Você está na página 1de 21

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah.


Fenomena kenakalan remaja yang sering dilansir media massa baik surat

kabar maupun televisi tanah air merupakan bukti telah terjadi kecenderungan
pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusian, terlebih kenyataan ini dilakukan oleh
anak-anak usia sekolah. Semakin maraknya penyimpangan perilaku di kalangan
remaja, seperti minum keras, mengkonsumsi narkoba, mengakses film porno,
pergaulan bebas dan tindakan penyimpangan amoral lainnya. Potret tersebut tentu
menjadi bagian dari keprihatinan bersama, terutama oleh para pelaku pendidikan.
Selanjutnya sebagai suatu bentuk refleksi, apa mungkin masalah tersebut disebabkan
karena adanya kesalahan dalam mendesain pendidikan. Apa mungkin dewasa ini pada
praktiknya pendidikan masih berorientasi kepada ratio atau pencapaian kemampuan
intelektual sementara kemampuan lain diabaikan bahkan dianggap kurang penting.
Dewasa ini para remaja khususnya, gaya pacarannya sudah melanggar
norma agama, moral, etika, dan nilai budaya. mereka melakukan hubungan seksual di
luar nikah (berzina). Padahal

zina menurut agama merupakan dosa besar, dan

bertentangan dengan nilai moral, etika dan budaya. Yusuf.LN, dkk (2010 : 41-42)
menyebutkan di Indonesia beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan antara lain:
1.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Biran Afandi di Jakarta, tentang remaja
melakukan seks bebas, dimana 83 % remaja dari 285 responden mengakui telah

melakukan hubungan sek bebas di rumah, sisanya di hotel, disekolah, di mobil,


di taman dan di tempat parkir.
2.

Berdasarkan data dari pusat data informasi kesejahtraan sosial DEPSOS RI tahun
2000 populasi WTS di seluruh Indoesia berjumlah 73.037 orang. Kemudian
tehun 2003 meningkat menjadi 81.893 orang, mereka tersebar tidak sebatas kota
besar tetapi meluas ke kota-kota kecil, mereka rata berusia 17 sampai 25 tahun,
notabennya dalah remaja.

3.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga


Berencana Nasional (BKKBN), (Jawa Pos, 21 Desember 2008) sebesar 63 %
remaja Indonesia pada usia antara SMP dan SMA sudah melakukan hubungan
seksual di luar nikah. Hasil survei dilakukan di 33 provinsi sepanjang 2008.
Angka sebesar itu meningkat cukup tajam dari tahun 2005-2006 yang hanya
berada pada kisaran 47,54 %. Prihatin dan miris rasanya melihat hasil penelitian
tersebut. Namun, sekedar merasa miris dan prihatin saja tidak akan pernah
memberikan solusi. Maka, cara yang terbaik adalah menelusuri sebab-sebab yang
menimbulkan kerusakan moral remaja, lalu memberikan solusi yang solutif.
Dalam satu dasawarsa terakhir ini tidak dapat di pungkiri bahwa

perkembangan media masa serta teknologi informasi begitu cepat. Sekat-sekat batas
negara menjadi hampir tidak ada karena kemajuan teknologi. Hanya dengan
mengakses internet ataupun menonton media televisi, setiap orang dengan mudah
mendapatkan informasi dari belahan dunia dalam hitungan detik. Namun, kemajuan
media informasi tersebut ibarat pisau bermata dua. Bisa menguntungkan dan juga
2

merugikan. Salah satu dampak kerugian yang kita rasakan saat ini salah satunya
fakta yang dirilis di atas. Krisis moral diatas tidak hanya terjadi di perkotaan, bahkan
di daerah-daerah juga terjadi hal yang sama.
Kemerosotan moral dan jati diri bangsa, sedikit banyak ada hubungannya
dengan penyelenggaraan pendidikan yang kurang bermakna bagi kehidupan yang
utuh dan asasi. Berbagai upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional terus
di lakukan. misalnya, adanya peningkatan anggaran pendidikan, pembudayaan
informasi

dan

teknologi

(IT),

adanya

sekolah

berstandar

internasional,

dilaksanakannya ujian nasional (sekalipun ada pro dan kontra), program sertifikasi
guru (yang juga belum sepenuhnya memenuhi sasaran sebagai upaya peningkatan
kualitas), juga adanya revisi kurikulum terkait dengan di keluarkannya Permen No.
22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, dan Permen No. 23 tentang Standar Kompetensi
Lulusan (SKL), yang kemudian dimunculkan pengembangan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), termasuk sudah barang tentu untuk mata pelajaran IPS.
Namun kenyataannya, perbaikan Standar Isi untuk bidang IPS belum begitu
memuaskan bila dikaitkan dengan pengertian dan tujuan pembelajaran IPS.
Rumusannya baru, tetapi esensi substansinya tidak jauh berbeda.

