Você está na página 1de 515

Volume 2, Tahun 2014.

ISSN 2338-8315

KATA PENGANTAR

Dengan Senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah SWT, atas karunia-Nya Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan Matematika ini akhirnya dapat diselesaikan. Seminar Nasional Pendidikan
Matematika merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan
Matematika STKIP Siliwangi Bandung tiap tahun. Kegiatan ini merupakan sebuah wadah bagi
pendidik, peneliti dan pemerhati pendidikan matematika untuk mendifusikan kajian ilmiah serta
untuk meningkatkan kerjasama diantara peserta.
Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Keprihatinan
terkait berbagai aspek kehidupan diungkap dan dibahas di media massa, Selain itu, para pemuka
masyarakat, ahli, pengamat pendidikan, dan pengamat sosial mengangkat persoalan budaya dan
karakter bangsa pada berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun
internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, perilaku kekerasan dan
perusakan, kejahatan seksual, pola hidup yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif,
dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat. Berbagai alternatif penyelesaian telah diajukan
seperti peraturan, undang-undang, dan penegakan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang
banyak dikemukakan untuk mengatasi atau mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa
seperti itu adalah pendidikan. Oleh karena itu, Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2014
mengambil tema Implementasi Kurikulum 2013 Melalui Inovasi Pembelajaran Matematika Untuk
Menunjang Optimalnya Hardskill dan Softskill Siswa yang diselenggarakan di Kampus STKIP
Siliwangi pada tanggal 27 Nopember 2014.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi atas
penyelenggaraan Seminar Nasional Pendidikan Matematika ini sehingga berhasil dengan baik,
khususnya kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi, Bapak Ketua STKIP Siliwangi beserta
jajarannya, Ketua dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika, Steering Committee serta
semua panitia yang telah membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan dalam
penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan
Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

SAMBUTAN KETUA PANITIA


SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
STKIP SILIWANGI BANDUNG
Assalamualaikum wr wb,
Salam sejahtera bagi kita semua.
Bapak, Ibu, dan Saudara/I peserta seminar yang berbahagia.
Dengan senantiasa mengharapkan Rahmat dan Ridho Allah SWT karena telah mempertemukan
kita pada acara Seminar Nasional Pendidikan Matematika di STKIP Siliwangi Bandung dalam
keadaan sehat walafiat semoga seminar ini dapat berjalan dengan lancar dan memberikan manfaat
bagi kita semua, Amiin.
Seminar Nasional Pendidikan Matematika dengan tema, Implementasi Kurikulum 2013 Melalui
Inovasi Pembelajaran Matematika Untuk Menunjang Optimalnya Hardskill dan Softskill Siswa,
bertujuan untuk : 1) memberikan pemahaman kepada kita tentang arti pentingnya Kurikulum 2013
dan bagaimana mengintegrasikan dalam pembelajaran matematika untuk menunjang optimalnya
hardskill dan softskill siswa; 2) mempublikasikan hasil-hasil penelitian atau kajian dalam lingkup
matematika dan pendidikan matematika, dan 3) membangun kesinambungan antara lembaga
pendidikan, dan lembaga penelitian dalam mengembangkan dan mengaplikasikan karakter dalam
pembelajaran matematika menuju masyarakat Indonesia yang bernafaskan Iman, Ilmu, dan Ikhsan.
Kegiatan seminar ini diharapkan menjadi kegiatan tahunan Program Studi Pendidikan Matematika
STKIP Siliwangi.
Panitia seminar mengundang dua narasumber sebagai pembicara utama, kedua orang tersebut
adalah Bapak Prof. Wono Setia Budhi, Ph.D., dan Ibu Prof. Dr. Hj. Utari Sumarmo. Kedua
narasumber tersebut akan menyampaikan makalahnya dalam setiap sesi yang berbeda, selain
makalah dari kedua pembicara utama, panitia menerima 60 makalah dari pemakalah berbagai
propinsi untuk dipresentasikan dalam sesi paralel. Seminar ini juga dihadiri oleh peserta pendengar
yang terdiri dari Mahasiswa, Dosen, Guru dan Praktisi dunia pendidikan.
Seminar ini terselenggara berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami
menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ketua STKIP Siliwangi beserta Jajarannya, Bapak
Ketua dan sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi, Bapak/Ibu Pengurus
Organisasi Profesi Indo-MS yang telah membantu menjadikan seminar ini sebagai agenda resmi
kegiatan seminar yang ada di Indo-MS sehingga seminar ini dapat menjadi fasilitator bagi para
anggota Indo-MS dalam mempublikasikan karya-karya ilmiah baik hasil penelitian maupun kajian
teori pada bidang matematika. Selain itu, kami atas nama panitia juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kehilafan dalam
penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan
Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.
Akhirnya, kami berharap seminar ini dapat memberikan manfaat bagi kita yang hadir disini
khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya.
Wassalamualaikum wr wb.
Bandung, 27 Nopember 2014
Ketua Panitia

ii

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................
KATA SAMBUTAN ..............................................................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................................................

i
ii
iii

PEMBICARA UTAMA
PENDIDIKAN TERBALIK DI MATEMATIKA
Oleh : Wono Setya Budhi .....................................................................................................................

MENGEMBANGKAN HARD SKILL DAN SOFT SKILL MATEMATIKA SISWA SEKOLAH


MENENGAH MELALUI BERAGAM PEMBELAJARAN BERNUANSA PENDIDIKAN NILAI
DAN KARAKTER
Oleh : Prof. Dr. Hj. Utari Sumarmo ...................................................................................................

PENDIDIKAN MATEMATIKA
EKSPLORASI SOFT SKILL NASIONALISME SISWA MELALUI PEMBELAJARAN
MATEMATIKA HEURISTIK DENGAN PENDEKATAN SILANG BUDAYA
Oleh : Heris Hendriana ........................................................................................................................
PENGARUH
PENERAPAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN
MATEMATIS TINGKAT TINGGI SISWA SMP

17

BERPIKIR

Oleh : Asep Ikin Sugandi ......................................................................................................................

23

MENGEMBANGKAN RETENSI KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI MATEMATIS


SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL
Oleh : Wahyu Hidayat ..........................................................................................................................

32

STRATEGI THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING UNTUK MENINGKATKAN


KEMAMPUAN KELANCARAN BERPROSEDUR DAN KOMPETENSI STRATEGIS
MATEMATIS SISWA SMP
Oleh : M. Afrilianto, Tina Rosyana .....................................................................................................

45

ANALISIS KEMAMPUAN MEMAHAMI MATERI ALJABAR SEKOLAH DAN DISPOSISI


MATEMATIS GURU SEKOLAH DASAR
Oleh : Didi Suhaedi , Tia Purniati ..................................................................................................

54

INTEGRASI MATEMATIKA DAN ISLAM DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA


Oleh : Samsul Maarif ............................................................................................................................

58

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIK MELALUI


PEMBELAJARAN PENCAPAIAN KONSEP
Oleh : Julita ............................................................................................................................................

68

PENERAPAN PEMBELAJARAN MEAs UNTUK MENGEMBANGKAN RETENSI


KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIK SISWA SMA
Oleh : Hamidah ......................................................................................................................................

74

IMPLEMENTASI LESSON STUDY MELALUI MODEL KOOPERATIF PADA MATA KULIAH KAPITA
SELEKTA MATEMATIKA IV UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA
MAHASISWA
Oleh : Nelly Fitriani .............................................................................................................................

81

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN METAKOGNITIF UNTUK


MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH
MENENGAH ATAS
Oleh : Masta Hutajulu ...........................................................................................................................

88

iii

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


PENINGKATAN KEMAMPUAN ARGUMENTASI MATEMATIS MAHASISWA JURUSAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Oleh : R. Bambang Aryan Soekisno, Yaya S. Kusumah, Jozua Sabandar, Darhim .......................

92

ANALISIS PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN MODEL


PEMBELAJARAN KONSTRUKTIF BERBASIS PENEMUAN TERBIMBING DI SEKOLAH
MENENGAH KEJURUAN (SMK) SE-JAKARTA SELATAN
Oleh : Huri Suhendri, Sudiyah Anawati, Nurhayati ..........................................................................

101

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA YANG MENGGUNAKAN


METODE KUMON DENGAN METODE KUANTUM
Oleh : Jaka Wijaya Kusumah ..............................................................................................................

107

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP DI


KOTA BANDUNG DENGAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATIONS
PADA SISWA SMP DI KOTA BANDUNG
Oleh : Siti Chotimah ..............................................................................................................................

113

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN CONNECTING, REFLECTING, ORGANIZING, AND


EXTENDING (CORE) DALAM PENCAPAIAN DAN PENINGKATAN SELF-REGULATED
LEARNING (SRL) SISWA
Oleh : Yumiati ........................................................................................................................................

120

ANALISIS KORELASI MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN


MASALAH MATEMATIKA SISWA SMPN 3 LURAGUNG, KUNINGAN-JAWA BARAT
Oleh : Risqi Rahman, Krisna Satrio Perbowo ....................................................................................

128

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA DENGAN


PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATIONS PADA SISWA SMP DI KOTA
BANDUNG
Oleh : Siti Chotimah ..............................................................................................................................

133

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA SMP SWASTA DI


KOTA CIMAHI DENGAN MENGGUNAKAN METODE PEMBELAJARAN IMPROVE
Oleh : Risma Amelia ..............................................................................................................................

140

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP MELALUI


MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS)
Oleh : Adi Nurjaman ......................................................................................................

149

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PEMBERIAN TUGAS MIND MAP (PETA


PIKIRAN) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA
Oleh : Devi Nurul Yuspriyati ................................................................................................................

157

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN


KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMK DI KOTA CIMAHI
Oleh : Eka Senjayawati .........................................................................................................................

164

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIK DAN DISPOSISI


MATEMATIK SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN ANALOGI
Oleh : Adi Nurjaman .............................................................................................................................

171

PENERAPAN PENDEKATAN PROBLEM POSING UNTUK MENINGKATKAN


KEPERCAYAAN DIRI SISWA SMP
Oleh : Indah Puspita Sari ......................................................................................................................

179

PENERAPAN MEDIA KOMPUTER DENGAN MENGGUNAKAN MACROMEDIA FLASH


TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP
Oleh : Eva Dwi Minarti .........................................................................................................................

184

IMPLEMENTASI LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES


MATEMATIKA SEKOLAH TERHADAP CALON PENDIDIK
Oleh : Ratna Sariningsih .......................................................................................................................

191

iv

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP
MELALUI PENDEKATAN PROBLEM POSING
Oleh : Indah Puspita Sari ......................................................................................................................

199

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATTIK SISWA SMA MELALUI


GAME ADOBE FLASH CS 4
Oleh : Martin Bernard ..........................................................................................................................

205

MODEL PEMBELAJARAN INTERAKTIF E LEARNING BERBASIS WEB UNTUK


MENUMBUHKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA MAHASISWA
S1 PENDIDIKAN MATEMATIKA PADA MATA KULIAH GEOMETRI ANALITIK RUANG
Oleh : Abi Suwito, Ervin Oktavianingtyas ..........................................................................................

214

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA SMP MELALUI


MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF
Oleh : Gida Kadarisma .........................................................................................................................

217

TAHAP PERKEMBANGAN KOGNITIF MATEMATIKA SISWA MTs ASY SYIFA KELAS IX


BERDASARKAN TEORI PIAGET
Oleh : Harry Dwi Putra .........................................................................................................................

224

APLIKASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM PEMBELAJARAN


MATEMATIKA DAN MENGENAL SOFTWARE AUTOGRAPH
Oleh : Ida Nuraida .................................................................................................................................

231

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI DALAM PEMBELAJARAN


MATEMATIKA UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
Oleh : Anik Yuliani ................................................................................................................................

241

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN SELF CONFIDENCE


SISWA MTs DI KOTA CIMAHI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI
TERBIMBING
Oleh : Ratni Purwasih ..........................................................................................................................

247

STRATEGI STUDENT CENTERED LEARNING TIPE COLLABORATIVE LEARNING UNTUK


MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MAHASISWA SERTA KORELASINYA TERHADAP
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK PADA PERKULIAHAN
STATISTIKA
Oleh : Sri Tirto Madawistama ..............................................................................................................

257

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA MELALUI


PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
Oleh : In In Supianti ..............................................................................................................................

265

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING UNTUK


MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS SISWA SMA
Oleh : Ida Nuraida .................................................................................................................................

276

MODEL PEMBELAJARAN SAVI YANG BERORIENTASI PADA PAKEM


Oleh : Mega Nur Prabawati ..................................................................................................................

285

PENGARUH PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK BERBASIS KURIKULUM 2013


TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIK SISWA SMP
Oleh : Ika Wahyu Anita ........................................................................................................................

295

PENERAPAN STRATEGI KNOWLEGDE SHARING DALAM MENINGKATKAN SELFDEVELOPMENT SISWA DI SMA


Oleh : Ishaq Nuriadin ............................................................................................................................

299

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


SESI MAHASISWA
PENERAPAN PENDEKATAN OPEN-ENDED DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
UNTUK MENINGKATKAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA
Oleh : Indri Herdiman ..........................................................................................................................

309

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN PEMECAHAN MASALAH


MATEMATIS SERTA KEPERCAYAAN DIRI SISWA SMA DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
Oleh : Nurismayanti ..............................................................................................................................

316

MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA TENTANG MATERI JARING-JARING KUBUS


DAN BALOK PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN ALAT
PERAGA
Oleh : Maman Suryatman ....................................................................................................................

323

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN


KOMUNIKASI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK
Oleh : Wawan Setiawan ........................................................................................................................

331

PENERAPAN PENDEKATAN PROBLEM BASED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN


KOMUNIKASI MATEMATIK PADA MATERI PROGRAM LINEAR SISWA MADRASAH
ALIYAH
Oleh : Ricky Ekaristy Purwadi ............................................................................................................

339

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI SERTA DISPOSISI


MATEMATIK SISWA SMA MENGGUNAKAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN PROBING
PROMPTING
Oleh : Suharsono ...................................................................................................................................

345

KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN


PEMBELAJARAN TERBALIK (RECIPROCAL TEACHING)
Oleh : Mila Miliatiningsih ....................................................................................................................

352

KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIK PADA SEKOLAH


MENENGAH PERTAMA
Oleh : Maryam .....................................................................................................................................
.
MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI
MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS
MASALAH
Oleh : Wilda Rahayu ............................................................................................................................

358

362

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP MELALUI


PENDEKATAN MATEMATIK REALISTIC INDONESIA (PMRI)
Oleh : Irman ..........................................................................................................................................

369

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KONEKSI SERTA DISPOSISI


MATEMATIK SISWA MADRASAH TSANAWIYAH MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS
MASALAH
Oleh : Nurjaman ...................................................................................................................................

376

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF MATEMATIK SISWA


PADA MATERI INTEGRAL MELALUI PEMBELAJARAN LANGSUNG-TAK LANGSUNG
Oleh : Sidik Tamsil ................................................................................................................................

383

PENGARUH PENERAPAN PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES TERHADAP


KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP
Oleh : Novi Nurwantini ........................................................................................................................

392

vi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP OPERASI BENTUK ALJABAR DENGAN
MENGGUNAKAN ICT PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1
Oleh : Agus Dedi ...................................................................................................................................

399

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN PEMAHAMAN MATEMATIK


SERTA MINAT MEMBACA SISWA SMP MELALUI STRATEGI SQ3R
Oleh : Cicih Aesih ..............................................................................................................................

412

PENERAPAN
PEMBELAJARAN
KONTEKSTUAL
UNTUK
MENINGKATKAN
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMK
Oleh : Aris Rohmana ............................................................................................................................

418

PENERAPAN PENDEKATAN OPEN-ENDED DENGAN SETTING MODEL PEMBELAJARAN


KOOPERATIF TIPE NHT TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI
MATEMATIS SISWA SMP
Oleh : Muhammad Abul Anwar Hakim .............................................................................................

426

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP MELALUI


STRATEGI THINK TALK WRITE
Oleh : Desi Rahmawati .........................................................................................................................

432

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN RELASIONAL MATEMATIK SISWA


MENGENAI LUAS BANGUN DATAR SEGIEMPAT DENGAN PENDEKATAN
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Oleh : Sunardi ........................................................................................................................................

440

PENERAPAN PENDEKATAN SCIENTIFIC-OPEN ENDED


UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN PENALARAN MATEMATIS SERTA
KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMA
Oleh : Iis Roisyatul Umah ....................................................................................................................

447

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN


KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP
Oleh : Dwi Candra Kusuma .................................................................................................................

452

PEMBELAJARANMANAJEMEN DIRI DENGAN SELF REINFORCEMENT UNTUK


MENINGKATKAN PENGUASAAN BILANGAN BULAT
SISWA SMP
Oleh : Harti Wijayanti ..........................................................................................................................

459

PENERAPAN PENDEKATAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DENGAN MEDIA PAPAN


TAKUR UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIKA MATERI
BILANGAN BULAT SISWA SMP
Oleh : Eko Suharyanto .........................................................................................................................

466

PERANAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN


KOMUNIKASI MATEMATIK
Oleh : Yana Cahya Kirana ...................................................................................................................

473

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN BERFIKIR KREATIF SERTA


DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN SAINTIFIC
OLeh : Irfan Zaini Husen .....................................................................................................................

478

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI SERTA DISPOSISI


MATEMATIK SISWA SMK DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL
Oleh : R. Bambang Kusmaryono .........................................................................................................

485

vii

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP KPK DAN FPB SISWA
KELAS IV SDN LANUMA HUSEIN S.1 BANDUNG
Oleh : Iwan Darmawan ........................................................................................................................

viii

493

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PEMBICARA
UTAMA

PROSIDING SEMINAR NASIONAL


PENDIDIKAN MATEMATIKA 2014
Program Studi Pendidikan Matematika
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(STKIP) Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

ii

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENDIDIKAN TERBALIK DI MATEMATIKA


Wono Setya Budhi
Jurusan Matematika, Institut Teknologi Bandung
wono@math.itb.ac.id

ABSTRAK
Pada abad dua puluh dan sebelumnya, informasi pembelajaran hanya dimiliki oleh guru atau
dosen saja. Informasi tambahan mengenai materi sangat sulit diketemukan, baik dalam bentuk
cetakan maupun media yang lain. Siswa maupun mahasiswa belajar dari keterangan dosen atau
guru, dan memperdalam pemahaman hanya dengan membaca catatan kuliah. Khusus untuk
matematika, biasanya hanya rumus saja yang ditulis di papan tulis, jarang yang disertai
penjelasan bahasa percakapan ( bahasa Indonesia). Sehingga banyak orang beranggapan bahwa
matematika itu hanya berkaitan dengan rumus, angka dan bentuk saja.
Lebih dari itu, pembelajaran dengan cara di atas, saat datang pada saat interaksi berlangsung,
siswa ataupun mahasiswa tidak mepersiapkan sesuatu tentang topik yang akan dibahas. Dengan
waktu yang relatif singkat, pembelajar harus mampu memahami materi yang diberikan secara
lisan. Pembelajaran seperti ini hanya dapat diikuti oleh siswa yang kemampuannya harus lebih
dari rata-rata. Sebaliknya guru yang harus mempersiapkan pertemuan tersebut dan siswa sangat
pasif untuk melakukan interaksi.
Saat sekarang keadaan sudah berubah sama sekali. Materi dalam bentuk cetakan sudah tersedia
di mana-mana. Demikian pula dengan materi dalam media yang lain, misalkan dalam bentuk
pdf, html, video, bahkan dapat diperoleh secara bebas tanpa dipungut biaya. Apakah cara yang
sudah berabad-abad tersebut harus dilakukan terus-menerus tanpa ada perubahan. Bisakah kita
memanfaatkan waktu pertemuan siswa-guru, mahasiswa-dosen dapat digunakan untuk
melakukan interaksi dengan kualitas lebih baik? Pada seminar ini akan dibahas dan diusulkan
suatu model pembelajaran yang memanfaatkan keadaan terakhir ini. Pembelajaran seperti ini
akan saya sebut sebagai pembelajaran terbalik.
Hal kedua yang akan dibahas dalam seminar ini adalah contoh-contoh pembelajaran
matematika untuk mengisi model pembelajaran di atas, mulai dari tingkat sekolah lanjutan
pertama, atas dan perhuruan tinggi. Demikian pula akan diuraikan ketrampilan yang harus
dimiliki dengan menggunakan pembelajaran matematika. Khususnya dengan ketrampilan
penyelesaian masalah. Tentu menggunakan rumus yang ada merupakan salah satu
keterampilan yang akan dikembangkan, tetapi ini bukan satu-satunya ketrampilan yang
diperlukan menjadi seorang yang berguna.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENGEMBANGKAN HARD SKILL DAN SOFT SKILL MATEMATIKA


SISWA SEKOLAH MENENGAH MELALUI BERAGAM PEMBELAJARAN
BERNUANSA PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER
Utari Sumarmo, STKIP Siliwangi, 2014

A. Pendahuluan
Penelitian merupakan komponen yang paling krusial dalam Tridarma Perguruan Tinggi
yang harus dilakukan dosen. Dalam rangka memberi kesempatan kepada dosen PTN
dan PTS, Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat DIKTI menawarkan
sejumlah skim penelitian kepada dosen PTN dan PTS untuk bersaing memperoleh dana
penelitian yang memadai agar dosen dapat melaksanakan penelitian yang bermutu.
Dalam rangka memenuhi RENSTRA STKIP Siliwangi Bandung dalam bidang
penelitian yaitu melaksanakan penelitian dan menghasilkan karya ilmiah (artikel) yang
bermutu dan layak dimuat dalam jurnal nasional dan atau internasional, kami Tim
peneliti STKIP Siliwangi Bandung turut berpartisipasi dalam memperoleh dana
Penelitian Hibah Pascasarjana tahun 2013/2014.
Kurikulum Matematika Sekolah Menengah (KTSP, 2006, Kurikulum Matematika,
2013) mengamanatkan bahwa pengembangan kemampuan matematika yang merupakan
hard skill matematika dan keterampilan sosial dan aspek afektif lainnya sebagai
komponen soft skill matematika seyogyanya dilaksanakan secara bersamaan dan
seimbang. Amanat tersebut, mendorong peneliti untuk melakukan stusi pengembangan
hard skill dan soft skill matematika melalui beragam pendekatan pembelajaran inovatif
yang bernuansa pendidikan nilai dan karakter.
Beberapa hal yang mendukung perlunta penelitian ini dilaksanakan diantaranya adalah:
a) Beberapa jenis hard skill dan soft skill matematika memang sesuai dengan tujuan
Pendidikan Nasional dan tujuan Pembelajaran matematika, dan sesuai dengan Visi
bidang studi matematika; b) Pendapat sejumlah pakar tentang pentingnya beragam hard
skill dan soft skill matematik (Aswandi, 2010, Baron dan Strenberg, (Editor, ), Berman,
2011, Costa,. (Ed.), 2001. Cotton, 1991, Glazer, 2000, Ghozi, 2010, Hassoubah, 2004,
Meissner, 2006, Munandar, 1977, Sauri, 2010, Schafersman, 1991, Sriraman, 2004,
Starko, 1995, Sumarmo, 2012, Supriadi, 2000, Williams, 2002); c) Beberapa studi
melaporkan keunggulan pembelajaran inovatif dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional dalam mengembangkan beragam hard skill matematika pada siswa SMA
(Mulyana, 2008, Permana, 2010, Sugandi, 2010, Sumarmo, Hidayat, Zulkarnaen,
Hamidah, Sariningsih, 2012, Sumaryati, 2012) dan juga pada siswa SMP (Hendriana,
2009, Herman, 2006, Ratnaningsih, 2007, Rohaeti, 2007, Qohar, 2010).
Berdasarkan rasional pentingnya pengembangan hard skill dan soft skill matematika,
dan temuan sejumlah studi di atas, tim peneliti mengusulkan penelitian dan memperoleh
dana penelitian Hibah Pascasarjana dari DIKTI tahun 2013/2014. Selanjutnya atas
dukungan pimpinan program studi S2 Pendidikan matematika dan pimpinan STKIP
Siliwangi Bandung, serta kesiapan dosen dan mahasiswa S2 Pendidikan MAtematika,
tim peneliti berhasil melaksanakan Hibah PAscasarjana dan mengantar 6 orang anggota
peneliti mahasiswa menyelesaikan tesisnya dan lulus program magister pendidikan
matematika tepat wakyu dan dengan mutu yang baik.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

B. Latar Belakang Masalah

C. Disain dan Prosedur Penelitian


Penelitian Hibah Pascasarjana ini merupakan eksperimen dengan disain pretes-postes
kelompok kontrol (4 penelitian) dan postes kelompok kontrol (2 penelitian). Masingmasing penelitian bertujuan mengembangkan hard skill dan soft skill matematik
tertentu pada subyek sejumlah siswa SM dan menerapkan pembelajaran matematika
inovatif tertentu. Secara umum penelitian dilaksanakan dengan tahapan seperti
tercantum pada Diagram 1

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

D. Hasil Penelitian dan Luaran


Penelitian Hibah Pascasarjana ini melibatkan 6 orang mahasiswa S2 Pendidikan
Matematika STKIP Siliwangi. Kegiatan penelitian tahun pertama dilakukan pada
tahun 2013/2014 dan menghasilkan luaran berikut.
1. Enam buah tesis magister pendidikan matematika pada program Pascasarjana
STKIP Siliwangi Bandung tahun 2014, dengan nama mahasiswa dan judul seperti
tercantum pada Tabel 1.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2. Enam perangkat pembelajaran matematika dan instrument berkenaan dengan hard


skill dan soft skill matematika sesuai dengan tema tesis anggota peneliti mahasiswa
yang bersangkutan, seperti tercantum pada Tabel 2.

3. Beberapa contoh instrument penelitian tersebut adalah sebagai berikut.


1) Contoh butir Pemecahan Masalah Matematik siswa SMP (Rahmat, 2014)
Diketahui bentuk atap sebuah rumah terdiri atas sepasang trapesium sama kaki dan
sepasang segitiga sama kaki, panjang sisi sejajar atap yang berbentuk trapesium adalah
5 m dan 3 m dan panjang alas atap yang berbentuk segitiga adalah 7 m. Kedua jenis
bangun atap mempunyai tinggi sama yaitu 4 m.
a. Buatlah sketsa atap rumah di atas.
b. Atap akan ditutup dengan genting berbentuk persegi panjang berukuran 30 cm x
45 cm. Tentukan banyak genteng minimum yang harus disediakan untuk menutup
seluruh atap.
c. Andaikan harga 1buah genteng Rp. 1.500,00, hitunglah biaya untuk membeli
genteng yang diperlukan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2) Contoh Butir Tes Berpikir Kritis Matematik siswa SMA (Jayadipura, 2014)

3) Contoh Butir Tes Berpikir Kreatif Matematik siswa SMA (Budiyono, 2014)
Dalam sebuah kotak terdapat 12 bola merah dan 8 bola putih yang identik. Diambil 2
buah bola secara acak sekaligus.
a) Manakan yang mempunyai peluang lebih besar dari peristiwa bola yang diambil:
b) Keduanya berwarna merah, keduanya berwarna putih, atau satu bola merah dan
satu bola putih. Bagaimana cara menghitungnya? Konsep apa yang digunakan?
c) Tuliskan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan kombinasi k unsure n
unsure dari informasi di atas.
4) Contoh Butir Tes Berpikir Kritis Matematik siswa SMA (Sudiyasa, 2014)
Dalam suatu cerdas cermat matematika, suatu tim terdiri dari 3 siswa. Pada satu SMA
terdapat 4 siswa unggulan dari kelas satu, 3 siswa unggulan dari kelas dua, dan 2 siswa
unggulan dari kelas 3. Guru Pembina siswa di SMA tersebut akan menyiapkan 2 tim
yang siswanya dipilih secara acak.
a) Tukiskan asumsi yang mendasari pemilihan tiap anggota tim. Mengapa demikian?
b) Siswa perempuan atau siswa laki-laki yang mempunyai peluang besar untuk
menjadi salah satu anggota tim? Mengapa?
c) Tim A terdiri dari 2 siswa kelas satu, san seorang siswa dari kelas 3. Tim B semua
anggotanya dari kelas 2.
Tim mana yang berpeluang lebih besar untuk dibentuk? Jelaskan.
5) Contoh Butir Tes Penalaran Analogi Matematik Sisw SMP (Rosliawati, 2014)

Berikan penjelasan tentang keserupaan konsep dalam soal di atas!

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

6) Contoh Butir Soal Koneksi Matematik Siswa SMP (Rahmat, 2014)


Misalkan diberikan satu persegi dengan panjang sisinya a cm, persegi panjang serupa
diletakan tepat disebelah kanan persegi pertama dengan satu sisinya berimpit. Proses
tersebut dilanjutkan dengan persegi ketiga dan seterusnya sampai persegi ke-n.
a) Ilustrasikan situasi di atas dalam bentuk gambar.
b) Susun model matematika untuk menentukan keliling dan luas hubungan geometri
yang terjadi dari 2 persegi, 3 persegi, 4 persegi, dan n-persegi.
c) Tuliskan konsep yang termuat dalam masalah di atas disertai dengan penjelasan
singkat.
7) Contoh Butir Soal Penalaran Proporsional Siswa SMP (Rosliawati, 2014)
Bu Ani membuat beberapa kue berbentuk lingkaran. Kue jenis pertama berdiameter
1,5 cm dan dijual dengan harga Rp 500,00 per buah. Kue jenis kedua berdiameter 3
cm dan dijual dengan harga Rp1.500,00 per buah. Kue jenis ketiga berdiameter 4,5 cm
dan dijual dengan harga Rp 2.500,00. Bu Ani membuat kue sampai yang berdiameter
7,5 cm.
a) Tuliskan pasangan diameter kue dan harganya mulai dari yang terkecil sampai
yang terbesar. Tuliskan pula konsep matematikanya masalah di atas.
b) Tentukan harga kue yang berdiameter 7,5 cm dan jelaskan cara menghitungnya.
c) Tentukan ukuran dan harga kue sebelum kue berukuran 7,5 cm.
8) Contoh Butir Soal Komunikasi Matematik Siswa SMP (Haerudin, 2014)
Sebuah taman berbentuk lingkaran berjari-jari 12,5 m. Di sekeliling taman terdapat
kolam dengan lebar 1,5 m. Di Tepi luar kolam dipasang pancuran masing-masing
berjarak 5 m,
a) Buatlah sketsa gambar situasi di atas.
b) Susun kalimat matematika untuk menghitung banyaknya pancuran yang dipasang
dan selesaikan.
9) Contoh Butir Skala Kepercayaan Diri (Rahmat, 2014)

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

10) Contoh Butir Skala Kemandirian Belajar (Budiyanto, 2014)

11) Contoh Butir Skala Disposisi Matematik untuk Siswa SMP (Rosliawati)

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

4. Beberapa artikel berkenaan dengan hard skill dan soft skill matematika yang
merupakan bagian dari tesis peneliti mahasiswa seperti pada Tabel 3
Tabel 3
Artikel yang dihasilkan dalam Penelitian Tahun 2014

10

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Tabel 4
Temuan Hard-skill dan Soft-skill Matematik Siswa
Pada Tiap Sub-Penelitian

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

11

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

12

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

13

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Kesimpulan:
Pada empat studi, hard skills matematik siswa pada pos-tes dan N-Gain masing-masing
pada kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Kemampuan koneksi dan berpikir
kreatif matematik siswa pada kelas eksperimen tergolong cukup dan kemampuan
pemecahan masalah dan kemampuan berpikir logis matematik siswa pada kedua kelas
pembelajaran masih tergolong kurang. Pada dua studi, kemampuan berpikir kritisdan
kreatif matematik siswa pada kelas eksperimen tergolong sedang dan pada kelas kontrol
tergolong kurang. Pada ke enam studi, tidak terdapat perbedaan soft skills matematik siswa
antara kela eksperimen dengan kelas kontrol dan semuanya tergolong cukup baik. Pada
tiap studi terdapat asosiasi menengah antara kedua hard skills dan antara hard skills dan
soft skills masing-masing. Selain itu pada empat studi ditemukan siswa menunjukkan
persepsi yang tergolong cukup baik terhadap pembelajaran inovatif yang mereka terima.

DAFTAR PUSTAKA
Aswandi, (2010). Membangun Bangsa melalui Pendidikan Berbasis Karakter,
Pendidikan Karakter, Jurnal Publikasi Ilmiah Pendidikan Umum dan Nilai. Vol. 2.
No. 2. Juli 2010.
Baron, J. B. dan Sternberg, R. J. (1978) Teaching Thinking Skill. New York: W.H.
Freeman and Company
Berman, S. (2001) Thinking in context: Teaching for Open-mindeness and Critical
Understanding dalam A. L. Costa,. (Ed.) (2001). Developing Minds. A Resource
Book for Teaching Thinking. 3 rd Edition. Association for Supervision and
Curriculum Development. Virginia USA
Budiyanto, A. M. (2014). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis dan Kreatif
Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa SMA melalui Pembelajaran Berbasis
Masalah. Thesis at Post Graduate Study, Siliwangi School of Teascher Training
and Education, Bandung. In progess.
Costa, A. L. Habits of Mind dalam A. L. Costa (Ed.) (2001). Developing Minds. A
Resource Book for Teaching Thinking. 3 rd Edition. Association for Supervision
and Curriculum Development. Virginia USA
Costa A. L. dan Garmston R. J. Five Human Passion: The Origin of Effective Thinking
dalam A. L. Costa,. (Ed.) (2001). Developing Minds. A Resource Book for Teaching
Thingking. 3 rd Edition. Association for Supervision and Curriculum Development.
Virginia USA
Cotton, K. (1991). Teaching Thinking Skills. [Online] Tersedia http://www.nwrel.Org/Sc
Pd/Sirs/6/Cu11.html. [30 April 2006]
Glazer, E. (2000). Technology Enhanced Learning Environments that are Conducive to
Critical Thinking in Mathematics: Implications for Research about Critical
Thinking
on
the
World
Wide
Web.
[On
Line].
Tersedia:
http://www.lonestar.texas.net/~mseifert/crit2.html.
[24 April 2006]
Ghozi, A. (2010). Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa dan Implementasinya dalam
Pembelajaran. Makalah disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Tingkat Dasar
Guru Bahasa Perancis tanggal 24 Oktober s.d 6 November 2010
Haerudin (2014). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematik serta
Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui pendekatan Somatis, Auditori, Visual,
Intelektual. Tesis pada Pascasarjana STKIP Siliwangi Bandung.
Hassoubah, Z. I. (2004). Developing Creative & Critical ThinkingSkills. Cara berpikir
Kreatif & Kritis. Bandung: Nuansa

14

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Hendriana H. (2013) Membangun Kepercayaan Diri Siswa melalui Pembelajaran


matematika Humanis. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika, di STKIP Siliwangi Bandung. Tanggal 31 Agustus 2013
Herman, T. (2006). Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah, Penalaran, dan
Komunikasi Matematik Siswa SLTP melalui Pembelajaran Berbasis Masala.
Disertai pada sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak
dipublikasi.
Jayadipura, Y. (2014). Mengembangkan Kemampuan BerpikirKritis dan Kreatif Matematis
serta Kemendirian Belajar Siswa SMA melalui Pembelajaran Konstektual. Program
Pascasarjana STKIP Bandung.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayan. (2013). Kurikulum Sekolah Menengah tahun
2013.
Meissener, H. (2006). Creativity and Mathematics Education [Online]. Tersedia:
www.math.ecnu.cn/earcome3/sym1/sym104.pdf [2 Februari 2007]
Mulyana, T. (2008). Pembelajaran Analitik Sintetik untuk MeningkatkanKemampuan
Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Desertasi
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Munandar, U. (1977). Creativity and Education. Disertasi Doktor. Fakultas Psikologi UI:
tidak diterbitkan
NCTM. (1989). Curriculum and Evalution Standarsfor school Mathematics. Reston,
Virginia, NCTM. INC.
NCTM [National Council of Teacher of Mathematics] (2000). Principles and standards for
school Mathematics. Reston, Virginis: NCTM.
Permana, Y. (2010). Kemampuan pemahaman dan Komunikasi serta Disposisi Matematik
Eksperimen terhadap Siswa SMA melalui Model-Eliciting Activities. Disertasi pada
sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan.
Qohar, A. (2010). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian
Belajar Siswa SMP melalui Reciprocal Teaching. Disertasion at the Post Graduate
Program of Indonesia University of Education. Unpulished.
Rachmat, U. S. (2014) Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah
Matematik serta Kepercayaan Diri Siswa SMP melalui Pembelajaran Kontekstual
berbantuan Mathematical Manupulative. Tesis pada Universitas Pendidikan
Indonesia, tidak dipublikasikan
Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh pembelajaran Konstektual terhadap kemampuan
Berpikir Kritis dan kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi
pada sekolah Pascasarjana UPI: tidak diterbitkan
Rohaeti, E. E. (2008). Pembelajaran dengan Pendekatan Eksplorasi untuk
Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa sekolah
menengah Pertama. Disertai Sekolah pasca Sarjana UPI Bandung : tidak
diterbitkan
Rosliawati, Iis, S.E. (2014) Mengembangan kemampuam Penalaran dan Komunikasi serta
Disposisi Matematik Siswa SMP melalui pembelajaran Berbasih masalah. Program
Pasca Sarjana STKIP Siliwang Bandung.
Sauri, S. (2010). Membangun Karakter Bangsa melalui pembinaan Profesianilisme Guru
berbasis Pendidikan Nilai. Jurnal Pendidikan Karakter Vol. 2, No. 2
Schafersman, S. D. (1991) An Intoduction to Critical Thinking. [Online]. Tersedia:
File://C:\ Documents and Setting\Home\My Documentsa\An Introduction to
Critical Thinking. [20 September 2005].
Starko, A. J. (1995). Creativity in the Classroom (School of Courious Delight). USA.
Longman Publisher

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

15

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Sugandi, A. I. (2010) Mengembangkan Kemauan berfikir tingkat tinggi Siswa SMA


melalui pembelajaran bebasis masalah dengan setting belajar Kooperatif JIGSAW.
Disertasi pada Sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan.
Sumarmo, U. (2012). Bahan ajar Perkuliahan Proses berpikir Matematik. Program
Magister Pendidikan Matematika STKIP Bandung. Publikasi terbatas
Sumarmo, U. Hidayat, W., Zulkarnaen, R., Hamidah, Sariningsih, R. (2012,b) Kemampuan
dan disposisi Berpikir Logis, Kritis, Kreatif dan Kreatif Matematis; Eksperiman
terhadap Siswa SMA Menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Strategi
Think-Talk-Write. Jurnal Pengajaran MIPA, Vol. 17 No.1, 17-33 April
Sumaryati, E. (2012). Pendekatan Induktif-Deduktif disertai strategi Think-pair-SquareShare untuk meningkatkan kemampuan Pemahaman dan Berpikir Kritis Matematis
Siswa SMA. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia,
Tidak dipublikasikan
Sriraman, B. (2004) The Characteristic of mathematical Creativity. The Mathematics
Educator Journal. Vol. 14. No. 1 . 19-34
Supriadi, D. (2000). Perkembangan Kreativitas dan peranan faktor-faktor.
William, G. (2002). Identifying Task the Promote Creative Thinking in Mathematics: A
Tool. Mathematical Education Research Group of Australia Conference. Auklan
New Zealand, July, 2002.

16

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

MATEMATIKA
PENDIDIKAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL


PENDIDIKAN MATEMATIKA 2014
Program Studi Pendidikan Matematika
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(STKIP) Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

EKSPLORASI SOFT SKILL NASIONALISME SISWA


MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA HEURISTIK
DENGAN PENDEKATAN SILANG BUDAYA
Heris Hendriana
STKIP Siliwangi
herishen@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang bertujuan untuk menelaah
dan mendeskripsikan soft skills nasionalisme siswa melalui pembelajaran matematika
heuristic dengan pendekatan silang budaya. Subjek penelitian terdiri dari 81 siswa di
salah satu SMP di kota Cimahi, dimana 40 orang siswa memperoleh pembelajaran
matematika heuristic dengan pendekatan silang budaya, sedangkan 41 siswa lainnya
memperoleh pembelajaran biasa. Sebelum dan sesudah pembelajaran siswa diberi
skala sikap untuk mengukur nasinalismenya dan skala sikap untuk melihat persepsi
siswa terhadap pembelajaran yang dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
peningkatan sikap nasionalisme siswa yang yang mendapat pembelajaran matematika
heuristic lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran biasa, dan persepsi siswa
terhadap pembelajaran matematika heuristic dengan pendekatan silang budaya pada
umumnya positif.
Kata Kunci: Heuristik, Pendekatan Silang Budaya, Soft Skill Nasionalisme

1.

Pendahuluan

Perkembangan pesat dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi memerlukan penguasaan
ilmu yang dapat melatih berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif. Untuk itu diperlukan suatu
perubahan paradigma dalam dunia pendidikan diantaranya orientasi pembelajaran yang semula
berpusat pada guru beralih berpusat pada murid, metode yang semula lebih didominasi
ekspositori berganti ke partisipatori, pendekatan yang semula lebih bersifat tekstual berubah
menjadi
kontekstual.Purwanto (1990:51) menyatakan bahwa supaya pembelajaran dapat
mendorong siswa untuk berpikir dengan baik, maka guru perlu memberikan:
a.
Pengetahuan siap yakni pengetahuan yang sewaktu-waktu siap untuk dipergunakan.
b.
Pengertian yang berisi, yang mengandung arti (tidak verbalistis) dan benar-benar dimengerti
oleh anak-anak.
c.
Latihan kecakapan membentuk skema, yang memungkinkan siswa berpikir secara teratur dan
skematis.
d.
Soal-soal yang mendorong siswa untuk berpikir.
Pembelajaran heuristic merupakan suatu pembelajaran yang sengaja dirancang untuk untuk
melakukanproses pencarian solusi suatu permasalahan secara selektif, dan memanduproses
pencarian tersebut sehingga solusi yang didapatkan adalah yang paling efektif dan efisien. Dalam
pembelajaran ini siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan keterampilan memahami
masalah, membuat model dari masalah tersebut, menyelesaikannnya serta menafsirkan solusinya.
Namun demikian, agar siswa merasa masalah yang dihadapinya tidak datang secara tiba-tiba maka
hendaknya masalah tersebut disajikan dengan menggunakan pendekatan kebudayaan di lingkungan
siswa itu sendiri. Pendekatan ini akan membuat siswa merasa bahwa masalah itu bagian dari
dirinya yang membuatnya terdorong mencari cara menguasai dan memecahkan masalah tersebut
secara kreatif.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

17

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Pendekatan silang budaya merupakan pembelajaran yang mengintegraikan sistem tingkah laku
yang tergantung pada sistem makna dan sistem nilai kebudayaan suatu bangsa. Pendekatan ini
menekankan pertumbuhan, perubahan, perkembangan dan kesinambungan yang menunjukkan
kebudayaan sebagai sarana komunikasi yang dinamis dan bersinergi dengan kebutuhan masyarakat
informatif. Jika dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendekatan ini
diharapkan dapat menjadi sarana komunikasi sains tentang pola-pola berpikir seseorang yang
diperlukan dalam pertukaran kebutuhan informasi dunia yang masih mencitrakan ciri pluralistik
kebudayaan masyarakat penggunanya.

2.

Pembelajaran Heuristik dengan Pendekatan Silang Budaya

Heuristik arti harfiahnya menurut Yusuf (2002) adalah membantu untuk menemukan. Dalam dunia
pendidikan, metode heuristic artinya satu sistem dalam pendidikan di mana siswa dilatih untuk
menemukan sesuatu untuk dirinya sendiri.Teknik pencarian heuristik (heuristic
searching)merupakan suatu strategi untuk melakukanproses pencarian ruang keadaan (state
space)suatu problema secara selektif, yang memandu proses pencarian yang kita lakukan di
sepanjangjalur yang memiliki kemungkinan sukses paling besar, dan mengesampingkan usaha
yangbodoh dan memboroskan waktu.Heuristik juga merupakan sebuah teknik yang
mengembangkan
efisiensi
dalam
proses
pencarian,namun
dengan
kemungkinan
mengorbankankelengkapan (completeness).
Untuk dapat menerapkanheuristik tersebutdengan baik dalam suatu domain tertentu,diperlukan
suatu fungsi heuristic.Fungsi heuristik inidigunakanuntukmengevaluasi keadaan-keadaan problema
individual dan menentukan seberapa jauh hal tersebutdapat digunakan untuk mendapatkan
solusiyang diinginkan. Ada beberapa jenis Heuristic Searching diantaranya:
a. Generate and Test. Heuristik jenis bangkitkan dan uji (generate and test)merupakan
pendekatan yang paling sederhanadari semua pendekatan yang akan dibicarakan. Metode
generate and test ini kurang efisienuntuk masalah yang besar atau kompleks.
b. Hill Climbing. Heuristik Hill climbing (mendaki bukit) merupakan salahsatu variasi metode
buat dan uji (generate and test) dimana umpan balik yang berasal dariprosedur uji digunakan
untuk memutuskan arahgerak dalam ruang pencarian (search).Dalam prosedur buat dan uji
yang murni, responfungsi uji hanyalah ya atau tidak.Dalam prosedur Hill Climbing, fungsi
ujidikombinasikan dengan fungsi heuristic yangmenyediakan pengukuran kedekatan
suatukeadaan yang diberikan dengan tujuan (goal).
c. Best First Search. Pencarian terbaik pertama (Best First Search) merupakan suatu cara yang
menggabungkan keuntungan atau kelebihan dari pencarian Breadth-First Search dan DepthFirst Search.
Dalam dunia pendidikan, heuristic merupakan suatu strategi untuk mengembangkan kemampuan
siswa dalam menyelesaikan masalah. Kemampuan penyelesaian masalah tergolong kemampuan
tingkat tinggi. Gagne (Ruseffendi, 1988: 169) menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan
tahap belajar yang paling tinggi dan lebih kompleks. Pemecahan masalah tidak sekedar
mengaplikasikan suatu algoritma namun memuat pemahaman dan aktivitas intelektual yang bukan
berupa kegiatan rutin.
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu dihadapkan pada berbagai masalah dan harus
menyelesaikannya. Demikian menurut TIM MKPBM (2001:85) Tugas utama guru adalah
membantu siswa menyelesaikan berbagai masalah dengan spectrum yang luas yakni membantu
mereka untuk dapat memahami makna kata-kata atau istilah-istilah yang muncul dalam suatu
masalah sehingga kemampuannnya dalam memahami konteks masalah bisa terus berkembang .
Dengan pendidikan heuristik yang menggunakan pendekatan silang budaya, siswa merasa bahwa
masalah yang dihadapinya tidak merupakan bagian yang terpisah dari dirinya. Penggunaan

18

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

konteks yang berkaitan dengan budaya yang sudah dikenal siswanya, akan membuat siswa tidak
merasa masalah itu sebagai sesuatu yang datang tiba-tiba.
Dengan mengacu pada pandangan konstrukstivisme, jika siswa merasa bahwa masalah itu bagian
dari dirinya maka ia akan terdorong untuk mencari cara tersendiri untuk memahami dan
memecahkan masalah tersebut. Pencarian itu merupakan inti pembelajaran konstrukstivis. Hal ini
sejalan dengan teori perkembangan kognitif dari Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif
siswa ditentukan oleh manipulasi dan interaksi anak dengan lingkungannnya. Pengetahuannya
datang dari tindakannya. Piaget yakin bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi
lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara interaksi sosial dengan
teman sebaya, khususnya berargumentasi dan diskusi membantu memperjelas pemikiran, yang
pada akhirnya membuat pemikiran menjadi lebih logis.
Salah satu hal yang bisa dieksplor dalam diri siswa adalah pengetahuan budaya dari negaranya
serta negara lainyang dikenal dengan pendekatan silang budaya. Melalui pendekatan ini siswa
dihadapkan pada masalah yang berkaitan dengan budaya negaranya dan budaya Negara lain yang
mendorongnya untuk menggali berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini yang efektif dan
efisien dalam memecahkan masalahnya, sehingga menjadi sarana untuk mengkomunikasikan sains
dan teknologi dalam memecahkan masalahnya. Penggunaan teknologi dan komunikasi ini menjadi
penting baginya untuk lebih mengembangkan daya pikirnya secara lebih optimal.
Pendekatan silang budaya menurut Wurianto (2002) merupakan suatu cara pemahaman budaya
sebagai keseluruhan respons kelompok manusia terhadap lingkungan dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan pencapaian tujuan setelah melalui rentangan proses interaksi sosial. Pokok-pokok
yang terpenting adalah kebutuhan dan tujuan mempelajari budaya, lingkungan target budaya, dan
interaksi sosial yang diinginkan. Dasar pemahaman yang digunakan adalah masing-masing sub
etnitas budaya itu mewarisi pikiran, perasaan, makna, tanda budaya dan simbol-simbol.
Pendekatan silang budaya merupakan pencitraan budaya suatu bangsa untuk membangun citra diri
yang didasarkan pada yang dimilikinya dibandingkan dengan berdasar kesejatidirian. Dengan
demikian upaya membangun citra diri ini lebih diandalkan pada pemilikan (to have). Apabila sikap
demikian menjadi suatu mentalitas dalam kehidupan trend setters suatu bangsa , maka selanjutnya
dapat digambarkan dampaknya secara sosial. Mempelajari kebudayaanbangsa lain dengan
pendekatan silang budaya berarti menjadikan kebudayaan sebagai sistem realittas (system of
reality) dan sistem makna (system of meaning). Oleh karena itu bagi bangsa lain pendekatan ini
berarti menggali kebudayaan suatu bangsa dengan menggunakan pola-pola empatik. Pola ini
digunakan untuk pemahaman kemajemukan suatu bangsa baik secara genetis maupun kultural.
Konsep pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya merupakan suatu konsep yang
menurut Ki Hajar dewantara disebut tri-kon yaitu konsentrisitas, kontinuitas dan konvergensi.
Konsentrisitas menekankan pada suatu inti atau sentrum yaitu dengan melihat dari mana
perkembangan suatu budaya mulai digerakkan. Kontinuitas menunjukkan perkembangan dari
waktu ke waktu yang menunjukkan bagaimana suatu kebudayaan dipelajari orang asing.
Konvergensi menunjukkan gerak kebudayaan dalam ruang dimana kebudayaan tersebut bersama
dengan kebudayaan lain menuju kebudayaan yang bernilai informative dan global. Lebih lanjut
melalui pendekatan silang budaya maka menuntut rasa kearifan suatu bangsa dalam mempelajari
kebudayaan bangsa lain yang dilandasi oleh masalah mengenai:
a. Hakikat dan sifat hidup manusia suatu bangsa
b. Hakikat karya manusia suatu bangsa
c. Hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu
d. Hakikat hubungan manusia dengan alamnya
Sehingga melalui pendekatan heuristic dengan pendekatan silang budaya ini diperkirakan terjadi
peningkatan soft skill (kemampuan untuk menjadi manusia yang baik) yang berlandaskan rasa
nasionalisme siswa. Selain itu juga melalui pendekatan ini diharapkan siswa akan lebih tertarik

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

19

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

belajar matematika sehingga membuat persepsinya terhadap pembelajaran yang dilakukan menjadi
positif.

3.

Metode Penelitian

Di dalam penelitian kuasi eksperimen ini terdapat dua kelas yang mendapat perlakuan yang
berbeda. Kelas yang satu terdiri dari dari 40 orang siswa merupakan kelas yang memperoleh
pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya, sedangkan kelas yang satunya lagi yang
terdiri dari 41 orang siswa memperoleh pembelajaran biasa. Sebelum dan sesudah pembelajaran
kepada seluruh siswa diberikan skala sikap untuk melihat tingkat nasionalismenya dan
peningkatannya. Pada akhir pembelajaran siswa di kelas yang memperoleh pembelajaran heuristic
dengan pendekatan silang budaya juga memperoleh angket untuk melihat persepsi mereka terhadap
pembelajaran yang dilakukan. Sehingga pada akhirnya dapat dideskripsikan bagaimana
perningkatan soft skills nasionalisme siswa dan persepsi siswa terhadap pembelajaran heuristic
dengan pendekatan silang budaya, yang diharapkan dapat memberikan masukan terhadap
pengembangan soft skills siswa untuk kemudian dikembangkan dengan hard skills-nya secara
bersamaan dan seimbang.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Setelah kedua kelompok siswa memperoleh pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang
budaya serta pembelajaran biasa, soft skill nasionalisme siswa dapat dideskrpsikan sebagai berikut:
Tabel 1. Deskripsi Soft Skill dan Persepsi pada kedua kelompok Siswa
Pembelajaran Heuristik dengan Pendekatan
Pembelajaran Biasa
Variabel
Silang Budaya
Dat
Stat
Pretes
%
Poste
Prete
Poste
N
%
G
N
%
%
s
s
s
Soft skills
32,91
11,8
87,63
84,4 0,97
32,77 11,08 66,77 63,1

40
41
nasionalisme
s
3,12
3,17
3,09
2,91
Persepsi
97,89
78,8

40
s
5,96
-

G
0,63
-

Dari Tabel 1 di atas bahwa rata-rata pretest kelas yang menggunakan pembelajaran heuristic
dengan silang budaya dengan kelas yang menggunakan pembelajaran biasa tidak terlalu jauh
berbeda yaitu 32,91 dan 32,77. Dengan menggunakan SPSS diperoleh sig = 0, 476 lebih besar dari
= 0,05 artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara soft skill nasionalisme siswa yang
menggunakan pembelajaran heuristic dengan pendekatan siang budaya dengan yang menggunakan
pembelajaran biasa. Berarti sebelum pembelajaran dialkukan soft skill nasionalisme mereka sama.
Dari hasil post test soft skill nasionalisme siswa yang menggunakan pembelajaran heuristic silang
budaya meningkat lebih tinggi dari yang menggunakan pembelajaran biasa yaitu 87,63 dan 66, 7
atau rata-rata gainnya 0,97 dan 0,63. Dengan menggunakan SPSS diperoleh sig= 0,000 dan
sig=0,03 untuk gainnya, keduanya ebih kecil = 0,05 artinya pencapaian dan peningkatan soft skill
nasionalisme siswa yang menggunakan pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya
lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa.
Berdasarkan wawancara penulis dengan siswa, siswa yang menggunakan pembelajaran heuristic
dengan pendekatan silang budaya selain bisa lebih memahami materi matematika yang diajarkan
mereka juga bisa lebih mengetahui keaneka ragaman budaya baik dari negaranya sendiri maupun
negara orang lain, dan mereka bangga bahwa kebudayaan Indonesia tidak kalah beragam dan
menariknya dibandingkan dengan Negara lain, dan itu yang membuat mereka bangga sebagai
bangsa Indonesia dan lebih mencintai Negara ini. Hal ini berarti bahwa pembelajaran matematika
dengan menggunakan pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya menjadi
pembelajaran bermakna bagi siswa. Dengan menggunakan materi budaya berdasarkan teori
20

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Ausubel (Trianto, 2007:25) bisa membantu siswa menanamkan pengetahuan baru dalam suatu
materi dengan menggunakan konsep-konsep awal yang sudah dimiliki siswa yang berkaitan dengan
konsep yang akan dipelajari. Ausubel (Ruseffendi, 1991: 172) menyatakan bahwa belajar
bermakna ialah belajar yang untuk memahami apa yang sudah diperolehnya itu dikaitkan dengan
keadaan lain sehingga belajarnya itu lebih mengerti.
Dengan membuat siswa lebih memahami materi karena diantarkan dengan materi budaya maka hal
ini sejalan dengan Teori gestalt bahwa dalam menyajikan suatu konsep, pembelajaran hendaknya
lebih mengutamakan pengertian. Teori Gestalt yang sering pula disebut dengan field theory atau
insight full learning (Purwanto, 1990:101) menyatakan bahwa belajar bukan hanya sekedar
merupakan proses asosiasi antara stimulus respons yang makin lama makin kuat karena adanya
latihan-latihan atau ulangan-ulangan. Belajar terjadi jika ada pengertian. Pengertian atau insight
muncul apabila seseorang setelah beberapa saat mencoba memahami suatu masalah, tiba-tiba
muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain
kemudian dipahami sangkut pautnya dan dimengerti maknanya. Selanjutnya teori ini juga
menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses rentetan penemuan dengan bantuan pengalamanpengalaman yang sudah ada. Manusia belajar memahami dunia sekitarnya dengan jalan mengatur
dan menyusun kembali pengalaman-pengalamannya yang banyak dan berserakan menjadi suatu
struktur dan kebudayaan yang berarti dan dipahami olehnya.
Keberagaman kebudayaan beserta keunikannya yang menyiratkan kekhasan masing-masing budaya
merupakan potensi bagi pengembangan pembelajaran di sekolah. Pendekatan multikultural
(Rohidi, 2002) didesain dengan menekankan pentingnya pluralisme sosial, keberagaman budaya,
etnik dan kontekstualisme. Berdasarkan pendekatan ini pembelajaran dipandang sebagai intervensi
sosial dan budaya, sehingga pada saat mengajar guru tidak hanya mempertentangkan tetapi secara
konsisten menyadari bias sosial budayanya. Melalui pendekatan ini pula penggunaan pendidikan
disarankan tanggap budaya, yang secara lebih tegas dapat menunjukkan perbedaan etnik dan sosio
budaya di kelas, masyarakat, nasional dan internasional.
Dari tabel 1 dengan rata-rata 97,89 atau perolehan 78,8% juga terlihat bahwa persepsi siswa
terhadap pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya pada umumny positif karena
membuat pembelajaran berlndaskan konstruktivisme dimana:
1) Guru memulainya dengan memperbaiki sikap negatif yang mungkin mereka miliki terhadap
pluralisme sosial, keagamaan dan etnis.
2) Guru dan siswa melakukan analisa situasi agar akrab dengan masyarakat.
3) Guru dan siswa memilih materi yang relevan dan sekaligus menarik
4) Guru dan siswa bersama-sama menyelidiki persoalan yang berkaitan dengan materi yang
dipilih. Dalam hal ini disarankan mengidentifikasi persoalan sosial yang berkaitan dengan
agama , suku, kehidupan ekonomi, kemampuan, mental serta fisik. Dengan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru dan siswa bisa juga berselancar di dunia
maya untuk studi komparatif terhadap persoalan dan solusi yang bisa dikemukakan di dunia
internasional.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi


5.1. Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan dan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa:
1. Pencapaian dan peningkatan soft skill nasionalisme siswa yang menggunakan
pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya lebih baik daripada yang
menggunakan pembelajaran biasa.
2. Persepsi siswa pada pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya, pada
umumnya positif.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

21

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

5.2. Rekomendasi
Untuk itu direkomendasikan:
1) Dalam pembelajaran matermatika hendaknya selalu diawali dengan masalah yang kontekstual
dengan kehidupan siswa diantaranya dengan mengenalkan beragam kebudayaan Negara kita
dengan Negara lain, sehingga selain membuat siswa lebih memamahmi materi matematika juga
menambah wawasannya tentang budaya tersebut.
2) Selalu ditekankan kepada siswa bahwa pelajaran matematika adalah ratu dan pelayan ilmu
sehingga bisa luwes memasukkan berbagai pluralisme budaya dan perkembangan informasi
terkini sehingga pembelajaran bisa mengikuti perkembangan zaman. Sehingga siswa bisa
menyadari bahwa banyak permasalahan yang dapat diselesaikan dengan matematika, dan
dengan mengintegrasikan materi budaya membuat pelajaran matematika lebih menarik.

DAFTAR PUSTAKA
Banks, J.A (1993). Multicultural Education: Historical Development, Dimentions and Practice.
In Review of Research Education, vol. 19, edited by L. Darling-Hammond. Washington,
DC: American Educational Research Assosiaciation.
Banks, J.A. (1994). Multiethnic Education: Theory and Practice, 3rd ed. Boston: Allyn and
Boston.Bennett,C. & Spalding,E. 1992. Teaching the Social Studies: Multiple Approaches
for Multiple Perspectives. In Theory and Reseach in Social Education. XX:3(263-292)
Ernest, P. (1991). The
Philosophy of Mathematics Education. Hamisphere: The Parmer
Press.
Hendra
(2007).
Komunikasi.
[Online].
Tersedia:
http://indonesia.siutao.com/tetesan/komunikasi.php. (12 Desember 2008)
Purwanto, N (1990). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya. [4]
Rohidi,
T.R
(2002).
Pendidikan
Seni
Multikultural.
[Online].
Tersedia:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0209/23/kha2.htm (19 Februari 2009)
Ruseffendi, E.T (1988). Pengantar
kepada
Membantu
Guru
Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung:
Tarsito.
Tim MKPBM (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. UPI: JICA.Tim (2003).
Komunikasi. [Online]. Tersedia: http://www.kmpk.ugm.ac.id/data/SPMKK/3d- (11Desember
2008).
Tim Bochalas (2008). Membangun Komunikasi yang Efektif. [Online]. Tersedia:
http://bocahalas.lingkungan.org/?p=19
Trianto (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Wurianto, A.B(2002). Pendekatan Silang Budaya sebagai Pencitraaan Budaya Indonesia melalui
Pengajaran BIPA. [Online]. Tersedia: www.ialf.edu/kipbipa/papers/ArifBudiWurianto.doc (13 Februari 2009)
Yusup, P.M (2002). Teori dan Penemuan Ilmiah dalam Lingkungan Ilmu Informasi, Komunikasi
dan Kelembagaan Informasi termasuk Perpustakaan. Jakarta:Kompas
Zainudin, R.B. (2008). Pembelajaran Berbasis Multikultur sebagai Gerakan Pembaharuan dalam
Pendidikan.
[Online].Tersedia:
http://waykanan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=78&Itemid=2

22

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENGARUH PENERAPAN KONTEKSTUAL TERHADAP


KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS TINGKAT
TINGGI SISWA SMP
Asep Ikin Sugandi
STKIP Siliwangi
asepikinsugandi@yahoo.co.id

ABSTRAK
Artikel ini melaporkan hasil temuan suatu kuasi eksperimen dengan disain tes akhir kelompok
kontrol untuk menelaah pengaruh pembelajaran Kontekstual dengan, level sekolah, dan
kemampuan awal matematika siswa terhadap kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi
siswa. Studi ini melibatkan 282 siswa dari tiga SMP level rendah, menengah, dan tinggi di kota
Cimahi. Instrumen penelitian terdiri dari satu set tes yaitu satu set soal kemampuan berpikir
matematis tingkat tinggi. Penelitian menemukan bahwa pembelajaran Kontekstual
memberikan pengaruh terbesar dibandingkan dengan pengaruh pembelajaran konvensional,
level sekolah, dan kemampuan awal matematika siswa terhadap pencapaian kemampuan
berpikir matematis tingkat tinggi. Ditemukan pula bahwa terdapat interaksi antara
pembelajaran dengan level sekolah dan tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan
level kemampuan awal matematika siswa terhadap kemampuan kemampuan berpikir
matematis tingkat tinggi
Kata Kunci: Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi, Pembelajaran Konstektual

1.

Pendahuluan

Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi (KBMTT) merupakan hal yang penting dalam
pendidikan matematika, perlu dilatihkan pada siswa dari mulai jenjang pendidikan dasar sampai
menengah. Siswa perlu dibekali keterampilan seperti itu supaya siswa mampu memecahkan
permasalahan yang dihadapi secara kritis dan kreatif. Pentingnya Kemampuan Berpikir
Matematika Tingkat Tinggi (KBMTT) dilatihkan kepada siswa, didukung oleh tujuan pendidikan
matematika yang mempunyai dua arah pengembangan yaitu memenuhi kebutuhan masa kini dan
masa yang akan datang (Sumarmo, 2002, 2004, 2005).
Tujuan pertama untuk kebutuhan masa kini, pembelajaran matematika mengarah pada pemahaman
konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematik dan ilmu pengetahuan
lainnya. Tujuan kedua untuk kebutuhan masa yang akan datang atau mengarah ke masa depan,
mempunyai arti lebih luas yaitu pembelajaran matematika memberikan kemampuan nalar yang
logis, sistematis, kritis, dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari serta untuk menghadapi masa depan yang selalu berubah.
Kemudian ditegaskan pula oleh Kurikulum 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) serta Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 1) bahwa peserta didik dari mulai sekolah
dasar perlu dibekali dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan
kemampuan bekerja sama. Secara rinci dikemukakan bahwa pembelajaran matematika selain
menekankan penguasaan konsep, tujuan lainnya adalah:
1) Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan
penyelidikan; kegiatan eksplorasi; eksperimen; menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten,
dan inkonsistensi.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

23

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan
mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan,
serta mencoba-coba.
3) Mengembangkan kemampuan-kemampuan memecahkan masalah.
4) Mengembangkankemampuan agar dapat menyampaikan informasi/pendapat atau
mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, grafik, peta, diagram,
dalam menjelaskan gagasan.
Pengembangan kemampuan berpikir, khususnya yang mengarah pada berpikir tingkat tinggi, perlu
mendapat perhatian serius karena sejumlah hasil studi seperti Henningsen dan Stein, 1997;
Peterson, 1988; Mullis, dkk (Suryadi, 2004 : 17) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika
pada umumnya masih berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah yang
bersifar prosedural. Lebih lanjut penelitian ini menjelaskan bahwa sebagian besar pembelajaran
matematika belum berfokus pada pengembangan penalaran matematik siswa. Secara umum
pembelajaran matematik masih terdiri atas rangkaian kegiatan berikut : awal pembelajaran dimulai
dengan sajian masalah oleh guru, selanjutnya dilakukan demonstrasi penyelesaian masalah
tersebut, dan terakhir guru meminta siswa untuk melakukan latihan penyelesaian soal. Laporan
tersebut juga menunjukkan bahwa pembelajaran yang lebih menekankan pada aktivitas penalaran
dan pemecahan masalah sangat erat kaitannya dengan capaian prestasi siswa yang tinggi. Sebagai
contoh, pembelajaran matematika di Jepang dan Korea yang lebih menekankan pada aspek
penalaran dan pemecahan masalah telah mampu menghasilkan siswa berprestasi tinggi dalam
matematika yang dilakukan oleh TIMSS.
Hasil penelitian Mullis, dkk (Suryadi, 2004 : 19) memperlihatkan bukti lebih jelas bahwa soal-soal
matematika tidak rutin yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak
berhasil dijawab dengan benar oleh sampel siswa Indonesia. Untuk penyelesaian soal-soal seperti
itu, prestasi siswa Indonesia berada jauh di bawah rata-rata internasional.
Temuan mengenai Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi (KBMTT) yang masih rendah,
aktivitas siswa yang kurang memuaskan, mendorong para peneliti mencari alternatif untuk
memecahkan masalah tersebut. Salah satu alternatif tersebut adalah diadakannya penelitian
mengenai penerapan pendekatan pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa untuk belajar baik
secara mental, fisik mapun sosial. Salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang diprediksi
dapat efektif dalam meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi (KBMTT),
aktivitas siswa dalam belajar dan kemandirian belajar adalah Pembelajaran Kontektual.
Alasan mengapa memilih Pembelajaran Kontekstual diantaranya dengan menyajikan masalah
kontekstual pada awal pembelajaran merupakan salah satu stimulus dan pemicu siswa untuk
berpikir. Pada keadaan ini, masalah bertindak sebagai kendaraan proses belajar untuk mencapai
tujuan. Konsep pembelajaran seperti itu, dapat memfasilitasi siswa melakukan eksplorasi,
investigasi dan pemecahan masalah. Sabandar (2005: 2) mengemukakan bahwa situasi pemecahan
masalah merupakan suatu tahapan di mana ketika individu dihadapkan kepada suatu masalah ia
tidak serta merta mampu menemukan solusinya, bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih
mengalami kebuntuan. Pada saat itulah terjadi konflik kognitif yang tidak menutup kemungkinan
memaksa siswa untuk berpikir matematika tingkat tinggi.
Alasan lain, melalui pembelajaran kontekstual, siswa juga belajar untuk bertanggung jawab dalam
kegiatan belajar, tidak sekedar menjadi penerima informasi yang pasif, namun harus aktif mencari
informasi yang diperlukan sesuai dengan kapasitas yang ia miliki. Dalam Pembelajaran Kontektual
siswa dituntut untuk terampil bertanya dan mengemukakan pendapat, menemukan informasi yang
relevan dari sumber yang tersembunyi, mencari berbagai cara alternatif untuk mendapatkan solusi,
dan menentukan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah. Dalam situasi pemecahan
masalah seperti ini tidak mustahil siswa mengalami kebuntuan, sehingga mengharuskannya untuk
meninjau ulang cara berpikir yang telah ia gunakan. Dengan demikian, jelaslah bahwa melalui
pembelajaran kontekstual, siswa dikondisikan untuk mampu berpikir fleksibel, mengajukan

24

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

konjektur dan menjustifikasinya, menyelesaikan masalah, dan menemukan aturan umum. Hal-hal
tersebut merupakan ciri dari kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi
Mengingat matematika adalah ilmu yang terstruktur maka untuk menguasai suatu konsep
matematika diperlukan penguasaan konsep dasar matematika lainnya, maka kemampuan kognitif
awal siswa yang dinyatakan dalam tingkat kemampuan awal siswa(TKAS) terhadap matematika
memegang peranan yang sangat penting untuk penguasaan konsep baru matematika.
Selain faktor TKAS, faktor level sekolah (Tinggi, Sedang dan Rendah) perlu diperhatikan dalam
upaya mengembangkan Kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi Hal ini dilakukan supaya
terwakili sekolah yang ada baik segi kualitas maupun dari segi kemampuan siswa.
Selain itu penentuan level sekolah didasarkan kepada fasilitas yang dimiliki oleh sekolah. Fasilitas
tersebut antara lain gedung, alat pelajaran baik yang dipakai oleh guru pada waktu mengelola
pembelajaran, maupun yang dipakai oleh siswa untuk menerima bahan yang diajarkan itu. Alat
pengajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar penerimaan bahan pelajaran yang diberikan
kepada siswa. Jika siswa mudah menerima pelajaran dan menguasainya maka siswa akan
termotivasi untuk belajar lebih giat lagi. Oleh karena itu untuk menciptakan proses pembelajaran
yang mampu mengoptimalkan potensi siswa, faktor level sekolah perlu menjadi salah satu bahan
pertimbangan.
Memperhatikan uraian di atas, penulis tedorong untuk melakukan penelitian yang memfokuskan
pada penerapan model pembelajaran kontektual dalam upaya mengembangkan kemampuan
berpikir matematis tingkat tingg siswa Sekolah Menengah Atas ditinjau dari level sekolah dan
pengetahuan awal siswa

2.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis secara komprehensif pencapaian
perbedaan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa ditinjau dari pengguanan
pendekatan pembelajaran, level sekolah dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa

3.

