ware pada berbagai aplikasi Digital
Library, walaupun masih ada cara lainnya data ini berkomunikasi menggunakan
media Middle Ware lainnya. Middle ware atau lebih dikenal sebagai web service
merupakan penghubung komunikasi data pada aplikasi yang berbeda dan
umumnya menggunakan aplikasi berbasis WEB. Dalam tujuannya
menyebarluaskan informasi, kepada jejaring yang lebih besar seperti
WIKIPEDIA, Freebase, Open Library dan yang lainnya, GDL membuka metode
komunikasa data lainnya selain menggunakan OAI. Kita dapat melihat pada
WIKIPEDIA sudah terdapat banyak informasi yang dapat kita HARVEST
kedalam sistem digital library untuk memperkaya CONTENT, dan juga
beberapa metode POSTING atau memberikan data kepada jejaring informasi
yang lebih besar.

GDL (Ganesha Digital Library) telah dikembangan selama 1 dekade, GDL
sendiri telah menggunakan metode komunikasi data melalui OAI (Open Archive
Initiative), protokol OAI digunakan untuk Harvesting oleh server sentral
dalam jejaring IndonesiaDLN (Indonesian Digital Library Network), pada jejaring
perpustakaan digital ini sebagian besar anggotanya menggunakan aplikasi GDL.
Protokol yang digunakan pada jejaring IndonesiaDLN, adalah OAI-PMH (Open
Archive Initiative Protocol Metadata Harvester) dimana ada satu server
mengambil atau memanen (HARVESTING) data dari server-server anggota
secara satu arah melalui URI yang menyediakan akses kepada pangkalan data,
untuk contohnya seperti yang tertera dibawah ini:
http://lib.fikom.unpad.ac.id/digilib/OAI-v2-
script.php?verb=GetRecord&metadataPrefix=oai_dc&identifier=jbptunpadfikom

respon dari URI tersebut akan menampilkan dari pangkalan data sebagai
berikut:

Gambar 1: Respon OAI-PMH


Metadata kemudian dapat diambil oleh anggota jaringan lainnya dengan
menggunakan protokol OAI-PMH, sehingga terjadi hubungan acak diantara
anggota jaringan IndonesiaDLN.
Gambar 2: Pola Hubungan Acak


Pada jejaring IndonesiaDLN masing-masing anggota dapat mengambil
sumber data dari server pusat atau langsung pada anggota lainnya dengan syarat
mengetahui PINTU mana yang digunakan untuk berhubungan.

Gambar 3. Pola pengambilan dan menyimpan


GDL v. 4.2 memberikan kemudahan dalam komunikasi data, yaitu
modifikasi protokol OAI itu sendiri, pada umumnya protokol yang disediakan
hanya HARVESTING (OAI-PMH) tetapi pada GDL 4.2 dimodifikasi sehingga
dapat POSTING (OAI-PMP) metadata pada server tujuan.
Pada jaman WEB 3.0 ini GDL harus dapat mengadopsi teknologi ini,
dengan menyesuaikan fungsi-fungsi yang telah ada. Bagaimana GDL dapat
menyesuaikan dengan teknologi terkini?, mengamati dari beberapa layanan
penyedia informasi seperti WIKIPEDIA yang menjadi bahan acuan untuk
beberapa sumber informasi lainnya.

WIKIPEDIA
Gambar 4. Linked Data


Pada diagram diatas dapat diliha DBpedia (pangkalan data WIKIPEDIA)
menjadi pusat dari jejaring-jejaring, itu berarti sumber informasi pada
WIKIPEDIA menjadi acuan untuk digunakan kembali pada jejaring.
GDL pada pengembangannya mencoba untuk mengadopsi teknologi WEB
3.0 dengan menjadikan WIKIPEDIA sumber yang dapat dipanen, untuk
kemudian disimpan pada basis data GDL. Wikipedia banyak memberikan akses
untuk kita dapat mendapatkan data.
DBpedia Lookup Service merupakan salah satu layanan yang diberikan
untuk mengakses data pada Wikipedia, walaupun banyak API disediakan oleh
WIKIPEDIA, namun pada proses panen data pada GDL v. 5.0 akan menggunakan
layanan DBpedia Lookup Service. Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah
seperti dibawah ini:
Pencarian orang dengan kata kunci Susilo Bambang Yudhoyono

Wikipedia memberikan identifier pada orang atau sumber informasi lainnya,


untuk contoh Susilo Bambang Yudhoyono maka identifier akan menjadi
http://en.wikipedia.org/wiki/Susilo_Bambang_Yudhoyono, pemberian identifier
ini sangat membantu dalam menentukan QUERY pada DBpedia Lookup
Services, harus selalu diingat bahwa setiap spasi pada kata kunci akan menjadi
_ (underscore/garis bawah).

http:// en.wikipedia.org/wiki/Susilo_Bambang_Yudhoyono


http://lookup.dbpedia.org/api/search.asmx/KeywordSearch?Qu
eryClass=person&QueryString=Susilo_Bambang_Yudhoyono


Untuk mendapatkan halaman yang akan digunakan sebagai sumber data, tautan
http://dbpedia.org/resource/Susilo_Bambang_Yudhoyono akan memberikan
informasi yang lebih lengkap untuk dapat diEXTRACT kedalam pangkalan data
GDL. Tetapi apabila tidak menginginkan informasi yang lebih lengkap, dari hasil
pencarian sudah cukup memberikan informasi yang dibutuhkan.

Selain informasi yang dapat dipanen dari Wikipedia, ada beberapa

sumber infomasi lainnya, salah satunya adalah Worldcat. Worldcat merupakan


salah satu penyedia informasi baik dalam bentuk e-journal, e-book, dsb. Pada
layanan worldcat, untuk dapat memanen data disediakan layanan web service
melalui tautan http://xisbn.worldcat.org/xisbnadmin/doc/api.htm.

Dalam mendapatkan informasi melalui web service WorldCat ada

beberapa layanan yang disediakan

getEditions: list all relevant ISBN numbers and edition information

getMetadata: get metadata

to13: convert an ISBN number to 13 digits

to10:convert an ISBN number to 10 digits

fixChecksum: re-calculate ISBN checksum digit

hyphen:add hyphen to ISBN number, and guess publisher/area from ISBN-


structure

untuk medapatkan sebuah sumber informasi, pada GDL akan melakukan


QUERY menggunakan getMetadata, dengan url:
http://xisbn.worldcat.org/webservices/xid/isbn/0596002815?method=getMetadata&format=xml&fl=*

query ini menggunakan ISBN sebagai kata kunci yang akan menghasilkan sebuah
metadata, sedangkan format yang dihasilkan akan tergantung dari yang kita
inginkan. Untuk URI yang dimaksudkan akan menghasilkan respon

Gambar 5. Respon WorldCat Web Service getMetadata


respon ini yang digunakan sebagai sumber data bagi GDL. Pada akhirnya GDL
dapat digunakan sebagai jembatan dengan berbagai sumber informasi dunia.

Referensi
The Open Archives Initiative Protocol for Metadata Harvesting

http://www.openarchives.org/OAI/openarchivesprotocol.html

The DBpedia Ontology


http://wiki.dbpedia.org/Ontology?v=181z
Ismail Fahmi (Mei 2002), The Indonesian Digital Library Network Is Born to
Struggle with the Digital Divide
Susilo Bambang Yudhoyono
http://en.wikipedia.org/wiki/Susilo_Bambang_Yudhoyono
WorldCat Web Service, xISBN API

http://xisbn.worldcat.org/xisbnadmin/doc/api.htm

SPARQL Protocol for RDF


http://www.w3.org/TR/rdf-primer/


VIDEO SEMINAR

Analisis Relasi Makna pada Kata Kunci Artikel Ilmiah di Pangkalan Data PDIILIPI
Retno Asihanti Setiorini dan Hendro Subagyo
Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jln. Gatot Subroto 10, Jakarta
Email: sapieno@yahoo.com

Abstrak:
Kajian ini merupakan pengamatan awal (prapenelitian) untuk penelitian
semantik terhadap kata kunci yang digunakan di artikel ilmiah pada Indonesian
Scientific Journal Databases (ISJD). Analisis semantik dilakukan untuk melihat
hubungan relasi makna antar-kata kunci dalam tiap artikel ilmiah. Tujuan
penulisan ini adalah menemukan kedekatan topik dalam satu artikel maupun
berbagai artikel ilmiah dengan menggunakan kata kunci sebagai perlambang
topik. Penggunaan analisis semantik dalam penyusunan data dalam database
(pangkalan data) merupakan upaya membuat mesin menyusun data berdasarkan
topik. Penyusunan data sedemikian rupa dapat mempermudah dan mempertinggi
ketepatan pencarian. Telah dilakukan analisis semantik terhadap kata kunci pada
artikel Analysing Syntactic Modifications of Foreigner Talk and Teacher Talk.
Mengingat kata knci yang digunakan di ISJD menggunakan kata kunci terkontrol
(controlled vocabulary), analisis penelitian ini dilakukan dengan melihat definisi
dan relasi makna setiap kata kunci pada data di tesaurus. Namun, penyusunan
peta relasi makna tidak sepenuhnya sama dengan penggambaran dalam
tesaurus. Pemilihan relasi makna dan kata kunci yang dipetakan dilakukan untuk
mendapatkan keterkaitan antar-kata kunci. Selain itu, pemilihan tersebut juga
disebabkan deskripsi relasi makna dalam tesaurus ada yang terlalu luas dan
sebaliknya, ada pula yang memiliki rumpang. Selain itu, tidak semua kata kunci
dalam tesaurus mendapat penggambaran relasi makna dengan lengkap. Melalui
analisis semantik, diperoleh bagan hubungan relasi makna antar-tiga kata kunci
pada artikel tersebut.
Keyword: Semantics, Information retrieval systems, Index, Semantic web
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) merupakan satuan kerja di
bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang melaksanakan
pemberian jasa, penelitian, serta pengembangan bidang dokumentasi dan
informasi ilmiah. Salah satu cara pendokumentasian informasi ilmiah dilakukan
dengan mengembangkan database (pangkalan data) ilmiah bibliografi, abstrak,
dan full texts. PDII-LIPI telah membangun pangkalan data ilmiah sejak tahun

1984. Dalam pangkalan data PDII-LIPI, tersedia stok data ilmiah berupa artikel
dari jurnal ilmiah, makalah (prosiding), laporan penelitian, paten, dan karya ilmiah
LIPI.
Pada tahun 2009, PDII-LIPI telah meluncurkan situs jurnal ilmiah Indonesia,
Indonesian Scientific Journal Database (ISJD). Sampai dengan Mei 2011, PDIILIPI melalui situs ISJD telah mengelola 67.000 artikel ilmiah yang 38.000 di
antaranya dapat diakses secara penuh (full text). Sementara itu, total artikel ilmiah
dalam pangkalan data PDII-LIPI adalah lebih dari 225.000 artikel. Belum semua
artikel dapat dikelola melalui ISJD karena adanya perbedaan jenis file data yang
menuntut proses teknis lebih lanjut.
Menurut Google Analytics, antara 1 Juli hingga 29 September 2011,
pengguna/pengakses situs ISJD berjumlah 32.668 yang berasal dari 73 negara.
Dengan menggunakan internet, para pengguna mengakses pangkalan data PDII
untuk menemukan data dan informasi ilmiah yang mereka butuhkan. Dengan
banyaknya jumlah koleksi yang dimiliki, PDII-LIPI membutuhkan satu sistem
pengelolaan data yang dapat membantu serta memudahkan penggunanya
menemukan data dan informasi yang mereka butuhkan.
Pencarian informasi dalam jaringan internet atau sebuah pangkalan data
berkaitan dengan temu kembali informasi (information retrieval). Dalam buku Text
Information Retrieval Systems (2000: 1-2) disebutkan bahwa temu kembali
infromasi berkaitan dengan tiga hal, yaitu: (1) bagaimana cara merepresentasikan
informasi; (2) bagaimana cara menginterpretasikan struktur dari simbol yang ada
di dalam informasi; (3) bagaimana cara memberitahukan ketika satu set simbol
memiliki makna yang sama atau menyerupai dengan simbol lain. Temu kembali
berkaitan dengan cara penyedia informasi mengelola informasi yang dimilikinya
untuk membantu pengguna informasi menemukan informasi yang dibutuhkannya.
Penerapan linguistik pada sistem temu kembali sudah pernah diteliti
sebelumnya. Dalam makalah berjudul Linguistic Approaches in Information
Retrieval of Medical Texts, Anne-Marie Currie, Jocelyn Cohan, dan Larisa Zlatic
(2002) membahas penerapan unsur linguistik pada sistem temu kembali informasi
medis. Pendekatan linguistik yang diterapkan dalam makalah ini adalah sintaksis,
semantik, dan pragmatik. Pembahasan pendekatan semantik dalam makalah ini
mencakup sinonim, polisemi, dan ambiguitas. Kesimpulan dalam makalah ini

menyatakan bahwa penerapan metode linguistik pada sistem temu kembali


informasi medis dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan
administrasi pasien. Alasannya, penerapan linguistik dalam sistem temu kembali
mempermudah penyedia layanan medis untuk menemukan informasi pasien.
Dengan demikian, penyedia layanan medis dapat segera memberikan layanan
jasa medis yang dibutuhkan pasien. Penelitian ini menunjukkan perlunya
penerapan linguistik pada sistem temu kembali informasi.
Salah satu masalah dalam sistem temu kembali saat ini adalah mesin tidak
dapat memahami bahasa (manusia/alami) dalam data. Mesin dapat memilih dan
memilah data, tetapi tidak dapat menginterpretasikan teks. Karena mesin tidak
dapat memahami struktur makna bahasa alami,

manusialah yang mengatur

penyimpanan data sesuai dengan struktur makna. Penyusunan data yang sesuai
dengan struktur makna dapat mempermudah dan mempertinggi ketepatan
pencarian. Untuk membangun sistem pengelolaan data berdasarkan struktur
makna, dibutuhkan peta struktur makna data.
Dalam penelitian ini, struktur makna data merujuk pada relasi makna kata
kunci artikel ilmiah. Relasi makna tersebut diperoleh melalui analisis semantik.
Dengan demikian, dapat diketahui hubungan dan kedekatan antara satu artikel
dan artikel lain. Kata kunci dipilih sebagai komponen yang dianalisis karena kata
kunci menggambarkan topik-topik dalam artikel. Penentuan kata kunci dilakukan
dengan melihat topik yang terdapat dalam satu artikel. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Zainal A. Hasibuan (diakses 14 Februari 2010) dalam situs BATAN
yang mengatakan kandungan informasi dokumen biasanya direpresentasikan
dalam bentuk istilah indeks atau kata kunci yang merupakan pintu gerbang
menuju subjek dokumen. Indeks atau kata kunci dapat berupa kata atau istilah
dalam bahasa alamiah (natural language) yaitu bahasa yang digunakan dalam
dokumen, atau istilah dalam bentuk kosakata terkontrol (controlled vocabulary)
seperti istilah dalam tesaurus. Di PDII-LIPI, pemberian kata kunci dilakukan
dengan kosakata terkontrol.