Kurikulum itu

masih tetap menitik beratkan pada penguasaan materi. Kritik pun kembali terdengar
bahwa pelajaran IPS terlalu sarat materi, bersifat kognitif, dan hafalan. Karena
berorientasi pada materi ajar, pembelajaran IPS akan terjebak pada proses
mengumpulkan informasi dan mengakumulasi fakta. Ada fihak yang memandang
bahwa pelajaran IPS tidak penting, apalagi mata pelajaran tersebut tidak masuk
3

dalam Ujian Nasional (UN) .


Uraian tersebut di atas memberikan isyarat bahwa pembelajaran sebagai realisasi dari penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pada materi ajar, menjadi
kurang bermakna bagi hidup dan kehidupan warga belajar. Pembelajaran yang
mengutamakan penguasaan materi ajar seperti yang selama ini terjadi, cenderung
mengabaikan nilai-nilai moral dan pengembangan karakter peserta didik. Pembelajaran
yang mengabaikan pengembangan karakter telah kehilangan ruh dan esensinya
sebagai proses pendidikan yang sesungguhnya, yakni sebuah proses untuk
mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat agar menjadi
bangsa yang lebih bermartabat.
Demikian halnya pembelajaran IPS telah kehilangan ruhnya dalam
proses pendidikan yang dapat memberikan sumbangsih terhadap pendidikan karakter
bangsa, yakni untuk membentuk warga negara yang baik, warga negara yang
memiliki kearifan dan keterampilan sosial, serta warga negara yang sadar akan
jati dirinya. Maraknya perilaku menyimpang ini mendorong para pengamat sosial
berfikir dan mencari penyebabnya, mengapa hal tersebut terjadi, pada hal bangsa
Indonesia di kenal sebagai bangsa yang santun, berbudaya, beradab dan religius.
Di Aceh Tengah, maraknya perilaku menyimpang seperti pergaulan bebas,
hamil di luar nikah, dan menipisnya budaya malu, serta rendahnya antusias para
remaja menjalankan syariat agama. Kenyataan tersebut merupakan suatu indikator,
bahwa pendidikan belum maksimal dapat membentuk karakter peserta didik, dan hal
ini merupakan suatu penomena yang harus dijawab oleh dunia pendidikan.
4

Sauri dan Firmansyah (2010 : 30) mengungkapkan, Pendidikan merupakan


proses pembelajaran yang dapat menghasilkan perubahan dalam segala aspek,
termasuk perilaku, sikap dan perubahan intlektualnya. Pendidikan sebagai usaha
sadar untuk membantu mencapai tingkat kedewasaan, pola pikir dan kemampuan
berinteraksi dengan lingkungannya dan

menanamkan nilai-nilai, sikap

dan

keterampilan agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai kemampuan dan
kedudukannya masing-masing sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan
sosialnya. Melalui pendidikan akan terbentuk tatanan kehidupan masyarakat yang
maju, tentram damai, dan sejahtra berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya. Jiwa
pendidikan perlu di fungsikan sebagai wahana pembelajaran yang dapat mewariskan
dan menanamkan nilai budaya kepada peserta didik.
Undang Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SPN) pada Pasal 3

