Você está na página 1de 8

PENTINGNYA KEBERADAAN OTORITAS JASA

KEUANGAN DALAM SISTEM KEUANGAN


INDONESIA
(Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Akuntansi Keuangan Lanjutan)

OLEH:
ALDO LAZUARDY
NPM 1511031163

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN


TINGGI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM S1 AKUNTANSI STAR BPKP BATCH 2
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016

Pendahuluan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah sebuah lembaga negara berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Dibentuk
berdasarkan
bertujuan

Undang-undang

untuk

Nomor

mendorong

21

kegiatan

Tahun
sektor

2011,
jasa

lembaga

keuangan

ini

agar

terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel. OJK juga


bertujuan untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat.
OJK dikepalai oleh Dewan Komisioner, yang terdiri dari seorang Ketua
Dewan, Wakil Ketua Dewan, dan tujuh orang anggota dewan komisioner
yang memiliki bidang tugas masing-masing. Saat ini, Ketua Dewan
Komisioner OJK adalah Muliaman D. Hadad, Ph.D, mantan Deputi
Gubernur Bank Indonesia periode 2007 sampai dengan 2011.
OJK dibentuk untuk menggantikan peran Bank Indonesia dan Bapepam-LK
dalam pengaturan serta pengawasan atas bank, pasar modal, dan
lembaga keuangan lainnya. Namun, mengingat tidak adanya disolusi
Bapepam-LK secara resmi dan masih adanya kegiatan regulatoris
perbankan sebagai tugas dan wewenang Bank Indonesia, pembentukan
OJK menjadi topik diskusi mengenai esensi dan urgensi pembentukan
lembaga tersebut.
Latar Belakang Pendirian OJK
OJK dibentuk sebagai tanggapan atas perkembangan sistem keuangan
serta permasalahan-permasalahan yang timbul sebagai konsekuensi
perkembangan

tersebut.

Dasar

pemikiran

pembentukan

lembaga

independen yang mengawasi sektor jasa keuangan telah disiratkan dalam


Pasal 34 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dan
kegiatan pembentukan lembaga tersebut diberikan tenggat waktu hingga
tanggal 31 Desember 2002. Bank Indonesia dan lembaga pemerintahan
terkait tidak dapat memenuhi tenggat waktu ini dan badan independen

yang diidealisasikan pada undang-undang tersebut tidak terealisasi.


Setelah itu, Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia terbit dan undang-undang
tersebut memberikan tenggat waktu baru untuk pembentukan lembaga
independen yaitu tanggal 31 Desember 2010.
Selain itu, masyarakat juga menilai adanya kelemahan Bank Indonesia
dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawas kegiatan perbankan di
Indonesia. Peristiwa penalangan (bailout) akibat kegagalan Bank Century
terkadang diatribusikan oleh beberapa media dan pengamat sebagai
indikasi kelemahan pengawasan Bank Indonesia. Menurut Krisna Wijaya,
Komisaris Independen PT Bank Mandiri, Tbk periode 2010 sampai dengan
2015, kelemahan pengawasan oleh Bank Indonesia disebagkan oleh dua
kemungkinan, yaitu error of omission ataupun error of commission. Error
of omission didefinisikan sebagai kesalahan yang terjadi akibat kelalaian
atas pemenuhan sebuah ketentuan/prosedur. Error of commission adalah
kesalahan berupa tindakan pemenuhan sebuah ketentuan/prosedur yang
tidak dijalankan dengan benar. Kesalahan-kesalahan tersebut memiliki
unsur kesalahan manusia (human error), yang tidak dapat dideteksi dan
ditangani oleh Bank Indonesia karena tidak ada suatu metode khusus
untuk

mengukur

pengawasan

ini,

hal

tersebut.

diperlukan

Oleh

sumber

karena
daya

itu,

manusia

untuk

kegiatan

yang

memiliki

integritas dan profesionalitas tinggi.