B. Rumusan Masalah
Pada latar belakang penelitian telah diuraikan kaitan serta peran relasi
makna

kata

kunci

dan

sistem

temu

kembali.

Makalah

ini

merupakan

penelitian/observasi awal. Dalam makalah ini, akan dicoba lakukan analisis


terhadap satu data artikel ilmiah dari pangkalan data PDII-LIPI. Nantinya,
penelitian ini akan dilanjutkan pada data yang lebih luas dengan rumusan masalah
bagaimana pemetaan relasi makna pada kata kunci artikel ilmiah di pangkalan
data PDII-LIPI? Pertanyaan tersebut akan dijawab dengan menerapkan analisis
semantik leksikal pada data.

C. Sasaran dan Kemaknawian Penelitian


Sasaran yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah peta relasi makna
pada kata kunci artikel ilmiah di pangkalan data PDII-LIPI. Melalui peta tersebut,
dapat dilihat kedekatan makna kata kunci dalam satu artikel maupun antar-artikel
ilmiah yang terdapat dalam pangkalan data PDII-LIPI. Peta relasi makna tersebut
nantinya akan menjadi input data (masukan data) untuk pengembangan sistem
temu kembali di pangkalan data jurnal ilmiah PDII-LIPI.
Kemaknawian dari hasil analisis ini beragam. Sesuai dengan latar belakang
penulisan makalah, hasil analisis ini adalah sebagai analisis awal untuk
pembangunan sistem pengelolaan data berbasis semantik pada pangkalan data
PDII-LIPI. Namun, selain itu, hasil analisis tersebut juga dapat memperlihatkan (1)
korelasi antar-bidang penelitian (interdisipliner); (2) hubungan relasi makna antarkata kunci bidang keilmuan (antartesaurus); (3) interoperabilitas bila dipergunakan
dalam sistem temu kembali di pangkalan data yang berbeda.
Dari pemetaan terhadap kata kunci, dapat diketahui, penelitian antarbidang apa saja yang telah dilaksanakan. Dari sisi lain, melalui peta relasi makna,
dapat pula diketahui, rumpang/celah penelitian apa saja yang belum dilakukan.
Hal ini bermanfaat bagi peneliti yang hendak melakukan penelitian interdisipliner
untuk menghindari penelitian yang berulang.
Tesaurus pada umumnya dibangun dalam satu bidang. Melalui peta relasi
makna, dapat diketahui pula relasi makna pada istilah dari bidang yang berbeda.
Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menemukan celah/gagasan penelitian
interdisipliner.

Interoperabilitas berkaitan dengan kemampuan informasi/data dari satu


sistem (pangkalan data) untuk digunakan pada sistem lain. Dalam kaitannya
dengan interoperabilitas, peta relasi makna dapat digunakan untuk memudahkan
perpindahan sistem klasifikasi. Peta relasi makna dapat menunjukkan istilah yang
lebih umum/khusus dari satu istilah sehingga dapat memudahkan perpindahan
sistem klasifikasi.
Tiap lembaga penelitian memilih dan menggunakan metode klasifikasi data
yang berbeda-beda. Sistem klasifikasi data di pangkalan data PDII-LIPI berbasis
pada sistem klasifikasi yang umum digunakan oleh komunitas perpustakaan, yaitu
sistem klasifikasi Dewey atau sistem subyek dari Library of Conggress. Kondisi ini
berbeda dengan di Ristek misalnya, yang menggunakan tujuh acuan riset nasional
sebagai sistem klasifikasi data mereka. Karena sistem klasifikasi di PDII-LIPI lebih
rinci, jika data dari pangkalan data PDII-LIPI hendak dikonversikan ke pangkalan
data Ristek, perlu dilakukan penyesuaian terlebih dahulu. Integrasi metadata dan
database akhirnya memerlukan konsolidasi dan integrasi taksonomi atau ontologi
yang berbeda-beda dari semua database lembaga penelitian tersebut (Subagyo,
2011) Dengan kata lain, adanya peta relasi makna kata kunci secara menyeluruh
akan menunjukkan posisi kata kunci dalam jaringan makna. Jadi, ketika sistem
klasifikasi yang tersedia lebih sempit dibandingkan yang awalnya dibuat
(misalnya, dari 46 bidang di PDII-LIPI ke tujuh bidang di Ristek), analis informasi
cukup melihat bidang yang lebih umum (secara peta terletak lebih atas daripada
kata kunci yang digunakan) untuk menentukan kelas yang baru.

D. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah artikel ilmiah dari pangkalan data
ISJD. Karena jumlah keseluruhan artikel yang mencapai 225.000 dan adanya
keterbatasan waktu dalam melaksanakan penelitian ini, data yang diteliti dibatasi.
Tesis ini nantinya akan melakukan analisis relasi makna terhadap kata kunci
artikel ilmiah bidang bahasa di pangkalan data PDII-LIPI. Namun, pada makalah
ini hanya akan dibahas analisis terhadap satu data sebagai model. Pemilihan
bidang bahasa didasari pertimbangan latar belakang pendidikan peneliti. Karena

semantik berada di ranah konsep, peneliti memilih melakukan analisis pada


bidang yang ia pelajari.
Kata kunci pada data diperoleh dari tesaurus atau kamus bidang. Dengan
demikian, kata kunci yang digunakan merupakan istilah (term) ilmiah. Menurut
Kamus Linguistik (Kridalaksana, 2009: 97) istilah adalah kata atau gabungan kata
yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang
khas dalam bidang tertentu. Istilah digunakan pada bidang atau ranah tertentu dan
pemaknaannya pada umumnya dibatasi. Pemaknaan pada istilah tidaklah
sebebas pada kata yang maknanya dapat berubah jika konteks berubah. Sistem
peristilahan apapun, yang dibentuk dari pelbagai tanda yang berfungsi denotatif,
referensial, dan yang lazim berfungsi sebagai penggolong harus disusun
berdasarkan keseluruhan kriteria yang menjadi landasan penggolongan berbagai
objek pengetahuan (Rey, 2000: 23). Hal ini berarti, tanda yang digunakan dalam
peristilahan sudah dikonversi agar memiliki batasan makna yang jelas. Oleh
karena itu, konteks tidak menjadi pertimbangan dalam analisis relasi makna ini.
Untuk

melakukan

analisis

terhadap

kata

kunci,

diperhatikan

pula

bagaimana penentuan kata kunci tersebut. Dalam menentukan kata kunci,


seorang analis dokumen pertama-tama akan mencari kata kunci yang tepat pada
tesaurus sesuai bidangnya. Jika pada tesaurus bidang tersebut tidak ditemukan,
analis dokumen akan mencari pada tesaurus bidang yang berhubungan (dekat).
Jika kata kunci tersebut tidak juga ditemukan, analis dokumen dapat mencarinya
pada Library of Congress Subject Headings (LCSH/ Tajuk Subjek Library of
Congress). Pada prinsipnya, LCSH digunakan dalam mengolah buku dan laporan
ilmiah, sementara untuk artikel ilmiah digunakan tesaurus. Namun, berdasarkan
kesepakatan kerja di PDII-LIPI, LCSH dapat digunakan jika kata kunci tidak dapat
ditemukan dalam tesaurus. Jika istilah dengan konsep yang dicari tetap tidak
ditemukan, analis

dokumen

mengonsultasikannya

dengan

dapat mencarinya
orang

yang

ahli

pada
di

kamus

bidang

istilah

lalu

tersebut

dan

mengeluarkan kata kunci baru dengan kesepakatan tim (kesepakatan bersama


analis dokumen PDII-LIPI).
Penentuan kata kunci dalam artikel ilmiah ISJD, dilakukan dengan metode
vocabulary controlled. Metode ini membatasi penggunaan kata kunci hanya pada

kata/istilah tertentu dari sumber tertentu. Di PDII-LIPI, penggunaan kata kunci ini
sesuai dengan tesaurus bidang. Ada delapan tesaurus yang digunakan, yaitu:
1. Agrovoc: Multilingual Agricultural Thesaurus (AGROVOC)
Food and Agriculture Organization of the United Nation, 1999
2. Thesaurus of Psychological Index Terms (TPI)
The American Psychological Association, 1994
3. Engineering Information Thesaurus (EIT)
Engineering Information Inc., 1995
4. JISCT Thesaurus English Version (JISCT)
The Japan Information Center of Science and Technology, 1993
5. Macro Organization (Macro)
UN Organization, 1998
6. UNESCO Thesaurus (UNESCO)
United Nations Educational Scientific and Cultural Organization, 1995
7. Women in Development Thesaurus (WID)
Center for Scientific Documentation and Information-Indonesian Institute of
Science in corporation with UNICEF, 1991
8. ILO Thesaurus ( ILO)
International Labour Office, 1985

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, selain tesaurus, tajuk subjek


dan kamus digunakan pula dalam proses penentuan kata kunci. Oleh karena itu,
ketiga alat ini pun digunakan sebagai rujukan dalam melakukan analisis penelitian
ini. Menurut Aitchitson (2000:49) Standar penyusunan tesaurus mencakup tiga
relasi, yaitu relasi ekuivalensi, hierarki, dan asosiasi. Ketiga relasi ini merujuk pada
relasi makna, tetapi disusun kembali sesuai kebutuhan perpustakaan. Dalam
penelitian ini, relasi makna dalam kata kunci dianalisis melalui konsep semantik
sinonim, antonim, polisemi, homonim, dan meronim. Dari analisis terhadap kata
kunci tersebutlah dibangun peta relasi makna. Penggambaran peta relasi makna
dilakukan dengan memperhatikan penerapan relasi makna dalam tesaurus.

II. Kerangka Teori


Dalam Kamus Linguistik (Kridalaksana, 2008: 242) disebutkan bahwa
tesaurus adalah buku referensi berupa informasi tentang pelbagai perangkat
konsep atau istilah dalam pelbagai bidang kehidupan atau pengetahuan, disusun
mulai dengan medan makna sebagai lema pokok, lalu diperinci atas submedan
makna hingga ke sinonim dan antonim pelbagai konsep yang dijadikan sublema
menurut tingkatnya. Data yang dianalisis dalam makalah ini bersumber dari
tesaurus ilmiah bidang (ilmu). Tiap tesaurus mencakup istilah-istilah dalam satu
ranah (ilmu). Di PDII-LIPI digunakan sembilan tesaurus yang berada pada tujuh
bidang, yaitu AGROVOC untuk pertanian, perhutanan, dan perikanan; TPI untuk
psikologi; EIT dan JISCT untuk teknik; Macro untuk sosial-ekonomi; UNESCO
untuk pendidikan-budaya; WID untuk wanita; MESH untuk kesehatan, dan ILO
untuk tenaga kerja.
Dalam petunjuk penggunaan tesaurus terdapat penjelasan mengenai relasi
makna antar-kata kunci yang ditandai/digambarkan melalui istilah-istilah khusus
berikut.
1. Relasi ekuivalensi: relasi antara istilah yang digunakan (deskriptor) dan
tidak digunakan (nondeskriptor) yang dalam fungsi indeks, dua istilah atau
lebih tersebut mengacu pada konsep yang sama (Aitchison, 2000: 50).
Pada tesaurus, relasi ekuivalensi ditunjukkan dengan istilah:
USE merujuk pada istilah (kata kunci) yang digunakan (deskriptor)
Used For merujuk pada istilah (kata kunci) yang memiliki kesamaan konsep
dengan USE, tetapi tidak digunakan (merujuk pada USE).
2. Relasi hierarki: relasi ini menunjukkan level superordinasi dan subordinasi.
Istilah superordinasi merujuk pada kelas atau satu kesatuan, sedangkan
istilah subordinasi merujuk pada angota atau bagian dari (Aitchison,
2000:54)
Narrower Term menunjukkan istilah-istilah yang memiliki makna lebih
sempit atau lebih spesifik dibandingkan dengan kata kunci yang digunakan
(anggota atau bagian dari)
Broader Term menunjukkan istilah-istilah yang memiliki makna lebih luas
dibandingkan dengan kata kunci yang digunakan

3. Relasi asosiasi: relasi asosiasi ditemukan pada istilah-istilah yang memiliki


kaitan erat secara konsep, tetapi relasi tersebut tidak bersifat hierarki dan
bukan anggota dari kelompok ekuivalensi (Aitchison, 2000: 60)
Related Term menunjukkan istilah-istilah yang memiliki kaitan makna
dengan kata kunci yang digunakan
4. Selain relasi makna di atas, terdapat pula pemaparan makna kata kunci
(Scope Note atau SN).
Namun, relasi makna yang dibangun dalam tesaurus dibuat untuk setiap kata
kunci, sementara penelitian ini berusaha melihat relasi makna antar-kata kunci,
baik kata-kata kunci dari satu tesaurus maupun antartesaurus.
Dalam kaitannya dengan makna, Cruse (2004: 262) memperkenalkan
dynamic construal approach yang menyatakan bahwa kata-kata sebenarnya tidak
memiliki makna permanen yang melekat pada dirinya. Makna kata muncul ketika
kata tersebut digunakan dalam konteks tertentu atau language use. Namun, hal ini
tidak sepenuhnya berlaku pada istilah (term). Menurut Kamus Linguistik
(Kridalaksana, 2009: 97) istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan
cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam
bidang tertentu. Istilah digunakan pada bidang atau ranah tertentu dan
pemaknaannya pada umumnya dibatasi. Kata kunci yang dijadikan data dalam
makalah ini merupakan istilah ilmiah. Konteks kata kunci tersebut adalah artikel
terkait.
Menurut Cruse (2004: 176) relasi dalam hierarki terbagi menjadi relasi
dominasi (relation of dominance) dan konstrastif (relation of differentiation). Dalam
diagram pohon, penggambaran relasi makna dominasi ditandai dengan hubungan
bersifat horizontal (atas-bawah), sementara hubungan konstrastif ditandai dengan
hubungan bersifat linear (kanan-kiri). Secara struktural, relasi yang terbentuk
secara linear disebut sintagmatik, sedangkan relasi yang terbentuk secara
horizontal disebut paradigmatik.
Dalam hierarki leksikal, terdapat dua kelompok hierarki, yaitu taksonomi
dan meronimi. Taksonomi dan meronimi dalam hierarki ini menggambarkan pola
relasi

dominansi

dan

konstrastif.