Metode dan Disain Penelitian

Metode dalam Penelitian ini adalah Kuasi Eksperimen karena adanya manipulasi perlakuan dan
pengambilan sampel berdasarkan data yang ada, sedangkan disain penelitiannya sebagai berikut :
O
X
O
O
O
Keterangan :
X
: Pembelajaran Kontekstual
O
: Tes Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di tiga SMP di Kota Cimahi yang mewakili
Sekolah level tinggi, sedang dan rendah. Subyek sampel adalah siswa kelas VII dari tiga SMP
tersebut. Dari tiap-tiap sekolah yang mewakili level sekolah tinggi, sedang dan rendah diambil tiga
kelas secara acak dari 5 kelas yang ada

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

25

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

4.

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian disdajikan dalam tabel berikut ini

TKAS

Tabel 1
Deskripsi Kemampuan Bepikir Matematik Tingkat Tinggi Berdasarkan
Pendekatan Pembelajaran, Peringkat Sekolah, dan TKAS
PendekatanPembelajaran
Total
Level
PK
KV
Sekola
h
Sd
n
Sd
n
Sd
N
Tinggi

53,17

4,28

12

48,72

6,03

11

51,04

5,56

23

Sedang

44,14

3,48

50,33

3,26

47,00

4,56

13

Rendah
Subtota
l

46,33

1,73

39,43

1,40

43,31

3,86

16

48,71

5,21

28

46,42

6,33

24

47,65

5,81

52

Tinggi

47,20

5,71

20

45,17

6,02

23

46,11

5,89

43

Sedang

42,81

4,44

26

44,24

5,39

25

43,51

4,93

51

Rendah
Subtota
l

41,52

1,69

21

35,12

1,92

24

38,11

3,69

45

43,72

4,82

67

41,50

6,55

72

42,57

5,87

139

Tinggi

44,00

5,32

44,12

7,12

44,06

6,02

17

Sedang

42,57

5,38

45,00

3,62

43,87

4,53

15

Rendah
Subtota
l

35,80

3,70

10

30,11

1,26

33,10

4,01

19

40,46

5,95

26

39,36

8,33

25

39,92

7,16

51

Tinggi

48,24

6,17

41

45,90

6,33

42

47,06

6,32

83

Sedang

43,00

4,38

40

45,33

5,19

39

44,15

4,91

79

Rendah

41,17

4,34

40

34,75

3,43

40

37,96

5,06

80

Total
44,17
SkorMaksimum 64

5,84

121

42,03

7,25

121

43,10

6,66

242

Tinggi

Sedang

Rendah

Total

Untuk melihat apakah pendekatan pembelajaran dan level sekolah memberi pengaruh yang
signifikan atau tidak terhadap kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi serta untuk melihat ada
tidaknya interaksi antara level sekolah dan pendekatan pembelajaran terhadap kemampuan berpikir
matematis tingkat tinggi maka digunakan Anova dua jalur. Hasil pengolahan data dengan
menggunakan Anova dua jalur disajikan pada Tabel 2
Tabel 2
Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Befrikir Matematik Tingkat Tinggi dengan
Faktor Level Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran
Sumber

Jumlah
Kuadrat

dk

P
LS
Interaksi

1954,05
5976,90
443,80

2
2
4

Ratarata
Kuadrat
977,02
2988,45
110,95

Sign

Ho

37,06
113,36
4,209

0,00
0,00
0,02

Tolak
Tolak
Tolak

Untuk melihat apakah pendekatan pembelajaran dan tingkat kemampuan awal siswa (TKAS)
memberi pengaruh yang signifikan atau tidak terhadap kemampuan berpikir matematis tingkat
tinggi serta untuk melihat ada tidaknya interaksi pendekatan pembelajaran dan TKAS terhadap

26

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi maka digunakan Anova dua jalur. Hasil pengolahan
data dengan menggunakan Anova dua jalur disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3
Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi dengan
Faktor Pendekatan dan TKAS
Sumber

Jumlah
Kuadrat

dk

P
KA
Interaksi

1294,52
3474,48
251,65

2
2
4

Ratarata
Kuadrat
647,26
1737,24
62,92

Sign

Ho

19,11
51,29
1,86

0,00
0,00
0,12

Tolak
Tolak
Terima

Dari Tabel 1, 2 dan 3 didapat hasil sebagai berikut :


1) Secara keseluruhan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi (KBMTT) siswa termasuk
kategori sedang (43,10 dari 64). Ditinjau dari pembelajaran, siswa pada PK (44,17) mencapai
KBMTT lebih baik dari siswa pada KV (43,03).Temuan ini menunjukkan pembelajaran PK
lebih unggul dibandingkan dengan pembelajaran KV dalam mengembangkan KBMTT.
2) Pada tiap jenis pembelajaran, makin tinggi level sekolah ditemukan makin tinggi pula KBMTT
siswa; 48,24, 43,00, 41,17, pada PK; dan 45,90, 43,00, 34,75, pada KV). Temuan tersebut
menunjukkan bahwa level sekolah memberikan peran yang baik terhadap pencapaian KBMTT
siswa. Demikian pula secara keseluruhan (44,71, 39,30, 33,50), pada tiap level sekolah (49,01,
44,74, 39,13)dan tiap jenis pembelajaran (46,33, 41,52, 35,80 pada PK, dan 39,43, 35, 12,
30,11 pada KV) makin tinggi kemampuan awal (TKAS) makin tinggi pula KBMTT siswa.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa TKAS berperan baik terhadap pencapaian KBMTT
siswa. Namun ditinjau pada tiap level sekolah dan level kemampuan awal matematika siswa,
ditemukan bahwa siswa dengan pembelajaran PK lebih baik dari siswa yang memperoleh KV.
Temuan ini menunjukkan bahwa PK memberikan pengaruh yang paling besar dibandingkan,
pembelajaran konvensional (KV), level sekolah, dan kemampuan awal matematika siswa
(TKAS) terhadap pencapaian KBMTT.
3) Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan level sekolah terhadap kemampuan
berpikir matematis tingkat tinggi (KBMTT).
4) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan level sekolah
kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi (KBMTT).

5.

terhadap

Pembahasan

Dari hasil analisis data hasil penelitian terlihat bahwa kemampuan Kemampuan berpikir matematis
tingkat tinggi siswa yang pembelajarannya menggunakanPendekatan Kontekstual lebih baik dari
pada siswa yang menggunakan model konvensional (KV). Beberapa hal yang menyebabkan
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Konstektual (PK) lebih baik dibandingkan dengan
model konvensional (KV) dalam mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi,
diantaranya :
a. Dilihat dari sajian Bahan ajar
Dalam Pendekata Kontektual , bahan ajar disajikan dalam bentuk permasalahan, memungkinan
siswa untuk memperoleh kesempatan untukmengembangkan konsep, prosedur, serta prinsip dalam
metematika melalui suatu aktivitas belajar secara bervariasi meliputi kegiatan yang bersifat
individual, kelompok maupun kelas. Setiap kegiatan yang dikembangkan diawali dengan sajian
masalah yang berfungsi sebagai salah satu stimulus dan pemicu siswa untuk berpikir. Berarti
masalah bertindak sebagai kendaraan proses belajar untuk mencapai tujuan. Konsep pembelajaran
seperti itu, dapat memfasilitasi siswa melakukan eksplorasi, investigasi dan pemecahan masalah.
Seperti Sabandar (2005: 2) mengemukakan bahwa situasi pemecahan masalah merupakan suatu
tahapan di mana ketika individu dihadapkan kepada suatu masalah ia tidak serta merta mampu
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

27

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

menemukan solusinya, bahkan dalam proses penyelesaiannya ia masih mengalami kebuntuan. Pada
saat itulah terjadi konflik kognitif yang tidak menutup kemungkinan memaksa siswa untuk berpikir
matematis tingkat tinggi yang. Hal-hal ini yang tidak difasilitasi dalam pembelajaran konvensional
sehingga pembelajaran Jigsaw lebih berhasil dalam mengembangkan kemampuan berpikir
matematis tingkat tinggi matematis siswa. Di samping itu dengan pendekatan konstektual siswa
diarahkan oleh untuk mengubah konsep yang asalnya abstrak menjadi lebih konkrit sesuai dengan
kemampuan siswa dalam mempeljari matematika
b. Berdasarkan Karakterikstik Pendekatan Konstktual
Pendalaman materi yang digunakan dalam pendekatan kontekstual dilaksanakan dalam bentuk
diskusi kelompok kecil yang terencana dengan baik. Hal ini merupakan faktor pendorong
terjadinya aktivitas mental bersifat konstruktif dalam pembentukan obyek-obyek mental baru.
Salah satu landasan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut antara lain adalah teori
Zone of Proximal Development (ZPD) dari Vygotsky. Menurut Vygotsky (Ibrahim dan Nur, 2004
: 15) belajar dapat membangkitkan berbagai proses mental tersimpan yang hanya bisa dioperasikan
ketika sseorang berinteraksi dengan sesama temannya. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang
lebih tinggi pada umumnya muncul dalam diskusi dan kerjasama antara individu sebelum fungsi
mental yang lebih tinggi terserap ke dalam individu tersebut. Pengembangan kemampuan yang
diperoleh melalui proses belajar sendiri pada saat melakukan pemecahan masalah disebut sebagai
actual development, sedangkan perkembangan yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi dengan
temannya yang mempunyai kemampuan lebih tinggi disebut potensial development. Zone of
Proximal Development sebagai jarak anatara actual development dan potensial development.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi
matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan konstektual lebih baik daripada
siswa yang pembelajarannya menggunakan model Konvensional. Hal ini sejalan dengan dengan
pendapat Barraw ( Ibrahim dan Nur, 2004 : 5) bahwa model pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw
tidak dirancang untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya pada siswa. Pembelajaran tipe
Jigsaw dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan keterampilan berpikir,
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan memecahan masalah dan keterampilan intelektual,
belajar berbagi peran orang dewasa melalui pelibatan mereka pada pengalaman nyata,
mengembangkan keterampilan belajar pengarahan sendiri yang efektif (effective self directed
learning).
Hal ini pun sejalan dengan pendapat Lauren Resnick (Ibrahim dan Nur, 2004 : 31) bahwa
kooperatif tipe Jigsaw ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir matematik tingkat
tinggi yang. Dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw siswa belajar dalam kelompok
kecil. Penggunaan kelompok kerja kooperatif membantu perkembangan masyarakat belajar dalam
kelas sains. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa meningkat bila siswa
belajar dalam lingkungan belajar kooperatif. Bekerja dalam kelompok juga membantu
mengembangkan karakteristik esensial yang yang dibutuhkan untuk suskes setelah siswa tamat
belajar seperti dalam berkomunikasi secara verbal, berkomunikasi secara tertulis dan keterampilan
membangun team kerja. Dengan bimbingan guru dan diskusi dengan teman-teman sekelompoknya
yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan,
mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, siswa belajar untuk
menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri dalam kehidupan kelak (Ibrahim dan Nur, 2004).
Uraian diatas merupakan perwujudan dari karakteristik pendekatan konstektual yaitu adanya
masyarakat belajar
c. Dilihat Dari Karakteristik Pendekatan Konstektual
1) Konstruktivisme
Ciri khas paradigma constructivistic adalah keaktifan dan keterlibatan siswa dalam upaya
proses belajar dengan memanfaatkan pengetahuan awal dan gaya belajar masing-masing siswa
dengan bantuan guru sebagai fasilitator yang membantu siswa apabila siswa mengalami
kesulitan dalam upaya belajarnya. Dalam kaitannya dengan pemberian bantuan, guru hanya
28

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

membantu siswa dengan memberikan arahan atau media dalam mengerjakan tugas-tugas yang
sulit dikuasai siswa. Namun, tanggung jawab penyelesaian tugas tetap pada diri siswa. Oleh
sebab itu pengetahuan dan Keterampilan yang diperoleh siswa tidak dari mengingat
seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya (Musclich
dalam Hosnan, 2014 : 271)
2) Inkuiri
Inkuiri adalah kegiatan inti dari pembelajaran berbasis CTL. Inkuiri diawali dengan
pengamatan untuk memahami konsep/fenomena dan dilanjutkan dengan melaksanakan
kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan. Dengan mengembangkan keterampilan
berpikir kritis, siklus inquiri adalah sebagai berikut: mengamati, bertanya, mengajukan dugaan
sementara (hipotesis), mengumpulkan data, menganalisis data , dan merumuskan teori.
3) Bertanya(Questioning)
Questioning atau bertanya adalah salah satu prinsip pembelajaran CTL. Bertanya dalam
pembelajaran CTL dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong siswa mengetahui
sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, membimbing dan mengetahui
kemampuan berpikir siswa. Menurut Hosna (2014 : 272) bertanya berguna untuk menggali
pemahaman, mengecek pemahaman dan membangkitkan respon siswa.
4) Masyarakat Belajar
Masyarakat belajar atau Learning community adalah kegiatan pembelajaran yang
difokuskan pada aktivitas berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain. Aspek kerja
sama dengan orang lain untuk menciptakan kerja sama yang lebih baik adalah tujuan
pembelajaran yang menerapkan learning community. Hal yang berbeda dan mendapatkan
penekanan dalam pembelajaran yang menerapkan prinsip masyarakat belajar adalah
pentingnya membangun tim atau kelompok yang tangguh.
5) Pemodelan
pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap
peserta didik. Dalam kegiatan pemodelan melalui contoh-contoh yang baik akan berguna
sebagai contoh yang baik akan bergunasebagai contoh yang baik dapat ditiru oleh peserta
didik, caramenggali informasi, demonstrasidan lain-lain serta pemodelan dilakukan oleh guru.

6) PenilaianOtentik
istilah penilaian otentik untuk mendeskripsikan berbagai bentuk penilaian yang merefleksikan
proses pembelajaran yang dialami siswa, kemampuan siswa, motivasi siswa, dan sikap yang
sesuai dengan tujuan pembelajaran. Penilaian otentik menuntut siswa mengaplikasikan
keterampilan dan pengetahuannya dalam konteks yang bermakna. Penilaian otentik
mengamanatkan agar instrumen penilaian benar-benar dapat digunakan untuk mengukur apa
yang seharusnya diukur (mempunyai validitas nyang tinggi).
7) Refleksi
Refleksi atau Reflection adalah kegiatan memikirkan apa yang telah kita pelajari, menelaah
dan merespon semua kejadian, aktivitas atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran,
dan memberikan masukan-masukan perbaikan untuk langkah selanjutnya jika diperlukan.
Dalam menerapkan prinsip refleksi ini diperlukan keterbukaan dari guru untuk menerima
kritik dan saran terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan guna perbaikan pada
pembelajaran berikutnya. Dengan refleksi ini siswa dapat melihat kesalahan-kesalahan yang
telah dilakukan dalam belajar sehingga pada masa yang akan datang tidak akan terulang lagi

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

29

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

6.
Kesimpulan dan Saran
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya,
diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi (KBMTT) siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan Kontekstual (PK) lebih baik dari pada KBMTT siswa
yang
menggunakan pendekatan konvensional dilihat dari level sekolah dan tingkat kemampuan awal
siswa (TKAS)
2. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan peringkat sekolah terhadap
kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi.
3. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan klasifikasi tingkat kemampuan
awal siswa (TKAS) terhadap kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa.
6.2. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, selanjutnya dikemukakan saran-saran sebagai berikut:
1. Pembelajaran dengan pendekatan Kontekstual hendaknya dijadikan alternatif pendekatan
pembelajaran yang dapat digunakan guru-guru di sekolah terutama untuk siswa sekolah
peringkat tinggi dan sedang atau siswa dengan TKAS tinggi, sedang dan kurang dalam
pembelajaran topik-topik tertentu terutama topik-topik baru yang berkaitan dengan topiktopik sebelumnya yang sudah dipelajari siswa, sehingga pembelajaran matematika menjadi
lebih bermakna.
2. Untuk penelitian selanjutnya hendaknya diteliti penggunaan pendekatan Kontektual yang
diaplikasikan dengan program-program komputer dengan penyajian gambar yang lebih
menarik perhatian siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Matematika SMA/MA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Kunci
Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Bogor : Ghalia
Ibrahim, M. dan Nur. (2004). Pembelajaran Berbasis Masalah Surabaya : Universitas Negeri
Surabaya.
Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas.
Disertasi. UPI Bandung : Tidak Dipublikasikan.
Sabandar, J. (2005). Pertanyaan Tantangan dalam Memunculkan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam
Pembelajaran Matematika. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional, FPMIPA UPI, 20
Oktober.
Sumarmo, U. (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian.
IKIP Bandung : Tidak Dipublikasikan.
Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan
Masalah pada Guru dan Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian. IKIP Bandung :
Tidak Dipublikasikan.
Sumarmo, U. dkk. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional FPMIPA UPI. Bandung :
Tidak Dipublikasikan.
Sumarmo, U. (2003). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi pada Siswa SLTP dan
SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) melalui berbagai Pendekatan Pembelajaran.
Bandung, Laporan Penelitian Pascasarjana UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan.
Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU
serta Mahasiswa Strata Satu melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Lemlit UPI :
Laporan Penelitian.
30

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Suryadi, D. (2004). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan


Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangkaian Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi. UPI Bandung : Tidak
dipublikasikan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

31

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENGEMBANGKAN RETENSI KEMAMPUAN BERPIKIR


TINGKAT TINGGI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI
PENDEKATAN KONTEKSTUAL
Wahyu Hidayat
STKIP Siliwangi
azzam@wahyurock.com

ABSTRAK
Penelitian ini merupakan bagian dari laporan penelitian Mengembangkan Kemampuan
Berpikir Tingkat Tinggi Matematis dan Retensinya serta Kemandirian Belajar Siswa SMP
Melalui Pendekatan Kontekstual. Penelitian ini merupakan eksperimen berbentuk disain
kelompok kontrol postes saja yang bertujuan menelaah peranan pendekatan pembelajaran
kontekstual terhadap retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa SMP. Selain
itu penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan retensi kemampuan berpikir tingkat
tinggi matematis siswa SMP. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP kelas
VIII Kota Cimahi, sedangkan sampelnya adalah siswa kelas VIII dari dua SMP yang
ditetapkan secara purposif pada SMP di Kota Cimahi dan dipilih secara acak dari kelas VIII
yang ada. Kemudian dari sampel tersebut ditetapkan secara acak yang menjadi kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa: (1)
Retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa SMP, yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada yang memperoleh
pembelajaran biasa ditinjau secara keseluruhan (kedua kelas tergolong kategori cukup). (2)
Retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa SMP, yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada yang memperoleh
pembelajaran biasa berdasarkan kemampuan awal matematika siswa (KAM) baik, sedang, dan
kurang dengan keseluruha KAM pada kedua kelas tergolong kategori cukup. (3) Terdapat efek
interaksi antara Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dan Kemampuan Awal Matematika
Siswa (KAM) secara bersama-sama dalam menghasilkan Retensi Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi Matematis siswa.
Kata Kunci: Kontekstual, Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan berpikir dengan tidak sekedar menghapal
fakta atau mengerjakan sesuatu sama seperti sesuatu yang pernah disampaikan kepada kita.
Herman (2005) mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi
menggunakan pemikiran yang kompleks, non algoritmik untuk menyelesaikan suatu masalah
yang tidak dapat diprediksi, menggunakan pendekatan yang berbeda dengan tugas yang telah ada
atau contoh lain.
Kenyataan di lapangan yang banyak dijumpai gaya mengajar guru yang belum maksimal sehingga
hasil belajar siswa belum efisien. Hasil penelitian Shadiq (2007) mengungkapkan bahwa proses
pembelajaran di kelas kurang meningkatkan kemampuan berpikir tinggi dan kurang terkait
langsung dengan kehidupan nyata sehari-hari. Selanjutnya penelitian Ratnaningsih (2007) dengan
subyek siswa SMP melaporkan hasil bahwa kemampuan matematik siswa dengan pembelajaran
kontekstual lebih baik daripada dengan pembelajaran konvensional. Selain itu Suryadi
(2004) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya masih berfokus pada
pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah yang prosedural.

32

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Dalam idealisme proses pembelajaran dan fakta-fakta di atas menunjukan pentingnya siswa
memiliki kemampuan berpikir matematik dengan tingkat yang lebih tinggi yang menekankan
partisipasi dan aktivitas dari pebelajar. Hal ini berarti proses belajar terjadi jika subyek secara
aktif terlibat atau melakukan kegiatan belajar. Salah satu penyebabnya rendahnya hasil belajar
siswa adalah proses pembelajaran yang didominasi oleh pembelajaran tradisional. Pada
pembelajaran ini suasana kelas cenderung Teaching Central sehingga siswa menjadi pasif.
Meskipun demikian, dalam kegiatan proses belajar mengajar di kelas pada umumnya guru lebih
suka menerapkan model tersebut. Sehingga perlu suatu perubahan paradigma pembelajaran
yaitu orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru (Teacher Centered) beralih
berpusat pada murid (Student Centered), metodologi yang semula lebih didominasi
Ekspositori berganti ke Partisipatori, dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual
berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki
mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan. Untuk itu guru harus
bijaksana dalam menentukan suatu model pembelajaran yang sesuai yang dapat menciptakan
situasi dan kondisi kelas yang kondusif agar proses belajar mengajar dapat berlangsung sesuai
dengan tujuan yang diharapakan.
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching And Learning) merupakan salah satu alternatif
pembelajaran yang dapat menciptakan situasi dan kondisi kelas yang kondusif dan lebih
memberdayakan siswa. Pendekatan kontekstual ini menekankan kepada proses keterlibatan siswa
untuk menemukan materi dan mempratekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga belajar
dengan pendekatan kontekstual bukan hanya sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar
adalah proses berpengalaman secara langsung. Melalui proses pengalaman itu diharapkan
perkembangan peserta didik terjadi secara menyeluruh, yang bukan hanya sisi kognitif saja, tetapi
aspek Psikomotorik (keterampilan siswa) dan aspek afektif dalam arti tingkah laku yang
sekarang ini banyak dilupakan para pendidik dan peserta didik.
Berkaitan dengan proses belajar, konsep yang dipahami secara baik oleh siswa dari pembelajaran
dapat disimpan dalam ingatan atau memori yang kemudian akan dipergunakan pada saat
diperlukan. Kemampuan untuk menyimpan dalam ingatan ini dikenal sebagai retensi. Untuk itu
akan diteliti juga bagaimana pembelajaran kontekstual mempengaruhi retensi siswa.
Sejalan dengan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat judul dalam makalah ini yaitu
Mengembangkan Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis Siswa SMP Melalui
Pendekatan Kontekstual.
1.2.

Rumusan Masalah

Secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:


a. Apakah retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa, yang memperoleh
pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran
biasa ditinjau secara keseluruhan?
b. Apakah retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa, yang memperoleh
pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran
biasa ditinjau berdasarkan Kemampuan Awal Matematika Siswa (Baik, Sedang, Kurang)?
c. Apakah terdapat efek interaksi antara pendekatan pembelajaran kontekstual dan Kemampuan
Awal Matematika Siswa (KAM) dalam menghasilkan retensi kemampuan berpikir tingkat
tinggi matematis siswa?
1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat pada penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menelaah tentang:
a. Peranan pendekatan pembelajaran kontekstual dan kemampuan awal matematika siswa
terhadap pencapaian retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi ditinjau secara keseluruhan
dan pada tingkat kemampuan awal matematika siswa (Baik, Sedang, Kurang). Selain itu
berdasarkan hasil-hasil temuan akan dicari upaya mengatasi kesulitan tersebut dan upaya
meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa selanjutnya. Demikian
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

33

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

b.

1.4.

pula berdasarkan temuan tentang kemandirian belajar siswa akan digunakan untuk mencari
upaya-upaya perbaikan pembelajaran matematika berikutnya.
Eksistensi interaksi antara pendekatan pembelajaran kontekstual dan kemampuan awal
matematika siswa terhadap pencapaian retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis
siswa yang akan dimanfaatkan dalam pengembangan pembelajaran matematika selanjutnya.
Definisi Operasional

a. Retensi adalah kemampuan untuk menyimpan dalam ingatan atau memori, konsep yang
dipahami secara baik oleh siswa dari pembelajaran yang diberikan.
b. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis adalah kemampuan yang meliputi: pemecahan
masalah, berpikir kritis dan berpikir kreatif matematik.
1) Pemecahan Masalah Matematik adalah kemampuan siswa dalam menerapkan strategi
untuk menyelesaikan berbagai masalah yang sejenis maupun yang baru dan menjelaskan
hasil yang diperoleh sesuai dengan permasalahan awal serta menyelesaikannya.
2) Berpikir Kritis Matematik adalah kemampuan yang meliputi: a) Menganalisis dan
mengevaluasi argumen dan bukti; b) Menyusun klarifikasi dan membuat pertimbangan
yang bernilai; c) Menyusun penjelasan berdasarkan data yang relevan dan yang tidak
relevan; d) Mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi.
3) Berpikir Kreatif Matematik adalah kemampuan meliputi: kemahiran/kelancaran,
kelenturan, Keaslian dan Elaborasi.
c. Pembelajaran Kontekstual adalah proses kegiatan belajar-mengajar yang diawali dengan
menghadapkan siswa pada masalah nyata atau yang disimulasikan dalam suatu ko nteks
sosial dan fisik yang menantang siswa, kemudian diangkat ke dalam konsep yang akan
dipelajari. Pembelajaran kontekstual ini berisikan karakterisitik sebagai berikut: berbasis
masalah kontekstual terstruktur, berpandangan konstruktivisme (constructivism), mengajukan
pertanyaan (questioning), menemukan (inquiry), komunitas belajar (learning community),
menggunakan model (modeling), melaksanakan refleksi (reflection) dan authentic assessment.

2.

Kajian Teoritis

2.1.

Retensi dalam Pembelajaran Matematika

Konsep yang dipahami secara baik oleh siswa dari pembelajaran dapat disimpan dalam ingatan
atau memori yang kemudian akan dipergunakan pada saat diperlukan. Kemampuan untuk
menyimpan dalam ingatan ini dikenal sebagai retensi. Pada kenyataannya, banyak hal yang telah
disimpan dalam ingatan sulit untuk diproduksikan lagi, hal ini dikenal sebagai lupa (Rahman,
2010). Retensi merupakan salah satu indikator bermutunya hasil belajar atau pembelajaran yang
kurang mendapat perhatian. Untuk mengetahui efektifnya model pembelajaran, hendaknya tidak
hanya dari penguasaan konsep saja, tetapi lebih jauh dianalisis apakah konsep-konsep yang
diajarkan dapat lekat dalam ingatan siswa atau cepat terlupakan karena pembelajaran berupa
transfer hapalan.
Hal-hal yang sering terjadi dan perlu dicermati dari beberapa laporan penelitian yang berkaitan
dengan pembelajaran matematika dan hasilnya, khususnya di Indonesia yaitu kurangnya informasi
tentang retensi hasil belajar matematika siswa. Kata retensi merupakan terjemahan dari Bahasa
Inggris yaitu retention yang artinya penyimpanan. Berdasarkan Dictionary of Psychology yang
diterjemahkan oleh Kartini Kartono (Ibrahim, 2011:90) retensi adalah ketegaran atau terus-menerus
melekatnya satu perbuatan yang telah dipelajari. Selain itu, Ibrahim (2011:25) mendefinisikan
bahwa retensi kemampuan matematika adalah kemampuan siswa dalam mempertahankan
kemampuan-kemampuan matematika yang telah dimilikinya untuk rentang waktu tertentu
(setengah semester). Berdasarkan hal tersebut, maka retensi dapat diartikan menjadi suatu
kemampuan siswa dalam mempertahankan atau mengingat tentang pembelajaran matematika.
Retensi adalah kemampuan siswa mengingat materi yang telah diajarkan oleh guru pada rentang
waktu tertentu. Bandura (Hill, 2011) menyebutkan bahwa salah satu komponen dasar belajar adalah

34

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

retensi. Retensi menunjukkan bahwa apa yang dipelajari tidak menghasilkan efek praktis kecuali
kita mengingatnya cukup lama. Rahman (2010), Christoph dan Zehender (2006) menyebutkan
bahwa tes untuk mengetahui retensi dilakukan setelah empat minggu dari post-test. Dahar
(Tapilouw dan Setiawan, 2008) mengartikan retensi sebagai penambahan materi yang dipelajari
dalam memori (yang tidak dilupakan), berarti retensi menunjuk pada penyimpanan informasi yang
diperoleh dalam memori. Selanjutnya De Porter & Hernacki (Tapilouw dan Setiawan, 2008)
menyebutkan bahwa kita akan mengingat informasi dengan sangat baik jika informasi tersebut
dicirikan oleh kualitas-kualitas sebagai berikut:
a. Adanya asosiasi indera terutama indera penglihatan. Pengalaman yang melibatkan penglihatan,
bunyi, sentuhan, rasa atau gerakan umumnya sangat jelas dalam memori kita.
b. Adanya konteks emosional seperti cinta, kebahagiaan, dan kesedihan.
c. Kualitas yang menonjol atau berbeda
d. Asosiasi yang intens
e. Kebutuhan untuk bertahan hidup
f. Hal-hal yang memiliki keutamaan pribadi
g. Hal-hal yang diulang-ulang
Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh ahli psikologi dan pendidikan tentang
retensi, diantaranya membuktikan bahwa siswa menyimpan banyak ingatan terhadap sesuatu yang
telah dipelajari di sekolah. Retensi dan lupa merupakan istilah yang tidak dapat dipisahkan. Retensi
merujuk pada porsi bertahannya pengetahuan atau kemampuan yang telah dipelajari dan disimpan
dalam memori. Ilmuwan yang pertama kali meneliti tentang retensi adalah Herman Ebbinghaus
pada tahun 1885 (Sulistyoningsih dkk, 2013). Salah satu hasil dari penelitian yang diakukan oleh
Ebinghaus adalah kurva retensi (kurva kelupaan Ebbinghaus) mengenai hafalan suku-suku kata,
menunjukkan bahwa retensi dapat berkurang dengan cepat setelah interval waktu tertentu.
Menurut Winkel (Hidayat dan Hamidah, 2013), informasi dapat ditahan lebih lama melalui proses
penyimpanan. Secara tidak langsung, yang dimaksudkan dengan proses penyimpanan tersebut
haruslah berkaitan dengan bagaimana informasi tersebut dapat diterima dan dikonstruksikan dan
akhirnya dapat disimpan di dalam memori siswa. Selain itu, Ormrod (Hidayat dan Hamidah, 2013)
menyatakan bahwa informasi dapat bertahan lama dalam memori, jika informasi tersebut diterima
secara bermakna. Ormrod juga menyatakan bahwa ada empat alasan seseorang secara aktual lupa
pada hal-hal yang sebelumnya telah mereka simpan dalam memori jangka panjang, yaitu:
kegagalan untuk memanggil kembali (failure to retrieve), kesalahan rekonstruksi (reconstruction
error), interferensi (interference), kerusakan (decay). Lebih jauh Ormrod menjelaskan bahwa: (1)
failure to retrieve adalah kegagalan untuk menemukan informasi yang ada dalam memori; (2)
reconstruction error adalah konstruksi memori yang logis, namun tidak tepat dengan
mengombinasikan informasi yang dipanggil dari memori jangka panjang dengan pengetahuan dan
keyakinan umum seseorang tentang lingkungan sekitarnya; (3) interference adalah fenomena yang
menunjukkan sesuatu yang disimpan dalam memori jangka panjang menghambat kemampuan
seseorang untuk mengingat sesuatu yang lain dengan benar, dengan kata lain merupakan kegagalan
dalam menggali informasi karena terhalang informasi lain; dan (4) decay adalah pelemahan secara
bertahap informasi yang disimpan dalam memori jangka panjang, terutama jika informasi tersebut
jarang digunakan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila banyak ilmuwan di bidang
pendidikan yang menyatakan bahwa proses pembelajaran memegang peranan penting terhadap
retensi hasil belajar siswa.
Berkaitan dengan pembelajaran matematika yang dilakukan oleh guru atau pengajar, pasti guru
tersebut akan berharap bahwa pembelajaran yang diberikan kepada siswa dapat berkesan dan
bermanfaat bagi siswa dalam hal mengingat hasil yang didapat dari pembelajaran tersebut. Selain
itu harapannya siswa juga dapat mengingat dalam waktu yang tidak terbatas sedemikian hingga
hasil belajar tersebut dapat dipanggil kapan saja pada saat dibutuhkan. Dengan kata lain, proses
pembelajaran matematika di kelas diharapkan memiliki retensi hasil belajar yang baik.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

35

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Hasil penelitian yang berkaitan dengan retensi dalam konteks pembelajaran telah dilakukan oleh
Craik dan Lockhart (Hidayat dan Hamidah, 2013) dalam level pemrosesan informasi memberikan
gagasan umum bahwa informasi yang diterima melalui proses yang mendalam akan memberikan
retensi yang lebih baik dibanding informasi yang diterima melalui proses yang dangkal. Gagasan
hasil studi Craik dan Lockhart ini memberikan isyarat bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh
guru atau pengajar haruslah diupayakan melalui suatu proses yang mendalam pada saat siswa
menerima pengetahuan matematika.
Apabila seseorang belajar, maka setelah beberapa waktu lamanya apa yang dipelajarinya akan
banyak yang terlupakan dan apa yang diingat akan berkurang jumlahnya. Penurunan jumlah materi
yang diingat ini akan sangat cepat pada permulaan, selanjutnya penurunan tersebut tidak lagi cepat.
Hasil penelitian Yusuf (2011) mengenai retensi menunjukkan:
a. Materi pelajaran yang bermakna akan lebih mudah diingat siswa dibandingkan dengan materi
yang tidak bermakna.
b. Benda yang jelas dan kongkret akan lebih mudah diingat siswa dibanding dengan yang bersifat
abstrak.
c. Retensi akan lebih baik untuk materi yang bersifat kontekstual.
d. Tingkat IQ tidak berkorelasi dengan retensi yang telah dipelajari siswa.
Selain itu Yusuf (2011) juga mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi retensi,
yaitu: (1) yang dipelajari pada permulaan (original learning); (2) belajar melebihi penguasaan
(overlearning); dan (3) pengulangan dengan interval waktu (spaced review). Berdasarkan hal
tersebut, maka strategi yang dapat dipakai guru untuk meningkatkan retensi siswa, yaitu:
a. Meyakini bahwa kekompleksan respons yang diinginkan masih berada dalam batas
kemampuan siswa, dan masih berkisar pada apa yang telah dipelajari sebelumnya, ter-utama
dalam pendekatan pembelajaran konstruktivisme.
b. Memberikan latihan-latihan, baik yang dikerjakan secara kelompok maupun yang dikerjakan
secara individu, apabila respons akan dipengaruhi oleh transfer positif.
c. Membuat situasi belajar yang jelas dan spesifik (misalnya: dengan menyertakan kompetensi
yang diharapkan dan pendekatan pembelajarannya), sehingga siswa dapat mempelajari respons
diskriminatif yang diinginkan.
d. Membuat situasi belajar yang relevan dan bermakna, dengan memilih model pembelajaran
yang cocok.
e. Memberikan penguatan terhadap respons siswa, misalnya dengan soal-soal yang menantang,
apabila dirasa perlu.
f. Memberikan latihan dan mengulang secara periodik (urutan waktu) dan sistematik (struktur
keilmuan dan tingkat kesukarannya).
g. Memberikan situasi belajar tambahan dimana siswa tidak hanya belajar materi baru, tetapi juga
diharuskan mengingat kembali pelajaran yang telah diberikan sebelumnya.
h. Mencari peluang-peluang yang terdapat di dalam situasi belajar baru, dan menghubungkannya
dengan apa yang pernah dipelajari sebelumnya.
i. Mengusahakan agar materi/bahan ajar yang dipelajari bermakna dan disusun dengan baik,
misalnya dengan memberikan persoalan matematika yang kontekstual.
j. Memakai bantuan jembatan keledai (mnemonic), karena ini akan meningkatkan organisasi
bahan ajar yang dipelajari,
k. Memberikan resitasi karena ini akan meningkatkan praktik siswa,
l. Membangun struktur konsep yang jelas, misalnya dengan menggunakan alat peraga atau media
audiovisual. Dengan kata lain, perlu digunakan lebih dari satu indera di dalam aktivitas belajar
siswa.

2.2.

Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis

Dalam dunia pendidikan berpikir merupakan bagian dari ranah kognitif, dimana dalam hirarki
Bloom terdiri dari tingkatan-tingkatan, yaitu (1) pengetahuan (knowledge); (2) pemahaman
(comprehension); (3) penerapan (application); (4) mengalisis (analysis); (5) mensintesakan

36

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

(synthesis); dan (6) menilai (evaluation). Keenam tingkatan ini merupakan rangkaian tingkatan
berpikir manusia. Berdasarkan tingkatan tersebut, maka dapat diketahui bahwa berpikir untuk
mengetahui merupakan tingkatan berpikir yang paling bawah (lower) sedangkan tingkatan
berpikir paling tertinggi (higher) adalah menilai. Berpikir Tingkat Tinggi terjadi ketika
seseorang mengambil informasi baru dan informasi yang tersimpan dalam memori dan saling
terhubungkan atau menata kembali dan memperluas informasi ini untuk mencapai tujuan
atau menemukan jawaban yang mungkin dalam situasi membingungkan.
Berpikir adalah aktifitas mencurahkan daya pikir untuk maksud tertentu. Costa (Sumarmo,
2012) mengelompokkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
atau Higher Order
Thinking Skill (HOTS) menjadi empat kelompok, yaitu pemecahan masalah, membuat
keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif. Adapun karakteristik-karakteristik dari
kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah (1) evaluasi dengan kriteria, (2) menunjukkan
skeptisme, (3) keputusan yang menggantung, (4) menggunakan analisa logis, dan (5) sistematis.
2.2.1 Pemecahan Masalah Matematik
Ismaimuza (2010) menyebutkan bahwa masalah matematis secara lebih khusus adalah suatu
masalah yang diterima untuk dianalisis dan mungkin dapat diselesaikan dengan metode metode
matematis. Menurut Minarni (2012) kemampuan pemecahan masalah matematis mencakup
aspek: (a) membuat model matematis dari suatu situasi atau masalah sehari-hari, (b) memilih dan
menerapkan strategi yang cocok, (c) menjelaskan dan menafsirkan solusi sesuai dengan masalah
asal. Matematika merupakan suatu pemecahan masalah maksudnya menekankan agar siswa
belajar menggunakan strategi yang luas dalam memahami isi matematika, mengenali dan
merumuskan persoalan dari dalam dan luar matematika, menggunakan model matematika dan
teknologi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang luas dan bervariasi, termasuk
persoalan- persoalan dunia nyata, menggeneralisasi penyelesaian dan strategi kemudian
menggunakannya pada persoalan yang baru, meningkatkan rasa percaya diri terhadap kemampuan
untuk menggunakan matematika secara bermakna dan menjadi penyelesai persoalan yang
independen.
2.2.2 Berpikir Kritis Matematik
Ennis (Sumarmo, 2012) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir reflektif yang beralasan dan
difokuskan pada penetapan apa yang dipercayai atau yang dilakukan. Berpikir kritis berelasi
dengan lima idea kunci yaitu: praktis, reflektif, masuk akal, kepercayaan, dan aksi. Selain
kelima kata kunci di atas, berpikir kritis juga memiliki empat komponen yaitu: kejelasan (clarity),
dasar (bases), inferensi (inference), dan interaksi (interaction). Kemudian, Glaser (Sumarmo,
2012) menyatakan bahwa berpikir kritis matematik memuat kemampuan dan disposisi
yang dikombinasikan dengan pengetahuan, kemampuan penalaran matematik, dan strategi
kognitif yang sebelumnya, untuk menggeneralisasikan, membuktikan, mengases situasi
matematik secara reflektif..
Selanjutnya, Langrehr (2003) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir evaluatif yang
melibatkan kriteria yang relevan dalam mengases informasi disertai dengan ketepatan (accuracy),
relevansi (relevancy), kepercayaan (reliability), ketegapan, (consistency), dan bias (bias).
Serupa dengan pendapat Langrehr, Bayer (Hassoubah, 2004) mengemukakan bahwa berpikir kritis
memuat kemampuan menetapkan sumber yang dapat dipercaya, membedakan antara sesuatu atau
data yang relevan dan yang idak relevan, mengidentifikasi dan menganalisis asumsi,
mengidentifikasi bias dan pandangan, dan mengases bukti.
Ennis (Sumarmo, 2012) menyebutkan bahwa dalam melaksanakan berpikir kritis, terlibat
disposisi berpikir yang dicirikan dengan bertanya secara jelas dan beralasan, berusaha memahami
dengan baik, menggunakan sumber yang terpercaya, mempertimbangkan situasi secara
keseluruhan, berusaha tetap mengacu dan relevan ke masalah pokok, mencari berbagai
alternatif, bersikap terbuka, berani mengambil posisi, bertindak cepat, bersikap atau
berpandangan bahwa sesuatu adalah bagian dari keseluruhan yang kompleks, memanfaatkan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

37

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

cara berpikir orang lain yang kritis, dan bersikap sensisif terhadap perasaan orang lain. Selain
aspek afektif tersebut, Ennis juga menyebutkan bahwa dalam berpikir kritis juga termuat
sejumlah
kemampuan yaitu memfokuskan diri pada pertanyaan, menganalisis dan
mengklarifikasi pertanyaan, jawaban, dan argumen, mempertimbangkan sumber yang terpercaya,
mengamati dan menganalisis deduksi, menginduksi dan menganalisis induksi, merumuskan
eksplanatori, kesimpulan dan hipotesis, menarik pertimbangan yang bernilai, dan menetapkan
suatu aksi.
2.2.3 Berpikir kreatif Matematik
Puccio dan Murdock (Costa, ed., 2001) menyebutkan bahwa kreativitas merupakan konstruk
payung sebagai produk kreatif dari individu yang kreatif, memuat tahapan proses berpikir
kreatif, dan lingkungan yang kondusif untuk berlangsungnya berpikir kreatif. Berpikir kreatif
memuat aspek keterampilan kognitif, afektif, dan metakognitif. Keterampilan kognitif
tersebut antara lain kemampuan mengidentifikasi masalah dan peluang, menyusun pertanyaan
yang baik dan berbeda, mengidentifikasi data yang relevan dan yang tidak relevan, masalah dan
peluang yang produktif; menghasilkan banyak idea (fluency), idea yang berbeda (flexibility), dan
produk atau idea yang baru (originality), memeriksa dan menilai hubungan antara pilihan dan
alternatif, mengubah pola fikir dan kebiasaan lama, menyusun hubungan baru, memperluas, dan
memperbaharui rencana atau idea.
Lebih lanjut, Puccio dan Murdock (Costa, ed., 2001) menyebutkan bahwa keterampilan afektif
yang termuat dalam berpikir kreatif antara lain merasakan masalah dan peluang, toleran terhadap
ketidakpastian, memahami lingkunagn dan kekreatifan orang lain, bersifat terbuka,
berani mengambil resiko,membangun rasa percaya diri, mengontrol diri, rasa ingin tahu,
menyatakan dan merespons perasaan dan emosi, dan mengantisipasi sesuatu yang tidak
diketahui. Kemampuan metakognitif yang termuat dalam berpikir kreatuif antara lain:
merancang strat egi, menetapkan tujuan dan keputusan, mempredikasi dari data yang tidak
lengkap, memahami kekreatifan dan sesuatu yang tidak dipahami orang lain, mendiagnosa
informasi yang tidak lengkap, membuat pertimbangan multipel, mengatur emosi, dan
memajukan elaborasi solusi masalah dan rencana.
Yudha (2004) mengemukakan empat langkah dalam berpikir kreatif yaitu: orientasi masalah,
merumuskan masalah, mengidentifikasi komponen masalah, menyiapkan pengumpulan informasi
sesuai masalah, inkubasi beristirahat sejenak ketika penyelesaian masalah buntu, iluminasi
mencari idea dan pandangan untuk penyelesaian masalah, verifikasi menguji dan menilai solusi
secra kritik. Selanjutnya, Sukmadinata (2004) mengemukakan berpikir kreatif memuat komponen
keaslian (originality), pandangan yang tajam (sharp insight), dan proses generatif. Beberapa
langkah dalam berpikir kreatif adalah: mengajukan pertanyaan, mentransformasi informasi ke
dalam pandangan baru dan open minded, mencari hubungan antar sesuatu yang berbeda, melihat
antara yang satu dengan yang lainnya, menghasilkan sesuatu yang baru dan berbeda, dan
mempertimbangkan intuisi.
Kemudian Musbikin (2006) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan menyusun idea,
mencari hubungan baru, menciptakan jawaban baru atau yang tak terduga, merumuskan
konsep yang tidak mudah diingat, menghasilkan jawaban baru dari masalah asal, dan mangajukan
pertanyaan baru. Selain itu, Nicholl (2006) menyarankan beberapa langkah agar individu menjadi
kreatif yaitu: kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, berpikir dari empat arah, ajukan beragam
idea, cari kombinasi yang terbaik, dan sadari aksi yang berlangsung.

2.3.

Pembelajaran Kontekstual

Menurut sejarahnya, pengajaran kontekstual merupakan salah satu pendekatan konstruktivisme


baru dalam pembelajaran matematika, yang pertama-tama dikembangkan di negara Amerika, yaitu
dengan dibentuknya Washington State Consortium for Contextual oleh Departe men Pendidikan
Amerika Serikat.
38

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Depdiknas (2006:10) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen


utama pembelajaran yaitu: Konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya
(questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi
(relfection), dan asesmen otentik (authentic assesment). Dengan demikian pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan mengambil permasalahanpermasalahan kehidupan sehari-hari atau permasalahan yang disimulasikan, kemudian melalui
dialog, diskusi, tanya jawab serta representasi diangkat ke dalam konsep yang akan dipelajari dan
dibahas oleh peserta didik melalui bimbingan, fasilitasi serta negoisiasi pendidiknya. Dengan
demikian, konstruksi pengetahuan baru yang didapat siswa merupakan hasil keaktifan
peranan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dalam menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang disajikan.
Didalam pembelajaran kontekstual, ada beberapa aktivitas yang perlu dikembangkan, yaitu: (1)
Belajar berbasis masalah; (2) Belajar dengan multi konteks; (3) Belajar mandiri; (4) Penilaian
otentik; dan (5) Masyarakat belajar.
Berdasarkan literatur di atas, maka terdapat beberapa hal yang harus dipahami dan
diperhatikan mengenai pembelajaran kontekstual yaitu:
a. Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan sesuai
dengan pengalaman yang mereka miliki. Sehingga makin banyak pengalaman yang
diperolehnya dalam arti belajar maka semakin banyak pula yang diperolehnya.
b. Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada
dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan pengetahuan yang
dimilikinya akan berpengaruh pada pola-pola perilaku manusia, seperti ploa berpikir, pola
bertindak, kemampuan memecahkan masalah termasuk penampilan seseorang.
c. Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memcahkan masalah anaka
akan berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intelektual akan tetapi jug a
mental dan emosi, sehinggga terciptalah kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual.
d. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari
yang sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu, belajar tidak dapat sekaligus, akan
tetapi sesuai irama kemampuan siswa.
e. Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan, oleh karena itu,
pengetahuan yang memilki makna untuk kehidupan anak (real world learning).
f. Seorang guru dalam menerapkan pembelajaran kontekstual harus dapat memahami
keadaan siswa dalam kelas dan mampu membagi kelompok secara heterogen, agar siswa yang
pandai dapat membantu siswa yang kurang.

2.4.

Beberapa Studi Yang Relevan

Beberapa studi hasil penelitian retensi dalam pembelajaran matematika, Ibrahim (2011)
menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa retensi kemampuan komunikasi, penalaran dan
pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran berbasis
masalah lebih baik dibanding siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran
konvensional. Selain itu, Hidayat dan Hamidah (2013) menyimpulkan juga dari hasil
penelitiannya, yaitu retensi daya matematik siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs lebih
baik daripada yang memperoleh pembelajaran dengan cara konvensional.
Selain itu, beberapa studi yang berkaitan dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis
antara lain, Zulkarnaen (2009) melaporkan bahwa Kemampuan pemecahan masalah dan
komunikasi matematik siswa yang memperoleh pendekatan open-ended dengan belajar kooperatif
tipe coop-coop lebih baik dibanding siswa memperoleh pendekatan open-ended, dan kemampuan
pemecahan masalah dan komunikasi matematik kedua sampel tersebut lebih baik dibanding siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional. Ditinjau dari: pencapaian hasil belajar, dan
peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematik. Karim (2010)

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

39

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

melaporkan bahwa kemampuan penalaran dan berpikir kritis matematis siswa SMP yang
mendapatkan pembelajaran dengan model Reciprocal Teaching lebih baik daripada yang
mendapatkan pembelajaran biasa. Sugandi (2010) melaporkan bahwa Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi dan Kemandirian Belajar siswa SMA yang menggunakan Pembelajaran Berbasis
Masalah dengan Setting Kooperatif Tipe Jigsaw lebih baik dibanding siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional. Dan hasil penelitian Hidayat (2011) mengungkapkan bahwa
peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik siswa SMA yang pembelajarannya
menggunakan kooperatif Think-Talk-Write lebih baik daripada yang pembelajarannya
menggunakan cara konvensional.

3.

Metode Penelitian

Studi ini dirancang dalam bentuk eksperimen dengan disain kelompok kontrol dan postes serta tes
retensi saja yang bertujuan menelaah peranan pembelajaran kontekstual terhadap retensi
kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa SMP. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa SMP kelas VIII Kota Cimahi, sedangkan sampelnya adalah siswa kelas VIII dari dua
SMP yang ditetapkan secara purposif pada SMP di Kota Cimahi dan dipilih secara acak dari kelas
VIII yang ada. Kemudian dari sampel tersebut ditetapkan secara acak yang menjadi kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Tes retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa masing-masing
disusun mengacu pada karakteristik kemampuan berpikir tingkat tinggi serta pedoman
penyususunan tes yang baik. Data akan dianalisis dengan menggunakan uji statistik t dan uji
ANOVA.
Sebelum perlakuan dilakukan, siswa akan diberikan tes kemampuan awal matematika yang
nantinya siswa tersebut akan diklasifikasikan ke dalam Tingkat Kemampuan Awal Matematika
(KAM). Setelah mengetahui KAM maka eksperimen mulai dilakukan dengan setting memberikan
perlakuan pembelajaran kepada siswa dengan pembelajaran kontekstual (kelas eksperimen) dan
pembelajaran cara biasa (kelas kontrol) yang diakhir perlakuan akan dilakukan tes akhir (postes)
tahap pertama untuk melihat pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Kemudian
untuk melihat dan mengetahui seberapa besar retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa,
maka siswa diberikan tes akhir (postes) tahap kedua dengan rentang waktu empat minggu setelah
postes tahap pertama dilakukan. Analisis skor retensi tersebut dihitung dengan menggunakan
2
rumus: r =
. Dengan demikian desain penelitiannya adalah sebagai berikut:
1

Tabel 1
Rancangan Penelitian
Perlakuan
X1
X2

Post-test1
T1
T2

Selang Waktu
4 minggu
4 minggu

Post-test2
T3
T4

Keterangan:
X1
: Pembelajaran Kontekstual.
X2
: Pembelajaran Cara Biasa.
T1
: Postes kelas eksperimen.
T2
: Postes kelas kontrol.
T3
: Postes kelas eksperimen setelah empat minggu postes (T1).
T4
: Postes kelas kontrol setelah empat minggu postes (T2).

4.

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Berikut ini disajikan hasil temuan mengenai retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis
siswa seperti tersaji pada Tabel 2.

40

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


Tabel 2.
Rekapitulasi Data Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis (RKBTT)
Pendekatan Kontekstual
Pendekatan Biasa
(n = 30)
(n = 31)
KEMAMPUAN
KAM
MATEMATIK
Rerata
SD
Rerata
SD

RKBTT

4.1.

Baik

0,70

0,08

0,48

0,11

Sedang

0,69

0,06

0,68

0,17

Kurang

0,74

0,05

0,72

0,18

Total

0,70

0,07

0,66

0,18

Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis Siswa secara keseluruhan

Setelah dilakukan uji normalitas sebaran data kemampuan berpikir tingkat tinggi, retensi
kemampuan berpikir tingkat tinggi, dan kemandirian belajar siswa secara keseluruhan diperoleh
bahwa data berdistribusi normal. Berdasarkan temuan tersebut, maka pengujian perbedaan rerata
kemampuan tersebut dilakukan dengan uji perbedaan dua rerata (tersaji dalam Tabel 3).
Tabel 3
Rekapitulasi Hasil Uji Perbedaan Rerata dengan Uji-t
Antara Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Biasa secara keseluruhan
KEMAMPUAN
MATEMATIS

Sig.

INTERPRETASI

Retensi
Berpikir Tingkat
Tinggi Matematis

0.047

Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis siswa, yang


pembelajarannya menggunakan Pendekatan Kontekstual secara
signifikan lebih baik dari pada cara biasa pada taraf signifikansi 5%

Sumber : output SPSS 19

Berdasarkan hasil analisis data di atas, diperoleh interpretasi bahwa Retensi Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan Pendekatan Kontekstual
lebih baik daripada cara biasa secara keseluruhan. Kedua kelas yaitu Pendekatan Kontekstual
(0,70) dan Pendekatan Biasa (0,66) tergolong kategori Cukup.
4.2.

Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis Siswa berdasarkan


Kemampuan Awal Matematika Siswa (KAM)

Retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa berdasarkan Kemampuan Awal
Matematika Siswa (KAM) diperoleh bahwa data berdistribusi normal. Berdasarkan temuan
tersebut, maka pengujian perbedaan rerata ketiga kemampuan dilakukan dengan uji Anova 2 jalur
yang tersaji dalam Tabel 4.
Tabel 4
Rangkuman Uji Anova Dua Jalur
Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis Siswa
Berdasarkan Faktor Pendekatan Pembelajaran dan KAM
SUMBER
Pendekatan Pembelajaran (A)
KAM (B)
AxB
Inter
(Diambil dari output SPSS. 19)

JK

dk

RJK

,078
,129
,102
,880

1
2
2
55

,078
,065
,051
,016

F hit
4,874
4,033
3,193

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Sig
,031
,023
,049

41

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Setelah dilakukan uji statistik data yang tersaji dalam Tabel 4, maka dapat disimpulkan:
a. Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran, terdapat perbedaan yang signifikan antara retensi
kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan kontekstual dengan yang pembelajarannya menggunakan cara biasa pada taraf
signifikansi 5%.
b. Berdasarkan KAM, paling tidak terdapat satu kelompok siswa dengan KAM tertentu yang
retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswanya berbeda secara signifikan
dengan KAM lainnya pada taraf signifikansi 5%. Untuk mengetahui KAM mana yang berbeda
secara signifikan dilakukan uji scheffe. Hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5
Uji Scheffe Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis Siswa
Berdasarkan KAM
KAM (I)
Baik
Sedang
Baik

KAM (J)
Sedang
Kurang
Kurang

Sig
0,052
0,071
0,021

(Diambil dari output SPSS.19)

Dari Tabel 5 disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara retensi kemampuan
berpikir tingkat tinggi matematis siswa pada kategori KAM baik dan kurang dibandingkan
dengan KAM sedang. Implikasinya retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa
pada kategori KAM baik dan kurang lebih berkembang daripada kategori sedang.
c. Berdasarkan Efek Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan KAM, terdapat efek
interaksi yang signifikan antara pendekatan pembelajaran (Kontekstual dan Biasa) dengan
KAM secara bersamaan dalam menghasilkan retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematis siswa pada taraf signifikansi 5%.

Berdasarkan hasil analisis secara mendalam mengenai retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematis siswa, beberapa siswa masih merasa kesulitan dalam hal mengingat kembali konsepkonsep dari materi yang telah diajarkan sebelumnya. Secara umum permasalahan penguasaan
konsep tersebut masih dapat diatasi oleh siswa, namun hasilnya tetap kurang optimal dalam
menyelesaikan masalahnya. Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut hendaknya dalam
memberikan materi pelajaran, guru menggunakan pendekatan pembelajaran yang humanis agar
dapat berkesan bagi siswa dan nantinya siswa juga dapat mengingat materi yang berkesan tersebut
dengan baik.

5.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:


a. Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis siswa, yang memperoleh Pendekatan
Pembelajaran Kontekstual lebih baik daripada yang memperoleh Pembelajaran Biasa ditinjau
secara keseluruhan. Namun retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa pada
kedua kelas tersebut tergolong dalam kategori Cukup.
b. Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis siswa, yang memperoleh Pendekatan
Pembelajaran Kontekstual lebih baik daripada yang memperoleh Pembelajaran Biasa
berdasarkan kemampuan awal matematika (Baik, Sedang, Kurang). Namun retensi kemampuan
berpikir tingkat tinggi matematis siswa untuk keseluruahn KAM (baik, sedang, dan kurang)
pada kedua kelas tergolong kategori Cukup.
c. Terdapat efek interaksi antara Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dan Kemampuan Awal
Matematika Siswa (KAM) secara bersama-sama dalam menghasilkan Retensi Kemampuan
Berpikir Tingkat Tinggi Matematis siswa.

42

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

DAFTAR PUSTAKA
Christoph dan Zehender, I. (2006). Effectiveness of Reptile Species Identification-A Comparison
of A Dichotomous Key with An Identification Book. Euresia Juornal of Mathematics
Science and Technology Education. Vol 2, No 3 Hal 55 65.
Costa, A.L. Habits of Mind dalam A. L. Costa (Ed.) (2001). Developing Minds. A Resource
Book for Teaching Thinking. 3 rd Edidition. Assosiation for Supervision and
Curriculum Development. Virginia USA
Depdiknas. (2006). Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Matematika untuk SMP.
Jakarta: Ditjen Dikdasmen
Hassoubah, Z.I. (2004). Developing Creative & Critical Thinking Skills. Cara berpikir Kreatif &
Kritis. Bandung: Nuansa.
Herman, T. (2005). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Matematis Tingkat Tinggi Siswa Menengah Pertama (SMP). Disertasi UPI. Tidak
diterbitkan.
Hidayat, W. (2011). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa SMA
Melalui Pembelajaran Kooperatif Think-Talk-Write. Tesis UPI: Tidak diterbitkan.
Hidayat, W. dan Hamidah (2013). Mengembangkan Daya Matematik dan Retensinya, serta
Kecerdasan Emosional Siswa SMA Melalui Pembelajaran MEAs. Laporan Penelitian Hibah
Dosen Pemula Ditlitabmas Dikti. Tidak Dipublikasikan.
Hill, W. (2011). Teori-teori Pembelajaran Konsepsi, Komparasi, dan Signifikansi; (Penerjemah: M.
Khozim). Bandung: Nusa Media.
Ibrahim (2011). Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran dan Pemecahan Masalah
Matematis serta Kecerdasan Emosional Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Pada Siswa
SMA. Disertasi pada SPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Ismaimuza. (2010). Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis Siswa SMP Melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan Strategi Konflik Kognitif. Disertasi UPI: Tidak
diterbitkan.
Karim, A. (2010). Meningkatkan kemampuan Penalaran dan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP
Melalui Pembelajaran Model Reciprocal Teaching. Tesis UPI: Tidak diterbitkan.
Langrehr, J. (2003). Teaching Children Thinking Skills. Jakarta: PT Gramedia.
Minarni, A. (2012). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematis. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA
UNY 10 November 2012. mp-94
Musbikin, I. (2006). Mendidik Anak Kreatif ala Einstein. Yogyakarta: Mitra Pustaka
Nicholl, M. J. (2006). Accelerated Learning for The 21st Century (Cara Belajar cepat Abad 21).
Bandung: Nuansa.
Rahman. (2010). Peranan Pertanyaan terhadap Kekuatan Retensi dalam Pembelajaran Sains pada
Siswa SMS. Dalam Educare: Jurnal Pendidikan dan Budaya. [Online]. Tersedia:
http://educare.efkipunla.net/index2.html. [10 November 2011].
Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi UPI: tidak
diterbitkan.
Shadiq, F., (2007). Laporan Hasil Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika 15 16 Maret
2007 di P4TK (PPPG) Matematika. Yogyakarta.
Sugandi, A. I. (2010). Mengembangkan Kemampuan Berfikir Tingkat Tinggi Siswa SMA melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Setting Belajar Koopertaif JIGSAW. Disertasi pada
Sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan
Sukmadinata, N.S (2004). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sulistyoningsih, PA., Suyanto, I., dan Suyono. (2013). Pengaruh Rehearsal dan Interferensi
Terhadap Retensi Pada Belajar Matematika Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Di Kecamatan
Puring Tahun Ajaran 2010/2011. Kalam Cendekia PGSD Kebumen Vol. 2 No. 3 2013
Sumarmo, U, dkk. (2012). Kemampuan dan Disposisi Berpikir Logis, Kritis, dan Kreatif
Matematik (Eksperimen terhadap Siswa SMA Menggunakan Pembelajaran Berbasis
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

43

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Masalah dan Strategi Think-Talk-Write). Jurnal Pengajaran MIPA Universitas Pendidikan


Indonesia, Vol 17, No 1. Hal. 30.
Suryadi, D. (2004). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan
Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangkaian Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi. UPI Bandung : Tidak
dipublikasikan.
Tapilouw, F dan Setiawan, W. (2008). Meningkatkan Pemahaman dan Retensi Siswa Melalui
Pembelajaran Berbasis Teknologi Multimedia Interaktif (Studi Empirik pada Konsep Sistem
Saraf). Jurnal Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Vol 1, No 2, Desember
2008. Hal 21.
Yudha,A.S. (2004). Berpikir Kreatif Pecahkan Masalah. Bandung: Kompas Cyber Media.
Yusuf,
M.
(2011).
Teori
Pembelajaran
:
Retensi.
[online].
Tersedia:
http://yusufsila.blogspot.com/2011/10/teori-pembelajaran-retensi.html. [13 April 2013]
Zulkarnaen, R. (2009). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi
Matematik Siswa SMA Melalui Pendekatan Open-ended dengan Pembelajaran Kooperatif
Tipe Coop-coop. Tesis UPI: Tidak diterbitkan.

44

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

STRATEGI THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING


UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KELANCARAN
BERPROSEDUR DAN KOMPETENSI STRATEGIS
MATEMATIS SISWA SMP
M. Afrilianto 1, Tina Rosyana 2
1,2

STKIP Siliwangi
muhammadafrilianto@gmail.com , 2 tinarosyana@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menelaah peningkatan kemampuan
kelancaran berprosedur dan kompetensi strategismatematis siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan strategi TAPPS dibandingkan dengan yang memperoleh pembelajaran
biasa. Metode yangdigunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, dengan desain
kelompok kontrol pretes-postes. Populasinya seluruh siswa SMP Negeri Kota Bandung,
sedangkan sampelnyayaitu SMPNegeri 12 Bandung dan dipilih dua kelas VIII secara acak dari
seluruh kelas VIII yang ada.Kemudiandari kedua kelas tersebut ditetapkan secara acak yang
menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol.Kelas eksperimen memperoleh pembelajaran
dengan strategi TAPPS dan kelas kontrol memperoleh pembelajaran biasa. Instrumen
penelitian meliputi tes kelancaran berprosedur dan kemampuan kompetensi strategismatematis,
skala sikap siswa, dan lembar observasi.Pengolahan data untuk uji perbedaan dua rata-rata
menggunakan uji-t dan ujiMann-Whitney.Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)
Kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi strategis matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan strategi TAPPSlebih baik daripadayang memperoleh
pembelajaran biasa; (2) Peningkatan kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi
strategis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi TAPPSlebih baik
daripada yang memperoleh pembelajaran biasa; (3) Sikap siswa menunjukkan sikap yang
positif terhadap matematika, kegiatan pembelajaran dengan strategi TAPPS, dan terhadap soalsoal kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi strategis matematis siswa.
Kata Kunci: Keancaran Berprosedur, Kompetensi Strategis, Sikap, Strategi TAPPS

1. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini semakin kompetitif dan memerlukan
sumber daya manusia yang memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, memanfaatkan
informasi, sehingga menjadi sebuah pengetahuan serta menjadi alat untuk bertindak dan
mengambil keputusan yang tepat dalam setiap situasi.Ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus
berkembang pesat ini memungkinkan kita memperoleh informasi dengan cepat, mudah dan lengkap
yang dapat diperoleh dari berbagai sumber yang seolah-olah tidak dibatasi ruang, jarak dan waktu.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, matematika sebagai salah satu disiplin
ilmu dalam bidang pendidikan mempunyai peranan yang besar. Matematika bermanfaat dalam
perkembangan berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan penguasaan
matematika sejak dini dan matematika harus dipelajari pada semua jenjang pendidikan, agar
kemampuan siswa berkembang sesuai dengan tuntutan kehidupan di masa yang akan datang.
Dengan belajar matematika siswa dapat berlatih menggunakan pikirannya secara logis, analitis,
sistematis, kritis dan kreatif serta memiliki kemampuan bekerjasama dalam menghadapi berbagai
masalah. Pembentukan pola pikir siswa dapat dilihat dari kemampuan berupa kecakapan yang
dimiliki oleh siswa dalam menguasai matematika.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

45

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Perumusan tentang kemampuan atau kecakapan matematis yang harus dimiliki siswa diperkenalkan
oleh Mathematics Learning Study Committee, National Research Council (NRC) yang ditulis oleh
Kilpatrick, Swafford, dan Findell(2001) yaitu sebagai berikut: 1) Pemahaman konsep; 2)
Kelancaran berprosedur; 3) Kompetensi strategis; 4) Penalaran adaptif; 5) Berkarakter Produktif.
Menurut Suryadi (2012:35), kontribusi pendidikan matematika sedikitnya dapat ditinjau dari tiga
hal yaitu dari kebutuhan perkembangan anak, masyarakat, dan dunia kerja. Agar materi matematika
yang diberikan dapat menunjang kebutuhan perkembangan anak, maka dalam pengembangan
kurikulumnya (yang mencakup desain, implementasi, dan evaluasi) antara lain perlu
memperhatikan perkembangan kognitif anak dan kemampuan berpikirnya, serta tuntutan
kemampuan dasar matematik (conceptual understanding, procedural fluency, productive
disposition, strategic competence, dan adaptive reasoning) yang diperlukan untuk melanjutkan
studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Di dalam KTSP (2006) untuk pelajaran matematikajuga disebutkan bahwa pembelajaran
matematika pada jenjang SMPmemiliki tujuan agar siswa memiliki kemampuan: 1) Memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau
algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; 2) Menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 3) Memecahkan masalah
yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan
model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol,
tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5) Memiliki sikap
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan
minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.Tujuan dalamKTSP tersebut di atas,dan juga pada Kurikulum 2013 dimaksudkan
untuk:pengembangan ranah kognitif, afektif dan psikomotor (Sumarmo, 2014:5). Oleh karena itu,
kita sangat dituntut untuk mengembangkan hard skill dan soft skill matematik.
Menurut Sumarmo (2014:6-7), beberapa macam hard skill matematik yang perlu dikembangkan
pada siswa sekolah menengah antara lain adalah sebagai berikut: pemahaman matematik,
pemecahan masalah matematik, penalaran matematik, koneksi matematik, komunikasi matematik,
berpikir kritis matematik, berpikir kreatif matematik, dan berpikir reflektif matematik.Selain itu
menurut Kilpatrick, Swafford, dan Findell (2001:116) kemampuan atau kecakapan matematis yang
penting yang harus dimiliki siswa yaitu kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi
strategis matematis. Kemampuan kelancaran berprosedur (procedural fluency) yaitu kemahiran
siswa dalam menggunakan prosedur secara fleksibel, akurat, efisien dan tepat, sedangkan
kemampuan kompetensi strategis (strategic competence) yaitu kemampuan untuk merumuskan,
menyajikan, serta memecahkan masalah-masalah matematis.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi
strategis matematis siswa saat ini masih rendah.Siswa masih kesulitan untuk menyajikan masalah
dalam kehidupan sehari-hari ke dalam model matematis dan menentukan strategi yang tepat untuk
menyelesaikannya. Kondisi ini juga ditunjukkandari hasil Programme for International Student
Assessment (PISA). Indonesia sudah mengikuti PISA tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009. Pada PISA
2000, dalam bidang matematika, Indonesia berada di peringkat 39 dari 41 negara, dengan skor ratarata 367. Pada tahun 2003, 38 dari 40 negara, dengan skor rata-rata 360. Pada tahun 2006 skor ratarata naik menjadi 391, yaitu peringkat 50 dari 57 negara, sedangkan tahun 2009 skor rata-rata turun
menjadi 371 dengan peringkat 61 dari 65 negara (Balitbang, 2011).
Selain PISA, Indonesia juga menjadi peserta dalam Trends In International Mathematics and
Science Study (TIMSS).Selama mengikuti TIMSS tahun 1999, 2003 dan 2007, rata-rata skor
prestasi matematika siswa kelas VIII Indonesia berada signifikan di bawah rata-rata internasional,
yaitu 500. Pada tahun 1999, Indonesia berada di peringkat ke 34 dari 38 negara, dengan rata-rata
skor 403. Tahun 2003 berada di peringkat ke 35 dari 46 negara, dengan rata-rata skor 411, dan

46

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

tahun 2007 berada di peringkat ke 36 dari 49 negara, dengan rata-rata skor 397 (Balitbang, 2011).
Kemudian pada tahun 2011, Indonesia berada di peringkat ke 38 dari 45 negara, dengan rata-rata
skor 386 (TIMSS, 2011:487).
Sikap siswa terhadap matematika merupakan salah satu aspek internal yang berkaitan dengan
pelajaran matematika.Saat ini ada kecenderungan bahwa sikap siswa kurang positif terhadap
matematika.Mereka masih menganggap bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit dan
membosankan.Hal ini tentu mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa.Oleh karena itu,
diperlukan upaya untuk mengoptimalkan sikap positif siswa terhadap matematika, termasuk sikap
positif siswa terhadap pembelajaran dan soal-soal kemampuan matematis tertentu.Studi tentang
sikap siswa terhadap matematika dan pembelajaran matematika biasanya berkaitan erat dengan
prestasi siswa dalam matematika (Turmudi, 2008:80).Sikap atau perilaku dalam ranah afektif
merupakan komponen yang sangat penting kita pelajari.
Menurut Sumarmo (2014:5) perilaku dalam ranah afektif merupakan komponen soft skill
matematik. Soft skill matematik sebagai komponen proses berpikir matematik dalam ranah afektif
ditandai dengan perilaku afektif yang ditampilkan seseorang ketika melaksanakan hard skill
matematik. Perilaku afektif tersebut berkaitan dengan istilah disposisi, beberapa macam disposisi
yang merupakan komponen soft skill matematik di antaranya adalah: pendidikan nilai, budaya, dan
karakter, disposisi matematik, disposisi berpikir logis, disposisi berpikir kritis, disposisi berpikir
kreatif, kemandirian belajar (self regulated learning), self efficacy, self esteem, kebiasaan berpikir
cerdas (habits of mind), dan kecerdasan emosional (emotional intelligence). Kurikulum 2013
mengemukakan bahwa dalam pembelajaran matematika hard skill dan soft skill matematik
termasuk nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter harus dikembangkan secara bersamaan
dan seimbang melalui pembelajaran dengan pendekatan ilmiah.
Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi pembelajaran untuk dapat meningkatkan kemampuan
kelancaran berprosedur dan kompetensi strategis matematis.Strategi tersebut dapat membuat siswa
aktif, melatih siswa berkolaborasi dan saling membantu dalam menyelesaikan masalah yang
diberikan serta memberikan peluang kepada siswa untuk menemukan sendiri dan memahami
materi lebih mendalam. Reys et. al (1998:75) mengemukakan bahwamenyelesaikan suatu masalah
dapat dikerjakan dengan mudah melalui diskusi pada kelompok besar, tetapi proses pemecahan
masalah akan lebih praktis bila dilakukan dalam kelompok kecil yang bekerja secara bersamasama. Hal tersebut juga ditunjang oleh pendapat Damon dan Murray (Slavin, 1995) yang
menyatakan bahwa interaksi antar rekan sebaya memegang peranan penting dalam meningkatkan
pemahaman suatu konsep.
Salah satu strategi pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kelancaran
berprosedur dan kompetensi strategis matematis siswa adalah strategi Thinking Aloud Pair
Problem Solving (TAPPS).Strategi TAPPS merupakan strategi pembelajaran pemecahan masalah
yang melibatkan siswa dalam bekerjasama secara berpasangan untuk memecahkan masalah.Jadi,
aktivitas strategi TAPPS dilakukan dalam kelompok kecil yang heterogen.
Sikap siswa terhadap pembelajaran dengan strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)
dapat dipandang sebagai cerminan proses pembelajaran yang terjadi di kelas. Proses pembelajaran
yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif memahami dan memecahkan masalah
tersebut serta diberi kesempatan untuk berinteraksi serta berdiskusi baik dengan pasangan siswa
maupun dengan guru, akan memungkinkan siswa merasa senang dan termotivasi untuk belajar.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berpendapat bahwa sangat diperlukan adanya penelitian
tentang strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving untuk meningkatkan kemampuan kelancaran
berprosedur dan kompetensi strategismatematis siswa SMP.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

47

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

a.

b.

c.