menyebutkan bahwa pendidikan nasional

berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang


bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Penegasan

yang

menyebutkan

bahwa

pendidikan

berfungsi

untuk

mengembangkan pembinaan watak sebagai tujuan (output) penyelenggaraan


pendidikan tentu akan berkaitan dengan seperangkat acuan nilai dan norma yang
5

berkembang dan dijadikan pegangan oleh dan dalam masyarakat. Nilai sebagai
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan norma yang berfungsi
mengatur hak dan kewajiban secara benar dan bertanggung jawab tentu harus menjadi
panduan bagi pembinaan peserta didik. Muara dari usaha tersebut ditegaskan dengan
kalimat bahwa tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan segenap potensi
yang dimiliki untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tilaar (2004: 17) menjelaskan dalam upaya memperkuat jati diri dapat di
lakukan melalui nilai-nilai budaya, dalam hal ini tugas pendidikan nasional ialah
mengembangkan identitas peserta didik agar supaya dia bangga menjadi bangsa
Indonesia dengan penuh percaya diri memasuki kehidupan global sebagai bagsa
Indonesia yang berbudaya.
Somantri ( 2001: 101) Pembelajaran IPS yang secara formal mulai
diberlakukan dari jenjang sekolah dasar sampai SMA, dituntut untuk mampu
memediasi pengembangan dan pelatihan potensi siswa secara optimal, khususnya
yang bertalian dengan transformasi nilai-nilai budaya dan norma sosial. Namun
realitas yang ada di lapangan, ternyata masih jauh dari harapan sebagaimana
ditegaskan dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003.
Sekolah sebagai salah satu wahana terjadinya proses transformasi nilai-nilai
budaya dan norma-norma sosial sebagai bagian dari pembentukan kepribadian siswa
belum menjadi kenyataan. Salah satu program persekolahan yang memikul beban
6

dalam kaitannya dengan pembentukan dan pembekalan pengetahuan, keterampilan,


nilai, dan moral siswa sebagai warga negara potensial adalah mata pelajaran IPS.
Bersandar pada kondisi di atas, masih dipertanyakan peranan dan esensi dari
pembelajaran IPS sebagai salah satu program pendidikan yang diperuntukkan untuk
membangun dan membentuk karakter kebangsaan siswa secara dini. Pendidikan IPS
sebagai salah satu bagian pendidikan dalam sistem pendidikan nasional diibaratkan
sebagai gerbong untuk membawa misi menuju tujuan diatas. Gagalnya pendidikan
IPS terutama dalam pembinaan sikap/nilai diyakini akan berdampak sistemik
terhadap pendidikan nasional. Orientasi penyelenggaraan pendidikan IPS sangat
menekankan pada pembinaan kepribadian, watak dan karakter peserta didik. Karena
itu, integrasi pendidikan yang sarat dengan nilai dan pembentukan karakter sangat
diperlukan untuk membekali peserta didik dalam mengantisipasi tantangan ke depan
yang dipastikan akan semakin berat dan kompleks. Guru sebagai pengembang
kurikulum selanjutnya dituntut untuk mampu secara terampil menghadirkan suasana
dan aktivitas pembelajaran yang berorietansi pada penanaman dan pembinaan
kepribadian, dan karakter.

Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003, tentang

Sistem Pendidikan Nasioanal Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan pendidikan
adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara .

Berdasarkan

dari

pengertian

pendidikan diatas dapat difahami bahwa dalam

pendidikan, praktisi, guru, peserta didik, dan nilai-nilai dalam belajar merupakan
faktor yang sangat penting untuk berlangsungnya proses belajar mengajar. Praktisi
dan guru sebagai fihak yang mengemban tugas untuk mengemudikan tugas
pendidikan

guna membawa peserta didik untuk mewujudkan arah dan tujuan

pendidikan tersebut. Peserta didik adalah fihak yang menjadi subyek dalam proses
pembelajaran harus dapat memperoleh sesuatu yang berfaedah untuk memenuhi
segala kebutuhan yang di perlukan sebagai bekal dalam kehidupannya. Sedangkan
nilai-nilai sebagai hal yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan pengetahuan,
sikap dan keterampilan kepada peserta didik. Dalam hal ini guru merupakan
fasilitator harus sadar dan memahami apa yang harus di berikan dan peroleh peserta
didik

dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik dapat mengembangkan

segala potensinya menjadi manusia yang memiliki sumberdaya yang berkualitas.


Sauri dan Firmansyah (2010:63)

menyatakan bahwasebagai

institusi

sosial, sekolah memiliki peranan dan fungsi berperan membimbing dan mengarahkan
peserta didik untuk mengenal, memahami dan mengaktualisasikan pola hidup yang
berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian sekolah pada hakekatnya adalah
institusi yang mewariskan dan melestarikan nilai-nilai yang dipegang oleh
masyarakat. Pendidikan

yang merupakan harapan semua fihak untuk menata

kehidupan yang lebih baik harus


mentranspormasi nilai budaya dari

mampu menjadi mediasi pengembang dan


lingkungan masyarakat kedalam lembaga

pendidikan, sehingga melalui media pendidikan nilai-nilai budaya tersebut dapat


diwariskan dan diinternalisasikan kepada generasi berikutnya.
Mulyasa (2008:101) menjelaskan bahwa dalam pembelajaran pendekatan
lingkungan merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berusaha meningkatkan
keterlibatan peserta didik