Hierarki

taksonomi

merupakan

sistem

pengklasifikasi dan menggambarkan cara penutur satu bahasa mengategorikan


pengalamannya (Cruse, 2004: 176). Menurut Kamus Linguistik (Kridalaksana,

2008: 234) taksonomi adalah klasifikasi unsur-unsur bahasa berdasarkan hierarki.


Sementara itu, meronimi adalah klasifikasi unsur-unsur bahasa berdasarkan
hubungan bagian dari (Kridalaksana, 2008: 152). Dari pengertian tersebut dapat
dikatakan bahwa hubungan taksonomi merupakan kaitan antara unsur-unsur
dalam satu kelompok/jenis, sementara hubungan meronimi merupakan kaitan
antara unsur-unsur dalam satu entitas.
Dalam makalah ini, analisis semantik yang dilakukan adalah mencari
hungan relasi makna di antara kata-kata kunci dalam artikel ilmiah. Hubungan
dalam tesaurus pada umumnya merupakan hubungan taksonomi. Namun, dalam
upaya mencari kaitan antara makna satu kata kunci dan kata kunci lainnya, dapat
pula terbentuk hubungan meronimi.
Dalam situs American Society for Indexing, disebutkan ada dua metode
yang dapat digunakan dalam membangun thesaurus, yaitu top-down dan bottomup. Metode top-down adalah metode penyusunan tesaurus dengan cara
menyusun relasi makna istilah yang diambil dari kamus dan tesaurus yang sudah
ada berdasarkan ruang lingkup tertentu. Sementara itu, metode bottom-up adalah
metode penyusunan tesaurus berdasarkan data dokumen (dalam penelitian ini
adalah artikel ilmiah dalam pangkalan data PDII-LIPI). Analisis dalam makalah ini
dilakukan dengan metode bottom up.

III. Analisis Data


Analisis pada data dilakukan per artikel. Barulah nantinya dari analisis per
artikel tersebut digabungkan untuk membentuk satu rangkaian analisis pemetaan
data keseluruhan. Pada makalah ini, dilakukan analisis terhadap satu artikel dari
data sebagai model analisis. Artikel yang dipilih berjudul Analysing Syntactic
Modifications of Foreigner Talk and Teacher Talk. Pada artikel tersebut, terdapat
tiga buah kata kunci. Ketiga kata kunci tersebut adalah Language instruction,
Syntax, dan Verbal communication. Kata kunci Language instruction dapat
ditemukan di UNESCO Thesaurus (UNESCO). Sementara itu, kata kunci Syntax
dapat ditemukan di UNESCO dan Thesaurus of Psychological Index Terms (TPI).
Untuk kata kunci Verbal communication dapat ditemukan di TPI.
Untuk membuat pemetaan relasi makna ketiga kata kunci di atas, dilakukan
langkah-langkah berikut ini.

1. Langkah pertama, dilihat/dicari sumber (tesaurus/ kamus) kunci tersebut.


Setelah itu, dilihat pada tesaurus terkait, pembatasan makna (SN) dan
relasi makna (BT, NT, RT, UF) setiap kata kunci.
a. Pada UNESCO, Syntax, disebutkan memiliki BT Grammar dan RT
Morphology (Linguistics). Kata kunci Grammar memiliki BT Linguistics.
Sementara itu, pada TPI di sebutkan bahwa RT dari Syntax adalah
Phonetics dan Semantics. Namun, pada TPI, Syntax tidak disebutkan
memiliki BT Grammar.
b. Dalam TPI, disebutkan bahwa BT dari Verbal communication adalah
Communication. Sementara itu, NT nya disebutkan Articulation
(speech), Conversation, Language profiency, Pragmatics dan Story
telling.
c. Pada tesaurus UNESCO, tidak disebutkan SN Language instruction.
Namun, dari UF Language educatin, Language learning, dan Language
teaching dapat dipetakan konstituen makna kata kunci tersebut. NT
untuk Language instruction disebutkan Second language instruction dan
Creative writing sebagai NT2 (makna bawah) dari Second language
instruction. Sementara itu, terdapat beberapa RT untuk Language
instruction, yaitu Foreign languages, Humanities education, Language
laboratory, Linguistics, Literature education, Mother tongue instruction,
Multilingualism, Suggestopedia, dan Uncommonly taught languages.
Namun, dalam bagan, tidak semua RT ditampilkan, dipilih dua aspek
yang dianggap berhubungan dengan topik artikel. Tidak disebutkan BT
dalam kata kunci ini.
2. Kemudian, dari definisi dan relasi makna tersebut, setiap kata kunci dipilih
dan dipilah sesuai kedekatan maknanya dengan kata kunci lain pada data.
Melalui data yang ada, dicari penghubung antar-kata kunci. Pada data di
atas, terdapat rumpang dalam kata kunci Communication (BT dari Verbal
communication) dan Language instruction. Setelah memeriksa pada
UNESCO thesaurus, diketahui bahwa di UNESCO thesaurus, kata kunci
Verbal communication disebut sebagai Speech communication dan terletak
di bawah Language. Oleh karena itu, pada pemetaan, Communication
diletakkan di bawah Language. Hal yang sama dilakukan pada kata kunci

Language instruction dengan alasan, secara makna, kata kunci Language


lebih luas dibandingkan Language instruction yang mengacu pada belajar
bahasa.
3. Ketika terdapat rumpang, keterkaitan relasi makna antara satu kata kunci
dengan kata kunci lainnya tidak ditemukan, ditambahkan istilah linguistik
yang tepat sebagai penghubung. Pada data di atas, telah diperoleh dua
kelompok besar pemetaan, yaitu Language dan Linguistics. Kemudian,
untuk menghubungkan kata kunci yang berada di bawah Language dan
Linguistics, ditambahkan kata kunci Pragmatics untuk menghubungkan
Pragmatics dan Communication.
4. Penambahan kata kunci ini dilakukan dengan melihat pada kemungkinan
istilah dan makna yang tepat. Pemilihan kata kunci baru dilakukan
berdasarkan:
a. membaca artikel (data)
b. membaca literatur yang berkaitan dengan artikel
c. melihat kamus bidang (Kamus Linguistik)
d. Bertanya pada ahli bidang (bahasa dan linguistik)
5. Menggambarkan hubungan relasi makna dalam diagram (pemetaan).
Berikut ini contoh pemetaan hasil analisis kata kunci pada satu judul artikel ilmiah
di pangkalan data ISJD.

Pemetaan relasi makna di atas juga tidak sepenuhnya sama dengan relasi
makna yang disebutkan dalam tesaurus. Hal ini disebabkan luasnya pembahasan
yang diberikan sehinggga perlu disesuaikan dengan data. Namun di sisi lain,
dalam penggambaran relasi makna ditemukan pula adanya rumpang yang
membutuhkan penambahan kata kunci. Rumpang tersebut terjadi karena tidak
semua relasi makna dalam satu kata kunci digambarkan lengkap. Oleh karena
itulah, dalam menyusun pemetaan, dilakukan pemilihan dan pemilahan atas kata
kunci dan relasi maknanya dalam tesaurus.

IV. Kesimpulan
Pemetaan relasi makna pada (satu) data telah dilakukan. Hal ini
menunjukkan bahwa analisis relasi makna pada kata kunci dapat dilakukan. Untuk
melakukan pemetaan, pembatasan dan relasi makna setiap kata kunci pada data
diperiksa di tesaurus. Namun, penyusunan peta relasi makna tidak dibuat
sepenuhnya sama dengan penggambaran dalam tesaurus. Pemilihan relasi
makna dan kata kunci yang dipetakan dilakukan untuk mendapatkan keterkaitan
antar-kata kunci. Pemilihan tersebut juga disebabkan deskripsi relasi makna
dalam tesaurus ada yang terlalu luas dan sebaliknya, ada pula yang memiliki
rumpang. Selain itu, tidak semua kata kunci dalam tesaurus mendapat
penggambaran relasi makna dengan lengkap. Pada proses pemetaan, ditemui
kesulitan karena adanya kata kunci yang ditemukan di lebih dari satu tesaurus,
sementara makna yang digambarkan dalam dua tesaurus tersebut memiliki
perbedaan. Dalam kondisi seperti itu, pemilihan makna dikembalikan ke konteks
kata kunci, yaitu artikel yang bersangkutan.

Daftar Pustaka

Aitchinson, Jean, Alan Gilrichrist, dan David Bawden. 2000. Thesaurus


Construction and Use: a Practical Manual. Cornwall: TJI Digital.

American Society of Indexing. How Do I Build a Thesaurus? Diakses dari


http://www.asindexing.org/i4a/pages/index.cfm?pageid=3623 pada 3 April
2011.

Currie, Anne-Marie, Jocelyn Cohan, dan Larisa Zlatic. 2002. Linguistic


Approaches in Information Retrieval of Medical Texts. Dalam Round Table
on Languages and Linguistics 2000. James E. Alatis, dkk. (Ed.).
Washington: Georgetown University Press.
Cruse, Alan D. 2004. Meaning in Language: An Introduction to Semantics and
Pragmatics. Oxford: Oxford University Press
Cruse, Alan D. 2006. A Glossary of Semantics and Pragmatics. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Google Analytics.
https://www.google.com/analytics/reporting/?reset=1&id=22981369&pdr=20
110829-20110928 diakses 29 September 2011.
Hasibuan, Zainal A. dan Mustangimah. Analisis Hubungan Antara Deskriptor,
Referensi, dan Sitasi untuk Membangun Struktur Koleksi Dokumen yang
Inheren. diakses dari
http://www.batan.go.id/ppin/lokakarya/LKSTN_12/Zainal.pdf, pada 14
Februari 2010.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Meadow, Charles T., Bert R. Boyce, dan Donald H. Kraft. 2000. Text Information
Retrieval Systems Second Edition. San Diego: Academic Press.
Rey, Alan. 2000. Pengantar Terminologi Terjemahan Rahayu S. Hidayat. Depok:
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia.
Subagyo, Hendro, Sjaeful Affandi, dan Lukman. 2011. Integrasi Database
Dokumen Ilmiah dari Lembaga-Lembaga Penelitian Indonesia Berbasis
Ontologi Prosiding e-Indonesia Initiatives (EII) forum ke VII, Bandung.
The American Psychological Association. 1994. Thesaurus of Psychological Index
Terms.
UN Organization. 1998. Macro Thesaurus.

UNESCO Organization. 1995. UNESCO Thesaurus

LAMPIRAN

Data:

Judul : Analysing syntactic modifications of foreigner talk and teacher talk


Pengarang : M. Sukirlan
Sumber : Jurnal pendidikan dan pembelajaran
Penerbit : Universitas Lampung. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Tahun Terbit Artikel: 2007 Volume : 5 No : 2 Halaman : 159-166
Kata Kunci : Language instruction; Syntax; Verbal communication
Sari : NULL
Abstrak : NULL
Telah dilihat sebanyak : 5 kali
Kode Panggil : 370.5 Jur p

Language instruction
UF: Language education
UF: Language learning
UF: Language teaching
NT: Second language instruction
NT2: Creative writing
RT: Foreign languages
RT: Humanities education
RT: Language laboratories
RT: Linguistics
RT: Literature education
RT: Mother tongue instruction
RT: Multilingualism
RT: Suggestopaedia
RT: Uncommonly taught languages
SO: UNESCO

Syntax
SN: Study and rules of the relation of morphemes to one another as expressions
of ideas and as structural components of sentences; the study and science of

sentence construction; the actual grouping and specific combination and


relationship of words in a sentence.
UF: Syntactic analysis
BT: Grammar
BT2: Linguistics
RT: Morphology (linguistics)
RT: Semantics
SO: UNESCO; TPI

Verbal communication
SN: Communication through spoken or written language
BT: Communication
NT: Articulation
NT: Conversation
NT: Language proficiency
NT: Story telling
SO: TPI

Tantangan Menuju Interoperabilitas Akses dan Koleksi


Perpustakaan Digital di Indonesia
Alberto Pramukti Narendra, SS
(Pustakawan Unika Soegijapranata Semarang)
Sekretaris Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Jawa Tengah (FPPTI
Jateng
Abstrak
Tantangan Menuju Interoperabilitas Akses dan Koleksi
Perpustakaan Digital di Indonesia

Perpustakaan dewasa ini mengembangkan perpustakaan digital dengan


berbagai tipikal sehingga muncul berbagai karakter perpustakaan digital yang
tampil di masyarakat virtual. Kebutuhan untuk saling membangun jaringan
muncul untuk menjawab kebutuhan pemustaka terhadap kemudahan akses
dari berbagai pengakalan data digital.
Interoperabilitas
menurut IEEE (1990)
dimaknai sebagai sebuah
kemampuan dua atau lebih dari sistem atau komponen yang mampu untuk
saling bertukar informasi dan bisa saling mempergunakan data atau informasi
yang dipertukarkan tersebut.
Interoperabilitas perpustakaan digital berkaitan dengan peranan membangun
layanan bagi pemustaka secara terpadu yang menyatukan berbagai sistem
yang secara teknis dan organisatoris berbeda. ( Arms 2000)
Interoperabilitas merupakan tantangan yang masih dihadapi oleh
perpustakaan digital di Indonesia. Tantangan berkaitan dengan dimensi
teknis dan dimensi sosial.
Bagi pemustaka, kebutuhan dasarnya
adalah kemudahan akses
ketersediaan koleksi yang mampu menjawab kebutuhan informasi di dalam
sebuah jejaring perpustakaan digital.
Portal Garuda menjadi sebuah contoh pengembangan
jaringan antar
perpustakaan digital khususnya koleksi dan akses perpustakaan digital yang
disediakan sebagai media untuk sharing ilmu pengetahuan khusus Indonesia.
Melalui bantuan sebuah portal memungkinkan adanya sebuah integrasi
konten digital dari kontributor portal sehingga dapat bermanfaat bagi
masyarakat luas dalam sharing pengetahuan dan informasi.
Kata kunci :
Interoperabilitas, koleksi, akses,
perpustakaan digital, Indonesia

portal

Garuda,

teknologi

informasi,

Tantangan Menuju Interoperabilitas Akses dan Koleksi


Perpustakaan Digital di Indonesia
Pendahuluan
Perkembangan perpustakaan di Indonesia dewasa ini semakin mengarah
pada suatu fenomena yang menarik dengan dimanfaatkannya fasilitas
internet dalam kegiatan di perpustakaan. Hadirnya internet juga mewujudkan
suatu trend baru yang kini hadir di perpustakaan yaitu
perpustakaan digital atau digital library yang

munculnya

menambah semakin

beragamnya fasilitas dalamn jasa pelayanan yang disediakan di sebuah


perpustakaan.
Amanat Undang Undang Perpustakaan Nomor 34 tahun 2007 pasal 14 ayat 3
berbunyi

Setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan

sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.


