Você está na página 1de 6

Nama

: Amalia Mega Putri Mujur

Stambuk

: N 101 12 161

Kelompok

: XII (Dua Belas)

Hari/Tanggal : Kamis, 12 Juni 2014


Judul Skenario: Kecelakaan Lalu Lintas

LO (Learning Objective)
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Prognosis trauma musculoskeletal ?


Macam-macam trauma musculoskeletal ?
Prosedur rujukan ke dokter ahli ? (beserta transportasinya)
Simple treatment untuk kasus trauma musculoskeletal ? (metode konservatif umum)
Sindrom di bagian distal akibat trauma musculoskeletal ?
Penanganan pada korban bencana (emergency) ?

Jawab
1. Proses penyambungan tulang menurut Apley dibagi dalam 5 fase yaitu :
1. Fase hematoma terjadi selama 1- 3 hari. Pembuluh darah robek dan terbentuk
hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur,
yang tidak mendapat pesediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua
milimeter (Helmi, 2011).
2. Fase proliferasi terjadi selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam setelah
fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi dibawah periosteum dan
didalam saluran medula yang tertembus ujung fragmen dikelilingi jaringan sel
yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahanlahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang dalam daerah fraktur
(Helmi, 2011).
3. Fase pembentukan kalus terjadi selama 2-6 minggu. Pada sel yang
berkembangbiak memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik
jika diberikan tindakan yang tepat selain itu akan membentuk tulang kartilago
dan osteoklas. Massa tulang akan menjadi tebal dengan adanya tulang dan
kartilago juga osteoklas yang disebut dengan kalus. Kalus terletak pada
permukaan periosteum dan endosteom. Terjadi selama 4 minggu, tulang mati
akan dibersihkan (Helmi, 2011).
4. Fase konsolidasi terjadi dalam waktu 3 minggu 6 bulan. Tulang fibrosa atau
anyaman tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan osteoblastik masih
berlanjut maka anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar. Pada saat ini
osteoblast tidak memungkinkan untuk menerobos melalui reruntuhan garis
fraktur karena sistem ini cukup kaku. Celah-celah diantara fragmen dengan
tulang baru akan diisi oleh osteoblas. Perlu beberapa bulan sebelum tulang
cukup untuk menumpu berat badan normal (Helmi, 2011).

5. Fase remodelling terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah


dihubungkan oleh tulang yang padat, tulang yang padat tersebut akan
diresorbsi dan pembentukan tulang yang terus menerus lamelar akan menjadi
lebih tebal, dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang, dibentuk rongga
sumsum dan akhirnya akan memperoleh bentuk tulang seperti normalnya.
Terjadi dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun (Helmi, 2011).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain: usia pasien,
banyaknya displacement fraktur, jenis fraktur, lokasi fraktur, pasokan darah pada
fraktur, dan kondisi medis yang menyertainya (Helmi, 2011).
Proses penyembuhan luka (jaringan lunak) yaitu :
1. Respons inflamasi akut terhadap cedera ; mencakup hemostasis, pelepasan
histamin dan mediator lain dari sel-sel yang rusak, dan migrasi sel darah putih
(leukosit polimorfonuklear dan makrofag) ke tempat yang rusak tersebut.
2. Fase destruktif ; pembersihan jaringan yang mati dan yang mengalami devitalisasi
oleh leukosit polimorfonuklear dan makrofag.
3. Fase proliferatif ; yaitu pada saat pembuluh darah baru, yang diperkuat oleh
jaringan ikat menginfiltrasi luka.
4. Fase maturasi ; mencakup re-epitelisasi, konstraksi luka, dan reorganisasi jaringan
(Morison, 2004).
Referensi : Helmi ZN, 2011, Buku Ajar GANGGUAN MUSKULOSKELETAL,
Salemba Medika, Jakarta.
Morison, MJ, 2004, Manajemen Luka, EGC, Jakarta.
2. Macam-macam trauma musculoskeletal
Kontosio
Adalah injury pada jaringan lunak yang disebabkan oleh benda tumpul
(pukulan,tendangan,jatuh)
Traumatic Joint Dislocation
Adalah terjadi ketika permukaan tulang sendi tidak sesuai dengan posisi anatomi.
Dislokasi merupakan keadaan emergensi karena berhubungan dengan kerusakan
aliran darah dan persarafan disekitarnya