Apakah kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi strategis matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan strategi TAPPSlebih baik daripada yang memperoleh
pembelajaran biasa?
Apakah peningkatan kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi strategis matematis
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi TAPPSlebih baik daripada yang
memperoleh pembelajaran biasa?
Bagaimana sikap siswa terhadap matematika, kegiatan pembelajaran dengan strategi TAPPS,
dan terhadap soal-soal kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi strategis
matematis?

Tujuan penelitian ini sebagai berikut:


a. Mengetahui dan menelaah kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi strategis
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi TAPPSdibandingkan
denganyang memperoleh pembelajaran biasa.
b. Mengetahui dan menelaah peningkatan kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi
strategis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi
TAPPSdibandingkan denganyang memperoleh pembelajaran biasa.
c. Mengetahui dan menelaahsikap siswa terhadap matematika, kegiatan pembelajaran dengan
strategi TAPPS, dan terhadap soal-soal kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi
strategismatematis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan yang berarti bagi semua
pihak, terutama bagi guru, siswa dan para peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian
ini.Manfaat dari penelitian inidiantaranya sebagai berikut:
a. Bagi guru: hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif
strategipembelajaran di kelas untuk memberikan variasi dalam pembelajaran.
b. Bagi siswa: dapat memberi pengalaman baru bagi siswa dan mendorong siswa untuk
meningkatkan kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi strategis matematis,
sehingga berimplikasi pada peningkatan kemampuan matematiknya.

2.

Kajian Pustaka

2.1.

Kelancaran Berprosedur Matematis

Menurut Kilpatrick, Swafford dan Findell (2001:116), kecakapan matematik terdiri dari lima
kecakapan dasar yang harus dikuasai siswa, dan perlu dikembangkan dalam pembelajaran
matematika di sekolah, yaitu:
a. Pemahaman Konsep (conceptual understanding)
Pemahaman konsep adalah kemampuan dalam memahami konsep, operasi dan relasi dalam
matematika.
b. Kelancaran Berprosedur (procedural fluency)
Kelancaran berprosedur merupakan kemampuan yang mencakup pengetahuan mengenai
prosedural, pengetahuan mengenai kapan dan bagaimana menggunakan prosedur yang sesuai,
serta kemampuan dalam menjalankan prosedur secara fleksibel (luwes), akurat,efisien dan
tepatuntuk menyelesaikan suatu masalah.
c. Kompetensi Strategis (strategic competence)
Kompetensi Strategis merupakan suatu kemampuan untuk merumuskan, menyajikan, dan
menyelesaikan masalah matematika.
d. Penalaran Adaptif (adaptive reasoning)
Penalaran adaptif merupakan kapasitas untuk berpikir secara logis mengenai hubungan antara
konsep dan situasi, melakukan refleksi (perenungan), serta memberikan penjelasan dan
pembenaran.

48

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

e. Berkarakter Produktif (productive disposition)


Berkarakter Produktif merupakan tumbuhnya sikap positifterhadap matematika, memiliki
kebiasaan untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang masuk akal, bermakna dan
bermanfaat dalam kehidupan, memiliki rasa percaya diri tinggi, dan senang bekerja keras.
Kelancaran berprosedur (procedural fluency) adalah kemahiran siswa dalam menggunakan
prosedur secara fleksibel, akurat, efisien dan tepat (Kilpatrick, Swafford, dan
Findell,2001:116).Indikator untuk kemampuan kelancaran berprosedur menurut Kilpatrick,
Swafford, dan Findell (2001:121) adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Menggunakan prosedur.
Memperkirakan hasil suatu prosedur.
Memodifikasi atau memperbaiki prosedur.
Mengembangkan prosedur.

2.2.

Kompetensi Strategis Matematis

Kompetensi Strategis(strategic competence) merupakan suatu kemampuan untuk merumuskan,


menyajikan, dan menyelesaikan masalah matematika (Kilpatrick, Swafford, dan Findell,2001:116).
Indikator untuk kemampuan kompetensi strategis menurut Kilpatrick, Swafford, dan Findell
(2001:124) adalah sebagai berikut:
a. Memilih informasi yang relevan dengan masalah;
b. Menyajikan suatu masalah dalam berbagai bentuk representasi matematis;
c. Memilih strategi untuk memecahkan masalah;
d. Menyelesaikan masalah.
2.3.

Strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)

Pada strategi TAPPS, siswa di kelas dibagi menjadi beberapa tim, setiap tim terdiri dari dua orang.
Satu orang menjadi problem solver (PS) dan satu orang lagi menjadi listener (L). Ada kalanya
jumlah siswa dalam satu kelas tidak genap, sehingga memungkinkan terdapat tim yang yang terdiri
dari 3 siswa. Apabila hal tersebut terjadi, maka peran problem solver dan listener dilakukan secara
bergantian.Setiap anggota tim memiliki tugas masing-masing yang mengikuti aturan yang sudah
ditetapkan (Stice, 1987).
Menurut Lochhead (Hartman, 1998), pada strategi TAPPS terdapat beberapa aturan yang sudah
ditetapkan.Problem solver (PS) membaca soal/permasalahan dan kemudian dilanjutkan dengan
mengungkapkan semua hal yang terpikirkan untuk menyelesaikan masalah dalam soal
tersebut.Tugas listener harus mencoba menjaga problem solver tetap berbicara.
Berikut merupakan perincian langkah-langkah pemecahan masalah yang dilakukan oleh problem
solver dan listener yang dikemukakan Stice (1987).
a. Dibentuk kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang siswa yang berperan sebagai
problem solver dan listener. Kemudian diberikan permasalahan.
b. Problem solver mengemukakan semua pendapat serta gagasan yang terpikirkan kemudian
mengungkapkannya dengan kata-kata. Mengemukakan semua langkah yang dilakukan
sebelum mulai menyelesaikan suatu masalah, misalnya apa yang akan dilakukan, kapan,
mengapa dan bagaimana, mengemukakan semua pemikiran yang digunakan saat
menyelesaikan masalah.
c. Listener membantu problem solver melihat apa yang harus dikerjakan. Hal ini berarti
seorang listener harus membuat agar problem solver mengungkapkan apa yang problem
solver lakukan.
d. Listener ikut berpikir bersama problem solver, mengikuti setiap langkah dan mengerti setiap
langkah tersebut. Jika tidak mengerti, maka bertanya kepada problem solver.
e. Listener mengikuti dan memeriksa langkah penyelesaian masalah yang diambil problem
solver dengan cara memeriksa langkah atau perhitungan yang dilakukan oleh problem

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

49

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

f.
g.

3.

solver, jika listener menemukan kesalahan yang dibuat oleh problem solver, hindarkan untuk
mengoreksi, bantu problem solver memecahkan masalah dengan cara memberikan
pertanyaan penuntun yang mengarah ke jawaban yang benar.
Setelah problem solver dapat memecahkan masalah, maka siswa bertukar posisi antara yang
bertugas sebagai problem solver dan listener untuk menyelesaikan permasalahan lain.
Langkah b sampai f terus berulang sampai semua permasalahan dapat diselesaikan.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Desain kelompok kontrol
pretes-postesmelibatkan paling tidak dua kelompok (Ruseffendi, 2010:50).Pada jenis desain
eksperimen ini terjadi pengelompokan subjek secara acak, jadi dari kelas yang ada dilakukan
pengacakan untuk memilih dua kelas yang dijadikan subjek penelitian. Desain penelitiannya
berbentuk:
A
O
X
O
A
O
O
Keterangan:
A
: Pengambilan sampeldipilih secara acak menurut kelas
O
: Pretes =
postes (tes kemampuan kelancaran berprosedur dan
strategismatematis)
X
: Pembelajaran dengan strategi TAPPS.

kompetensi

Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswa SMP Negeri Kota Bandung, sedangkan
sampelnya dipilih SMP Negeri 12 Bandung dan dipilih dua kelas VIII secara acak dari kelas VIII
yang ada.Kemudiandari kedua kelas tersebut ditetapkan secara acak yang menjadi kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen memperoleh pembelajaran dengan strategi TAPPS
yang selanjutnya disingkat PTAPPS, sedangkan kelas kontrol memperoleh pembelajaran biasa
yang selanjutnya disingkat PB.
Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes dan non-tes.Instrumen tes berupa tes berbentuk
uraian untuk mengukur kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi strategis matematis
siswa yang dipakai untuk pretes dan postes. Instrumen non-tes berupa (1) skala sikap untuk
mengetahui sikap siswa terhadap matematika, kegiatan pembelajaran dengan strategi TAPPS dan
terhadap soal kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi strategismatematis; (2) lembar
observasi, untuk mengetahui kegiatan guru dan siswa selama pembelajaran. Berdasarkan skor
pretes prosedur dan postes dihitung peningkatan yang terjadi pada masing-masing siswa dengan
menggunakan rumus gain ternormalisasi (N-Gain).

4.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Analisis data yang digunakan meliputi analisis statistik deskriptif dan inferensial. Semua data
diolah dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel2007dan software SPSS 16. Berikut ini
diuraikan hasil dari penelitian ini.
Analisis data postes bertujuan untuk mengetahui kemampuan akhir kelancaran berprosedur dan
kemampuan kompetensi strategis matematis siswa antara kelas PTAPPS dan kelas PB.Sebelum
dilakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat, yaitu uji normalitas data, dan uji
homogenitas varians.
Pada perhitungan data postes kemampuan kelancaran berprosedur matematis siswa berasal dari
populasi yang tidak berdistribusi normal, maka untuk selanjutnya digunakan uji non-parametrik,
yaitu uji Mann-Whitney. Berikut ini hasil uji perbedaan rata-rata data postes kemampuan
kelancaran berprosedur matematis:

50

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


Tabel 1. Hasil Uji Perbedaan Rata-rata
Postes Kemampuan Kelancaran Berprosedur Matematis
Aspek
Kemampuan

Uji Mann-Whitney

Asymp.Sig.
(2-tailed)

Asymp.Sig.
(1-tailed)

Kesimpulan

101,500

0,000

0,000

Tolak H0

Kelancaran
Berprosedur
Matematis

Berdasarkan uji Mann-Whitney pada Tabeldi atas, diperoleh nilai Sig. (2-tailed) = 0,000, maka nilai
Sig. (1-tailed) = 0,000. Nilai Asymp.Sig (1-tailed) sebesar 0,000 kurang dari = 0,05, sehingga H 0
ditolak dan H1 diterima. Hal ini berarti bahwa kemampuan kelancaran berprosedur matematis siswa
yang memperoleh PTAPPS lebih baik daripada yang memperoleh PB.
Berdasarkan hasil uji normalitas data postes kemampuan kompetensi strategis matematis siswa,
diperoleh bahwa data postes kemampuan kompetensi strategis matematis siswa juga berasal dari
populasi yang tidak berdistribusi normal.Oleh karena itu, untuk selanjutnya digunakan uji nonparametrik, yaitu uji Mann-Whitney. Berikut ini hasil uji perbedaan rata-rata data postes
kemampuan kompetensi strategis matematis:
Tabel 2. Hasil Uji Perbedaan Rata-rata
Postes Kemampuan Kompetensi Strategis Matematis
Aspek Kemampuan

Uji Mann-Whitney

Asymp.Sig.
(2-tailed)

Asymp.Sig.
(1-tailed)

Kesimpulan

35,000

0,000

0,000

Tolak H0

Kompetensi
Strategis Matematis

Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney pada Tabel di atas, diperoleh nilai Sig. (2-tailed) = 0,000,
maka nilai Sig. (1-tailed) = 0,000. Nilai Asymp.Sig (1-tailed) sebesar 0,000 kurang dari = 0,05,
sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan kompetensi strategis
matematis siswa yang memperoleh PTAPPS lebih baik daripada yang memperoleh PB.
Pada analisis dataN-Gain, diperoleh bahwa data N-Gain kemampuan kelancaran berprosedur
matematis berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, dan memiliki varians yang tidak
homogen. Selanjutnya uji statistik untuk menguji perbedaan rata-rata data N-Gain kemampuan
kelancaran berprosedur matematis menggunakan uji-t. Hasilnyadapat dilihat pada Tabel berikut
ini:
Tabel 3. Uji Perbedaan Rata-rata
N-GainKemampuan Kelancaran Berprosedur Matematis
Hasil Uji

Gain ternormalisasi Kelancaran


Berprosedur Matematis

Uji-t

8,288

Asymp.Sig.(2-tailed)

0,000

Asymp.Sig.(1-tailed)

0,000

Kesimpulan

Tolak H0

Dapat dilihat pada Tabeldi atas, bahwa nilai Asymp.Sig.(1-tailed) adalah 0,000 kurang dari nilai =
0,05, maka H0 ditolak atau H1 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

51

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kelancaran berprosedur matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan TAPPS lebih baik
daripada yang memperoleh pembelajaran biasa.
Selanjutnya, hasil pengolahan data N-Gainkemampuan kompetensi strategis matematis
menggunakan uji Mann-Whitney, dapat dilihat pada Tabel berikut ini:
Tabel 4. Hasil Uji Perbedaan Rata-rata
N-Gain Kemampuan Kompetensi StrategisMatematis

Hasil Uji

Gain ternormalisasi Kompetensi


Strategis Matematis

Uji Mann-Whitney
Asymp.Sig.(2-tailed)
Asymp.Sig.(1-tailed)
Kesimpulan

16,500
0,000
0,000
Tolak H0

Dapat dilihat pada Tabel di atas, bahwa nilai Asymp.Sig.(1-tailed) adalah 0,000 kurang dari nilai ,
maka H0 ditolak atau H1 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan
kompetensi strategis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan TAPPS lebih baik
daripada yang memperoleh pembelajaran biasa.

5.

Simpulan, Saran dan Rekomendasi

Dari hasil penelitian ini diperoleh simpulan sebagai berikut:


a. Kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi strategis matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan strategi TAPPSlebih baik daripada yang memperoleh
pembelajaran biasa.
b. Peningkatan kemampuan kelancaran berprosedur dan kompetensi strategis matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan strategi TAPPSlebih baik daripada yang memperoleh
pembelajaran biasa.
c. Hasil penilaian sikap siswa, menunjukkan sikap yang positif terhadap keseluruhan aspek
pembelajaran dengan strategi TAPPS.
Berdasarkan simpulan di atas, maka peneliti mengemukakan saran dan rekomendasi berikut ini:
a. Bagi guru matematika, pembelajaran dengan strategi TAPPS sebaiknya digunakan sebagai salah
satu alternatif strategi pembelajaran untuk diimplementasikan dalam pembelajaran matematika
di kelas, terutama untuk meningkatkan kemampuankelancaran berprosedur dan kompetensi
strategis matematis siswa.
b. Perlu dilakukan penelitian lanjutan, tetapi pada jenjang kelas yang lebih tinggi atau rendah.
Peneliti juga merekomendasikan agar dilakukan penelitian serupa pada jenjang pendidikan
lainnya seperti SD/MI, SMA-sederajat, dan perguruan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang). (2011). Laporan Hasil TIMSS 2007.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
___________. (2011). Laporan Hasil PISA 2009. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hartman, (1998). Improving Students Problem Solving Skills.[Online]. Tersedia:
http://www.ccny.cuny.edu/ctl/handbook/hartman.html. [Agustus 2014].
Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, B. (Eds.). (2001). Adding it Up: Helping Children Learn
Mathematics. Washington, DC: National Academy Press.
Reys, R. E., Suydam, M. N., Lindquist, M. M., & Smith, N. L. (1998). Helping Chidren Learn
Mathematics (5thed). Massachusetts: Allyn and Bacon.
52

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Ruseffendi,E.T. (2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan & Bidang NonEksakta Lainnya.


Bandung: Tarsito.
Slavin, R.E. (1995). Cooperatif Learning: Theory, Research, and Practice. Second Edition.
Massachussetts: Allyn and Bacon Publishers.
Stice,
J.E.
(1987).
Teaching
Problem
Solving.[Online].
Tersedia:
http://wwwcsi.unian.it/educa/problemsolving/stice_ps.html. [5 Februari 2014].
Sumarmo,U. (2014). Pengembangan Hard Skill dan Soft Skill Matematik bagi Guru dan Siswa
untuk Mendukung Implementasi Kurikulum 2013. Makalah disajikan pada Seminar Nasional
Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung: Tidak diterbitkan.
Suryadi, D. (2012). Membangun Budaya Baru dalam Berpikir Matematika. Bandung: Rizqi Press
bekerja sama dengan SPs UPI.
Tim KTSP (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.Jakarta: Depdiknas.
TIMSS
(2011).
International
Result
in
Mathematics.
[Online].
Tersedia:
http://timssandpirls.bc.edu/timss2011/downloads/T11_IR_M_AppendixG.Pdf. [22Agustus
2014].

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

53

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

ANALISIS KEMAMPUAN MEMAHAMI MATERI


ALJABAR SEKOLAH DAN DISPOSISI MATEMATIS GURU
SEKOLAH DASAR
Didi Suhaedi 1, Tia Purniati 2
1

Jurusan Matematika, Universitas Islam Bandung


Jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia
1
dsuhaedi@hotmail.com; 2 tpurniati@yahoo.com

ABSTRAK
Aljabar sangat mendasari bagi perkembangan teknologi masa kini dan masa depan (Katz,
2007). Oleh karena itu, aljabar harus dipelajari dan dikuasai oleh siswa. Guru merupakan
bagian penting yang turut menentukan keberhasilan siswa dalam menguasai materi aljabar
sekolah. Disposisi matematis yang dimiliki guru berkontribusi terhadap keberhasilan siswa
dalam menguasai aljabar sekolah. Dalam makalah ini akan disajikan analisis kemampuan
memahami materi aljabar sekolah (khususnya materi perpangkatan dan penarikan akar
bilangan) dan disposisi matematis yang dimiliki oleh guru sekolah dasar. Data penelitian
diperoleh pada tahun 2014 dari dua puluh dua guru sekolah dasar di Kota Cimahi dan
sekitarnya.
Kata Kunci: Aljabar Sekolah, disposisi matematis

1.

Pendahuluan

Kurikulum matematika sekolah terdiri dari bebagai topik materi, seperti geometri, aritmetika,
statistika, dan aljabar. Aljabar sekolah sebagai materi yang wajib dipelajari oleh siswa, merupakan
materi yang terus menerus diteliti oleh para peneliti dan pemerhati pendidikan matematika di
berbagai belahan dunia. Indikasi ini paling tidak dapat dilihat atas karya NCTM (2008) yang
meluncurkan Yearbook tentang Aljabar dan Berpikir Aljabar dalam Matematika Sekolah, dan
monograp yang dipublikasikan oleh Cai dan Knuth (2011) tentang Early Algebraization: suatu
Dialog secara Global dari Berbagai Perspectif .
Konsep aljabar banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di era teknologi digital
sekarang ini. Aljabar Boolean banyak digunakan dalam teknologi komputer digital. Nyatanya,
pekerjaan kita sehari-hari banyak menggunakan bantuan komputer. Berkenaan dengan ini, kiranya
tidaklah berlebihan jika Katz (2007) mengatakan bahwa aljabar merupakan gerbang bagi teknologi
mendatang.
Keberhasilan siswa di kelas dalam menguasai materi-materi aljabar sekolah tentunya banyak
diwarnai oleh peran guru sebagai penyampai materi pelajaran, motivator, dan fasilitator belajar
siswa. Guru bagian dari posisi kunci yang turut mengantarkan keberhasilan siswa dalam menguasai
materi-materi aljabar sekolah. Pepatah mengatakan uyah mah tara tees ka luhur. Hal ini
memberikan makna bahwa sifat baik maupun jelek guru (sebagai orang tua di sekolah) akan
menurun kepada anak didiknya. Oleh karena itu guru (selaku pendidik) harus memberi teladan
yang baik, sesuai ungkapan Ki Hadjar Dewantara : ing ngarsa sung tulada.
Dalam pembelajaran matematika (aljabar), sikap positif guru terhadap matematika (disposisi
matematis) memiliki kontribusi terhadap keberhasilan siswa dalam menguasai aljabar sekolah.
Dalam makalah ini akan disajikan analisis kemampuan memahami materi aljabar sekolah
(khususnya materi perpangkatan dan penarikan akar bilangan) dan disposisi matematis yang

54

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

dimiliki oleh guru sekolah dasar. Data penelitian diperoleh pada tahun 2014 dari 22 guru sekolah
dasar di Kota Cimahi dan sekitarnya.

2.

Metodologi Penelitian

Data penelitian terdiri dari data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dengan
memberikan tes uraian untuk materi perpangkatan dan penarikan akar bilangan, sedangkan data
kualitatif diperoleh melalui pengisian skala disposisi matematis terhadap guru-guru sekolah dasar.
Data penelitian diperoleh dari dua puluh dua guru sekolah dasar di wilayah Kota Cimahi dan
sekitarnya.

3.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Data kemampuan guru sekolah dasar dalam menguasai materi perpangkatan dan penarikan akar
bilangan dilakukan dengan memberikan dua soal sebagai berikut.
Soal 1.
Diketahui persamaan 32n - 729 = 0. Berapakah nilai n yang memenuhi persamaan tersebut?
Soal 2.
Berapakah nilai x yang memenuhi persamaan :

4x 3 8x 5
4

Rekapitulasi jawaban yang diberikan oleh dua puluh dua guru sekolah dasar di wilayah Cimahi dan
sekitarnya disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 3.1 Rekapitulasi Jawaban Guru Sekolah Dasar
Rata-rata
Nilai maks
Nilai min
SD
Skor Maksimal Ideal = 30

19,205
25,500
11,250
3,972

0,640
0,850
0,375
0,132

Tabel 3.1 di atas memberikan informasi bahwa normalisasi rata-rata kemampuan guru dalam
menyelesaikan aljabar sekolah adalah 0,640 (atau setara dengan 64 untuk skala penilaian 1 sampai
100). Dari skor ini, tampaknya kemampuan guru dalam penguasaan materi perpangkatan dan
penarikan akar bilangan, harus terus-menerus ditingkatkan, baik melalui studi lanjut ke jenjang
yang lebih tinggi ataupun melalui workshop-workshop. Walaupun memang, tidak seluruh
(responden) merupakan guru matematika, tetapi sebagian besar dari responden merupakan guru
kelas (yang tentunya juga mengajar pelajaran matematika) di sekolah dasar.
Sesuai dengan tema seminar yang menyoroti tentang kemampuan softskill dan hardskill, maka pada
makalah ini dibahas kemampuan afektif guru, yakni kemampuan disposisi matematis. Pengukuran
disposisi matematis yang dimiliki oleh guru sekolah dasar dilakukan dengan menggunakan enam
aspek sebagai berikut: percaya diri dalam mengerjakan tugas-tugas matematika (aspek 1); gigih
dan tekun dalam mengerjakan tugas-tugas matematika (aspek 2); fleksibel dan terbuka dalam
melakukan eksplorasi ide dan mencoba metode- metode penyelesaian matematis (aspek 3);
mempunyai rasa ingin tahu untuk menemukan hal baru dalam menyelesaikan masalah matematis
(aspek 4); melakukan monitoring dan refleksi terhadap proses berpikir dan kinerja (aspek 5);
menghargai kegunaan matematika, baik peranan matematika dalam disiplin ilmu lain maupun
peranan matematika dalam kehidupan sehari-hari (aspek 6).
Tabel 3,2 menampilkan data disposisi matematis dari dua puluh dua guru sekolah dasar yang
berada di Kota Cimahi dan sekitarnya.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

55

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


Tabel 3.2. Data Disposisi Matematis

Skor Maksimal Ideal


Jumlah Responden

Aspek 1
29
22

Aspek 2
27
22

Aspek 3
19
22

Aspek 4
27
22

Aspek 5
23
22

Aspek 6
16
22

638
401
0,629

594
404
0,680

418
280
0,670

594
382
0,643

506
350
0,692

352
292
0,830

Kumulatif SMI
Skor Kumulatif Disposisi
Normalisasi TK

Data pada Tabel 3.2 di atas dapat direpresentasikan secara visual dengan diagram sebagai berikut:
Aspek 6
20,02%

Aspek 1
15,17%

Aspek 2
16,42%

Aspek 5
16,70%

Aspek 4
15,52%

Aspek 3
16,17%

Aspek
1
Aspek
2
Aspek
3

Gambar 3.1. Disposisi Matematis Guru Sekolah Dasar

Gambar 3.1 di atas menunjukkan bahwa prosentase disposisi matematis tertinggi berada pada aspek
keenam (sebesar 20,02%) dengan nilai normalisasi disposisi matematis sebesar 0,830. Hal ini
berarti bahwa guru sekolah dasar di Kota Cimahi dan sekitarnya memiliki sikap yang tinggi
terhadap kegunaan matematika, baik peranan matematika dalam disiplin ilmu lain maupun
peranan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, dengan melihat nilai aspek 1
(sebesar 0,622) nampaknya percaya diri guru dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika
harus ditingkatkan lagi. Karena rasa percaya diri guru dalam menyelesaikan tugas matematika akan
memiliki pengaruh terhadap hasil belajar siswa dalam matematika. Hal ini senada dengan pepatah
sunda uyah mah tara tees ka luhur; ing ngarsa sung tulada (dari Ki Hadjar Dewantara);
bagaimana mungkin bayangan akan lurus, apabila tongkatnya saja bengkok (dari Imam AlGazali).
Adakah hubungan antara kemampuan guru (dalam penguasaan materi perpangkatan dan penarikan
akar bilangan) dengan disposisi matematis yang dimiliki oleh guru sekolah dasar? Terhadap
permasalahan tersebut diajukan hipotesis sebagai berikut:
H0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel
H1 : Ada korelasi antara dua variabel
dengan dasar pengambilan keputusan adalah: Jika propbabilitas > 0,025 maka H0 diterima; Jika
propbabilitas < 0,025 maka H0 ditolak
Ringkasan hasil uji korelasi antara data kemampuan guru (dalam penguasaan materi perpangkatan
dan penarikan akar bilangan) dengan data disposisi matematis, dengan menggunakan software
SPSS disajikan pada tabel sebagai berikut:

56

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


Tabel 3.3. Korelasi Kemampuan Menguasai Materi Perpangkatan dan Penarikan Akar Bilangan dan
Disposisi Matematis Guru Sekolah Dasar
Correlations

Aljabar
Spearman's rho
Disposisi

Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N

Aljabar
1,000
.
22
,320
,146
22

Disposisi
,320
,146
22
1,000
.
22

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai sig = 0,146, lebih besar dari 0,025. Hal ini berarti hipotesis
H0 diterima. Dengan demikian tidak ada korelasi signifikan antara penguasaan materi perpangkatan
dan penarikan akar bilangan dengan disposisi matematis guru sekolah dasar. Tetapi, dengan
memperhatikan koefisien korelasi (sebesar 0,320), hal ini memberikan makna bahwa sebenarnya
ada korelasi positif antara kemampuan penguasaan materi perpangkatan dan penarikan akar
bilangan dan disposisi matematis guru sekolah dasar. Walaupun nilai korelasinya relatif kecil, dan
secara statistik korelasinya tidak cukup signitikan.

4.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan guru sekolah dasar dalam
menguasai materi perpangkatan dan penarikan akar bilangan hendaknya terus ditingkatkan lagi.
Disposisi matematis yang dimiliki oleh guru boleh dikatakan berada dalam level sedang. Dari hasil
uji statistik dapat diketahui bahwa kemampuan guru dalam menguasai materi perpangkatan dan
penarikan akar bilangan berkorelasi positif (walaupun tidak cukup signifikan) dengan disposisi
matematis yang dimiliki guru. Semakin tinggi kemapuan guru dalam menguasai materi
perpangkatan dan penarikan akar bilangan maka semakin tinggi pula disposisi matematis yang
dimiliki guru, dan juga sebaliknya semakin tinggi disposisi matematis yang dimiliki guru maka
semakin tinggi pula kemapuan guru dalam menguasai materi perpangkatan dan penarikan akar
bilangan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2013). Kamus Daring Babasan & Paribasa Sunda. [Online]. Tersedia:
http://angade.my.id/kamus-daring-babasan-paribasa-sunda/ [20 November 2014].
Anonim.
(2014).
Ki
Hadjar
Dewantara.
[Online].
Tersedia:
http://id.wikiquote.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara. [20 November 2014]
Anonim.
(2014).
Pemikiran
Imam
Ghazali.
[Online].
Tersedia:
http://darunnajah.ac.id/2014/04/12/pemikiran-imam-ghazali/ [20 November 2014].
Cai, J. dan Knuth, E. (2011). Early Algebraization: A Global Dialogue from Multiple Perspectives
(pp. 2541). New York: Springer.
Katz, V. J. (2007). Algebra: Gateway to a Technological Future. Columbia: University of the
District of Columbia.
National Council of Teachers of Mathematics [NCTM]. (2008). Algebra and Algebraic Thinking in
School Mathematics. Reston, VA: NCTM.
Santoso, S. (2011). Mastering SPSS Versi 19. Jakarta: Gramedia.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

57

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

INTEGRASI MATEMATIKA DAN ISLAM DALAM


PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Samsul Maarif
Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta
sams_andromeda@yahoo.com

ABSTRAK
Pembelajaran matematika harus mengalami perubahan dalam konteks perbaikan mutu
pendidikan sehingga dapat meningkatkan hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu,
upaya terus dilakukan untuk terwujudnya suatu pembelajaran yang inovatif sesuai dengan
perkembangan zaman dan tekhnologi. Disamping pendidikan diselaraskan dengan kemajuan
teknologi, pendidikan juga diharapkan dapat membangun nilai dan watak dari setiap peserta
didik melalui nilai-nilai agama.Al-Quaran merupakan kitab suci umat islam yang merupakan
sumber dari segala sumber ilmu. Keagungannya tidak akan tertandingi dan tak jua lekang oleh
zaman. Oleh karenaya kita sebagai umat muslim patut dan menjadi keharusan menjadikan AlQuran sebagai rujukan utama untuk pengembangan ilmu sebelum merujuk kepada teori
ataupun konsep-konsep lainnnya. Pandangan seperti tersebut tidaklah salah karena Al-Quran
sangat berpengaruh pada pengembangan bidang ilmu. Hal tersebut terlihat jelas adanya
penghargaan yang teramat tinggibagi mereka yang beriman dan berilmu dibandingkan dengan
orang yang biasa-biasa saja (Al-Mujadalah: 11). Hal tersebut menunjukan Al-Quran sangat
konsen dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, perlu kiranya dunia
pendidikan tidak terkecuali dalam pembelajaran matematika mengintegrasikan nilai-nilai yang
terkandung dalam agama islam dalam setiap pembelajaran. Sehingga, selain dapat mempelajari
matematika siswa juga dapat mempelajari keagungan Alloh melalui pendekatan materi-materi
matematika.
Kata Kunci: Matematika, Islam, Pembelajaran Matematika

1.

Pendahuluan

Pembelajaran matematika harus mengalami perubahan dalam konteks perbaikan mutu pendidikan
sehingga dapat meningkatkan hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu, upaya terus
dilakukan untuk terwujudnya suatu pembelajaran yang inovatif sesuai dengan perkembangan
zaman dan tekhnologi. Disamping pendidikan diselaraskan dengan kemajuan teknologi, pendidikan
juga diharapkan dapat membangun nilai dan watak dari setiap peserta didik melalui nilai-nilai
agama. Seperti yang tersurat dalam sebuah kata bijak bahwa ilmu tanpa agama buta dan agama
tanpa ilmu pincang sehingga keduanya harus menjadi fondasi dalam setiam pembelajaran
khususnya pada pembelajaran matematika yang kesemuanya itu demi tercapainya tujuan
pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang berbunyi Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu cara dan sarana untuk mencapai
perkembangan dunia Muslim . Islam menyerukan umat Islam untuk mengejar pengetahuan dalam
arti luas kata . Nabi Muhammad mengatakan , " Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim
. " (H.R. Ibnu Majah ). Dia juga mengatakan , " Bagi orang yang tapak jalan menuju pengetahuan,
Allah akan memudahkan jalan ke surga.

58

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Al-Quaran merupakan kitab suci umat islam yang merupakan sumber dari segala sumber ilmu.
Keagungannya tidak akan tertandingi dan tak jua lekang oleh zaman. Oleh karenaya kita sebagai
umat muslim patut dan menjadi keharusan menjadikan Al-Quran sebagai rujukan utama untuk
pengembangan ilmu sebelum merujuk kepada teori ataupun konsep-konsep lainnnya. Pandangan
seperti tersebut tidaklah salah karena Al-Quran sangat berpengaruh pada pengembangan bidang
ilmu. Hal tersebut terlihat jelas adanya penghargaan yang teramat tinggibagi mereka yang beriman
dan berilmu dibandingkan dengan orang yang biasa-biasa saja (Al-Mujadalah: 11).
Alloh juga telah menegaskan bahwa dalam pengembangan ilmu perlu menganalisis suatu kejadian
dengan menggunakan logika yang kita miliki serta berpikir sistematis. Dalam surat Al-Ala: 1-6
Alloh berfirman: Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. Yang menciptakan dan
menyempurnakan-(nya). Dan yang menentukan lalu menunjukkan. Dan yang menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan. Lalu dijadikannya tumbuh-tumbuhan itu kering kehitam-hitaman. Akan Kami
bacakan kepadamu maka kamu tidak lupa.Dari ayat tersebut bagaimana Alloh memerintahkan
manusia untuk menganalisis kejadian suatu objek dan bagaimana juga terciptanya tumbuhtumbuhan. Hal tersebut menunjukan Al-Quran sangat konsen dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.Betapa proses sistematis, analisis dan eksplorasi suatu objek sudah ditunjukkan dalam
Al-Quran. Sehingga, perlu kiranya dunia pendidikan tidak terkecuali dalam pembelajaran
matematika mengintegrasikan nilai-nilai yang terkandung dalam agama islam dalam setiap
pembelajaran. Sehingga, selain dapat mempelajari matematika siswa juga dapat mempelajari
keagungan Alloh melalui pendekatan materi-materi matematika.

2.

Sifat Matematika

Pendidikan matematika tidak dapat terlepas dari matematika itu sendiri. Oleh karena itu, untuk
mengintegrasi matematika dan islam dalam pembelajaran matematika maka lebih baik jika dikaji
terlebih dahulu sifat-sifat matematika sebagai ilmu ppengetahuan. Menurut Suparni (2011) sifat
atau karakteristik dari matematika yaitu obyek matematika abstrak, simbol yang kosong dari arti,
kesepakatan dan pemikiran deduktif aksiomatik.
Kerja matematika pada umumnya di alam ide, oleh sebab itu objek kerja matematika bersifat
abstrak. Menurut Ruseffendi Objek abstrak matematika meliputi: Objek langsung, yaitu fakta yang
merupakan angka atau lambang bilangan, keterampilan yaitu kemampuan memberikan jawaban
yang benar dan cepat, konsep adalah ide ekstrak yang memungkinkan kita mengelompokkan
benda-benda (objek) ke dalam contoh, aturan adalah objek yang paling abstrak. Sedangkan objek
tidak langsung, meliputi: Kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah,
kemampuan belajar dan bekerja mandiri, bersikap positif terhadap matematika.
Matematika disebut juga ilmu symbol. Ide-ide matematika yang bersifat abstrak dituangkan dalam
bentuk symbol yang kosong dari makna seperti yang dikatakan Soedjadi (Suparni, 2011) simbolsimbol dalam matematika pada umumnya masih kosong dari arti sehingga dapat diberikan arti
kepada simbol-simbol itu sendiri sesuai dengan lingkup dan semestanya. Keberadaan simbol ini
memberi peluang yang besar kepada matematika untuk digunakan dalam berbagai ilmu dan
kehidupan nyata. Seperti contoh symbol 1, 2, 3, 4, dan seterusnya tidak memiliki makna apa-apa,
akan tetapi ide bilangan 1, 2, 3, dan seterusnya ada di alam ide seperti banyakanya benda yang
dimiliki oleh seseorang berjumlah 2 dan sebagainya.
Suatu kebenaran pangkal matematika disebut definisi ataupun postulat yang disepakati secara
umum dan berlaku umum. Kebenaran-kebenaran matematika ditentukan oleh kebenaran-kebenaran
sebelumnya yang ditarik oleh sebuah kesimpulan secara deduktif aksiomatis.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

59

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.

Karakteristik Manusia dengan Karakteristik Matematika

Karakter suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas karakter sumber daya manusia (SDM)
bangsa tersebut, karenanya karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini.
Kondisi pendidikan di sekolah sekarang ini cenderung mengembangkan aspek kognitif siswa,
dimana aspek selain kognitif seperti afektif kurang mendapat perhatian bahkan terabaikan.
Sehingga kebanyakan siswanya walau mempunyai nilai yang tinggi tapi belum menjamin memiliki
sikap yang baik.
Dalam mengembangkan karakter apa yang dapat ditumbuhkan pada siswa pada bidang mata
pelajaran matematika tentunya seorang guru harus mengenal karakteristik dari setiap konsep
matematika. Karakteristik apa yang terkait dengan karakter atau sifat manusia. Jika kita tau
karakteristik matematika yang memiliki hubungan erat dengan sifat dari manusia, tentunya kita
dapat mengembangkan sebuah pengajaran matematika dengan menanamkan nilai-nilai dari setiap
konsep matematika. Dampak karakteristik dari konsep matematika itu apabila ditanamkan dalam
kehidupan siswa tentunya akan berdampak positif terhadap sikap siswa.
Menurut Abdussyakir (Fathani, 2009) dampak positif pembelajaran matematika yang berkaitan
dengan sikap terpuji atau akhlak mahmudah adalah sebagai berikut:
3.1.

Sikap Jujur, Cermat dan Sederhana

Matematika yang jamak orang menyebutnya ilmu hitung adalah ilmu yang berkaitan dengan proses
hitung menghitung. Dalam proses perhitungan untuk menentukan hasil dari jawaban menggunakan
teorema ataupun defisnisi dibutuhkan sikap ketelitian, kecermatan dan ketepatan. Setelah
didapatkan hasilnya tentu kita memerlukan proses pengecekan dari langkah-langkah yang telah kita
lakukan. Apakah langkah-langkah tersebut sudah sesuai dengan teorema atau tidak. Jangan sampai
langkah yang kita buat melenceng dari teorema sehingga tentunya jawaban akan salah. Oleh sebab
itu, perlu ketelitian dan kecermatan.
Dalam matematika juga terdapat prisndip kejujuran. Dimana ketika kita melakukan proses dalam
matematika dan tidak sesuai dengan prinsip tau teorema-teorema yang ada tentunya pekerjaan kita
akan salah. Dan seseorang tidak dapat mengelak itu ataupun berkilah dengan dasar diluar
matematika untuk membenarkan hasil pekerjaan yang salah tadi. Sebaliknya, seseorang tidak dapat
menyalahkan sebuah definisi atau teorema yang sudah terbukti kebenarannya untuk mencapai
tujuan dari perhitungan yang diinginkan oleh seseorang. Seperti contoh:
Jika dalam matematika sudah menyepakati bahwa -2 x 4 = -12, tentunya tidak boleh membenarkan
-2 x 4 = 12. Dengan dalih apapun seseorang tidak dapat membantah itu karena tujuannya adalah
menghasilkan 12.
Disamping itu, dalam matematika juga mengajarkan prinsip kesederhanaan yang artinya seefektif
mungkin menggunakan langkah-langkah untuk menuju pada hasil yang benar. Kita sering dengan
adanya perhitungan cepat. Tentunya dalam perhitungan cepat tidak mengabaikan langkah-langkah
atau prinsip sesuai dengan teorema. Tapi, tentunya ketika seseorang yang sudah faham dapat
melangkah lebih jauh dari setiap langkah itu yang terpenting tidak menyalahi aturan yang ada
dalam matematika. Seperti contoh:
Dalam opersai bilangan 25 x 25 = . . .?
Ada orang yang menjawabnya dengan langkah:
25
25 x
125
50 +
625

60

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Akan tetapi bagi seseorang yang sudah mengetahui sifaf-sifat perkalian bilangan 5 langsung
menjawabnya:
25 x 25 = (2x3) 25 = 625
Jawaban yang kedua lebih tepat dan lebih hemat waktu akan tetapi perlu mengetahui sifat dan
prinsip matematika.
3.2.

Sikap Konsisten dan Sistematis Terhadap Aturan

Matematika adalah ilmu yang didasarkan pada kesepakatan-kesepakatan yang sistematis dan dari
kesepakatan itu seseorang yang bekerja dengan matematika harus mentaatinya. Sebagai contoh
kalau dalam matematika jumlah sudut dalam segitiga = 180 0 dalam geometri euclid. Tentunya kita
harus mentaatinya untuk membuktikan kebenaran selanjutnya. Kita tidak boleh menabrak
kesepakatan itu kalau tidak mau dibilang salah.
Aturan-aturan dalam matematika itu tersusun rapi secara sistematis mulai dari defini ataupun
kebenaran pangkal yang tidak perlu pembuktian karena sudah terbukti kebenarannya. Kemudian
adanya teorema yang merujuk pada sebuah definisi harus dibuktikan kebenarannya. Teorema akan
menimbulkan sebuah akibat yang disebut Lemma ataupu Corollary.
Tidak hanya itu pada bagian-bagian matematika juga sudah tersusun rapih secara sistematis seperti
contoh pada konsep bilangan: bilangan kompleks didalamnya terdapat bilangan real dan imajiner.
Dalam bilangan real ada bilangan rasional dan irrasional. Didalam bilangan rasional terdapat bilang
bulat dan pecahan. Dari contoh tersebut matematika sangat sistematis dan harus ditaati dalam
proses pengerjannya
Menjadi seorang pemimpin harus berpegang pada kebenaran dari aturan yang sistematis dan
konsisten menjalankannya. Amanah yang diberikan oleh rakyat harus dijalankan sesuai dengan apa
yang dibutuhkan oleh rakyat. Konsistensi itu harus selalu ada pada konsisi apapun.
3.3.

Sikap Adil

Dalam matematika terdapat prinsip keadilan dalam hal sebuah persamaan. Seperti contoh:
2x + 5 = 15, tentukan nilai x! (solusi dari persamaan)
Untuk mencari solusi dari persamaan tersebut diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
2x + 5 = 15
2x + 5 5 = 15 5
2x = 10
2x = 10
2
2
x=5
Kalau kita lihat operasi pada ruas kiri harus sama dengan ruas kanan. Jadi dalam pengerjaanya
terdapat prisnsip keadilan dalam matematika.
3.4.

Sikap Tanggung Jawab

Dalam matematika ada yang dinamakan proses pembuktian baik secara induktif ataupun deduktif.
Dalam proses pembuktian terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan dan semuanya itu
didasarkan pada kebenaran dan alasan yang kuat. Seperti contoh: untuk membuktikan Luas Daerah
Segitiga = * alas * tinggi kita memerlukan langkah-langkah yang terkait misalkan salah satunya
dengan menggunkan teorema phytagoras yang sudah dibuktikan kebenarannya. Jadi, untuk
membuktikan lluas daerah segitiga tersebut dalam langkahnya kita memilih menggunakan teorema
phytagoras karena alasan yang kuat yaitu sudah terbukti kebenarannya dan terkait dengan prinsipprinsip segitiga.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

61

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.5.

Sikap Percaya Diri dan Tidak Mudah Menyerah

Sikap percaya diri amat sangat dibutuhkan oleh siswa. Seorang siswa akan menyelesaikan tugastugasnya dengan baik bila memiliki kepercayaan terhadap kemampuan yang dimilkinya. Dalam
atematika sendiri untuk menyelesaikan sebuah persoalan matematika dituntut untuk percaya diri
dalam mengerjakannya. Biasanya dalam pembelajaran matematika tidak jarang siswa yang suka
mencocok-cocokan jawabannya dengan jawaban temannya. Dengan alasan apakah jawabannya itu
benar. Tapi, terkadang karena kurang percaya dirinya siswa tersebut ketika jawabannya berbeda
dengan temannya bukan malah termotivasi untuk mencari jawaban yang benar tapi sebalikanya
rasa menyerah. Siswa tersebut merasa jawabannya salah dan yang timbul menyontek jawaban
temannya yang belum tentu benar.
Yang perlu dikembangkan da;am pembelajran matematika terkait dengan sikap rasa percaya diri
aadalah biarkan siswa berkreasi dengan jawabannya menurut kemampuannya. Jika terjadi
kegagalan dalm mencari hasil jawaban, guru memberikan scaffolding ataupun bantuan sehingga
memotivasi siswa untuk mencari jawaban yang benar. Jika kegiatan itu dilakukan terus menerus
tentunya sikap tidak mudah menyerah pada siswa akan terbangun. Siswa akan terus mencari dan
mencari jawaban dari permasalahan sehingga mereka mendapatkan hasilanya. Rasa tidak mudah
menyerah tersebut akan menimbulkan kepercayaan diri pada diri siswa.
Jadi, dalam pembelajaran matematika sangat penting utnuk membentuk pribadi yang berkualitas.
Jika guru dapat menentukan karakteristik dari setiap konsep matematika tentunya guru akan lebih
mudah mengembangkannya dalam setiap proses pembelajaran. Guru dapat menciptakan disein
pembelajaran dengan mengkombinasi nilai-nilai yang terkandung di setiap konsep matematika.
Sehingga, pendidikan karakter tidaka hanya dituliskan sebagai sarat administratif saja, tapi benearbenar nilai karakter sikap siswa juga dapat terbangun dengan baik.

4.

Integrasi Matematika dan Islam dalam Pembelajaran Matematika

Untuk menggambarkan lebih jauh tentang kedudukan matematika dalam perspektif islamisasi ilmu
kita jabarkan terlebih dahulu kesamaan prisnsip-prinsip matematika dengan prinsip islamisasi ilmu.
Ismail Al-faruqi (Sambas, 2012) tokoh Islamisasi ilmu mengemukakan lima prinsip metodologi
islam di bidang sains sebagai berikut:
a. Prinsip Keesaan Alloh. Dia adalah sang khalik, dialah pencipta dari segala macam disiplin
ilmu yang ada di muka bumi ini.Dialah Pencipta dan dengan perintahNya segala sesuatu
peristiwa itu terjadi. Dialah sebab pertama dan terakahir dari detiap sesuatu.
b. Prinsip kesatuan alam semest. Sebagai akibat logis dari keesaan Alloh, kita harus
mempercayai kesatuan ciptaan-Nya. Alloh bukan hanya menciptakan kemudian mengundurkan
diri, akan tetapi secara aktif mengatur dan mengontrol alam.
c. Prinsip kesatuan, kebenaran, dan kesatuan pengetahuan. Meski manusia memiliki
kemampuan nalar, akan tetapi kemampuan itu terbatas dan mungkin melakukan kesalahanatau
penyimpangan. Nalar bisa melakukan kritik, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap
nalar orang lainn dan kritik itu merupakan mekanisme untuk memperbaiki kesalahan.
d. Prinsip kesatuan hidup. Manusia adalah makhluk yang mengemban amanah (kepercayaan
Alloh) yakni bahwa kehidupannya ditujukan untuk mengabdi kepadaNya. Pengabdian kepada
Alloh diwujudkan dengan melaksanakan kehendakNya.
e. Prinsip kesatuan umat manusia. Islam mengajarkan bahwa setiap orang adalah ciptaan
Alloh SWT dan karena itu pada hakekatnya meraka itu sama dihadapan Alloh.
Melalui prinsip-prinsip yang telah disebutkan, berikut disajikan beberapa materi matematika yang
dapat dikaitkan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam islam.

62

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

a. Memahami Keesaan Alloh dengan Konsep Limit


Ada beberapa prinsip-prinsip dalam matematika yang dapat dijadikan acuan untuk membuktikan
keesaan Alloh dan membuktikan sifat-sifat Alloh. Seperti contoh: Untuk topik kali ini penulis
mencoba mengangkat tentang konsep limit. Terdapat pertanyaanya sederhana:Dalam sebuah
barisan bilangan asli yaitu 1, 2, 3, 4, . . .Barisana tersebut berhingga atau tak hingga?
Dari pertanyaan tersebut hampir banyak orang yang menganggap tak berhingga. Kemudian
penulis melanjutkan kepertanyaan berikutnya. Akan tetapi kalu kita cermati lebih mendalam,
bahwa pada barisan bilangan asli akan berhingga sampai n atau 1,2,3,....,n. berapa nialai n nya?
tergantung sampai mana kita mau akan tetapi manusia tidak mampu menjawabnya karena hanya
Tuhan yang tahu. bahwa barisan tersebut akan mendekati tak hingga.
Makna apa yang dapat kita petik dari konsep di atas, bahwa kehidupan di dunia ini tidak lain dan
tidak bukan dengan kata keabadian ataupun kekekalan karena kedua sifat tersebut hanya dimiliki
oleh Tuhan. Alloh berfirman dalam Surat Al-Qoshoss: 88
Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah
Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Dari ayat di atas menandakan bahwa semua yang ada di alama ini tidaklah kekal semuanya akan
binasa termasuk hokum-hukum matematika yang oleh sebagian orang dianggapnya tak
terhingga.Pemikiran manusia hanya dapat mengagungkan sifat Tuhan dengan segala Ilmu yang
dimilikinya. Dengan ilmu yang dimilikinya hendaknya kita dapat lebih mempertebal keimanan kita
bukan malah sebaliknya kita makin jauh dari Tuhan karena merasa bahawa kita dapat
menyelesaikan segala permasalahan kita dengan ilmu yang kita milki. Perlu diingat bahwa manusia
adalah makhluk yang berdimensi, eksistensi setiap makhluk yang berdimensi akan terbatas.
Pemikiran manusia hanya dapat mencapai sedikit dari bukti kekuasaan Alloh SWT. Dan yang
memiliki kekuasaan yang tak terbatas tidak lain dan tidak bukan hanya Alloh SWT yang maha
ESA.
Disamping itu, matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna yang
merupakan simbol dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Simbol-simbol matematika bersifat
artifisial yang artinya simbol akan memiliki makna setelah orang menyepakati suatu makna dari
simbol tersebut. Seperti Simbol 1 ini tidak memiliki arti apa-apa, akan tetapi setelah ada
kesepakatan bahawa simbol bilangan 1 dimaknai sebauah nilai dari jumlah suatu benda maka
orang akan memaknainya sebagai banyaknya adalah 1 yang menandakan keesaan Alloh.
Alloh berfirman dalam Surat Al-Ikhlas:1
Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan Dia
b. Memahami Eksistensi Manusia Di Dunia dengan Konsep Geometri
Mathematics is the Quin and The Serve Of Science bahwa matematika merupakan ratunya ilmu
sekaligus pelayan bagi ilmu-ilmu lain. Meskipun Matematika itu berdiri sendiri dan terlahir oleh
proses filsafat dan logika tanpa ilmu lain akan tetapi matematika tetap pelayan bagi ilmu lain
sehingga sering kita sebut dengan matematika terapan. Dalam hal ini matematika menjunjung
tinggi kesatuan alam semesta untuk saling mendukung ilmu-ilmu lain untuk mengungkap rahasiarahasia alam semesta sebagai simbol kekuasaan Alloh.
Dalam matematika ada ilmu geometri, yaitu salah satu cabang matematika yang mempelajari
bentuk benda dan karakteristiknya.Geometri merupakan representasi dari alam semesta dalam
matematika. Tentunya alam semesta mengandung banyak makna yang harus kita ungkap slah

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

63

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

satunya dengan pendekatan geometri dalam matematika. Salah satunya yang ingin di kaji pada
tuisan ini adalah tentang eksistensi manusia di dunia ini.
Keberadaan manusia di dunia ini atas dasar eksistensi Alloh yang dengan sifat rakhman dan
rakhimNya meniupkan ruh dan memberikanya kehidupan. Manusia hadir di muka bumi dengan
segala kesempurnaan dan kesucian bagaikan kertas putih yang siap diisi dengan guratan tinta-tinta
kehidupan. Kesemuanya itu akan ditunjukkan oleh setiap manusia untuk menuliskan eksistensinya
di dunia ini menurut guratan hidup masing-masing individu.
Baru-baru ini orang sering menggunakan kata pencitraan untuk menunjukkan eksistensi dirinya.
Seseorang demi meningkatkan citranya rela untuk bersikap perfeksionis dari segala hal penampilan
dan tingkah laku dimata orang lain meskipun terkadang bertolak belakang dengan kenyataannya.
Demi pencitraan pula terkadang seseorang rela melakukan apa saja asalkan citra sebagai eksistensi
yang diinginkanya tidak runtuh.
Seorang manusia memang mengakui bahwa dia itu ada di dunia ini. Dia mengakui dirinya berada
di dunia ini. Namun keberadaan dirinya, sebagai makhluk sosial belum tentu benar di hadapan
manusia lainnya. Jadi keberadaan seseorang di dunia ini, khususnya dalam kehidupan sosial harus
ditunjukkan kepada orang lain bahwa benar-benar dia itu ada. Keberadaan seseorang di hadapan
orang lain bisa disebut sebagai eksistensi diri manusia dalam kehidupan sosial. Artinya, setiap
orang menginginkan pengakuan dirinya dari orang lain sebagai seorang yang mempunyai sesuatu
kelebihan baik skill, jabatan, karir profesional atau yang lainnya. Akan tetapi, untuk memperoleh
sebuah pengakuan terkadang seseorang mengkhallkan segala cara, menerobos batas-batas demi
mendapatkan eksistensi diri.
Matematika disebut ilmu lambang dimana setiap aturan terdabat lambang atau simbol. Sebuah
simbol pasti memiliki arti bai tersurat atau tersirat. Sebuah simbol dalam matematika juga
mungkin memiliki arti dalam kehidupan. Oleh karena itu, untuk membahas eksistensi diri saya
menggunakan pendekatan konsep matematika dalam hal ini geometri. Kita mulai dengan eksistensi
sebuah bangun dimensi dua.

64

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Pada gambar 1 kita menyebutnya segitiga dan segi empat, akan tetapi pada gambar 2 meskipun
memiliki tiga buah segmen garis dan empat buah segmen garis orang tidak menyebutnya segitiga
ataupun segi empat. Mengapa demikian?
Dalam hal ini eksistensi segitiga dan segiempat ada karena adanya pendefinisian sehingga sebuah
segitiga dan segi empat terdefinisi dengan baik (well defined). Jika boleh mendefinisakikan bahwa
sebuah segitiga dibatasi oleh tiga buah sisi dan segiempat dibatasi oleh empat buah sisi yang
masing-masing saling berpotongan. Yang membatasi keduanya adalah sisi yang berupa segmen
garis. Itulah kenapa pada gambar 2 terdapat sisi yang tidak ada atau ada batasan yang hilang
sehingga keduanya tidak terdefinisi dengan baik.
Menarik kalau kita telusuri bahwa bukan hanya pada dimensi dua pada dimensi tigapun sebuah
bangun ruang akan terdefinisi dengan baik harus dibatasi oleh sisi yang berbentuk bidang. Mungkin
dimensi-dimensi yang lain akan sama pula. Jadi, setiap makhluk yang berdimensi memiliki
batasan-batasan.
Kalau kita mau menganalogikan hal dengan salah satu sifat Alloh mukholafatullilkhawaditsi
yang artinya kurang lebih bahwa Alloh itu berbeda dengan makhluk ciptaaNya. Setiap makhluk
Alloh berdimensi sehingga terbatas ataupun memiliki batasan yang kita sebut dengan sisi yang
membatasi. Sedangkan Alloh berbeda dengan makhluknya jadi tidak terbatas ataupun tidak ada
satupun yang membatasi sehingga tidak seorangpun dapat mendefinisikan Alloh secara fisik.
Di samping itu, kalau kita sebagai manusia yang notabenenya sebagai makhluk yang berdimensi
artinya memiliki batasan-batasan sehingga dapat terdefinisi dengan baik dan bisa memiliki
eksistensi dimata orang lain. Apa batasan-batasan itu? Tentunya sama yaitu dengan bangun
dimensi yaitu sisi-sisi. Akan tetapi sisi-sisi tersebut berbentuk nilai-nilai agama, moral dan lain
sebaganya yang menjadikan manusia bermartabat. Artinya jika seseorang melanggar batasanbatasan kehidupan sebagai manusia. Eksistensi semu yang akan didapat bagi seseorang yang
mendapatkan sebuah pengakuan dengan cara-cara yang keluar dari jalur dan itu bukan sifat dari
sebuah makhluk yang berdimensi ataupun fitrah dari makhluk ciptaan Alloh.
c. Memahami Sikap Berserah Diri Kepada Alloh dengan Konsep Barisan Bilangan Pecahan
Menurut (Julardi, 2010) Matematika sebagai ilmu pengetahuan dengan penalaran deduktif
mengandalkan logika dalam meyakinkan akan kebenaran suatu pernyataan. Faktor intuisi dan pola
berpikir induktif banyak berperan pada proses awal dalam merumuskan suatu konjektur
(conjecture) yaitu dugaan awal dalam matematika. Proses penemuan dalam matematika dimulai
dengan pencarian pola dan struktur, contoh kasus dan objek matematika lainnya. Selanjutnya,
semua informasi dan fakta yang terkumpul secara individual ini dibangun suatu koherensi untuk
kemudian disusun suatu konjektur. Setelah konjektur dapat dibuktikan kebenarannya atau
ketidakbenaranya maka selanjutnya ia menjadi suatu teorema. Tentunya dalam matematika sendiri
banyak hal-hal untuk membuktikan suatu kebenaran tentang sunnatullih atau kejadian-kejadian
yang ada di dunia ini.
Sebagai contoh, coba kita cermati manakah yang lebih besar antara 1/2 dengan 1/3yang pastinya
1/2 lah yang lebih besar. coba perhatikan lagi1/3 dg 1/4 mana yang labih besar? 1/4 dg 1/5 ,
1/5 dg 1/6 dan seterusnya. yang pastinya bilangan sebelah kiri akan lebih besarsehingga, semakin
besar nilai dari sebuah penyebut (denominator) maka bilangan itu akan semakin kecil (bilangan
pecahan) hingga pada akhirnya semakin besar pembagi (dalam artian tak hingga) maka 1/tak
hingga = 0 Konsep itu memiliki makna jika 1 = Alloh (Al-ahad) yang diposisikan sebagai bilangan
yang dibagikan (bahwa Alloh itu pemberi rahmat dan hidayah), dan tak hingga= manusia sebagai
abdi Alloh. Tak hingga menandakan sifat manusia yang berlaku sombong, angkuh dan merasa
dirinya paling besar dengan segala kekuasaan dan kepintarannya. Jika manusia berlaku hal
demikian maka dimata Alloh harganya 0 (1/tak hinnga = 0).

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

65

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Sebaliknya, coba kita cermati: 1/(1/2) dengan 1/(1/3) lebih besar mana? yang pastinya bilangan
sebelah kanan akan lebih besar sehingga, semakin kecil nilai pembagi maka nilai sebuah pecahan
akan menjadi lebih besar hingga pada akhiranya: 1/0 = tak terdefinisi, apa artinya? kembali lagi
dari konsep sebelumnya. Nilai yang terkandung pada kondisi tersebut jika seseorang merasa tak
punya daya dan upaya di hadapan Alloh, selalu berserah diri pada Alloh yang dalam hal ini
dilambangkan dengan 0 maka insya Alloh akan bernilai tak ternilai di hadapan Alloh. dalam hal
ini yang ingin saya tekankan adalah betapapun berkuasanya kiat, sepintar apapun kita dan sekaya
apapun kita itu semua tidak lepas dari kekuasaan Alloh ( la haula walaquwwata illa billahil aliyyil
adzimmm). Marilah kita bersama-sama berlomba untuk MENGENOLKAN diri dihadapan Alloh
dan selalu bertawakal kepada Alloh. Hal tersebut sesuai dengan firman Alloh.
.Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imron: 155)
d. Memahami Konsep Kejujuran dengan Konsep Perkalian
Sering kita dengar bahwa alam semesta ini berjalan sesuai dengan sunnatulloh ataupun hukumhukum Alloh. Dalam matematika sendiri banyak hukum-hukum yang kia sebut dengan postulat,
teorema, lemma corollary yang harus dipatuhi dan bersifat mengikat dan memaksa. Apabila tidak
maka akan menyalahi aturan-aturan sehingga kesimpulan akan salah. Sehingga, dalam menjalani
hidup aturan-aturan Alloh harus kita laksanakan sebagai upaya simbol kepatuhan kita pada yang
Maha memberi kehidupan di alam jagad raya ini.
Disamping itu, tentunya aturan-aturan itu juga harus kita maknai sebagai upaya pendekatan diri kita
kepaada Alloh. Seperti contoh terdapat aturan Alloh bahawa kita sebagai manusia harus
berperilaku jujur, dalam konsep matematika itu sendiri prinsip kejujuran dapat kita liat pada konsep
perkalian:
+ * + = +, mengandung makna "jika ada suatu kebenaran dan kita katakan benar maka kita
adalah golongan orang-orang yang benar"
+ * - = - , mengandung makna "jika ada sebuah kebenaran dan kita mengatakannya slah maka kita
merupakan golongan orang yang salah"
- * + = - , apa artinya " sesuatu yang salah kita katakan benar kitapun menjadi orang yang sala"
- * - = +, mengandung arti " sesuatu yang salah kita katakan salah maka insya Alloh kita termasuk
golongan orang2 yang berjalan di atas kebenaran"
Artinya "yang hak harus kita katakan hak...dan yang batil harus kita katakan batil"
Mungkin begitu sedikit arti matematika tentang kehidupan. yang ingin saya tekankan disini bahwa
ternyata matematika juga mengajarkan konsep "KEJUJURAN" dalam artian yang hak harus kita
katakan hak dan yang batil juga harus kita katakan batil sehingga kita termasuk golongan orang2
yang menyeru pada kebenaran.
e. Memahami Kesatuan Umat Manusia dengan Konsep Sistem Persamaan Linier
Kesatuan umat diibaratkan adanya persamaan-persamaan dalah hal membangun ummat. Dalam
matematika sebuah Persamaan akan muncul ketika terdapat sebuah solusi sehingga ketika
dimasukan ke dalam sebuah sistem persamaan tersebut. sebagai contoh 2x = 10, x=5 adalah solusi
dari sebuah persamaan diatas. Bagaimana ketika terdapat dua buah persamaan yang berbeda. Maka
dalam matematika dikenal dengan prinsip Eliminasi ataupun Substitusi. Dalam hal ini
perbedaan-berbedaan hanya dapat disatukan dengan cara mengeliminasi keegoisan pada diri kita
masing-masing dan saling melengkapi kekurangan satu sama lain.
Alloh berfiraman dalam Surat Al Mukminun: 52-53

66

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Sesungguhnya agama tauhid ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan AKU adalah
Tuhanmu, maka bertaqwalah kepada KU, kemudian mereka (pengikutpengikut rasul itu)
menjadikan agama mereka terpecah belah. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang
ada pada diri mereka masing-masing .
Dengan mengambil hikmah dari prinsip eliminasi dan substitusi tentunya persatuan dan kesatuan
umat islam akan lebih kokoh dengan meninggalakan suku, ras golongan akan tetapi tetap saling
mendukung dan saling mengisi demi kejayaan ummat islam.

5.

Kesimpulan

Setiap pembelajaran hendaknya memberi manfaat kepada siswa baik secara koqnitif, afektif dan
psikomotor serta dapat memberikan nilai-nilai luhur untuk membentuk sebuah karakter bangsa.
Pengintegrasian konsep matematika dengan nilai-nilai keislaman sangat penting diterapkan sebagai
cara pembentukan karakter bangsa. Sehingga, perlu dikembangkan secara terus menerus analisa
materi matematika dengan mengaitkan ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran yang
merupakan sumber dari segala sumber ilmu yang dapat diambil khikmah dan pelajaranya oleh
setiap manusia melalui matematika.

