Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
3. masih kurangnya kesadaran Individu dalam keseimbangan dan pembagian yang proporsional
antara hak dan kewajiban
Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia
diantaranya :
1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata
2. Masih rendahnya pendidikan politik masyarakat
3. Kondisi ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter
4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas
5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar
6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi
III. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Inti rule of law di Indonesia adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya
keadilan social. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya
merupakan jaminan secara formal terhadap rasa keadilan bagi rakyat Indonesia.
2. Bagaimana komitmen pemerintah untuk melaksanakan rule of law yaitu melalui proses penegakan
hokum yang dilakukan oleh lembaga penegak hokum yang terdiri: kepolisian, kejaksaan, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), badan peradilan (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi).
3. Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan kepada Tuhan yang tinggi, hidup berdasarkan
sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif,
mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak dan moral yang baik, mempunyai pengaruh luas dalam
proses membuat keputusan, dan menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial,
politik dan lembaga kemasyarakatan.
4. Untuk membangun masyarakat madani di Indonesia, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:
(1) adanya perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat dan
dapat mendukung kegiatan pemerintahan; (2) tumbuhnya intelektualitas dalam rangka membangun
manusia yang memiliki komitmen untuk independen; (3) terjadinya pergeseran budaya dari
masyarakat yang berbudaya paternalistik menjdai budaya yang lebih modern dan lebih independen;
(4) berkembangnya pluralisme dalam kehidupan yang beragam; (5) adanya partisipasi aktif dalam
menciptakan tata pamong yang baik dan; (6) adanya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang
melandasi moral kehidupan.
kehidupan social dan politik bangsa Indonesia. Namun banyak orang yang menyamakan istilah ini
dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Padahal istilah
masyarakat madani dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat
madani merujuk pada tradisi Arab-Islam, sedangkan civil society merujuk pada tradisi barat non-Islam.
Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu
muncul. Dalam bahasa Arab, kata madani berkaitan dengan kata madinah atau kota, sehingga
masyarakat madani dapat diartika sebagai masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun demikian, istilah
kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifatsifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini dapat dipahami, bahwa masyarakat
madani tidak hanya dipandang sebagai masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting
adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota, yaitu yang berperadaban. Dalam kamus
bahasa Inggris, masyarakat madani diartikan sebagai kata civilized, yang artinya memiliki peradaban
(civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata tamaddun yang juga berarti peradaban atau
kebudayaan
tinggi.
Adapun civil society, secara bahasa memiliki arti komunitas yang berperadaban. Sedangkan secara
istilah, gugus kata civil society memiliki banyak kesamaan redaksional dengan gugus kata
masyarakat madani. Namun, awal mula keberadaan istilah civil society memiliki sejarah yang berbeda
dengan awal munculnya istilah masyarakat madani. Keberadaan awal istilah civil society ini sangat erat
kaitannya dengan sejarah perkembangan demokrasi secara umum. Tidak seperti gugus kata
masyarakat madani yang bersifat utopis, gugus kata civil society lahir dari sebuah realita. Yaitu
realita keberadaan problematika yang ditinggalkan oleh model representative demokrasi, yang telah
menjadikan model tersebut tidak lagi sesuai dengan prinsip dasar demokrasi. Problematika yang
dimaksud ialah tereduksinya kekuasaan rakyat yang memiliki fungsi kontrol terhadap dewan
perwakilannya, yang disebabkan oleh kendala mekanisme atau prosedur yang dibuat. Konsekuensinya,
diktator modern banyak bermunculan di sebagian besar negara yang menerapkan demokrasi dalam
pemerintahannya. Wacana yang kemudian muncul dari timbulnya permasalahan ini ialah adanya upaya
untuk kembali melibatkan rakyat secara langsung dalam proses pengambilan kebijakan (back to direct).
Beberapa gerakan kemasyarakatan, yang jamak disebut civil society kemudian muncul sebagai gerakan
sosial dengan perilaku politik nonkonvensional, yang dapat mempengaruhi proses pengambilan
kebijakan. Civil society kemudian menjadi salah satu instrument pengontrol pemerintahan. Besarnya
peran kapitalistik membuat keberadaan civil society semakin dibutuhkan, terutama di negara-negara
maju. Dengan demikian istilah civil society muncul dari keberadaan sebuah realitas permasalahan yang
telah
berjalan
dan
diterapkan
oleh
masyarakat
barat.