melalui pendayagunaan

lingkungan sebagai sumber

belajar. Pendekatan ini berasumsi bahwa kegiatan pembelajaran akan menarik


perhatian peserta didik jika apa yang dipelajari diangkat dari lingkungannya. Belajar
dengan pendekatan lingkungan berarti peserta didik mendapat pengetahuan

dan

pemahaman dengan cara mengamati sendiri apa yang ada dilingkungan sekitar , baik
lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah.
Kegiatan pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan
lingkungannya. Lingkungan bukan hanya sebagai akomodasi tetapi juga merupakan
sumber belajar bagi peserta didik. Menjadikan lingkungan sebagai sumber belajar
bagi peserta didik merupakan tuntutan masayarakat, sehingga peserta didik dapat
memahami arti dan fungsi lingkungannya dalam kehidupannya.
Kenyataan yang di hadapi selama di sekolah adalah siswa hanya menerima
pelajaran yang diberikan oleh guru. Selama proses belajar mengajar berlangsung
keaktifan siswa sangat kurang sekali. Hal ini menggambarkan belajar secara
tradisional dimana siswa hanya mendengar penjelasan dari guru sebagai satu-satunya
sumber. Sedangkan kita ketahui kemampuan guru terbatas baik dari segi
keterampilan maupun dari pengetahuan. Walaupun di gunakan sumber buku teks,

namun sumber belajar tidak terbatas pada buku saja masih banyak sumber belajar lain
yang dapat membantu dalam proses belajar mengajar.
Fenomena yang terlihat dewasa ini, sumber-sumber belajar yang tersedia di
lingkungan kita masih kurang di manfaatkan sehingga pelaksanaan proses belajar
mengajar juga kurang optimal yang lebih jauh mengakibatkan mutu pendidikan yang
kita harapkan belum tecapai.

Hal senada diungkapkan oleh Almuchtar

( 2006 :

69) bahwa sumber daya belajar yang terdapat dalam masyarakat lingkungan peserta
didik belum banyak dipergunakan sebagai sumber belajar dalam pendidikan IPS.
Implikasinya bahan pelajaran tidak diperkaya dengan nilai-nilai dan budaya, sehingga
peserta didik tidak akrab dengan lingkungan sosial budayanya.
Salah satu nilai budaya yang dapat diangkat sebagai sumber belajar IPS di
Kabupaten Aceh Tengah ialah budaya Sumang. Sumang adalah perbuatan yang tabu
dan sangat dilarang dilakukan oleh individu dalam masyarakat. Budaya Sumang
adalah budaya yang sarat dengan nilai-nilai dan sangat bermanfaat untuk
mewujudkan keteraturan dan kedamaian dalam

kehidupan masyarakat di Aceh

Tengah. Budaya sumang merupakan media untuk mensosialisasikan ajaran agama


tentang larangan bermaksiat (berzina/pergaulan bebas) dan perilaku tidak relevan
dengan nilai etika, moral dan norma susila. Budaya Sumang sebagai metode
mensosialisasikan ajaran Islam dijadikan media dalam masyarakat sehingga menjadi
delik hukum adat yang disebut Adat Sumang. Pentingnya masalah budaya Sumang ini
untuk diangkat dalam penelitian ini ada beberapa alasan, sebagai berikut:

10

Pertama,

Budaya Sumang merupakan budaya yang mengandung nilai dan

norma relevan dengan SK- KD pada pokok bahasan tentang penerapan nilai dan
norma dalam pembentukan kepribadian pada IPS Sosiologi pada kelas X pada
Madrasah Aliyah. Di samping itu materi nilai dan norma yang terdapat dalam buku
paket sosiologi masih terlalu umum sehingga nilai-nilai dan norma tersebut bagi
peserta didik kurang dapat memahaminya nilai secara riil dalam kehidupan seharihari.
Kedua, Materi

nilai Budaya Sumang belum pernah diterapakan dalam

pembelajaran IPS Sosiologi pada kelas X pada Madrasah Aliyah di Kabupaten Aceh
Tengah, sehingga nilai budaya masyarakat belum terintegrasi dalam pendidikan IPS
sebagai sumber nilai dan norma. Penerapan budaya Sumang ini dalam pembelajaran
IPS pada MA di Aceh Tengah, (1) relevan dengan kebutuhan masyarakat dan siswa,
(2) dapat menumbuhkan keterampilan sosial siswa, (3) sumber belajar berbasis nilai
budaya masyarakat, (4) pelanggaran Sumang adalah salah satu bentuk penyimpangan
sosial dalam masyarakat yang sering di lakukan oleh pelajar.
Ketiga,