DAFTAR PUSTAKA
Wiradisuria, Sambas. 2011. The Road to Happiness. Depok: PT. Khanza Mimbar Plus.
Hernadi, Julan. 2008. Metode Pembuktian Matematika. UNSRI: Jurnal Pendidikan Matematika,
Volume 2, No. 1, Januari 2008
Suparni, 2011. Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan dengan Pembelajaran Matematika.
Makalah disajikan pada Diskusi Ilmiah Fakultas sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Ruseffendi, E.T. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensi Dalam
Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA, Bandung : Tarsito.
Fathani, Abdul Halim. 2009. Matematika Hakikat & Logika. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Hamalik, Oemar.2010.Proses Belajar mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara
__________. 2003. UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Deprtemen
Pendidikan . Jakarta.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

67

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS


MATEMATIK MELALUI PEMBELAJARAN PENCAPAIAN
KONSEP
Julita
SMA Negeri 10 Kota Bogor
julita33@yahoo.co.id

ABSTRAK
Pembelajaran pencapaian konsep dirancang bukan hanya untuk mengembangkan berfikir
induktif, tetapi juga untuk menganalisis dan mengajarkan konsep serta membantu peserta didik
lebih efektif mempelajari konsep. Tujuan utama pembelajaran pencapaian konsep adalah
membangun dan mengembangkan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kritis peserta
didik. Kemampuan berpikir kritis matematik dapat dikembangkan melalui pembelajaran
pencapaian konsep, karena tahapan dalam pembelajaran ini membangun strategi berpikir
induktif dan deduktif peserta didik. Strategi berpikir induktif dan deduktif ini termasuk dalam
indikator berpikir kritis.
Kata Kunci: Berpikir Kritis Matematik, Pembelajaran Pencapaian Konsep

1.

Pendahuluan

Matematika sebagai ilmu universal sangat berperan terhadap perkembangan ilmu dan teknologi,
serta berperan dalam memajukan kemampuan berpikir manusia. Mengingat hal ini, maka
matematika dipandang penting untuk dikuasai peserta didik disetiap jenjang pendidikan agar
mampu menghadapi tantangan hidup masa kini dan masa yang akan datang. Peserta didik harus
mampu mengambil keputusan dan melakukan suatu tindakan dalam aktivitas hidupnya, sehingga
perlu dilatih kemampuan berpikirnya. Salah satunya adalah kemampuan berpikir kritis, karena
proses berpikir kritis bertujuan untuk membuat keputusan yang rasional terhadap apa yang diyakini
dan apa yang dilakukan (Ennis, 1996: xvii).
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan
berpikir kritis peserta didik (Haryani, 2012). Hal ini disebabkan cara berpikir yang dikembangkan
dalam matematika menggunakan kaidah-kaidah penalaran yang konsisten dan akurat, sehingga
dapat digunakan sebagai alat berpikir efektif untuk memandang berbagai permasalahan termasuk di
luar matematika sendiri (Suryadi, 2012).
Begitu pentingnya mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematik, sehingga menjadi salah
satu tuntutan kurikulum yang berlaku. Guru diharapkan dalam melaksanakan proses pembelajaran
yang dapat melatih dan membimbing peserta didik berpikir kritis dan kreatif dalam menyelesaikan
masalah, sehingga dapat membiasakan berpikir (habbits of mind) (Permendikbud No. 59, 2014).
Sejumlah ahli menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki kemampuan alamiah untuk berpikir
secara kritis (Eggen & Kauchak, 2012). Kemampuan berpikir kritis pada siswa perlu mendapatkan
dorongan atau motivasi dari guru ketika melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas.
Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa pembelajaran matematika masih berlangsung secara
tradisional, yaitu: pembelajaran yang berpusat pada guru dengan aktivitas pembelajaran lebih
didominasi oleh guru, dalam proses pembelajaran siswa lebih bersikap pasif, pendekatan
pembelajaran yang digunakan bersifat ekspositori, dan latihan soal yang diberikan bersifat rutin
(Suryadi, 2012). Fakta membuktikan bahwa pembelajaran dengan cara tradisional tidak dapat
mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik secara optimal (Sabandar, 2008). Proses
68

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

pembelajaran akan efektif, jika peserta didik secara aktif membangun pengetahuannya dengan
berpikir kritis tentang topik yang dipelajarinya. Peserta didik tidak hanya sebagai penerima
informasi yang pasif, sehingga belajar akan menjadi lebih bermakna.
Salah satu cara untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematik adalah melalui
pembelajaran yang menekankan pada pemahaman dan penguasaan konsep dengan melatih peserta
didik belajar aktif menguji hipotesis, yaitu pembelajaran pencapaian konsep (concept attainment).
Hal ini disebabkan, pembelajaran pencapaian konsep lebih memfokuskan pada pengembangan
kemampuan berpikir kritis peserta didik, terutama dalam merumuskan dan menguji hipotesis.
Selain itu, pembelajaran pencapaian konsep dirancang untuk memahami (mempelajari) suatu
konsep secara tepat dan efisien (Joyce, Weil, & Calhoun, 2009).

2.

Berpikir Kritis Matematik

Berpikir merupakan kegiatan memanipulasi dan mentransformasi informasi dalam memori.


Kegiatan berpikir memiliki tujuan untuk membentuk konsep, menalar, berpikir kritis, membuat
keputusan, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah (Santrock, 2009). Kegiatan berpikir seperti
ini merupakan kegiatan yang dilakukan dalam matematika atau dikenal dengan berpikir matematik.
Menurut Sumarmo (2006), berpikir matematik (mathematical thinking) berarti kegiatan dalam otak
yang tidak dapat diamati prosesnya, tetapi dapat dianalisis hasil kegiatannya.
Salah satu tujuan kegiatan berpikir adalah berpikir kritis. Ennis (1996) berpendapat, berpikir kritis
adalah berpikir logis dan reflektif yang bertujuan untuk membuat keputusan yang rasional dan
diyakini kebenarannya. Berpikir logis berarti memiliki keyakinan yang didukung oleh bukti yang
cukup dan relevan. Sedangkan reflektif berarti mempertimbangkan dengan matang segala
keputusan yang diambil. Hal ini berarti, berpikir kritis menuntut penggunaan berbagai strategi
untuk mengambil keputusan sebagai dasar suatu tindakan. Sejalan dengan pendapat ini, Santrok
(2009) menyatakan bahwa berpikir kritis meliputi berpikir secara reflektif dan produktif, serta
mengevaluasi bukti. Sedangkan Eggen & Kauchak (2012) mendefinisikan berpikir kritis sebagai
kemampuan membuat dan menilai suatu kesimpulan yang berdasarkan bukti.
Terdapat enam unsur dasar dalam berpikir kritis dan dikenal dengan singkatan FRISCO (Ennis,
1996) yang diuraikan sebagai berikut: 1) Focus (fokus). Fokus terhadap permasalahan yang ada
sebelum mengambil keputusan yang meyakinkan. 2) Reason (alasan). Memberikan alasan yang
rasional terhadap suatu putusan yang diambil. 3) Inference (kesimpulan). Membuat kesimpulan
berdasarkan bukti yang meyakinkan dengan cara mengidentifikasi asumsi dan mencari alternatif
pemecahan, serta mempertimbangkan situasi dan bukti. 4) Situation (situasi). Memahami situasi
atau keadaan dengan memperjelas permasalahan dan mencari kunci permasalahan tersebut. 5)
Clarity (kejelasan). Menjelaskan arti dari istilah-istilah yang digunakan. 6) Overview (memeriksa
kembali). Melakukan pemeriksaan kembali secara menyeluruh keputusan yang sudah diambil.
Ennis dalam Costa (1985) mengidentifikasi dua belas indikator berpikir kritis yang dibagi dalam
lima kelompok kegiatan, yaitu: 1) memberi penjelasan sederhana (elementary clarification).
Indikatornya: memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, bertanya dan menjawab
pertanyaan; 2) membangun keterampilan dasar (basic support). Indikatornya: mempertimbangkan
apakah sumber dapat dipercaya atau tidak, mengobservasi dan mempertimbangkan laporan
observasi; 3) menyimpulkan (inference). Indikatornya: mendeduksi dan mempertimbangkan hasil
deduksi, menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi, membuat dan menentukan hasil
pertimbangan; 4) membuat penjelasan lebih lanjut (anvanced clarification). Indikatornya:
mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan suatu definisi, mengidentifikasi asumsi-asumsi; dan
5) menerapkan strategi dan taktik (strategies and tactics). Indikatornya: menentukan suatu
tindakan, berinteraksi dengan orang lain.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

69

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir kritis akan menunjukkan sikap sebagai berikut:
1) keinginan untuk mencari informasi dan bukti; 2) bersikap terbuka; 3) menghargai pendapat
orang lain; 4) toleransi terhadap perbedaan (Eggen & Kauchak, 2012).

3.

Pembelajaran Pencapaian Konsep

Pembelajaran pencapaian konsep (concept Attainment) dibangun berdasarkan studi berpikir yang
dilakukan oleh Bruner, Goodnow, dan Austin pada tahun 1967, serta diadaptasikan oleh Lighthall
dan Joyce. Model pembelajaran ini dirancang bukan hanya
untuk mengembangkan berfikir
induktif, tetapi juga untuk menganalisis dan mengajarkan konsep serta membantu peserta didik
lebih efektif mempelajari konsep. Selain itu, pembelajaran pencapaian konsep ini sangat efisien
dalam menyajikan informasi pada setiap tingkat perkembangan peserta didik (Joyce, Weil, &
Calhoun, 2009).
Proses pembelajaran pencapaian konsep menurut Joyce, Weil, dan Calhoun (2009) terdiri dari tiga
tahapan, yaitu: 1) Menyajikan data dan identifikasi konsep, 2) Menguji pencapaian konsep, dan 3)
Analisis strategi berpikir. Tahap-tahap pembelajaran ini dikemas dalam bentuk sintaks yang
ditunjukkan pada Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1
Sintaks Pembelajaran Pencapaian Konsep

Kegiatan
Tahapan
Guru

Siswa

Pertama
Menyajikan Data dan
identifikasi Konsep

Memberikan contoh dan


bukan contoh
Meminta peserta didik
membuat hipotesis
Meminta peserta didik
untuk mendefinisikan

Membandingkan ciri-ciri
pada contoh dan bukan
contoh
Mengajukan hipotesis
Menyatakan definisi konsep
sesuai ciri-ciri esensial

Kedua
Menguji Pencapaian
Konsep

Menyajikan Contoh
tambahan tanpa label
Meminta contoh lain
Mengkonfirmasi hipotesis,
merevisi definisi konsep
atau ciri-ciri sebagaimana
mestinya.

Identifikasi contoh
tambahan
membuat contoh lain
modifikasi hipotesis
merevisi definisi konsep atau
ciri-ciri sebagaimana
mestinya

Ketiga
Analisis Strategi Berpikir

Membimbing dan
mengevaluasi strategi
berpikir peserta didik
Memberikan beberapa
masalah

Diskusi menguraikan
pemikirannya (hipotesis)
Menyelesaikan masalah

Tahap pertama, peserta didik diberikan contoh dan bukan contoh. Tujuannya untuk
memperkenalkan kepada peserta didik tentang konsep dari suatu objek berdasarkan ciri esensial
yang dimiliki oleh objek tersebut, sedangkan bukan contoh diberikan agar peserta didik dapat
menemukan ciri esensial yang lebih spesifik dari objek. Peserta didik mengembangkan suatu
hipotesis tentang hakekat konsep dengan membandingkan dan menjastifikasi ciri-ciri dari
perbedaan yang ada pada contoh. Selanjutnya peserta didik menyatakan definisi konsep sesuai
dengan ciri-ciri esensial dari objek.

70

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Tahap kedua, peserta didik menguji konsep yang ditemukan dengan mengidentifikasi secara tepat
contoh tambahan yang tidak diberi label dari konsep itu. Kemudian peserta didik membuat contoh
yang lain. Setelah itu, guru bersama peserta didik mengkonfirmasi kebenaran hipotesis mereka,
merevisi definisi konsep atau ciri-ciri yang sudah mereka tetapkan sebagaimana mestinya.
Tahap ketiga, peserta didik mulai menganalisis strategi yang digunakan dalam mencapai atau
menemukan konsep. Guru menyarankan peserta didik untuk membangun konsepnya. Mungkin ada
yang mulai membangun konsep dari yang luas dan secara bertahap lebih dipersempit, atau
sebaliknya. Peserta didik dapat menjelaskan pola-pola yang sudah dibuatnya. Dari hal ini dapat
dilihat, apakah peserta didik fokus terhadap ciri-ciri atau konsep dan dalam berapa langkah mereka
menemukan konsep tersebut. Selanjutnya, bagaimana jika hipotesis peserta didik tidak
dikonfirmasi, maka secara bertahap mereka dapat membandingkan keefektifan setiap strategi yang
sudah diterapkan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang pembelajaran pencapaian konsep adalah sebagai
berikut: 1) menetapkan materi yang akan diajarkan. Dalam hal ini, materi yang diajarkan
merupakan konsep yang bukan baru sama sekali bagi peserta didik. Akan lebih efektif jika peserta
didik memiliki beberapa pengalaman tentang konsep yang akan diajarkan; 2) menetapkan tujuan
pembelajaran. Tujuan utama pembelajaran pencapaian konsep adalah membantu peserta didik
membagun dan mengembangkan pemahaman konsep dan berpikir kritisnya; 3) memilih contoh dan
bukan contoh yang dapat memperluas pemikiran peserta didik tentang konsep yang akan diajarkan.
Maksudnya, contoh-contoh yang diberikan sesuai dengan kehidupan peserta didik sehingga dapat
dijangkau oleh pemikirannya; 4) mengurutkan contoh dan bukan contoh sedemikian untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Dalam kegiatan pembelajaran pencapaian konsep ini, peserta didik harus aktif mengamati contoh
dan bukan contoh yang diberikan guru. Selama pengamatan, peserta didik harus mendata dan
mengidentifikasi ciri-ciri dari contoh yang diberikan sampai akhirnya membuat suatu hipotesis.
Peserta didik dapat bekerja sama dalam kelompok kecil atau secara individu selama kegiatan
pembelajaran. Hasil temuan Tennyson & Cochiarella (dalam Joyce, Weil, & Calhoun, 2009)
menunjukkan, Peserta didik sebetulnya mampu mengembangkan pengetahuan prosedural untuk
mencapai konsep dengan latihan intensif. Semakin banyak pengetahuan prosedural yang dimiliki
peserta didik, semakin efektif mereka mencapai dan menerapkan pengetahuan konseptual.
Syarat utama pelaksanaan pembelajaran penemuan konsep adalah adanya sajian data contoh dan
bukan contoh. Tujuan proses pembelajaran ini bukan untuk menemukan atau membuat konsep
baru, tetapi mencapai atau mendapatkan konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada berkaitan
dengan pengetahuan yang dipelajari. Keunggulan dari pembelajaran pencapaian konsep, antara
lain: 1) dapat diterapkan pada setiap tingkatan pendidikan, 2) penerapan pembelajaran ini relatif
mudah, serta 3) dapat mengetahui kedalaman pemahaman dan memperkuat pengetahuan peserta
didik.
Manfaat yang diperoleh dengan menerapkan pembelajaran pencapaian konsep ini antara lain: 1)
guru dapat melatih peserta didik menemukan konsep, sehingga dapat mengamati proses
berpikirnya, 2) peserta didik mampu membuat strategi yang lebih efisien dan belajar menggunakan
strategi baru tersebut, 3) guru dapat mempengaruhi cara peserta didik dalam memproses informasi.

4.

Mengembangkan Kemampuan
Pembelajaran Pencapaian Konsep

Berpikir

Kritis

matematik

Melalui

Salah satu tujuan pembelajaran pencapaian konsep adalah mengembangkan kemampuan berpikir
kritis peserta didik. Berpikir kritis merupakan kemampuan membuat dan menilai suatu kesimpulan
yang berdasarkan bukti. Diantara dua belas indikator berpikir kritis menurut Ennis, terdapat strategi
deduksi, yaitu: mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, serta terdapat strategi induksi,
yaitu menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

71

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Dalam pembelajaran pencapaian konsep ini terdapat tahapan-tahapan yang dapat membangun dan
mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Pada tahap menyajikan data dan identifikasi konsep,
terdapat kegiatan mengidentifikasi data, membuat hipotesis, dan membuat definisi (kesimpulan).
Tahapan ini sesuai dengan indikator berpikir kritis strategi induktif. Di mana pada strategi induktif,
pembahasan dimulai dari contoh-contoh atau data untuk memahami konsep, kemudian
digeneralisasi menjadi hal yang khusus.
Selain itu, pada tahap menguji menguji konsep yang ditemukan dengan cara mengidentifikasi
contoh tambahan, membuat contoh yang lain, mengkonfirmasi kebenaran hipotesis, dan
mendefinisi konsep. Tahapan ini sesuai dengan indikator berpikir kritis strategi deduktif. Di mana
pada strategi deduktif merupakan strategi dengan menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu
untuk dihubungkan dengan bagian-bagian yang khusus.
Kerangka berpikir mengembangkan kemampuan berpikir kritis melalui pembelajaran pencapaian
konsep ditunjukkan dalam gambar berikut ini.
mengembangkan
Menyajikan data &
Identifikasi Konsep
Pembelajaran
Pencapaian
Konsep

Menguji Pencapaian
Konsep

Strategi
induktif

Strategi
Deduktif

Berpikir
Kritis
Matematik

Analisis Strategi
Berpikir
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir

Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran pencapaian konsep merupakan model pembelajaran yang
efektif mengembangkan kemampuan berpikir matematik peserta didik.

5.

Penutup

Kemampuan berpikir kritis peserta didik perlu mendapat dorongan atau motivasi dari guru ketika
melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Motivasi dapat diberikan dengan menciptakan suasana
belajar yang kondusif dan mendukung proses belajar yang dapat membangun dan mengembangkan
kemampuan berpikir kritis peserta didik. Suasana seperti ini dapat terwujud apabila guru mengajar
dengan ramah dan terbuka, tidak membuat peserta didik merasa tertekan dan terancam.
Kemampuan berpikir kritis peserta didik akan lebih termotivasi apabila guru menghargai semua
komentar dan jawaban yang diajukan peserta didik. Dalam proses pembelajaran, guru memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan pemikiran dalam menjawabnya. Dengan kata lain,
pertanyaan yang membutuhkan proses berpikir sebelum menjawab. Melatih peserta didik berpikir,
akan mengembangkan kemampuan berpikir kritis mereka. Selain itu, untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kritis peserta didik, guru diharapkan lebih kreatif dalam merancang kegiatan
pembelajaran.

72

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

DAFTAR PUSTAKA
Costa, A.L. (Ed.) (1985). Developing Minds, a Resource Book for Teaching and Thinking.
Association Supervision and Curriculum, USA.
Eggen, P. & Kauchak, D. (2012). Strategi dan model pembelajaran. Edisi Keenam. Jakarta: PT.
Indeks.
Ennis, R.H. (1996). Critical thinking. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Haryani, D. (2012). Membentuk siswa berpikir kritis melalui pembelajaran matematika. Makalah
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika,
Jurusan Pendidikan
Matematika FMIPA UNY 2012, P-17. ISBN:978-979-16353-8-7.
Joyce B., Weil M., & Calhoun E. (2009). Models of teaching. Eighth edition.
Permendikbud Nomor 59. (2014). Kurikulum 2013 SMA/MA.
Sabandar, J. (2008). Thinking Classroom dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah.
Disampaikan pada Makalah Simposium Internasional di UPI
Santrock, J. W. (2009). Psikologi pendidikan. Edisi ke-3, Buku ke-2. Jakarta : Penerbit Salemba
Humanika.
Sumarmo, U. (2006).Pembelajaran untuk Mengembangkan kemampuan Berpikir Matematik.
Disampaikan pada Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam FPMIPA UPI.
Suryadi, D. (2012). Membangun budaya baru dalam berpikir matematika. Bandung: Rizqi Press.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

73

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN PEMBELAJARAN MEAs UNTUK


MENGEMBANGKAN RETENSI KEMAMPUAN
REPRESENTASI MATEMATIK SISWA SMA
Hamidah
STKIP Siliwangi
shiroimida@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Mengembangkan Daya Matematik dan
Kecerdasan Emosional serta Retensi Siswa SMA Melalui Pembelajaran MEAs. Penelitian ini
merupakan eksperimen dengan disain kelompok kontrol dan postes serta tes retensi saja yang
bertujuan menelaah peranan pembelajaran MEAs terhadap kemampuan representasi matematik
dan retensinya. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI dari dua SMA yang
ditetapkan secara purposif pada SMA di Kota Cimahi dan dipilih secara acak dari kelas XI
yang ada. Kemudian dari kedua sampel tersebut ditetapkan secara acak yang menjadi kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa
pencapaian kemampuan representasi matematik siswa SMA yang memperoleh pembelajaran
MEAs lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran konvensional, dan tidak terdapat
perbedaan retensi kemampuan representasi matematik siswa SMA yang memperoleh
pembelajaran MEAs dan yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Kata Kunci: Representasi Matematik, Retensi, Pembelajaran MEAs

1.

Pendahuluan

Adapun tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah suatu proses terus menerus untuk
menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi. NCTM (Irwandi, 2012) menguraikan bahwa
untuk dapat memahami dan menggunakan matematik diperlukan daya matematik (mathematical
power) yang meliputi kemampuan untuk mengeksplor (exploration), mengemukakan alasan secara
logis (reasoning), menyelesaikan persoalan tidak rutin (problem solving), mengkomunikasikan
matematik (communication), menghubung ide-ide di adalam dan antara matematika (conection),
dan keterampilan intelektual lain.
Yuan (2013) menjelaskan bahwa bukan problem yang menjadi subyek, tapi metode dalam solusi
lebih menjadi penekanan. Dalam bukunya, Polya menuliskan pedoman dalam menyelesaikan
problem yang disingkat dengan See (lihat), Plan (rencana), Do (kerjakan, dan Check (periksa
kembali). Selanjutnya Hwang, et.,al (2007) menyatakan bahwa ragam representasi yang sering
digunakan dalam mengkomunikasikan matematika antara lain: tabel, gambar, grafik, pernyataan
matematika, teks tertulis, ataupun kombinasi semuanya. Hal ini didukung oleh (Elia, 2007) yang
menggolongkan representasi menjadi: verbal, gambar, benda konkret, tabel, model-model
manipulatif atau kombinasi dari semuanya.
Bukan hal yang mudah untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini terlihat pada tingkat
Internasional laporan TIMMS tahun 2007, yaitu Indonesia berada pada urutan ke 36 dari 48 negara.
Demikian juga perolehan hasil nilai Ujian Nasional siswa yang belum memperlihatkan hasil yang
memuaskan. Selain itu Kemendiknas (2010) dari hasil perolehan nilai Ujian Akhir Nasional (UAN)
juga menyebutkan, mata pelajaran Matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang angka
ketidaklulusannya tinggi untuk jurusan IPS (15,11 %) dan Agama (28,17 %). Hal ini pula sejalan
dengan Ratnaningsih (2007) yang menyatakan bahwa sebagian besar siswa merasa sangat sulit

74

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

untuk bisa secara cepat menyerap dan memahami pelajaran matematika diperkirakan berkaitan
dengan cara mengajar guru di kelas yang kurang bervariasi.
Pertanyaannya bagaimana pengajaran meningkatkan keterampilan pemecahan masalah, penalaran,
koneksi, dan representasi?. Berkaitan dengan proses belajar, peran guru sangat penting dalam
mengembangkan kemampuan berfikir siswa. Seperti yang diungkapkan Polya (Yuan, 2013), bahwa
peran guru tidak hanya memberikan informasi saja tetapi juga menempatkan diri sesuai kondisi
siswa, dan memahami apa yang terjadi dalam benak siswa yang kemudian memfasilitasi siswa
belajar menemukan pengetahuannya dan mengembangkan kemampuan berpikir siswa.
Pembelajaran dengan pendekatan MEAs (Model-Eliciting Activities) memiliki potensi untuk
mengembangkan bakat matematika, karena mereka melibatkan para siswa dalam tugas-tugas
matematika yang kompleks mirip dengan tugas-tugas yang diterapkan matematika lengkap. MEAs
merupakan suatu alternative pendekatan yang berupaya membuat siswa dapat secara aktif terlibat
dalam proses pembelajaran matematika di kelas. Karakteristik yang lain dari MEAs menurut
Chamberlin (2005), bahwa MEAs juga membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir
matematis yang lebih tinggi. Pendekatan Model-Eliciting Activities (MEAs) juga merupakan
pendekatan yang didasarkan pada masalah realistis (kontekstual), bekerja dalam kelompok kecil,
dan menyajikan sebuah model untuk membantu siswa membangun pemecahan masalah dan
membuat siswa menerapkan pemahaman konsep matematika yang telah dipelajarinya.
Konsep yang dipahami secara baik oleh siswa dari pembelajaran dapat disimpan dalam ingatan
atau memori yang kemudian akan dipergunakan pada saat diperlukan. Kemampuan untuk
menyimpan dalam ingatan ini dikenal sebagai retensi. Pada kenyataannya, banyak hal yang telah
disimpan dalam ingatan sulit untuk diproduksikan lagi, hal ini dikenal sebagai lupa (Rahman,
2010). Sehingga penelitian ini melihat bagaimana penerapan pembelajaran MEAs untuk
mengembangkan retensi kemampuan representasi matematik siswa SMA.
Secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah:
a. Pencapaian kemampuan representasi matematik siswa SMA yang pembelajarannya
menggunakan pembelajaran MEAs lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran
konvensional?
b. Retensi kemampuan representasi matematik siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan
pembelajaran MEAs lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran konvensional?
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah secara mendalam peranan pendekatan pembelajaran MEAs
terhadap pencapaian dan retensi kemampuan representasi matematik siswa SMA.
Berikut ini disajikan definisi operasional variabel yang terlibat dalam penelitian ini.
a. Representasi Matematik adalah kemampuan siswa menyajikan gagasan matematika yang
meliputi penterjemahan masalah atau ide-ide matematis ke dalam interpretasi berupa
persamaan matematis.
b. Retensi adalah kemampuan untuk menyimpan dalam ingatan atau memori, konsep yang
dipahami secara baik oleh siswa dari pembelajaran yang diberikan.
c. Pembelajaran Model-eliciting activities (MEAs) adalah pembelajaran dengan pendekatan yang
didasarkan pada masalah realistis, bekerja dan diskusi dalam kelompok kecil, kemudian
menyajikan sebuah model.

2.

Kajian Pustaka

2.1. Representasi Matematik


Rosengrant, D, et. al (2005) menyebutkan bahwa representasi adalah sesuatu yang melambangkan
objek atau proses. Misalnya kata-kata, diagram, grafik, simulasi komputer, persamaan matematika
dan lain-lain. Beberapa representasi bersifat lebih konkrit dan berfungsi sebagai acuan untuk
konsep-konsep yang lebih abstrak dan sebagai alat bantu dalam pemecahan masalah. Oleh karena
itu, istilah representasi dapat juga dipergunakan bila menggambarkan proses kognitif untuk sampai
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

75

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

pada pemahaman tentang suatu ide dalam matematika. Anak dapat diekspos pada sejumlah
perwujudan fisik, misalnya lima, dan kemudian mulai mengabtraksikan konsep lima tersebut.
Hiebert dan Carpenter (Harries dan Barmby, 2006) membagi representasi menjadi dua bagian
yakni representasi eksternal dan internal. Representasi eksternal, dalam bentuk bahasa lisan, simbol
tertulis, gambar atau objek fisik. Sementara untuk berfikir tentang gagasan matematika maka
mengharuskan representasi internal. Representasi internal (representasi mental) tidak bisa secara
langsung diamati karena merupakan aktivitas mental dalam otaknya. Berdasarkan literatur di atas,
maka peneliti menyimpulkan bahwa kemampuan representasi matematik adalah kemampuan siswa
menyajikan gagasan matematika yang meliputi penterjemahan masalah atau ide-ide matematis ke
dalam interpretasi berupa persamaan matematis.
2.2. Retensi
Retensi adalah kemampuan siswa mengingat materi yang telah diajarkan oleh guru pada rentang
waktu tertentu. Bandura (Hill, 2011) menyebutkan bahwa salah satu komponen dasar belajar adalah
retensi. Retensi menunjukkan bahwa apa yang dipelajari tidak menghasilkan efek praktis kecuali
kita mengingatnya cukup lama. Rahman (2010), Christoph dan zehender (2006) menyebutkan
bahwa tes untuk mengetahui retensi dilakukan setelah empat minggu dari post-test.
Selanjutnya De Porter & Hernacki (Tapilouw dan Setiawan, 2008) menyebutkan bahwa kita akan
mengingat informasi dengan sangat baik jika informasi tersebut dicirikan oleh kualitas-kualitas
sebagai berikut:
a. Adanya asosiasi indera terutama indera penglihatan. Pengalaman yang melibatkan penglihatan,
bunyi, sentuhan, rasa atau gerakan umumnya sangat jelas dalam memori kita.
b. Adanya konteks emosional seperti cinta, kebahagiaan, dan kesedihan.
c. Kualitas yang menonjol atau berbeda
d. Asosiasi yang intens
e. Kebutuhan untuk bertahan hidup
f. Hal-hal yang memiliki keutamaan pribadi
g. Hal-hal yang diulang-ulang
2.3. Pembelajaran MEAs
Dalam pembelajaran MEAs siswa belajar aktif dalam membangun pengetahuan (pemahaman)
melalui proses asimilasi (penyerapan setiap informasi baru ke dalam pikirannya) dan akomodasi,
karateristik ini menganut pandangan konstruktivisme (Piaget, dalam Istianah, 2011).
Lesh (Cynthia dan Leavitt, 2007) mengemukakan enam prinsip untuk merancang MEAs yaitu: (1)
prinsip Konstruksi Model: masalah harus dirancang untuk memungkinkan penciptaan model yang
berkaitan dengan unsur-unsur, hubungan dan operasi antara pola dan aturan yang mengatur unsurunsur hubungan ini, (2) prinsip Realitas: masalah harus bermakna dan relevan kepada siswa, (3)
prinsip Self-assessment: siswa harus mampu untuk menilai sendiri atau mengukur kegunaan dari
solusi mereka, (4) membangun prinsip dokumentasi: siswa harus mampu mengungkapkan dan
mendokumentasikan proses mereka pikir dalam solusi mereka, (5) membangun Shareability dan
prinsip Usabilitas: solusi yang dibuat oleh siswa harus digeneralisasikan atau mudah disesuaikan
dengan situasi lain, dan (6) prototipe prinsip Efektif: orang lain dengan mudah harus dapat
menafsirkan solusi. Adapun tahap-tahap dalam pembelajaran MEAs yaitu mengidentifikasi dan
menyederhanakan situasi masalah, membangun model matematis, mentransformasikan dan
menyelesaikan model, dan mengidentifikasi model.
Chamberlin (2002) mengembangkan MEAs (Model-eliciting activities) dengan dua tujuan yaitu:
Pertama, MEAs akan mendorong siswa untuk membuat model matematika untuk memecahkan
masalah yang kompleks, seperti matematika diterapkan lakukan di dunia nyata, kedua, MEAs
dirancang untuk memungkinkan para peneliti untuk menyelidiki pemikiran matematika siswa.
MEAs adalah pendekatan pembelajaran untuk memahami, menjelaskan dan mengkomunikasikan
konsep-konsep yang terkandung dalam suatu masalah melalui tahapan proses pemodelan
76

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

matematika. Model matematis siswa adalah hasil dari proses-proses rekursif ketika siswa
mengemukakan ide, menguji, meninjau ulang dan memperluas interpretasi mereka. Dalam kegiatan
pembelajaran MEAs, diawali dengan penyajian situasi masalah yang memunculkan aktivitas untuk
menghasilkan model matematika yang digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika. Siswa
juga melalui suatu proses pemodelan yang diharapkan dapat mengkonstruksi model matematis
yang sharable and reusable.

2.4. Beberapa Studi Yang Relevan


Widyastuti (2010) melaporkan bahwa kemampuan representasi matematis siswa, yang memperoleh
pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional. Martadiputra dan Suryadi (2012) melaporkan temuan tentang
terdapatnya perbedaan rata-rata peningkatan disposisi statistis mahasiswa antara yang pembelajaran
MEAs yang dimodifikasi dengan pembelajaran konvensional. Pembelajaran MEAs yang
dimodifikasi tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan disposisi statistis.

3.

Metode Penelitian

Studi ini dirancang dalam bentuk eksperimen dengan disain kelompok kontrol dan postes serta tes
retensi saja yang bertujuan menelaah peranan pembelajaran MEAs terhadap daya matematik dan
retensinya, serta kecerdasan emosional siswa SMA. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat
meningkatkan daya matematik dan retensi siswa, serta kecerdasan emosional siswa SMA. Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA kelas XI Kota Cimahi, sedangkan sampelnya
adalah siswa kelas XI dari dua SMA yang ditetapkan secara purposif pada SMA di Kota Cimahi
dan dipilih secara acak dari kelas XI yang ada. Kemudian dari sampel tersebut ditetapkan secara
acak yang menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tes daya matematik siswa masing-masing
disusun mengacu pada karakteristik daya matematik serta pedoman penyususunan tes yang baik.
Data akan dianalisis dengan menggunakan uji statistik t, uji ANOVA dan uji dengan statistik 2
(untuk uji asosiasi antar variabel).
Kelompok kelas diberikan perlakuan pembelajaran yaitu dengan pembelajaran MEAs (kelas
eksperimen) dan pembelajaran cara konvensional (kelas kontrol) yang diakhir perlakuan akan
dilakukan tes akhir (postes) tahap pertama untuk melihat pengembangan daya matematik siswa.
Kemudian untuk melihat dan mengetahui seberapa besar retensi daya matematik siswa, maka siswa
diberikan tes akhir (postes) tahap kedua dengan rentang waktu empat minggu setelah postes tahap
pertama dilakukan. Analisis skor retensi tersebut dihitung dengan menggunakan rumus: r = (skor
postes 2 skor postes 1) x 100%. Dengan demikian desain penelitiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1. Rancangan Penelitian
Perlakuan
X1
X2

Post-test1
T1
T2

Selang Waktu
4 minggu
4 minggu

Post-test2
T3
T4

Keterangan:
X1
: Pembelajaran MEAs.
T1
: Postes kelas eksperimen.
X2
: Pembelajaran Cara konvensional.
T2
: Postes kelas kontrol.
T3
: Postes kelas eksperimen setelah empat minggu postes (T1).
T4
: Postes kelas kontrol setelah empat minggu postes (T2).
Untuk melihat langkah-langkah penelitian disajikan pada Tabel 4.2. sebagai berikut :

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

77

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


Tabel 4.2 Langkah-Langkah Penelitian
Sifat
Kajian
Teoritis,
Empiris

Metode

Langkah-Langkah Penelitian

Luaran yang diharapkan

Studi teoritik
dokumentasi

1. Identifikasi daya matematik


dan retensinya, materi ajar,
serta kondisi awal siswa

Data tentang kondisi awal dan


kesulitan belajar siswa

Teoritis
Rasional
Empiris

Studi analisisdeskriptif

2. Merancang sampel bahan ajar


dan
instrumen
untuk
penelitian.

Teoritis
Rasional
Empiris
Rasional
empiris
naturalist

Studi analisisdeskriptif

2. Mengujicoba sampel bahan


ajar dan instrumen.

Rancangan bahan ajar dan


instrumen berkenaan dengan
Daya Matematik dan pendekatan
pembelajaran MEAs.
Bahan ajar dan tes Daya
Matematika yang telah direvisi

Studi analisis
deskriptif,

3. Melaksanakan penelitian dalam


hal melakukan pembelajaran,
analisis
data,
analisis
pelaksanaan
pembelajaran,
laporan,
lampiran dan
seminar/publikasi
hasil
penelitian.

Laporan Penelitian dan artikel


untuk seminar dan/atau dimuat
dalam jurnal ilmiah ber-issn
bertaraf nasional terakreditasi
dan/atau prosiding yang bertaraf
nasional/internasional.

Data hasil tes (baik postes maupun retensinya) kedua kelompok diolah dengan menggunakan
bantuan MINITAB 16 dan SPSS 19 dengan langkah sebagai berikut:
a. Menghitung rata-rata dan simpangan baku.
b. Menguji normalitas data sampel.
c. Uji Perbedaan Rata-Rata.
Adapun keterkaitan antara rumusan permasalahan, Hipotesis, Kelompok Data dan Jenis Uji
Statistik yang digunakan dalam analisis data disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 4.3. Keterkaitan Permasalahan, Hipotesis, Kelompok Data
dan Jenis Uji Statistik yang digunakan dalam Analisis Data
Permasalahan
Pencapaian kemampuan representasi matematik
siswa dengan PMEAs dan PB
Retensi kemampuan representasi matematik
siswa dengan PMEAs dan PB

Keterangan:
PMEAs
PB
KBTT-PMEAs
KBTT-PB
ReKBTT-PMEAs
ReKBTT-PB

78

Hipotesis
1
2

Kelompok Data
KBTT-PMEAs
KBTT-PB
ReKBTT-PMEAs
ReKBTT-PB

Jenis
Uji Statistik
Uji t
Uji t

: Pembelajaran MEAs
: Pembelajaran Cara konvensional
: Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis siswa (representasi
matematik) dengan Pembelajaran MEAs
: Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis siswa (representasi
matematik) dengan Pembelajaran Cara konvensional
: Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis siswa
(representasi matematik) dengan Pembelajaran MEAs
: Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis siswa
(representasi matematik) dengan Pembelajaran Cara konvensional

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

4.

Hasil Penelitian

Berikut ini disajikan hasil temuan mengenai pencapaian kemampuan representasi matematik
beserta retensi siswa seperti tersaji pada Tabel 4.4 berikut.
Tabel 4.4 Kemampuan Representasi Matematik dan Retensi Siswa
Kemampuan
Matematik
Representasi
Retensi

Kelas PMEAs (n = 30)


Rerata
SD
71,15
9,25
0,90
0,21

Kelas PB (n = 35)
Rerata
SD
65,55
10,66
0,89
0,22

Tabel 4.4 menunjukan bahwa secara deskriptif kemampuan representasi matematik siswa beserta
retensinya kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol. Untuk mendukung deskripsi
tersebut, maka dilakukan analisis data kemampuan representasi matematik siswa melalui uji
statistik dengan menggunakan uji perbedaan rerata. Selanjutnya dilakukan uji normalitas sebaran
data postes representasi matematik dan retensinya secara keseluruhan diperoleh bahwa data
berdistribusi normal dan homogen. Berdasarkan temuan tersebut, maka pengujian perbedaan rerata
kemampuan dan retensi di atas dilakukan dengan uji perbedaan dua rerata (tersaji dalam Tabel 4.5)
Tabel 4.5 Rekapitulasi Hasil Uji Perbedaan Rerata dengan Uji-t
Antara Pembelajaran MEAs dengan Pembelajaran Konvensional
Kemampuan
dan Disposisi

Sig.

Interpretasi

Kemampuan representasi matematik siswa SMA yang


memperoleh pembelajaran MEAs lebih baik daripada yang
0,041
memperoleh pembelajaran konvensioal pada taraf signifikansi
5%
Tidak terdapat perbedaan Retensi kemampuan representasi
matematik siswa SMA yang memperoleh pembelajaran MEAs
Retensi
0,073
dan yang memperoleh pembelajaran konvensioal pada taraf
signifikansi 5%
Sumber : diadopsi dari output SPSS 19
Representasi
Matematik

5.

Simpulan

Dari hasil pengolahan data diperoleh kesimpulan bahwa pencapaian kemampuan representasi
matematik siswa SMA yang memperoleh pembelajaran MEAs lebih baik daripada yang
memperoleh pembelajaran konvensional dan tidak terdapat perbedaan retensi kemampuan
representasi matematik siswa SMA yang memperoleh pembelajaran MEAs dan yang memperoleh
pembelajaran konvensional.

DAFTAR PUSTAKA
Chamberlin, S. A. 2002. Analysis of interest during and after Model-eliciting Activities: A
comparison of gifted and general population students. Unpublished doctoral dissertation.
Chamberlin, S. A., Moon, S. M. 2005. How Does the Problem Based Learning Approach Compare
to
the
Model-Eliciting
Activity
Approach
in
Mathematics?.
(http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/chamberlin.pdf)
Christoph dan Zehender, I. 2006. Effectiveness of Reptile Species Identification-A Comparison of
A Dichotomous Key with An Identification Book. Euresia Juornal of Mathematics Science
and Technology Education. Vol 2, No 3 Hal 55 65.
Cynthia, A., dan Leavitt, D. 2007. Implementation strategies for Model Eliciting Activities: A
Teachers Guide. [Online]. http://site.educ.indiana. edu/Portals/ 161/Public/ Ahn%20 &%20
Leavitt.pdf. [12 Maret 2013]

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

79

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Elia, I. 2007. Multiple representations in mathematical problem solving: Exploring sex differences.
[Online]. Available: http://www. prema.iacm. forth.grdocs/ws1/papers/Iliada%20Elia.pdf.
[10 November 2007]
Harries, T. dan Barmby, P. 2006. Representing Multiplication. Proceeding of the British Society
for Research into Learning Mathematics. Vol 26, No 3 Hal 25 30.
Hill, W. 2011. Teori-teori Pembelajaran Konsepsi, Komparasi, dan Signifikansi; (Penerjemah: M.
Khozim). Bandung: Nusa Media.
Hwang, et al. 2007. Multiple Representation Skills and Creativity Effects on Mathematical
Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Educational Technology &
Society, Vol 10, No 2, pp. 191-212.
Irwandi. 2012. Daya Matematis. [Online]. http://irwandiaini.blogspot.com/2012/09/dayamatematis.html. [20 April 2013]
Istianah, E. 2011. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik dengan
Pendekatan MEAS (Model-Eliciting Activities) Pada Siswa SMA. Tesis UPI: Tidak
diterbitkan.
Kemendiknas, 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai
Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Badan penelitian dan
pengembangan pusat kurikulum: Jakarta
Martadiputra, B. A dan Suryadi, D. 2012. Peningkatan Kemampuan Berpikir Statistis Mahasiswa
S1 Melalui Pembelajaran MEAs yang Dimodifikasi. Jurnal Infinity, Vol 1, No 1, pp. 79-89.
Rahman. 2010. Peranan Pertanyaan terhadap Kekuatan Retensi dalam Pembelajaran Sains pada
Siswa SMS. Dalam Educare: Jurnal Pendidikan dan Budaya. [Online]. Available:
http://educare.efkipunla.net/index2.html. [10 November 2011]
Ratnaningsih, N. 2007. Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis
dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi UPI: tidak diterbitkan.
Rosengrant, D, et.al . 2005. An Overview of Recent Research on Multiple Representations.
[Online].http://paer.rutgers.edu/ScientificAbilities/Downloads/Papers/DavidRosperc2006.Pd
f. [11 Maret 2013].
Tapilouw, F dan Setiawan, W. 2008. Meningkatkan Pemahaman dan Retensi Siswa Melalui
Pembelajaran Berbasis Teknologi Multimedia Interaktif (Studi Empirik pada Konsep Sistem
Saraf). Jurnal Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Vol 1, No 2, Desember
2008. Hal 21.
Widyastuti. 2010. Pengaruh Pembelajaran Model-Eliciting Activities terhadap Kemampuan
Representasi Matematis dan Self-Efficacy Siswa. Tesis UPI: Tidak diterbitkan.
Yuan, S. 2013. Incorporating Plyas Problem Solving Method in Remedial Math," Journal of
Humanistic Mathematics: Vol. 3: Iss. 1, Article 8.
Hal 98. Available:
http://scholarship.claremont.edu/jhm/vol3/iss1/8

80

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

IMPLEMENTASI LESSON STUDY MELALUI MODEL


KOOPERATIF PADA MATA KULIAH KAPITA SELEKTA
MATEMATIKA IV UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI
BELAJAR MATEMATIKA MAHASISWA
Nelly Fitriani
STKIP Siliwangi
Nhe.fitriani@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah
Kapita Selekta Matematika IV melalui implementasi Lesson Study dengan model pembelajaran
kooperatif. Desain penelitiannya adalah Penelitian Tindakan Kelas (Lesson Study berbasis
PTK) yang dilaksanakan dalam lima siklus. Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah 50
mahasiswa semester IV Kelas A1 angkatan 2012 Program Studi Pendidikan Matematika
STKIP Siliwangi Bandung. Teknik pengumpulan data yang digunakan observasi, tes dan
dokumentasi. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan metode alur yang terdiri dari
reduksi data, penyajian data dan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan ada peningkatan
prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah Kapita Selekta Matematika IV melalui
implementasi Lesson Study dengan model pembelajaran kooperatif.
Kata Kunci: Lesson Study, Model Kooperatif, Prestasi Belajar

1.

Pendahuluan

Mata kuliah Kapita Selekta Matematika IV merupakan salah satu mata kuliah wajib yang harus
ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika semester IV di STKIP Siliwangi
dengan bobot 3 SKS. Mata kuliah ini merupakan mata kuliah lanjutan dari Kapita Selekta
Matematika I, Kapita Selekta Matematika II, dan Kapita Selekta Matematika III. Esensinya mata
kuliah ini bertujuan agar mahasiswa mampu mengkaji materi esensial matematika SMP dan SMA,
juga mahasiswa pendidikan matematika (yang merupakan calon guru matematika) dapat membuat
sebuah perencanaan pengajaran hingga ketahap pelaksanaan pengajaran yang baik, dengan
berpedoman kepada kurikulum 2013.
Berdasarkan pengalaman mengajar peneliti pada mata kuliah Kapita Selekta Matematika I, II, III,
dan IV, mahasiswa yang mengikuti perkulihan pada umumnya masih banyak yang hanya
mendengarkan penjelasan dosen, mendengarkan penjelasan rekan mahasiswanya yang menjadi
pemateri, dan bahkan tidak menangkap materi-materi esensial yang seharusnya dikaji dalam
pembahasan ketika diskusi, dampaknya adalah prestasi belajar mahasiswa yang diraih pun masih
tergolong rendah (Nilai Kapita Selekta Matematika 2012-2013).
Rendahnya prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah Kapita Selekta Matematika ini juga
terlihat pada kelas A1 2012 semester Ganjil 2013-2014, dimana hanya 30% mahasiswa yang
memperoleh nilai di atas C (artinya sebanyak 35 orang mahasiswa memperoleh nilai akhir
maksimum di 65). Hal ini tentu saja sangat menghawatirkan, melihat mata kuliah Kapita Selekta
Matematika ini merupakan mata kuliah yang sangat penting dimana di dalamnya membahas materi
sekolah SMP dan SMA, yang materi-materinya akan dibawa oleh mahasiswa sampai mereka
praktek di lapangan (di sekolah ketika mengajar).
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan prestasi belajar mahasiswa di Perguruan Tinggi,
salah satunya adalah pengelolaan kelas misalnya menerapkan pembelajaran melalui Lesson Study.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

81

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Lesson study (Jugyokenkyu) telah dikembangkan dan diimplementasikan pada beberapa sekolah di
Jepang yang terbukti mampu meningkatkan kualitas pembelajaran yang berdampak langsung
terhadap peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena iu, melalui pembelajaran dengan metode
lesson study pada mata kuliah tertentu diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang
pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan pencapaian prestasi belajar mahasiswa.
Selain model pembelajaran yang digunakan oleh dosen, Subadi (Khotimah, 2013:484) menyatakan
Lesson Study merupakan alternatif untuk memperbaiki mindset dosen dalam proses perkuliahan.
Menurut Lewis (Khotimah, 2013:484) ide yang terkandung di dalam Lesson Study sebenarnya
singkat dan sederhana, yakni jika seorang guru/dosen ingin meningkatkan pembelajaran, salah satu
cara yang paling jelas adalah melakukan kolaborasi dengan guru/dosen lain untuk merancang,
mengamati dan melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan.
Lesson Study yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dosen sebagai peneliti mengkondisikan
agar mahasiswa melakukan tahap-tahap lesson study seperti yang dilakukan oleh kelompok guruguru/dosen-dosen. Mahasiswa dikelompokan yang selanjutnya melakukan tahap-tahap Lesson
Study.
Menurut Lewis, Fernandez dan Yoshida (Hix, 2008:26) di dalam Lesson Study kelompok bekerja
secara berkolaborasi dalam sebuah tim, yang dinamakan tim kelompok. Tim ini mendisain tujuan
dari pada pembelajaran. Mereka saling berkolaborasi dalam membuat perencanaan pembelajaran,
hingga saling mengobservasi pembelajaran yang mereka rencanakan. Setelah saling
mengobservasi, selanjutnya tim mendiskusikan temuan-temuan berdasarkan apa yang mereka
amati, hingga selanjutnya melakukan refleksi atas apa yang menjadi hasil diskusi untuk perbaikan
pada pembelajaran selanjutnya/ untuk sharing pembelajaran kelompok lain. Yoshida menjelaskan
bahwa Lesson Study ini merupakan sebuah bentuk pengembangan professionalisme seorang guru
dalam rangka melakukan sebuah autentik classroom, dan melalui Lesson Study guru dapat
membuat sebuah ide baru mengenai pembelajaran berdasarkan pemahaman yang dipikirkan oleh
siswa (Hix, 2008:26).
Lewis (Hix, 2008:27) mengatakan bahwa Lesson Study ini tidak akan berdampak cepat, pelanpelan tetapi pasti, hingga membuat sebuah budaya yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran. Demikian pula dengan aplikasi Lesson Study pada pembelajaran mata kuliah Kapita
Selekta Matematika IV ini, dilakukan dalam satu semester (6 Bulan) yang akhirnya berdampak
positif terhadap prestasi mahasiswa.
Menurut Lewis (Rismayanthi, 2014:5) pembelajaran yang berbasis pada Lesson Study perlu
dilakukan karena beberapa alasan antara lain Lesson Study merupakan suatu cara efektif yang
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan guru dan aktivitas belajar siswa. Hal ini
disebabkan (1) pengembangan Lesson Study dilakukan dan didasarkan pada hasil sharing
pengetahuan profesional yang berlandaskan pada proses dan hasil pengajaran yang dilaksanakan
para guru, (2) penekanan mendasar pada pelaksanaan suatu Lesson Study adalah agar para siswa
memiliki kualitas belajar, (3) kompetensi yang diharapkan dimiliki siswa dijadikan fokus dan titik
perhatian utama dalam pembelajaran di kelas, (4) berdasarkan pengalaman nyata di kelas, Lesson
Study mampu menjadi landasan bagi pengembangan pembelajaran, dan (5) Lesson Study akan
menempatkan peran para guru sebagai peneliti pembelajaran.
Berikut ini merupakan disain dari Lesson Study menurut Lewis (2011:30),

82

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Gambar 1. Kegiatan dalam 1 Siklus Lesson Study


Rumusan masalah dalam penelitian ini: Apakah ada peningkatan prestasi belajar mahasiswa pada
mata kuliah Kapita Selekta Matematika IV di kelas A1 2012 Prodi Pendidikan Matematika STKIP
Siliwangi Tahun 2013/2014 melalui implementasi Lesson Study dengan Cooperatif Learning?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar mahasiswa pada mata
kuliah Kapita Selekta Matematika IV di kelas A1 2012 Prodi Pendidikan Matematika STKIP
Siliwangi Tahun 2013/2014 melalui implementasi Lesson Study dengan Cooperatif Learning.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

83

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian tindakan kelas
(Lesson Study Berbasis PTK). Penelitian dilaksanakan dalam 5 siklus, dimana setiap siklusnya
melalui 3 tahapan, yaitu plan do see.
Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi pada
semester Genap 2013/2014, dengan subyek penelitian mahasiswa kelas A1 2012 yang berjumlah
50 mahasiswa. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, tes dan dokumentasi.
Observasi ini dilaksanakan dengan pengamatan langsung terhadap tindak mengajar dan belajar
mahasiswa terutama dalam hal melakukan tahap Plan (Chapter Design, Lesson Design), Do (Open
Lesson) dan Refleksi bersama-sama dengan semua kelompok mahasiswa. Tes digunakan untuk
mengetahui prestasi belajar mahasiswa. Sedangkan dokumentasi untuk merekam segala proses
pembelajaran. Instrumen yang digunakan berupa pedoman observasi, dan soal tes prestasi.
Keabsahan data diperoleh dengan triangulasi sumber dan metode.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, dilakukan dengan metode alur yang terdiri dari
reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan atau verifikasi.

3.
3.1.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Hasil Pelaksanaan Siklus I

Siklus I dimulai dengan melakukan Plan yang dilaksanakan oleh mahasiswa bersama teman satu
kelompoknya di ruang A19 STKIP Siliwangi pada tanggal 25 Febuari 2014. Tahap plan ini dimulai
dengan membuat Chapter Design materi Suku Banyak. Kegiatan pada Chapter Design yaitu
melihat sistematika materi, apakah sudah sesuai, apakah ada sub-bab yang kurang sesuai
sistematika, menentukan materi esensial dari isi materinya, hingga menentukan jumlah pertemuan
yang mungkin dilaksanakan jika diajarkan di sekolah. Setelah membuat Chapter Design,
selanjutnya membuat Lesson Design yaitu menyusun langkah-langkah pembelajaran yang
disesuaikan dengan Kurikulum 2013.
Do siklus I dilaksanakan pada tanggal 11 Maret 2014, pukul 10.00-12.00 WIB di ruang A19.
Setelah tahap Plan diperiksa, yang bertindak sebagai guru model adalah kelompok 2 dan yang
bertindak sebagai observer adalah kelompok 3. Kelompok lainnya seolah-olah menjadi siswa (Peer
teaching).
Setelah do,langsung dilanjutkan dengan tahap see / refleksi. Beberapa hal yang diperoleh dari hasil
diskusi refleksi pada siklus ini adalah: pembelajaran yang dilaksanakan belum sesuai dengan
rencana, missal dalam perencanaan berbasis kurikulum 2013 namun kenyataannya tidak.
Sehubungan dengan adanya kekurangan-kekurangan yang ditemukan pada siklus I tersebut,perlu
dilaksanakan perbaikan tindakan pada siklus II.
3.2.

Hasil Pelaksanaan Siklus II

Siklus II dimulai dengan melakukan Plan yang dilaksanakan oleh mahasiswa bersama teman satu
kelompoknya di ruang A19 STKIP Siliwangi pada tanggal 18 Maret 2014 dengan memperhatikan
rencana perbaikan pada siklus I. Tahap plan ini dimulai dengan membuat Chapter Design materi
Fungsi Komposisi dan Fungsi Invers. Setelah membuat Chapter Design, selanjutnya membuat
Lesson Design yaitu menyusun langkah-langkah pembelajaran yang disesuaikan dengan Kurikulum
2013.
Do siklus II dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2014, pukul 10.00-12.00 WIB di ruang A19 dan
dihadiri oleh 49 mahasiswa. Setelah tahap Plan diperiksa, yang bertindak sebagai guru model
adalah kelompok 1 dan yang bertindak sebagai observer adalah kelompok 2. Kelompok lainnya
seolah-olah menjadi siswa (Peer teaching).

84

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Setelah do,langsung dilanjutkan dengan tahap see / refleksi. Beberapa hal yang diperoleh dari hasil
diskusi refleksi pada siklus ini adalah: pembelajaran sudah dilaksanakan sesuai dengan rencana.
Pembelajaran yang dilakukan telah dilaksanakan oleh guru model (mahasiswa dari kelompok 1)
secara runtut, pengorganisasian waktu sudah baik. Rencana perbaikan pada siklus I untuk siklus II
sudah dilaksanakan. Tindak belajar mahasiswa sudah lebih baik. Namun prestasi mahasiswa belum
terlihat perubahannya. Sehubungan dengan adanya kekurangan-kekurangan yang ditemukan pada
siklus II tersebut,perlu dilaksanakan perbaikan tindakan pada siklus III.
3.3.

Hasil Pelaksanaan Siklus III

Sama halnya dengan siklus-siklus yang lain, siklus III dimulai dengan melakukan Plan yang
dilaksanakan oleh mahasiswa bersama teman satu kelompoknya di ruang A19 STKIP Siliwangi
pada tanggal 8 April 2014 dengan memperhatikan rencana perbaikan pada siklus II. Tahap plan ini
dimulai dengan membuat Chapter Design materi Program Linear. Setelah membuat Chapter
Design, selanjutnya membuat Lesson Design yaitu menyusun langkah-langkah pembelajaran yang
disesuaikan dengan Kurikulum 2013, pada siklus III ini, mahasiswa sudah terbiasa untuk membuat
Chapter Design dan Lesson Design berbasiskan kurikulum 2013.
Do siklus III dilaksanakan pada tanggal 22 April 2014, pukul 10.00-12.00 WIB di ruang A19 dan
dihadiri oleh 46 mahasiswa. Setelah tahap Plan diperiksa, yang bertindak sebagai guru model
adalah kelompok 3 dan yang bertindak sebagai observer adalah kelompok 1. Kelompok lainnya
seolah-olah menjadi siswa (Peer teaching).
Setelah do,langsung dilanjutkan dengan tahap see / refleksi. Beberapa hal yang diperoleh dari hasil
diskusi refleksi pada siklus ini adalah: Pada siklus III ini prestasi belajar sudah mengalami
peningkatan dibandingkan sebelum tindakan dan siklus-siklus sebelumnya. Namun demikian,
masih dijumpai beberapa kekurangan, yaitu : 1) Ketika ada perwakilan kelompok yang menjadi
guru model, kelompok lain masih banyak yang tidak memperhatikan, masih melanjutkan diskusi
sendiri-sendiri. 2) Saat diskusi berlangsung, masih banyak anggota kelompok yang diam saja.
Sehubungan dengan adanya kekurangan-kekurangan yang ditemukan pada siklus III tersebut,perlu
dilaksanakan perbaikan tindakan pada siklus IV.
3.4.

Hasil Pelaksanaan Siklus IV

Siklus IV pun dimulai dengan melakukan Plan yang dilaksanakan oleh mahasiswa bersama teman
satu kelompoknya seperti biasanya di ruang A19 STKIP Siliwangi pada tanggal 29 April 2014
dengan memperhatikan rencana perbaikan pada siklus III. Tahap plan ini dimulai dengan membuat
Chapter Design materi Barisan dan Deret. Setelah membuat Chapter Design, selanjutnya membuat
Lesson Design yaitu menyusun langkah-langkah pembelajaran yang disesuaikan dengan Kurikulum
2013.
Do siklus IV dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 2014, pukul 10.00-12.00 WIB di ruang A19 dan
dihadiri oleh 48 mahasiswa. Setelah tahap Plan diperiksa, yang bertindak sebagai guru model
adalah kelompok 4 dan yang bertindak sebagai observer adalah kelompok 5. Kelompok lainnya
seolah-olah menjadi siswa (Peer teaching).
Setelah do,langsung dilanjutkan dengan tahap see / refleksi. Beberapa hal yang diperoleh dari hasil
diskusi refleksi pada siklus ini adalah: Hal-hal yang masih perlu mendapat perbaikan untuk tindak
belajar mahasiswa adalah: 1) Pada pertemuan keduabelas ini mahasiswa terlihat kurang
mempersiapkan diri dalam hal materi. 2) Ketika proses diskusi berlangsung masih ada kelompok
yang bermasalah. Kelompok VI bermasalah dengan penguasaan materi, sedangkan kelompok II
terpecah menjadi 2 kelompok diskusi. 3) Pada saat presentasi, masih tetap ada yang tidak
memperhatikan.
Sehubungan dengan kekurangan-kekurangan yang ditemukan pada siklus IV tersebut, disepakati
perlu adanya siklus V dengan beberapa perbaikan tindakan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

85

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.5.

Hasil Pelaksanaan Siklus V

Diskusi plan/perencanaan Lesson Study siklus V dilaksanakan pada tanggal 20 Mei 2014 dengan
memperhatikan rencana perbaikan pada siklus IV.
Do siklus V dilaksanakan pada 8 Juni 2014 mulai pukul 10.00-12.00 WIB di ruang A19 dan
dihadiri oleh 48 mahasiswa, dengan materi ajar Geometri Transformasi.
Tahap refleksi siklus V dilaksanakan setelah do siklus V. Beberapa hal yang diperoleh dari hasil
diskusi refleksi pada siklus V ini di antaranya adalah: pembelajaran sudah dilaksanakan sesuai
dengan rencana. Rencana perbaikan pada siklus IV untuk siklus V sudah dilaksanakan dan yang
paling menonjol adalah prestasi belajar mahasiswa sudah jauh meningkat, tingkat kepercayaandiri
mahasiswa pun meningkat karena mahasiswa dipacu untuk dapat mengkomunikasikan pendapatpendapat hasil kajiannya. Banyaknya mahasiswa yang berani mengambil resiko, yang ditunjukkan
dengan mau mengajukan ide/gagasan dalam penelitian ini juga mengalami peningkatan yang
sangat besar. Sebelum tindakan dilaksanakan, mahasiswa cenderung takut untuk menyampaikan
ide/gagasannya. Namun pada siklus ke-lima, semua mahasiswa sudah bersedia mengajukan
ide/gagasan. Hal ini tidak terlepas dari tindakan pengelolaan kelas yang dilaksanakan dosen
sebagai fasilitator, yang senantiasa memberikan motivasi kepada mahasiswa.
10
8
Siklus I

Siklus II
4

Siklus III
Siklus IV

Siklus V

0
0

10

20

30

40

50

-2

Gambar 2. Peningkatan Prestasi Belajar Mahasiswa


Dari gambar di atas, terlihat pada siklus V prestasi mahasiswa sudah jauh meningkat. Adanya
peningkatan prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah Kapita Selekta Matematika IV di kelas
A1 2012 Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi ini juga tidak terlepas dari
pelaksanaan Lesson Study yang sudah diterapkan. Tahap-tahap plan, do, see yang dilaksanakan
bersama-sama antara guru model (mahasiswa model) sebagai subjek dengan rekan sejawat sebagai
critical friend di dalam Lesson Study dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki kekurangankekurangan yang muncul pada setiap siklus tindakan yang dilaksanakan.

4.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah : Implementasi Lesson Study melalui model
Kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah Kapita Selekta
Matematika IV di kelas A1 2012 Prodi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Tahun
2013/2014, dilihat dari nilai mahasiswa yang mendapatkan nilai lebih dari 65 meningkat sebesar
60%.
Sehubungan dengan adanya kekurangan-kekurangan yang dijumpai dalam penelitian ini, dapat
disarankan hal-hal sebagai berikut:
a. Mahasiswa hendaknya lebih memiliki motivasi yang tinggi dalam melakukan pembelajaran.
86

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

b. Mahasiswa hendaknya lebih open minded terhadap segala model pembelajaran baru, guna
meningkatkan profesionalisme diri mereka sebagai calon guru matematika.
c. Dapat dilaksanakan penelitian lanjutan untuk terus meningkatkan prestasi belajar mahasiswa,
dan agar budaya Lesson Study menjadi lebih ringan untuk dijalankan.

DAFTAR PUSTAKA
Hix, Sherry Love. (2008). Learning In Lesson Study: A Professional Development Model For
Middle School Mathematics Teachers. A Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of
The University of Georgia in Partial ulfillment of the Requirements for the Degree :
ATHENS, GEORGIA
Khotimah, Rita P. (2013). Implementasi Lesson Study Melalui Model Cooperatif Learning Untuk
Meningkatkan Kemandirian Dan Prestasi Belajar Mahasiswa. Prosiding Seminar Nasional
Matematika 13-14 Nopember 2013 PPPPTK Matematika.
Lewis, Catherine C. (2011). Lesson Study Step bu Step-How Teacher Learning Communities
Improve Instruction. HEINEMANN - Portsmouth, NH.
Rismayanthi, Cerika. (2014). Pengembangan Strategi Pembelajaran Dalam Implementasi
Kurikulum Melalui Lesson Study Berbasis Soft Skill Pada Siswa SMU/SMK. Makalah :
Pendidikan Kesehatan dan Rekreasi FIK UNY.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

87

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN


PENDEKATAN METAKOGNITIF UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI
MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS
Masta Hutajulu
STKIP Siliwangi
masthahutajulu@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi
matematis yang signifikan antara siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan
pendekatan metakognitif dan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan
konvensional. Desain penelitian ini adalah kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol
pretes dan postes. Kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran dengan pendekatan inkuiri
terbimbing dan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran konvensional. Untuk
mendapatkan data hasil penelitian digunakan instrumen berupa tes kemampuan komunikasi
matematis,. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Atas dengan level menengah
(sedang). Populasi penelitian ini adalah siswa SMA dengan sampel penelitian adalah siswa
kelas XI SMA Negeri 15 Bandung Propinsi Jawa Barat. Analisis data dilakukan secara
kuantitatif yaitu dengan uji perbedaan rata-rata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi matematis siswa. Pembelajaran matematika dengan pendekatan metaognitif secara
signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Pembelajaran dengan pendekatan
metakognitif dapat menjadi alternatif model pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan di
Sekolah Menengah Atas.
Kata Kunci: Kemampuan komunikasi, pendekatan metakognitif

1.

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah


Tujuan umum pembelajaran matematika yang dirumuskan National Council of Teacher
Mathematics (2000) yaitu: (1) belajar untuk berkomunikasi; (2) belajar untuk bernalar; (3) belajar
untuk memecahkan masalah; (4) belajar untuk mengaitkan ide;dan (5) pembentukan sikap positif
terhadap matematika.
Menurut Sumarmo (Saragih, 2007), kemampuan-kemampuan di atas disebut daya matematis
(mathematical power) atau keterampilan matematika (doing math). Keterampilan matematika
(doing math) diharapkan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik masa kini dan kebutuhan
peserta didik di masa yang akan datang. Untuk kebutuhan peserta didik masa kini diharapkan
dengan keterampilan matematika yang dimilikinya, siswa mampu memahami konsep-konsep yang
diperlukan untuk menyelesaikan maslah matematika dan ilmu pengetahuan lainnya ketika siswa
masih duduk di bangku sekolah.
Untuk mendukung proses pembelajaran yang meningkatkan kemampuan komunikasi matematis
siswa diperlukan suatu pengembangan materi pelajaran matematika yang difokuskan pada
kesadaran tentang pengetahuan dan proses berpikir siswa. Mereka harus memiliki kesadaran bahwa
mereka perlu tahu tentang konsep yang melandasi untuk memecahkan suatu masalah, sadar akan
kekurangan dan kelebiha yang mereka miliki. Akibatnya dengan kesadaran ini diharapkan siswa

88

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis untuk menyelesaikan permasalahan


yang dihadapi. Proses penyadaran kemampuan kognitif ini merupakan upaya secara metakognitif.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara
konvensional?
b. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran
dengan pendekatan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
secara konvensional?
1.3. Hipotesis
Dalam penelitian ini, penulis mengajukan 2 buah hipotesis. Kedua hipotesis yang diajukan adalah
sebagai berikut:
a. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional
b. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara
konvensional

2. Metodologi Penelitian
2.1. Variabel Penelitian
Variabel bebas
Variabel terikat

: Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif


: Kemampuan komunikasi matematis siswa

2.2. Instrumen Penelitian


Instrumen yang digunakan yaitu: Tes matematika kemampuan komunikasi matematis.
2.3. Desain penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pretest Postest Control Group
Design yang melibatkan dua kelompok siswa, yaitu kelompok eksperimen yang akan memperoleh
perlakuan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan kelompok kontrol yang mendapat
pembelajaran secara konvensional. Diagram dari desain penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol

R
R

O
O

O
O

R = Pemilihan sampel secara random terhadap kelas XI SMA


O = Tes Awal dan tes akhir kemampuan komunikasi Matematis
2.4. Teknik Pengambilan Sampel
Penelitian dilakukan pada siswa SMA Negeri 15 Bandung. Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa kelas XI SMA Negeri 15 Bandung. Dipilih siswa kelas XI dengan asumsi bahwa mereka
tidak disibukkan oleh persiapan ujian akhir seperti kelas XII. Siswa kelas XI dianggap cukup
mengenal situasi pembelajaran di sekolah dan memiliki kemampuan yang cukup terhadap materi
yang akan disampaikan.
Melalui pemilihan kelompok secara acak terpilih kelas XI IPA 1 (38 siswa) sebagai kelompok
eksperimen dan XI IPA 2 (36 siswa) sebagai kelompok kontrol, sehingga tehnik sampling yang
dilakukan adalah Cluster Random Sampling (Fraenkel, 1990)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

89

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Untuk tes awal kemampuan komunikasi matematis diperoleh thitung = 0,27 sedangkan ttabel = 2,381.
Dengan kriteria thitung < ttabel terpenuhi, berarti H0 diterima, dengan demikian kemampuan awal
komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pendekatan metkognitif dan siswa yang belajar
secara konvensional mempunyai kemampuan komunikasi matematis yang sama.

Kelompok
Tes Awal
Tes Akhir

Tabel 4.1
Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perbedaan Rata-rata Skor Tes
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa
Eksperimen
Kontrol
thitung
ttabel
s2
s2
Keterangan

6,710
5,346
6,860
5,894
0,270
H0diterima
2,381
33,970 25,053 38,690
14,847
5,064
H1ditolak

Tetapi untuk tes akhir, diperoleh thitung = 5,064 sedangkan ttabel = 2,381. Dengan demikian kriteria
thitung < ttabel tidak terpenuhi. Hal ini menunjukkan H0 ditolak dan H1 diterima, ini berarti bahwa
kemampuan akhir komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pendekatan metakognitif lebih
baik daripada siswa yang belajar secara konvensional.
Tabel 4.2
Rekapitulasi Hasil Perhitungan Perbedaan Rata-rata Gain Ternormalisasi
Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Eksperimen
Kontrol
Kelompok
thitung
ttabel
s2
s2
Keterangan

Kemampuan
Pemahaman
0,634
0,095
0,506
0,055
2,560
1,667
Lebih Baik
Matematis

Tes awal kemampuan komunikasi matematis siswa diperoleh thitung = 2,003 sedangkan ttabel =
1,667. Dengan demikian kriteria thitung < ttabel tidak terpenuhi. Hal ini menunjukkan H0 ditolak dan
H1 diterima. Artinya nilai rata-rata gain kelompok eksperimen lebih besar daripada kelompok
kontrol atau peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan pendekatan
metakognitif lebih baik daripada siswa yang belajar secara konvensional.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan pada bagian terdahulu mengenai kemampuan komunikasi
matematis siswa yang belajar dengan pendekatan metakognitif dan siswa yang belajar secara
konvensional diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1) Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
secara
konvensional.
2) Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan metakognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara
konvensional.
b. Saran
Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dapat menjadi alternatif model pendekatan
pembelajaran yang dapat digunakan di Sekolah Menengah Atas.