Hal tersebut memberikan penegasan bahwa perpustakaan di Indonesia
didorong untuk melakukan transformasi dan melakukan adaptasi terhadap
perkembangan

teknologi

informasi

dan

komunikasi

dalam

rangka

memberikan jasa pelayanan yang semakin prima bagi para pemustaka


dewasa ini tututannya juga semakin beragam dan kompleks.
Jasa perpustakaan dewasa ini tidak lagi terbatas pada penyediaan sumber
belajar berupa buku teks secara fisik, tetapi berkembang dengan layanan
perpustakaan digital yang semakin beragam, variatif dan memberikan
suasana baru dalam cara melayani bagi para pemustaka secara virtual
melalui bantuan teknologi internet.

Perpustakaan Digital Perguruan Tinggi


Lesk (dalam Pendit, 2007:29) memandang perpustakaan digital secara
sangat umum sebagai semata-mata kumpulan informasi digital yang tertata.
Arms (dalam Pendit, 2007:29) memperluas sedikitnya dengan menambahkan
bahwa koleksi tersebut disediakan sebagai jasa dengan memanfaatkan
jaringan informasi.
Salah satu yang menarik dari sebuah perpustakaan digital adalah bahwa
kehadirannya tidak dapat berdiri sendiri, keberadaannya terkait dengan
sumber sumber informasi lain dan pelayanan informasinya terbuka bagi

semua pengguna dimanapun. Koleksi perpustakaan digital juga meluas mulai


dari sekedar dokumen elektronik pengganti bentuk cetak, tetapi kini meluas
hingga artefak, film,lagu dll. Perpustakaan ini melayani mesin, manajer
informasi,

dan

pemakai

informasi.

Semuanya

ini

demi

mendukung

manajemen koleksi, menyimpan, pelayanan bantuan penelusuran informasi.


Perpustakaan digital perguruan tinggi dapat dikatakan sebagai kumpulan
informasi ilmiah yang tersaji dalam bentuk digital yang menjadi koleksi di
berbagai perguruan tinggi dalam rangka memberikan variasi layanan bagi
pemustakanya.
Perpustakaan digital pada dasarnya ingin memberikan keleluasaan bagi para
pemustakanya dalam hal temu balik informasi yang tidak terbatas oleh ruang
dan waktu, bisa diakses dimana saja dan dalam waktu kapan saja. Koleksi
perpustakaan, perpustakaan digital bisa dinikmati pengguna dimana saja
sehingga pemustaka lebih leluasa dalam menemukan berbagai

sumber

informasi.
Di sisi yang lain perpustakaan digital

yang sekarang ini berkembang di

Indonesia saat ini dengan berbagai tipikalnya memunculkan sebuah


pemikiran baru tentang sebuah kemungkinan kerjasama untuk saling berbagi
di dalam wadah perpustakaan digital, yang selama ini kita ketahui bahwa
masing-masing perpustakaan digital berjalan diatas rel nya masing masing
dan sebagian besar masih terpisah pisah. Inilah yang menjadi tantangan
perpustakaan digital di masa datang, yaitu adanya suatu kemampuan bagi
berbagai sumber daya perpustakaan digital untuk bisa dimanfaatkan secara
bersama-sama oleh pemustaka tanpa harus berpindah ke dalam berbagai
aplikasi basis data masing masing perpustakaan atau dalam bahasa yang
lebih keren disebut dengan terwujudnya interoperabilitas perpustakaan
digital Indonesia.

Resource Sharing
Jauh sebelum perpustakaan digital berkembang pesat dewasa ini, praktek
perpustakaan konvensional telah mengembangkan berbagai macam cara
yang tujuannya adalah pemenuhan kebutuan informasi pemustakanya.
Perpustakaan

konvensional

mengembangkan

berbagai

sarana

untuk

melengkapi pelayanan informasi dengan membangun jaringan dengan


3

berbagai perpustakaan secara fisik. Membangun jaringan dan komunitas ini


dimaksudkan untuk semakin memperkaya berbagai macam koleksi dan
fasilitas yang ada di perpustakaan. munculah kemudian apa yang dinamakan
dengan katalog induk atau union catalog, inter library loan atau jasa pinjam
antar perpustakaan, layanan fotocopy, kartu perpustakaan jaringan dan
berbagai macam fasilitas dalam rangka memperluas layanan. Kerjasama
antarperpustakaan merupakan syarat mutlak untuk memenuhi kebutuhan
informasi pemakainya. (Sulistyo Basuki, 1991: 54)
Komunitas komunitas perpustakaan mengembangkan perpustakaan digital
mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang Fenomena
inilah yang kemudian memunculkan berbagai macam desain dalam
pengembangan perpustakaan digital dengan segala tipikalnya.
Alasan inilah yang kemudian mendorong para pengelola perpustakaan secara
arif meninjau kembali tentang maksud dan tujuan dikembangkannya
perpustakaan digital yang hadir di internet, tidak lain adalah membagikan
informasi sebanyak mungkin bagi pemustaka agar dapat bermanfaat bagi
yang menggunakannya.
Kegiatan mengoleksi dan mengatur sumberdaya digital yang dikembangkan
bersama-sama

komunitas pemakai jasa untuk memenuhi kebutuhan

informasi dari komunitas tersebut merupakan salah satu bentuk semangat


untuk mewujudkan koleksi yang saling dipakai bersama /resource sharing
dalam konsep perpustakaan digital. Upaya ini merupakan salah satu jalan
untuk memberikan keluasan bagi pemustaka dalam menelusur dan
menemukan berbagai informasi yang lebih luas dan beragam di dalam wadah
komunitas.
Menurut Putu Laxman Pendit (2007: 32), Dalam konteks pewujudan resource
sharing ini ada dua unsur yang memberikan pengaruh bagi keberhasilannya,
yaitu :
1. Sisi pandang teknologi ; dari sudut pandang teknologi, kata kunci
dalam definisi perpustakaan digital yang kita kutip diatas adalah
integrasi dan keterkaitan

antar berbagai jenis format data dalam

jumlah yang sangat besar, disimpan dan disebarkan melalui sebuah


jaringan telematika raksasa yang bersifat global.

2. Komunitas pemakai : komunitas pemakai merupakan pihak yang


menentukan keberhasilan perpustakaan digital itu sendiri. Tanpa
teknologi dan pengaturan sosial yang memadai, maka perpustakaan
digital akan tidak ada gunanya manakala para pemakai tidak memiliki
kemampuan dan fasilitas untuk menggunakan koleksi perpustakaan.

Mengapa Penting Interoperabilitas Akses dan Koleksi


Interoperabilitas

menurut IEEE (1990) dalam Lucy Tedd (2005, 83-84)

dimaknai sebagai sebuah kemampuan dua atau lebih dari sistem atau
komponen yang mampu untuk saling bertukar informasi dan bisa saling
mempergunakan data atau informasi yang dipertukarkan tersebut
Di

dalam

konteks

perpustakaan

digital,

secara

sederhana

bahwa

interoperabilitas yang bisa dirasakan langsung oleh pemustaka ketika


kebutuhan pemustaka terhadap informasi terjawab dengan fasilitas jaringan
informasi digital yang dikembangkan sehingga pemustaka merasakan
kemudahan penemuan informasi yang dibutuhkannya.
Perpustakaan perguruan tinggi sebagai salah satu perpustakaan yang cukup
cepat melakukan adaptasi dengan teknologi, ingin memfasilitasi pemanfaatan
berbagi macam sumber daya digital untuk dipakai secara bersama-sama
(resource sharing) dalam satu wadah jaringan kerjasama yang terbuka,
mendukung keterbukaan dan ketersediaan informasi yang semakin luas
melalui internet dengan tetap menghargai kepentingan instusi induknya.
Untuk mewujudkan niat tersebut, masing masing perpustakaan perguruan
tinggi

mempunyai agenda

dua hal yang bisa dikembangkan dengan

bantuan internet dalam rangka resource sharing

(Putu Laxman Pendit,

2007:280) yaitu , :
1. Katalog koleksi buku : merupakan titik akses tunggal bagi semuga
katalog digital perpustakaan yang berpartisipasi. Katalog ini juga bisa
dsebut sebagai katalog induk yang menyediakan fasilitas pencarian
dan pemberian informasi berupa data bibliografi, lokasi perpustakaan
dan ketersediaan koleksi
2. Katalog koleksi tesis dan disertasi : katalog ini sebagai titik akses
tunggal bagi semua katalog digital perpustakaan yang berpartisipasi.

Katalog ini menyediakan fasilitas pencarian dan pemberian informasi


berupa data bibliografi, lokasi dan ketersediaan.

Merupakan sebuah realita di lapngan bahwa pepustakaan perguruan tinggi di


Indonesia mempunyai rambu rambu

yang berkaitan dengan kepentingan

masing masing lembaga yang berkaitan dengan pengamanan, perlindungan


dan upaya untuk

mempertahankan nilai tambah dari koleksi nya dan

sekaligus perlindungan bagi hak kekayaan intelektual dari hasil karya yang
tercipta dari masing masing civitas akademikanya. Terlebih untuk koleksi
grey literatur misalnya laporan penelitian,

tesis dan disertasi, setiap

perguruan tinggi memiliki kebijakan sendiri terhadap akses koleksi yang ada
dimasing masing institusi.

Tetapi sudut pandang pemikiran yang lain, adanya prewujudan suatu


integrasi berkaitan dengan jaringan ketersediaan informasi yang meluas juga
ada di dalam benak pengelola perpustakaan. dari situ diharapkan
terbangunnya suatu interaksi dan komunikasi ilmiah yang makin luas, hangat
dan intensif serta dalam wadah komunitas kerjasama yang saling
memberikan nilai tambah positif. Wujud nyata dari langkah itu adalah
ketersediaan abstrak dari berbagai karya ilmiah koleksi perpustakaan anggota
komunitas untuk digunakan seluas mungkin kepentingan pemustaka.

Dalam rangka menekan adanya resiko plagiasi terhadap berbagai karya


ilmiah tersebut, tanpa harus menutup seluruh akses terhadap koleksi
perpustakaan digital maka berbagai perpustakaan digital perguruan tinggi
dapat

membuat

kesepakatan

dalam

hal

pertanggungjawaban

pemustaka/pengguna, hak mengunduh (download) koleksi digital dan tata


cara pengirimannya (document delivery) dalam hal memanfaatkan berbagai
macam koleksi perpustakaan digital. (Putu Laxman Pendit, 2007:281)

Tantangan Interoperabilitas akses dan koleksi jaringan perpustakaan digital


salah satu unsurnya adalah terwujudnya harapan akan adanya komunikasi
yang mampu menyatukan berbagai format perpustakaan digital sehingga

terwujud suatu integrasi dan keterkaitan di dalam wadah jaringan komunitas


yaitu perpustakaan digital.

Untuk mewujudkan harapan -harapan tersebut, maka perpustakaan akan


menghadapi beberapa implikasi yaitu : (Putu Laxman Pendit, 2007: 281)
1. Masing-masing perpustakaan digital perguruan tinggi menekankan
pentingnya fasilitas pertukaran dan pemindahan (transfer) data yang
tidak menghilangkan kualitas kandungan informasinya

dari segi

telekomunikasi setiap pengembangan perpustakaan digital perguruan


tinggi memakai standar dan protokol yang memungkinkan pertukaran
data secara mudahm terutama untuk hal-hal yang sudah disepakati
diatas.
2. Strategi harvesting : dapat menjadi pilihan solusi untuk membentuk
katalog induk sebagaimana dimaksud diatas.
3. Masing masing perpustakaan digital perguruan tinggi menyiapkan
format pertanggungjawaban dalam penggunaan koleksi digital dan
membuat kesepakatan internal, bilateral maupun multirateral tentang
hal ini.

Interoperabilitas akses dan koleksi perpustakaan digital akan memberikan


suatu cara pandang baru pemustaka dalam berinformasi dan berkomunitas
ilmiah. Perwujudan itu akan memberikan pengaruh

persepsi pemustaka

terhadap pelayanan perpustakaan.

Universitas sebagai lembaga induk mempunyai peran yang penting bagi


pengembangan

perpustakaan

digital.

Misi

universitas

dalam

rangka

peningkatan dan kinerja yang semakin efektif dan efisien sangat berpengaruh
pada perkembangan perpustakaan. Terlebih

dewasa ini universitas juga

berlomba untuk mengejar peringkat perguruan tinggi menuju kelas dunia, dan
perpustakaan mempunyai peran yang strategis untuk ikut mengangkat
pemeringkatan universitas.
Berikut adalah gambar nilai tambah perpustakaan digital perpustakaan
perguruan tinggi Indonesia bagi peningkatan kualitas dan perikat (Putu
Laxman Pendit, 2007: 288)
7

Portal Garuda : teknologi dalam komunitas


Portal garuda merupakan satu contoh hadirnya interoperabilitas akses dan
koleksi

di dalam jaringan perpustakaan digital di Indonsia. Portal garuda

menyatukan sistem teknologi

dalam komunitas sosial

di masing-masing

perpustakaan digital.
Portal Garuda (Garba Rujukan Digital) adalah portal referensi ilmiah dan
umum karya bangsa Indonesia, yang memungkinkan akses e-journal dan ebook domestik, tugas akhir mahasiswa, laporan penelitian, serta karya umum.
Portal ini dikembangkan oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat Dikti - Kemdiknas RI. (Panduan Kontributor Garuda)
Kehadiran portal ini dilatarbelakangi pula oleh melimpah ruahnya informasi
ilmiah berbentuk digital yang ada di berbagai perpustakaan perguruan tinggi
dan perpustakaan yang lain. Kelimpah ruahan informasi tersebut masih
bersifat parsial berada di masing masing server perpustakaan digital dan
belum terkoordinasi menjadi satu layanan yang terpadu dan menyeluruh.
Portal ini juga diharapkan mampu memberikan jawaban yang

lebih

memuaskan terhadap kebutuhan informasi pemustaka. Melalui bantuan

sebuah

portal,

temu

kembali

informasi

yang

tersebar

di

berbagai

perpustakaan lebih cepat didapat dalam waktu yang singkat dan pemustaka
tidak perlu berpindah pangkalan data perpustakaan digital.