Budaya Sumang sebagai budaya lokal yang memiliki nilai-nilai

positif, harus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda sebagai penerus
kehidupan masyarakat. Di samping itu budaya Sumang dapat berkontribusi sebagai
penunjang tegaknya syariat agama Islam di Aceh Tengah.
Pelestarian nilai budaya merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan
oleh anggota masyarakat. Hal ini dalam pepatah Aceh di ungkapkan Meunyo
gadeuh ma meupat jeurat, meunyo gadeuh adat ho tamita, maksudnya, kalau ibu
11

meninggal ada kuburannya, kalau adat hilang kemana di cari. Salah satu upaya
pelestarian dan pewarisan budaya tersebut dilakukan melalui pendidikan. Dalam hal
ini pendidikan IPS sebagai bagian dari pendidikan nasional memiliki andil, peran
dan tanggung jawab untuk membudayakan nilai-nilai sosial budaya kepada generasi
penerus melalui pembelajaran.
Keempat, kerisis moral remaja khususnya di kalangan pelajar sebagaimana
yang tersebut pada awal latar belakang masalah ini, maka sangat relevan nilai
budaya Sumang diangkat kedalam dunia pendidikan IPS di Aceh Tengah untuk
meminimalisir dan sebagai usaha pereventif terhadap kenakalan remaja dari kalangan
pelajar khususnya dalam hal pergaulan bebas atau pelanggaran Sumang. Sebagai
tujuan dari penelitian ini kiranya nilai-nilai budaya yang terdapat dalam lingkungan
masyarakat di Aceh Tengah dapat di reaktualisasi kembali sebagai pengetahuan dan
keterampilan serta

dapat diaplikasikan menjadi suatu solusi untuk membentuk

karakter peserta didik sebagaimana yang sedang gencarnya dicanangkan oleh


pemerintah dan akdemisi tentang pendidikan nilai atau pendidikan karakter

di

seluruh tanah air.


Kelima , dalam sejarah perkembangan kehidupam masyarakat suku Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah, budaya

Sumang mengalami degradasi lambat laun

kekuatan nilai dari norma ini akan hilang, sehingga kurang efektif sebagai nilai dan
norma untuk membentuk dan mengatur hubungan dalam pergaulan masyarakat
khusunya kaum remaja. Melihat fenomena ini dalam perkembangannya batas-batas
dan rambu-rambu pergaulan masyarakat semakin hari semakin kabur dari ketentuan12

ketentuan Adat dan Agama. Hal ini menimbulkan suatu kekhawatiran dan
kegelisahan dari pihak orang tua, masyarakat, ulama dan pemerintah daerah, sehingga
timbul suatu inisiatif untuk mengaktualisasikan kembali adat istiadat termasuk
budaya Sumang dalam beberapa kebijakan pemerintaha Daerah.
Adapun realisasi kebijakan pemerintah Daerah Aceh Tengah sejak tahun
2000 ialah melaksanakan program Pilot Projek
pemberantasan

Sumang.

Namun

pelaksanaan syariat dan

pada kenyataannya Program

ini kurang

membuahkan hasil yang maksimal dan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Hal ini dapat dilihat dari seringya pasangan muda mudi berkhalwat, hamil diluar
nikah, dan perselingkuhan dan menipisnya rasa malu, serta hilangnya rasa takut dan
hormat para remaja yang berkhalwat terhadap masyarakat lingkungan.
Sehubungan dengan uraian permasalah di atas, maka

penelitian ini

menawarkan salah satu solusi untuk mengaktualisasikan nilai budaya Sumang


dengan menerapkan nilai budaya Sumang sebagai sumber belajar IPS. Menerapkan
Nilai Budaya Sumang kedalam pembelajaran secara formal diasumsikan bahwa
nilai budaya ini akan dapat difahami secara nyata oleh peserta didik sebagai remaja.
Budaya Sumang perlu dilesatrikan, karena disamping nilainya cukup urgen sebagai
tata kelakuan dalam pergaulan masyarakat, juga merupakan identitas diri sebagai
bangsa yang beradab, berbudaya dan religius. Di samping itu potensi nilai budaya
Sumang dapat menunjang proses pembangunan Daerah dalam bidang mental spritual
serta menopang penegakkan Syariat Islam. Melalui pendidikan IPS, di harapkan
proses transformasi dan enkulturasi nilai budaya

Sumang tersebut

dapat
13

dikembangkan

dengan mengintegrasikannya kedalam kegiatan pembelajaran di

sekolah sebagai salah satu sumber nilai dalam pembelajaran IPS.