90

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

DAFTAR PUSTAKA
Cai, J.L, dan Jakabcsin, M.S. (1996). The Role of Open-Ended Tasks and Holistic Scoring Rubrics:
Assessing Students Mathematical Reasoning and Communication. Dalam Portia C. Elliot
(Eds). Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM.
Cochran, R. et al.(2007). The Impact of Inqury-Based Mathematics on Context Knowledge and
Classroom Practice.[Online]. Tersedia: http://www.rume.org/crume2007/papers/cochranmayer-mullins.pdf.
Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas.
Fraenkel,J.R. dan Wallen, N.E.(1993). Second Edition. How to Design and Evaluate Research in
Education. Singapore: Mc-Graw Hill International.
Gulo. W. (2008). Strategi Belajar Mengajar.Jakarta: Grasindo.
Hake,
R.R.
(1999).
Analyzing
Change/Gain
Scores.
[Online].
Tersedia:
http://www.physics.indiana.edu/ sdi/Analyzingchange-Gain.pdf.
NCTM. (2000). Princip And Standards For School Mathematics. Reston : Virginia.
Ruseffendi, H. E. T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Cetakan Pertama.
Bandung : IKIP Bandung Press.
Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa
SMP Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.
Sumarmo, U. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional FPMIPA UPI:
Tidak diterbitkan.
Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung: UPI.
Widdiharto. R. (2004). Model-Model Pembelajaran Matematika SMP. Yogyakarta: PPPG
Matematika.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

91

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENINGKATAN KEMAMPUAN ARGUMENTASI


MATEMATIS MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN
MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS
MASALAH
R. Bambang Aryan Soekisno 1 , Yaya S. Kusumah 2 , Jozua Sabandar 3 , Darhim 4
1)

2, 3, 4)

STKIP Siliwangi
Program Studi Pendidikan Matematika, SPs Universitas Pendidikan Indonesia
1
bambang_aryan@yahoo.com

ABSTRAK
Pembelajaran matematika ditingkat perguruan tinggi lebih banyak menggunakan pendekatan
berbasis masalah. Mahasiswa diberikan masalah dan diminta memecahkannya. Pada proses
pemecahan masalah pada umumnya yang dilakukan adalah problem lansung solving,
melewatkan argumentasi, padahal argumentasi merupakan hal penting. Pada argumentasi akan
terlihat proses berpikir yaitu data apa yang diketahui, dukungan dari definisi atau teorema yang
digunakan, sanggahan apa yang dapat dilakukan, sehingga sampai pada klaim. Seseorang
dikatakan memahami masalah secara bermakna apabila ia dapat mengemukakan alasan, data,
jaminan, idea bahkan klaim dalam masalah secara benar. Karena itu, untuk memeriksa apakah
mahasiswa telah memiliki kemampuan mengemukakan masalah matematika secara bermakna,
dapat diestimasi melalui kemampuan mahasiswa menyampaikan secara lisan atau menuliskan
kembali idea dalam argumentasi matematis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa pendidikan matematika dalam
pembelajaran kalkulus 1. Untuk meningkatkan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa,
perlu adanya upaya untuk menerapkan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat
memfasilitasi mahasiswa dalam berargumentasi. Penelitian eksperimen ini, dengan populasi
seluruh mahasiswa pendidikan matematika di UHAMKA. Pemilihan sampel dalam penelitian
ini dengan menggunakan purposif random sampling, dua kelas sebagai kelas eksperimen dan
dua kelas sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen diberikan pembelajaran berbasis masalah
(PBM), dan kelas kontrol diberikan pembelajaran konvensional (KS). Sampel yang terlibat
sebanyak 141 orang mahasiswa. Instrumen yang digunakan adalah soal tes kemampuan
argumentasi matematis. Analisis data menggunakan uji-t, dan ANOVA satu dan dua jalur.
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan secara
signifikan peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa antara kelompok PAM
(atas, tengah dan bawah) pada pendekatan PBM. Perbedaan peningkatan terjadi pada kelompok
PAM atas dengan tengah. Secara signifikan peningkatan kemampuan argumentasi matematis
mahasiswa berdasarkan kelompok PAM pada pendekatan PBM lebih baik dibandingkan
dengan peningkatan kemampuan argumentasi matematis yang memperoleh pembelajaran KS.
Terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan kemampuan argumentasi matematis
mahasiswa pada masing-masing kelompok PAM dengan pendekatan PBM dan KS. Secara
bersamaan kedua faktor kelompok PAM dan pendekatan pembelajaran memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa.
Kata Kunci: Argumentasi matematis, Pembelajaran berbasis masalah

1.

Pendahuluan

Kemampuan mengemukakan suatu alasan disertai dengan data dan dukungan teori yang memadai
dari suatu masalah matematika, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan merupakan bagian penting
dari kemampuan matematis yang perlu dimiliki mahasiswa. Seseorang dikatakan memahami suatu
masalah secara bermakna apabila ia dapat mengemukakan alasan, data, jaminan, ide bahkan klaim
dalam masalah secara benar. Karena itu, untuk memeriksa apakah mahasiswa telah memiliki
kemampuan mengemukakan masalah matematika secara bermakna, dapat diestimasi melalui
92

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kemampuan mahasiswa menyampaikan secara lisan atau menuliskan kembali ide dalam
argumentasi matematis.
Ide tentang optimalisasi kemampuan berargumentasi dalam matematika seperti kemampuan
mengemukakan alasan, data dan dukungan teori, kemampuan menulis, dan kemampuan berwacana
menjadi salah satu alternatif menuju jawaban dari suatu masalah. Oleh sebab itu, bukan tidak
mungkin seorang pelaku dan pengguna matematika mencari bentuk, model, bahkan siasat (trik)
selama bekerja dengan matematika.
Proses mencari solusi dari suatu masalah tentu bukan merupakan proses berpikir yang sederhana,
dalam proses menentukan penyelesaian suatu masalah memerlukan banyak kemampuan berpikir.
Kemampuan melakukan pengumpulan informasi dan data, mengemukakan argumen, menentukan
teori yang mendukung, menentukan alur pemecahan masalah, merupakan proses berpikir yang
memungkinkan mahasiswa dapat memecahkan masalah.
Kemampuan argumentasi merupakan hal yang penting dalam pembelajaran matematika, perlu
dilatihkan pada mahasiswa. Mahasiswa perlu dibekali kemampuan argumentasi agar mampu
memecahkan masalah yang dihadapi secara kritis. Pentingnya keterampilan berpikir kritis
dilatihkan kepada mahasiswa, didukung oleh visi pendidikan matematika yang mempunyai dua
arah pengembangan yaitu memenuhi kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang (Sumarmo,
2002, 2004, 2005). Kebutuhan masa kini, pembelajaran matematika mengarah pada pemahaman
konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematis dan ilmu pengetahuan
lainnya. Selanjutnya, kebutuhan masa yang akan datang atau mengarah ke masa depan, mempunyai
arti lebih luas yaitu pembelajaran matematika memberikan kemampuan nalar yang logis,
sistematis, kritis, dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari serta untuk menghadapi masa depan yang selalu berubah.
Kemampuan argumentasi matematis akan jauh lebih baik ketika para mahasiswa dilibatkan dalam
pembelajaran berbasis masalah, terutama dengan masalah-masalah tidak terstruktur, di mana
interpretasi-interpretasi serta solusi-solusi alternatif yang membutuhkan argumentasi. Para
mahasiswa yang dituntut untuk mengingat informasi punya sedikit alasan untuk ikut terlibat dalam
argumentasi. Lingkungan pembelajaran berbasis masalah biasanya menyajikan klaim-klaim atau
solusi-solusi alteratif yang harus diatasi oleh para pelajar lewat argumentasi.
Pembelajaran yang menyediakan banyak kesempatan kegiatan matematis kepada mahasiswa dalam
melakukan argumentasi adalah Problem-Base Learning atau pembelajaran berbasis masalah
(PBM), pembelajaran yang dimulai dengan pengajuan masalah dalam situasi kontekstual, masalah
yang sedang hangat dibicarakan dan prosedur penyelesaiannya tidak terdefinisi dengan baik.
Masalah yang disajikan pada awal PBM umumnya berbentuk word-problem, diberikan arahan
untuk membangun dengan memunculkan kontra-argumen. Kontra-argumen didefinisikan sebagai
atribut dari argumentasi yang baik (Adriessen, Baker & Suthers, 2003; Voss, Perkins, & Siegel,
1991) dan sebuah standar untuk menilai argumen (Kuhn, 1991).

2.

Metode Penelitian

2.1. Populasi dan Sampel


Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa pada Jurusan Pendidikan Matematika di
UHAMKA. Pemilihan mahasiswa pendidikan matematika sebagai subyek berdasarkan
pertimbangan bahwa mata kuliah kalkulus 1 juga diberikan pada seluruh mahasiswa pendidikan
matematika tingkat pertama, keragaman kemampuan akademik, tingkat berpikir mahasiswa, dan
kemandirian mahasiswa dalam belajar, sehingga diharapkan implementasi pembelajaran berbasis
masalah dapat berjalan dengan optimal.
Sampel untuk penelitian yang dilakukan diambil dari mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika
UHAMKA, yang mengambil mata kuliah Kalkulus 1. Pemilihan sampel dalam penelitian dengan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

93

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

menggunakan purposif random sampling, dikarenakan cara pengambilan sampelnya dilakukan


secara random yang didasarkan pada kelompok-kelompok kelas. Mahasiswa pada setiap kelompok
kelas mempunyai karakteristik yang sama, yaitu memilih dua kelas sebagai kelas kontrol dan dua
kelas sebagai kelas eksperimen dari masing-masing pada Jurusan Pendidikan Matematika
UHAMKA. Randomisasi dilaksanakan dengan cara mengundi.
2.2. Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan menerapkan pembelajaran berbasis
masalah. Terdapat dua kelompok mahasiswa yang akan diteliti kemampuan argumentasi matematis
sebagai akibat dari perlakuan pembelajaran yang diterapkan. Kelompok yang satu menggunakan
pembelajaran berbasis masalah (PBM), kelompok lainnya menggunakan pembelajaran dengan cara
konvensional (KS). Dari masing-masing kelompok mahasiswa dibagi menjadi kategori level
pengetahuan awal matematika mahasiswa ke dalam kelompok atas, tengah, dan bawah.
Terdapat dua tahapan dalam penelitian ini, yaitu tahap pendahuluan berupa identifikasi dan
pengembangan komponen-komponen pembelajaran, dan tahap kedua adalah pelaksanaan
penelitian, berupa pelaksanaaan seluruh rangkaian pembelajaran yang sudah direncanakan.
2.3. Instrumen dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan beberapa instrumen. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini
meliputi: (a) tes untuk mengukur pengetahuan awal matematika mahasiswa, (b) tes untuk
mengukur kemampuan argumentasi matematis (c) lembar observasi selama pembelajaran dan (d)
wawancara, tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran berbasis masalah. Kemampuan
argumentasi matematis mahasiswa dijaring melalui tes tertulis dan yang disusun berdasarkan tiga
aspek, yaitu berupa mengidentifikasi asumsi, mengidentifikasi data yang relevan dan tidak relevan,
menganalisis argumen, menjawab disertai alasan (klarifikasi), memberikan alasan terhadap suatu
kesimpulan. Soal kemampuan argumentasi matematis terdiri dari 8 nomor. Instrumen ini diberikan
kepada mahasiswa sebelum dan setelah pelaksanaan pembelajaran.
2.4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif terdiri
dari analisis statistik deskriptif dan inferensial. Langkah pertama adalah analisis statistik deskriptif,
seperti perhitungan rata-rata, simpangan baku dan grafik serta diagram, digunakan untuk melihat
gambaran secara umum. Untuk mengetahui adanya peningkatan kemampuan argumentasi
matematis mahasiswa pada kedua kelompok dilakukan analisis terhadap hasil sebelum dan setelah
pembelajaran. Analisis data dilakukan dengan menggunakan rumus gain ternormalisasi rata-rata
(average normalized gain) menurut Hake (2007).
Langkah kedua adalah analisis statistik inferensia yang diperlukan sebagai dasar dalam pengujian
hipotesis, dimulai dengan uji normalitas dan homogenitas varians pada bagian-bagian ataupun
secara keseluruhan. Langkah berikutnya, untuk mengetahui adanya perbedaan dari masing-masing
kelompok, terdapat interaksi antara variabel bebas dengan variabel kontrol terhadap variabel terikat
sesuai dengan hipotesis, digunakan ANOVA satu jalur dengan bantuan perangkat lunak SPSS19.00.

3.

Hasil Penelitian

Pada bagian ini, disajikan data hasil penelitian. Skor kemampuan argumentasi matematis
mahasiswa sebelum dan setelah pembelajaran dapat dilihat pada Gambar1 dan 2. Data skor
kemampuan argumentasi matematis mahasiswa berdasarkan kelompok PAM sebelum pendekatan
pembelajaran digunakan, disajikan pada Gambar 1.

94

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Keterangan : Skor maksimum ideal adalah 70


Gambar 1. Rata-rata Kemampuan Awal Argumentasi Matematis Mahasiswa berdasarkan
Kelompok PAM sebelum Perlakuan

Data skor kemampuan argumentasi matematis mahasiswa berdasarkan kelompok PAM, setelah
pendekatan pembelajaran digunakan disajikan dalam Gambar 2.

Keterangan : Skor maksimum ideal adalah 70


Gambar 2. Rata-rata Kemampuan Akhir Argumentasi Matematis Mahasiswa berdasarkan
Pendekatan Pembelajaran dan Kelompok PAM

Berikut disajikan deskripsi peningkatan skor kemampuan argumentasi matematis mahasiswa


sebelum dan setelah pembelajaran dilakukan.
Tabel 1.
Deskripsi N-Gain Kemampuan Argumentasi Matematis
berdasarkan Pendekatan Pembelajaran, dan Kelompok PAM
Pendekatan Pembelajaran
PBM

PAM

KS

Skor Skor
Min Max

Ratarata

SB

0.46

0.76

0.62

Tengah 0.32

0.74

Bawah 0.45
0.35

Atas

Total

Skor Skor
Min Max

Ratarata

SB

0.09 18

0.38

0.57

0.45

0.07 10

0.52

0.10 40

0.12

0.57

0.38

0.11 32

0.77

0.58

0.10 11

0.12

0.53

0.32

0.11 30

0.72

0.55

0.05 69

0.20

0.54

0.36

0.07 72

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

95

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Pada Tabel 1. terlihat peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa yang


memperoleh PBM lebih baik dari mahasiswa yang memperoleh pembelajaran KS. Pada tabel
tersebut, perolehan skor rata-rata n-gain kemampuan argumentasi matematis kelompok yang
memperoleh PBM sebesar 0.55. Hal ini berarti bahwa perolehan skor rata-rata n-gain kemampuan
argumentasi matematis kelompok yang memperoleh PBM, lebih dari skor rata-rata n-gain
kemampuan argumentasi matematis kelompok yang memperoleh pembelajaran KS, yaitu sebesar
0.36. Selain itu rata-rata peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa yang
memperoleh PBM berdasarkan kelompok PAM atas, tengah, dan bawah masing-masing lebih
tinggi dari mahasiswa yang memperoleh pembelajaran KS.
Deskripsi secara umum tentang peningkatan kemampuan argumentasi matematis menunjukkan
adanya perbedaan antara kemampuan argumentasi matematis mahasiswa yang memperoleh PBM
dan yang memperoleh pembelajaran KS. Apakah perbedaan itu signifikan atau tidak akan
dilakukan uji statistik dengan menguji perbedaan dua rata-rata.
Perhitungan uji perbedaan dua rata-rata peningkatan kemampuan argumentasi matematis
mahasiswa antara yang memperoleh PBM, dan pembelajaran KS, dilakukan dengan menggunakan
uji-. Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2.
Uji Perbedaan Dua Rata-rata N- Gain
Kemampuan Argumentasi Matematis Mahasiswa
yang Memperoleh PBM, dan Pembelajaran KS
Uji-t Kesamaan Dua Rata-rata
Kemampuan Argumentasi

t
10.174

df
139

H0
Sig.
0.000

Tolak

Untuk menguji hipotesis semua persyaratan telah dipenuhi. Hipotesis yang diuji adalah H 0: Tidak
terdapat perbedaan rata-rata peningkatan skor kemampuan argumentasi matematis mahasiswa
antara yang memperoleh PBM, dan pembelajaran KS. H a: rata-rata peningkatan skor kemampuan
argumentasi matematis mahasiswa yang memperoleh PBM lebih baik daripada yang memperoleh
pembelajaran KS. Kriteria pengujian, jika nilai probabilitas (Sig.) lebih dari 0.05, maka hipotesis
nol diterima.
Pada Tabel 2. terlihat bahwa hipotesis nol ditolak. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan
bahwa, peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa yang memperoleh PBM secara
signifikan lebih baik daripada peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa yang
memperoleh pembelajaran KS.
Data n-gain skor kemampuan argumentasi matematis mahasiswa secara keseluruhan maupun
berdasarkan kelompok PAM yang menggunakan pendekatan PBM adalah berdistribusi normal dan
variansinya homogen. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan
argumentasi matematis mahasiswa berdasarkan kelompok PAM dan pendekatan PBM, digunakan
uji ANOVA satu jalur. Rangkuman hasil uji ANOVA satu jalur disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3
ANOVA Perbedaan Rata-rata
Peningkatan Kemampuan Argumentasi Matematis
berdasarkan Kelompok PAM dan Pendekatan PBM
Sumber adanya
Perbedaan

Sum of
Squares

df

Mean
Square

Sig.

Between Groups

0.124

0.062

6.222

0.003

Within Groups

0.656

66

0.010

Total

0.779

68

96

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

H0

Tolak

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Berdasarkan Tabel 3. terlihat bahwa nilai probabilitas (Sig.) sebesar 0.003. Hal ini dapat dikatakan
bahwa, rata-rata peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa antara kelompok
PAM (atas, tengah, dan bawah) yang memperoleh PBM secara signifikan berbeda. Berikutnya
dilakukan uji beda lanjut, untuk mengetahui peningkatan mana yang berbeda secara signifikan
dalam kemampuan argumentasi matematis. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Scheffe,
rangkuman hasil perhitungan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4
Uji Scheffe Rata-rata
Peningkatan Kemampuan Argumentasi Matematis
berdasarkan Kelompok PAM dalam Pendekatan PBM
95% Confidence
Interval
Mean
(I)
(J)
Difference
Std.
Lower
Upper
KelPAM
KelPAM
(I-J)
Error
Sig.
Bound
Bound
Atas
Tengah
0.098*
0.028
0.004
0.027
0.169
Bawah
0.043
0.038
0.526
-0.052
0.139
Tengah
Atas
-0.098*
0.028
0.004
-0.169
-0.027
Bawah
-0.054
0.034
0.286
-0.139
0.031
Bawah
Atas
-0.043
0.038
0.526
-0.139
0.052
Tengah
0.054
0.034
0.286
-0.031
0.139
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

H0
Tolak
Terima
Tolak
Terima
Terima
Terima

Hipotesis yang diuji adalah:


H0: Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa antara
kelompok PAM yang memperoleh pendekatan PBM.
Ha: Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa antara
kelompok PAM yang memperoleh pendekatan PBM.
Kriteria pengujian, jika nilai probabilitas (Sig.) lebih dari = 0.05, maka hipotesis nol diterima.
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4. tampak bahwa nilai probabilitas (Sig.) untuk masingmasing pasangan kelompok PAM atas dengan tengah, atas dengan bawah, dan tengah dengan
bawah. Nilai probabilita (Sig.) untuk peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa
pada kelompok PAM atas dengan tengah kurang dari 0.05. Hal ini berarti bahwa, hipotesis nol
ditolak. Dengan demikian, terdapat perbedaan yang signifikan peningkatan kemampuan
argumentasi matematis mahasiswa antara kelompok PAM atas dengan PAM tengah. Berbeda
dengan nilai probabilitas (Sig.) untuk pasangan kelompok PAM atas dengan bawah, dan tengah
dengan bawah, peningkatan kemampuan argumentasi matematis pada kelompok PAM lebih dari
0.05. Hal ini berarti bahwa, hipotesis nol diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan tidak
terdapat perbedaan yang signifikan peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa
antara kelompok PAM atas dengan bawah dan tengah dengan bawah.
Diketahui bahwa seluruh data kemampuan argumentasi matematis mahasiswa berdasarkan
kelompok PAM dan pendekatan pembelajaran berdistribusi normal, dan variansinya homogen.
Untuk mengetahui ada interaksi antara pembelajaran yang digunakan dengan kelompok PAM
dalam kemampuan argumentasi matematis mahasiswa digunakan uji ANOVA dua jalur.
Berikut adalah rangkuman hasil perhitungan uji ANOVA yang disajikan pada Tabel 5.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

97

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


Tabel 5
ANOVA Dua Jalur antara Kelompok PAM dan Pendekatan Pembelajaran
terhadap Peningkatan Kemampuan Argumentasi Matematis Mahasiswa
Source

Type III
Sum of Squares

Mean
Square

df

Sig.

H0

Corrected Model

1.545a

Intercept

24.501

PAM

.159

.080

7.402

.001

Tolak

Pend Pembljrn

.939

.939

87.426

.000

Tolak

PAM * Pend
Pembljrn
Error

.069

.034

3.190

.044

Tolak

1.450

135

.011

32.583

141

2.996

140

Total
Corrected Total

.309

28.777

.000

24.501 2281.022

.000

a. R Squared = .516 (Adjusted R Squared = .498)

Dari hasil perhitungan dengan uji ANOVA pada Tabel 5., diperoleh nilai F untuk kelompok PAM
sebesar 7.402 dan nilai probabilitas (Sig.) sebesar 0.001. Hal ini berarti hipotesis nol ditolak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor kelompok PAM memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa. Demikian juga
faktor pendekatan pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan
kemampuan argumentasi matematis mahasiswa. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F untuk
pendekatan pembelajaran sebesar 87.426 dan nilai probabilitas (Sig.) sebesar 0.000. Nilai
signifikansi ini kurang dari 0.05, sehingga hipotesis nol ditolak.
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 5. dapat dilihat bahwa nilai F untuk interaksi antara
kelompok PAM dan pendekatan pembelajaran adalah 3.190 dan nilai probabilitas (Sig.) sebesar
0.044. Nilai ini kurang dari signifikansi 0.05, sehingga hipotesis nol ditolak. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa faktor kelompok PAM dan pendekatan pembelajaran secara bersamaan
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan argumentasi matematis
mahasiswa.
Untuk mengetahui kelompok PAM mana yang berinteraksi dengan pendekatan pembelajaran
dalam peningkatan kemampuan argumentasi matematis, dilanjutkan dengan uji Scheffe.
Rangkuman hasil perhitungan uji Scheffe disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6
Perbandingan Selisih Peningkatan Kemampuan Argumentasi Matematis
antara Pendekatan Pembelajaran pada Kelompok PAM
95% Confidence
Interval
Mean
H0
(I)
(J)
Difference
Std.
Lower
Upper
KelPAM
KelPAM
(I-J)
Error
Sig.
Bound
Bound
*
Atas
Tengah
0.103
0.023
0.000
0.046
0.160
Tolak
Bawah
0.171*
0.025
0.000
0.108
0.234
Tolak
Tengah
Atas
-0.103*
0.023
0.000
-0.160
-0.046
Tolak
Bawah
0.068*
0.020
0.005
0.018
0.118
Tolak
Bawah
Atas
-0.171*
0.025
0.000
-0.234
-0.108
Tolak
Tengah
-0.068*
0.020
0.005
-0.118
-0.018
Tolak
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Berdasarkan Tabel 6. dapat dilihat bahwa peningkatan kemampuan argumentasi matematis


mahasiswa kelompok PAM atas lebih baik daripada kelompok PAM tengah dan bawah. Demikian
juga untuk peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa kelompok PAM tengah,

98

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

lebih baik daripada kelompok PAM bawah. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran
PBM memberikan peran dalam meningkatkan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa.
Selain itu, selisih peningkatan kemampuan argumentasi matematis antara pendekatan PBM dan KS
pada kelompok PAM atas berbeda secara signifikan dibandingkan dengan kelompok PAM tengah.
Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (Sig.= 0.000) kurang dari 0.05. Dengan demikian
terdapat interaksi antara faktor pembelajaran (PBM dan KS) dengan faktor kelompok PAM (atas
dan tengah) dalam peningkatan kemampuan argumentasi matematis.
Selanjutnya dilakukan analisis data dengan bantuan grafik, untuk melihat interaksi antara
pembelajaran yang digunakan dengan kelompok PAM terhadap peningkatan kemampuan
argumentasi matematis. Dengan bantuan grafik, interaksi antara kelompok PAM dengan
pendekatan pembelajaran yang digunakan terhadap peningkatan kemampuan argumentasi
matematis dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Interaksi Pendekatan Pembelajaran dan Kelompok PAM dalam Peningkatan


Kemampuan Argumentasi Matematis

Pada Gambar 3. tampak bahwa rata-rata peningkatan kemampuan argumentasi mahasiswa


berdasarkan PAM, secara keseluruhan yang pembelajarannya menggunakan pendekatan PBM lebih
tinggi daripada rata-rata peningkatan yang pembelajarannya menggunakan KS pada semua
kelompok PAM. Pada kelompok PAM atas, rata-rata peningkatan kemampuan argumentasi
mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan PBM adalah 0.619, dan yang
menggunakan KS adalah 0.455. Selisih dari rata-rata peningkatan kemampuan argumentasi
kelompok PAM atas yang pembelajarannya menggunakan pendekatan PBM dan pembelajaran KS
adalah 0.164. Faktor pembelajaran pada hasil penelitian ini sangat dominan dibandingkan dengan
faktor kelompok PAM. Hal ini terlihat dari perbandingan rata-rata kemampuan argumentasi
matematis mahasiswa yang menggunakan PBM untuk setiap kelompok PAM selalu unggul dari
rata-rata kemampuan argumentasi matematis mahasiswa yang menggunakan KS.

4.

Kesimpulan

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa, peningkatan kemampuan argumentasi matematis


mahasiswa yang memperoleh PBM lebih baik dari mahasiswa yang memperoleh pembelajaran KS.
Rata-rata peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa antara kelompok PAM (atas,

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

99

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

tengah, dan bawah) yang memperoleh PBM secara signifikan berbeda. Lebih dalam, dilakukan uji
schefe, ternyata terdapat perbedaan yang signifikan peningkatan kemampuan argumentasi
matematis mahasiswa antara kelompok PAM atas dengan PAM tengah. Faktor kelompok PAM
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan argumentasi matematis
mahasiswa. Demikian juga faktor pendekatan pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa. Secara bersamaan kedua
faktor pendekatan pembelajaran dan kelompok PAM memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap peningkatan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa. Namun demikian, apabila
dilihat dari peningkatan skor kemampuan argumentasi matematis mahasiswa, pembelajaran
berbasis masalah lebih cocok pada mahasiswa kelompok PAM atas dan bawah dalam hal
meningkatkan kemampuan argumentasi matematis mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA
Hake, R.R. (2007). Design-Based Research in Physics Education Research: A Review, in A.E.
Kelly, R.A. Lesh, & J.Y. Baek, eds. (in press), Handbook of Design Research Methods in
Mathematics, Science, and Technology Education.
Inch, E.S., Warnick, B., & Endres, D. (2006). Critical Thinking and Communication: The Use of
Reason in Argument. Boston: Pearson Education Inc.
Minium Edward and Bruce King (2002), Statistical Reasoning in Psychology and Education,
Fourth Edition, Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. 2002, ISBN: 0-47-121187-7
Sumarmo (2010). Berfikir Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Cara Mempelajarinya,
FPMIPA UPI.
Toulmin, S.E. (2003). The Uses of Argument. New York: Cambridge University Press

100

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

ANALISIS PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN


PENDEKATAN MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIF
BERBASIS PENEMUAN TERBIMBING DI SEKOLAH
MENENGAH KEJURUAN (SMK) SE-JAKARTA SELATAN
Huri Suhendri 1 , Sudiyah Anawati 2 , Nurhayati 3
1, 2, 3)
1

Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indraprasta PGRI,


hurisuhendri@yahoo.co.id; 2 sudiahannawati@yahoo.co.id; 3 nurhay_pdg@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Menganalisis efektivitas model pembelajaran yang
dilaksanakan di SMK wilayah Jakarta Selatan, 2) Mengembangkan model pembelajaran
konstruktif berbasis penemuan terbimbing dalam pembelajaran di SMK wilayah Jakarta
Selatan. Lokasi penelitian di Jakarta Selatan dengan subjek penelitian adalah guru pelajaran
matematika dan peserta didik dari 7 Kecamatan diambil 11 SMK di Jakarta Selatan. Jenis
penelitian ini adalah penelitian kualiatif yaitu dengan pendekatan metode analisis deskriptif
kualitatif. Penelitian dilakukan dengan studi pendahuluan tentang model pembelajaran yang
digunakan di SMK wilayah Jakarta Selatan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kuisioner, wawancara, observasi, dan tes. Dalam upaya memperoleh data
penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan atau absah, maka data penelitian terlebih dahulu
diperiksa keabsahannnya dengan teknik cross check. Hasil penelitian menyatakan metode
ceramah dan diskusi lebih dominan digunakan di dalam proses pembelajaran dan terdapat dua
hal yang menjadi kebutuhan yang sangat perlu untuk di tingkatkan yaitu pertama mengenai
persiapan guru dalam mengajar dan kedua metode mengajar.
Kata Kunci: Model pembalajaran konstruktif, penemuan terbimbing, matematika

1.

Pendahuluan

Tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa dapat memahami konsep
matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep matematika dalam
kehidupan sehari-hari. Matematika merupakan ilmu pengetahuan dengan berdasarkan penalaran
deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan yang diperoleh sebagai akibat logis dari
kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat
konsisten. Dalam pembelajaran matematika siswa diharapkan dapat membangun pengetahuannya
dari apa yang dilihat, didengar dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui model pembelajaran matematika maupun metode pembelajaran yang menarik dapat
meningkatkan hasil belajar matematika di sekolah. Senada dengan pendapat Tangkas (2012) bahwa
dalam belajar penerapan model pembelajaran merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan siswa dalam belajar. Pembelajaran matematika yang dikemas secara apik dan
menarik dapat menambah minat dan motivasi rasa ingin tahu. Apabila minat dan motivasi rasa
ingin tahu bertambah maka hasil belajar akan maksimal.
Dalam pembelajaran matematika di kelas guru cenderung aktif membuktikan konsep-konsep
matematika sedangkan siswa kurang aktif membuktikan konsep-konsep matematika, sehingga hasil
belajar rendah. Tujuan pembelajaran tidak sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Trianto
(2007:2), masalah pokok dalam pembelajaran di sekolah dewasa ini salah satunya yaitu rendahnya
daya serap peserta didik yang dibuktikan dengan rerata hasil belajar peserta didik yang senantiasa
masih memprihatinkan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

101

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Dengan model pembelajaran yang lebih memberikan kesempatan siswa untuk aktif dalam unjuk
kerja. Siswa akan aktif dalam menemukan konsep-konsep matematika. Melalui model
pembelajaran konstruktif siswa diharapkan aktif dalam membangun penegetahuannya sendiri, dan
dengan metode penemuan terbimbing siswa diharapkan dapat memahami konsep-konsep
matematika dan dapat menjelaskan keterkaitan antar konsep. Berdasarkan permasalahan ini,
peneliti mengembangkan model pembelajaran yang sudah ada agar lebih menarik dan sesuai
dengan tujuan yang diinginkan. Peneliti memandang perlu mengembangkan model pembelajaran
konstruktif dengan menggunakan metode penemuan terbimbing, karena dengan metode ini siswa
berperan aktif menemukan sendiri konsep-konsep atau prinsip umum, dan dengan menemukan
sendiri umumnya siswa tidak akan mudah lupa dengan apa yang mereka temukan. Selain itu,
pembelajaran dengan metode ini siswa dapat menerima pengetahuan atau materi pelajaran dengan
mudah dan menyimpan dalam memori mereka dengan baik.

2.

Kajian Literatur

Model Pembelajaran Konstruktif Berbasis Penemuan Terbimbing


Model pembelajaran konstruktif merupakan salah satu bentuk reformasi dari model pembelajaran
konvensional. Model pembelajaran ini lebih mengutamakan keterlibatan peserta didik secara
langsung dalam menemukan kebenaran suatu konsep yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya
bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan
himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai
pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Hal ini didukung pendapat Suhardiyanto (2009), bahwa
pembelajaran konstruktivistik merupakan pembelajaran yang berbasis pada pengembangan
pengetahuan baru yang dilakukan oleh peserta didik dengan cara peserta didik membangun sendiri
pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Dalam pembelajaran konstruktivistik ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan. Menurut
Suhardiyanto (2009), bahwa ada 6 unsur dalam pembelajaran konstruktivistik, yaitu : penetapan
masalah, pengelompokan peserta didik, upaya menggabungkan pengetahuan yang telah dimiliki
dengan pengetahuan yang akan dicari, pertanyaan-pertanyan yang terkait dengan kegiatan untuk
menjawab masalah, pengkomunikasian hasil kerja kelompok dengan kelompok lain, dan refleksi
terhadap kegaitan yang telah dilakukan dalam upaya memecahkan masalah. Sedangkan menurut
Rudiyanto dan Waluya (2010), bahwa pembelajaran konstruktivisme terdiri dari unsur : bridge,
grouping, think, talk, write, reflection, dan evaluation.
Sehingga dalam pembelajaran konstruktivisme peran guru sebagai fasilitator dan membuat rencana
atau mengorganisasikan kegiatan peserta didik. Sedangkan peserta didik memegang peranan utama
dalam pembelajaran, sebab pengetahuan awal dari peserta didik dan keaktifan peserta didik sangat
menunjang dalam membentuk pengetahuan baru baik melalui pembelajaran di kelas maupun di luar
kelas dengan kegiatan interaksi dengan lingkungan.
Pembelajaran konstruktivisme berkaitan erat dengan metode penemuan terbimbing atau inquiri
terbimbing. Hal ini sesuai pendapat Tangkas (2012) bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing
merupakan model pembelajaran yang berlandaskan pandangan konstuktivisme yang memandang
bahwa pembelajaran mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Metode penemuan terbimbing
dalam pembelajaran matematika, adalah suatu model pembelajaran yang menghendaki siswa
menemukan ide-ide misalnya : aturan, pola, hubungan, atau cara menyelesaikan suatu masalahmelalui keterlibatannya secara aktif dalam pembelajaran yang didasarkan pada serentetan
pengalaman-pengalaman belajar yang lampau. Tangkas (2012) menjelaskan bahwa pada
pembelajaran dengan model pembelajaran inquiri terbimbing, siswa diberi kesempatan untuk
melakukan eksperimen, diskusi, mengemukakan gagasan lama atau baru untuk membangun
pengetahuan-pengetahuan dalam pikirannya.
Dalam pembelajaran penemuan terbimbing, peserta didik diupayakan dapat memecahkan suatu
permasalahan secara mandiri dengan bimbingan guru. Keaktifan siswa dituntut secara maksimal
102

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

dalam memperoleh pengetahuan baru melalui kajian oleh siswa. Dalam upaya untuk menghindari
kegagalan dan memaksimalkan kegiatan siswa dan guru dalam proses penemuan, maka
pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing harus direncanakan. Pembuatan perencanaan
harus memperhatikan: (a) pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa dan mendukung proses
penemuan; (b) pengetahuan tentang aktivitas yang mungkin dilakukan siswa; (c) peran guru dalam
kegiatan penemuan; (d) sumber atau sarana belajar yang diperlukan, misalnya lembar kerja: dan (e)
hasil akhir yang harus ditemukan siswa. Langkah-langkah pembelajaran penemuan terbimbing
dilakukan dengan memperhatikan pula karakteristik dan kemampuan peserta didik. Hal ini
bertujuan agar pemilihan dan penetapan metode pembelajaran oleh guru tepat sasaran dengan
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

3.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualiatif yaitu dengan pendekatan metode analisis deskriptif
kualitatif. Penelitian dilakukan dengan studi pendahuluan tentang model pembelajaran yang
digunakan di SMK wilayah Jakarta Selatan. Penelitian dilaksanakan pada SMK di Jakarta Selatan
Provinsi DKI Jakarta. Wilayah Jakarta Selatan terdiri dari 7 Kecamatan dan jumlah SMK yang
akan dijadikan tempat penelitian sebanyak 11 sekolah terdiri dari SMK Negeri dan SMK Swasta
berbagi jurusan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner,
wawancara, observasi, dan tes. Dalam upaya memperoleh data penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan atau absah, maka data penelitian terlebih dahulu diperiksa keabsahannnya
dengan teknik cross check.

4.

Hasil dan Pembahasan

Tahap studi pendahuluan tentang model pembelajaran yang digunakan di SMK peneliti melakukan
study pendahuluan sebagai berikut :
Analisis Studi Pendahuluan
a. Analisis Penggunaan Metode Pembelajaran
Berdasarkan hasil wawancara tentang penggunaan metode pembelajaran, dapat dikelompokan
metode yang digunakan guru-guru dalam proses belajar mengajar. Ternyata metode ceramah
dan diskusi masih dominan digunakan di SMK.
Tabel 1. Daftar Nama Sekolah Berdasarkan Metode Pembelajaran

No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Nama Sekolah
SMK
N
62
Jakarta
SMK Teladan
SMK N 47
SMK Purnama 2
SMK RPI
SMK
Cyber
Media
SMK
N
20
Jakarta
SMK
N
18
Jakarta
SMK
Jakarta
Wisata
SMK Bina Putra
SMK Al-Hidayah

Metode Pembelajaran
Ceramah, tutor sebaya,
diskusi,
Ceramah
Ceramah, diskusi
Ceramah, diskusi
Ceramah
Ceramah, diskusi
Ceramah, diskusi
Ceramah,
pembagian
kelompok, diskusi
Ceramah, diskusi,
Ceramah, diskusi
Ceramah, diskusi

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

103

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

b. Analisis Peserta Didik


Hasil studi lapangan tentang sikap peserta didik metode guru mengajar. Peneliti menyusun
kuisioner dengan indikator sebagai berikut :
Tabel 2. kisi-kisi Instrumen
Indikator
Penampilan
Pendapat mengenai pribadi guru
Guru
(Teacher
Pandangan mengenai persiapan guru
Approval).
dalam mengajar
Aspek

Penerimaan
Pendidikan
(Education
Acceptance

Pendapat mengenai cara/metode


mengajar
Pendapat mengenai pemahaman
materi yang diajarkan oleh guru

Hasil survai pada 272 peserta didik di jakarta selatan mengenai pribadi guru menunjukkan
bahwa 44,1 % peserta didik menunjukkan sikap sangat setuju dengan kepribadian guru yang
baik selama ini dalam mengajar, 39,8% menunjukkan sikap setuju mengenai kepribadian guru,
11,4% menunjukkan netral, 3,9% menunjukkan tidak setuju, dan 0,8% menunjukkan sikap yang
sangat tidak setuju dengan kepribadian guru dalam mengajar. Sedangkan pandangan peserta
didik mengenai persiapan guru dalam mengajar menunjukkan bahwa 46% menunjukkan sikap
yang sangat setuju bahwa guru sudah memiliki persiapan yang baik dalam mengajar, 46%
menunjukkan sikap setuju dengan persiapan guru selama ini dalam mengajar, 6% menunjukkan
sikap netral, 1,6% menunjukkan sikap yang tidak setuju, dan 0,2% menunjukkan sikap yang
sangat tidak setuju.
Untuk sikap metode mengajar guru menunjukkan 35% peserta didik sangat setuju dengan
metode mengajar selama ini yang dilakukan oleh guru, 47% menunjukkan sikap setuju, 12%
netral, 3,8% menunjukkan sikap tidak setuju, dan 1,2% menunjukkan sikap sangat tidak setuju.
Sementara sikap peserta didik mengenai penguasaan materi yang di ajarkan oleh guru
menunjukkan 31,3% peserta didik menunjukkan sikap sangat setuju dengan penguasaan materi
guru selama ini, 42,3% peserta didik setuju, 15,6% peserta didik menunjukkan sikap
netral,7,46% tidak setuju, dan 3,41% menunjukkan sikap sangat tidak setuju pada penguasaan
materi guru.
Dari studi pendahuluan tersebut terlihat bahwa sikap peserta didik mengenai cara mengajar guru
selama ini bisa dikatakan cukup baik, tetapi masih banyak yang perlu untuk di perbaiki agar
sikap peserta didik benar-benar optimal. Banyak hal yang perlu di kembangkan untuk
mengujudkan sikappeserta didik yang positif dan optimal terhadap guru.
c. Analisis dari guru
Studi pendahuluan juga dilakukan untuk melihat profil guru SMK di daerah Jakarta selatan
berkaitan pribadi guru, persiapan guru dalam mengajar, metode mengajar, dan penguasaan
materi. Hasil survai menunjukkan bahwa sebagian guru berpendangan bahwa mereka sudah
memiliki pribadi guru yang baik, hal ini terlihat dari hasil angket yang dilakukan bahwa 31,4%
menunjukkan sangat selalu, 41,5% menunjukkan sering, 15,6% menunjukkan kadang-kadang,
8 % menunjukkan pernah dan 3,5 menunjukkan tidak pernah. Sedangkan persiapan guru dalam
mengajar memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi pada guru, hal ini di tunjukkan dengan
hasil angket yang dilakukan bahwa 44% menunjukkan selalu, 47% menunjukkan sering, dan
9,4% menunjukkan kadang-kadang.
Untuk metode mengajar juga terlihat sudah cukup baik yang dilakukan oleh guru, hal ini
terlihat dari hasil angket 37,5% menunjukkan selalu, 50% menunjukkan sering, 11,72%
menunjukkan kadang-kadang dan 0,78% menunjukkan tidak pernah. Sedangkan pada
penguasaan materi guru dalam mengajar menunjukkan 33,9% guru menjawab selalu, 41,1%
sering, 21,4% kadang-kadang dan 3,57% tidak pernah.

104

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

d. Analisis Materi
Analisis yang dilakukan adalah analisis topik karena yang dipelajari dalam matematika
bukanlah konsep saja, tetapi meliputi fakta dan prinsip. Analisis materi bertujuan untuk
mengidentifikasi, merinci dan menyusun secara sistematis materi yang relevan yang akan
diajarkan. Sesuai dengan materi SMK kelas XI.
e. Analisis Tugas
Dari analisis materi maka tugas-tugas yang akan diberikan berdasarkan silabus yang tertera
dalam kurikulum matematika SMK kls XI. Berdasarkan kompetensi inti dan kompetensi dasar
sesuai dengan kurikulum SMK. Pemberian tugas dilakukan dengan dua cara yaitu tugas
kelompok rata-rata diberikan pada saat kegiatan belajar berlangsung, dan tugas mandiri
diberikan diakhir dan dijadikan sebagi tugas rumah. Untuk mengukur keberhasilan tugas
tersebut peserta didik diharapkan maju dengan sukarela.
f. Analisis Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran matematika di SMK secara umum adalah memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan antar konsep dan menggunakan konsep maupun algoritma, secara
luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. Pada prinsipnya pembelajaran dan
penilaian belajar matematika artinya membangun pemahaman tentang konsep-konsep, fakta,
prosedur, dan gagasan matematika. Memahami adalah membuat pengaitan antara gagasan,
fakta, dan prosedur. Mengenalkan gaya belajar kepada peserta didik dan mengadaptasi
berbagai macam strategi pembelajaran akan memudahkan peserta didik memahami konsepkonsep matematika.
Analisis kebutuhan
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, maka terdapat dua hal yang menjadi kebutuhan yang sangat
perlu untuk di tingkatkan yaitu pertama mengenai persiapan guru dalam mengajar dan kedua
metode mengajar. Wujud konkret dari kedua hal tersebut adalah penguasaan terhadap unsur-unsur
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, dan perancangan proses pembelajaran.
Berdasarkan kebutuhan tersebut maka disusunlah sebuah model yang dapat menampung kebutuhan
siswa tersebut. Model tersebut kemudian diimplementasikan dalam pembelajaran. Perangkat
pembelajaran kemudian dikembangkan berdasarkan model tersebut.

5.

Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan
Simpulan sementara yang diperoleh :
a. Instrument penelitian yang dapat digunakan untuk pengambilan data sebanyak 33 soal, tapi
perlu dilakukan revisi dari segi bahasa. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru belum
efektif
b. meningkatkan minat, keaktifan dan hasil belajar matematika.
c. Metode yang digunakan guru masih monoton, karena sebagian besar guru menggunakan
metode ceramah
d. Kurangnya motivasi pada diri peserta didik
5.2. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
a. Penggunaan instrument penelitian sesuai dengan tingkatan kebutuhan.
b. Penggunaan metode pembelajaran yang bervariatif sehingga peserta didik lebih tertarik lagi
pada matematika.
c. Memotivasi terus diri peserta didik

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

105

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

6.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada DP2M Dikti Kopertis Wilayah 3 yang telah mendanai penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Djaali, (2008). Psikologi Pendidikan . Jakarta : Rineka Cipta
Insriani, H. (2011). Pembelajaran Sosiologi yang Menggugah Minat Siswa. Jurnal Komunitas Vol.
3 (1) : 92-102.
Nizarwati, dkk. (2009). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berorientasi Konstruktivisme
untuk Mengajarkan Konsep Perbandingan Trigonometri Siswa Kelas X SMA. Jurnal
Pendidikan Matematika Vol. 6(1) : 58-62.
Rudiyanto, M.S. & Waluya, S.B. (2010). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Volume
Benda Putar Berbasis Teknologi dengan Strategi Konstruktivisme Student Active Learning
Berbantuan CD Interaktif Kelas XII. Jurnal Matematika Kreatif Vol. 1.
Suhardiyanto, A. (2009). Peningkatan Kualitas Pendidikan Melalui Pembelajaran Kooperatif
Berbasis Konstruktivistik. Jurnal Lembaran Ilmu Kependidikan Vol. 38 (1).
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Syah, Muhibbin. (2008). Psykologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Tangkas, I.M., (2012). Pengaruh Implementasi Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing terhadap
Kemampuan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Proses Sains Siswa Kelas X SMAN 3
Amlapura. Jurnal Penelitian Pascasarjana Undiksha Vol. 2 (1).
Trianto. (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta :
Prestasi Pustaka.
Wahyudin, dkk. (2010). Efektivitas Pembelajaran Berbantuan Multimedia Menggunakan Metode
Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Minat dan Pemahaman Siswa. Jurnal Pendidikan
Fisika Indonesia. Vol. 6 (1) : 58 - 62.

106

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA


YANG MENGGUNAKAN METODE KUMON DENGAN
METODE KUANTUM
Jaka Wijaya Kusumah
Jurusan Pendidikan Matematika, STIE Bina Bangsa
jakawijayak@gmail.com

ABSTRAK
Pembelajaran matematika akan terasa efektif apabila guru mampu mengembangkan semua
potensi yang dimiliki siswa dalam meningkatkan kemampuan matematiknya. Tujuan dalam
penelitian ini adalah menelaah hasil belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan metode
kumon dibandingkan dengan yang menggunakan metode kuantum. Penelitian dilakukan pada
siswa SMPN kelas VII di Tirtayasa dengan bentuk penelitian eksperimen. Berdasarkan hasil
analisis penelitian diketahui bahwa hasil belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan
metode kumon lebih baik daripada yang menggunakan metode kuantum.
Kata Kunci: Hasil Belajar Matematika, Metode Kumon, Kuantum.

1.

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah


Pada umumnya sebagian besar siswa mengeluh terhadap pelajaran matematika, dikarenakan
adanya anggapan bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit, membosankan dan tidak
menarik. Hal ini menyebabkan berkurangnya minat belajar matematika. Tetapi ada juga siswa yang
menyenangi Matematika karena permainannya atau karena keindahan gambar atau angka-angka
yang ada.Kita sebagai Guru harus tetap berupaya dengan berbagai cara untuk menumbuhkan minat
belajar pada siswa dengan menggunakan metode yang berbeda-beda ditiap Pokok Materinya.
Kenyataan hal di atas sangat beralasan, karena berdasarkan perolehan Skor Nilai UN (Ujian
Nasional) tingkat SMP, pada umumnya diketahui jumlah Skor Nilai UN berkisar antara 25.00
sampai dengan 32.00. Khususnya di SMP Negeri 1 Tirtayasa Kabupaten Serang Banten, Skor UN
yang diperoleh diantaranya sebagai berikut :
a Tahun Pelajaran 2007/2008 yaitu : 28.31 dan pelajaran Matematika rata-rata nilainya 4.81
b Tahun Pelajaran 2008/2009 yaitu : 29.01 dan pelajaran Matematika rata-rata nilainya 4.72
Selain Motivasi belajar, hal lain yang merupakan faktor dari dalam siswa yang mempengaruhi hasil
belajar siswa adalah kemampuan berpikir, minat, perhatian, sikap, kebiasaan belajar, ketekunan,
kondisi sosial ekonomi, keluarga yang mempengaruhi jiwanya dan faktor fisik siswa. Faktor ini
sangat besar pengaruhnya terhadap siswa, karena menurut Suryabrata (1990) : Belajar adalah
membawa suatu perubahan, perubahan itu terjadi karena diusahakan dan akan didapatkannya
kecakapan baru. Sedangkan faktor yang berasal dari luar siswa antara lain : Guru, Teman Sebaya,
Keluarga, Masyarakat dan Lingkungan Belajar. Namun demikian hasil belajar masih tetap
bergantung pada faktor luar atau faktor lingkungan. Artinya ada faktor di luar dirinya yang dapat
menentukan dan mempengaruhi hasil belajar yang dikehendaki.
Salah satu faktor luar yang mempengaruhi adalah Guru. Guru merupakan salah satu factor yang
mempengaruhi berhasil atau tidaknya proses belajar. Oleh karena itu Guru harus menguasai
prinsip-prinsip belajar, Metode-metode yang akan digunakan, disamping menguasai materi yang
akan diajarkan. Menurut Djumhur (Farid, 2010) : Guru harus mampu menciptakan suatu situasi
dan kondisi belajar yang sebaik-baiknya
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

107

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Sementara itu, pembelajaran matematika akan terasa efektif apabila guru mampu mengembangkan
semua potensi yang dimiliki siswa dalam meningkatkan kemampuan matematika siswa. Kreativitas
kebiasaan belajar keras, mandiri, jujur, disiplin, dan memiliki sikap sosial yang baik serta berbagai
keterampilan yang diperlukan dalam hidup bermasyarakat merupakan potensi siswa yang harus
dikembangkan oleh guru. Seperti yang dikatakan Jaworski 1994, Ebbut dan Starker 1995
(Depdiknas, 2005) bahwa potensi siswa dapat dikembangkan secara optimal, asumsi tentang
karakteristik subjek didik dan implikasi terhadap pembelajaran matematika diberikan sebagai
berikut: murid akan mempelajari matematika jika mereka mempunyai motivasi dengan cara sendiri,
melalui kerja dengan temannya, dan memerlukan kontek yang berbeda-beda.
Metode kuantum menguraikan cara-cara baru yang memudahkan proses belajar guru lewat
pemaduan seni dan pencapaian-pencapaian yang terarah. Dengan menggunakan metode Kuantum,
guru akan menggabungkan keistimewaan belajar menuju bentuk perencanaan pengajaran yang
akan melejitkan prestasi siswa. Metode Kuantum adalah penggubahan belajar yang meriah, dengan
segala nuansanya, adanya interaksi, dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar dan
berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas, interaksi yang mendirikan landasan dan
kerangka belajar.
Selanjutnya metode kumon adalah metode belajar perseorangan. Langkah pertama untuk setiap
siswa kumon ditentukan secara perseorangan dengan cara memberi soal yang paling mudah. Siswa
mulai dari level yang dapat dikerjakannya sendiri dengan mudah dengan lembar kerja yang
didesain sedemikian rupa sehingga siswa dapat memahami sendiri bagaimana menyelesaikan
soalnya. Jika siswa terus belajar dengan kemampuannya sendiri, ia akan mengejar bahan pelajaran
yang setara dengan tingkatan kelasnya dan bahkan maju melampauinya.
Metode tersebut di atas memiliki kelebihan masing-masing, untuk itu dalam penelitian ini akan
mengkaji mengenai perbandingan hasil belajar matematika siswa yang menggunakan metode
kumon dengan metode kuantum.
1.2. Rumusan Masalah
Permasalahan yang muncul dalam tulisan ini adalah apakah hasil belajar siswa yang
pembelajarannya menggunakan metode kumon lebih baik daripada yang menggunakan metode
kuantum?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menelaah hasil belajar siswa yang
pembelajarannya menggunakan metode kumon dibandingkan dengan yang menggunakan metode
kuantum?
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan dapat member masukan:
a Bagi Sekolah : Sebagai masukan yang bermanfaat untuk meningkatkan mutu pendidikan di
sekolah tersebut.
b Bagi Guru : Memberikan alternative yang efektif dalam pemilihan Metode yang tepat guna
meningkatkan hasil belajar siswa dari hasil belajar siswa sebelumnya.
c Bagi Siswa : Meningkatkan semangat belajar siswa karena siswa dapat belajar aktif dan
menyenangkan dalam proses pembelajaran Matematika.

108

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.

Kajian Pustaka

2.1. Metode Kumon


Metode Kumon adalah metode belajar perseorangan. Level awal untuk setiap siswa Kumon
ditentukan secara perseorangan (Johky, 2006). Siswa mulai dari level yang dapat dikerjakannya
sendiri dengan mudah, tanpa kesalahan. Lembar kerjanya telah didesain sedemikian rupa sehingga
siswa dapat memahami sendiri bagaimana menyelesaikan soalnya. Jika siswa terus belajar dengan
kemampuannya sendiri, ia akan mengejar bahan pelajaran yang setara dengan tingkatan kelasnya
dan bahkan maju melampauinya.
Kumon (2006) : "Dengan menggali potensi yang ada pada setiap individu, dan mengembangkan
kemampuan tersebut secara maksimal, kami berusaha agar dapat membentuk manusia yang sehat
dan berbakat yang dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi masyarakat."
Keistimewaan Kumon diantaranya: memulai dari level yang tepat, maju dengan kemampuan
sendiri, mengembangkan kebiasaan belajar yang baik dan kemampuan belajar mandiri, maju
melampaui tingkatan kelas, bimbingan perseorangan dengan Belajar pada tingkatan yang tepat, dan
menggali potensi lebih maksimal (Ambarwati, 2004). Selanjutnya kekurangan Kumon diantaranya:
kedisiplinan kadang membuat anak-anak menjadi tidak kreatif. Padahal matematika adalah
petualangan yang kreatif, banyak memakan waktu, dan siswa jadi cepat bosan karena dijejali dgn
PR.
Alur belajar dengan metode kumon adalah pertama menentukan level awal yaitu pertama-tama
siswa akan mengerjakan tes penempatan. Guru kemudian akan menganalisa hasil tesnya dengan
cermat dan menentukan level awal siswa. Ambarwati (2004) menuliskan bahwa metode kumon
terdiri dari rangkaian lembar kerja yang terdiri dari beberapa level, dan siswa maju ke level
berikutnya dengan kemampuannya sendiri. Menentukan level awal yang tepat adalah kunci untuk
belajar mandiri sejak dari awal belajar di Kumon. Kedua siswa mempelajari lembar kerja secara
mandiri yaitu Siswa didorong untuk mempelajari lembar kerjanya secara mandiri, tanpa harus
diajari secara khusus. Lembar kerja Kumon didesain sedemikian rupa sehingga siswa dapat
menyelesaikan soal-soal dengan kemampuannya sendiri. Ketiga memastikan tingkatan belajar yang
tepat yaitu sebelum hari belajar di kelas dimulai, Guru menyiapkan lembar kerja yang tepat untuk
setiap siswa. Di kelas, Guru mengamati siswa dengan cermat, untuk memastikan setiap siswa
belajar pada tingkatan yang tepat untuknya.
Pada level keempat guru mengembangkan kebiasaan belajar yang baik dan memperdalam
pemahaman siswa yaitu setelah menyelesaikan soal-soal pada lembar kerja dan memahami materi
ajar, siswa menyerahkan lembar kerja yang telah dikerjakan kepada Guru. Lembar kerja kemudian
dinilai dan dikembalikan kepada siswa. Jika ada kesalahan, siswa membetulkannya sendiri
tentunya dengan bimbingan dari Guru secara langsung. Dengan menyelesaikan lembar kerjanya
secara mandiri, siswa akan memperdalam pemahaman materinya dan mengembangkan kebiasaan
belajar yang baik. Kelima setiap siswa diberikan pekerjaan rumah dengan tingkatan yang tepat.
Setelah siswa menyelesaikan pelajarannya di kelas, guru memberikan lembar kerja yang tepat
untuk dikerjakan di rumah, yang membuat dukungan orang tua di rumah menjadi sangat penting.
Pekerjaan rumah yang telah dikerjakan kemudian dikumpulkan kepada Guru pada awal pertemuan
berikutnya ketika siswa datang ke kelas. Pekerjaan rumah yang telah dikumpulkan kemudian
dinilai oleh Guru dan jika perlu, siswa memperbaiki lembar kerjanya dengan mandiri sampai semua
jawabannya benar.
2.2. Metode Kuantum
Metode Kuantum adalah penggubahan belajar yang meriah, dengan segala nuansanya. Metode
Kuantum menyertakan segala kaitan, interaksi, dan perbedaan yang memaksimalkan momen
belajar (DePorter, 2000). Metode Kuantum berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan
kelas, interaksi yang mendirikan landasan dan kerangka belajar.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

109

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Metode Kuantum menguraikan cara-cara baru yang memudahkan proses belajar guru lewat
pemaduan seni dan pencapaian-pencapaian yang terarah, apa pun mata pelajaran yang diajarkan.
Dengan mengguakan metode Quantum Teaching, guru akan menggabungkan keistimewaan belajar
menuju bentuk perencanaan pengajaran yang akan melejitkan prestasi siswa. DePorter (1999)
menyebutkan bahwa Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan luar biasa untuk melampaui
kemampuan yang ia perkirakan. Ini karena manusia memiliki potensi yang belum tergali, apalagi
terasah. Untuk menggali potensi itu, lingkungan mesti mendukung agar proses belajar berlangsung
mudah, menarik, dan menyenangkan.Rasa aman dan saling percaya di antara murid dan guru
merupakan hal esensial bagi proses belajar.
DePorter (2000) Kelebihan model kuantum yaitu adanya unsur demokrasi dalam pengajaran,
memungkinkan tergali dan terekspresikannya seluruh potensi dan bakat yang terdapat pada diri
siswa, adanya unsur pemantapan dalam menguasai materi atau suatu keterampilan yang diajarkan,
alami sehingga mudah dimengerti, meningkatkan kepecayaan diri siswa, dan jadikan anak lebih
kreatif. Namun demikian model kuantum juga ada kekurangannya yaitu terlalu memanjakan siswa,
banyak memakan waktu dan cenderung mudah melenceng ke tujuan pembelajaran sebenarnya.
Adapun alur belajar model kuantum yaitu menumbuhkan minat belajar siswa dengan
menyampaikan tujuan pelajaran yang akan dipelajari, alami yaitu mengkaitkan materi dengan
pengalaman umum yang dapat dimengerti siswa, menamai yaitu mengajak siswa menyediakan kata
kunci dari konsep, model, rumus atau strategi yang merupakansebuah masukan bagi siswa,
demonstrasikan yaitu memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan ide mereka, ulangi
yaitu melakukan refleksi, dan reward yaitu member penghargaan terhadap siswa yang berani
berpartisipasi aktif selama pembelajaran (DePorter, 1999).
2.3. Hasil Belajar
Belajar bukan merupakan kegiatan menghafal dan bukan pula mengingat. Belajar adalah suatu
proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil proses
belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya, pemahamannya,
sikap dan tingkah lakunya, keterampilannya, kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya
penerimaannya, dan lain-lain aspek yang ada pada individu (Sudjana, 1989).
Hasil belajar dalam kontesktual menekankan pada proses yaitu segala kegiatan yang dilakukan oleh
siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Nilai siswa diperoleh dari penampilan siswa seharihari ketika belajar. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara misalnya, proses bekerja, hasil karya,
penampilan, rekaman, dan tes (Depdiknas: 2002).
Proses belajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran,
sedangkan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimilki siswa setelah ia menerima
pengalaman belajarnya. Dengan demikian hasil belajar dapat dilihat dari hasil yang dicapai siswa,
baik hasil belajar (nilai), peningkatan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah perubahan
tingkah laku atau kedewasaannya. Horward Kysley (Sudjana, 1989) membagi hasil belajar
diantaranya: keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian, dan sikap dan cita-cita.
Hasil belajar yang dicapai oleh siswa dipengaruhi dua faktor utama yakni faktor dari dalam diri
siswa itu dan faktor yang datang dari luar siswa atau faktor lingkungan. Namun (Sudjana, 1989)
menyebutkan bahwa ada faktor lain seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan
kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis.

3.

Metode Penelitian

3.1. Metode Kumon


Studi ini dirancang dalam bentuk eksperimen dengan disain kelompok kontrol pretes dan postes
yang bertujuan menelaah hasil belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan metode kumon

110

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

dibandingkan dengan yang menggunakan metode kuantum. Sampel dalam penelitian ini adalah
siswa kelas VIII dari salah satu SMP yang ditetapkan secara purposif pada SMP di Tirtayasa dan
dipilih dua kelas VIII secara acak dari kelas VIII yang ada. Kemudian dari kedua kelas tersebut
ditetapkan secara acak yang menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol. Adapun instrumen dalam
penelitian ini adalah seperangkat soal yang berbentuk uraian sebanyak 5 soal.
Desain penelitian ini yaitu sebagai berikut:
A
:
O
X1
A
:
O
X2
Keterangan:
A
: Sampel diambil secara acak kelas
O
: Pretes = Postes hasil belajar matematika siswa
X1
: Pembelajaran matematika dengan metode kumon
X2
: Pembelajaran matematika dengan metode kuantum

O
O

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penelitian adalah 1) tahap persiapan yaitu: diambil
dua sampel secara acak, kelompok eksperimen pertama siswa yang menggunakan metode
pembelajaran kumon dan kelompok kedua siswa yang menggunakan metode kuantum dan sebelum
dilakukan penelitian, dilakukan uji-coba soal-soal pada sampel selain kelas eksperimen dan
kontrol, kemudian dihitung validitas, reliabilitas, daya pembeda dan indeks kesukarannya. 2) Tahap
pelaksanaan yaitu: kedua sampel diberi tes awal terlebih dahulu dengan instrumen yang sama untuk
mengetahui kemampuan awal kedua kelompok, melakukan penelitian dengan penetapan dan
pemantapan pembelajaran yang menggunakan metode kumon dengan metode kuantum, dan pada
akhir kegiatan siswa diberikan tes akhir. 3) Tahap evaluasi yaitu: data yang diperoleh dari tes awal
dan tes akhir selanjutnya dianalisis untuk mengetahui kemampuan awal siswa dan menelaah hasil
belajar matematika siswa yang menggunakan metode pembelajaran kumon dibandingkan dengan
metode pembelajaran kuantum dan kemudian penulisan laporan penelitian.
Dari hasil tes (baik pretes maupun postes) pada kedua kelas akan diolah dengan bantuan software
Microsoft Excell dan SPSS 19 dengan langkah yaitu menghitung rata-rata dan simpangan baku,
menguji normalitas dan homogenitas sampel, dan menguji perbedaan rata-rata kedua sampel.

4.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berikut ini disajikan hasil temuan dari pengolahan data hasil belajar siswa dengan metode kuantum
dan metode kumon sepeerti yang tersaji pada Tabel berikut:
Tabel 1. Deskripsi Data Hasil Penelitian
Tes Awal
Kelas
Metode Kumon
Metode Kuantum

31,61
31,48

S
13,89
12,09

N
40
40

78,28
74,45

Tes Akhir
S
7,12
8,23

N
40
40

Tabel 1 menunjukan bahwa secara deskriptif hasil belajar siswa yang pembelajarannya
menggunakan metode kumon lebih baik dari pada metode kuantum. Untuk mendukung deskripsi
tersebut, maka dilakukan analisis data hasil belajar matematika siswa melalui uji statistik dengan
menggunakan uji perbedaan rerata. Selanjutnya dilakukan uji normalitas dan homogenitas sebagai
uji prasyarat dan diperoleh bahwa data kedua kelas berdistribusi normal dan homogen. Berdasarkan
temuan tersebut, maka pengujian perbedaan rerata hasil belajar matematika kedua kelas dilakukan
dengan uji perbedaan dua rerata (uji t) berikut hasil perhitungannya.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

111

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


Tabel 2. Uji Signifikansi Perbedaan Dua Rata-rata
Kelas

Metode Kumon

40

78,28

Metode Kuantum

40

74,45

Interpretasi

2.26

0,026

Tolak Ho

Dari Tabel 2 diperoleh harga P sebesar 0,026 yaitu P < 0,05 atau dengan kata lain Ho ditolak.
Dalam hal ini berarti hasil belajar matematika siswa yang menggunakan metode Kumon lebih baik
dari pada yang menggunakan metode Kuantum. Dari hasil pengamatan, pembelajaran dengan
menggunakan metode kumon memang sedikit menguras tenaga dan waktu. Untuk itu dalam
penerapannya harus bisa mengelola waktu sedemikian sehingga proses pembelajaran dengan
metode kumon dapat berjalan sesuai rencana. Beberapa keistimewaan metode kumon yaitu siswa
dilatih maju dengan kemampuan sendiri, memulai dari level yang tepat karena ditentukan secara
perorangan, bahan ajar yang mengarahkan siswa untuk mengembangkan kebiasaan belajar mandiri
dan menggali potensi siswa lebih maksimal, serta ada tahapan bimbingan belajar perorangan pada
tingkatan yang tepat.
Lain halnya dengan pembelajaran dengan metode kumon, metode kuantum mengajak siswa
menggunakan pengalaman umum siswa untuk memahami materi. Namun demikian, pembelajaran
seperti ini cenderung mudah melenceng dari tujuan pembelajaran yang sedang diajarkan sehingga
tidak sedikit siswa kurng fokus terhadap materi yang sedang disampaikan. Selama pembelajaran
dengan metode kuantum siswa dapat saling bertukar pikiran dan tidak kaku untuk bertanya pada
temannya, namun siswa sering kali mengandalkan teman sekelompoknya sehingga berpotensi
melatih siswa menjadi kurang mandiri.

5.

Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil analisis penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika siswa yang
pembelajarannya menggunakan metode kumon lebih baik daripada yang menggunakan metode
kuantum. Disarankan, perlu penyusunan bahan ajar yang matang sehingga menimalis waktu dapat
digunakan sesuai sasaran guna mendukung proses pembelajaran metode kumon. Selanjutnya,
disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menyertai aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati. (2004). Kumon dan Perkembangannya. Jakarta: PT Kie Indonesia
Depdiknas. (2005). Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika Buku 3. Jakarta: Depdiknas
DePorter, et. al. (2000). Quantum Teaching. Bandung: Kaifa
DePorter & Hernacki, M. (1999). Quantum Learning membiasakan belajar nyaman dan
menyenangkan. Bandung : Mizan Media Utama.
Farid, I. (2010). Upaya Guru dalam Meningkatkan Prestasi Siswa Pada Mata Pelajaran
Fiqih Ibadah. Online 23 Januari 2010, (http://manhijismd.wordpress.com/2010/04/06/upayaguru-dalam-meningkatkan-prestasi-siswa-pada-mata-pelajaran-fiqih-ibadah/)
Johky. (2006). Metode Kumon - Cara Efektif Belajar Matematika. Online 20 Februari 2010,
(http://www.sentrainfo.com/artikel/2/metode/kumon/cara/efektif/belajar/matematika/busines
s_article.htm)
Kumon, T. (2006). Metode Kumon. Jakarta: PT Kie Indonesia
Selman, Victor, Ruth Corey Selman, Jerry Selman. Quantum Learning: Learn Witahout Learning.
International Bussiness & Economics Research Journal. Volume 2 Number 4.
Sudjana, N. (1989). Dasar- dasar proses belajar mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Suryabrata, S. (1990). Psikologi Pendidikan.Jakarta: Rajawali Pers

112

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI


MATEMATIK SISWA SMP DI KOTA BANDUNG DENGAN
PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATIONS
PADA SISWA SMP DI KOTA BANDUNG
Siti Chotimah
STKIP Siliwangi
chotie_pis@yahoo.com

ABSTRAK
Permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian ini adalah kemampuan komunikasi
matematik siswa SMP di Kota Bandung yang masih rendah. Rendahnya komunikasi matematik
siswa dikarenakan dalam proses pembelajaran guru belum terbiasa memberikan soal-soal
kemampuan komunikasi matematik dalam pelajaran matematika ke siswa. Selain itu, aspek
kemampuan dasar siswa juga ikut mempengaruhi kemampuan komunikasi matematiknya.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP di Kota Bandung. Penelitian ini
dilaksanakan di SMP Negeri 07 Bandung pada bulan April-Mei 2014. Pada penelitian ini
diambil sampel dari siswa SMP Negeri 07 Bandung kelas VIIC dan VIID. Instrumen penelitian
berbentuk tes. Instrumen tes berupa empat soal tes uraian kemampuan komunikasi matematik.
Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data mengenai kemampuan komunikasi matematik
siswa khususnya mengenai subpokok bahasan segitiga dan segiempat dengan pendekatan RME
dan dengan menggunakan cara biasa. Data yang diolah dalam penelitian ini adalah dari skor
pretes dan postes. Kedua skor ini masing-masing dari kelompok kelas eksperimen dan
kelompok kelas kontrol, kemudian dilakukan pengolahan data. Pengolahan dilakukan dengan
uji-t dan uji t dari kedua kelompok tersebut. Hasil akhir dari penelitian ini menyimpulkan
bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya dengan
pendekatan RME lebih baik daripada cara biasa.
Kata Kunci: Hasil Belajar Matematika, Metode Kumon, Kuantum.