Teknologi
Ada dua sudut pandang

dalam menyikapi interoperabilitas perpustakaan

digital. Interoperabilitas dari sudut pandang teknologi dirumuskan sebagai


kondisi teknis yang bercirikan suitable for and capable of being implemented
in a neutral manner on multiple operating systems and multiple programming
languages (Putu Laxman Pendit, 2007 : 285) dan dimensi kerjasama yang
merupakan dimensi sosial dari sebuah pembentukan jaringan kerjasama.
Portal Garuda mengembangkan

interkoneksi di dalam internet

yang

menghubungkan tiga pihak di dalam sistem yaitu :


1. Kontributor antara lain berbagai perpustakaan perguruan tinggi di
Indonesia, PDII LIPI dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
2. Pengguna/Pemustaka
3. Pelaksana Sistem Garuda

Menurut Sony Pawoko (dalam materi Sosialisasi Portal Garuda di Salatiga


Jawa Tengah 14 September 2011), interkoneksi, fungsionalitas sistem
dan arsitektur aplikasi Portal Garuda digambarkan sbb :
INTERKONEKSI

Fungsionalitas Sistem Portal Garuda

10

Arsitektur Aplikasi Portal Garuda

Dari gambar tersebut penulis dapat sampaikan bahwa dari sisi teknologi,
Portal Garuda berupaya untuk melakukan integrasi dengan berbagai
perpustakaan digital dengan teknologi baik secara on line melalui protokol

11

OAI PMH maupun secara off line dengan mengirim data kepada administrator
garuda. Tujuannya adalah sama untuk menambahkan informasi atau
memperluas informasi di dalam portal.

Metadata tersebut selanjutnya

mengalami proses integrasi di dalam manajemen portal. Data secara lengkap


tetap tersimpan di server masing masing anggota jaringan.

Fungsionalitas sistem portal Garuda melibatkan beberapa pihak. Dari sisi


pemustaka/pengguna, diberi fasilitas untuk mampu melihat detail metadata
dan melakukan penelusuran dengan memasukkan kata kunci. Pemanfaatan
portal terbuka oleh semua lapisan masyarakat yang ingin mendapatkan
referensi ilmiah.
Dari sisi perpustakaan anggota jaringan mempunyai kewajiban untuk
menyerahkan metadata yang telah diatur oleh manajemen portal. Format
metadata

berbasis file excel dan

bisa dikirimkan kepada administrator

Garuda.

Anggota Jaringan Perpustakaan yang tergabung dalam Portal Garuda


memiliki dua cara untuk berkontribusi di dalam portal ini. Yaitu :
1. Menggunakan protokol OAI-PMH (Open Archive Initiative Protocol for
Matedata Harvesting). Cara pertama ini dilakukan dengan cara membuat
provider OAI PMH pada sistem aplikasi masing-masing. Provider tersebut
akan diakses oleh portal secara otomatis untuk mendapatkan data dari
sistem yang bersangkutan.
Protokol OAI PMH adalah metode untuk melakukan metadata harvesting
yang tidak bergantung pada jenis platform yang digunakan. Ada dua bagian
yang penting dari OAI PMH yaitu :
a. Data provider atau disebut juga repository : merupakan server pada
suatu jaringan yang bisa diakses dan memproses 6 macam OAI PMH
request, kemudian memberikan response berupa metadata yang
sesuai dengan request yang diterima.
b. Service provider : atau disebut juga harvester merupakan bagian yang
akan mengirim request lalu menerima response

metadata dari

repository. Kemudian metadata yang diterima akan diolah untuk


memberikan layanan tambahan kepada pengguna harvester.
12

Lihat digilib.petra.ac.id/.../jiunkpe-ns-s1-2007-26404023-9119respositori...
2. Dengan membuat file Excel yang berisi data-data perpustakaan yang
bersangkutan. Kolom-kolom yang ada pada file tersebut disesuaikan
dengan metadata yang ada. File excel yang telah dibuat diletakan di
website masing-masing dan diinformasikan ke pengembang sistem atau
dikirim

langsung

melalui

mailing

list

di

alamat

jurnal-

dikti@googlegroups.com atau email: garuda@dikti.go.id

Perpustakaan kontributor portal Garuda menggunakan format metadata


Dublin Core. Format metadata dublin core yang dipakai oleh Portal Garuda
adalah sbb :
Title

Judul karya

Creator

Penulis

subject

Subjek dari karya

description

Abstrak/deskripsi singkat

publisher

Penerbit

contributor

Pihak yang berkontribusi terhadap


suatu karya

date

Tanggal/tahun penciptaan

type

Tipe karya

permalink

URL menuju konten di server asal

right

copyright

Dublin core adalah sekumpulan elemen metadata yang telah disusun dengan
suatu standarisasi dan bisa digunakan untuk mendeskripsikan informasi
tentang suatu resource. Standar yang terdapat di dalam Dublin core hanya
terdapat pada elemen-elemen metadatanya saja. Suatu sistem atau
komunitas yang menerapkan standar Dublin core

diperbolehkan untuk

menggunakan dan menyesuaikan elemen metadata tersebut sesuai dengan


kebutuhan.

Elemen dublin core dinamai dengan nama yang unik dan

dianggap bisa mewakili maksud dan penggunaan dari suatu elemen. Selain

13

itu elemen dublin core dinamai dengan menggunakan satu kata saja, hal itu
dimaksudkan untuk aplikasi. Lihat digilib.petra.ac.id/.../jiunkpe-ns-s1-200726404023-9119-respositori...

Dalam hal pengembangan portal dari sisi teknologi,. Manajemen portal


Garuda mengupayakan beberapa hal yaitu :
1. Integrasi pada level basis-data pada semua kontributor domestik
2. Merubah tampilan
3. Integrasi dengan jurnal internasional
4. Pengembangan Sistem pakar (menghubungkan nama pengarang
dengan subjek)
5. Kategorisasi metadata: semua, domestik, internasional
6. Laporan Statistik kontribusi dan pemanfaatan
7. Investasi server dan bandwidth

Komunitas Sosial
Dimensi ini menjadi sarana yang mendorong kemajuan bersama ketika
teknologi sudah memungkinkan terjadinya pertukaran, komunikasi dan
pemakaian informasi secara bersama-sama oleh anggota komunitas.
Teknologi perpustakaan digital dalam komunitas jaringan dengan dilandasi
oleh semangat untuk saling berbagi pada akhirnya mampu untuk mewujudkan
suatu

integrasi didalam wadah portal. Didalam portal garuda konteks

interoperabilitas dalam hal akses dan koleksi sudah mulai dapat dirasakan
oleh pemustaka maupun kontributor jaringan.
Para kontributor jaringan antara lain yaitu perpustakaan-perpustakaan
perguruan tinggi, Perpustakaan Nasional RI, PDII LIPI dan terhubung dengan
e-journal domestik.
Manajemen portal secara berkala melakukan berbagai langkah dalam hal
pengembangan isi portal. Beberapa langkah tersebut antara lain :
y Memanen metadata kontributor baru yang telah mengirimkan formulir
kesediaan menjadi kontributor
y Memutakhirkan metadata kontributor lama
y Menyelaraskan tampilan

14

Dalam konteks ini peran kesediaan setiap anggota untuk berbagi menjadi
modal utama untuk terwujudnya interoperabilitas. Di dalam sebuah wadah
kerjasama

yang

melibatkan

dimensi

sosio-teknis,

sebuah

proses

berlangsungnya pekerjaaan melibatkan dua unsur yang saling mendukung.


Dua unsur itu adalah sistem teknis dan sistem sosial.
Mumford (1999) dalam (Putu Laxman Pendit 2007: 288)

mengatakan

pandangan sosio teknis dalam sistem informasi tidak dapat dilepaskan dari
kondisi tentang situasi di tempat kerja yang sudah berkembang sebelum ada
penggunaan komputer dalam organisasi. Adanya sistem teknis dan sistem
sosial merupakan dua hal yang tidak terpisah, keduanya merupakan
kesatuan.

Teori

merupakan

sistem

sosio-teknis

(socio-technical

system

theory)

cara memandang organisasi yang menekankan keterkaitan

dimensi teknis dan dimensi sosial.


Bila dikaitkan dengan kehadiran portal Garuda, dimensi sosial yang sangat
dirasakan adalah kemudahan para pemustaka dalam melakukan akses
terhadap koleksi dari berbagai kontributor portal. Portal Garuda juga
mengimplementasikan One stop place to find information. Makna dari motto
ini adalah keinginan manajemen portal Garuda agar pemustaka ketika
berkunjung ke perpustakaan selain menemukan dokumen secara fisik tetapi
juga mendapatkan lebih banyak lagi sumber referensi ilmiah secara digital di
tempat yang sama dan dalam waktu yang cepat.
Integrasi dari berbagai sistem teknologi yang dipadukan dengan kebutuhan
komunitas khususnya perpustakaan, pada akhirnya akan membawa dampak
positif bagi para pemangku kepentingan. Manfaat interoperabilitas itu secara
akan membawa perubahan tehadap berbagai perilaku manusia sebagai
mahluk sosial yang menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Adapun
beberapa manfaat yang bisa diperoleh melalui kehadiran portal Garuda bagi
para pemangku kepentingan yaitu :
a. Memperkaya

informasi

yang

dapat

diakses

oleh

pengguna/pemustaka
b. Meningkatkan jumlah perpustakaan yang dapat diakses oleh
pemustaka
c. Mengurangi duplikasi penelitian

15

d. Pada akhirnya Garuda mengimplementasikan One stop place to


find information sehingga pemustaka tidak perlu berpindah-pindah
lokasi/alamat dari perpustakaan digital dikunjunginya.

Sekian dan terima kasih.

16

Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4)


Samarinda, 8 10 November 2011

PEMANFAATAN CLOUD COMPUTING UNTUK MENDUKUNG


PERPUSTAKAAN BERBASIS DIGITAL
1

Yoki Muchsam1,
Bytech Consult Bandung
Ka1sar1@yahoo.com

ABSTRAKS
Cloud Computing atau komputasi awan ialah gabungan pemanfaatan teknologi
komputer ('komputasi') dan pengembangan berbasis Internet ('awan'). Cloud
sebagaimana awan yang sering digambarkan di diagram jaringan komputer.
Sebagaimana awan dalam diagram jaringan komputer tersebut, awan (cloud) dalam
Cloud Computing juga merupakan abstraksi dari infrastruktur kompleks yang
disembunyikannya. Ia adalah suatu metoda komputasi di mana kapabilitas terkait
teknologi informasi disajikan sebagai suatu layanan (as a service), sehingga
pengguna dapat mengaksesnya lewat Internet tanpa mengetahui apa yang ada
didalamnya, ahli dengannya, atau memiliki kendali terhadap infrastruktur teknologi
yang membantunya. Hal ini karena komputasi awan melalui konsep virtualisasi,
standarisasi dan fitur mendasar lainnya dapat mengurangi biaya Teknologi Informasi
(TI). Menyederhanakan pengelolaan layanan TI, dan mempercepat penghantaran
layanan. Secara umum arsitektur komputasi awan terdiri dari (1) Infrastructure as a
service (IaaS), (2) Platform as a Service (PaaS), (3) Software as a Service (SaaS).
Perpustakaan memiliki potensi yang cukup besar dalam penerapan teknologi cloud
compiting dimasa yang akan datang. Sumberdaya informasi, infrastruktur dan SDM
menjadi bagian dalam mendukung implementasi Cloud computing perpustakaan
berbasis digital. Diharapkan tulisan ini memberikan gambaran konsep penerapan
cloud computing di perpustakaan. Khususnya pustakawan bisa mengambil manfaat
dengan mengadopsi sebagai layanan perpustakaan dengan menggunakan cara
yang lebih sederhana/konservatif
Kata Kunci: cloud computing, IaaS, PaaS, SaaS, perpustakaan digital

1. PENDAHULUAN
Sebuah
perpustakaan
sering
dikatakan sebagai jantung informasi
dalam setiap institusi, bahkan konon
dengan melihat perpustakaannya kita
sudah
dapat
melihat
kualitas
pendidikan yang diberikan oleh institusi
tersebut. Dalam perkembangannya
perpustakaan tidak lepas dari teknologi.
Teknologi informasi dan internet telah
mengakibatkan
banyaknya
koleksi
(resource) yang tersedia dalam bentuk
digital sehingga muncul gagasan untuk
membentuk perpustakaan digital. Istilah
perpustakaan maya, perpustakaan
elektronik, perpustakaan digital dll

selalu menjadi sajian sehari-hari


perpustakaan. Bagi sebagian besar
perpustakaan di Indonesia, aplikasi TI
seperti di negara-negara yang sudah
maju merupakan suatu tantangan harus
dilaksanakan
untuk
mendukung
tuntutan sebagian pengguna jasa
perpustakaan
yang
memerlukan
informasi agar dapat menemukan
informasi yang diperlukan dengan
mudah dan cepat. Dengan demikian
muncul
pertanyaan
Bagaimana
perpustakaan ideal yang mampu
memenuhi
kebutuhan
pengguna?
Perpustakaan ideal yang mampu
memenuhi keinginan

Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4)


Samarinda, 8 10 November 2011

pengguna adalah perpustakaan yang


menyediakan informasi lengkap, dapat
diakses kapan saja, dimana saja dan
dipandu
oleh
pustakawan
yang
profesional
Beberapa tahun belakangan ini, sering
tersebut kata Cloud computing dalam
beberapa tulisan/artikel di media massa
khususnya mengenai trend teknologi
komputer dan sistem telekomunikasi.
Istilah
perpustakaan
maya,
perpustakaan elektronik, perpustakaan
digital dll selalu menjadi sajian seharihari perpustakaan. Bagi sebagian besar
perpustakaan di Indonesia, aplikasi TI
seperti di negara-negara yang sudah
maju merupakan suatu tantangan harus
dilaksanakan
untuk
mendukung
tuntutan sebagian pengguna jasa
perpustakaan
yang
memerlukan
informasi agar dapat menemukan
informasi yang diperlukan dengan
mudah dan cepat. Dengan demikian
muncul
pertanyaan
Bagaimana
perpustakaan ideal yang mampu
memenuhi
kebutuhan
pengguna?
Perpustakaan ideal yang mampu
memenuhi keinginan pengguna adalah
perpustakaan
yang
menyediakan
informasi lengkap, dapat diakses kapan
saja, dimana saja dan dipandu oleh
pustakawan yang profesional.

2. CLOUD COMPUTING
2.1. Karakteristik
Cloud
computing
sebenarnya
bukanlah hal yang baru dalam dunia
teknologi informasi. Web Service,
Internet
Service
Provider
(ISP),
Programmable web, dan virtualisasi
merupakan konsep-konsep yang telah
berkembang dan memberi kontribusi
pada evolusi teknologi ini. Beberepa
definisi
mengenai
konsep
cloud
computing telah sering dikemukakan di
berbagai literatur. Pada tulisan ini
standar
definisi yang
digunakan
dikemukan oleh The National Institute
of standards and Technology (NIST).