Untuk meningkatkan kualitas dan tujuan pembelajaran pendidikan IPS
sebagaimana yang diamanahkan UU SISDIKNAS serta memenuhi tuntutan
pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) sebagai wahana yang
memberi ruang untuk mengimplementasikan kebutuhan masyarakat lingkungan dan
tujuan pendidikan IPS. Maka hal ini merupakan bahan kajian yang perlu untuk di
teliti.
Dari latar belakang masalah tersebut diatas peneliti akan mengungkap, nilai
budaya Sumang melalui tulisan ini dalam bentuk tesis, maka penelitian ini berjudul
Nilai budaya Sumang sebagai sumber nilai dalam pembelajaran IPS pada
Madrasah Aliyah di Kabupaten Aceh Tengah.

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Nilai Budaya Sumang dapat di
jadikan sebagai sumber nilai dalam pembelajaran IPS pada Madrasah Aliyah di
Kabupaten Aceh Tengah.
Dari rumusan masalah

di atas, secara khusus rumusan masalah dapat

dirincikan sebagai berikut:

14

1.

Bagaimana bentuk nilai-nilai sosial dalam budaya Sumang yang dapat di


jadikan sebagai sumber nilai dalam pembelajaran IPS pada Madrasah Aliyah di
Kabupaten Aceh Tengah ?

2.

Bagaimana bentuk nilai-nilai religius dalam budaya Sumang

yang dapat di

jadikan sebagai sumber nilai dalam pembelajaran IPS pada Madrasah Aliyah di
Kabupaten Aceh Tengah ?
3.

Bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai budaya Sumang dalam pembelajaran IPS


pada Madrasah Aliyah di Kabupaten Aceh Tengah ?

C.

Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan nilai-nilai

budaya Adat Sumang dapat di integrasikan pada pembelajaran IPS Aliyah Negeri
Pegasing Kabupaten Aceh Tengah. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini dapat
dirincikan sebagai berikut:
1.

Mendeskripsikan bentuk nilai-nilai sosial dalam budaya Sumang yang dapat di


jadikan sebagai sumber nilai dalam pembelajaran IPS di Madrasah Aliyah di
Kabupaten Aceh Tengah.

2.

Mendeskripsikan bentuk nilai-nilai religius dalam budaya Sumang yang dapat di


jadikan sebagai sumber nilai dalam pembelajaran IPS pada Madrasah Aliyah di
Kabupaten Aceh Tengah

3.

Mendeskripsikan bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai budaya Sumang dalam


pembelajaran IPS pada Madrasah Aliyah di Kabupaten Aceh Tengah.

15

D.

Manfaat penelitian
Secara teoritis

penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian bagi

pengembangan penerapan Nilai-nilai budaya sebagai salah satu sumber pembelajaran


IPS dipersekolahan. diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
tentang budaya lokal kepada peserta didik. Unsur-unsur budaya lokal yang positif
masih banyak yang terpendam bahkan telah punah dalam

masyarakat. Hal ini

disebabkan karena tidak ada kepedulian untuk melestarikan dan mewariskannya oleh
suatu generasi ke genersi berikutnya. Budaya lokal sebagai kearifan lokal dan unsurunsur kebudayaan Nasional perlu dilestarikan. Salah satu cara untuk melestarikan
dan mewarisankannya kepada generasi berikutnya ialah melalui pendidikan, karena
pendidikan merupakan suatu proses pembudayaan.
Secara praktis manfaat dari penelitian ini adalah:
1.

Menggali dan mengembangkan nilai budaya Sumang serta menerapkannya ke


dalam pendidikan agar peserta didik dapat memahami nilai budaya Sumang
secara nyata dan dapat menerapkannya dalam pergaulan sehari-hari.

2.

Merupakan suatu proses sosial atau pembudayaan yang direncana secara sadar
dan terarah tentang nilai-nilai kearifan lokal sekaligus suatu upaya melestarikan
unsur-unsur kebudayaan Nasional.

3.