1.

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah


Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas dan
mengembangkan potensi, serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, setiap individu
diwajibkan untuk mengenyam pendidikan. Salah satu bidang studi yang mendukungnya adalah
matematika. Hal ini dapat dilihat dengan adanya tambahan jam pelajaran matematika pada
kurikulum 2013. Depdiknas (Herlina, Turmudi, dan Dahlan, 2012:1) mengatakan, Matematika
mempunyai peran penting dalam mengembangkan daya pikir manusia, sehingga matematika
menjadi pondasi dalam perkembangan teknologi modern. Matematika membekali siswa untuk
memiliki kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, serta kemampuan bekerjasama .
Maka dari itu pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa untuk setiap jenjang
pendidikan, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Komunikasi matematik merupakan kemampuan matematik esensial yang tercantum dalam
kurikulum matematika sekolah menengah. NCTM dan KTSP (Sumarmo, 2012:14) mengatakan,
Komponen tujuan pembelajaran matematika tersebut antara lain: dapat mengkomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau ekspresi matematik untuk memperjelas keadaan atau
masalah, dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin
tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

113

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Menurut Sumantri (Nuriadin, 2010:62), Kemampuan komunikasi adalah kemampuan seseorang


untuk menyatakan buah pikirannya dalam bentuk ungkapan kalimat yang bermakna, logis dan
sistematis . Kemampuan komunikasi matematik dalam pembelajaran matematika juga sangat
penting untuk diperhatikan, hal ini dikarenakan melalui komunikasi matematik siswa dapat
mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir matematiknya baik secara lisan maupun tulisan,
disamping itu renegoisasi respon antar siswa akan dapat terjadi dalam proses pembelajaran. Pada
akhirnya dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang konsep matematika
yang telah dipelajari.
Menurut studi pemula yang di lakukan Chotimah tahun 2014 bahwa kemampuan komunikasi
matematik siswa SMP di Kota Bandung masih sangat rendah, ini dikarenakan dalam proses
pembelajaran guru belum terbiasa memberikan soal-soal kemampuan komunikasi matematik dalam
pelajaran matematika ke siswa. Selain itu, aspek kemampuan dasar siswa juga ikut mempengaruhi
kemampuan komunikasi matematiknya.
Menyadari akan pentingnya kemampuan komunikasi matematik dirasakan perlu bagi siswa, maka
guru mengupayakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan-pendekatan atau metodemetode yang dapat memberi peluang dan mendorong siswa untuk melatih kemampuan komunikasi
dalam pembelajaran matematika. Pada pembelajaran matematika dengan pendekatan tradisional,
kemampuan komunikasi matematika siswa masih sangat terbatas pada kemampuan verbal yang
pendek atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh guru. Komunikasi matematik akan berperan
efektif manakala guru mengkondisikan siswa agar mendengarkan secara aktif (listen actively)
sebaik mereka mempercakapkannya. Oleh karena itu, perubahan pandangan belajar dari
guru mengajar ke siswa belajar sudah harus menjadi fokus utama dalam setiap kegiatan
pembelajaran matematika.
Persoalannya adalah bagaimana seorang guru dapat menanamkan pemahaman konsep dan
mentransfer pengetahuan dengan sebaik-baiknya kepada siswa. Persoalan tersebut menjadi masalah
bagi semua pelaku pendidikan dalam menemukan sebuah metode, strategi atau pendekatan
pembelajaran yang sebaik-baiknya. Pendekatan yang bukan semata-mata menyangkut kegiatan
guru mengajar akan tetapi menitikberatkan pada aktivitas belajar siswa, dan membimbing siswa
memperoleh suatu kesimpulan yang benar. Peneliti memperkirakan dengan pendekatan RME
mampu mendukung upaya peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa. Pendekatan
RME dapat menciptakan siswa lebih aktif, kreatif, berfikir, dan berani mengemukakan pendapat,
serta dapat membuat suasana pengajaran matematika lebih kreatif dan menyenangkan.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk membahas tentang peningkatan kemampuan
pemahaman dan komunikasi matematik antara siswa yang mendapat pembelajaran dengan
pendekatan RME (kelas eksperimen) dengan siswa yang mendapat pembelajaran dengan
menggunakan cara biasa (kelas kontrol). Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian yang
berjudul Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMP di Kota Bandung
dengan Pendekatan Realistic Mathematics Educations.
1.2. Identifikasi Masalah dan Rumusan Masalah
Didalam penelitian ini dibutuhkan suatu identifikasi yang tidak terlepas dari Peningkatan
kemampuan komunikasi matematik siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan RME.
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, maka rumusan masalah yang diajukan dalam
penelitian ini adalah: Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang
pembelajarannya dengan pendekatan RME lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya dengan
cara biasa?

114

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan penelitian ini adalah
Mengkaji kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya melalui pendekatan
RME dengan siswa yang pembelajarannya dengan cara biasa.

2.

Studi Literatur

2.1. Komunikasi Matematik


Menurut Schoen, Bean, dan Ziebarth (Saragih, 2007:36), Komunikasi matematik adalah
kemampuan siswa dalam menjelaskan suatu algoritma dan cara unik memecahkan masalah,
kemampuan siswa mengkonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafik,
kata-kata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian fisik atau kemampuan siswa memberikan dugaan
tentang gambar-gambar geometri . Sedangkan Greenes dan Schulman (Saragih, 2007:36)
mengatakan bahwa komunikasi matematik merupakan,
1) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi,
2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan
investigasi matematika,
3) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, bagi
pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai, dan mempertajam ide untuk meyakinkan yang
lain.
NCTM (Saragih, 2007:37) mengatakan, komunikasi matematik adalah kemampuan siswa
dalam,
1) membaca dan menulis matematika dan mentafsirkan makna dan ide dari tulisan itu,
2) mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang ide matematika dan hubungannya,
3) merumuskan definisi matematika dan membuat
generalisasi yang ditemui melalui
investigasi,
4) menulis sajian matematika dengan pengertian,
5) menggunakan kosakata/bahasa, notasi struktur secara matematika untuk menyajikan ide
menggambarkan hubungan, dan pembuatan model,
6) memahami, menafsirkan dan menilai ide yang disajikan secara lisan, dalam tulisan, atau dalam
bentuk visual,
7) mengamati dan membuat dugaan, merumuskan pertanyaan, mengumpulkan dan menilai
informasi, dan
8) menghasilkan dan menyajikan argumen yang meyakinkan.
Baroody (Saragih, 2007:37) mengemukakan, terdapat lima aspek komunikasi,
1) representasi (representing), diartikan sebagai bentuk baru dari hasil translasi suatu
masalah atau ide, atau translasi suatu diagram dari model fisik kedalam simbol atau kata-kata;
2) mendengar (listening), dalam proses diskusi aspek mendengar salah satu aspek yang sangat
penting, kemampuan siswa dalam memberikan pendapat atau komentar sangat terkait dengan
kemampuan dalam mendengarkan topik-topik utama atau konsep esensial yang didiskusikan;
3) membaca (reading), kemampuan membaca merupakan kemampuan yang kompleks, karena di
dalamnya terkait aspek mengingat, memahami, membandingkan, menemukan, menganalisis,
mengorganisasikan, dan akhirnya menerapkan apa yang terkandung dalam bacaan;
4) diskusi (discussing), merupakan sarana bagi seseorang untuk dapat mengungkapkan dan
merefleksikan pikiran-pikirannya berkaitan dengan materi yang diajarkan; 5) menulis (writing),
kegiatan yang dilakukan dengan sadar untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran,
dipandang sebagai proses berpikir keras yang dituangkan di atas kertas.
Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, kemampuan komunikasi
matematik mencakup dua hal, yaitu kemampuan siswa menggunakan matematika sebagai alat
komunikasi (bahasa matematika), dan kemampuan mengkomunikasikan matematika yang
dipelajari.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

115

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Kemampuan komunikasi matematik dirasa sangat perlu dimiliki oleh setiap siswa, karena
kemampuan komunikasi merupakan salah satu komponen tujuan pembelajaran didalam kurikulum
2013. Baroody (Sumarmo, 2012:14) mengemukakan pentingnya pemilikan kemampuan
komunikasi matematik,
1) matematika adalah bahasa esensial yang tidak hanya sebagai alat berpikir, menemukan rumus,
menyelesaikan rumus, menyelesaikan masalah, atau menyimpulkan saja, namun matematika
juga memiliki nilai yang tak terbatas untuk menyatakan beragam ide secara jelas, teliti dan
tepat;
2) matematika dan belajar matematika adalah jantungnya kegiatan sosial manusia, misalnya
dalam pembelajaran matematika interaksi antara guru dan siswa, antara siswa dan siswa, antara
bahan pembelajaran matematika dan siswa adalah faktor-faktor penting dalam memajukan
potensi siswa.
Asikin (Sumarmo, 2012:14) mengatakan, peran penting lainnya dari pemilikan kemampuan
komunikasi matematik yaitu: membantu siswa menajamkan cara siswa berpikir, sebagai alat untuk
menilai pemahaman siswa, membantu siswa mengorganisasi pengetahuan matematik mereka,
membantu siswa membangun pengetahuan matematikanya, meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematik, memajukan penalarannya, membangun kemampuan diri, meningkatkan
keterampilan sosialnya, serta bermanfaat dalam mendirikan komunitas matematik.
Sumarmo (2012:14) mengidentifikasi indikator komunikasi matematik,
1) menghubungkan benda nyata, gambar dan diagram, ke dalam ide matematika;
2) menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik, secara lisan dan tulisan dengan benda nyata,
grafik, dan aljabar;
3) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika;
4) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika;
5) membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika;
6) menyusun konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi;
7) mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam bahasa sendiri.
2.2. Pendekatan Mathematic Realistics Education
Menurut Kuiper&Kuver (Suherman, 2003:143), beberapa penelitian pendahuluan di beberapa
Negara menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan realistik,
1) Matematika lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak terlalu formal dan tidak terlalu abstrak
2) Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa
3) Menekankan belajar matematika pada learning by doing
4) Memfasilitasi penyelesaian masalah matematika dengan tanpa menggunakan penyelesaian
(algoritma) yang baku
5) Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika,
Suherman dkk (2003:144) mengatakan, Salah satu filosofi yang mendasari pendekatan realistik
adalah bahwa matematika bukanlah satu kumpulan aturan atau sifat-sifat yang sudah lengkap yang
harus siswa pelajari. Dalam pendidikan khususnya pendidikan matematika, individu atau
kelompok dapat membuat suatu produk baru untuk memperbaiki suatu pembelajaran, produk ini
mungkin berupa produk materi pembelajaran baru, teknik pembelajaran baru, ataupun program
pembelajaran baru. Pengembangan produk baru ini melibatkan proses engeneering dengan cara
menemukan bagian-bagian tertentu dan meletakkannya kembali untuk membuat suatu produk baru.
Ada empat tahap utama dalam pengembangan produk baru ini yaitu: desain hasil, kreasi hasil,
implementasi hasil, dan penggunaan hasil. Bentuk inovasi ini dimaksudkan untuk memajukan hasil
proses belajar mengajar yang optimal, yang ditandai dengan meningkatnya kemampuan siswa
dalam menyerap konsep-konsep, prosedur, dan algoritma matematika.

116

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.3. Hipotesis
Berdasarkan pada latar belakang, rumusan masalah, dan tinjauan literatur yang telah diuraikan
maka hipotesisnya adalah: Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang
pembelajarannya melalui pendekatan RME lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya
melalui cara biasa.

3. Metode Penelitian
3.1. Disain Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, karena ada pemanipulasian perlakuan,
dimana kelas yang satu mendapat pembelajaran melalui pendekatan RME dan kelas yang lain
mendapat pembelajaran dengan cara biasa, pada awal dan akhir kedua kelas diberi tes. Sehingga
desain penelitiannya adalah sebagai berikut :
A
O
X
O
A
O
O
Dimana
A : Pengambilan sampel secara acak
O : Pretes dan postes kemampuan komunikasi matematik
X : Pembelajaran dengan pendekatan RME
3.2. Subyek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP di Kota Bandung. Sampel dalam penelitian
ini adalah SMPN 7 Bandung pada kelas VII.1 (kelas eksperimen) yang diberi perlakuan
pembelajaran dengan pendekatan RME dan kelas VII.2 (kelas kontrol) diberi pembelajaran biasa.
3.3. Variabel Penelitian.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah: (1) Pendekatan Realistic Mathematics Educations yang
diberikan dikelas eksperimen; (2) Pembelajaran konvensional yang diberikan di kelas kontrol.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah: (1) Kemampuan komunikasi matematik siswa.
3.4. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis instrumen yaitu soal tes
tertulis mengenai kemampuan komunikasi matematik siswa yang dibuat dalam bentuk uraian.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dalam bentuk tes. Data yang berkaitan dengan kemampuan
komunikasi matematik siswa dikumpulkan melalui tes (pretes dan postes).
3.6. Prosedur Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari tes yaitu pretes dan postes yang berupa soal uraian, kemudian diolah
dengan bantuan software Minitab-14, dengan prosedur sebagi berikut:
1. Uji Normalitas
2. Uji Homogenitas
3. Uji Perbedaan Dua Rata-rata
4. Uji Gain

4. Analisis Data dan Pembahasan


4.1. Deskripsi Data Hasil Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa
Pada bagian pendahuluan telah disampaikan beberapa rumusan masalah. Untuk menjawab
permasalahan tersebut akan dianalisis peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

117

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

memperoleh pembelajaran dengan pendekatan RME dan siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional. Data yang dianalisis ada dua macam yaitu: (1) data kemampuan komunikasi
matematik; (2) data Gain. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Minitab 14
dan Mricrosoff Excel. Berikut ini uraian data hasil penelitian dan pembahasan. Data hasil skor tes
awal, tes akhir kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1
Rekapitulasi Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Komunikasi Matematik serta Self Confidence
Kelas RME

Variabel

Kemampuan
Komunikasi
Matematik

Pretes
37

Postes
37

Std. Dev.

13
0
7.24
3.82

16
6
12.54
3.06

Kelas Konv.
N-Gain
37
1
0
0.63
0.24

Pretes
37

Postes
37

N-Gain
37

12
0
7.19
3.21

16
7
11.86
2.48

1
0
0.53
0.26

4.2. Pembahasan
Berdasarkan Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa rataan skor kemampuan komunikasi matematik
siswa kelas eksperimen sebelum pembelajaran lebih kecil dibandingkan dengan siswa kelas
kontrol, yaitu rataan skor kelas eksperimen 7.24 sedangkan rataan skor kelas kontrol 7.19.
Perbedaannya sekitar 0.5, ini menunjukkan adanya perbedaan pada kemampuan awal. Sedangkan
setelah pembelajaran dilaksanakan rataan skor kemampuan komunikasi matematik siswa kelas
eksperimen yaitu 12.54 dan standar deviasinya 3.82. Sementara itu rata-rata skor postes kelas
kontrol yaitu 11.86 dengan standar deviasinya 2.48. Berdasarkan standar deviasi skor postes kelas
eksperimen dan kelas kontrol, dapat dilihat bahwa penyebaran kemampuan komunikasi matematik
setelah pembelajaran untuk kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Berdasarkan Tabel
4.1 untuk rata-rata N-Gain kelas eksperimen 0.63 dan kelas kontrol 0.53, hal ini menunjukkan
bahwa hasil peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan RME lebih baik secara signifikan daripada yang pembelajarannya
menggunakan cara biasa.

5. Kesimpulan dan Saran


5.1. Kesimpulan
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dan hasil dari analisis data yang dikemukakan diatas
dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang
pembelajarannya dengan menggunakan pendekatan RME lebih baik daripada siswa yang
pembelajarannya dengan menggunakan pembelajaran cara biasa.
5.2. Saran
1) Dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa dalam pembelajaran
matematika, guru hendaknya terus berusaha memberi bantuan dan bimbingan kepada anak
didiknya yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika.
2) Guru hendaknya terus melakukan upaya menerapkan model pembelajaran yang baru dengan
tujuan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa dalam pembelajaran
matematika.

DAFTAR PUSTAKA
Chotimah, S. (2014). Kemampuan Matematik Siswa terhadap Matematika. Bandung.[21 Januari
2014]

118

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Herlina, S., Turmudi, Dahlan, JA. (2012). Efektivitas Strategi React dalam Upaya Peningkatan
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Jurnal
Pengajaran MIPA. 17, (1), 1-7.
Nuriadin, I. (2010). Peningkatan Koneksi dan Komunikasi Matematik Siswa SMP melalui
Pembelajaran Kontekstual dengan Berbantuan Program Geometers Sketchpad. Jurnal
Ilmu Pendidikan (JIP) STKIP Kusuma Negara. 03, (II), 61-70.
Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa
Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Realistik. Disertasi UPI. Bandung: Tidak
diterbitkan.
Suherman, E., Turmudi, Suryadi, D., Herman, T,. Suhendra, Prabawanto, S., Nurjanah, Rohayati,
A. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.
Sumarmo, U. (2012). Bahan Belajar Matakuliah Proses Berfikir Matematik. Bandung: Tidak
diterbitkan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

119

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN CONNECTING,


REFLECTING, ORGANIZING, AND EXTENDING (CORE)
DALAM PENCAPAIAN DAN PENINGKATAN SELFREGULATED LEARNING (SRL) SISWA
Yumiati
Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Terbuka
yumiatis@gmail.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efektivitas pembelajaran CORE dalam pencapaian
dan peningkatan SRL siswa. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan penelitian kuasi
eksperimen dengan desain pretes-postes non equivalent group. Sampel penelitian adalah siswa
kelas VIII SMPN 30 Kota Jakarta Utara. Pencapaian SRL dilihat dari skor skala SRL di awal
pembelajaran, dan peningkatan SRL dilihat dari skor N-gain SRL. Hasil yang diperoleh
sebagai berikut. 1) Pembelajaran CORE lebih efektif dalam pencapaian dan peningkatan SRL
siswa dibandingkan pembelajaran konvensional; dan 2) Peningkatan SRL siswa kelompok
pembelajaran CORE sebesar 0,11 memiliki kategori rendah dan peningkatan SRL siswa
kelompok pembelajaran konvensional sebesar -0,02 berkategori sangat rendah.
Kata Kunci: Pembelajaran CORE, Self-Regulated Learning

1.

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah


Pembelajaran matematika tidak hanya dimaksudkan untuk mengembangkan aspek kognitif,
melainkan juga aspek afektif, seperti Self-Regulated Learning (SRL). Bandura (Sumarmo, 2004)
mengemukakan bahwa SRL adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang strategi belajar
efektif dan bagaimana serta kapan menggunakan pengetahuan itu. Strategi belajar efektif
digunakan untuk mencapai tujuan belajar dengan cara dan waktu yang tepat. Wolters, Pintrich, dan
Karabenich (2003) menjelaskan bahwa SRL adalah proses aktif siswa dalam mengkonstruksi dan
menetapkan tujuan belajarnya dan kemudian mencoba untuk memonitor, mengatur, dan
mengontrol kognisi; motivasi, dan perilakunya berdasarkan tujuan belajar yang telah ditetapkan
dalam konteks lingkungannya. Proses aktif dan konstruktif dari suatu SRL berkaitan pula dengan
inisiatif belajar, mendiagnosis kebutuhan belajar, menetapkan tujuan belajar, mengatur dan
mengontrol kebutuhan belajar, motivasi dan perilaku, memandang kesulitan sebagai tantangan,
mencari dan memanfaatkan sumber belajar yang relevan, memilih dan menerapkan strategi belajar,
mengevaluasi proses dan hasil belajar, serta konsep diri (Tandilling, 2011).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat dan semakin maju diperlukan
sumber daya manusia yang memiliki SRL yang baik. Sumarno (2012) yang mendefinisikan SRL
dengan kemandirian belajar mengatakan bahwa salah satu sikap yang perlu dimiliki siswa agar
mampu bersaing dalam era informasi dan tekhnologi yang semakin pesat adalah sikap kemandirian
belajar.
SRL merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan belajar matematika siswa.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa SRL mempunyai pengaruh positif terhadap
pembelajaran dan pencapaian hasil belajar. Darr dan Fisher (2004) serta Pintrich dan Groot (Izzati,
2012) mengungkapkan bahwa SRL berkorelasi kuat dengan kesuksesan seorang siswa. Hargis
(Sumarmo, 2004) juga menemukan bahwa individu yang memiliki SRL yang tinggi cenderung

120

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

belajar lebih baik, mampu memantau, mengevaluasi, dan mengatur belajarnya secara efektif;
menghemat waktu dalam menyelesaikan tugasnya; mengatur belajar dan waktu secara efisien, dan
memperoleh skor yang tinggi dalam sains.
Pentingnya SRL dimiliki bagi seseorang untuk menghadapi kehidupan yang semakin penuh
tantangan, dan adanya pengaruh positif dari SRL terhadap keberhasilan belajar siswa, maka perlu
dikembangkan suatu pembelajaran yang dapat mengembangkan atau meningkatkan SRL siswa. De
Corte, et al. (Darr dan Fisher, 2004) menyatakan bahwa SRL dapat dikembangkan dalam
pembelajaran, melalui: 1) tugas-tugas yang menantang; 2) variasi dalam metode pembelajaran
meliputi: latihan terbimbing, bekerja dalam kelompok kecil dan klasikal; dan 3) menciptakan ruang
kelas yang membantu perkembangan disposisi positif terhadap pembelajaran matematika.
Montalvo dan Maria (2004) menyatakan bahwa model-model pembelajaran untuk mengembangkan
SRL siswa menekankan pada pentingnya refleksi diri dan memberikan kesempatan siswa membuat
generalisasi.
Salah satu model pembelajaran yang memiliki ciri-ciri seperti yang diungkapkan oleh De Corte, et
al. (Darr dan Fisher, 2004) serta Montalvo dan Maria (2004) adalah pembelajaran Connecting,
Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE). Menurut Curwen, et.al, (2010), pembelajaran ini
menggabungkan empat unsur penting konstruktivisme, yaitu menghubungkan (connect) ke
pengetahuan siswa sebelumnya, mengatur (organize) materi baru bagi siswa, memberikan
kesempatan kepada siswa untuk merefleksi (reflect) secara strategi, dan memberikan kesempatan
siswa untuk memperluas (extend) pembelajaran. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan dalam
rangka membangun pengetahuan baru yang dilakukan secara individu atau berkelompok. Ketika
siswa menemui jalan buntu atau terjadi perbedaan pendapat di antara kelompok, guru akan
membantu siswa melalui scaffolding. Suasana pembelajaran dengan ciri-ciri tersebut sangat
dimungkinkan untuk mengarahkan siswa agar dapat melaksanakan pembelajaran matematika yang
pada gilirannya siswa akan memiliki SRL yang baik.
Makalah ini menyajikan hasil penelitian yang bertujuan untuk melihat efektivitas pembelajaran
CORE dalam pencapaian dan peningkatan SRL siswa. Definisi SRL yang digunakan adalah SRL
sebagai proses aktif siswa dalam mengatur belajarnya sendiri yang meliputi kegiatan: menetapkan
tujuan belajar matematika, menumbuhkan motivasi, menggunakan strategi, mengatur dan
memonitor belajar, dan mengevaluasi kemajuan belajar matematika. Menetapkan tujuan adalah
menetapkan sesuatu yang ingin dicapai dalam belajar matematika dan menganalisis tugas belajar.
Motivasi adalah ketertarikan terhadap matematika, dorongan yang membuat siswa belajar, dan
keyakinan akan pentingnya matematika. Menggunakan strategi belajar adalah mendiagnosis
kebutuhan belajar dan cara siswa dalam belajar. Mengatur dan memonitor adalah mengelola waktu
belajar dan mengontrol kesesuaian belajar dengan tujuan. Evaluasi adalah melihat kembali kegiatan
belajar yang telah dilakukan, menilai kemajuan belajar, dan melihat ketercapaian tujuan belajar.

2.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen dengan desain pretes-postes non equivalent
group dimana kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak dipilih secara random (Sugiyono, 2011).
Ada dua kelompok kelas yaitu kelompok eksperimen yang diajarkan dengan menggunakan
pembelajaran CORE dan kelompok kontrol yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran
konvensional. Pembelajaran CORE adalah pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam
membentuk pengetahuan baru melalui langkah-langkah: 1) Connecting; 2) Organizing; 3)
Reflecting; dan 4) Extending. Sementara itu, pembelajaran konvensional atau pembelajaran klasikal
adalah model pembelajaran yang biasa dilakukan guru sehari-hari yang diawali dengan guru
menjelaskan materi pelajaran, memberi contoh soal dan cara menyelesaikannya, memberi
kesempatan bertanya kepada siswa, kemudian guru memberi soal untuk dikerjakan siswa sebagai
latihan (drill).

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

121

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Sampel penelitian dipilih secara random dari SMP Negeri di Kota Jakarta Utara. SMP Negeri 30
terpilih sebagai sampel, kemudian dipilih melalui purposive sampling kelas VIII sebagai subjek
sampel dengan pertimbangan sebagai berikut. 1) Siswa kelas VIII tidak sedang mempersiapkan
Ujian Akhir Sekolah sehingga tidak mengganggu persiapan mereka; dan 2) Siswa kelas VIII sudah
lebih beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru (dari SD ke SMP) dibandingkan dengan
siswa kelas VII. Dari kelas VIII di SMPN 30 dipilih 2 (dua) kelas secara random untuk dijadikan
kelas eksperimen dan kelas kontrol. Jumlah siswa di masing-masing kelas adalah 31 orang di kelas
eksperimen dan 30 orang di kelas kontrol. Di kedua kelas, seluruh siswa diberikan angket skala
SRL pada saat sebelum (awal) dan sesudah (akhir) pembelajaran.
Instrumen penelitian terdiri dari skala SRL, lembar observasi, dan pedoman wawancara. Skala SRL
terdiri dari 5 (lima) pilihan jawaban, yaitu: Sangat Sering (SS), Sering (SR), Kadang-kadang (KD),
Jarang (JR), dan Jarang Sekali (JS). Skala SRL berisi 41 pernyataan yang terdiri dari 21 pernyataan
positif dan 20 peryataan negatif. Lembar observasi digunakan untuk mendapatkan gambaran
tentang kualitas proses pembelaaran guru dan aktivitas siswa selama berlangsungnya proses
pembelajaran. Di samping itu, lembar obeservasi digunakan untuk memastikan pelaksanaan
pembelajaran CORE telah sesuai dengan teori. Wawancara digunakan untuk melengkapi data yang
dirasakan kurang dalam observasi dan pengisian angket skala SRL.
Data dianalisis secara kualitatif untuk penerapan model CORE dan kriteria peningkatan SRL siswa,
serta secara kuantitatif untuk melihat efektivitas pembelajaran CORE dalam rangka pencapaian dan
peningkatan SRL siswa. Efektivas pembelajaran CORE dilihat melalui uji perbedaan angket di
akhir pembelajaran (pencapaian) dan N-gain (peningkatan) antara kelas eksprerimen dan kelas
kontrol. N-gain adalah gain ternormalisasi yang diperoleh dengan menggunakan rumus: N-gain =

skor akhir skor awal


.
skor maksimalideal skor awal

Kriteria peningkatan SRL menggunakan kriteria N-gain yang dikemukakan oleh Hake (1999),
yaitu:
Tabel 1. Kriteria N-gain
Keriteria N-gain
Interval N-gain
Tinggi
N-gain > 0,7
Sedang
0,3 < N-gain 0,7
Rendah
N-gain 0,3

3.

Hasil dan Pembahasan

3.1. Hasil
Data deskriptif tentang pencapaian dan peningkatan SRL siswa di kedua kelompok pembelajaran
disajikan dalam gambar berikut.
150

125,7
127,29

134,19
126,27

Skor SRL Siswa

100
50
0,11
0

-0,02

-50
Awal Pembelajaran
Akhir CORE N-gain
Gambar 1. Diagram Skor Awal, Akhir, dan N-gain SRL Siswa
berdasarkan Kelompok Pembelajaran
Keterangan: Skor maksimal SRL = 187

122

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Secara deskriptif, SRL siswa di kedua kelompok pembelajaran relatif sama pada saat sebelum
pembelajaran. Namun, sesudah pembelajaran terlihat perbedaan perolehan skor SRL, siswa
kelompok pembelajaran CORE memiliki skor SRL lebih tinggi dari siswa kelompok pembelajaran
konvensional. Demikian juga N-gain (peningkatan) SRL siswa kelompok pembelajaran CORE
lebih tinggi dari siswa kelompok pembelajaran konvensional. Besar N-gain SRL siswa kelompok
pembelajaran CORE 0,11 berada pada kategori rendah, besar N-gain SRL siswa kelompok
pembelajaran konvensional 0,02 termasuk kategori rendah sekali.
Hasil analisis data secara deskriptif menunjukkan bahwa pencapaian dan peningkatan SRL siswa
kelompok pembelajaran CORE lebih tinggi dari siswa kelompok pembelajaran konvensional.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara deskriptif pembelajaran CORE efektif dalam
mencapai SRL yang lebih baik bagi siswa, dan efektif dalam meningkatkan SRL siswa.
Hasil secara deskriptif ini diujikan pula secara inferensial dengan menggunakan uji perbedaan
pencapain dan peningkatan SRL antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Uji statistik yang
digunakan adalah uji t jika kedua data berdistribusi normal dan homogen, dan uji Mann Whitney
jika kedua data tidak berdistribusi normal. Sebelum dilakukan uji beda data awal, akhir, dan N-gain
SRL siswa pada kedua kelompok pembelajaran, perlu dilakukan uji normalitas dengan
menggunakan uji Kolmogorof-Smirnov, dan uji homogenitas varians dengan menggunakan uji
Levene.
Hasil uji normalitas data awal, akhir, dan N-gain SRL disajikan pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Data Awal, Akhir, dan N-gian Siswa
Dev.
KolmogorovSig.
Kelompok Data
N
Rata-rata
Stand.
Smirnov Z
(2-arah)
Awal SRL CORE
31
127,29
15,16
0,733
0,657
Awal SRL KONV
30
125,70
16,31
0,592
0,874
Akhir SRL CORE
31
134,19
16,01
0,714
0,687
Akhir SRL KONV
30
126,27
12,82
0,734
0,655
N-gain SRL CORE
31
0,11
0,19
0,529
0,943
N-gain SRL KONV
30
-0,02
0,19
1,468
0,027

H0
Diterima
Diterima
Diterima
Diterima
Diterima
Ditolak

Berdasarkan Tabel 2., dapat dilihat bahwa semua data berdistribusi nomal, kecuali data N-gain
SRL siswa kelompok pembelajaran konvensional. Nilai sig. (2-arah) data N-gain SRL siswa
kelompok pembelajaran konvensional sebesar 0,027 lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian, uji
perbedaan peningkatan SRL antara kelompok pembelajaran CORE dengan kelompok pembelajaran
konvensional langsung menggunakan uji Mann Whitney, sedangkan kelompok data yang lain perlu
diuji terlebih dahulu homogenitas variansnya.
Hasil uji homogenitas varians data awal, akhir, dan N-gain SRL siswa disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas Varians Data Awal dan Akhir SRL Siswa
Kelampok Data
N
F
Sig. (2-arah)
H0
Awal SRL CORE
31
0,12
0,734
Diterima
Awal SRL KONV
30
Akhir SRL CORE
31
2,13
0,150
Diterima
Akhir SRL KONV
30

Berdasarkan data pada Tabel 3. dapat disimpulkan bahwa kelompok data awal dan akhir SRL siswa
memiliki varians yang homogen. Dengan demikian, uji perbedaan awal dan akhir (pencapaian)
SRL siswa di kedua kelompok pembelajaran menggunakan uji t.
Hasil perhitungan uji t untuk awal dan akhir (pencapaian) SRL siswa disajikan pada Tabel 4.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

123

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Tabel 4. Hasil Uji t Data Awal dan Akhir SRL Siswa


RataBeda RataSig.
Kelompok Data
N
t
df
rata
rata
(2-arah)
Awal SRL CORE
31 127,29
1,59
0,395
59
0,695
Awal SRL KONV
30 125,70
Akhir SRL CORE
31 134,19
7,92
2,131
59
0,037
Akhir SRL KONV
30 126,27

H0
Diterima
Ditolak

Hasil perhitungan uji Mann-Whitney untuk N-gain (peningkatan) siswa disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Perhitungan Uji Mann-Whitney N-gain Siswa
RataU Mann
sig.
Kelompok Data
Z
rata
Whitney
(2-arah)
N-gain SRL CORE
0,11
289,500
-2,534
0,011
N-gain SRL KONV
-0,02

H0
Ditolak

Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 4 dan Tabel 5, dapat disimpulkan bahwa SRL siswa
di awal pembelajaran tidak berbeda secara signifikan antara kedua kelompok pembelajaran. Hal ini
memberikan alasan peneliti untuk menguji pencapaian SRL siswa. Di samping itu, jika terjadi
perbedaan pencapaian atau peningkatan SRL di akhir pembelajaran antara kedua kelompok
pembelajaran, dapat disebabkan oleh perlakuan yang berbeda, bukan karena perbedaan SRL di
awal pembelajaran. Hasil lain yang dapat disimpulkan berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5 adalah
pencapaian serta peningkatan SRL siswa berbeda secara signifikan antara kedua kelompok
pembelajaran. Hasilnya menunjukkan bahwa pencapaian dan peningkatan SRL siswa pada
kelompok pembelajaran CORE lebih tinggi dari siswa pada kelompok pembelajaran konvensional.
Hasil ini menunjukkan bahwa pembelajaran CORE lebih efektif dalam mencapai SRL yang lebih
baik bagi siswa, dan lebih efektif dalam meningkatkan SRL siswa dibandingkan pembelajaran
konvensional.
3.2. Pembahasan
Pembelajaran CORE
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pembelajaran CORE lebih efektif dalam mencapai
SRL yang lebih baik bagi siswa, dan lebih efektif dalam meningkatkan SRL siswa dibandingkan
pembelajaran konvensional. Lebih efektifnya pembelajaran CORE tersebut dibandingkan
pembelajaran konvensional dapat dijelaskan melalui langkah-langkah pembelajaran CORE sebagai
berikut.
Kegiatan pada tahap connecting, yang menghubungkan konsep atau prinsip matematika yang lama
dengan konsep atau prinsip matematika baru dapat menumbuhkan motivasi siswa dalam belajar
matematika. Demikian juga motivasi dapat berkembang ketika siswa mengetahui tujuan
pembelajaran. Hal ini berakibat juga, siswa dapat menetapkan arah yang hendak dicapai. Kegiatan
pada tahap ini juga dapat menyebabkan kemampuan merefleksi siswa dapat berkembang, karena
melalui pengingatan materi lama siswa dapat mengetahui kesalahan yang terjadi dan langsung
dapat memperbaikinya.
Kegiatan organizing pembelajaran yang memuat aktivitas merencanakan, melaksanakan,
memonitoring, dan mengevaluasi membentuk SRL siswa dalam merancang belajar yang sesuai
dengan tujuan yang akan dicapai. Untuk mencapai tujuan tersebut, siswa melakukan berbagai
strategi. Kejelasan tahapan dalam organizing pembelajaran menumbuhkan motivasi siswa dalam
belajar, sedangkan kegiatan monitoring pembelajaran berdampak terhadap kegiatan siswa dalam
memonitor belajarnya. Siswa selalu berupaya secara mandiri memonitor aktivitas belajarnya, agar

124

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

dapat memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan belajar. Kegiatan organizing pembelajaran
juga berkontribusi terhadap SRL dalam aspek kegiatan refleksi dan kemajuan belajar siswa.
Kegiatan reflecting dalam pembelajaran membentuk SRL dalam aspek melakukan refleksi belajar.
Siswa berupaya mengontrol dirinya dalam belajar melalui kegiatan refleksi yang bertujuan untuk
memastikan langkah belajar yang dilakukannya telah sesuai dengan aturan dan memberikan
kontribusi terhadap pencapaian tujuan.
Kegiatan extending yang memperluas wawasan materi pembelajaran berdampak terhadap SRL
dalam melakukan berbagai strategi pengembangan belajar siswa maupun dalam melakukan
aktivitas evaluasi internal belajar. Evaluasi tersebut dilakukan siswa, agar kegiatan pengembangan
materi maupun wawasan tetap berada dalam konteks pencapaian tujuan belajar.
Keterkaitan pembelajaran CORE dengan SRL siswa dapat digambarkan sebagai berikut.
Tahapan
Pembelajaran CORE
Connecting

Aspek Kemandirian
Belajar Matematis
Menetapkan tujuan

Menumbuhkan motivasi
Organizing
Menggunakan strategi
Reflecting
Mengatur dan memonitor
Extending
Mengevaluasi

Gambar 2. Keterkaitan Pembelajaran CORE dengan SRL

Pembelajaran CORE menawarkan sebuah proses pembelajaran yang memberi ruang bagi siswa
untuk berpendapat, mencari solusi serta membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini memberikan
pengalaman langsung kepada siswa untuk berbuat dan berpikir sehingga diharapkan SRL siswa
dapat meningkat.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Curwen, et.al. (2010), Wijayanti (2012), dan
Azizah (2012). Curwen, et.al, (2010) menemukan bahwa model pembelajaran CORE merupakan
salah satu model pembelajaran yang efektif dalam pengembangan profesi guru yang mendukung
pengembangan metakognisi mereka. Hasil penelitian Wijayanti (2012) menyimpulkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas dengan pembelajaran CORE lebih
baik dari pada kelas dengan pembelajaran konvensional. Azizah (2012) hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa siswa di kelas yang menggunakan pembelajaran CORE bernuansa
konstruktivistivisme pada materi persamaan lingkaran mencapai tuntas belajar dengan nilai ratarata kelas 73 dan terdapat 87,5% siswa melampaui batas nilai KKM (sebesar 70).
Self-Regulated Learning (SRL)
Aspek yang diukur dalam SRL meliputi aspek menetapkan tujuan belajar, menumbuhkan motivasi,
menggunakan strategi belajar, mengatur dan memonitor belajar, serta mengevaluasi kemajuan
belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencapaian dan peningkatan SRL siswa yang
mendapat pembelajaran CORE lebih tinggi dari siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Nindiasari (2013) yang mengatakan bahwa peningkatan
kemandirian belajaran siswa yang mendapat pembelajaran metakognitif lebih besar dari siswa yang

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

125

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

mendapat pembelajaran biasa. Peningkatan SRL siswa yang mendapat pembelajaran CORE sebesar
0,11, dan peningkatan SRL siswa yang mendapat pembelajaran konvensional sebesar 0,02.
Peningkatan ini tergolong rendah. Rendahnya peningkatan SRL sesuai dengan hasil penelitian
Fauzi (2011), Izzati (2013), dan Nindiasari (2013) yang menemukan bahwa secara keseluruhan
peningkatan SRL siswa tergolong rendah. Rendahnya peningkatan SRL siswa di dalam
pembelajaran CORE tidaklah mengherankan. SRL seseorang dapat terbentuk melalui proses yang
panjang. Hal ini sesuai dengan Schunk & Zimmerman (Soemarmo, 2004) bahwa latihan
menerapkan SRL secara ekstensif diberikan dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, sangatlah
beralasan bahwa peningkatan SRL siswa masih rendah mengingat penelitian ini dilakukan dalam
waktu yang singkat sekitar 3 bulan.

4. Kesimpulan dan Rekomendasi


Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian adalah: 1) SRL awal siswa sebelum pembelajaran
tidak berbeda secara signifikan antara siswa kelompok pembelajara CORE dan siswa kelompok
Pembelajaran konvensional; 2) Pembelajaran CORE lebih efektif dalam pencapaian dan
peningkatan SRL siswa dibandingkan pembelajaran konvensional.
Rekomendasi yang diberikan sebagai akibat dari hasil penelitian ini adalah: 1) Pembelajaran CORE
dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang digunakan dalam dalam rangka
meningkatkan SRL siswa. Meskipun tidak ada model pembelajaran yang paling baik untuk
diterapkan di dalam situasi kelas yang heterogen, namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pembelajaran CORE lebih baik dibandingkan pembelajaran konvensional dalam meningkatkan
SRL siswa; 2) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran CORE lebih efektif dalam
rangka peningkatan SRL siswa dibandingkan pembelajaran konvensional, namun peningkatan
tersebut masih tergolong rendah. Oleh karena itu, perlu dikaji lagi lebih lanjut mengapa
peningkatannya rendah.

DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L., Mariani, S., Rochmad, R. (2012). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model Core
Bernuansa Konstruktivistik untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis. Unnes
Journal of Mathematics Education Research. Vol 1, No 2.
Curwen, M., Miller, R., White-Smith, K. A., & Calfee, R. C. (2010). Increasing Teachers'
Metacognition Develops Students' Higher Learning during Content Area Literacy Instruction:
Findings from the Read-Write Cycle Project. Issues In Teacher Education, 19(2), 127-151.
Darr, C. & Fisher, J. (2004). Self-Regulated Learning in The Mathematics Class. [Online].
Tersedia: http://www.nzcer.org.nz/pdfs/13903.pdf. [2 Maret 2012].
Fauzi, M.A. (2011). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar
Siswa dengan Pembelajaran Metakognitif di Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada PPs
UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Hake, R. R. (1999). Interactive Engagement Versus Traditional Methods: A Six-ThousandStudent Survey of Mechanics Test Data for Introductory Physics Courses. American Journal
Physics. 66, 64 74.
Izzati, N. (2012). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar
Siswa SMP melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi pada PPs UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.
Montalvo, F.T.& Maria, C.G.T. (2004). Self-Regulated Learning: Current and Future Directions.
Electronic Journal of Research in Educational Psychology, 2(1), 1-34.ISSN:1696-2095.
Nindiasari (2013). Meningkatkan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Reflektif Matematis, serta
Kemandirian Belajar Siswa SMA melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif.
Disertasi pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta.

126

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Sumarmo, U. (2004). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana dikembangkan pada
Peserta Didik. Makalah disajikan pada Seminar Nasional di FPMIPA UNY Yogyakarta pada
tanggal 8 Juli 2004.
Sumarmo, U. (2012). Pendidikan Karakter serta Pengembangan Berfikir dan Disposisi Matematik
dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan pada Seminar Nasional di NTT pada
tanggal 25 Februari 2012.
Tandilling (2011). Peningkatan Pemahaman dan Komunikasi Matematis serta Kemandirian
Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas melalui Strategi P4QR dan Bacaan Reputation Text.
Disertasi. Bandung: Pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan.
Wijayanti, A. (2012). Penerapan Model Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE)
untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. [Online].
Tersedia:
http://wijayantianisa.
blogspot.com/2012/07/penerapan-model-connectingorganizing.html. [12 Oktober 2012].
Wolters, C.A., Pintrich, P.R., dan Karabenick, S.A. (2003). Assessing Self Regulated Learning.
Makalah pada the Confeence on Indicators of Positive Development: Definition, Measures,
and Prospective Validity, National Institutes of Healthy.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

127

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

ANALISIS KORELASI MOTIVASI BERPRESTASI


TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIKA SISWA SMPN 3 LURAGUNG, KUNINGANJAWA BARAT
Risqi Rahman1 , Krisna Satrio Perbowo2
1,2)

Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Jakarta.


1)
risqirahman@yahoo.co.id

ABSTRAK
Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan. Pelajaran matematika
merupakan sarana latihan untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam berfikir dan
menyelesaikan masalah perhitungan, seperti ketika peserta didik melakukan operasi hitung
pada bilangan pecahan. Salah satu kemampuan yang dikembangkan dalam proses
pembelajaran matematika di tingkat SMP adalah kemampuan pemecahan masalah matematika.
Dengan menggunakan kemampuan kemampuan pemecahan masalah matematika, siswa terlatih
untuk bermain dengan bilangan. Belajar matematika hanya akan berhasil, jika seseorang
mampu meningkatkan motivasi berprestasi secara komprehensif. Dengan demikian seorang
siswa yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan kepekaan berprestasi mereka dalam
melaksanakan kegiatan belajar matematika, sehingga dapat memberikan solusi dari masalah
yang dihadapi. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 3 Luragung,
Kuningan, Jawa Barat, sedangkan sampel yang diambil adalah siswa kelas VIII A SMP Negeri
3 Luragung, Kuningan, Jawa Barat yang dipilih secara purposive sampling. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah angket motivasi berprestasi dan tes pemecahan masalah
matematika. Penelitian ini menyimpulkan, terdapat korelasi positif antara motivasi berprestasi
dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Selanjutnya siswa yang memiliki
motivasi berprestasi yang baik juga memiliki pemecahan masalah matematika yang baik pula.
Kata Kunci: Pemecahan Masalah, Motivasi Berprestasi

1.

Pendahuluan

Matematika sering dianggap sebagai ilmu yang hanya menekankan pada kemampuan berpikir logis
dengan penyelesaian yang tunggal dan pasti. Hal ini yang menyebabkan matematika menjadi mata
pelajaran yang ditakuti dan dijauhi siswa. Padahal, matematika dipelajari pada setiap jenjang
pendidikan dan menjadi salah satu pengukur (indikator) keberhasilan siswa dalam menempuh suatu
jenjang pendidikan, serta menjadi materi ujian untuk seleksi penerimaan menjadi tenaga kerja di
bidang tertentu. Melihat kondisi ini berarti matematika tidak hanya digunakan sebagai acuan untuk
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi saja namun juga digunakan dalam mendukung karir
seseorang.
Oleh karena itu, pengajaran matematika di sekolah juga harus didesain sedemikian rupa sehingga
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menumbuhkembangkan kemampuan mereka secara
maksimum. Selain itu, motivasi yang kuat untuk berprestasi juga dibutuhkan oleh siswa agar
mereka menjadi individu yang optimis dan percaya diri dalam belajar. Agar hal tersebut dapai
dicapai maka dibutuhkan seorang guru yang tepat dalam proses pembelajaran matematika. Guru
yang tepat adalah guru yang bisa mengkondisikan pengajaran (trampil) dan dapat membuat siswa
memacu motivasi ingin berprestasi serta menerapkan kemampuan memecahkan masalah yang
dihadapinya.

128

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Kegiatan pembelajaran matematika pada dasarnya merupakan kegiatan yang menemukan pola,
aturan atau algoritma yang ada. Untuk mencapai hal itu siswa harus memiliki kemampuan
memecahkan masalah. Problem solving dalam pembelajaran matematika merupakan bagian tak
terpisahkan dalam pembelajaran matematika dan perlu mendapat perhatian serius bagi para guru.
Karena dengan adanya problem solving siswa diharapkan menjadi terampil dalam menjawab soalsoal yang ada di dalam matematika.
Dengan menggunakan kemampuan memecahkan masalah dalam matematika, siswa mengenal cara
berpikir, kebiasaan untuk tekun, dan keingintahuan yang tinggi, serta percaya diri dalam situasi
yang tidak biasa, yang akan melayani mereka (para siswa) secara baik di luar kelas matematika.
Sehingga siswa mempunyai kemampuan yang baik di luar pembelajaran seperti kemampuan
memimpin dan menjalankan suatu kegiatan. Dalam pemecahan masalah terkait aspek attitudes
(sikap), Kaur dan Yeap (AME, 2009) menyampaikan bahwa diperlukan adanya interest (minat) dan
confidence (kepercayaan diri) yang merupakan komponen penting dalam diri siswa, sehingga siswa
memiliki motivasi untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.

2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis


Albert B. Bennet (2001) menyatakan bahwa Problem solving is the process by which the
unfamiliar situation is resolved.. Yang artinya pemecahan masalah adalah proses di mana
keadaan yang tidak familiar teratasi. Atau keadaan yang sulit atau tidak rutin bisa teratasi dengan
baik.
Pemecahan masalah ini berimplikasi kepada bagaimana seoarng siswa bisa memecahkan masalah
yang ada dalam matematika. Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika
yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan
memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk
diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Melalui kegiatan ini aspek-aspek
kemampuan matematika penting seperti penerapan aturan pada masalah yang tidak rutin,
penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematika, dan lain-lain dapat dikembangkan
secara lebih baik (Suherman, 2003).
Sebagaimana pendapat diatas, diketahui bahwa kemampuan memecahkan masalah dalam
matematika itu diperoleh atas dasar bagaimana siswa mampu menggunakan keterampilan serta
pengalaman ilmunya untuk menyelesaikan soal-soal matematika. Selain itu, Siswa juga ditntut agar
menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dalam matematika. Karena matematika dapat
diselesaikan dengan bagaimana kita menggunakan kemampuan mengurutkan, menafsirkan hingga
menginterpretasikan hal yang kita ketahui.
Matematika itu sendiri diperoleh melalui pengalaman-pengalaman pengetahuan yang telah kita
pelajari dan membutuhkan keterampilan dalam mengerjakan penyelesaian soal-soal yang ada.
Terlebih lagi soal-soal matematika juga disusun dengan masalah-masalah yang bersifat tidak rutin,
yang artinya siswa diberikan kompetensi yang tidak mereka pelajari serta membutuhkan
penalaraan yang tinggi.
Kemampuan memecahkan masalah adalah salah satu kemampuan yang wajib dimiliki siswa,
karena dengan hal itu siswa menjadi bisa mengembangkan kemampuannya dalam matematika
terutama dalam hal keterampilan. Karena matematika itu ilmu yang diperoleh melalui kerjasama
yang intensif, keterampilan dan kemandirian dalam memperoleh pengalaman. Nugroho (2002)
mengatakan bahwa akumulasi dari pengetahuan, keterampilan, kemandirian dan kemampuan
bekerja sama tersebut merupakan modalitas bagi kemampuan untuk memecahkan masalah
(problem solving).
Pemecahan masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke
dalam situasi baru yang belum dikenal. Suherman (2003) berpendapat bahwa penilaian terhadap
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

129

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kemampuan siswa dalam pemecahan masalah disarankan mencakup kemampuan yang terlibat
dalam proses memecahkan masalah, yaitu memahami masalah, merencanakan pemecahan masalah,
menyelesaikan masalah (melaksanakan rencana pemecahan masalah), menafsirkan hasilnya.
Dari hasil karya siswa dalam memecahkan masalah, dapat dilihat seberapa jauh kemampuan siswa
dalam memecahkan masalah sesuai dengan kemampuannya yang diperoleh. Pada kenyataannya,
siswa sering terhalang dalam memecahkan masalah karena lemahnya (tidak terbiasa)
mengembangkan strategi pemecahan masalah dan kurangnya pemahaman konsep atau prosedur
yang terkandung dalam penyelesaian masalah.
Indikator keberhasilan memecahkan masalah ditunjukkan olehkemampuan (PPG Matematika,
2005) : a). Menunjukkan pemahaman masalah. b) Menyajikan masalah secara matematik dalam
berbagai bentuk. c) Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan
masalah. d) Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat. e) Mengembangkan
strategi pemecahan masalah. f) Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah
menyelesaikan masalah yang tidak rutin.
Setiap informasi yang kita terima harus kita seleksi dahulu, karena belum tentu informasi yang kita
terima bermanfaat untuk diri kita. Dengan adanya pemecahan masalah siswa menjadi terampil
dalam menyeleksi informasi yang didapat, selain itu siswa juga bisa menganalisis hal yang dia
dapat untuk dikembangkan kemudian. pemecahan masalah juga menuntut siswa untuk
meningkatkan potensi yang dimiliki karena secara tidak langsung siswa belajar ekstra untuk
memecahkan penyelesaian soal-soal yang tidak rutin.
Frederick H. Bell (2001) menyatakan bahwa ada beberaapa strategi / siasat untuk mengajarkan dan
belajar dalam problem solving yaitu :
Present the problem in a general form. Restart the problem in an operational (solvable)
representation. Formulate alternative hypotheses and procedures for attacking the problem.
Test hypotheses and carry out procedures to obtain a solution or sets of potential solutions.
Analyze and evaluate the solutions, the solution strategis, and the methods which led to
discovering strategies for solving the the problem.
Masalah dihadirkan dalam bentuk umum. Mengulang kembali masalah dalam sebuah representasi
(dapat dipecahkan) operasional. Formulasikan hipotesis alternative dan prosedur untuk
menyelesaikan masalah. Uji hipotesis alternatif dan jalankan prosedur untuk mendapatkan
penyelesaian atau sekumpulan penyelesaian yang memungkinkan. Analisa dan evaluasi solusi,
solusi strategis, dan metode yang mengantarkan dalam penemuan strategi untuk menemukan
pemecahan masalah.
Semua hal itu dapat kita terapkan apabila kita tertib dan terampil dalam mengembangkan
kemampuan yang kita miliki, salah satunya kemampuan problem solving. Selain itu dituntut juga
orang yang kreatif dalam masalah. Menurut Hermann Maier (1985) berpendapat bahwa kegiatan
yang ada dalam pemecahan masalah yaitu meliputi berpikir menurut logika, berpikir heuristis, dan
bersiasat atau berstrategi. Berpikir menurut logika disimpulkan sebagai usaha menggunakan
kemampuan penalaran yang berkaitan dengan teorema, aksioma dan desinisi serta sifa-sifat yang
ada, sedangkan berpikir heurestis merupakan wujud aplikasi dari berpikir logika dengan
kemampuan-kemampuan yang dimiliki dan siasat atau strategi merupakan sarana untuk mencapai
hal tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas yang dimaksud dengan kemampuan problem solving matematika
adalah kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika yang sifatnya tidak rutin yang
ditunjukkan dengan pemahaman siswa terhadap masalah yang diberikan, menyajikan masalah
secara matematik dalam berbagai bentuk, mengorganisasi data, memilih informasi yang relevan
dalam memecahkan masalah, dan menggunakan konsep matematika dalam memecahkan masalah.

130

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3. Tahap Pelaksanaan Penelitian


Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara motivasi
berprestasi dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Siswa diberikan angket
motivasi berprestasi dan tes pemecahan masalah matematika, kemudian data ditelaah untuk
dilakukan uji korelasi antara data motivasi berprestasi siswa dengan data kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa.

4. Hasil Penelitian
Data motivasi berprestasi siswa diperoleh dari hasil angket motivasi berprestasi siswa. Dari hasil
perhitungan motivasi berprestasi didapat mean skor sebesar 75,83. Dengan jumlah soal sebanyak
27 item maka motivasi berprestasi siswa adalah baik. Sedangkan, data kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa diperoleh dari hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematika
berbentuk uraian. Hasil perhitungan tes kemampuan pemecahan masalah pada pokok bahasan
bilangan bulat didapat mean skor sebesar 16,78. Dengan jumlah soal sebanyak 10 item maka
kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik SMPN 3 Luragung adalah baik.
Dari dua buah data yang ada selanjutnya didapat persamaan regresi dari penelitian ini adalah
Y = 10,352 + 0,087 , pengolahan data dilanjutkan dengan pengujian kelinieran regresi dengan
menggunakan analisis Varians (ANAVA), didapat = 1,031 < 2,030 = . Hal ini
berarti regresi adalah linier. Untuk pengujian keberartian regresi didapat = 5,265 >
4,130 = maka regresi signifikan. Sedangkan berdasarkan hasil perhitungan diperoleh
koefisien korelasi sebesar 0,366, kemudian pengolahan data dilanjutkan dengan uji t-student.
Karena = 2,294 > 2,036 = , maka 0 ditolak. Hal ini berarti terdapat hubungan
yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan kemampuan memecahkan masalah matematika
siswa.
Berdasarkan perhitungan koefisien determinasi dengan menggunakan uji t diperoleh sebesar 0,134
hal ini berarti motivasi berprestasi memberikan kontribusi rendah sebesar 13,4% terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematika.

5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara motivasi
berprestasi dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dan motivasi berprestasi
memberikan kontribusi rendah sebesar 13,4% terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematika. Dengan demikian seorang siswa yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan
kepekaan berprestasi mereka dalam melaksanakan kegiatan belajar matematika, sehingga dapat
memberikan solusi dari masalah yang dihadapi. Selanjutnya siswa yang memiliki motivasi
berprestasi yang baik juga memiliki pemecahan masalah matematika yang baik pula

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar . Jakarta : Rineka Cipta.
Alhadza, A. (2003). Pengaruh Motivasi Berprestasi dan Perilaku Komunikasi antarpribadi
Terhadap Efektivitas Kepemimpiman Kepala Sekolah. Jurnal pendidikan dan kebudayaan,
No. 040, Tahun ke-9,Januari.
AME. (2009). Mathematical Problem Solving: Yearbook 2009. Singapore : World Scientific.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian ; Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Bell, F. H. (1978). Teaching And Learning Mathematics (In Secondary School). Iowa: Wm. C.
Brown Company Publishers.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

131

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Bennet, AB. (2001). Mathematics For Elementary Teachers. New york :Mc Graw Hill.
Griandidi, D. (2002). Hubungan antara Motivasi Kerja dengan Kepuasan Kerja Guru SMU di
Jakarta Timur ,Visi, tahun III, No. 4, April-Juni.
Nasution, AH. (1982). Landasan Matematika. Jakarta : Karya Aksara.
Maier, H. (1985). Kompendindum Didaktik Matematika. Bandung : Remaja Karya CV.
Nugroho, D. (2002). Belajar Keterampilan Berbasis Belajar. Jurnal pendidikan dan kebudayaan,
No. 037, Tahun ke-8, Juli.
Ontario. (2006). Number sense and Numeration, Grades 4 to 6, Volume 5: Fractions. Ontario
Education.
Purwanto, N. (2010). Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Riduwan. (2005). Metode & Teknik Menyusun Tesis. Bandung : Alfabeta.
Reys, R. (1998). Helping Children Learn Mathematics: Edisi 5, USA: A Viacom Company.
Sihombing, U. (2002). Pengaruh Keterlibatan dalam Pengambilan Keputusan, Penilaian pada
Lingkungan Kerja, dan Motivasi Berprestasi terhadap Kepuasan Kerja Pamong Belajar.
Jurnal pendidikan dan kebudayaan, No. 039, Tahun ke-8, November 2002.
Sopah, D. (2000). Pengaruh model Pembelajaran dan Motivasi Berprestasi Terhadap hasil
Belajar. Jurnal pendidikan dan kebudayaan, No. 022, Tahun ke-5,Maret 2000.
Sudjana. (1996). Metode Statistik. Bandung : Tarsito.
Suharsimi, A. (2008). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Suherman, E. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. FPMIPA-JICA UPI.
Bandung: Tidak Diterbitkan.
TIM PPG Matematika, (2005). Materi Pembinaan Matematika SMP. Yogyakarta : Depdikbud.

132

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN


MATEMATIK SISWA DENGAN PENDEKATAN REALISTIC
MATHEMATICS EDUCATIONS PADA SISWA SMP DI
KOTA BANDUNG
Siti Chotimah
STKIP Siliwangi
chotie_pis@yahoo.com

ABSTRAK
Permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian ini adalah pemahaman matematik siswa
SMP di Kota Bandung yang masih rendah. Rendahnya kemampuan pemahaman matematik
siswa dikarenakan dalam proses pembelajaran guru belum terbiasa memberikan soal-soal
kemampuan pemahaman yang tidak rutin dalam pelajaran matematika ke siswa. Selain itu,
aspek kemampuan dasar siswa juga ikut mempengaruhi kemampuan pemahaman
matematiknya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP di Kota Bandung.
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 07 Bandung pada bulan April-Mei 2014. Pada
penelitian ini diambil sampel dari siswa SMP Negeri 07 Bandung kelas VIIC dan VIID.
Instrumen penelitian berbentuk tes. Instrumen tes berupa tiga soal tes uraian kemampuan
pemahaman. Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data mengenai kemampuan
pemahaman khususnya mengenai subpokok bahasan segitiga dan segiempat dengan
pendekatan RME dan dengan menggunakan cara biasa. Data yang diolah dalam penelitian ini
adalah dari skor pretes dan postes. Kedua skor ini masing-masing dari kelompok kelas
eksperimen dan kelompok kelas kontrol, kemudian dilakukan pengolahan data. Pengolahan
dilakukan dengan uji-t dan uji t dari kedua kelompok tersebut. Hasil akhir dari penelitian ini
menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang
pembelajarannya dengan pendekatan RME lebih baik daripada cara biasa.
Kata Kunci: Kemampuan Pemahaman, Pendekatan RME

1.

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah


Matematika merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Dalam dunia pendidikan, matematika sering kita jumpai dalam mata pelajaran lain, sehingga
matematika disebut ilmu terapan. Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal yang harus diperhatikan dalam pelajaran matematika adalah
minat dan kemauan, serta kerja keras dalam berfikir.
Belajar matematika tidaklah rugi, karena belajar matematika sangat bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari, khususnya pelajar. Para pengajar baik guru maupun dosen selalu memberikan yang
terbaik untuk para siswa atau mahasiswanya, karena belajar matematika sangat penting dan
memiliki tujuan. Sejalan dengan National Council of Teachers of Mathematics (Hutajulu,
2010:45) merekomendasikan beberapa tujuan umum siswa belajar matematika,
1) Belajar akan nilai-nilai matematika, memahami evolusi dan peranannya dalam masyarakat dan
sains,
2) Percaya diri dalam kemampuan yang dimiliki, percaya pada kemampuan berpikir
matematis yang dimiliki dan peka terhadap situasi dan masalah,
3) Menjadi seorang problem solver, menjadi warga Negara yang produktif dan berpengalaman
dalam memecahkan berbagai permasalahan,

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

133

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

4) Belajar berkomunikasi secara matematis, belajar tentang simbol, lambang dan kaidah
matematik,
5) Belajar bernalar secara matematis yaitu membuat konjektur, bukti dan membangun argumen
secara matematik.
Bloom (Kadarisma, 2012:2) mengatakan, pemahaman konsep adalah kemampuan menangkap
pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan materi yang disajikan kedalam bentuk yang
lebih dipahami, mampu memberikan interpretasi, dan mampu mengaplikasikannya . Pemahaman
konsep sangat penting dimiliki oleh siswa yang telah mengalami proses belajar. Pemahaman
konsep yang dimiliki siswa dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang ada
kaitannya dengan konsep yang dimiliki. Dalam pemahaman konsep siswa tidak sebatas hanya
mengenal saja akan tetapi siswa harus dapat menghubungkan antara satu konsep dengan konsep
lainnya.
Menurut studi pemula yang di lakukan Chotimah tahun 2014 bahwa pemahaman matematik siswa
SMP di Kota Bandung masih sangat rendah, ini dikarenakan dalam proses pembelajaran guru
belum terbiasa memberikan soal-soal kemampuan pemahaman matematik yang tidak rutin dalam
pelajaran matematika ke siswa. Selain itu, aspek kemampuan dasar siswa juga ikut
mempengaruhinya.
Noyes dalam bukunya yang berjudul Rethinking School Mathematics (Wijaya, 2012:5)
mengatakan, Banyak siswa cenderung dilatih untuk melakukan perhitungan matematika
daripada dididik untuk berpikir matematis . Pernyataan Noyes tersebut sudah sepantasnya
menjadi renungan kita bersama. Bagaimana cara memposisikan siswa, apa sebagai subyek atau
sekedar obyek dalam pembelajaran? Lalu bagaimana posisi matematika, sebagai obyek atau alat?
Menyadari akan pentingnya kemampuan pemahaman matematik dirasakan perlu bagi siswa, maka
guru mengupayakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan-pendekatan atau metodemetode yang dapat memberi peluang dan mendorong siswa untuk melatih kemampuan pemahaman
dalam pembelajaran matematika. Salah satu pendekatan yang akan digunakan adalah RME.
Pendekatan yang bukan semata-mata menyangkut kegiatan guru mengajar akan tetapi
menitikberatkan pada aktivitas belajar siswa, dan membimbing siswa memperoleh suatu
kesimpulan yang benar. Peneliti memperkirakan bahwa pendekatan RME mampu mendukung
upaya peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa. RME dapat menciptakan siswa lebih
aktif, kreatif, berfikir, dan berani mengemukakan pendapat, serta dapat membuat suasana
pengajaran matematika lebih menyenangkan.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul Upaya
Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa SMP di Kota Bandung dengan
Pendekatan Realistic Mathematics Educations.
1.2. Identifikasi Masalah dan Rumusan Masalah
Didalam penelitian ini dibutuhkan suatu identifikasi yang tidak terlepas dari Kemampuan
pemahaman matematik siswa. Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, maka rumusan
masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Apakah peningkatan kemampuan pemahaman
matematik siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan RME lebih baik daripada siswa yang
pembelajarannya dengan cara biasa?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan penelitian ini adalah:
Mengkaji apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan RME lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya dengan cara
biasa.

134

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.
Kajian Teori
2.1. Pemahaman Matematik
Pemahaman matematik adalah salah satu tujuan penting dalam pembelajaran, memberikan
pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun
lebih dari itu. Dengan pemahaman siswa dapat lebih mengerti akan konsep materi pelajaran itu
sendiri. Sehingga siswa dapat mengaplikasikan materi yang dipelajarinya dalam kehidupan seharihari. Selanjutnya hasil studi Brownel (Dahiana, 2010:72) mengatakan, Belajar untuk pengertian
dan pemahaman dalam matematika memiliki efek positif terhadap belajar siswa, meliputi belajar
yang baik, retensi yang besar, dan meningkatkan kemungkinan ide akan dapat digunakan
dalam situasi yang berbeda .
Pemahaman merupakan terjemahan dari istilah understanding yang diartikan sebagai penyerapan
arti suatu materi yang telah dipelajari. Pemahaman adalah salah satu aspek dalam Taksonomi
Bloom. Dimana pemahaman dapat diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi bahan yang telah
dipelajari. Lebih lanjut Michener (Herdian, 2010:1) menyatakan, Untuk memahami suatu objek
secara mendalam seseorang harus mengetahui objek itu sendiri, relasinya dengan objek lain yang
sejenis, relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis, relasi-dual dengan objek lainnya yang
sejenis, dan relasi dengan objek dalam teori lainnya .
Selanjutnya Skemp (Sumarmo, 2012:6-7) menggolongkan kemampuan pemahaman dalam
dua tingkat,
1) Pemahaman instrumental: hafal konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya, dapat
menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana, dan mengerjakan perhitungan secara
algoritmik. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat rendah.
2) Pemahaman relasional: mengkaitkan satu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya.
Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat tinggi.
Pemahaman merupakan unsur yang penting dalam pembelajaran matematika. Anderson dan
Krathwohl (Kurniawan, 2010:39) mengatakan, Jika siswa memahami suatu objek matematika
maka ia mampu mengkonstruksi dan mengkomunikasikan pengertian dari pesan-pesan
instruksional tentang objek matematika dengan kata-kata, tulisan, atau grafik . Dari pengertian
tersebut ada tujuh aspek yang termuat dalam pemahaman matematik, yaitu menginterpretasikan,
memberikan contoh, mengklasifikasikan, merangkum, menduga, membandingkan, dan
menjelaskan. Sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Anderson dan Krathwohl, Alfeld
(Kurniawan, 2010:43) mengemukakan,
Seseorang yang memahami matematika ia dapat melakukan,
1) Menjelaskan konsep-konsep matematis dan fakta-fakta dalam bentuk konsep dan fakta yang
lebih sederhana;
2) Secara mudah dapat membuat kaitan yang logis antara fakta-fakta dan konsep-konsep;
3) Ketika menemui sesuatu konsep yang baru (baik didalam atau diluar konsep
matematis) maka ia dapat mengenal keterkaitannya dengan konsep yang sudah dipahaminya;
4) Dapat mengidentifikasi bahwa prinsip-prinsip matematika berkaitan dengan dunia kerja.
Dari beberapa penjelasan dan pengertian pemahaman di atas maka dapat disimpulkan bahwa jenis
kemampuan pemahaman yang dikaji dalam penelitian ini adalah jenis kemampuan instrumental
dan jenis kemampuan relasional yang didalamnya berisi kemampuan pemahaman matematik.
2.2. Pendekatan Matematika Realistik
Pendekatan matematika realistik dikembangkan berdasarkan pandangan Freudhental yang
berpendapat bahwa matematika merupakan kegiatan manusia yang lebih menekankan aktivitas
siswa untuk mencari, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan yang diperlukan sehingga
pembelajaran menjadi terpusat pada siswa, Soedjadi (Saragih, 2007:43).