Di Indonesia penggunaan istilah masyarakat madani dan civil society seringkali disamakan atau
digunakan secara bergantian. Hal tersebut dirasakan karena makna diantara kedua istilah tersebut
banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang sistem budaya
negara yang berbeda. Padahal jika dilihat dari awal kemunculan atau sejarahnya, kedua istilah tersebut
juga
mempunyai
perbedaan,
seperti
yang
telah
dijelaskan
diatas.
Karakteristik
dan
prasyarat
terbentuknya
masyarakat
madani
Masyarakat madani pada dasarnya adalah sebuah komunitas sosial dimana keadilan dan kesetaraan
menjadi fundamennya. Muara dari pada itu adalah pada demokratisasi, yang dibentuk sebagai akibat
adanya partisipasi nyata anggota kelompok masyarakat. Sementara hukum diposisikan sebagai satusatunya alat pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat. Dari definisi itu maka karakteristik
masyarakat madani, adalah ditemukannya beberapa fenomena yang meliputi demokratisasi, partisipasi
sosial,
dan
supremasi
hukum
dalam
masyarakat.
Demokratisasi, menurut Neera Candoke dalam social society (1995:5-5), berkaitan dengan public critical
rational discource yang secara ekplisit mempersyaratkan tumbuhnya demokrasi. Dalam kerangka itu
hanya negara yang demokratis yang menjamin masyarakat madani. Pelaku politik dalam suatu negara
(state) cenderung menyumbat masyarakat sipil, mekanisme demokrasi lah yang memiliki kekuatan
untuk mengkoreksi kecenderungan itu. Sementara itu untuk tumbuhnya demokratisasi dibutuhkan
kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran berpribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Syarat-syarat
tersebut dalam konstatasi relatif memiliki linearitas dengan kesediaan untuk menerima dan memberi
secara berimbang. Maka dalam konteks itu, mekanisme demokrasi antar komponen bangsa, terutama
pelaku praktis politik, merupakan bagian yang terpenting dalam menuju masyarakat yang dicita-citakan
tersebut.
Adapun partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik untuk
terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi bilamana tersedia iklim yang
memungkinkan otonomi individu terjaga. Antitesa dari sebuah masyarakat madani adalah tirani yang
memasung secara kultural maupun struktural kehidupan bangsa dan yang menempatkan cara-cara
manipulatif dan represif sebagai instrumentasi sosialnya. Sehingga masyarakat pada umumnya tidak
memiliki daya yang berarti untuk memulai sebuah perubahan, dan tidak ada tempat yang cukup luang
untuk
mengekpresikan
partisipasinya
dalam
proses
perubahan.
Sedangkan penghargaan terhadap supremasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan
harus diposisikan secara netral, dalam artian, tidak ada yang harus dikecualikan untuk memperoleh
kebenaran di atas hukum. Ini dapat terjadi bilamana terdapat komitmen yang kuat diantara komponen
bangsa untuk iklas mengikatkan diri dengan sistem dan mekanisme yang disepakati bersama.
Demokrasi tanpa didukung oleh penghargaan terhadap tegaknya hukum akan mengarah pada dominasi
mayoritas yang pada gilirannya menghilangkan rasa keadilan bagi kelompok lain yang lebih minoritas.
Demikian pula partisipasi tanpa diimbangi dengan menegakkan hukum akan membentuk masyarakat
tanpa
kendali
(laissez
faire).
Bahmueller, dalam The Role of Civil Society in the Promotion and Maintenance of Constitutional Liberal
Democracy (1997), memberikan beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1) Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui
kontrak
sosial
dan
aliansi
sosial.
2) Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat
dapat
dikurangi
oleh
kekuatan-kekuatan
alternatif.
3) Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan programprogram
pembangunan
yang
berbasis
masyarakat.
4) Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasiorganisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5) Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rezim-rezim totaliter.
6) Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui
keterkaitannya
dengan
orang
lain
dan
tidak
mementingkan
diri
sendiri.
7) Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam
perspektif.
Dari beberapa karakteristik tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah
masyarakat demokratis, dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam
menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Selain itu pemerintahannya juga
memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negaranya.. Namun demikian,
masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi dan yang mudah untuk diwujudkan.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang dibentuk dari poses sejarah panjang, yang diiringi
perjuangan
yang
berkesinambungan.
Selain itu ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi oleh sebuah masyarakat untuk menjadi
masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis yang dipilih dan
berkuasa secara demokratis) dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilainilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut dapat
menjadi
tujuh
prasyarat
masyarakat
madani
sebagai
berikut:
1) Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2) Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi
terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi
sosial
antar
kelompok.
3) Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses
terhadap
berbagai
pelayanan
sosial.
4) Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya untuk
terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat
dikembangkan.
5) Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai
perbedaan
antar
budaya
dan
kepercayaan.
6) Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan
sosial
berjalan
secara
produktif
dan
berkeadilan
sosial.
7) Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan
terpercaya.
Masyarakat
madani
sebagai
realitas
imajinatif
Pada perkembangannya, model masyarakat madani atau civil society menjadi sesuatu hal yang
diupayakan untuk dapat aplikatif. Tidak hanya negara-negara maju, negara-negara berkembang pun,
termasuk Indonesia juga berupaya untuk menerapkan model masyarakat madani, seperti yang banyak
diwacanakan oleh para akademisi hingga decision maker sekalipun. Model masyarakat madani seakan
menjadi suatu model masyarakat yang ideal. Khususnya bagi suatu negara yang berupaya mewujudkan
masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratif, dengan landasan ketaqwaan kepada Tuhan, di tengah
pluralitas
yang
banyak
kita
jumpai
saat
ini.
Indonesia, dengan mayoritas penduduknya yang muslim sangatlah cocok dalam upayanya mwujudkan
model masyarakat madani. Dengan citranya sebagai negara yang terkenal akan keramahtamahannya,
banyak pihak yang menganggap bahwa negara kepulauan terbesar di dunia ini akan mampu untuk
menerapkan model masyarakat madani ini. Akan tetapi upaya penerapan model masyarakat demikian
tidaklah semudah dalam bayangan. Banyak aspek yang harus diperhatikan ketika sebuah negara
mempunyai anga-angan untuk mewujudkan sebuah kondisi masyarakat yang ideal. Selain itu, terdapat
beberapa skeptisisme yang mengiringi kompetensi negara Indonesia dalam mengaplikasikan model
masyarakat madani ini, diantaranya: apakah masyarakat Indonesia sudah memiliki karakteristik
masyarakat madani, dan apakah Indonesia sudah memenuhi prasyarat untuk menjadi sebuah negara
yang
bermesyarakatkan
madaniyah.
Merujuk pada beberapa karakteristik masyarakat madani menurut Bahmueller (1997), masyarakat
Indonesia saat ini bisa dikatakan telah memiliki kemampuan dalam berkreatifitas dan berinovasi yang
lebih baik dalam satu dasawarsa terakhir. Mengingat telah diterapkannya nilai-nilai demokrasi pasca
runtuhnya rezim orde baru. Selain itu masyarakat Indonesia dewasa ini juga memiliki berbagai macam
perspektif dalam menyikapi permasalahan negara. Hanya saja, masyarakat Indonesia saat ini cenderung
lebih mementingkan kepentingan individunya. Lunturnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust)
terhadap individu lain, adalah salah satu faktor mengapa masyarakat Indonesia cenderung untuk
bersikap ndividualistis. Meskipun gejala ini masih menjadi fenomena di kota-kota besar, tidak menutup
kemungkinan fenomena semacam ini akan merembet ke daerah lain. Ketidakmampuan masyarakat kita
dalam menyeleksi masuknya budaya asing juga menjadi salah satu penghambat negara kita, untuk
dapat mengaplikasikan model masyarakat madani. Selain itu maraknya budaya konsumerisme dan
hedonisme menjadi semacam penegasan, bahwa menerapkan model masyarakat ideal yang adil,
toleran, dan memiliki ketakwaan kepada Tuhan, merupakan suatu hal yang tidak mudah.
Mengenai kompetensi negara (baca: pemerintah) dalam upayanya mewujudkan negara Indonesia yang
bermasyarakatkan madaniyah, sama halnya dengan karakteristik masyarakat kita yang telah dijabarkan
diatas. Dewasa ini, sangat sulit menemui suatu daerah yang 100 persen masyarakatnya terpenuhi
kebutuhan dasarnya. Masih banyaknya fenomena kaum miskin, tunagrahita, dan kriminalisasi, sedikit
banyak menunjukkan bahwa negara kita masih belum cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar
masyarakatnya. Disamping itu kesulitan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan yang
memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif, bersih, dan
berkeadilan sosial juga menjadi sebuah pernyataan bahwa model masyarakat madani belum relevan
untuk diaplikasikan di Indonesia. Wacana mmewujudkan masyarakat ideal, seperti halnya masyarakat
madinah yang hidup pada masa Rasulullah SAW, hanyalah sebuah realitas imajinatif. Yaitu sebuah
realitas yang hanya ada dalam bayangan atau angan-angan. Masih banyak hal yang perlu dibenahi dan
diperbaiki oleh negara kita dan juga masyarakatnya. Dengan demikian, terwujudnya model masyarakat
madani di Indonesia, juga menjadi tanggung jawab kita sebagai seorang warga negara.