Menjadi sumber Nilai dalam pembelajaran Pendidikan IPS untuk pengembangan


kepribadian dan karakter bagi peserta didik.

4.

Menjadi sumber pengetahuan dan acuan bagi guru-guru IPS untuk melakukan
inovasi dalam pembelajaran IPS
16

5.

Menjadi input bagi pemerintah daerah, masyarakat dan pengelola pendidikan


yang terkait

dalam melestarikan kebudayaan daerah sebagai kearifan lokal

sebagai salah satu sumber nilai dalam pendidikan.


6. Menjadi bahan kajian untuk penelitian selanjutnya.

E.

Klarisifikasi Konsep
Untuk memperjelas arah penelitian ini penulis membuat klarisifikasi

konsep atau pembatasan masalah agar penelitian ini dapat dilaksanakan secara efektif
dan efisien. Adapun yang menjadi ruang lingkup penelitian ini adalah bagaimana
potensi nilai-nilai budaya Sumang sebagai sumber pembelajaran dalam pendidikan
IPS, sehingga peserta didik dapat memahami nilai-nilai budaya yang ada dalam
masyarakat dilingkungannya. Dengan demikian titik berat pelestarian budaya melalui
pendidikan IPS adalah berkembangnya individu agar dapat memahami lingkungan
sosialnya.
1.

Nilai
Darmadi ( 2007) Nilai (value) berasal dari bahasa Latin valere secara

harfiah berarti baik/buruk yang kemudian diperluas menjadi segala sesuatu yang di
senangi, di inginkan, di cita-citakan dan disepakati. Kupperman 1983 (Mulyana.
2004: 9) menjelaskan, nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia
dalam menentukan plihannya diantara cara-cara tindakan alternatif.
Menurut Almuchtar (2008 : 244), Nilai meliputi rujukan untuk menyatakan
sesuatu yang baik, buruk, bagus, jelek, pantas tidak pantas, wajar tidak wajar sopan
17

atau kurang ajar. Sumantri ( Sauri dan Firmansyah. 2010 : 3) Nilai merupakan hal
yang terkandung dalam hati nurani manusia lebih memberi dasar daan prinsip akhlak
yang merupakan standar dari keindahan dan efisien atau keutuhan kata hati (potensi).
Gunakaya (Sumaatmadja, dkk.2002:7.41) Nilai adalah kumpulan sikap dan perasaanperasaan yang selalu di perlihatkan dan diekpresikan melalui perilaku manusia
sebagai perorang, kelompok ataupun masyarakat secara keseluruhan tentang baik
buruk, benar salah, patut tidak patut terhadap objek material maupun non material.
Dari uraian beberapa pendapat diatas bahwa nilai adalah sesuatu yang baik, berharga,
bermanfaat dan di cita-citakan sebagai standar perilaku. Nilai yang dimaksudkan
dalam penelitian ini adalah suatu yang baik, berharga dan bermanfaat sebagai
pedoman

dalam pergaulan

masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang

harmonis.
2.

Budaya
Menurut Yunidar (Mutakin.2008 : 72 ) Budaya adalah hal ikhwal yang

berkenaan akal budhi . Dengan demikian Kebudayaan dapat diartikan suatu hal baik
berwujud benda ataupun non benda yang dihasilkan oleh manusia baik secara
induvidu atau kelompok berdasarkan kemampuan akal, ide atau gagasan.
Koentjaraningrat (1984: 180) budaya merupakan Keseluruhan system gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Berhubungan dengan nilai budaya Koentjaraningrat (1984 ; 189)
menjelaskan bahwa, Nilai-Nilai budaya adalah konsep-konsep mengenai apa yang
18

hidup dalam fikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang
mereka anggap bernilai, berharga, penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi
sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para
warga masyarakat tersebut. Nilai budaya yang menjadi acuan tingkah laku sebagian
besar anggota masyarakat berada dalam alam pikiran mereka dan sulit diterangkan
secara rasional.
3.

Budaya Sumang
Menurut Syukri ( 2008 : 184) Budaya Sumang adalah Budaya yang

berbentuk peraturan-peraturan tentang perbuatan atau tindakan yang menyimpang


dari konvensi-konvensi tata kerama yang berlaku. Sumang berati perbuatan yang tabu
dan dilarang selain bertentangan dengan adat juga bertentang dengan agama,
moralitas dan merupakan tindakan atau perbuatan yang terpuji. Adat Sumang yang
dimaksukan disini adalah adat yang mengatur tata kerama dalam pergaulan terutama
yang meliputi Sumang penengonen (larangan penglihatan), Sumang perceraken
(larangan perkataan), Sumang pelangkahen (larangan perjalanan), dan Sumang
kenunulen (larangan tempat duduk). Kesemua Sumang ini merupakan suatu bentuk
larang yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat dalam lingkungan sosial.
Larangan ini bertujuan untuk menghindari dan mengantisipasi agar tidak terjadinya
pergaulan bebas (free sex/mesum), pelecehan seksual, sikap tidak santun dan sikap
tidak hormat dalam pergaulan.
4.