Fraktur

Fraktur adalah diskontinuitas dari jaringan tulang (patah tulang) yang biasanya
disebabkan oleh adanya kekerasan yang timbul secara mendadak. (Aswin, dkk,;
1986). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang
menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada
lengan bawah yang menyebabakan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa
tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada lengan yang menyebabkan tulang
klavikula atau radius distal patah.

3. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan


medis, yaitu:
Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat
pertama
Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke
fasilitas kesehatan tingkat kedua
Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes primer.
Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.
a Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes
tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana
terapinya, merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier.
b Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:
1 terjadi keadaan gawat darurat; Kondisi kegawatdaruratan mengikuti
ketentuan yang berlaku
2 bencana; Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau
Pemerintah Daerah
3 kekhususan permasalahan kesehatan pasien; untuk kasus yang sudah
ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di
fasilitas kesehatan lanjutan
4 pertimbangan geografis; dan
5 pertimbangan ketersediaan fasilitas
c Pelayanan oleh bidan dan perawat
1 Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan
kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
2 Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter
gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali dalam kondisi
gawat darurat dan kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi
di luar kompetensi dokter dan/atau dokter gigi pemberipelayanan kesehatan
tingkat pertama
d Rujukan Parsial
1 Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi
pelayanan kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau
pemberian terapi, yang merupakan satu rangkaian perawatan pasien di Faskes
tersebut.
2 Rujukan parsial dapat berupa:
a pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan
b pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang
3 Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan
pasien dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.

4. Simple treatment dengan metode konservatif umum :

1. Proteksi misalnya penggunaan mitela untuk fraktur clavikula (Sjamsuhidayat,


2011).
2. Immobilisasi tanpa reposisi. Misalnya pemasangan gibs atau bidai pada fraktur
inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik (Sjamsuhidayat, 2011).
3. Reposisi tertutup atau fiksasi dengan gibs. Misalnya pada fraktur supra candy lain,
smith, fragmen distal di kembaikan pada posisi semula terhadap fragmen
proksimal dan dipertahankan dalam kedudukan yang lebih stabil dalam gibs
(Sjamsuhidayat, 2011).
4. Traksi : dapat untuk reposisi perlahan dan fiksasi sehingga sembuh atau dipasang
gibs. Macam-macam traksi yaitu :
1. Traksi kulit buck : paling sederhana dan tepat bila dipasang pada anak muda
pada jangka waktu pendek.
Indikasi : untuk mengistirahatkan lutut pasien trauma sebelum lutut tersebut
diperiksa dan diperbaiki lebih lanjut.
2. Traksi kulit bryan : digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami
patah tulang paha, tidak dilakukan pada anak-anak dari 3 tahun dan BB > 30
kg (dapat mengalami kerusakan pada kulit).
3. Traksi jangka seimbang : dipakai untuk patah tulang pada corpus femoralis
dewasa, fraksi ini berupa satu pin rangka yag ditempatkan transversal
(melintang melalui femur distal dan tibia proksimal).
4. Traksi Rusel : untuk menangani semua fraktur femur fraksi longitudinal
diberikan dengan menempatkan pin dengan posisi transversal melalui tibia dan
fibula diatas lutut (Sjamsuhidayat, 2011).
Referensi : Sjamsuhidayat, de Jong, 2011, Buku Ajar Ilmu Bedah 3, ECG, Jakarta.
5. Pada tungkai bawah atau lengan bawah terdapat kompartemen yang terisi oleh otototot dan neurovaskular. Bila terjadi peningkatan tekanan intrakompartemen atau
rongga kompartemen itu menyempit (pemasangan gip atau pembidaian) akan
menimbulkan peningkatan tekanan disitu dan terjadi iskhemi. Bila tidak dilakukan
dekompresi serabut otot akan diganti oleh jaringan fibrosis (Volkmann contracture)
(Helmi, 2011).
Sindrom kompartemen umumnya akibat fraktur terbuka atau tertutup, tapi dapat juga
akibat kerusakan jaringan lunak yang hancur ( soft tissue crush injury ) atau trauma
vaskular. Sindrom ini dapat juga terjadi setelah melakukan repair vaskular.
Pemeriksaan kualitas nadi tidak menjamin kepastian diagnosis sindrom
kompartemen.Setiap rasa nyeri yang bertambah pada gerakan pasif otot-otot di
kompartemen itu merupakan gejala awal dan sindrom kompartemen (Helmi, 2011).
5P pada sindrom kompartemen yaitu :
1. Nyeri (pain)
2. Parestesia karena rangsangan saraf perasa
3. Pale (pucat) karena iskemis 5 P
4. Paralisis atau paresis karena gangguan saraf motorik
5. Pulse (nadi) yang sulit diraba lagi (Helmi, 2011).
Referensi : Helmi ZN, 2011, Buku Ajar GANGGUAN MUSKULOSKELETAL,
Salemba Medika, Jakarta.