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

135

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

De Lange (Saragih, 2007:44) mengatakan, Pendekatan matematika realistik pertama kali


dikembangkan oleh Institut Freudenthal di Negeri Belanda. Bardasarkan pandangan Freudenthal,
ide utama dari pendekatan matematika realistik adalah siswa harus diberi kesempatan untuk
menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa
melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia nyata atau real world, proses
pengembangan konsep dan ide-ide dimulai dari dunia nyata.
Menurut Treffers dan Gravemeijer (Susento, 2005:3), Pendidikan Matematika Realistik memiliki
lima karakteristik,
1) Penggunaan Konteks
Proses pembelajaran diawali dengan keterlibatan siswa dalam pemecahan masalah kontekstual.
2) Instrumen Vertikal
Konsep atau ide matematika direkonstruksi oleh siswa melalui model-model instrument
vertikal, yang bergerak dari prosedur informal ke bentuk formal.
3) Kontribusi Siswa
Siswa aktif mengkonstruksi sendiri bahan matematika berdasarkan fasilitas dan lingkungan
belajar yang disediakan guru, serta aktif menyelesaikan soal dengan cara masing-masing.
4) Kegiatan Interaktif
Kegiatan belajar bersifat interaktif, yang memungkinkan terjadi
komunikasi dan negoisasi antar siswa.
5) Keterkaitan Topik
Pembelajaran suatu bahan matematika terkait dengan berbagai topik matematika secara
terintegrasi.
Pengembangan pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik merupakan salah satu usaha
meningkatkan kemampuan siswa memahami matematika. Menurut Niss (Suherman, 2003:145),
Usaha-usaha ini dilakukan sehubungan dengan adanya perbedaan antara materi yang dicita-citakan
oleh kurikulum tertulis (intended curriculum) dengan materi yang diajarkan (implemented
curriculum), serta perbedaan antara materi yang diajarkan dengan materi yang dipelajari siswa
(relised curriculum) .
2.3. Hipotesis
Berdasarkan pada latar belakang, rumusan masalah, dan tinjauan literatur yang telah diuraikan
maka hipotesisnya adalah: Peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang
pembelajarannya melalui pendekatan RME lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya
melalui cara biasa.

3.
Metode Penelitian
3.1. Desain Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, karena ada pemanipulasian perlakuan,
dimana kelas yang satu mendapat pembelajaran melalui pendekatan RME dan kelas yang lain
mendapat pembelajaran dengan cara biasa, pada awal dan akhir kedua kelas diberi tes. Sehingga
desain penelitiannya adalah sebagai berikut :
A
O
X
O
A
O
O
Dimana
A : Pengambilan sampel secara acak
O : Pretes dan postes kemampuan pemahaman matematik
X : Pembelajaran dengan pendekatan RME

136

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.2. Subyek Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP di Kota Bandung. Sampel dalam penelitian
ini adalah SMPN 07 Bandung pada kelas VIIC pertama (kelas eksperimen) yang diberi perlakuan
pembelajaran dengan pendekatan RME dan kelas VIID (kelas kontrol) diberi pembelajaran cara
biasa.
3.3. Variabel Penelitian.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah: (1) Pendekatan Realistic Mathematics Educations yang
diberikan dikelas eksperimen; (2) Pembelajaran konvensional yang diberikan di kelas kontrol.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah: (1) Kemampuan Pemahaman matematik siswa.
3.4. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis instrumen yaitu soal tes
tertulis mengenai kemampuan pemahaman matematik siswa yang dibuat dalam bentuk uraian.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dalam bentuk tes. Data yang berkaitan dengan kemampuan
pemahaman matematik siswa dikumpulkan melalui tes (pretes dan postes).
3.6. Prosedur Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari tes yaitu pretes dan postes yang berupa soal uraian, kemudian diolah
dengan bantuan software Minitab-14, dengan prosedur sebagi berikut:
1. Uji Normalitas
2. Uji Homogenitas
3. Uji Perbedaan Dua Rata-rata
4. Uji Gain

4.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1. Deskripsi Data Hsil Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa
Pada bagian pendahuluan telah disampaikan beberapa rumusan masalah. Untuk menjawab
permasalahan tersebut akan dianalisis peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan RME dan siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional. Data yang dianalisis ada dua macam yaitu: (1) data kemampuan pemahaman
matematik; (2) data Gain. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Minitab 14
dan Microsoft Excel. Berikut ini uraian data hasil penelitian dan pembahasan.
Data hasil skor tes awal, tes akhir kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1
Rekapitulasi Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Pemahaman Matematik
Kelas RME

Variabel

Kemampuan
Pemahaman
Matematik

Pretes
37

Postes
37

Std. Dev.

11
0
5.68
2.96

12
5
9.89
1.98

Kelas Konv.
N-Gain
37
1
0
0.68
0.27

Pretes
37

Postes
37

N-Gain
37

5
7
7.13
1.25

10
12
9.32
1.37

0.86
0.2
0.44
0.27

4.2. Pembahasan
Berdasarkan Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa rataan skor kemampuan pemahaman matematik
siswa kelas eksperimen sebelum pembelajaran lebih kecil dibandingkan dengan siswa kelas

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

137

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kontrol, yaitu rataan skor kelas eksperimen 5.68 sedangkan rataan skor kelas kontrol 7.13.
Perbedaannya sekitar 1.45, ini menunjukkan adanya perbedaan pada kemampuan awal. Sedangkan
setelah pembelajaran dilaksanakan rataan skor kemampuan pemahaman matematik siswa kelas
eksperimen yaitu 9.89 dan standar deviasinya 1.98. Sementara itu rata-rata skor postes kelas
kontrol yaitu 9.32 dengan standar deviasinya 1.37. Berdasarkan standar deviasi skor postes kelas
eksperimen dan kelas kontrol, dapat dilihat bahwa penyebaran kemampuan pemahaman matematik
setelah pembelajaran untuk kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Berdasarkan Tabel
4.1 untuk rata-rata N-Gain kelas eksperimen 0.68 dan kelas kontrol 0.44, hal ini menunjukkan
bahwa hasil peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan RME lebih baik secara signifikan daripada yang pembelajarannya
menggunakan cara biasa.

5.
Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dan hasil dari analisis data yang dikemukakan diatas
dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman matematika siswa yang
pembelajarannya dengan menggunakan pendekatan RME lebih baik daripada siswa yang
pembelajarannya dengan menggunakan pembelajaran cara biasa.
5.2. Saran
1) Dalam upaya meningkatkan kemampuan pemahaman matematik siswa dalam pembelajaran
matematika, guru hendaknya terus berusaha memberi bantuan dan bimbingan kepada anak
didiknya yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika.
2) Guru hendaknya terus melakukan upaya menerapkan model pembelajaran yang baru dengan
tujuan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman matematik siswa dalam pembelajaran
matematika

DAFTAR PUSTAKA
Chotimah, S. (2014). Kemampuan Matematik Siswa terhadap Matematika. Bandung.[21 Januari
2014]
Dahiana, W. O. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Generalisasi Matematis Siswa
MTs melalui Pendekatan Induktif-Deduktif Berbasis Konstruktivis. Jurnal Ilmu
Pendidikan (JIP) STKIP Kusuma Negara. 3, (II), 71-77.
Herdian
(2010).
Kemampuan
Pemahaman
Matematika.
[Online].
Tersedia:
http://remajaatuh.blogspot.com/2011/12/kemampuan-pemahaman-matematika.html
[05
Mei 2013].
Hutajulu M. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa
Sekolah Menengah Atas Melalui Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing. Jurnal Ilmu
Pendidikan (JIP) STKIP Kusuma Negara.03, (II), 45-49.
Kadarisma, G. (2011). Perbadingan Kemampuan Pemahaman Matematik antara Siswa yang
Belajar Mengunakan Metode Ganeratif dengan yang Menggunakan Metode Biasa. Skripsi
STKIP Siliwangi. Bandung: Tidak diterbitkan.
Kurniawan, R. (2010). Peningkatan Kemampuan Pamahaman dan Pemecahan Masalah Matematis
Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Sekolah Menengah
Kejuruan. Disertasi UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa
Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Realistik. Disertasi UPI. Bandung: Tidak
diterbitkan.
Suherman, E., Turmudi, Suryadi, D., Herman, T,. Suhendra, Prabawanto, S., Nurjanah, Rohayati,
A. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.
Sumarmo, U. (2012). Bahan Belajar Matakuliah Proses Berfikir Matematik. Bandung: Tidak
diterbitkan.
138

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Susento (2005). Life-Skill dalam Pendidikan Matematika Realistik. Bandung: Buletin PMRI. Edisi
ketujuh Juni 2005
Wijaya, A. (2011). Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran
Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

139

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN


MATEMATIK SISWA SMP SWASTA DI KOTA CIMAHI
DENGAN MENGGUNAKAN METODE PEMBELAJARAN
IMPROVE
Risma Amelia
STKIP Siliwangi
risma.gembil@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi karena masih rendahnya pemahaman matematik siswa SMP,
oleh karena itu penulis mencari alternatif untuk mengatasi hal tersebut dengan cara
menerapkan metode pembelajaran IMPROVE dalam pembelajaran matematika siswa SMP.
Populasi dalam penelitian ini yaitu SMP Swasta yang ada di Kota Cimahi, dan sampel yang
peneliti pilih yaitu SMP Tutwuri Handayani Cimahi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa SMP yang menggunakan
metode IMPROVE lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa
yang menggunakan cara biasa. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Pada kedua
kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol diberikan tes awal (pretes) dan test akhir
(postes). Instrumen penelitian berupa tes uraian sebanyak enam soal. Setelah analisis data
pretes dan postes dilakukan uji gain ternormalisasi, untuk melihat peningkatan kemampuan
pemahaman matematik siswa. Berdasarkan hasil penelitian, baik dari hasil analisis data
maupun pengujian hipotesis, penulis menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan
pemahaman matematik siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan metode IMPROVE
lebih baik daripada peningkatan kemampuan pemahaman matematikyang menggunakan cara
biasa.
Kata Kunci: Pemahaman Matematik , Metode IMPROVE

1.

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah


Matematika adalah mata pelajaran yang diajarkan dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan
menengah. Selain mempunyai sifat yang abstrak, pemahaman konsep matematika yang baik
sangatlah penting karena untuk memahami konsep yang baru diperlukan prasarat pemahaman
konsep sebelumnya.Pemahaman matematik penting untuk belajar matematika secara bermakna,
tentunya para guru mengharapkan pemahaman yang dicapai siswa tidak terbatas pada pemahaman
yang bersifat dapat menghubungkan.
Menurut Ausubel (Ruseffendi,2006:172) bahwa belajar bermakna bila informasi yang akan
dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa sehingga siswa dapat
mengkaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimiliki. Artinya siswa dapat
mengkaitkan antara pengetahuan yang mereka punya dengan keadaan lain sehingga belajarnya itu
lebih mengerti.
Penyebab rendahnya pemahaman siswa terhadap matematika berakar pada siswa yang cenderung
menghafal konsep daripada proses penguasaan konsep. Pembelajaran yang dilakukan pada awalnya
menggunakan metode ceramah, dengan metode ceramah guru menyampaikan rumus-rumus,
memberikan contoh soal, dalam diskusi siswa masih pasif, didominasi oleh siswa pandai, dan
kerjasama kelompok kurang. Berawal dari permasalahan itu perlu adanya suatu perubahan dalam

140

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

pembelajaran untuk penekanan penguasaan konsep. Salah satu solusi yang penulis tawarkan yaitu
dengan menerapkan pembelajaran kooperatif metode Improve.
1.2. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan dan dibatasi
sebagai berikut: apakah pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan metode
IMPROVE lebih baik daripada pemahaman matematik siswa yang menggunakan metode cara
biasa?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemahaman matematik siswa yang
pembelajarannya menggunakan metode IMPROVE lebih baik daripada pemahaman matematik
siswa yang menggunakan metode cara biasa.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan untuk:
a. Guru :
1) Agar lebih menguasai konsep dasar matematika
2) Interaksi yang baik antara guru dan murid dalam proses pembelajaran
3) Proses belajar mengajar dibuat mudah dan praktis, menarik, efektif dan efisien.
b.

2.

Siswa :
1) Interaksi optimal antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa
2) Proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan
3) Lebih termotivasi mempelajari materi-materi yang diajarkan
4) Pembelajaran matematika terasa ringan dan mudah
5) Meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam menjawab dan mengajukan pertanyaan
matematika.

Pembahasan

2.1. Pemahaman Matematis


Pemahaman merupakan istilah yang berasal dari kata understanding yang artinya penyerapan arti
suatu materi yang dipelajari. pemahaman merupakan salah satu aspek dalam Taksonomi Bloom.
Untuk memahami suatu objek secara mendalam seseorang harus mengetahui objek itu sendiri,
relasinya dengan objek lain yang sejenis, relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis, relasi-dual
dengan objek lainnya yang sejenis, dan relasi dengan objek dalamteori lainnya.
Bloom (Russefendi, 2006: 220) mengklasifikasikan pemahaman ke dalam jenjang kognitif kedua
yang menggambarkan suatu pengertian, sehingga siswa diharapkan mampu memahami ide-ide
matematika bila mereka dapat menggunakan beberapa kaidah yang relevan. Dalam tingkatan ini
siswa diharapkan mengetahui bagaimana berkomunikasi dan menggunakan idenya untuk
berkomunikasi.
Dalam pemahaman tidak hanya sekedar memahami sebuah informasi tetapi termasuk juga
keobjektifan, sikap dan makna yang terkandung dari sebuah informasi. Dengan kata lain seorang
siswa dapat mengubah suatu informasi yang ada dalam pikirannya kedalam bentuk lain yang lebih
berarti. Proses perubahan ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemahaman siswa pada
informasi tersebut. Selain itu, dia juga bisa menyampaikan informasi tersebut kepada temannya
sehingga dapat dipahami pula oleh temannya.
Ruseffendi (2006:221) mengemukakan bila siswa memahami sesuatu berarti siswa mengerti
sesuatu itu, tetapi tahap mengertinya masih rendah. Kemampuan mengerti pada tahap ini misalnya

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

141

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

mampu mengubah informasi ke dalam bentuk paralel yang lebih bermakna, memberikan
interpretasi. Perbuatannya itu dilakukan atas perintah (suruhan) tanpa ada kaitannya dengan yang
lain atau melihat kegunaannya.
Ada 3 macam pemahaman: pengubahan (translation), pemberian arti (interpretation), dan
pembuatan ekstrapolasi (ektrapolation). Dalam matematika misalnya mampu mengubah
(translation) soal kata-kata ke dalam simbol dan sebaliknya, mampu mengartikan (interpretation)
suatu kesamaan, mampu memperkirakan (ekstapolasi) suatu kecenderungan dari diagram.
Untuk mengetahui siswa memahami suatu materi menurut Polya dalam Ruseffendi (2006:177)
mengatakan siswa mengerti persoalan jika siswa dapat menulis kembali soal itu dengan kata-kata
sendiri, menulis soal itu dalam bentuk lain, menulis dalam bentuk yang operasional, menulis dalam
bentuk rumus, menyatakan soal itu dalam bentuk gambar (soal geometri biasanya lebih jelas bila
ditulis dalam bentuk gambar), dan lain-lain.
Dari hasil penelitian Van Hiele (Ruseffendi,2006:161) dalam disertasinya ia menyimpulkan bahwa
terdapat lima tahap pemahaman geometri,yaitu:
a. Pengenalan
Pada tahap ini siswa sudah mengenal bentuk-bentuk geometri,tetapi ia belum bisa memahami
sifat-sifatnya.
b. Analisis
Pada tahap ini siswa sudah dapat memahami sifat- sifat konsep atau bentuk geometri, tetapi ia
belum bisa memahami hubungan antara bentuk-bentuk geometri itu.
c. Pengurutan
Pada tahap ini selain siswa sudah mengenal bentuk-bentuk geometri dan memahami sifatsifatnya juga ia sudah bisa mengurutkan bentuk-bentuk geometri yang satu sama lain
berhubungan. Walaupun begitu siswa pada tahap ini berfikir secara deduktifnya belum
berkembang.
d. Deduksi
Berfikir deduktifnya sudah mulai tumbuh, tetapi belum berkembang dengan baik. Dapat
memahami pentingnya deduksi (mengambil kesimpulan secara deduktif)
e. Keakuratan (rigor)
Pada tahap ini siswa sudah dapat memahami bahwa adanya ketepatan (presisi) dari apa-apa
yang mendasar itu penting.
Skemp ( Herdian,2010) membedakan dua jenis pemahaman:
a. Pemahaman instrumental, yaitu hafal sesuatu secara terpisah atau dapat menerapkan sesuatu
pada perhitungan rutin/sederhana, mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja.Pemahaman
instrumental diartikan sebagai pemahaman konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus
dalam perhitungan sederhana. Dalam hal ini seseorang hanya memahami urutan pengerjaan
atau algoritma.
b. Pemahaman relasional, yaitu dapat mengkaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar dan
menyadari proses yang dilakukan. Pemahaman relasional termuat skema atau struktur yang
dapat digunakan pada penjelasan masalah yang lebih luas dan sifat pemakaiannya lebih
bermakna.
Faktor- faktor yang mempengaruhi siswa dalam meningkatkan pemahaman matematik, diantaranya
yaitu:
a. Tingkat intelegensi siswa (IQ siswa)
b. Motivasi dan minat siswa dalam belajar matematika
c. Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam proses belajar
d. Suasana dan kondisi kelas yang nyaman dan menyenangkan
e. Interaksi yang baik antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa.

142

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.2. Metode Pembelajaran IMPROVE


Metode IMPROVE pertama kali dikembangkan oleh Mervarech dan Kramarski dari Israel. Metode
IMPROVE sendiri merupakan akronim dari introducing the new concept, metacongnitive
questioning, practicing, reviewing, and redacing difficulties, obtaining mastery, verification and
enrichment.
Metode pembelajaran IMPROVE adalah pembelajaran dengan menggunakan penekanan pada
proses pembentukkan suatu konsep dan memberikan kesempatan luas kepada siswa berperan aktif
dalam proses tersebut.
Setiap aktifitas siswa dalam metode IMPROVE yaitu siswa dikenalkan pada konsep- konsep baru
dengan memanfaatkan pertanyaan-pertanyaan metakognisi dalam aktifitas belajar. Siswa diberikan
kesempatan melatih kemampuannya dalam memecahkan masalah matematis. Siswa juga
melakukan aktifitas mengevaluasi apa yang mereka telah pelajari dan diarahkan untuk menentukan
kesulitan apa yang telah mereka temukan selama belajar memperoleh pengetahuan terhadap konsep
baru serta keterampilan dalam pemecahan masalah.
Siklus dalam metode pembelajaran IMPROVE terdiri dari 6 tahap yaitu: Pengenalan konsep baru
(Introduction new concept), Pertanyaan Metakognisi (Metacognitive questioning), Latihan
(Practicing), Tinjauan ulang, Mengurangi kesulitan, Perolehan pengetahuan (Review and Reducing
difficulites, Obtaining mastery), Verifikasi (Verification), dan Pengayaan (Enrichment).
Dalam metode ini terdapat tiga komponen yang independen yaitu aktivitas metakongnitif, interaksi
dengan teman sebaya, dan kegiatan yang sistematis dari umpan balik-perbaikan-pengayaan.
Kramarski dan Mervarech (Rohaeti, 2003:30) mengemukakan langkah-langkah yang ditempuh
dalam pembelajaran dengan menggunakan metode IMPROVE adalah:
a. Konsep baru diberikan kepada siswa dengan menggunakan metode IMPROVE dengan
menggunakan tipe pertanyaan.
b. Siswa dilatih mengajukan pertanyaan metakongnitif dalam penyelesaian masalah matematis.
c. Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan evaluasi terhadap proses yang
telah mereka jalani dengan mengadakan sesi umpan balik dan pengayaan.
Selain itu dalam pembelajaran dengan menggunakan metode IMPROVE siswa diberi kesempatan
belajar bersama teman sekelompoknya. Melalui aktivitas interaksi bersama teman kelompoknya.
Melalui proses interaksi siswa dapat membandingkan pengetahuan dan pemikiran yang telah
diperoleh dan dibentuk oleh diri sendiri. Bersama teman sekelompoknya siswa diarahkan untuk
mencapai pengalaman belajar yang optimal. Dalam metode IMPROVE ini guru hanya memandu
siswa dengan sejumlah pertanyaan pada waktu mengantarkan konsep baru dan membimbing siswa
mengajukan pertanyaan metakognitifnya. Siswa mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tersebut (
baik pertanyaan guru maupun metakognitif) dalam kelompoknya. Siswa lebih aktif mencari dan
menemukan konsep baru dalam pembelajarannya.
Kelebihan metode pembelajaran IMPROVE:
a. Siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran.
b. Pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan lebih cepat.
c. Penyampaian konsep materi yang disampaikan oleh guru lebih mudah.
Kekurangan metode pembelajaran IMPROVE
a. Kadang hanya bisa diikuti oleh sebagian siswa yaitu siswa yang pandai dikelasnya.
b. Masih banyak guru yang kurang menguasai metode pembelajaran ini karena penguasaan
konsep dasar yang kurang.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

143

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3. Metode dan Desain Penelitian


Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, karena ada pemanipulasian
perlakuan,dimana kelas yang satu mendapatkan metode pembelajaran IMPROVE dan kelas kedua
mendapatkan metode pembelajaran cara biasa pada awal dan akhir pembelajaran. Kedua kelas
diberi tes sehingga desain penelitiannya adalah sebagai berikut:
A
A

O
O

O
O

Keterangan:
A
= Pengambilan sampel secara acak kelas
O
= Pre test = post test
X
= Pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran IMPROVE.

4. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah seperangkat tes bentuk uraian yang terdiri dari 5 soal.
Adapun instrumen dalam penelitian ini tes berupa:
1. Pretes berupa soal uraian yang diujikan terhadap siswa di awal pembelajaran sebelum materi
tersebut disampaikan. Pretest ini bertujuan untuk menilai sejauh mana siswa mengetahui materi
tersebut.
2. Postes berupa soal uraian yang diujikan diakhir pembelajaran, setelah semua materi selesai
disampaikan.Postes bertujuan untuk mengontrol dan menilai sejauh mana siswa menguasai dan
memahami materi yang telah disampaikan.

5. Hasil Penelitian
Berdasarkan pengolahan data pretes, postes dan gain ternormalisasi pemahaman matematik
diperoleh rata-rata ( ) dan simpangan baku ( s ) dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Data
lengkap dapat disajikan pada tabel F.1.
Tabel F.1
Deskripsi Statistik Kemampuan Pemahaman Matematik
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
No

1.
2.
3.

Data
Statistik
N

Kelas Eksperimen
Pretes
28
4.64
2.66

Postes
28
17.25
3.14

Kelas Kontrol
Gain

28
0.49
0.13

Pretes
31
4.38
2.47

Postes
31
13.80
3.55

Gain
31
0.36
0.15

Keterangan:Skor Maksimal Ideal (SMI) Pretes dan Postes=30, SMI Gain = 1,00

Berdasarkan Tabel F.1 dapat terlihat bahwa rata-rata hasil pretes kelas eksperimen adalah 4,64 dan
rata-rata kelas kontrol 4,38, sehingga selisih rata-rata nilai pretes kelas eksperimen dan kelas
kontrol adalah sebesar 0,26, hal ini menunjukkan perbedaan yang sangat kecil. Sedangkan pada
hasil postes rata-rata hasil postes kelas eksperimen adalah sebesar 17,25 dan rata-rata hasil postes
kelas kontrol adalah sebesar 13,80, sehingga selisih rata-rata hasil postes kelas eksperimen dan
kelas kontrol adalah sebesar 3,45. Terlihat secara umum rata-rata hasil postes kedua kelas sampel
terdapat perbedaan.
Kemudian apabila diperhatikan dari Tabel F.1, rata-rata gain kelas eksperimen dan kelas kontrol
terdapat perbedaan, rata-rata gain kelas eksperimen lebih besar daripada rata-rata gain kelas
kontrol. Secara umum terlihat bahwa terdapat perbedaan peningkatan pemahaman matematik, yaitu
144

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

peningkatan pemahaman matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan metode IMPROVE


lebih baik dengan rata-rata gain sebesar 0,49 daripada yang menggunakan pembelajaran dengan
cara biasa dengan rata-rata gain sebesar 0,36.
Pendapat tersebut perlu dibuktikan kebenarannya menggunakan perhitungan statistik. Seluruh
perhitungan statistik dalam penelitian ini menggunakan bantuan software Microscoft Office Excel
2010, dan software MINITAB 16, dengan tingkat kepercayaan 95%. Analisis data menggunakan
uji-t dengan sebelumnya diuji normalitas dan homogenitas varians. Untuk uji normalitas distribusi
data menggunakan uji Kolmogorov Smirnov ( KS ) sedangkan uji homogenitas varians
menggunakan uji-F.
Analisis Data Skor Indeks Gain Ternormalisasi
Perhitungan indeks gain bertujuan untuk mengetahui peningkatan nilai pretes dan postes kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Dalam penelitian ini, indeks gain akan digunakan apabila rata-rata
nilai postes kelas eksperimen dan postes kelas control berbeda.
Rumus indeks gain menurut Melzer (Solihah, 2012:36) adalah:
G=

Rekapitulasi hasil perhitungan rata-rata, simpangan baku dan kriteria nilai gain ternormalisasi
disajikan pada tabel G.1
Kelas
Eksperimen
Kontrol

Tabel G.1
Rekapitulasi Hasil Data Gain Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
N
Rata-rata
Simpangan Baku
Kriteria
28
0,49
0,13
Sedang
31
0,36
0,15
Sedang

a. Uji Normalitas Skor Indeks Gain


Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah populasi yang digunakan dalam penelitian
berdistribusi normal atau tidak. Untuk uji normalitas data gain, pengujian hipotesisnya dilakukan
dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan software MINITAB 16. Taraf
signifikansi yang diambil adalah sebesar = 0,05. Hasil uji normalitas dari kedua sampel disajikan
pada Gambar G.2 dan G.3.
Kriteria pengujian : Jika P-Value> 0,05 maka sampel berdistribusi normal.
uji normalitas gain kelas eksperimen
Normal

99

Mean
StDev
N
KS
P-Value

95
90

0.4927
0.1317
28
0.147
0.124

Percent

80
70
60
50
40
30
20
10
5

0.2

0.3

0.4
0.5
0.6
Gain kelas eksperimen

0.7

0.8

Gambar G.2
Hasil Uji Normalitas Data Gain Kelas Eksperimen

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

145

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


uji normalitas gain kelas kontrol
Normal

99

Mean
StDev
N
KS
P-Value

95
90

0.3606
0.1582
31
0.121
>0.150

Percent

80
70
60
50
40
30
20
10
5

0.0

0.1

0.2

0.3
0.4
0.5
Gain kelas kontrol

0.6

0.7

0.8

Gambar G.3
Hasil Uji Normalitas Data Gain Kelas Kontrol

Berdasarkan Gambar G.2 dan G.3 dapat dilihat bahwa nilai P-Value hasil data gain kelas
eksperimen adalah 0,124 dan untuk kelas kontrol > 0,150 . nilai
P-Value kedua kelompok tersebut lebih dari 0,05. Hal ini menandakan bahwa kedua sampel
berdistribusi normal.
b. Uji Homogenitas Skor Indeks Gain
Setelah diketahui bahwa kedua data gain berdistribusi normal, selanjutnya untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan varians dari kedua data, maka data gain diolah dengan menggunakan
pendekatan uji homogenitas yaitu dengan menggunakan uji-F. Ujihomogenitas yang bertujuan
untuk mengetahui apakah data tersebut memiliki varians yang homogeny atau tidak.
Hipotesis yang diambil dalam pengujian ini adalah:
H0: 12 = 22 (Varians kedua kelas homogen )
HA: 12 22 (Varians kedua kelas tidak homogen )
Dengan bantuan software MINITAB 16, didapat hasil output sebagai berikut:
Kriteria :JikaP value Lavenes Test> 0,05 H0diterima.
Test and CI for Two Variances: Gain kelas eksperimen, Gain kelas kontrol
Method
Null hypothesis
Variance(Gain kelas eksperimen) / Variance(Gain kelas kontrol) = 1
Alternative hypothesis Variance(Gain kelas eksperimen) / Variance(Gain kelas kontrol) > 1
Significance level
Alpha = 0.05
Statistics
Variable
N StDev Variance
Gain kelas eksperimen 28 0.132 0.017
Gain kelas kontrol 31 0.158 0.025
Ratio of standard deviations = 0.832
Ratio of variances = 0.693
95% One-Sided Confidence Intervals
Lower Bound Lower Bound
Distribution for StDev for Variance
of Data
Ratio
Ratio
Normal
0.610
0.372
Continuous
0.659
0.435
Tests
Test
Method
DF1 DF2 Statistic P-Value
F Test (normal)
27 30
0.69 0.831
Levene's Test (any continuous) 1 57
0.24 0.689

146

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Berdasarkan hasil output diperoleh nilai P-Value adalah 0,831. Nilai tersebut lebih dari 0,05. Hal
ini berarti bahwa H0 diterima yaitu varians kedua kelompok sampel homogen.
c. Uji Signifikasi Perbedaan Rata-rata Skor Indeks Gain
Dari hasil pengujian sebelumnya diketahui bahwa kedua sampel berasal dari populasi yang
berdistribusi normal dan homogen. Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas terhadap
hasil data gain pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan bantuan program software
MINITAB 16, maka langkah terakhir dalam menganalisa hasil data gain ini adalah menguji
hipotesis data gain. Dalam melakukan uji hipotesis ini dilakukan dengan uji perbedaan dua ratarata atau uji-t. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:
H0 : 1 = 2

(Tidak terdapat perbedaan kemampuan pemahaman matematik siswa yang


menggunakan pembelajaran matematika dengan metode IMPROVE dan yang
menggunakan cara biasa).
HA: 1> 2
(Peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang menggunakan
pembelajaran matematika dengan metode IMPROVE dan yang menggunakan
cara biasa).
Kriteria :Jika P value Lavenes Test> 0,05 H0 diterima.
Two-Sample T-Test and CI: Gain kelas eksperimen, Gain kelas kontrol
Two-sample T for Gain kelas eksperimen vs Gain kelas kontrol
N Mean StDev SE Mean
Gain kelas eksperimen
28 0.493 0.132 0.025
Gain kelas kontrol
31 0.361 0.158 0.028
Difference = mu (Gain kelas eksperimen) - mu (Gain kelas kontrol)
Estimate for difference: 0.1321
95% lower bound for difference: 0.0683
T-Test of difference = 0 (vs >): T-Value = 3.46 P-Value = 0.001 DF = 57
Both use Pooled StDev = 0.1463
Berdasarkan hasil output diperoleh nilai P-Value sebesar 0,001. Nilai tersebut kurang dari nilai
signifikansi = 0,05 ( P < 0,05) sehingga H0 ditolak, hal ini berarti bahwa peningkatan
pemahaman matematik antara siswa yang pembelajarannya menggunakan metode pembelajaran
IMPROVE lebih baik daripada yang menggunakan cara biasa.

6. Kesimpulan dan Saran


6.1. Kesimpulan
a. Kemampuan pemahaman matematik siswa SMP yang menggunakan metode pembelajaran
IMPROVE lebih baik daripada pemahaman siswa yang menggunakan cara biasa.
b. Siklus dalam metode pembelajaran IMPROVE terdiri dari 6 tahap yaitu: Pengenalan konsep
baru (Introduction new concept), Pertanyaan Metakognisi (Metacognitive questioning), Latihan
(Practicing), Tinjauan ulang, Mengurangi kesulitan, Perolehan pengetahuan (Review and
Reducing difficulites, Obtaining mastery), Verifikasi (Verification), dan Pengayaan
(Enrichment).
6.2. Saran
a. Bagi para guru yang menggunakan metode IMPROVE ini diharapkan dapat menguasai konsep
dengan faham betul sehingga dapat teraplikasi dengan baik dalam pelaksanaan tahapan metode
improve ini.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

147

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

b. Penguasaan kelas harus diperhatikan karena dalam pelaksanaan metode ini tidak semua anak
cepat dalam mengikutinya, biasanya hanya anak yang pandai yang dapat mengikuti dengan
baik jalannya pembelajaran dengan metode ini.

DAFTAR PUSTAKA
Herdian(2010).
Kemampuan
Pemahaman
Matematika.
[online].
Tersedia
:
http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-pemahaman-matematis/
diakses
tanggal 11 Januari 2012.
Rohaeti, E. E. (2003). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Metode Improve untuk
Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama. Tesis Pasca Sarjana UPI : Tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Solihah, N. H. (2012). Pengaruh Pembelajaran Tekhnik Probing terhadap Peningkatan
Kemampuan Pemahaman Matematik. Skripsi S1 STKIP Siliwangi: Tidak diterbitkan.
Suherman dan Sukjaya. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan
Matematika. Bandung: Wijaya Kusumah.

148

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI


MATEMATIK SISWA SMP MELALUI MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR
SHARE (TPS)
Adi Nurjaman
STKIP Siliwangi

hendrialfianto@gmail.com

ABSTRAK
Untuk siswa yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi, sikap dan tindakan serta cara mengajar
yang dilakukan oleh guru tidak menjadi masalah. Tetapi, bagi siswa yang memiliki tingkat
kecerdasan rata-rata, dan rendah pelajaran matematika akan menjemukan dan mengakibatkan
tidak senang belajar matematika. komunikasi matematika sangatlah penting dan perlu
mendapat perhatian. komunikasi matematik adalah kemampuan siswa dalam menjelaskan idea,
situasi dan relasi matematik, secara tulisan dengan gambar, membaca presentasi matematika
tertulis dan menyusun pertanyaan yang relevan menyusun argument. Salah satu alternatif
model pembelajaran yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Think-Pair- Share (TPS).
Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah instrumen
tes dan non tes. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP di Kabupaten
Bandung Barat yang salah satu karakteristiknya memiliki nilai rerata Ujian Nasional
matematika 7, pengambilan sampel dalam penelitian ini secara acak kelas. Hasil studi ini
adalah Pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang
pembelajarannya menggunakan model kooperatif tipe TPS lebih baik daripada siswa yang
pembelajarannya menggunakan cara biasa.
Kata Kunci: Komunikasi Matematik, Think Pair Share

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Dewasa ini dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan mampu melahirkan sumber daya manusia
(SDM) yang memenuhi tuntutan global, sebab pendidikan merupakan suatu wadah kegiatan untuk
membangun masyarakat dan karakter bangsa secara berkesinambungan, yaitu membina mental,
intelektual, dan kepribadian dalam rangka membentuk manusia seutuhnya. Oleh karena itu,
pendidikan perlu mendapat perhatian, penanganan, dan prioritas secara intensif dari pemerintah,
masyarakat, maupun pengelola pendidikan, Pengembangan kemampuan berpikir, khususnya yang
mengarah pada berpikir tingkat tinggi, perlu mendapat perhatian serius karena sejumlah hasil studi
seperti Henningsen dan Stein, 1997; Peterson, 1988; Mullis, dkk (Suryadi, 2004:17) menunjukkan,
Pembelajaran matematika pada umumnya masih berfokus pada pengembangan kemampuan
berpikir tahap rendah yang bersifat prosedural. Untuk siswa yang memiliki tingkat kecerdasan
tinggi, sikap dan tindakan serta cara mengajar yang dilakukan oleh guru tidak menjadi masalah.
Tetapi, bagi siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata, dan rendah pelajaran matematika
akan menjemukan dan mengakibatkan tidak senang belajar matematika. Maka dari itu
pemebalajaran bukan hanya sekedar metransfer ilmu saja akan tetapi harus diingat pembelajaran itu
bukan hanya membuat siswa pandai dalam matematik saja akan tetapi pembelajaran haruslah
mempunyai makna yang akan diperoleh oleh setiap siswa. Sejalan dengan hal tersebut Sumarmo
(2013:4) mengemukakan, Pembelajaran matematika mengacu pada prinsip siswa belajar aktif dan

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

149

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

learnig how to learn yang rinciannya termuat dalam empat pilar pendidikan (1) learning to, (2)
learning to do, (3) learning to be, (4) learning to live together.
Kemampuan komunikasi matematik dikembangkan. Effendy (1993:5) menyatakan, komunikasi
adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk membberi tahu
atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku baik langsung secara lisan, maupun tak langsung
melalui media. Di dalam berkomunikasi tersebut harus dipikirkan bagaimana caranya agar pesan
yang disampaikan seseorang itu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada orang lain. Dalam
pembelajaran, komunikasi matematika sangatlah penting dan perlu mendapat perhatian. Baroody
(Asikin, 2002:12) mengemukakan, Sedikitnya ada dua alasan yang menjadikan komunikasi dalam
pembelajaran matematika perlu menjadi perhatian yaitu 1) matematika sebagai bahasa, bukan
hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola atau menyelesaikan masalah tetapi
matematika juga sebagai an invaluable tool for communicating a variety of ideas clearly,
precisely, and succinty dan 2) sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, interaksi
antar siswa, antara siswa dan guru. Dalam KBK kemampuan komunikasi dalam matematika
merupakan salah satu kemampuan dasar yang perlu dimiliki siswa.
NCTM (Saragih, 2007:37) mengatakan, bahwa komunikasi matematik adalah kemampuan siswa
dalam, 1) membaca dan menulis matematika dan mentafsirkan makna dan ide dari tulisan itu, 2)
mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang ide matematika dan hubungannya, 3)
merumuskan definisi matematika dan membuat generalisasi yang ditemui melalui investigasi,
4) menulis sajian matematika dengan pengertian, 5) menggunakan kosakata/bahasa, notasi struktur
secara matematika untuk menyajikan ide menggambarkan hubungan, dan pembuatan model, 6)
memahami, menafsirkan dan menilai ide yang disajikan secara lisan, dalam tulisan, atau dalam
bentuk visual, 7) mengamati dan membuat dugaan, merumuskan pertanyaan, mengumpulkan dan
menilai informasi, dan menghasilkan dan menyajikan argumen yang meyakinkan. Menyadari akan
pentingnya kemampuan komunikasi matematik dirasakan perlu bagi siswa, maka guru harus
mengupayakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan, metode atau model pembelajaran
yang dapat melatih serta mendorong untuk meningkatkan kemampuan pemahamn dan komunikasi
matematik siswa. Dalam pembelajaran matematik kemampuan berpikir tingka tinggi, rasa ingin
tahu yang tinggi, dan kreatif merupakan kemampuan yang perlu dimiliki oleh siswa.
Salah satu alternatif model pembelajaran yaitu dengan menggunakan model pembelajaran ThinkPair- Share (TPS) dikembangkan oleh Frank Lyman dkk dari Universitas Maryland pada tahun
1985. Model pembelajaran TPS merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif sederhana.
Teknik ini memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang
lain. Lie (2004:57) mengemukakan, Keunggulan teknik ini adalah optimalisasi partisipasi siswa.
Model pembelajaran TPS adalah salah satu model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada
setiap siswa untuk menunjukkan partisipasi kepada orang lain. Dengan metode klasikal yang
memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya untuk seluruh kelas, Lie
(2004:57) mengemukakan, Tipe Think-Pair-Share (TPS) ini memberi kesempatan sedikitnya
delapan kali lebih banyak kepada siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada
orang lain. Ibrahim (2000:26-27) mengemukakan, Ada beberapa tahap dalam
pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) adalah,
Tahap 1 : Thingking (berpikir)
Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan pelajaran. Kemudian siswa
diminta untuk memikirkan pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat.

150

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Tahap 2 : Pairing
Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa lain untuk mendiskusikan apa yang telah
dipikirkannya pada tahap pertama. Dalam tahap ini, setiap anggota pada kelompok
membandingkan jawaban atau hasil pemikiran mereka dengan mendefinisikan jawaban yang
dianggap paling benar, paling meyakinkan, atau paling unik. Biasanya guru memberi waktu 4-5
menit untuk berpasangan.
Tahap 3 : Sharing (berbagi)
Pada tahap akhir, guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa
yang telah mereka bicarakan.
Berdasarkan uraian sebelumnya maka penulis mengambil judul Meningkatkan Kemampuan
Komunikasi Matematik Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair
Share (TPS).
1.2.

Rumusan Masalah

Secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:


Apakah pencapaian dan peningkatan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya dengan
model kooperatif tipe TPS lebih baik daripada cara biasa?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
Menelaah pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang
pembelajarannya menggunakan model kooperatif tipe TPS dengan siswa yang pembelajarannya
dengan cara biasa.
Manfaat Penelitian
1. Bagi Siswa, untuk dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar sehingga dapat mencapai
prestasi belajar yang lebih baik dan untuk membiasakan melatih siswa bekerja sama, saling
memberikan informasi pelajaran yang didapat, sehingga dapat mencapai tujuan yang di
inginkan.
2. Bagi Pengajar, untuk dapat menerapkan representasi yang terbaik untuk suatu materi topik
tertentu, sehingga siswa dapat lebih memahami konsep materi tersebut dan menjadi rujukan
yang bermanfaat bagi para pengajar. Di samping itu, model kooperatif tipe TPS merupakan
alternatif strategi pembelajaran yang dapat diimplementasikan di sekolah menengah,
khususnya di mata pelajaran matematika. Pengajar juga perlu memperhatikan latar belakang
siswa, karena tidak semua siswa memiliki kemampuan yang sama.
1.4.

Definisi Operasional

d. Disposisi matematik adalah rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan perhatian
serius dalam belajar matematik, kegigihan dalam menghadapi dan menyelasaikan masalah, rasa
ingin tahu yang tinggi, kemampuan berbagi pendapat dengan orang lain, kemampuan
pemahaman matematik.
e. Kemampuan komunikasi adalah matematik terdiri dari menjelaskan idea, situasi dan relasi
matematik, secara tulisan dengan gambar, membaca presentasi matematika tertulis dan
menyusun pertanyaan yang relevan menyusun argument.

2.

Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan disain kelompok kontrol pretespostes yang melibatkan dua kelompok. Metode eksperimen digunakan karena ada pemanipulasian
perlakuan, dimana kelas yang satu mendapat pembelajaran melalui model kooperatif tipe TPS dan

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

151

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kelas yang lain mendapat pembelajaran dengan cara biasa, pada awal dan akhir kedua kelas diberi
tes. Sehingga desain penelitiannya adalah sebagai berikut :
A O
X
O
A O
O
Dimana,
A
: Pengambilan sampel secara acak kelas
O
: Pretes = postes komunikasi matematik
X
: Pembelajaran dengan Model Kooperatif Tipe TPS
2.1

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP di Kabupaten Bandung Barat yang salah
satu karakteristiknya memiliki nilai rerata Ujian Nasional matematika 7. Dari seluruh SMPN yang
ada di Kabupaten Bandung Barat, terpilih SMPN 3 Ngamprah yang memiliki nilai rerata Ujian
Nasional Matematika 7.00 tahun ajaran 2012/2013. Dari tiga tingkatan kelas yang ada di SMPN 3
Ngamprah yaitu kelas IX, VIII dan VII dengan pertimbangan pada semester 2 terdapat pokok
bahasan segitiga dan segiempat yang digunakan dalam penelitian. Pengambilan sampel dalam
penelitian ini secara acak kelas, yang menjadi sampel atau untuk mewakili populasi, melalui undian
yang dilakukan terhadap 6 kelas dari kelas VII, kemudian didapat kelas VII.A (kelas eksperimen)
sebanyak 36 siswa yang diberi perlakuan pembelajaran dengan model kooperatif tipe think pair
share dan kelas VII.C (kelas kontrol) sebanyak 36 siswa diberi pembelajaran cara biasa.
2.2

Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen tes uraian untuk memperoleh data. Aturan yang digunakan
dalam penyusunan instrumen berdasarkan Panduan Kurikulum KTSP. Tes uraian terdiri dari tes
komunikasi matematik. Tes kemampuan disusun terdiri dari 5 soal untuk mengukur kemampuan
komunikasi matematik. Tes matematika tersebut digunakan pada tes awal (pretes) dan tes akhir
(postes). soal tes untuk mengukur kemampuan komunikasi matematik disusun dalam bentuk soal
uraian dan skor jawaban siswa disusun berdasarkan indikator kemampuan komunikasi matematik
yaitu,
a. menjelaskan idea, situasi dan relasi matematik, secara tulisan dengan gambar,
b. membaca presentasi matematika tertulis
c. menyusun pertanyaan yang relevan menyusun argument.
Tabel 1.1
Holistic Scoring Rubric Komunikasi Matematik
Kriteria
Jawaban salah
Jawaban tidak mengembangkan ide-ide matematika
Beberapa jawaban tidak ada atau hilang
Jawaban benar tapi kurang lengkap
Jawaban lengkap dan benar
(Susilawati, 2012:205)

3.

Skor
0
1
2
3
4

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Kemampuan
Komunikasi
Matematik

S
SMI

152

Tabel 1.2
Rekapitulasi Hasil Penelitian
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Pretes % Postes % Gain Pretes % Postes % Gain
6.64 33.20 15.75 78.75 0.68 6.33 31.65 14.11 70.55 0.57
1.33
2.22
0.15 1.26
2.47
0.16
20

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

20

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Terlihat pada Tabel 1.2 rata-rata skor pretes kemampuan komunikasi matematis kelompok
eksperimen 6.64 dan kelompok kontrol 6.33. Dari kedua skor tersebut terlihat bahwa selisih ratarata antara kedua kelompok tersebut adalah 0,31 yang artinya rata-rata skor kemampuan
komunikasi matematis kedua kelas tidak jauh berbeda. Simpangan baku rata-rata pretes
kemampuan komunikasi matematis kelompok eksperimen 1.33 sedangkan kelompok kontrol 1.26.
Selisih simpangan baku antara kedua kelompok tersebut adalah 0,07 yang berarti kelompok
eksperimen maupun kelompok kontrol memiliki sebaran data yang relatif sama. Dilihat dari
persentase rataan skor pretes kemampuan komunikasi matematis kelompok eksperimen 33.20%
dan kelompok kontrol 31.65%, yang artinya persentase kemampuan komunikasi matematis
kelompok eksperimen sedikit lebih tinggi daripada kelompok kontrol.
Selanjutnya rata-rata nilai postes kemampuan komunikasi matematis kelompok eksperimen adalah
15.75 dan kelompok konrol 14.11 menunjukkan selisih 1.64 yang berarti ada perbedaan antara
rata-rata kemampuan komunikasi matematis kedua kelompok tersebut setelah diberi perlakuan.
Dilihat dari simpangan baku rata-rata postes kemampuan komunikasi matematis kelompok
eksperimen 2.22 sedangkan kelompok kontrol 2.47 berarti sebaran data kelompok kontrol lebih
besar daripada kelompok eksperimen. Setelah diberi perlakuan, persentase rataan skor postes
kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol masing-masing
menjadi 78.75% dan 70.55% yang artinya persentase kemampuan komunikasi matematis kelompok
eksperimen lebih tinggi dibandingkan persentase kelompok kontrol.
a. Analisis Data Pretes Kemampuan Komunikasi Matematis

Kelas

Eksperimen
Kontrol

6.64
6.33

Tabel 1.3 Hasil Analisis Data Pretes


Pretes
Uji Mann
Uji Normalitas
St. dev
Whitney
(P-Value)
(P-Value)
1.33
0.00 (data tidak normal)
0.423
2.22
0.00 (data tidak normal)

Kesimpulan
H0 diterima

Berdasarkan Tabel 1.3 di atas, dapat dilihat bahwa kedua kelompok memiliki nilai signifikansi <
0,05, berdasarkan taraf signifikansi = 0.05 maka H0 ditolak. Artinya data pretes kemampuan
komunikasi siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berdistribusi normal. Karena data
kedua kelompok tidak berdistribusi normal maka dilanjukan ke uji Mann Whitney. Karena data
pretes komunikasi matematis kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak berdistribusi
normal, maka langkah selanjutnya adalah uji Mann Whitney.
Hipotesis statistiknya adalah:
Dengan hipotesis stastik yang dirumuskan sebagai berikut:
H0 : 1 2 Tidak terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematik siswa
pembelajarannya menggunakan model kooperatif tipe TPS dengan siswa
pembelajarannya menggunakan cara biasa
HA : 1 2 Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematik siswa
pembelajarannya menggunakan model kooperatif tipe TPS dengan siswa
pembelajarannya menggunakan cara biasa
Keterangan :
1 = rata-rata kemampuan komunikasi matematis kelompok eksperimen
2 = rata-rata kemampuan komunikasi matematis kelompok kontrol
Kriteria Uji :
H0 diterima jika nilai Signifikansi > 0.05

yang
yang
yang
yang

H0 ditolak jika nilai Signifikansi < 0.05


Berdasarkan Tabel 1.2, diperoleh nilai Sig data pretes kelompok eksperimen dan kontrol
menunjukkan nilai 0.423 > 0.05, sehingga terima H 0 dengan kata lain tidak terdapat perbedaan
kemampuan awal komunikasi matematis siswa yang yang mendapat pembelajaran model
kooperatif tipe think pair share dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

153

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

b. Analisis Data Postes Kemampuan Komunikasi Matematis

Kelas

St.
Dev

Ekperimen

15.75

2.22

Kontrol

14.11

2.47

Tabel 1.4 Hasil Analisis Data Postes


Postes
Uji
Uji Normalitas (PHomogenitas Uji t Kesimpulan
Value)
(P-Value)
0.131 (data
berditribusi normal)
0.613
0.002 H0 ditolak
(Homogen)
0.200 (data
berdistribusi normal)

Berdasarkan Tabel 1.4 di atas, hasil uji normalitas skor postes kemampuan komunkasi matematis
siswa kelas eksperimen memiliki nilai signifikansi 0.131 dan kelas kontrol memiliki nilai
signifikansi 0.200. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa kedua kelas memiliki nilai
signifikansi > 0,05, berdasarkan taraf signifikansi = 0.05 maka H0 diterima artinya data postes
kemampuan komunikasi siswa berdistribusi normal. Didapat hasil bahwa data kedua kelas
berdistribusi normal maka dilanjukan ke uji homogenitas varians, Masih berdasarkan Tabel 1.4,
nilai Sig 0.613 > 0.05 maka H0 diterima artinya hal ini menunjukkan bahwa data skor postes
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berasal dari varian yang homogen.
Hipotesis 1:
Pencapaian kemampuan komunkasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran model
kooperatif tipe think pair share lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa.
Dengan hipotesis statistik dirumuskan sebagai berikut :

H 0 : 1 2 Pencapaian kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya


H A : 1 2

menggunakan model kooperatif tipe TPS kurang dari atau sama dengan secara
signifikan siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa
Pencapaian kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan model kooperatif tipe TPS lebih baik daripada siswa yang
pembelajarannya menggunakan cara biasa

Keterangan :
1 = rata-rata kemampuan komunkasi matematis kelompok eksperimen
2 = rata-rata kemampuan komunkasi matematis kelompok kontrol
Kriteria Uji :
H0 diterima jika nilai Signifikansi > 0.05
H0 ditolak jika nilai Signifikansi < 0.05
Berdasarkan Tabel 1.4 hasil uji-t skor postes kemampuan komunikasi matematis kelas eksperimen
dan kelas kontrol nilai Sig. (2-tailed) adalah 0.004. Maka didapat nilai Sig. (1-tailed) 0.002. Nilai
Sig 0.002 < 0.05 maka H0 ditolak dengan kata lain rata-rata pencapaian kemampuan komunikasi
matematis siswa yang mendapat pembelajaran model kooperatif tipe think pair share lebih baik
daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa.

154

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

c. Analsis Data Gain Ternormalisasi Kemampuan Komunikasi


Tabel 1.5 Hasil Analisis Gain
Gain
Kelas
St.
Uji Normalitas Uji Homogenitas
x
Dev
(P-Value)
(P-Value)
0.200 (data
berdistribusi
Ekperimen 0.68 0.15
normal)
0.766 (homogen)
0.200 (data
0.57 0.16
berdistribusi
Kontrol
normal)

Uji t

0.002

Kesimpulan

H0 ditolak

Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa kedua kelas memiliki nilai signifikansi nilai
signifikansi P-value > 0,05, berdasarkan taraf signifikansi = 0.05 maka H0 diterima. Artinya data
N-gain kemampuan komunikasi matematis berdistribusi normal. Karena kedua data berdistribusi
normal maka dilanjukan ke uji homogenitas varians. Masih berdasarkan Tabel 1.5 di atas nilai Sig
0.766 > 0.05 maka kedua varians kedua kelompok homogen
Hipotesis 2:
Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran model
kooperatif tipe think pair share lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa.
Dengan hipotesis statistik dirumuskan sebagai berikut :
H 0 : 1 2 Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan model kooperatif tipe TPS kurang dari atau sama dengan secara
signifikan siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa
H A : 1 2 Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan model kooperatif tipe TPS lebih baik daripada siswa yang
pembelajarannya menggunakan cara biasa
Keterangan :
1 = rata-rata peningkatan kemampuan komunikasi matematis kelompok eksperimen
2 = rata-rata peningkatan kemampuan komunikasi matematis kelompok kontrol
Kriteria Uji :
H0 diterima jika nilai Signifikansi > 0.05
H0 ditolak jika nilai Signifikansi < 0.05
Berdasarkan Tabel 1.5 hasil uji-t perbedaan rata-rata N-Gain kemampuan komunikasi matematis
kelas eksperimen dan kelas kontrol nilai Sig 0,002 < 0.05 maka H 0 ditolak dengan kata lain
peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran model
kooperatif tipe think pair share lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapat
pembelajaran biasa
4. Kesimpulan
1) Pencapaian kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya
model kooperatif tipe TPS lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya
cara biasa
2) Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya
model kooperatif tipe TPS lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya
cara biasa

menggunakan
menggunakan
menggunakan
menggunakan

DAFTAR PUSTAKA
Asikin, M. (2002). Menumbuhkan Kemampuan Komunikasi Matematika melalui Pembelajaran
Matematika Realistik. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya, ISSN : 0852-7792 Tahun
VIII, Edisi Khusus, Juli 2002.
Effendy. O. U. (1993). Dinamika Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

155

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Ibrahim,
M.
et
al.
(2000).
Pembelajaran
Kooperatif.
Surabaya
:
http://www.tuanguru.com/2012/06/model-pembelajaran-think-pair share.html (07 Januari
2014)
Kurniawan, R. (2010). Peningkatan Kemampuan Pamahaman dan Pemecahan Masalah Matematis
melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Sekolah Menengah
Kejuruan. Disertasi UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Lie. A. (2004). Cooperative Learning: Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang - Ruang
Kelas. http://www.tuanguru.com/2012/06/model-pembelajaran-think-pair share.html (07
Januari 2014)
Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa
Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Realistik. Disertasi UPI. Bandung: Tidak
diterbitkan.
Suryadi, D. (2004). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan
Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangkaian Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi UPI. Bandung : Tidak
dipublikasikan.
Susilawati, W. (2012). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung: Insan Mandiri.

156

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PEMBERIAN


TUGAS MIND MAP (PETA PIKIRAN) UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA
SISWA

Devi Nurul Yuspriyati


STKIP Siliwangi
devi_yuspriyati@yahoo.co.id

ABSTRAK
Berdasarkan pernyataan yang diungkapkan oleh para ahli Psikologi Kognitif, materi pelajaran
yang terlupakan oleh siswa tidak benar-benar hilang dari ingatan akalnya, materi pelajaran itu
masih terdapat subitem akal permanen siswa namun terlalu lemah diingat kembali, sehingga
diperlukan sebuah alat belajar yang membuat sistem memori siswa berfungsi optimal dalam
memproses materi pelajaran yang diberikan. Hal ini kurang memberikan kesempatan kepada
siswa dalam mengembangkan dan menemukan pemahamannya sendiri.Implikasinya, informasi
yang diberikan sulit diserap, diserap, dan disimpan dengan baik di memori siswa atau biasa kita
sebut lupa.Penelitian ini mencoba untuk menyelasaikan permasalahan tersebut.Ide utama untuk
memecahkan masalah tersebut adalah menggunakan pembelajaran matematika dengan
pemberian tugas mind map untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Metode yang
digunakan adalah penelitian tindakan kelas dengan subjeknya adalah siswa kelas VII-B SMP
Negeri 12 Bandung. Penelitian ini dilaksanakan dengan tiga siklus, setiap akhir siklus
diberikan tes dan pada akhir siklus ketiga diberikan tes sub sumatif, semua tes berupa soal
uraian non rutin di analisis dengan cara penskoran. Sedang untuk mengetahui sikap siswa
diberikannya angket, lembar observasi, wawancara, jurnal, catatan lapangan terhadap siswa
kelas VII-B yang dianalisis di ukur dengan skala sikap.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
hasil belajar matematika siswa dengan pendekatan pemberian tugas mind mapmengalami
peningkatan menjadi lebih baik yang terlihat dari tes setiap siklusnya. Sikap dan respon siswa
terhadap pembelajaran ini menunjukkan respon yang baik yang dapat dilihat dari angket dan
jurnal siswa.
Kata Kunci: Hasil Belajar, Mind Map

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada semua jenjang pendidikan
mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA bahkan sampai perguruan tinggi. Hal ini menunjukan
bahwa matematika memegang peranan yang sangat penting dan melengkapi ilmu lain serta dapat
mendukung aktivitas hidup manusia.Setiap akhir pembelajaran siswa diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak secara logis, sistematis, kritis, dan
kreatif. Kemampuan seperti itu yang diharapkan melalui pembelajaran metematika. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Sumarmo (2000:2-4) bahwa melalui pembelajaran matematika siswa
diharapkan (1) memiliki pemahaman dan penalaran tentang produk dan proses matematika (apa,
bagaimana, dan mengapa) yang memadai, (2) memiliki keterampilan dan dapat melaksanakan
proses matematika (doing math), (3) memahami, menghargai, dan mempunyai apresiasi terhadap
nilai-nilai dan keindahan akan produk dan proses matematika, dan (4) mampu bersosialisasi dan
berkomunikasi dalam matematika.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

157

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Anggraeni (2008:2) dalam penelitiannya di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat penguasaan


siswa dalam matematika pada semua jenjang masih sekitar 34% (Kompas dam Masykur Ag, 2007).
Belum tercapainya hasil belajar yang optimal dalam pembelajaran matematika, dapat dijadikan
indikator bahwa dalam pembelajaran siswa masih mengalami kesulitan belajar. Menurut Anggraeni
(2008:5) bahwa sikap dan kebiasaan belajar yang baik akan memberikan tunjangan terhadap
pencapaian hasil belajar yang optimal dan sebaliknya sikap dan kebiasaanya belajar yang kurang
baik, kurang ulet, dan kurang gesit akan mempengaruhi hasil belajar yang tidak optimal.
Pemberian Tugas mind map (peta pikiran) diharapkan dapat memperbaiki proses dan hasil belajar
siswa dengan optimal. Mind Map yang digunakan dapat mengaitkan pembelajaran yang bermakna
antara konsep-konsep dalam bentuk yang kreatif sehingga siswa dapat lebih mudah mengingatnya.
Berdasarkan hal yang telah diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk mencoba menerapkan
pemberian tugas berupa Mind Map kepada siswa,sehingga mereka dapat meningkatkan proses dan
hasil belajar siswa di dalam kelas, agar mencapai ketuntasan belajar yang optimal. Untuk itu,
peneliti melakukan penelitian yang berjudulPembelajaran Matematika dengan Pemberian Tugas
Mind Map (Peta Pikitan)untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa.
1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas masalah penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut.
1. Apakah pembelajaran matematika dengan pemberian tugas Mind Map (peta pikiran) dapat
meningkatkan hasil belajar matematika siswa?
2. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan pemberian tugas Mind Map
(peta pikiran)?
1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat pada penelitian ini adalah:


1. Ingin mengetahui apakah pembelajaran matematika dengan pemberian tugas Mind Map (peta
pikiran) dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
2. Ingin mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan pemberian tugas
Mind Map.
3. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa dikarenakan dengan Mind
Map (peta pikiran) siswa dapat membantu membuat catatan yang lebih menarik, dapat
mengingat kembali materi yang telah dipelajari, melihat adanya keterkaitan antar materi yang
diberikan, dan dapat mambuat belajar matematika itu lebih menarik dan menyenangkan.
4. Manfaat hasil dari penelitian ini dapat memberikan motivasi bagi guru matematika untuk
memperbaiki atau untuk mengembangkan mutu pembelajaran di sekolah, khususnya mata
pelajaran matematika.Selain itu,
diharapkan dapat meningkatkan motivasi untuk
mengembangkan kreativitas dalam menyusun dan merancang metode pembelajaran

2.

Kajian Teoritis

2.1.

Mind Map (Peta Pikiran) dan Hasil Belajar

Dari Pustekom (Anzela, 2008:21) ditemukan fakta bahwa, jika salah satu sisi otak kurang
dipergunakan tersebut diaktifkan, seringkali hasilnya akan menjadi jauh lebih efektif dibandingkan
hanya salah satu saja yang aktif. Ternyata, jika kedua sisi otak tersebut dapat bekerja secara
bergantian sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi maka akan terjadi suatu sinergi yang
memberikan hasil akhir yang lebih baik.
Menurut istilah mind map (Buzan, 2008: 35) adalah skema atau bagan yang merepresentasikan ide
suatu himpunan konsepkonsep dengan maksud mengaitkan dalam suatu kerangka kerja dengan
menggunakan seluruh simbol grafis. Secara visual mind map merangsang otak, karena mind map
menggunakan kombinasi warna dan gambar yang memudahkan dalam mengingat informasi
dibandingkan teknik mencatat biasa yang linier dan cenderung satu warna. Dengan mind map
daftar informasi yang panjang dan menjemukan bisa diubah bentuk menjadi diagram yang warna
158

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

warni dan juga mudah diingat. Mind map merupakan jenis mencatat informasi tingkat tinggi yang
berupa materi pelajaran yang diterima siswa dan dapat diingat dengan bantuan catatan.
Hasil belajar (Anggraeni, 2008:15) adalah pengetahuan, keterampilan, serta nilai dan sikap yang
diperoleh setelah terjadi interaksi dengan sumber belajar.Adapun yang terdapat pada Sistem
Pendidikan Nasional mengenai rumusan tujuan pendidikan baik itu kurikuler maupun intriksional,
mengklasifikasikan hasil belajar yang diadopsi adalah pengkelompokan yang dikemukakan oleh
Benjamin Bloom (Jica : 23) terbagi atas tiga daerah (domain) yaitu, daerah kognitif, daerah afektif,
dan daerah Psikomotorik. Untuk mewujudkan belajar agar bermakna secara maksimal belajar harus
berprinsip pada :
a. Siswa sebagai subjek karena memiliki potensi kecerdasan, minat dan bakat.
b. Belajar harus dengan melakukan dan mengkomunikasikan agar keterampilan hidup ini
terlatih dan terbiasa.
c. Mengembangkan kemampuan bersosialisasi agar kemampuan interaksi dan empati dapat
berkembang.
Dengan prinsip tersebut, maka seharusnya guru mengusahakan agar belajar secara aktif dan
proaktif sehingga mendapat hasil yang maksimal, sekaligus menghindari cara belajar pasif atau
reaktif. Karakteristik dari keduanya dapat dibedakan seperti indikator berikut ini :
a. Belajar pada setiap situasi
b. Menggunakan kesempatan untuk meraih manfaat
c. Berupaya terlaksana
d. Berpartisipasi dalam setiap kehidupan
Battencourt (Anggraeni, 2008:15) mengatakan bahwa hasil belajar siswa dipengaruhi oleh
pengalamannya dengan fisik dan lingkungannya demikian pula yang dikatakan oleh suparno
(Anggraeni, 2008:15) mengatakan hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui
siswa yang dapat berupa konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi
dengan bahan yang dipelajari. Jadi, hasil belajar itu sendiri dipengaruhi oleh pengetahuan siswa
sebelumnya serta lingkungan yang nyaman dalam melakukan belajar baik di dalam ruangan
ataupun di luar ruangan.

3.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan kelas
(classroom action research). Menurut Ruseffendi (dalam Rosana,2008:23) penelitian tindakan
kelas (PTK) merupakan bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang ditujukan
untuk memperdalam pemahaman yang dilakukan selama proses pembelajaran matematika.
Penelitian tindakan kelas (PTK) adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya
sendiri dengan jalan merancang, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan
partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru sehingga hasil belajar siswa
dapat meningkat (dalam Fitriah, 2007: 19).
Sebagai upaya mendapatkan data dan informasi yang lengkap mengenai hal-hal yang ingin dikaji
melalui penelitian ini, peneliti membuat seperangkat instrumen yang terdiri atas tes hasil belajar
siswa yang terdiri dari tes siklus I, tes siklus II, Tes siklus IIIdan Tes Sub Formatif yang mencakup
materi segi empat secara keseluruhan. Sedangkan untuk memperoleh data sikap siswa yang
berkaitan dengan pendekatan pemberian tugas menggunakan Mind map adalah angket skala sikap
model Likert. Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar observasi, lembar
wawancara mengenai kegiatan pembelajaran matematika menurut siswa dan pengamat dan jurnal
siswa.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

159

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

GASAN AWAL

ECONNAISSANCE
( Peninjauan )

Rencana Umum
Langkah 1
Langkah 2
Langkah dst
plementasi
Langkah 1
Perbaikan Rencana
Langkah 1

aluasi

Langkah 2

plementasi
Langkah 2

Perbaikan Rencana
Langkah 2

luasi

Langkah 3

(Fitriah, 2007: 19).

4.