Sumber Belajar

19

Sumber belajar merupakan daya yang bisa dimanfaatkan guna kepentingan


proses belajar-mengajar, baik secara langsusng maupun secara tidak langsung.
Sumaatmadja (1984:13) mengatakan bahwa sumber belajar meliputi segala, masalah,
dan peristiwa tentang kehidupan manusia di masyarakat, dapat dijadikan sumber dan
materi IPS.
AECT (Association of Education Communication Technology) (Sujarwo.
1989 : 141) mendefinisikan sumber belajar adalah berbagai atau semua sumber baik
berupa data, orang atau wujud tertentu yang dapat digunakan oleh siswa dalam
belajar baik secara terpisah mapun secara kombinasi sehingga mempermudah siswa
dalam mencapai tujuan belajar. Yang dimaksud sumber belajar dalam penelitian ini
adalah nilai budaya Sumang digunakan sebagai sumber nilai dalam dalam
pembelajaran sosiologi pada Madrasah Aliyah kelas X di Kabupaten Aceh Tengah.
5.

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)


Sumaatmadja,dkk ( 2002: 1.9) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tidak lain adalah

mata pelajaran atau mata kuliah yang mempelajarai kehidupan sosial yang kajiannya
mengintegrasikan bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Menurut Somantri (2001:45) IPS merupakan perpaduan antara konsep-konsep
ilmu sosial dengan konsep Pendidikan yang disajikan secara sistematik, psikologi dan
fungsional sesuai

dengan tingkat perkembangan peserta didik. IPS yang dimaksudkan

dalam penelitian ini adalah Sosiologi pada kelas X Madrasah Aliyah.

20

F. Hasil Penelitian Terdahulu


Hasil tulisan tentang budaya Sumang yang pernah di teliti antara lain:
1.

Ibrahim dan Hakim, dalam bukunya yang berjudul Syariaat dan Adat Istiadat
jilid 2, menjelaskan bahwa Sumang terdapat dalam hukum adat terdiri dari
empat macam yang disebut Sumang opat yaitu:
a.
b.
c.
d.

2.

Sumang perceraken ialah seorang laki-laki dan perempuan yang bukan


muhrim berbicara di tempat yang tidak patut.
Sumang pelangkahan ialah seorang laku-laki dan perempuan yang bukan
muhrim/ suami istri berjalan bersama atau pergi kesuatu tempat tertentu,
Sumang kenunulen ialah larangan seseorang laki-laki dan perempuan yang
bukan muhrimnya berada di tempat yang sunyi.
Sumang penengonen ialah seoarang laki-laki atau perempuan saling
memandang lawan jenis secara terus menerus secara birahi.

Syukri dalam bukunya berjudul; Sarak Opat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo
dan relevansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Bahwa Sumang
adalah adat pergaulan yang amat dilarang di lakukan oleh anggota masyarakat
dalam pergaulan sehari-hari dalam system sosial masyarakat Gayo. Sumang
yang deskripsikan meliputi Sumang penengonen, Sumang perceraken, Sumang
pelangkahan, dan Sumang kenunulen. Kesemua jenis Sumang ini merupakan
suatu bentuk larang yang tujuannya adalah untuk membina dan memlihara
akhlakul karimah, dan etika masyarakat serta menjaga terjadinya fitnah dalam
keluarga dan masyarakat, yang pada gilirannya akan menimbulkan permusuhan
dan akan merusak persatuan.
Dalam penelitian ini posisi peneliti dalam penulisan tesis ini tentang Budaya

Sumang ialah, penulis meneliti tentang nilai-nilai yang terkandung dalam budaya
Sumang yang belum ada di teliti oleh orang lain. Nilai-nilai budaya Sumang yang
peneliti identifikasi dari hasil penelitian ini di implementasikannya sebagai sumber
nilai dalam pembelajaran IPS di persekolahan/Madrasah.

21

Você também pode gostar