Indikasi lain kelemahan pengawasan perbankan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia diantaranya adalah bahwa pemilihan Dewan Gubernur Bank
Indonesia melalui proses politik di DPR. Hal ini merupakan sesuatu yang
rawan, karena adanya potensi kepentingan politik. Selain itu, luasnya
cakupan pengawasan bank oleh Bank Indonesia yang menyebabkan
adanya keputusan yang diambil oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia
tidak mampu secara kokoh membentengi diri dari ancaman atau
intervensi berbagai kepentingan dan peluang. Ketiga, pengendalian intern
yang kredibel dan konsisten terhadap pelaksanaan fungsi pengawasan
bank juga dapat menjadi rawan manakala fungsi ini tidak bekerja secara

benar. Hal ini mengingat fungsinya yang mudah diintervensi dan


dilumpuhkan karena merupakan subsistem dari kepemimpinan tertinggi.
Keempat,
mewarnai

budaya
dan

kerja

merupakan

melemahkan

fungsi

kerawanan

kultur

pengendalian

yang

intern

dapat
dalam

pengawasan bank.
Setelah OJK berdiri, berdasarkan Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2011, OJK
memiliki wewenang yaitu:
a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang
meliputi:
1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank,
anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan
dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi
bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan
dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan
modal

minimum,

batas

maksimum

pemberian

kredit,

rasio

pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;


2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3. sistem informasi debitur;
4. pengujian kredit (credit testing); dan
5. standar akuntansi bank;
c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank,
meliputi:
1. manajemen risiko;
2. tata kelola bank;
3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
d. pemeriksaan bank.
Sedangkan wewenang Bank Indonesia berdasarkan Pasal 15 sampai
dengan 23 UU No. 23 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No.
6/2009 adalah:
a. Melaksanakan

dan

memberikan

persetujuan

penyelenggaraan jasa sistem pembayaran,

dan

izin

atas

b. Mewajibkan

penyelenggara

jasa

sistem

pembayaran

untuk

menyampaikan laporan kegiatannya,


c. Menetapkan penggunaan alat pembayaran,
d. Mengatur sistem kliring antar bank baik dalam mata uang rupiah
maupun asing,
e. Menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar
bank,
f. Menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan
yang

digunakan

dan

tanggal

mulai

pembayaran yang sah,


g. Mengeluarkan dan mengedarkan
menarik

dan

memusnahkan

berlakunya

uang

uang

rupiah

dari

sebagai

serta

peredaran,

alat

mencabut,
termasuk

memberikan penggantian dengan nilai yang sama.


Pada pasal 24 sampai dengan pasal 35 di undang-undang yang sama,
tersirat juga bahwa Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan
dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari
bank, melaksanakan pengawasan atas bank, dan memberikan sanksi
terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan
dan mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan
izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan
persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan
izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Jika

dibandingkan

sepintas

dengan

wewenang

OJK

seperti

yang

disebutkan di atas, terdapat semacam dualisme, di mana baik Bank


Indonesia dan OJK memiliki wewenang dalam perizinan bank.
Menurut Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, kedua lembaga
memerlukan koordinasi yang baik untuk tidak saling mengambil tugas.
Bank

Indonesia

akan

menangani

pengawasan

perbankan

secara

makroprudensial, yaitu pengawasan yang bertujuan melakukan mitigasi


risiko sistem keuangan secara menyeluruh (atau risiko sistemik),
sedangkan pengawasan mikroprudensial, yaitu yang bertujuan untuk

memberikan keyakinan bahwa posisi keuangan institusi tahan terhadap


guncangan, dilaksanakan oleh OJK.
Kegagalan Otoritas Regulatoris Keuangan di Britania Raya
Terdisolusinya Financial Services Authority (FSA) di Britania Raya memicu
perkembangan diskusi tentang perlunya keberadaan OJK di Indonesia. FSA
adalah badan regulatoris yang bertanggungjawab atas pengawasan jasa
keuangan di Britania Raya. Pada tanggal 1 April 2013, akibat kegagalan
regulasi selama krisis keuangan tahun 2007 hingga 2008, FSA telah
dibubarkan

dan

sebagai

gantinya

dibentuk

Prudential

Regulation

Authority dan Financial Conduct Authority, dua badan yang secara


hierarkis berada di bawah bank sentral Britania Raya yaitu Bank of
England.
Beberapa