6. Penanganan pada korban bencana (emergency) ?


Dalam penanganan kasus trauma massal sebenarnya memiliki prinsip yang
sama dengan penanganan trauma pada umumnya. Tetapi yang perlu di perhatikan
adalah keterbatasan sumber daya dan sarana yang digunakan. Semaksimal mungkin
kita dapat menyelamatkan banyak nyawa. Ketika pasien trauma lebih banyak dari
tim yang melakukan pertolongan, maka priroritas utama yang di lakukan pertolongan
adalah yang memiliki kemungkinan besar untuk hidup. Tetapi apabila anggota tim
lebih banyak dari korban trauma, maka memaksimalkan anggota tim yang ada
dengan tetap memprioritaskan korban yang membutuhkan pertolongan segera
terlebih dahulu.
Survei Primer
Pertama kali harus dilakukan adalah mengamankan dan mengaplikasikan prinsip
ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability Limitation, Exposure)
1. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas
oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan
jalan nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat
digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya
memerlukan pemasangan airway definitif (Parahita, 2009).
2. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus
menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru
yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien
dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow
oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir (Parahita, 2009).
3. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di
sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering
menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang
terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3
4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik
adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau
ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai
yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi
gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada patah
tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat menghentikan
pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping
usaha menghentikan pendarahan (Parahita, 2009).
4. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat
terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal (Parahita,
2009).
5. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka,
penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia (Parahita, 2009).
Survei Sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari cedera

cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan
tidak terobati. Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil
riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last
Ate dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting
untuk ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh
pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary
survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai
penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit (Parahita, 2009).
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi
adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi
neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara
pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita menilai
warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi
dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu
pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi
menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah
yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan ancaman sindroma
kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa
daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita
memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal (Parahita, 2009).
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari
fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian membandingkan
sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan
pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di
ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang normal, perbedaan besarnya
denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya gangguan motorik menunjukkan
trauma arteri. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan yang memancar
dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma arterial. Pemeriksaan neurologi juga
penting untuk dilakukan mengingat cedera muskuloskeletal juga dapat menyebabkan
cedera serabut syaraf dan iskemia sel syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan
kerja sama pasien. Setiap syaraf perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya
perlu diperiksa secara sistematik (Parahita, 2009).
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber sumber
yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang dapat
dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka fraktur dengan
ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada ghas. Berikan vaksinasi
tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi (Parahita, 2009).
Sumber : Parahita, PS, 2009, Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Pada Cedera
Ekstremitas, Jurnal FK UNAND.

Você também pode gostar