NIST mendefinisikan cloud computinng


sebagai sebuah model bayar-sesuaipenggunaan
(pay-per-use)
dalam
menggunakan sumber daya komputasi
(jaringan,
server,
penyimpanan,
aplikasi, layanan) yang selalu tersedia,
mudah diakses, dan bergantung pada
jaringan (on-demand) yang dapat
diakses oleh banyak pengguna; yang
dapat secara cepat dapat dipakai dan
dilepaskan dengan usaha manajemen
atau interaksi penyedia layanan yang
minimal. Cloud computing memiliki 5
karakteristik beikut :
1. On-demand self-service
Pengguna
dapat
menerapkan
sendiri kualitas dan kuantitas
layanan yang dibutuhkan tanpa
perlu bertatap muka landugn
dengan pihak penyedia layanan.
Semua dilakukan sesuai kehendak
pengguna melalui jaringan internet
2. Ubiquitous network access
Layanan dapat diakses kapan saja
dan dimana saja lewat jaringan
internet yang memadai dan melalui
berbagai jenis perangkat client
seperti PC, laptop, PDA, maupun
smartphone.
3. Location-independent
resource
pooling
Sumber daya komputasi yang
disediakan oleh penyedia layanan
bersifat multitenant, dimana mereka
secara fisik dapat tersebar di
berbagai temapta dan digunakan
untuk melayani banyak tempat yang
tersebar.
4. Rapid elasticity
Kapabilitas sumber daya yang
digunakan oleh kunsumen seperti
performansi server dan besar
penyimpanan data dapat dengan
mudah diatur besaranya sesuai
dengan kebutuhan konsumen
5. Pay per use
Layanan
yang
digunakan
dibayarkan oleh konsumen sesuai
dengan banyaknya sumber daya
yan digunakan. Perhitungan tagihan

Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4)


Samarinda, 8 10 November 2011

didasarkan
pada
beberapa
parameter seperti besar pemakaian
storage, bandwith, atau jumlah akun
aktif ynag mengakses layanan
perbulan. Parameter ini telah
disepakati di awal saat konsumen
memutuskan menggunakan layanan
dari pihak penyedia layanan.
2.2. Layanan
Konsep cloud computing tidak dapat
dilepaskan dari lapisan layanan yang
menyusunnya. Sedangkan tiga jenis
model layanan dijelaskan oleh NIST
(Mell dan Grance, 2009) sebagai
berikut :
1. Cloud Software as a Service (SaaS).
Kemampuan yang diberikan kepada
konsumen untuk menggunakan aplikasi
penyedia dapat beroperasi pada
infrastruktur awan. Aplikasi dapat
diakses dari berbagai perangkat klien
melalui
antarmuka
seperti
web
browser(misalnya, email berbasis web).
Konsumen tidak mengelola atau
mengendalikan infrastruktur awan yang
mendasari
termasuk
jaringan,
server,sistem operasi, penyimpanan,
atau
bahkan kemampuan aplikasi individu,
dengan kemungkinan pengecualian
terbatas
terhadap
pengaturan
konfigurasi aplikasi pengguna tertentu.
2. Cloud Platform as a Service (PaaS).
Kemampuan yang diberikan kepada
konsumen untuk menyebarkan aplikasi
yang dibuat konsumen atau diperoleh
ke infrastruktur komputasi awan
menggunakan bahasa pemrograman
dan peralatan yang didukung oleh
provider. Konsumen tidak mengelola
atau mengendalikan infrastruktur awan
yang mendasari termasuk jaringan,
server,
sistem
operasi,
atau
penyimpanan, namun memiliki kontrol
atas
aplikasi
disebarkan
dan
memungkinkan aplikasi melakukan
hosting konfigurasi.
3. Cloud Infrastructure as a Service
(IaaS).

Kemampuan yang diberikan kepada


konsumen
untuk
memproses,
menyimpan,berjaringan, dan komputasi
sumberdaya lain yang penting, dimana
konsumen
dapat
menyebarkan
danmenjalankan
perangkat
lunak
secarabebas , dapat mencakup sistem
operasi dan aplikasi. Konsumen tidak
mengelola
atau
mengendalikan
infrastruktur awan yang mendasari
tetapi memiliki kontrol atas sistem
operasi, penyimpanan, aplikasi yang
disebarkan, dan mungkin kontrol
terbatas komponen jaringan yang pilih
(misalnya, firewall host).
Model penyebaran komputasi awan
menurut NIST terdiri dari empat model
(Mell dan Grance, 2009), yaitu:
1. Private cloud. Swasta awan.
Infrastruktur awan yang semata-mata
dioperasikan bagi suatu organisasi. Ini
mungkin dikelola oleh organisasi atau
pihak ketiga dan mungkin ada pada on
premisatau off premis.
2. Community cloud. Masyarakat awan.
Infrastruktur awan digunakan secara
bersama oleh beberapa organisasi dan
mendukung komunitas tertentu yang
telah berbagi concerns (misalnya, misi,
persyaratan keamanan, kebijakan, dan
pertimbangan kepatuhan). Ini mungkin
dikelola oleh organisasi atau pihak
ketiga dan mungkin ada pada on
premis
atau off premis.
3. Public cloud.
Infrastruktur awan yang dibuat tersedia
untuk umum atau kelompok industri
besar dan dimiliki oleh sebuah
organisasi yang menjual layanan awan.
4. Hybrid cloud. Hybrid awan.
Infrastruktur
awan
merupakan
komposisi dari dua atau lebih awan
(swasta, komunitas, atau publik) yang
masih entitas unik namun terikat
bersama oleh standar atau kepemilikan
teknologi yang menggunakan data dan
portabilitas aplikasi (e.g., cloud bursting
for
loadbalancingbetween
clouds).
Secara garis besar definisi komputasi

Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4)


Samarinda, 8 10 November 2011

awan
menurut
NIST
dapat
digambarkan (Mell dan Grance, 2009)
sebagai berikut :

2.3 Komponen Cloud Computing


Ada tiga komponen dasar komputasi
awan dalam topologi yang sederhana
menurut Velte (2010) yaitu
clients, datacenter, and distributed
servers.
Ketiga komponen dasar tersebut
memiliki tujuan dan peranan yang
spesifik dalam menjalankan operasi
komputasi awan. Konsep ketiga
komponen tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut :

Clients
pada
arsitektur
cloud
computing dikatakan the exact same
things that they are in a plain, old,
everyday local area network (LAN).
They are, typically, the computers that
just sit on your desk. But they might
also be laptops, tablet computers,
mobile phones, or PDAsall big drivers
for cloud
computing because of their mobility.
Clients are the devices that the end
users interact with to manage their
information on the cloud.

Datacenter is the collection of servers


where the application to which you
subscribe is housed. It could be a large
room in the basement of your building
or a room full of servers on the other
side of the world that you access via
the Internet. A growing trend in the IT
world is virtualizing servers. That is,
software can be installed allowing
multiple instances of virtual servers to
be used. In this way, you can have half
a dozen virtual servers running on one
physical server.
Sedangkan
Distributed
Servers
merupakan penempatan server pada
lokasi yang berbeda. But the servers
dont all have to be housed in the same
location. Often, servers are in
geographically disparate locations. But
to you, the cloud subscriber, these
servers act as if theyre humming away
right next to each other. Komponen lain
dari cloud computing adalah Cloud
Applications memanfaatkan cloud
computing dalam hal arsitektur
software. Sehingga user tidak perlu
menginstal dan menjalankan aplikasi
dengan menggunakan komputer Cloud
Platform merupakan layanan berupa
platform
komputasi
yang
berisi
infrastruktur hardware dan software.
Biasanya mempunyai aplikasi bisnis
tertentu dan menggunakan layanan
PaaS sebagai infrastruktur aplikasi
bisnisnya. Cloud Storage melibatkan
proses penyampaian penyimpanan
data sebagai sebuah layanan. Cloud
Infrastructure
merupakan
penyampaian infrastruktur komputasi
sebagai sebuah layanan.

3. PERKEMBANGAN KOLEKSI
DIGITAL
.
Dunia perpustakaan semakin
hari semakin berkembang dan bergerak
ke depan. Perkembangan dunia
perpustakaan
ini
didukung
oleh
perkembangan teknologi informasi dan

Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4)


Samarinda, 8 10 November 2011

pemanfaatannya yang telah merambah


ke berbagai bidang. Hingga saat ini
tercatat beberapa masalah di dunia
perpustakaan yang dicoba didekati
dengan
menggunakan
teknologi
informasi. Dari segi data dan dokumen
yang disimpan di perpustakaan, dimulai
dari perpustakaan
tradisional yang hanya terdiri dari
kumpulan koleksi buku tanpa katalog,
kemudian muncul perpustakaan semi
modern yang menggunakan katalog
(index).
Katalog
mengalami
metamorfosa menjadi katalog elektronik
yang lebih mudah dan cepat dalam
pencarian
kembali
koleksi
yang
disimpan di perpustakaan.
Koleksi perpustakaan juga mulai
dialihmediakan ke bentuk elektronik
yang lebih tidak memakan tempat dan
mudah ditemukan kembali. Ini adalah
perkembangan
mutakhir
dari
perpustakaan, yaitu dengan munculnya
perpustakaan digital (digital library)
yang memiliki keunggulan dalam
kecepatan
pengaksesan
karena
berorientasi ke data digital dan media
jaringan komputer (internet) Di sisi lain,
dari
segi
manajemen
(teknik
pengelolaan),
dengan
semakin
kompleksnya koleksi perpustakaan,
data peminjam, transaksi dan sirkulasi
koleksi perpustakaan, saat ini muncul
kebutuhan akan penggunaan teknologi
informasi untuk otomatisasi business
process di perpustakaan. Sistem yang
dikembangkan dengan pemikiran dasar
bagaimana kita melakukan otomatisasi
terhadap berbagai business process di
perpustakaan,
kemudian
terkenal
dengan sebutan sistem otomasi
perpustakaan
(library
automation
system).
3.1 Process di Perpustakaan
Sistem otomasi perpustakaan yang kita
kembangkan
harus
berdasarkan
kepada
proses
bisnis
(business
process) sebenarnya yang ada di
perpustakaan
kita.
Prosentase

kegagalan implementasi suatu sistem


dikarenakan sistem dikembangkan
bukan berdasarkan kebutuhan dan
proses bisnis yang ada di organisasi
yang akan menggunakan sistem
tersebut.
Sistem otomasi perpustakaan yang
baik adalah yang terintegrasi, mulai dari
sistem pengadaan bahan pustaka,
pengolahan bahan pustaka, sistem
pencarian kembali bahan pustaka,
sistem
sirkulasi,
membership,
pengaturan
denda
keterlambatan
pengembalian, dan sistem reporting
aktifitas perpustakaan dengan berbagai
parameter pilihan. Lebih sempurna lagi
apabila sistem otomasi perpustakaan
dilengkapi dengan barcoding, dan
mekanisme pengaksesan data berbasis
web dan internet. Berikut adalah salah
satu
contoh
sistem
otomasi
perpustakaan dengan fitur-fitur yang
mengakomodasi
kebutuhan
perpustakaan secara lengkap, dari
pengadaan, pengolahan, penelusuran,
serta
manajemen
anggota
dan
sirkulasi. Diharapkan contoh sistem
yang ditampilkan dapat dijadikan studi
kasus dalam pengembangan sistem
otomasi perpustakaan lebih lanjut.
3.2 Otentikasi Sistem
Sistem akan melakukan pengecekan
apakah username dan password yang
dimasukkan adalah sesuai dengan
yang ada di database. Kemudian juga
mengatur
tampilan
berdasarkan
previlege pemilik account, apakah dia
sebagai pengguna atau admin dari
sistem.
3.3 Menu Utama
Menampilkan
berbagai
menu
pengadaan, pengolahan, penelusuran,
anggota
dan
sirkulasi,
katalog
peraturan, administrasi dan security.
Menu ini dapat di setting untuk
menampilkan menu sesuai dengan hak
akses user (previlege), misal kita bisa

Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4)


Samarinda, 8 10 November 2011

hanya mengaktifkan menu penelusuran


untuk pengguna umum, dsb.

buku, dan pemesanan peminjaman


buku.

3.4
Administrasi,
Security
dan
Pembatasan Akses
Fitur ini mengakomodasi fungsi untuk
menangani pembatasan dan wewenang
user, mengelompokkan user, dan
memberi user id serta password. Juga
mengelola dan mengembangkan serta
mengatur sendiri akses menu yang
diinginkan.

3.9 Pelaporan (Reporting)


Sistem reporting yang memudahkan
pengelola perpustakaan untuk bekerja
lebih cepat, dimana laporan dan rekap
dapat dibuat secara otomatis, sesuai
dengan parameter-parameter yang
dapat kita atur. Sangat membantu
dalam proses analisa aktifitas
perpustakaan, misalnya kita tidak perlu
lagi membuka ribuan transaksi secara
manual
untuk
melihat
transaksi
peminjaman
koleksi
dalam
satu
kategori, atau mengecek aktifitas
seorang pengguna perpustakaan dalam
1
tahun
konsep-kosenp
social
networkingnya,
openess,
share,
colaborations,
mobile,
easy
maintenance, one click, terdistribusi /
tersebar, scalability, Concurency dan
Transparan, Saat ini terdapat trend
teknologi yang masih terus digali dalam
penelitian-penelitian para pakar IT di
dunia, yaitu Cloud Computing. Akses
data dari mana saja dan menggunakan
perangkat fixed atau mobile device
menggunakan internet cloud sebagai
tempat menyimpan data, applications
dan lainnya yang dapat dengan mudah
mengambil data, download applikasi
dan berpindah ke cloud lainnya, hal ini
memungkinkan kita dapat memberikan
layanan aplikasi secara mobile di masa
depan. Trend ini akan memberikan
banyak keuntungan baik dari sisi
pemberi layanan (provider) atau dari
sisi user.Trend saat ini adalah dapat
memberikan berbagai macam layanan
secara teristribusi dan pararel secara
remote dan dapat berjalan di berbagai
device, dan teknologinya dapat dilihat
dari berbagai macam teknologi yang
digunakan dari proses informasu yang
dilakukan secara otsourching sampai
dengan penggunaan eksternal data
center
[3].
Cloud
Computing
merupakan model yang memungkinkan
dapat mendukung layanan yang