kesalahan

regulatoris

yang

dilakukan

oleh

FSA

adalah

kurangnya aktivitas dan kecermatan dalam melakukan pengawasan. FSA


gagal mencermati sinyal-sinyal mengenai kegagalan sebuah bank dan
melemparkan tanggung jawabanya ke badan lain untuk menangani
implikasi dari kegagalan tersebut. Lembaga tersebut juga mengizinkan
bank yang gagal tersebut terus beroperasi tanpa program mitigasi selama
berbulan-bulan

hingga

akhirnya

bank

tersebut

kolaps.

Hal

ini

menyebabkan jatuhnya tingkat kepercayaan konsumen terhadap industri


jasa keuangan. FSA juga dinilai lebih berpihak kepada perusahaan
penyedia jasa keuangan dari pada konsumen dan masyarakat.
Kembalinya tanggung jawab bank sentral dalam regulasi jasa keuangan di
Britania Raya menggugah pengamat di Indonesia untuk mengkaji apakah
keberadaan OJK tetap diperlukan. Hasil survei IMF antara bulan Februari
dan April 2007 terhadap 103 negara di dunia yang mewakili sekitar 91
persen total PDB dunia, menunjukkan mayoritas negara responden
memberikan kewenangan melaksanakan fungsi pengawasan perbankan
kepada bank sentralnya, karena pembentukan lembaga independen
dalam fungsi pengawasan sektor perbankan seperti OJK, tidak membawa
kondisi ekonomi negara menjadi lebih baik.

Tiap-tiap negara dan/atau entitas mempunyai perlakuan berbeda dalam


pemberian wewenang regulasi jasa keuangan. Contohnya, di Amerika
Serikat, kewenangan regulasi atas jasa keuangan diatur oleh Securities
and Exchange Commission (SEC), yang merupakan badan yang terpisah
dari bank sentral yaitu Federal Reserve. Namun di Amerika Serikat, SEC
dan Federal Reserve terikat dalam suatu kelompok kerja sama yang
disebut Working Group on Financial Markets, yang bertujuan untuk
meningkatkan integritas, efisiensi, keteraturan, dan daya saing pasar
finansial serta menjaga kepercayaan investor. Di Uni Eropa, pengawasan
atas perbankan dilakukan oleh

European Banking Authority

(EBA)

sedangkan pengawasan atas pasar modal dan jasa keuangan lainnya


dilakukan oleh European Securities and Markets Authority (ESMA). Kedua
badan ini juga merupakan badan yang terpisah dari bank sentral Uni
Eropa (European Central Bank).

Korelasi Kinerja OJK dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia


Salah satu cara untuk menilai pentingnya OJK dalam perekonomian
Indonesia

adalah

dengan

membuktikan

kontribusi

OJK

dalam

pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Hingga saat artikel ini ditulis, OJK baru
berjalan secara efektif selama lima tahun, sehingga penilaian tersebut
akan diperkirakan akan menghasilkan angka yang belum cukup signifikan
untuk diambil kesimpulannya. Hingga saat ini, belum ada publikasi yang
melakukan studi secara mendalam mengenai korelasi kinerja pengawasan
atas jasa keuangan yang dilakukan oleh OJK dengan tingkat pertumbuhan
perekonomian Indonesia dalam periode tertentu. OJK telah menyediakan
informasi berupa laporan mengenai aktivitasnya secara triwulanan dan
dapat diakses oleh publik melalu halaman web.
Kesimpulan
Pentingnya keberadaan OJK masih perlu dikaji di masa mendatang, ketika
lebih banyak data tersedia sehingga dapat diteliti korelasi antara
kontribusi dan kinerja serta hubungan manfaat dan biaya dari lembaga

tersebut dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang pada


akhirnya berdampak pada tingkat kemakmuran masyarakat. Untuk saat
ini, keberadaan OJK sangat diharapkan untuk dapat meningkatkan
integritas dan kualitas pengawasan atas jasa keuangan di Indonesia.

Você também pode gostar