3.5 Pengadaan Bahan Pustaka


Fitur ini mengakomodasi fungsi untuk
pencatatan permintaan, pemesanan
dan pembayaran bahan pustaka, serta
penerimaan dan laporan (reporting)
proses pengadaan.
3.6 Pengolahan Bahan Pustaka
Fitur ini mengakomodasi proses
pemasukkan data buku/majalah ke
database, penelusuran status buku
yang diproses, pemasukkan cover
buku/nomer barcode, pencetakan kartu
katalog, label barcode, dan nomor
punggung buku (call number).
3.7 Penelusuran Bahan Pustaka
Penelusuran atau pencarian kembali
koleksi yang telah disimpan adalah
suatu hal yang penting dalam dunia
perpustakaan.
Fitur
ini
harus
mengakomidasi penelusuran melalui
pengarang, judul, penerbit, subyek,
tahun terbit, dsb.
3.8 Manajemen Anggota dan Sirkulasi
Ini termasuk jantungnya sistem otomasi
perpustakaan, karena sesungguhnya
disinilah banyak kegiatan manual yang
digantikan oleh komputer dengan jalan
mengotomasinya. Didalamnya terdapat
berbagai fitur diantaranya: pemasukkan
dan
pencarian
data
anggota
perpustakaan, pencatatan peminjaman
dan pengembalian buku (dengan
teknologi barcoding), penghitungan
denda keterlambatan pengembalian

Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4)


Samarinda, 8 10 November 2011

disebut
Everything-as-a-service
(XaaS) [6]. Dengan demikian dapat
mengintegrasikan virtualized physical
sources,
virtualized
infrastructure,
seperti
juga
sebaik
virtualized
middleware platform dan aplikasi bisnis
yang dibuat untuk pelanggan didalam
cloud tersebut.
Ada beberapa keuntungan yang dapat
dilihat dari perkembangan Cloud
Computing ini, seperti :
1. Lebih efisien karena menggunakan
anggaran yang rendah untuk sumber
daya
2. Membuat lebih eglity, dengan mudah
dapat berorientasi pada profit dan
perkembangan yang cepat
3.
Membuat
operasional
dan
manajemen lebih mudah, dimungkinkan
karena system pribadi atau perusahaan
yang terkoneksi dalam satu cloud dapat
dimonitor dan diatur dengan mudah
4.
Menjadikan
koloborasi
yang
terpecaya dan lebih ramping
5. Membantu dalam menekan biaya
operasi biaya modal pada saat kita
meningkatkan reliability dan kritikal
sistem informasi yang kita bangun.

kemudahan
dan
keamanan,
dimungkinkan dapat dengan mudah
para user untuk pindah dari satu
aplikasi ke aplikasi lain dimana saja.
Software as a services (SaaS):
perkembangan
dari
web
2.0,
perpaduan dengan online application
SAAS,
Dapat
memungkinkan
kolaborasi dan integrasi manajemen
tools semua devices.
Interkoneksi Sel
Grid
computing
muncul
untuk
menyatukan banyak CPU yang bekerja
secara pararel untuk menyelesaikan
suatu pekerjaan tertentu. Integrasi CPU
ini bias saja dilakukan dalam sebuah
network lokal atau internetworking yang
tersebar di seluruh dunia. Interkoneksi
ini membentuk cel-cel yang saling
terintegrasi secara private atau public
atau kedua-duanya.

Infrastructure as a Service (IaaS),


Platform as a Service (PaaS), Software
as a Service (SaaS),Human as a
Service (HaaS) [6].
Struktur Cloud Computing
Terdapat tiga komponen platform =
computer desktop, mobile devices dan
cloud, dengan memperhatikan masalah

CONTOH IMPLEMENTASI APLIKASI


MENGGUNAKAN CLOUD
COMPUTING
Salesforce.com

Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4)


Samarinda, 8 10 November 2011

Contoh
aplikasi
berbasis
cloud
computing
adalah
salesforce.com,
Google Docs. salesforce.com adalah
aplikasi
Customer
Relationship
Management (CRM) berbasis software
as
services,
dimana
kita
bisa
mengakses aplikasi bisnis: kontak,
produk, sales tracking, dashboard, dll.
Google Docs adalah aplikasi word
processor, spreadsheet, presentasi
semacam Microsoft Office, yang
berbasis di server. Terintegrasi dengan
Google Mail, file tersimpan dan dapat di
proses dari internet.

komunitas sistem informasi dalam hal


penerimaan
pengguna
terhadap
teknologi (Chuttur, 2009). Model yang
dibangun oleh Fred Davis ini telah
mengalami beberapa revisi hingga
mencapai
bentuk
finalnya
pada
Gambar 2. Menurut model ini, ada 2
faktor yang mempengaruhi keputusan
pengguna untuk menggunakan suatu
teknologi baru yang ditawarkan, yaitu
Perceived of Usefulness (POU) dan
Perceived Ease of Use (PEOU). POU
diartikan sebagai derajat dimana
seseorang percaya bahwa dengan
menggunakan suatu sistem dapat
meningkatkan performa pekerjaannya,
sedangkan PEOU adalah derajat
dimana seseorang percaya bahwa
penggunaan suatu sistem tidak akan
memerlukan usaha yang besar.

4. FRAMEWORK PENDUKUNG
4.1 Technology Acceptance Model
Technology Acceptance Model (TAM)
merupakan satu-satunya model yang
paling banyak menarik perhatian dari

Gambar 2 Technology Acceptance


Model

Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4)


Samarinda, 8 10 November 2011

TAM

terbilang

cukup

sederhana,

sehingga dapat diekstensi dengan


menambahkan variable-variabel yang
menjelaskan motif di balik POU dan
PEOU. Ekstensi dari TAM yaitu TAM 2
(Venkatesh dan Davis, 2000) dan
model ekstensi TAM untuk mengetahui
motif di balik PEOU (Venkatesh, 2000).
Sebuah riset yang dikemukakan oleh
Faith
Simba
dalam
disertasinya
mencoba membangun sebuat roadmap
yang
disebut
dengan
ROCCA
(Roadmap for Cloud Computing
Adoption). ROCCA ditujukan untuk
menyediakan
panduan
kepada
organisasi dalam mengadopsi teknologi
cloud computing.
Selain
itu,
penelitian
ini
juga
mengajukan sebuah framework yang
berkaitan, disebut RAF (ROCCA
Achievment Framework) uang ditujukan
untuk mengukur tingkat keberhasilan
roadmap. Pembangunan roadmap yang
tepat guna memerlukan berbagai
informasi
dari
berbagai
literatur
disebabkan
karena dibutuhkannya pengetahuan
yang luas dari berbagai aspek
(teknologi, perilaku organisasi, model
bisnis) untuk dapat memahami proses
adopsi cloud computing di organisasi

secara

menyeluruh.

Faith

Simba

menemukan
tantangan-tantangan
dalam proses adopsi teknologi cloud
computing diorganisasi. Tantangan
tersebut menurutnya adalah security,
legal, compliance, dan tantangan
organisasi. Namun menurutnya, faktor
kepercayaan (trust) antara klien dan
vendor merupakan ujung dari semua
tantangan tersebut. Beberapa standar
yang digunakan untuk memastikan
terbangunnya kepercayaan ini yaitu
ISO 27001, ISO 27002, Control
Framework for Information and Related
Technology
(COBIT),
dan
The
Information Technology Infrastructure
Library (ITIL).
Menurutnya, dengan menggunakan
roadmap yang terbangun dengan baik,
para CIO dan CTO akan memiliki
pemahaman yang lebih baik atas
faktorfaktor yang terlibat dalam adopsi
cloud computing dan mereka akan
memiliki
panduan
selama
berlangsungnya proses adopsi tersebut
Adapun hasil rumusan ROCCA adalah
berupa 5 langkah strategi adopsi cloud
computing yang terangkum pada
Gambar 3.

Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4)


Samarinda, 8 10 November 2011

5. STRATEGI ADOPSI TI DI
PERPUSTAKAAN
Peningkatan kemampuan adopsi TI
dapat menjadi salah satu solusi
peningkatan
kinerja
perpustakaan
digital, adapun tahapan strategi adopsi
cloud computing untuk pepustakaan di
indonesia.
5.1 Tahap Early Learning
Pada kondisi ini perpustakaan
dalam
proses
memperoleh
pengetahuan
mengenai
cloud
computing,
manfaat
dan
pengaruhnya terhadap organisasi
dan bisnis
5.2 Tahap Analisis
Tahap ini dibagi menjadi subtahapan spesifik yang menganalisis
mengenal
implementasi
cloud
computing pada perpustakaan
a. Analisis kebutuhan
Pada tahap ini kebutuhan
dari perpustakaan
b. Analisis Kesiapan Organisasi
c. Analisis Dampak
5.3 Tahap Evaluasi Solusi
Tahap ini meliputi benchmarking
ke beberapa vendor cloud computing
untuk memilih layanan yang tepat. Alat
bantu seperti Magic Quadrant oleh
Gartner
dapat
digunakan
untuk
memandu perpustakaan dalam memilih
vendor cloud computing yang paling
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
perpustakaan. Untuk memudahkan
perpustakaan dalam memilih, vendor
dapat menggunakan konsep ServiceOriented Architecture (SOA) sehingga
porduk yang ditawarkan lebih mudah
dimengerti karena sudah berupa
service. Selain itu, pada tahap ini juga
dievalusi
kesiapan
lingkungan
pendukung, seperti isu keamanan, isu
low bandwidth, dan isu legal.

5.4 Tahap Adopsi


Pada tahap ini dibuat keputusan
mengenai vendor yang dipilih untuk
penerapan cloud computing beserta
layanan
yang
dipilih.
Setelah
diputuskan, disusun roll-out plan untuk
merencanakan proses migrasi data dan
konfigurasi
lainnya.
Selanjutnya
rencana tersebut dieksekusi dengan
melakukan integrasi sistem cloud
(aplikasi,
platform,
infrastruktur),
outsourcing,
perancangan
Service
Level Agreement, dan pembuatan
kontrak dengan vendor penyedia
layanan.
5.5 Tahap Manajemen
Pada tahap ini, kontrak yang sudah
disepakati antara pengguna dengan
penyedia layanan dipastikan telah
memuaskan semua pihak sehingga
proyek dapat dinyatakan selesai. Best
practices dan pengalaman yang
didapatkan didokumentasikan Tahap ini
juga
meliputi
proses
setelah
implementasi,
seperti
masalah
dukungan teknis, evaluasi kinerja, dan
pemeliharaan selama penerapan cloud
computing.
6. KESIMPULAN
Perpustakaan memiliki potensi yang
cukup besar dalam menerapkan
teknologi cloud computing di masa
yang
akan
datang.
Dengan
tersedianyan
potensi-potensi
yang
dimiliki perpustakaan mulai dari tupoksi,
jaringan antar kabupaten kota atau
lembaga terkait, sumberdaya informasi,
infrastruktur tentunya dapat menjadi
kekuatan dalam penerapnnya. Namun
tetap perlu rencana yang cermat dan
menyeluruh mengenai infrastruktur,
keamanan data dan sumber daya
manusia. Serta tidak kalah pentingnya
adalah dukungan internal dari penentu
kebijakan sehingga mempermudah
dalam proses terciptanya layanan
komputasi awan perpustakaan Berikut

Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia 4 (KPDI-4)


Samarinda, 8 10 November 2011

ini kira-kira
dimanfaatkan
cloud :

layanan
dengan

yang bisa
mengadopsi

1. layanan referens : anggota


perpustakaan dapat bertanya
melalui widget yahoo messenger
atau
form
request
yang
disediakan oleh library portal.
2. layanan peminjaman : anggota
dapat
memperpanjang
dan
memesan
koleksi
serta
mengetahui status peminjaman.
3. layanan webinar: perpustakaan
dapat melakukan user education
melalui
webinar
(seminar
berbasiskan web) dengan para
anggota
4. layanan
membaca
:
perpustakaan
dapat
menyediakan layanan ebooks
yang bisa dibaca oleh anggota
setelah login.
5. layanan
online
storage
:
memberikan
akses
kepada
anggota
untuk
menyimpan,
mengelola dan sharing file
secara online
5. REFERENSI
[1] Adiska
Fardani,
Kridanto
Surendro,
Strategi
Adopsi
Teknologi Informasi Berbasis
Cloud Computing untuk Usada
Kecil
dan
Menengah
di
Indonesia,
Prosiding SNATI
2010,
Universitas
Islam
Indonesia.
[2] Gatot
Subrata
Skom,
Perpustakaan
Digital,
Pustakawan Perpustakaan UM
2009
[3] Akhmad Syaikhu., Komputasi
Awan
(Cloud
Computing)
Perpustakaan Pertanian, Jurnal
Perpustakaan Indonesia Volume
10 no.1

[4] CRM & Cloud Computing,


(diakses
dari
alamat:
http://www.salesforce.com
[5] Cloud Computing Advantages
(diakses
dari
alamat
:
http://cloudcomputingadvantages
.org)

Catatan Hasil Rapat Pleno


Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia Ke-5
Samarinda, 9 November 2011
1. Panitia Pengarah (Steering Committee) Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia
telah mengadakan rapat pada tanggal 9 November 2012 di Hotel Mesra Samarinda
untuk mengevaluasi penyelenggaran KPDI sebelumnya dan membahas perencanaan
penyelenggaraan KPDI yang akan datang.
2. Dengan mempertimbangkan masukan dari para peserta maupun pihak-pihak lain
serta berbagai aspek lainnya, Panitia Pengarah Konferensi Perpustakaan Digital
Indonesia menetapkan :
a. Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia tetap akan diselenggarakan setiap
tahun;
b. Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia ke-5 direncanakan akan
dilaksanakan pada 6-8 November 2012.
c. Tema Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia ke-5 adalah Standarisasi
Metadata.
d. Bersama dengan penyelenggaraan Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia
akan diselenggarakan pula lokakarya (workshop) untuk topik-topik yang
relevan dengan perkembangan perpustakaan digital di Indonesia.
e. Topik dan penyelenggaraan lokakarya akan dibahas dalam rapat-rapat Panitia
Pengarah selanjutnya.
3. Ada 2 (dua) lembaga yang mengajukan permintaan untuk menjadi tuan rumah
Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia ke-5, yaitu Badan Arsip dan Perpustakaan
Daerah Sulawesi Selatan dan Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Berdasarkan hasil perhitungan pilihan peserta Rapat Pleno, suara terbanyak
didapat oleh Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan
demikian, ditetapkan bahwa Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia ke-5 akan
diselenggarakan di Nusa Tenggara Timur.
Samarinda, 9 November 2011
Panitia Pengarah Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia,
Ketua
ttd.
Dr. Zainal Arifin Hasibuan

DAFTAR PESERTA KPDI 4 2011

NO

NAMA LENGKAP

JENIS
KELAMIN

Drs. Agung Kartika Pura

Drs. Djoko Purwanto, MP

Hj. Enny Heryani Ratnasari


Soebari, SH,CN
Hj. Ida Wahida Hidayati, SE,
SH, M.Si
Dra. Hj. Dinny Resmiati. M.Si
Dra. Dindin Herdiningsih,
M.M
Dra. R. Hildawati, M.M

Dra. Tety Rusmaharani

9
10
11
12

Asep Muslih, SH
Dra. Titiek Kismiyati, M.Hum
Drs. Mulyono, M.Si
Lamang Ahmad
Yunita Riris Widawaty,
M.Hum
Sintha Ratnawati, M.Hum
I Made Suatmaja
Yulita Kuntari
Bambang Setiawan

L
P
L
L

Dra. Prita Wulandari, M.Lib


Kokom Komariah
Lilik Suwarni
Dra. Fathmi, SS
Dra. Ratu Atibah Mulyani, M.
Si
Serilanjunita, SE
Hanita Sulistia
Sahat Marulitua
Tri Listiowati
Fahrullah
Ari Suseno
Dra.Hj.Wahidah Arsyad
Daud, SIP,M.Si
Abdurrakhman Prasetyadi,
S.Sos
Achmad Rudy Hartono

3
4
5
6

13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

INSTANSI
Biro Hukum dan Informasi Publik, Sekretariat Jenderal, Kementerian
Pertanian
Biro Hukum dan Informasi Publik, Sekretariat Jenderal, Kementerian
Pertanian

Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat.

Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat

Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat

Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat

Kantor Arsip danPerpustakaan Daerah Kota Bogor


Badan Perpustakaan Arsip dan Pengembangan Sistem Informasi Kab.
Bandung
Perpusnas RI
Perpusnas RI
Kantor Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah Kota Malang

Universitas Multimedia Nusantara

P
L
P
L

Pusat Informasi Kompas


Perpustakaan Hukum Bank Indonesia
Perpustakaan Hukum Bank Indonesia
Perpustakaan Hukum Bank Indonesia

P
P
P
P

Perpusnas RI
Bapussipda Jabar (Perpusnas RI)
Perpusnas RI
Perpusnas RI

Perpusnas RI

P
P
P
P
L
L

Perpusnas RI
Perpusnas RI
Perpusnas RI
Perpusnas RI
Akper Yarsi
Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Prov. Sulawesi Tenggara

UPT BIT - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung

UPT BIT - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung

32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44

Suherman
Kamaludin, S.Sos
Drs. Teguh Purwanto
Ana Soraya
Muhammad Qodir
Muhamdin Razak
Nontje Gahung
Sheliani
Jeng Ayu Ning Tyas
Murgono
Sutrisno
Drs. Joko Harianto
Iin Syahfitri

L
L
L
P
L
L
P
P
P
L
L
L
P

UPT BIT - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung


UPT BIT - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung
Perpusnas RI
Perpusnas RI
Perpusnas RI
Perpusnas RI
Universitas Klabat Manado
PT. Grafindo Media Pratama
PT. Grafindo Media Pratama
UNNES Semarang
UNNES Semarang
MAN Tarakan
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda

45
46
47

Jaya S
Ratna Yuli Wulandari
Indah Hairunnisa

L
P
P

48

Lumer

49

Dominggus

50

Setia Jaya

51
52

Rusma Yuliarti, S. Pd.


Any Sri Fauzianie, MBIS
Ida Bagus Gede Purwa, A.
Md
Sri Hartono
Julinta Melyani

P
P

Perpustakaan UKI Jakarta


Perpustakaan Biblika Lembaga Alkitab Indonesia
Perpustakaan Pertamina Jakarta
Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kab. Gunung Mas
Kalteng
Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kab. Gunung Mas
Kalteng
Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kab. Gunung Mas
Kalteng
Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kab. Tapin, Kalsel
Bandung International School

Universitas Pendidikan Ganesha

L
P

Badan Perpustakaan dan Kearsipan Prov. Jawa timur


Pusdiklat BPK RI

Santosa Budi Prihatiningtyas


Dra. Siswi Wresniati, M. Si
Susi Annisa Uswatun
Hasanah, S. Sos
Rahmawati, M. Pkim
Thiara Isnastiti A, SE
Aisyah, S. Sos

L
P

Pusdiklat BPK RI
Badan Litbang Kesehatan- Menteri Kesehatan RI

Badan Litbang Kesehatan- Menteri Kesehatan RI

P
P
P

MAN 1 / KEMENAG
Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kab. Bekasi
Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kab. Bekasi

Perpustakaan CRCS-ICRS SPs UGM

Dinas Perindustrian,Kop,dan UMKM

64
65
66
67

Widiarsa
Dra. Hj. Siti Rusmalia Idrus,
M.Si
Dra. Hj. Sri Hadiyati
Drs. Mulyono, M. Pd.
Dra. Tri lestari Handayani
R. Sutrisno Budiarsih, S. Sos

P
P
P
L

68

Sunar, S, IP

69

Doddi Sartono

Dinas Perindustrian,Kop,dan UMKM


Badan Arsip dan Perpustakaan Prov. Jawa Tengah
Badan Arsip dan Perpustakaan Prov. Jawa Tengah
Badan Arsip dan Perpustakaan Prov. Jawa Tengah
Instalasi Perpustakaan dan Peningkatan Kemampuan SDM RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta
Bank Indonesia / Unit Khusus Museum Bank Indonesia

53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63

70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80

Herliansjah Himrie
Dananjaya Wicaksono
Nanda Suci Rahimah, S. Si
Salbiah, S. Pd.I
Ratnawati Dora
Chaidir Amir
M. Rasyid Ridho
Ooi Hai Lee
Agus Sutikno, SP., M. Si.
Yasin Setiawan, S. Kom.
J Catur Prasetiawan

L
L
P
P
P
L
L
L
L
L
L

81

Ella Komaladewi

82

Try Utomo Payung

83
84
85
86
87

Drs. Achmad Amin Sutoyo


Tejo Sukmanto
Adhari
Kadarusman BA
Mimin Sumiarsih

L
L
L
L
P

Bank Indonesia / Unit Khusus Museum Bank Indonesia


Bank Indonesia / Unit Khusus Museum Bank Indonesia
RA Perwanida Al Ikhlas Samarinda
RA Perwanida Al Ikhlas Samarinda
Perpustakaan Universitas Negeri Medan
Perpustakaan Kementrian Pendidikan Nasional
Perpustakaan Kementrian Pendidikan Nasional
Ex Libris (Asia)
Perpustakaan Univ. Riau
Perpustakaan Univ. Riau
Perpustakaan STT Telkom
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAMLK) Kementrian Kuangan Indonesia
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAMLK) Kementrian Kuangan Indonesia
Kantor Perpustakaan, Kearsipan dan Dokumentasi Kab. Tuban
Perpustakaan Universitas Indonesia
Perpustakaan Universitas Indonesia
Pusat Sumber Daya Air tanah dan geologi Lingkungan
Pusat Sumber Daya Air tanah dan geologi Lingkungan

88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101

Drs. Syaifuddin, H. Hum


Agung Suprapto, M. A
Drs. Darmono, M. Si.
Hadi Supriyanto
Edy Sudaryanto
Iin solihin
Langgeng Wibowo
Widya Indarti, S.Sos
Drs. H. Amat, M. Si
Enjat Sudarjat
Susanto
Rasiman
Asdar Ibrahim, M. Si
Safran Agus

L
L
L
L
L
L
L
P
L
L
L
L
L
L

Perpustakaan Universitas Brawijaya Jawa Timur


Perpustakaan Universitas Brawijaya Jawa Timur
Perpustakaan Universitas Negeri Malang
PT. Pupuk Kaltim
PT. Pupuk Kaltim
PT. Jurnalindo Aksara Grafika
PT. Jurnalindo Aksara Grafika
Badan Pengambangan SDM KP/Kementerian Kelautan & Perikanan
Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Tangerang
Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Tangerang
Kantor Perpustakaan Kab. Wonosobo
Perpustakaan Universitas Sumatra Utara
KPAD Bontang
KPAD Bontang

102
103
104
105
106
107

Rachmat
Yulinar, SKM, M. Si.
Ridwan Sudiro, S. IP
Drs. Agus rawi Siregar
Helena Padaya, SE
Th. Evilianingsih, S. IP
Septya Dewi Mayasari, S.
Kom.
Nina Kristiana, SS
Muh. Najib,DR. , M.Ed., M.

L
P
L
L
P
P

KPAD Bontang
Badan POM RI
Badan POM RI
PTK AKAMIGAS-STEM
UPT. Perpustakaan Univ. Cendrawasih
UPT. Perpustakaan Univ. Cendrawasih

UPT. Perpustakaan Proklamator Bung Karno

P
L

UPT. Perpustakaan Proklamator Bung Karno


UPT. Perpustakaan Unhas

108
109
110

Lib
111
112
113
114
115
116

L
L
L
P
P
P

UPT. Perpustakaan Unhas


Perpustakaan umum Kutim
Perpustakaan umum Kutim
Perpustakaan umum Kutim
Untirta
Pusdiklat Minerba, Bandung

Pusdiklat Minerba, Bandung

L
L
P
P

Deputi II Perpusnas
Kepala Pusdiklat Perpusnas
Perpustakaan Sekretariat Wakil Presiden
Perpustakaan Sekretariat Wakil Presiden

Universitas Negeri Gorontalo

123
124
125
126
127

Rasman, S. Sos
Budi
Kasful
Mulyati
Hj. Andjar Astuti
Uun Bisri, SS
Tri Handayani, S. Sos., M.
Hum.
Drs. Bambang S. Utomo
Dr. Garjito, M. Sc
Dra. Fajar Meilani
Dra. Etin C. Sumiyati
Drs. Revoltje O. W. kaunang,
M. Pd.
Dede Yulistian, A. Md.
Femi Sahami, S. Pi. M. Si.
Hans Ruchban, S. Pd
Drs. Susanto
Dra. Zunaimar

P
P
L
L
P

Universitas Negeri Gorontalo


Universitas Negeri Gorontalo
Universitas Negeri Gorontalo
Perpustakaan Wonosobo
Perpustakaan Univ. Syiah Kuala

128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141

Titin Gantini
Tetty R
Hildawati
Endang Hidayat
Andy Erviana
H. Muslech, Dip. Lip., M. Si
Riah Wiratningsih, S. S., M.Si.
Mutarsa lamamma, SE
Herliany, S. IP
Drs. Sugianta
Mus Mulyadi
Ibrahim
Supadi S. Sos. M. Si
Asrani

P
P
P
P
P
L
P
L
P
L
L
L
L
P

Bapusipda Jabar
Bapapsi Kab. Bandung
Kantor Perpustakaan Kota Bogor
Kantor Perpustakaan Kota Cimahi
Mts Model Samarinda
Perpustakaan universitas Brawijaya Malang Jatim
UPT Perpustakaan UNS
Kantor Perpustakaan, Arsip dan PDE Kab. Enrekang
Kantor Perpustakaan, Arsip dan PDE Kab. Enrekang
Universitas Lampung
Perpustakaan Umum Berau
Perpustakaan Umum Berau
Perpustakaan Unmul
Perpustakaan Unmul

142
143
144
145
146
147
148
149

Muhammad jarnih, S. Sos


Semuel Mehue, SE
Yuliana Mendila, S. Sos
Nelwan Ronsumbre, S. Sos
Nurmala Sidik, SH. M. Si
Linda Siswanti
Chairil Ansari, S. Sos.
Dra. Rohani

L
L
P
L
P
P
L
P

Perpustakaan Unmul
Sekretariat DPR papua
Sekretariat DPR papua
Sekretariat DPR papua
Badan perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Malang
Universitas balikpapan
perpustakaan Kota Medan
perpustakaan Kota Medan

150
151

Ir. Setyo Edy Susanto, S. Th. I


Ning Wahyuni

L
P

Perpustakaan IPB
Perpusnas RI

117
118
119
120
121
122

152
153
154
155
156
157
158
159

P
P
P
P
L
L
L
L

Perpusnas RI
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Prov. Jawa timur
Perpustakaan Pusat Universitas negeri Gorontalo
Mahkamah Konstitusi
SMP N 5 Penajam Paser
Dinas Kesehatan Prov. Kaltim
Badan Perpustakaan, Kearsipan dan Dokumentasi Kalbar
Badan Perpustakaan dan Arsip Prov. Kalsel

Badan Litbang Perhubungan Jakarta

161
162
163

Dra. Rahmawati
Sri Purwanti, S. Sos., M. Si
Rahmawaty Tulle, S. Hum
Lina Herlina, S. Sos., M. Si
Sumardiana, M.Pd
Jumbran
Drs. Sahroni
H. Syamsuddin, M.Si
Feronika Sekar Puriningsih,
SS.M.Tr
Rachmawati
Rahmawati
Tati Suryati

P
P
P

yayasan Bunga Bangsa Samarinda


Universitas Negeri Gorontalo
Sekretariat Negara Jakarta

164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177

Sumiati
Hasanul kabri
Bambang Sutadji
Wiranto Utomo
Evin Aditama
Parna, S. Ipi
Kusnowibowo
Puji Hardati
Yohan A. B. Loban
Teguh Warsito
Mispani
Suparmiyati
Sobari
M. Jaenudin

P
L
L
L
L
L
L
L
L
L
L
P
L
L

Sekretariat Negara Jakarta


Perpustakaan DPRD RI
Perpustakaan DPRD RI
Perpustakaan DPRD RI
Perpustakaan DPRD RI
Kemenkes
Perpustakaan Departemen Luar Negeri
Perpustakaan Departemen Luar Negeri
Badan Perpustakaan Daerah Prov. NTT
Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
PDII LIPI
PDII LIPI

178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
188
189

Ekawati Marlina
Slamet Wijoko
Sutrisno
Yudho Kuswardono
Hairil Anwar
Harry Surya Afriyanto
Syahrul Samadhan
Fitri Susanti
Joko Purbono
Ike Iswary lawanda, MS
Ratih Surtikanti, M. Hum
FathahNoor

P
L
L
L
L
L
L
P
L
P
P
L

PDII LIPI
Ktr. Perpus. Arsip dan Dok. Kab. Jember
Ktr. Perpus. Arsip dan Dok. Kab. Jember
Ktr. Perpus. Arsip dan Dok. Kab. Banyuwangi
Kasubag Perpustakaan Setda Prov. Kaltim

190

Rudi Sumadi

191

Drs. Koko Srimulyo, M. Si.

192
193

Nur Hasan
Thereseta Evilianingsih

160

Sekjen Kementrian Keuangan


Sekjen Kementrian Keuangan
Sekjen Kementrian Keuangan
MID Program Vokasi UI
MID Program Vokasi UI
Badan Perpustakaan dan Arsip Prov. Kalsel
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolah Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
Kepala Perpustakaan Univeristal Airlangga Surabaya

194
195
196
197
198
199
200
201
202
203
204

Dorthy Buing
Farida
Justus D.T. Sanger
Evlin Haditama
Sri Lestari Handayani
Deden Himawan
Abd. Latif
Kustiati
I Putu Suhartika
Nur Akhiyar
Gunawan

Você também pode gostar