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Berdasarkan nilai yang diperoleh siswa pada setiap tes siklus, maka dapat ditentukan ketuntasan
belajar siswa dan ketuntasan belajar kelas. Ketuntasan belajar siswa pada setiap siklus dalam
penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 1
Kualitas Ketuntasan Belajar
Ketuntasan
Siswa

Jumlah Siswa

Persentase

Siklus I

Siklus
II

Siklus
III

Siklus
I

Siklus
II

Siklus
III

Tuntas

13

18

24

32.5%

45%

60%

Tidak Tuntas

27

22

16

67.5%

55%

40%

Berdasarkan Tabel 1, maka ketuntasan belajar siswa pada penelitian ini dapat diinterpretasikan
sebagai berikut:

160

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

a. Pada siklus I, hampir setengahnya (32.5%) siswa yang tuntas. Sebagian besar (67.5%) siswa
tidak mengalami ketuntasan pada siklus I.
b. Hampir setengahnya (45%) siswa tuntas dan sebagian besar (55%) sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa pada siklus II tidak tuntas.
c. Pada siklus III, sebagian besar (60%) siswa tuntas dan hampir setengahnyalagi (40%) saja yang
tidak tuntas. Dapat ditarik kesimpulan pada siklus III juga tidak mengalami ketuntasan belajar
d. Pada Tes sub sumatif, pada umumnya (80%)siswa mengalami ketuntasan belajar dan hanya
sebagian kecil (20 %) tidak tuntas pada tes sub sumatif.
Perkembangan ketuntasan belajar siswa pada penelitian ini dapat dilihat dalam diagram batang
berikut ini.
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

TUNTAS
TIDAK TUNTAS

Tes Siklus I

Tes Siklus II

Tes Siklus III

Gambar 1 Perkembangan Ketuntasan Belajar Siswa


Respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan pemberian
tugas Mind Mapdapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 2
Persentase Respon Siswa terhadap Pembelajaran matematika
Banyak Siswa

Persentase

Pertemuan

Positif

Negatif

Netral

Positif

Negatif

Netral

23

14

60.53%

36.84%

7.85%

II

29

72.5%

22.5%

5%

III

29

72.5%

17.5%

10%

IV

30

75%

10%

15%

34

85%

12.5%

2.5%

VI

34

85%

10%

5%

Berdasarkan Tabel 2, maka dapat dibuat interpretasi sebagai berikut:


a. Pada pertemuan I, sebagian besar (62.53%) siswa memberikan respon positif artinya siswa
pada pertemuan pertama sudah merasa senang dengan pemeblajaran yang diberikan, sebagian
kecil (36.84%) siswa memberikan respon negatif artinya siswa masih belum respek terhadap
pembelajaran berlangsung karena masih bingung dalam pengerjaannya, dan sebagian kecil
(7.85%) siswa memberikan respon netral. Dengan kata lain, pada pertemuan pertama ini siswa
telah merasa senang dengan pembelajaran dengan pendekatan mind map.
b. Pada pertemuan II, sebagian besar (72.5%) siswa memberikan respon positif artinya siswa
pada pertemuan ini merasa senang dan meningkatnya respon positif dari pertemuan
sebelumnya, sebagian kecil (22.5%) siswa memberikan respon negatif hal ini dikarenakan
siswa memahami dari pembelajaran ini. dan sebagian kecil (10%) siswa memberikan respon
netral.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

161

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

c. Pada pertemuan III, sebagian besar (72.5%) siswa memberikan respon positif artinya semakin
baiknya sikap dan respon siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan pemberian tugas
mind map. Dengan kata lain siswa meresa senang dengan pembelajaran ini, Sebagian kecil
(17.5%) siswa memberikan respon negatif dapat diartikan dan sebagian kecil (10%) siswa
memberikan respon netral.
d. Pada pertemuan IV, sebagian besar (75%) siswa memberikan respon positif artinya bahwa
sebagian besar siswa menyatakan bahwa mereka merasa senang akan pembelajaran ini dan
semakin meningkatnya presentasi respon positif dari siswa, sebagian kecil (10%) siswa
memberikan respon negatif ini menunjukkan bahwa berkurangnya siswa yang merasa bahwa
tidak nyaman belajar menggunakan Mind Mapdan sebagian kecil (15%) siswa memberikan
respon netral, hal ini bila dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya respon netral
mengalami peningkatan ini karena siswa merasa jenuh dan mulai bosan dengan pembelajaran
ini.
e. Pada pertemuan V, pada umumnya (85%) siswa memberikan respon positif artinya hampir
semuanya mengemukakan rasa senangnya belajar dengan mind map, sebagian kecil (12.5%)
siswa memberikan respon negatif artinya siswa merasa tidak menyukai pembelajaran hal ini
disebabkan karena ssiwa merasa kesulitan pada materi yang diberikan, dan sebagian kecil
(2.5%) siswa memberikan respon netral.
f. Pada pertemuan VI, pada umunya (85%) siswa memberikan respon positif artinya bahwa
sebagian besar siswa menyatakan bahwa mereka merasa senang akan pembelajaran
menggunakan mind map, dan semakin meningkatnya presentasi respon positif dari siswa,
sebagian kecil (10%) siswa memberikan respon negatif artinya siswa mengalami penurunan
respon yang negative terhadap pembelajaran menggunakan mind map,dan sebagian kecil (5%)
siswa memberikan respon netral artinya siswa masih ada yang merasa biasa saja dalam
pembelajaran menggunakan mind map.
Berdasarkan hasil analisis data hasil penelitian, dapat diketahui bahwa hasil belajar matematika
siswa mengalami peningkatan, baik dari siklus I ke siklus II maupun dari siklus II ke siklus III.
Jadi, hasil belajar matematika siswa semakin membaik pada siklus II dibandingkan pada siklus I,
hal ini terlihat dari meningkatya persentase siswa yang memiliki kemampuan sangat baik sebanyak
2,5%. Hasil belajar matematika siswa semakin membaik pada siklus III dimana persentase jumlah
siswa yang hasil belajarnya sangat baikmenjadi7,5%, persentase jumlah siswa yang hasil
belajarnyabaik sebesar 27,5%, persentase jumlah siswa yang hasil belajar matematikanya cukup
sebesar 47,5%, dan persentase jumlah siswa yang hasil belajar matematikanyakurang sebesar
47,5%. Peningkatan kemampuan pemecahan masalahnya siswa dari siklus II ke siklus III dapat
dilihat dari meningkatnya persentase jumlah siswa yang kemampuannya baik sebesar 2,5%,
menurunnya persentase jumlah siswa yang kemampuannya buruk sebesar 12,5% dan menurunnya
persentase jumlah siswa yang kemampuannya sangat baik sebesar 2,5%.
Secara umum dapat disebutkan bahwa dalam penelitian ini hasil belajar matematika siswa
meningkat karena pengaruh pembelajaran matematika dengan menggunakan Pendekatan Mind
Map. Tetapi, ada beberapa siswa yang mengalami penurunan hasil belajar matematikanya hal ini
terlihat karena materi yang disajikan semakin sulit dengan yang diindikasikan dengan penurunan
nilai tes siklus yang diperoleh oleh siswa. Berbagai macam respon siswa terhadap pembelajaran
matematika dengan menggunakan Pendekatan Mind Map dapat dilihat dari jurnal pembelajaran
matematika siswa, hasil wawancara dengan siswa dan angket siswa. Dari hasil analisis terhadap
ketiga data tersebut, kemudian dicocokkan satu sama lainnya untuk menarik sebuah kesimpulan.
Berdasarkan hasil analisis terhadap jurnal pembelajaran matematika siswa dapat diketahui
perkembangan respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan
Mind Map secara keseluruhan dalam penelitian ini semakin membaik.Respon positif semakin
meningkat dari siklus pertama hingga siklus III, sedangkan respon negatif semakin
berkurang.Dalam peningkatan respon siswa, adanya sikap siswa yang kurang menyenangkan dalam
pembelajaran yang sedang berlangsung, hal ini disebabkan oleh faktor dalam diri siswa, seperti

162

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

konsidi spikologis.Dapat dikatakan bahwa respon siswa terhadap pembelajaran matematika


menggunakan pendekatan Mind Map pada penelitian ini adalah positif.
5. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan melihat dan pembahasan hasil penelitian yang dikemukakan pada bab sebelumnya,
ada beberapa kesimpulan yang diambil sebagai berikut :
5.1. Pembelajaran matematika dengan pendekatan pemberian tugas Mind Map menjadikan siswa
mengalami peningkatan hasil belajar.
5.2. Pada umumnya siswa kelas sebagian besar VII-B SMP Negeri 12 Bandung menunjukkan
respon positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan pemberian
tugas Mind Map menjadi lebih aktif dalam mengemukakan pendapat, jawaban, dan pertanyaan
ketika proses pembelajaran berlangsung.
Saran
1. Pengelolaan waktu dalam pembelajaran matematika sangat penting dalam menunjang
kesuksesan pembelajaran.
2. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peningkatan hasil belajar siswa pada
pokok bahasan lain dengan subjek penelitian yang berbeda.
3. Supaya siswa lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan pemberian tugas Mind Map, sebaiknya dibuat alat dan bahan pembelajaran
matematika yang menarik dan relevan dengan materi, sehingga dalam proses pembelajaran
siswa lebih berkembang

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Anggraeni, R. (2008). Pembelajaran Cooperative (Kelompok Kecil) untuk Meningkatkan
Kecerdasan Emosional dan Hasil Belajar Siswa. Makalah Seminar Matematika FPMIPA
UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Anzela, A. (2007/2008).Pengaruh Pemberian Tugas Creative Mind Map Setelah Pembelajaran
Terhadap Kemampuan Kreatifitas dan Koneksi Matematik Siswa. Skripsi FPMIPA UPI
Bandung: Tidak diterbitkan
Buzan, T. (2008).Buku Pintar Mind Map. Jakarta:Gramedia.
Erman, S. (2003).Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Jica UPI.
Hafitria, S. (2007).Pengaruh Penerapan Peta Pikiran (Mind Map) dalam Pembelajaran
Matematika Terhadap Kemampuan Koneksi Matematika Siswa SMP.Skripsi FPMIPA UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.

Rosana, S. (2008). Penerapan pendekatan Reciprocal Reciprocal Teaching dalam


pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah
Geometri Matematik Siswa. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Sudjana.(2005). Metoda Statitika. Bandung: Tarsito.
Suherman, E, dkk. (2001). Common Text Book : Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung : JICA UPI.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

163

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK


MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI
MATEMATIK SISWA SMK DI KOTA CIMAHI
Eka Senjayawati
STKIP Siliwangi
senja_eka@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya kemampuan komunikasi matematik siswa SMK
di Kota Cimahi. Rendahnya kemampuan komunikasi dapat dilihat dari hasil Ujian Nasional
SMK dan Kriteria Ketuntasan Minimal matematika beberapa sekolah masih kategori rendah.
Tujuan penelitian ini untuk mengkaji peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa
melalui pendekatan kontekstual. Penelitian ini berbentuk eksperimen dengan desain kelompok
kontrol pretes postes. Kelas eksperimen memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual dan kelas kontrol memperoleh pembelajaran secara konvensional. Instrumen
berupa tes kemampuan komunikasi matematik. Populasi penelitian ini adalah SMK Bisnis dan
Manajemen di Kota Cimahi yang memiliki karakteristik nilai Kriteria Ketuntasan Minimal 7,00
untuk mata pelajaran matematika. Sampel dipilih secara acak kelas terpilih kelas XI Ak 1
sebagai kelas eksperimen dan XI Ak 2 sebagai kelas kontrol. Analisis data dilakukan secara
kuantitatif, untuk melihat perbedaan rata-rata kedua kelas dengan uji-t kemudian melihat
besarnya peningkatan dengan nilai gain. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa
peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
Kata Kunci: Komunikasi Matematik, Pendekatan Kontekstual

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan ilmu lainnya serta
perkembangan teknologi. Simbol-simbol yang ada dalam matematika juga bersifat universal
artinya bisa dikenal oleh semua orang di dunia. Matematika mempunyai peranan yang sangat
penting dalam berbagai macam disiplin ilmu serta dalam memajukan pola pikir manusia. Sifatnya
yang hierarki atau terstruktur, melatih daya pikir siswa secara logis, sistematis, kritis, dan kreatif.
Hal ini berguna agar siswa mampu dan terbiasa untuk memecahkan permasalahan yang
dihadapinya, karena tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan dalam kehidupan sehari-hari tidak
lepas dari matematika. Pentingnya memahami matematika di sekolah ditekankan pada proses
pembelajarannya, langkah-langkah penyelesaian serta konsep yang ada didalamnya harus dikuasai
oleh siswa. Rendahnya kemampuan komunikasi matematik siswa SMK terlihat dari rendahnya
hasil rata-rata Ujian Nasional Mata Pelajaran Matematika tahun ajaran 2012/2013. Nilai rata-rata
Ujian Nasional matematika seluruh SMK di Kota Cimahi adalah 4,74 sedangkan nilai rata-rata
SMK jurusan bisnis dan manajemen adalah 4,35. Selain itu, hasil penelitian Ester (2007), dan
Lestari (2007) menyimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematik siswa masih rendah.
1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah dan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya,
permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

164

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

1. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang memperoleh


pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada yang memperoleh
pembelajaran konvensional?
2. Seiring dengan rumusan masalah, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menelaah apakah
peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran konvensional?
1.2

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan dilakukan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya bagi guru dan
siswa antara lain:
1. Bagi guru, diharapkan dapat menjadi motivasi guru untuk melakukan inovasi baru dalam
pembelajaran di sekolah atau dijadikan sebagai masukan mengenai variasi model pembelajaran
2. Bagi siswa, yaitu dengan memperoleh pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
diharapkan siswa dapat bersemangat dalam belajar matematika dan dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi matematik

2. Kajian Teoritis
2.1.

Komunikasi Matematik

Komunikasi adalah suatu kegiatan atau keterampilan yang sangat penting dalam kehidupan seharihari. Komunikasi merupakan suatu aktivitas penyampaian pesan dari satu pihak ke pihak lain.
Komunikasi dalam matematika erat kaitannya dengan simbol-simbol matematika yang telah
disepakati bersama dan sifatnya universal. Komunikasi matematik dapat diartikan suatu
kemampuan siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog atau
interaksi dan terjadi pengalihan pesan berupa konsep, rumus, atau ide-ide matematika.
Komunikasi matematika adalah kemampuan matematik dalam menyatakan gambar atau grafik ke
dalam ide-ide matematika, simbol-simbol matematika, ataupun sebaliknya. Greenes dan Schulman
(Saragih, 2007:36) mengatakan bahwa komunikasi matematik merupakan sentral bagi siswa dalam
merumuskan konsep dan strategi, modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan
penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematika serta wadah bagi siswa dalam
memperoleh informasi, berbagi pikiran, dan mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain.
Terdapat lima aspek komunikasi Baroody (Saragih, 2007:37),
1) Representasi (representasing), diartikan sebagai bentuk baru dari hasil translasi suatu
masalah atau ide, atau translasi suatu diagram dari model fisik kedalam simbol atau katakata;
2) Mendengar (listening), dalam proses diskusi aspek mendengar salah satu aspek yang sangat
penting, kemampuan siswa dalam memberikan pendapat atau komentar sangat terkait dengan
kemampuan dalam mendengarkan topik-topik utama atau konsep esensial yang didiskusikan;
3) Membaca (reading), kemampuan membaca merupakan kemampuan yang kompleks, karena
di dalamnya terkait aspek mengingat, memahami, membandingkan, menemukan,
menganalisis, mengorganisasikan, dan akhirnya menerapkan apa yang terkandung dalam
bacaan;
4) Diskusi (discussing), merupakan sarana bagi seseorang untuk dapat mengungkapkan dan
merefleksikan pikiran-pikirannya berkaitan dengan materi yang diajarkan;
5) Menulis (writing), kegiatan yang dilakukan dengan sadar untuk mengungkapkan dan
merefleksikan pikiran, dipandang sebagai proses berpikir keras yang dituangkan di atas
kertas.
Menurut Brenner (Hendriana, 2009:27), komunikasi matematik terdiri dari tiga aspek berbeda,
1) Komunikasi tentang matematika yang menunjukkan kemampuan menggambarkan proses
pemecahan masalah yang dilakukan dan menggambarkan pemikiran mereka tentang proses
ini.
2) Komunikasi dalam matematika merupakan kemampuan menggunakan bahasa dan simbolsimbol matematika yang telah disepakati bersama.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

165

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3) Komunikasi dengan matematika merupakan kemampuan matematika sebagai alat


pemecahan masalah yang memungkinkannya untuk menguraikan makna-makna dari
masalah tersebut.
NCTM (Zulkarnaen 2012:4) menjelaskan bahwa program pembelajaran matematika harus memberi
kesempatan kepada siswa untuk : 1) Mengorganisasi dan mengkonsolidasikan pemikiran dan ide
matematika dengan cara mengkomunikasikannya; 2) Mengkomunikasikan pemikiran matematika
mereka secara logis dan jelas kepada teman, guru, dan orang lain; 3) Menganalisis dan
mengevaluasi pemikiran matematika orang lain; 4) Menggunakan bahasa matematika untuk
menyatakan ide-ide mereka dengan tepat.
Berdasarkan semua analisis, Sumarmo (2012:14) mengidentifikasi indikator komunikasi matematik
yang meliputi kemampuan,
1) Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram kedalam bentuk ide matematika;
2) Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik secara lisan dan tulisan dengan benda nyata,
gambar, grafik dan aljabar;
3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika;
4) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika;
5) Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika;
6) Menyusun konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi;
7) Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam bahasa sendiri.
2.2

Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual atau dikenal dengan CTL (Contextual Teaching and Learning) adalah
sebuah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Berns dan Ericson (Kurniawan, 2010:20)
mengungkapkan bahwa pengajaran kontekstual merupakan suatu konsep pengajaran yang dapat
membantu guru menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata, dan memotivasi siswa
untuk membuat koneksi antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dalam
peran mereka sebagai anggota keluarga, warga dan pekerja, sehingga mendorong motivasi untuk
bekerja keras menerapkan hasil belajar. Zahorik (Yamin, 2011:213) ada lima elemen yang harus
diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual,
a) Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
b) Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara
keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya
c) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) yaitu dengan cara menyusun (i) konsep
sementara (hipotesis), (ii) melakukan sharing dan atas dasar tanggapan itu (iii) konsep
tersebut direvisi dan dikembangkan
d) Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge)
e) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan
tersebut.
Tujuh Komponen CTL yaitu: Contructivism (kontruktivisme), Inquiry (menemukan), Questioning
(bertanya), Learning Society (masyarakat belajar), Modelling (pemodelan), Reflection (refleksi),
Authentic Assesment (penilaian yang sebenarnya)

3.

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimen. Dengan demikian, desain penelitiannya
digambarkan sebagai berikut:
A O X O
A O
O
Keterangan :
A : Pengelompokan sampel secara acak kelas.

166

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

O : Pretes = postes
X : Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMK di Kota Cimahi, kemudian
sampel dipilih dua kelas secara acak yaitu sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas
eksperimen diberikan perlakuan dengan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual sedangkan
kelas kontrol dengan pembelajaran konvensional.

4.

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Pengolahan data dibantu dengan menggunakan Microsoft Office Excel dan SPSS 21.0 for Windows.
Pengolahan data hasil penelitian dilakukan untuk melihat ada tidaknya perbedaan rata-rata skor
gain tes kemampuan komunikasi matematik siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol
Tabel 4.1
Besaran Statistik Kemampuan Komunikasi Matematik
Variabel

Kemampuan
Komunikasi
Matematik

Kelas Eksperimen
Pretes Postes
n
30
30
X maks
15
20
X min
6
8
9,57
17,07

(%)
47,85
85,35
s
2,64
2,88

Gain
30
1,00
0,00
0,73
0,27

Kelas Kontrol
Pretes Postes Gain
30
30
30
17
19
0,89
2
8
0,44
9,23
12,63
0,32
46,15
63,15
3,44
2,75
0,16

Berdasarkan Tabel 4.1, dapat dilihat skor rata-rata pretes kemampuan komunikasi matematik di
kelas eksperimen 9,57 dan di kelas kontrol 9,23. Sedangkan simpangan baku di kelas eksperimen
2,64 dan di kelas kontrol 3,44. Selisih skor rata-rata pretes antara kelas eksperimen dan kontrol
tidak terlalu besar, dapat diduga bahwa kemampuan komunikasi matematik awal siswa antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol tidak jauh berbeda, walaupun tampak nilai simpangan bakunya lebih
besar kelas kontrol artinya kemampuan komunikasi matematik awal siswa di kelas kontrol lebih
menyebar. Begitu juga pada simpangan baku pada saat postes di kelas eksperimen 2,88 dan di kelas
kontrol 2,75 artinya kemampuan komunikasi matematik setelah memperoleh pembelajaran lebih
menyebar di kelas eksperimen.
Skor rata-rata postes kemampuan komunikasi matematik di kelas eksperimen 17,07 dan di kelas
kontrol 12,63 selisih antara kedua kelas lebih besar pada saat postes dibandingkan pretes. Awalnya
pretes kemampuan komunikasi matematik di kelas eksperimen 47,85% dari rata-rata skor idealnya,
dan postesnya mengalami peningkatan menjadi 85,35%, sedangkan di kelas kontrol pretesnya
sebanyak 46,15 % dan postesnya mengalami peningkatan menjadi 63,15%. Peningkatan
kemampuan komunikasi matematik kelas eksperimen sebesar 37,50 %. Sedangkan kelas kontrol
peningkatannya sebesar 17,00 %. Dari data mentah tersebut, dapat disimpulkan setelah
mendapatkan pembelajaran, kemampuan komunikasi matematik kelas eksperimen lebih baik
daripada kelas kontrol.
a. Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Komunikasi Matematik
Untuk menguji kenormalan data pretes digunakan uji statistik kolmogorov-smirnov dengan taraf
signifikansi 0,05 dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
Berikut ini adalah hasil uji normalitas data pretes kelas eksperimen dan kontrol:

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

167

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Tabel 4. 2
Hasil Analisis Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Komunikasi Matematik
Kelas

Pretes Komunikasi
Matematik

Eksperimen
Kontrol

Kolmogorov-Smirnov
Statistic
0,257
0,137

Df
30
30

Sig.
0,000
0,156

Kriteria pengambilan keputusan uji normalitas adalah sebagai berikut:


1) Jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka H0 ditolak
2) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima
Berdasarkan kriteria pengambilan keputusan dan data pada Tabel 4.2 di atas, terlihat bahwa nilai
signifikansi untuk kelas eksperimen lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,000 artinya H0 ditolak atau sampel
berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Nilai signifikansi pada kelas kontrol lebih
besar dari 0, 05 yaitu 0,156 artinya H0 diterima atau sampel berasal dari populasi yang berdistribusi
normal. Karena salah satu data sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, maka
selanjutnya harus di uji non parametrik yaitu uji Mann Whitney.
b. Uji Mann Whitney Data Pretes Kemampuan Komunikasi Matematik
Setelah di uji normalitasnya, kedua sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal,
maka dilanjutkan ke uji non parametrik yaitu uji Mann Whitney. Hipotesis pengujiannya adalah,
H0 : = , tidak terdapat perbedaan secara signifikan antara kemampuan awal komunikasi
matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
H1 : , terdapat perbedaan secara signifikan antara kemampuan awal komunikasi
matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
Kriteria pengambilan keputusan untuk pengujian Mann Whitney data pretes adalah sebagai berikut:
1) Jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka H0 ditolak
2) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima
Berikut ini adalah hasil uji Mann Whitney data pretes kemampuan komunikasi matematik :
Tabel 4.3
Hasil Analisis Uji Mann Whitney Data Pretes Kemampuan Komunikasi Matematik
Sig
Hipotesis
Komunikasi matematik
0,715
Terima H0
Dari hasil analisis Tabel 4.3 diperoleh bahwa nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 yaitu 0,715
maka H0 diterima artinya tidak terdapat perbedaan secara signifikan antara kemampuan awal
komunikasi matematik siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.
c. Uji Normalitas Data Gain Kemampuan Komunikasi Matematik
Terlebih dahulu data gain di uji normalitasnya dengan uji statistik kolmogorov-smirnov dengan
hipotesis sebagai berikut:
H0 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
Berikut ini adalah hasil uji normalitas data pretes kelas eksperimen dan kontrol:

168

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Tabel 4.4
Hasil Analisis Uji Normalitas Data Gain Kemampuan Komunikasi Matematik
Kelas

Gain Komunikasi
Matematik

Eksperimen
Kontrol

Kolmogorov-Smirnov
Statistic

Df

Sig.

0,168

30

0,030

0,103

30

0,200

Kriteria pengambilan keputusan uji normalitas adalah sebagai berikut:


1) Jika nilai signifikansi lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka H0 ditolak
2) Jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima
Berdasarkan kriteria pengambilan keputusan dan data pada Tabel 4.4 di atas, terlihat bahwa nilai
signifikansi untuk kelas eksperimen lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,030 artinya H0 ditolak atau sampel
berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Nilai signifikansi pada kelas kontrol lebih
besar dari 0,05 yaitu 0,200 artinya H0 diterima atau sampel berasal dari populasi yang berdistribusi
normal. Karena salah satunya berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, maka
dilanjutkan ke uji non parametrik yaitu uji Mann Whitney.
d.

Uji Mann Whitney Data Gain Kemampuan Komunikasi Matematik

Berdasarkan hipotesis penelitian yang diajukan yaitu Peningkatan kemampuan komunikasi


matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik
daripada yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Untuk menguji hipotesis di atas digunakan uji satu pihak yang dirumuskan sebagai berikut,
H0 :
H1 : >
H0 : Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa kelas eksperimen tidak lebih baik
secara signifikan atau sama dengan kelas kontrol
H1 : Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa kelas eksperimen lebih baik secara
signifikan daripada kelas kontrol
Menurut Uyanto (2009:145) jika dilakukan uji hipotesis satu sisi (one tailed) maka nilai
signifikansi 2-tailed harus dibagi dua. Kriteria pengambilan keputusan untuk uji Mann Whitney
data gain sebagai berikut,
1
1) Jika nilai sig.(2-tailed) lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka H0 ditolak
2)

2
1

Jika nilai sig.(2-tailed) lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima


2
Tabel 4.5
Hasil Uji Mann Whitney Data Gain Kemampuan Komunikasi Matematik
Kemampuan Komunikasi
Matematik

Sig

Hipotesis

0,000

Tolak H0

Berdasarkan Tabel 4.5 diperoleh Sig.(2-tailed) = 0,000 maka nilai signifikansi (1-tailed)
1
= 0,000 = 0,000 kurang dari 0,05. Sesuai dengan kriteria pengambilan keputusan maka nilai
2
signifikansi lebih kecil dari 0,05 artinya H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa peningkatan kemampuan
komunikasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih
baik daripada yang memperoleh pembelajaran konvensional.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

169

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

5.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:


Dari hasil penelitian secara menyeluruh baik dari hasil menganalisis data maupun pengujian
hipotesis, maka dapat disimpulkan bahwa Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik daripada yang
memperoleh pembelajaran konvensional.

DAFTAR PUSTAKA
Ester, R. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik Think-Pair-Square terhadap
Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa SMK. Tesis pada
SPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical Thinking untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematika dan
Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UPI.
Bandung : Tidak diterbitkan.
Kurniawan, R. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis
melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Sekolah Menengah
Kejuruan. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.
Lestari, P. (2009). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis Siswa SMK
melalui Pendekatan Kontekstual. Tesis pada SPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemmapuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa
Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Realistik. Disertasi UPI. Bandung : Tidak
diterbitkan.
Sumarmo, U. (2012). Bahan Ajar Mata Kuliah Proses Berpikir Matematik Program S2 Pendidikan
Matematika STKIP Siliwangi. Bandung:Tidak diterbitkan.
Uyanto, S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta:Graha Ilmu
Yamin, M. (2011). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press
Zulkarnaen, R. (2012). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi
Matematik Siswa SMA melalui Pendekatan Open-Ended dengan Pembelajaran Kooperatif
Tipe Coop-Coop. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan
Penerapan MIPA Fakultas MIPA.UNY: Tidak diterbitkan.

170

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN


MATEMATIK DAN DISPOSISI MATEMATIK SISWA SMP
MELALUI PENDEKATAN ANALOGI
Adi Nurjaman
STKIP Siliwangi
hendrialfianto@gmail.com

ABSTRAK
Masalah yang ada pada penelitian ini kemampuan penalaran matematik dan disposisi
matematik sangat dibutuhkan dalam membantu mengembangkan kemampuan matematik yang
ada pada siswa, namun ini masih terkendala dalam mengembangkan kemampuam penalaran
matematik berbagai dengan berbagai masalah yang ada. Salah satu alternatif untuk mengatasi
hal tersebut yaitu pada pembelajarannya melalui pendekatan analogi. Dalam penelitian ini,
instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah berupa tes penalaran matematik,
sedangkan instrumen non tes berupa angket skala sikap untuk melihat rasa percaya diri,
ekspektasi dan metakognisi, gairah dan perhatian serius dalam belajar matematik, kegigihan
dalam menghadapi dan menyelasaikan masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan
berbagi pendapat dengan orang lain. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP
di Kota Cimahi yang salah satu karakteristiknya mewakili dari populasi. Metode dalam
penelitian ini adalah metode eksperimen dengan disain kelompok kontrol pretes-postes yang
melibatkan dua kelompok. Metode eksperimen digunakan karena ada pemanipulasian
perlakuan, dimana kelas yang satu mendapat pembelajaran melalui pendekatan analogi dan
yang mendapat pembelajaran dengan cara konvensional, pada awal dan akhir kedua kelas
diberi tes. Hasil studi ini adalah 1) Pencapaian kemampuan penalaran matematik siswa yang
pembelajarannya melalui pendekatan analogi lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya
menggunakan cara biasa, 2) Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang
pembelajarannya melalui pendekatan analogi lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya
menggunakan cara biasa, 3) Kemampuan disposisi matematik siswa yang pembelajarannya
melalui pendekatan analogi lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan
cara biasa..
Kata Kunci: Analogi, Disposisi Matematik, Penalaran Matematik

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Pendidikan bagi sebuah negara dipandang persoalan yang sangat penting, termasuk bagi negara
yang sedang berkembang seperti Indonesia. Keberhasilan dan kegagalan dalam sebuah negara
mempunyai pengaruh yang signifikan bagi perkembangan generasi yang akan datang. John Locke
(1632 1704) yang berpendapat bahwa perkembangan anak sangat bergantung pada
lingkungannya. kemampuan penalaran dengan prestasi belajar siswa dengan kata lain bahwa
kemampuan penalaran dan cara berfikir siswa itu menentukan hasil belajar siswa dan dengan
ditunjang oleh lingkungan yang disebutkan oleh John Locke.
Selain itu, Ruseffendi (1991: 234) menemukan bahwa kesalahan siswa dalam memahami konsep
matematika disebabkan penggeneralisasian (penalaran) yang tidak tepat. Sejalan dengan Sumarmo
(1987), dari hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap penyelesaian soal
matematika memerlukan kemampuan penalaran dan pemahaman matematika. Kurangnya
kemampuan penalaran dan pemahaman matematika merupakan salah satu penyebab siswa tidak
mampu menyelesaikan masalah matematika dengan baik.
Menurut Sastrosudirjo (1988) kemampuan penalaran meliputi (a) penalaran umum yang
berhubungan dengan kemampuan menemukan penyelesaian atau pemecahan masalah, (b)
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

171

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kemampuan berdedukasi yaitu kemampuan yang berhubungan dengan penarikan kesimpulan


seperti pada silogismedan yang berhubungan dengan kemampuan menilai implikasi dari suatu
argumen dan, (c) kemampuan untuk melihat hubungan, tidak hanya hubungan benda-benda tetapi
juga hubungan antara ide-ide dan kemudian mempergunakan hubungan itu untuk memperoleh
benda-benda atau ide-ide lain. Dengan demikian, kemampuan penalaran merupakan bekal yang
penting dalam menyelesaikan persoalan-persoalan matematika. Rendahnya kemampuan penalaran
siswa akan mempengaruhi kualitas belajar siswa yang berdampak pada rendahnya prestasi siswa
disekolah. Hal ini disebabkan materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan latihan
melalui belajar materi matematika. Matematika sebagai ilmu dasar mempunyai peranan sangat
penting untuk mencapai keberhasilan pembangunan dalam segala bidang.
Pernyataan tersebut berlandaskan pada asumsi bahwa penguasaan matematika akan menjadi sarana
yang ampuh untuk mempelajari mata pelajaran lain, baik pada jenjang pendidikan yang sama
maupun pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal di atas didukung oleh hasil penelitian
selama 15 tahun terakhir di Indonesia, menunjukan bahwa prestasi belajar dalam mata pelajaran
matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar dalam mata pelajaran lain, baik pelajaran
eksakta maupun non eksakta (Fitrie, 2002:2). Penulis menawarkan suatu alternatif untuk
pembelajaran yaitu pendekatan Analogi yang diperkenalkan oleh Shurter dan Pierce (Sumarmo,
1987:40) menyatakan analogi merupakan penalaran dari satu hal tertentu kepada satu hal lain yang
serupa kemudian menyimpulkannya.
Penalaran adalah daya pikir seseorang dalam menarik dan menyimpulkan sesuatu, menurut
Suherman dan Winataputra (1993:222) penalaran merupakan proses berpikir yang dilakukan
dengan suatu cara untuk menarikan kesimpulan. Adapun istilah penalaran sebagai terjemahan dari
istilah reasoning dapat didefinisikan sebagai proses pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta
dan sumber yang relevan (Shurter dan Price dalam Sumarmo, 1987:31). Proses penalaran,
pengambilan kesimpulan, dan penyelesaian masalah merupakan aktifitas mental yang membentuk
inti berfikir, ketiga proses tersebut merupakan kegiatan berpikir atau proses kognitif, proses
kognitif itu saling berkaitan satu dengan yang lainnya (Matlin, 1994, 378). Secara garis besar
terdapat dua jenis penalaran yaitu penalaran induktif yang disebut pula induksi dan penalaran
deduktif yang kemudian disebut pula deduksi. Penalaran induktif adalah suatu proses berfikir yang
berupa penarikan kesimpulan yang umum atas dasar pengetahuan tentang hal yang khusus
(Suriasumantri, 1998:46). Ini berarti bahwa untuk memperoleh kesimpulan dalam penalaran
induktif dari sekumpulan faktafakta yang ada. Penalaran induktif melibatkan persepsi tentang
keteraturan misalnya mencari kesamaan dari faktafakta, contoh-contoh atau pola-pola yang
berbeda. Soekadijo (1999:134) mengatakan bahwa, penalaran indukrif terdiri dari tiga jenis, yaitu
generelasi, analogi dan sebab akibat. Penalaran Induktif yang penulis kaji dalam penelitian ini
adalah analogi.
Pendekatan analogi adalah membandingkan dua hal yang berlaianan berdasarkan keserupaannya,
kemudian menarik kesimpulan atas dasar keserupaan tersebut. Pendekatan analogi salah satu teknik
mengajar yang berusaha menciptakan suatu cerita mengilustrasikan suatu konsep. Ada dua analogi,
yaitu analogi induktif dan analogi deklaratif atau analogi penjelas (Mundiri, 2000 :137). Oleh
karena itu analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelas atau sebagai dasar penalaran. Shurter dan
Pierce (Sumarmo, 1987 : 40) menyatakan analogi merupakan penalaran dari satu hal tertentu
kepada satu hal lain yang serupa kemudian menyimpulkannya. Analogi induktif adalah analogi
yang disusun berdasarkan prinsipil yang berbeda antara dua fenomena. Sebagai contoh, misalnya
terdapat kesamaan antara manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya, antara lain tumbuhtumbuhan memerlukan makanan dan air untuk tumbuh, berkembang biak, menjaga kelangsungan
hidupnya, seperti halnya manusia memerlukan makanan dan air untuk kelangsungan hidupnya.
Atas dasar keserupaan itulah maka tidak salah apabila kita menyimpulkan bahwa manusia dan
tumbuhan sama-sama memerlukan makanan dan air untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Sedangkan analogi deklaratif atau analogi penjelas merupakan suatu metode untuk
menjelaskan yang belum dikenal atau masih samara, dengan menggunakan hal yang sudah dikenal.
Sebagai contoh, ilmu pengetahuan itu dibangun oleh fakta-fakta sebagaimana rumah itu dibangun

172

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

oleh batu-batu dan bahan material lainnya. Walaupun tidak semua kumpulan fakta itu ilmu
sebagaimana semua kumpulan batu dan bahan material lainnya itu rumah.
Pembelajaran pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang dimana melibatkan lebih dari satu
unsure karena dalam pembelajaran berbagai karakter para peserta diamati secara seksama sehingga
perlakuan yang diberikan kepada tiap peserta didik sesuai dengan karakter dan kebutuhannya.
Dengan kata lain pembelajaran tidak dapat disederhanakan menjadi satu kesatuan untuk membatu
para pererta didik. Sumarmo (2013:246) mengatakan, pembelajaran tidak dapat disederhanakan
menjadi suatu resep untuk membatu siswa belajar. Dalam menajalani suatu proses kehidupan,
manusia pasti diahadapkan dengan berbagai persoalan dan berbagai permasalahan dari yang
sederhana sampai kepada masalah yang sangat kompleks. Untuk mecari solusi dari masalah yang
dihadapi diperlukan disposisi yang kuat dan perilaku yang cerdas. Costa (Sumarmo, 2013:248)
manamakan disposisi yang kuat dan perilaku yang cerdas dengan istilah kebiasaan berpikir (habit
of minds). Cosata (Sumarmo, 2013:248) mengidentifikasi enambelas kebisaaan berpikir, ketika
individu merespons masalah secara cerdas antara lain,
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
11)
12)
13)
14)
15)
16)

Bertahan atau pantang menyerah


Mengatur kata hati
Mendengarkan pendapat orang lain
Berpikir luwes
Berpikir metakognitif
Berusaha bekerja teliti dan tepat
Bertanya dan mengajukan pertanyaan
Memanfaatkan pengalaman lama
Berfikir dan berpenalaran secara jelas dan tepat
Memanfaatkan indera dalam mengumpulkan dan mengolah data
Mencipta, berkhayal dan berinovasi
Bersemangat dan merespons
Berani bertanggung jawab dan menghadapi resiko
Humoris
Berpikir saling bergantung
Belajar berkelanjutan

Polking (Sumarmo, 2013:376) mengemukakan, disposisi matematik menunjukan: a) rasa percaya


diri dalam menggunakan metamatika, memcahkan masalah, memberi alasan,
dan
mengpenalarankan gagasab, b) fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha
mencari metoda alternatif dalam memecahkan masalah, c) tekun mengerjakan tugas matematik, d)
minat, rasa ingin tahu, dan daya temu dalam melakukan tugas matematik, e) cenderung memonitor,
merepleksikan performance dan penalaran mereka sendiri, f) menilai aplikasi matematika ke situasi
lain dalam matematika dan pengalaman sehari-hari, g) apresiasi peran matematika dalam kultur dan
nilai, matematika sebagai alat, dan sebagai bahasa.
1.2.

Rumusan Masalah

Secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah pencapaian dan peningkatan
kemampuan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan analogi
lebih baik daripada cara biasa?
1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan
Menelaah pencapaian dan peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa
pembelajarannya menggunakan pendekatan analogi lebih baik daripada cara biasa.

yang

Manfaat Penelitian
1. Bagi Siswa, untuk dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar sehingga dapat mencapai
prestasi belajar yang lebih baik dan untuk membiasakan melatih siswa bekerja sama, saling
memberikan informasi pelajaran yang didapat, sehingga dapat mencapai tujuan yang di
inginkan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

173

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2. Bagi Pengajar, untuk dapat menerapkan representasi yang terbaik untuk suatu materi topik
tertentu, sehingga siswa dapat lebih memahami konsep materi tersebut dan menjadi rujukan
yang bermanfaat bagi para pengajar. Di samping itu, pendekatan analogi merupakan alternatif
strategi pembelajaran yang dapat diimplementasikan di sekolah menengah, khususnya di mata
pelajaran matematika. Pengajar juga perlu memperhatikan latar belakang siswa, karena tidak
semua siswa memiliki kemampuan yang sama.

2.

Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan disain kelompok kontrol pretespostes yang melibatkan dua kelompok. Metode eksperimen digunakan karena ada pemanipulasian
perlakuan, dimana kelas yang satu mendapat pembelajaran melalui pendekatan analogi dan kelas
yang lain mendapat pembelajaran dengan cara biasa, pada awal dan akhir kedua kelas diberi tes.
Sehingga desain penelitiannya adalah sebagai berikut :
A O
X
O
A O
O
Dimana,
A
: Pengambilan sampel secara acak kelas
O
: Pretes = postes kemampuan penalaranmatematik
X
: Pembelajaran dengan Pendekatan analogi
2.1 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
Kota Cimahi. Sedangkan yang menjadi sampel adalah kelas VII A dan VII B. Sampel dipilih
karena lokasi sekolah yang sangat strategis dan membaur dengan lingkungan sekitar. SMP tersebut
merupakan salah satu SMP pavorit yang ada di Kota Cimahi, jadi penulis ingin mengetahui sejauh
mana siswa-siswi SMP di Cimahi ini dalam daya nalar matematik atau penalaran matematikanya.
2.2 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen tes uraian untuk memperoleh data. Aturan yang digunakan
dalam penyusunan instrumen berdasarkan Panduan Kurikulum KTSP. Tes uraian terdiri dari tes
penalaran matematik.
Tes kemampuan disusun terdiri dari 5 soal untuk mengukur kemampuan penalaran matematik. Tes
matematika tersebut digunakan pada tes awal (pretes) dan tes akhir (postes). soal tes untuk
mengukur kemampuan penalaran matematik disusun dalam bentuk soal uraian dan skor jawaban
siswa disusun berdasarkan indikator kemampuan penalaran matematik

3.

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Kemampuan

Penalaran

s
SMI

Tabel 1.1
Rekapitulasi Hasil Penelitian
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Pretes % Postes % Gain Pretes % Postes % Gain
11,19 55,95 13,29 66,45 0,23 11,29 56,45 13,06 65,3 0,20
0,48
0,37
0,48
0,33
20

20

Terlihat pada Tabel 1.1 rata-rata skor pretes kemampuan penalaran matematis kelompok
eksperimen 11,19 dan kelompok kontrol 11,29 Dari kedua skor tersebut terlihat bahwa selisih ratarata antara kedua kelompok tersebut adalah 0,10 yang artinya rata-rata skor kemampuan penalaran
matematis kedua kelas tidak jauh berbeda. Simpangan baku rata-rata pretes kemampuan penalaran
matematis kelompok eksperimen 0,48 sedangkan kelompok kontrol 0,48. Selisih simpangan baku
antara kedua kelompok tersebut adalah 0,00 yang berarti kelompok eksperimen maupun kelompok
174

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kontrol memiliki sebaran data yang sama. Dilihat dari persentase rataan skor pretes kemampuan
penalaran matematis kelompok eksperimen 55,95% dan kelompok kontrol 56,45%, yang artinya
persentase kemampuan penalaran matematis kelompok kontrol sedikit lebih tinggi daripada
kelompok eksperimen.
Selanjutnya rata-rata nilai postes kemampuan penalaran matematis kelompok eksperimen adalah
13,29 dan kelompok konrol 13,06 menunjukkan selisih 0,23 yang berarti ada perbedaan antara
rata-rata kemampuan penalaran matematis kedua kelompok tersebut setelah diberi perlakuan.
Dilihat dari simpangan baku rata-rata postes kemampuan penalaran matematis kelompok
eksperimen 0,37 sedangkan kelompok kontrol 0,33 berarti sebaran data kelompok eksperimen
lebih besar daripada kelompok kontrol. Setelah diberi perlakuan, persentase rataan skor postes
kemampuan penalaran matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol masing-masing
menjadi 66,45% dan 65,3% yang artinya persentase kemampuan penalaran matematis kelompok
eksperimen lebih tinggi dibandingkan persentase kelompok kontrol.
d. Analisis Data Pretes Kemampuan Penalaran Matematis
Tabel 1.2 Hasil Analisis Data Pretes
Pretes
Uji Mann
Kelas
Uji Normalitas
St. dev
Whitney
x
(P-Value)
(P-Value)
0.028 (data tidak
0,48
Eksperimen 11,19
berdistribusi normal)
0.458
0.059 (data berdistribusi
11,29
0,48
Kontrol
normal)

Kesimpulan

H0 diterima

Berdasarkan Tabel 1.2 di atas, dapat dilihat bahwa kedua kelompok memiliki nilai signifikansi <
0,05, berdasarkan taraf signifikansi = 0.05 maka H0 diterima. Artinya data pretes kemampuan
penalaran siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berdistribusi normal. Karena data
kedua kelompok tidak berdistribusi normal maka dilanjukan ke uji Mann Whitney. Karena data
pretes penalaran matematis kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak berdistribusi normal,
maka langkah selanjutnya adalah uji Mann Whitney.
Hipotesis statistiknya adalah:
Dengan hipotesis stastik yang dirumuskan sebagai berikut:
H0 : 1 2 Tidak terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematik siswa yang
pembelajarannya menggunakan pendekatan analogi dengan siswa yang
pembelajarannya menggunakan cara biasa
HA : 1 2 Terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematik siswa yang
pembelajarannya menggunakan pendekatan analogi dengan siswa yang
pembelajarannya menggunakan cara biasa
Keterangan :
1 = rata-rata kemampuan penalaran matematis kelompok eksperimen
2 = rata-rata kemampuan penalaran matematis kelompok kontrol
Kriteria Uji :
H0 diterima jika nilai Signifikansi > 0.05
H0 ditolak jika nilai Signifikansi < 0.05
Berdasarkan Tabel 1.2, diperoleh nilai Sig data pretes kelompok eksperimen dan kontrol
menunjukkan nilai 0.458 > 0.05, sehingga terima H 0 dengan kata lain tidak terdapat perbedaan
kemampuan awal penalaran matematis siswa yang yang mendapat pembelajaran melalui
pendekatan analogi dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

175

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

e. Analisis Data Postes Kemampuan Penalaran Matematis


Tabel 1.3 Hasil Analisis Data Postes
Postes
Kelas
St.
Uji Normalitas (PUji Mann
x
Dev
Value)
Whitney
0.000 (data tidak
Ekperimen 13,29 0,37
berditribusi normal)
0.000
0.000 (data tidak
13,06 0,33
Kontrol
berdistribusi normal)

Kesimpulan

H0 ditolak

Berdasarkan Tabel 1.3 di atas, hasil uji normalitas skor postes kemampuan penalaran matematis
siswa kelas eksperimen memiliki nilai signifikansi 0.000 dan kelas kontrol memiliki nilai
signifikansi 0.000. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa kedua kelas memiliki nilai
signifikansi < 0,05, berdasarkan taraf signifikansi = 0.05 maka H0 diterima artinya data postes
kemampuan penalaran siswa tidak berdistribusi norma maka dilanjukan ke uji Mann Whitney.
Hipotesis 1:
Pencapaian kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat pembelajaran pendekatan
analogi lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa.
Dengan hipotesis statistik dirumuskan sebagai berikut :
H 0 : 1 2 Pencapaian kemampuan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan analogi kurang dari atau sama dengan secara signifikan
siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa
H A : 1 2 Pencapaian kemampuan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan analogi lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya
menggunakan cara biasa
Keterangan :
1 = rata-rata kemampuan penalaran matematis kelompok eksperimen
2 = rata-rata kemampuan penalaran matematis kelompok kontrol
Kriteria Uji :
H0 diterima jika nilai Signifikansi > 0.05
H0 ditolak jika nilai Signifikansi < 0.05
Berdasarkan Tabel 1.3 hasil uji-t skor postes kemampuan penalaran matematis kelas eksperimen
dan kelas kontrol nilai Sig. (2-tailed) adalah 0.000. Maka didapat nilai Sig. (1-tailed) 0.000. Nilai
Sig 0.000 < 0.05 maka H0 ditolak dengan kata lain rata-rata pencapaian kemampuan penalaran
matematis siswa yang mendapat pembelajaran pendekatan analogi lebih baik daripada siswa yang
mendapat pembelajaran biasa.
f.

Analsis Data Gain Ternormalisasi Kemampuan Penalaran


Tabel 1.4 Hasil Analisis Gain
Gain
Kelas
St.
Uji Normalitas (P-Value)
Uji t
Kesimpulan
x
Dev
0.06 (data tidak
Ekperimen 0,23 0,04
berdistribusi normal)
0.000
H0 ditolak
0.02 (data tidak
0,20 0,03
Kontrol
berdistribusi normal)
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa kedua kelas memiliki nilai signifikansi nilai
signifikansi P-value < 0,05, berdasarkan taraf signifikansi = 0.05 maka H0 ditolak. Artinya data
N-gain kemampuan penalaran matematis tidak berdistribusi normal. Karena kedua data tidak
berdistribusi normal maka dilanjukan ke uji Mann Whitney.
Hipotesis 2:
Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat pembelajaran pendekatan
analogi lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa.

176

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Dengan hipotesis statistik dirumuskan sebagai berikut :


H 0 : 1 2 Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan analogi kurang dari atau sama dengan secara signifikan
siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa
H A : 1 2 Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan analogi lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya
menggunakan cara biasa
Keterangan :
1 = rata-rata peningkatan kemampuan penalaran matematis kelompok eksperimen
2 = rata-rata peningkatan kemampuan penalaran matematis kelompok kontrol
Kriteria Uji :
H0 diterima jika nilai Signifikansi > 0.05
H0 ditolak jika nilai Signifikansi < 0.05
Berdasarkan Tabel 1.4 hasil uji-t perbedaan rata-rata N-Gain kemampuan penalaran matematis
kelas eksperimen dan kelas kontrol nilai Sig 0,000 < 0.05 maka H0 ditolak dengan kata lain
peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat pembelajaran pendekatan
analogi lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa
g. Analsis skala disposisi matematik
Skala sikap disposisi matematik tersebut diukur dengan menggunakan 30 item pernyataan
yang dikelompokkan kedalam dua jenis pernyataan yaitu pernyataan positif dan negatif dengan
jumlah masing-masing jenis pernyataan adalah 16 pernyaatan postif dan 14 pernyataan negatif.
Hasil analisis angket disposisi matematik siswa di SMP kelas VII terhadap pembelajaran
pendekatan analogi secara umum di gambarkan pada Tabel 1.5.

H 0 : 1 2
H A : 1 2
Keterangan :
1 : rata-rata populasi yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe think pair
share
2 :rata-rata populasi yang menggunakan pembelajaran biasa
H0 : Disposisi matematik siswa yang pembelajarannya melalui pendekatan analogi sama
dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional
HA : Disposisi matematik siswa yang pembelajarannya melalui pendekatan analogi lebih
baik dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional
Dengan probabilitas = 0.05 atau 5%.

Hasil uji Mann Whitney postes disposisi matematik hasilnya disajikan sebagai berikut :
Tabel 1.5
Uji T Postes Disposisi Matematik Kelas Eksperimen Dan Kelas Kontrol
Kelas
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol

Mean
76.92
73.58

St.dev
9.86
9.32

P-value
0.028

Berdasarkan data pada Tabel 1.6 terlihat dari rata-rata kelas eksperimen 76.92 dan kelas kontrol
73.58 setelah dilakukan Uji t didapat P-Value 0.028 yang artinya H0 di tolak artinya, disposisi
matematik siswa pembelajarannya melalui pendekatan analogi lebih baik dari pada yang
menggunakan pembelajaran konvensional.
4. Kesimpulan
1) Pencapaian kemampuan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan analogi lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa .
2) Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan analogi lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

177

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3) Kemampuan disposisi matematik siswa pembelajarannya melalui pendekatan analogi lebih


baik dari pada yang menggunakan pembelajaran konvensional

Daftar Pustaka
Fitrie, N. (2002). Pengembangan Kemampuan dan Komunikasi Mateamtika Sisawa SLTP Melalui
Aktivitas Berbicara, Mendengar, dan Menulis Matematika. Skripsi FPMIPA UPI Bandung:
Tidak dipublikasikan.
Matlin, M.W, (1994). Cognition (third ed). New York : Harcourt Brace Mathematics (7 th ed).
California : Wadswort.
Mundiri. (2000). Logika. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
Dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito
Soekadijo, R.G (1999). Logika Dasar. Jakarta : Gramedia
Suherman, E dan Winataputra, U. (1993). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta:
Depdikbud.
Sumarmo, (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMA Dikaitkan
dengan Kemempuan Penalaran Logik dan Sikap Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi
UPI: Tidak Diterbitkan.
Sumarmo (2013). Berpikir dan Disposisi Matematik Serta Pembelajarannya. Kumpulan Makalah.
UPI. Bandung: Tidak Terbitkan.
Suriasumantri, J.S. (1998). Filsapat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan.

178

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN PENDEKATAN PROBLEM POSING UNTUK


MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA SMP
Indah Puspita Sari
STKIP Siliwangi
chiva.aulia@gmail.com

ABSTRAK
Keberhasilan siswa dalam pembelajaran matematika dipengaruhi oleh berbagai factor.
Kemampuan matematis menjadi salah satu factor yang mempengaruhi keberhasilan sehingga
kemampuan matematis siswa menjadi aspek penting yang harus dimiliki oleh siswa. Selain
kemampuan matematis, terdapat aspek lain yang memberikan pengaruh terhadap keberhasilan.
Aspek tersebut adalah aspek psikologis yaitu kepercayaan diri siswa. Kepercayaan diri yang
baik dapat menghilangkan kecemasan siswa dalam proses belajar sehingga siswa dapat berhasil
dalam belajar matematika. Tetapi kenyaataan dilapangan memperlihatkan bahwa kepercayaan
diri siswa masih rendah. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah pendekatan yang dapat
meningkatkan kemampuan kepercayaan diri siswa. Pendekatan problem posing merupakan
salah satu pendekatan yang diyakini dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa
Kata Kunci: Kepercayaan Diri, Pendekatan Problem Posing

1.

Pendahuluan

Dalam pembelajaran matematika, kemampuan matematis merupakan aspek penting yang perlu
dimiliki oleh siswa. Selain kemampuan matematis, terdapat aspek lain yang juga memberikan
pengaruh yang signifikan dalam pembelajaran matematika yaitu aspek psikologis. Seperti yang
termuat dalam peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, tercantum tujuan penyelenggaraan pembelajaran adalah untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang a) beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan berkepribadian luhur; b) berilmu, cakap, kritis, kreatif,
dan inovatif; d) sehat, mandiri, dan percaya diri; dan d) toleran, peka sosial, demokratis, dan
bertanggung jawab. Sejalan dengan Kurikulum 2004 (Depdiknas, 2003) menyatakan bahwa tujuan
diberikannya mata pelajaran matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan:
1. Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, menjelaskan keterkaitan antar
konsep dan algoritma, secara luwes, akurat, efisiensi, dan tepat dalam memecahkan masalah.
2. Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, table, grafik atau diagram
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
3. Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
4. Menunjukkan kemampuan strategic dalam membuat (merumuskan), menafsirkan, dan
menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah.
5. Memiliki sikap menghargai matematika dalam kehidupan, yaitu rasa ingin tahu, perhatian dan
minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam matematika.
Berdasarkan tujuan penyelenggaraan pembelajaran tersebut, terlihat bahwa kepercayaan diri
menjadi salah satu aspek psikologis yang harus dimiliki siswa. Aspek psikologis ini memberikan
kontribusi terhadap keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas atau soal dengan baik
sejalan dengan Leonard (2010) yang menyatakan bahwa hasil belajar matematika siswa
dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya sikap siswa pada matematika, konsep diri dan
kecemasan siswa dalam belajar matematika. Kepercayaan diri seorang siswa akan mengurangi
kecemasan siswa dalam proses pembelajaran matematika. Selanjutnya, menurut Hannula, Maijala

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

179

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

& Pehkonen (Fitriani, 2014), jika siswa memiliki kepercayaan diri yang baik, maka ia dapat sukses
dalam belajar matematika.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri menjadi salah satu factor
keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran matematika. Namun hasil penelitian dari Third
International Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukkan bahwa kepercayaan diri
siswa Indonesia masih rendah yaitu 30% (Fitriani, 2014).
Pendekatan problem posing merupakan sebuah pendekatan yang diyakini dapat meningkatkan
kepercayaan diri siswa. Pendekatan problem posing memberikan kesempatan kepada siswa untuk
bersikap aktif dalam pembelajaran di kelas. Siswa dituntut untuk mengemukakan ide-ide mereka
pada saat membuat soal dari situasi yang diberikan sehingga dengan sendirinya kepercayaan diri
mereka terbentuk.

2.

Kajian Teoritis dan Pembahasan


2.1. Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri (self confidence) dapat diartikan sebagai suatu kepercayaan terhadap diri sendiri
yang dimiliki setiap individu dalam kehidupannya, serta bagaimana individu tersebut memandang
dirinya secara utuh dengan mengacu pada konsep diri (Hendriana, 2009). Menurut Lauster
(Rustanto, 2013) kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri
sendiri, sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan
hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi
dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri
sendiri. Sedangkan kepercayaan diri menurut Sirodj dan Ismawati (2010) adalah keyakinan
seseorang untuk mampu berperilaku sesuai dengan yang diharapkan dan diinginkan serta
keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat menguasai suatu situasi dan menghasilkan sesuatu yang
positif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah
keyakinan terhadap dirinya sendiri bahwa dia mampu bertindak sesuai dengan yang diharapkan,
mampu mengatasi situasi dan selalu bersikap positif serta memiliki dorongan untuk berprestasi.
Kepercayaan diri kadang-kadang diwujudkan secara berlebihan oleh seseorang, bahkan
kesombongan dapat diartikan sebagai kepercayaan diri yang berlebihan.
Lauster (Ghufron & Rini, 2011) menyatakan bahwa ada beberapa aspek dari kepercayaan diri,
yaitu:
1. Keyakinan akan kemampuan diri.
Keyakinan akan kemampuan diri yaitu sikap positif seseorang tentang dirinya bahwa dia
bersungguh-sungguh akan apa yang dilakukanya.
2. Optimis
Optimis yaitu sikap positif seseorang yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi
segala hal tentang diri, harapan dan kemauan.
3. Obyektif
Obyektif yaitu orang yang percaya diri memandang permasalahan atau segala sesuatu sesuai
dengan kebenaran semestinya, bukan menurut kebenaran pribadi atau menurut dirinya sendiri.
4. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab yaitu seseorang yang bersedia untuk menanggung segala sesuatu yang
menjadi konsekuensinya.
5. Rasional dan realistis
Rasional dan realistis yaitu analisa tehadap suatu masalah, suatu hal, suatu kejadian dengan
menggunakan pemikiran yang diterima oleh akal sesuai dengan kenyataan.
Selanjutnya Preston (Hapsari, 2011) menyebutkan bahwa aspek-aspek pembangun kepercayaan diri
adalah self-awareness (kesadaran diri), intention (niat), thinking (berpikir positif dan rasional),
imagination (berpikir kreatif pada saat akan bertindak), act (bertindak). Sedangkan Surya (Hapsari,
2011) mengungkapkan bahwa aspek psikologis yang mempengaruhi dan membentuk percaya diri
merupakan gabungan unsur karakteristik citra fisik, citra psikologis, citra sosial, aspirasi, prestasi,
dan emosional, antara lain: 1) Self-Control (Pengendali diri), 2) suasana hati yang sedang dihayati,

180

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3) citra fisik, 4) citra sosial, dan 5) self-image (citra diri) ditambah aspek keterampilan teknis, yaitu
kemampuan menyusun kerangka berpikir dan keterampilan berbuat dalam menyelesaikan masalah.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka aspek-aspek yang membentuk kepercayaan diri
adalah kesadaran diri, berpikir positif, optimis, objektif, bertanggung jawab dan mampu
menyelesaikan masalah.
Menurut Hakim (2002) rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang tetapi ada
proses tertentu di dalam pribadinya sehingga terjadilah pembentukan rasa percaya diri.
Terbentuknya rasa percaya diri yang kuat terjadi melalui proses sebagai berikut:
1. Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses perkembangan yang melahirkan
kelebihan-kelebihan tertentu.
2. Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan melahirkan
keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala sesuatu dengan memanfaatkan kelebihan
kelebihannya.
3. Pemahaman dan reaksi positif seseorang terhadap kelemahan-kelemahan yang dimilikinya
agar tidak menimbulkan rasa rendah diri atau rasa sulit menyesuaikan diri.
4. Pengalaman didalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan menggunakan segala
kelebihan yang ada pada dirinya.
Terdapat beberapa karakteristik untuk menilai kepercayaan diri individu seperti yang dikemukakan
Lauster (Rustanto, 2013), diantaranya: (a) Percaya kepada kemampuan sendiri, yaitu suatu
keyakinan atas diri sendiri terhadap segala fenomena yang terjadi yang berhubungan dengan
kemampuan individu untuk mengevaluasi serta mengatasi fenomena yang terjadi tersebut, (b)
Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, yaitu dapat bertindak dalam mengambil keputusan
terhadap apa yang dilakukan secara mandiri tanpa banyak melibatkan orang lain. Selain itu,
mempunyai kemampuan untuk meyakini tindakan yang diambilnya tersebut, (c) Memiliki konsep
diri yang positif, yaitu adanya penilaian yang baik dari dalam diri sendiri, baik dari pandangan
maupun tindakan yang dilakukan yang menimbulkan rasa positif terhadap diri sendiri, (d). Berani
mengungkapkan pendapat, yaitu adanya suatu sikap untuk mampu mengutarakan sesuatu dalam
diri yang ingin diungkapkan kepada orang lain tanpa adanya paksaan atau hal yang dapat
menghambat pengungkapan perasaan tersebut.
2.2

Pendekatan Problem Posing

Problem posing merupakan istilah dari bahasa Inggris yang memiliki padanan kata pembentukan
soal. Mengenai definisi pembentukan soal, Suyanto (Darnati, 2001) menyatakan bahwa
pembentukan soal ialah perumusan soal atau mengerjakan soal dari suatu situasi yang tersedia, baik
dilakukan sebelum, ketika, atau setelah pemecahan masalah.
Hamzah (2003) mengemukakan bahwa problem posing adalah:
1. Rumusan masalah matematika sederhana atau perumusan ulang masalah yang telah diberikan
dengan beberapa cara dalam rangka menyelesaikan masalah yang rumit.
2. Perumusan masalah matematika yang berkaitan dengan syarat-syarat pada masalah yang
dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan masalah yang relevan.
3. Merumuskan atau mengajukan pertanyaan matematika dari situasi yang diberikan, baik
diajukan sebelum, pada saat atau setelah pemecahan masalah.
Selanjutnya Silver (Hamzah, 2003) menemukan bahwa pendekatan problem posing merupakan
suatu aktivitas dengan dua pengertian yang berbeda, yaitu:
1. Proses pengembangan matematika yang baru oleh siswa berdasarkan situasi yang ada.
2. Proses memformulasikan kembali masalah matematika dengan kata-kata sendiri berdasarkan
situasi yang diberikan.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa problem posing
bukan hanya pembentukan soal yang betul-betul baru, tetapi dapat berarti mereformulasi soal-soal
yang sudah ada. Ada beberapa cara pembentukan soal baru dari soal yang sudah ada, misalnya
dengan mengubah atau menambah data atau informasi pada soal itu, misalnya mengubah bilangan,
operasi, objek, syarat, atau konteksnya.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

181

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Dalam pembelajaran matematika, problem posing (pengajuan soal) menempati posisi yang
strategis. Sehubungan dengan hal ini, Silver dan Cai (Herdian, 2009) menulis: Problem posing is
central important in the discipline of mathematics and in the nature of mathematical thinking.
Dapat dikatakan bahwa problem posing adalah bagian penting dan tidak terpisahkan dari
matematika itu sendiri. Silver dan Cai (Herdian, 2009) mengklasifikasikan tiga aktivitas koginitif
dalam pembuatan soal sebagai berikut.
a. Pre-solution posing, yaitu pembuatan soal berdasarkan situasi atau informasi yang diberikan.
b. Within-solution posing, yaitu pembuatan atau formulasi soal yang sedang diselesaikan.
Pembuatan soal demikian dimaksudkan sebagai penyederhanaan dari soal yang sedang
diselesaikan. Dengan demikian, pembuatan soal demikian akan mendukung penyelesaian soal
semula.
c. Post-Solution Posing. Strategi ini juga disebut sebagai strategi find a more
challenging problem. Siswa memodifikasi atau merevisi tujuan atau kondisi soal yang telah
diselesaikan untuk menghasilkan soal-soal baru yang lebih menantang. Pembuatan soal
demikian merujuk pada strategi what-if-not ? atau what happen if . Beberapa teknik
yang dapat digunakan untuk membuat soal dengan strategi itu adalah sebagai berikut.
a. Mengubah informasi atau data pada soal semula
b. Menambah informasi atau data pada soal semula
c. Mengubah nilai data yang diberikan, tetapi tetap mempertahankan kondisi atau situasi soal
semula.
Mengubah situasi atau kondisi soal semula, tetapi tetap mempertahankan data atau informasi yang
ada pada soal semula.
2.3 Teori Belajar
Berikut ini adalah beberapa teori belajar yang melandasi pendekatan problem posing, diantaranya
adalah:
1. Teori Konstruktivisme
Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) kognitif oleh
seseorang terhadap obyek, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer
begitu saja dari pikiran orang yang mempunyai pengetahuan ke pikiran orang yang belum memiliki
pengetahuan, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya.
Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terusmenerus (Suparno, 1997).
Von Glasersferd (Suparno, 1997) mengungkapkan bahwa dalam proses konstruksi diperlukan
beberapa kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali
pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan
perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain.
2. Teori Konstruktivisme Personal
Teori konstruktivisme personal ini dikembangkan oleh Jean Piaget. Piaget (Suparno, 1997)
mengungkapkan bahwa teori pengetahuan pada dasarnya merupakan teori adaptasi pikiran ke
dalam suatu realitas. Ada empat konsep dasar teori konstruktivisme personal yaitu:
a. Skemata yaitu struktur kognitif dimana seseorang secara intelektual beradaptasi dan
mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema beradaptasi dan berubah selama perkembangan
mental anak. Skema berkembang menurut taraf kognitif seseorang yaitu sensori motor (02
tahun), praoperasional (27 tahun), operasi konkret (711 tahun), operasi formal (1115
tahun). Skemata dapat berbentuk skill, knowledge dan konsep, yang digunakan pemiliknya
ketika ia berinteraksi dengan apa yang ada di lingkungannya.
b. Asimilasi yaitu proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasian persepsi, konsep
ataupun pengetahuan baru ke dalam skema atau poal yang sudah ada dalam pikiran.
c. Akomodasi yaitu membentuk skema baru atau bisa juga memodifikasi skemata yang sudah
ada yang sesuai dengan rangsangan baru.
d. Equilibration merupakan proses penyeimbangan asimilasi dan akomodasi untuk menyatukan
pengalaman luar dengan skematanya.

182

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3. Teori Konstruktivisme Sosial


Teori konstruktivisme social atau yang lebih dikenal dengan teori Vygotsky. Vygotsky (Herdian,
2010) beranggapan bahwa pembelajaran terjadi apabila anak-anak bekerja atau belajar menangani
tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan
kemampuannya (zone of proximal development), yaitu perkembangan kemampuan siswa sedikit di
atas kemampuan yang sudah dimilikinya. Vygotsky (Herdian, 2010) juga menjelaskan bahwa
proses belajar terjadi pada dua tahap: tahap pertama terjadi pada saat berkolaborasi dengan orang
lain, dan tahap berikutnya dilakukan secara individual yang di dalamnya terjadi proses internalisasi.
Selama proses interaksi terjadi, baik antara guru-siswa maupun antar siswa, kemampuan seperti
saling menghargai, menguji kebenaran pernyataan pihak lain, bernegosiasi, dan saling mengadopsi
pendapat dapat berkembang.

3.

Penutup

Kepercayaan diri merupakan aspek psikologis yang memberikan kontribusi terhadap


keberhasilan siswa dalam menyelesaikan soal. Kepercayaan diri yang baik dapat
mengurangi tingkat kecemasan siswa dalam proses pembelajaran matematika sehingga
siswa dapat berhasil dalam matematika. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan
untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa adalah pendekatan problem posing.
DAFTAR PUSTAKA
Darnati, E.T. (2001). Upaya Peningkatan Aktivitas Belajar Melalui Pendekatan Problem Posing
pada Pembelajaran Matematika. Buletin Pelangi Pendidikan, Volume 4 No. 1.
Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA). Jakarta: Depdiknas.
Fitriani, N. (2014). Penerapan Pendekatan Pendidikan Matematik Realistik Secara Berkelompok
untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Self Confidence
Siswa SMP. Tesis pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan
Ghufron & Rini R.S. (2011). Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hakim, T. (2002). Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta: Purwa Suara.
Hamzah. (2003). Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika Siswa Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di Bandung Melalui Pendekatan Pengajuan Masalah.
Disertasi UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan
Hapsari, M.J. (2011). Upaya meningkatkan Self-confidence Siswa dalam Pembelajaran
Matematika
melalui
Model
Inkuiri
Terbimbing.
[OnLine].
Tersedia:
http://fmipa.uny.ac.id/semnasmatematika/content/mahrita-julia-hapsari-s-pd. [Juni 2014]
Hendriana. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematika Siswa Sekolah Menengah
Pertama. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UPI: Tidak diterbitkan
Herdian. (2009). Model Pembelajaran Problem Posing. http://herdy07.wordpress.com. [15 Maret
2014].
Ismawati, F & Sirodj, S. ( 2010). Perbedaan Self-Confidence dan Self-Regulated Learning antara
Siswa Kelas Imersi dan Siswa Reguler. Jurnal Penelitian psikologi 2010, vol. 01, no. 01,
75-86.
Leonard dan Supardi U.S. 2010. Pengaruh Konsep Diri, Sikap Siswa Pada Matematika, Dan
Kecemasan Siswa Terhadap Hasil Belajar Matematika. Cakrawala Pendidikan: FT dan
FMIPA Universitas Indraprasta PGRI.
Rustanto,
B.
(2013).
Kepercayaan
Diri.
[Online].
Tersedia:
http://bambangrustanto.blogspot.com/2013/08/konsep-kepercayaan-diri.html. [18 Agustus 2014]
Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.Yogyakarta: Kanisius.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

183

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN MEDIA KOMPUTER DENGAN


MENGGUNAKAN MACROMEDIA FLASH TERHADAP
HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP
Eva Dwi Minarti
STKIP Siliwangi
eva.arti@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bermaksud mengetahui adakah perbedaan hasil belajar matematika siswa yang
belajar melalui media komputer dengan menggunakan Macromedia Flash dengan siswa yang
belajar dengan pembelajaran biasa. Menurut metodenya, penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen. Populasi dan sampel yang diambil pada penelitian ini adalah SMP Negeri 47
Bandung sebanyak dua kelas, kelas yang dijadikan sampel dipilih secara stratified random
sampling (cara strata). Instrumen yang digunakan dalampenelitian ini adalah tes dan skala
sikap. Tes yang digunakan adalah tipe uraian. Skala sikap berisikan pernyataan-pernyataan
siswa mengenai pembelajaran matematika, pembelajaran matematika melalui media komputer
dengan menggunakan Macromedia Flash, dan pernyataan-pernyataan mengenai materi dan
soal-soal yang diberikan selama pembelajaran. Tes ini diuji cobakan terlebih dahulu kepada 36
siswa kelas IX SMP Negeri 47 Bandung. Berdasarkan hasil uji coba tersebut didapatkan
koefisien reliabilitas tinggi. Berdasarkan analisis data hasil penelitian diperoleh kesimpulan :
(1) Terdapat perbedaan hasil belajar matematika siswa yang belajar melalui media komputer
dengan menggunakan Macromedia Flash dengan hasil belajar matematika siswa yang belajar
dengan pembelajaran biasa. Setelah dilakukan uji Scheffe diketahui bahwa hasil belajar
matematika siswa yang belajar melalui media komputer dengan menggunakan Macromedia
Flash lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang belajar dengan pembelajaran biasa. (2)
Siswa bersikap positif terhadap pembelajaran melalui media komputer dengan menggunakan
Macromedia Flash, karena hal tersebut merupakan hal yang baru yang membuat siswa menjadi
lebih tertarik dalam mengikuti pembelajaran matematika. Hal ini ditandai dengan kesukaan
siswa terhadap pembelajaran matematika melalui media komputer dengan menggunakan
Macromedia Flash.
Kata Kunci: Hasil Belajar , Macromedia Flash, Media komputer

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Bidang Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Hal ini
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional bangsa Indonesia yaitu untuk mencerdaskan bangsa serta
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pencanangan pendidikan nasional di
Indonesia, diharapkan terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, maju, cerdas,
kreatif, profesional, dan produktif. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas, 2003) bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan sepiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serata
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan matematika sebagai ilmu dasar diajarkan pada setiap jenjang pendidikan
memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh
karena itu, pendidikan matematika merupakan ilmu dasar yang perlu mendapat perhatian yang

184

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

serius dari berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan
pendidikan. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan Ruseffendi (2006: 208) :
Kegunaan matematika besar, baik sebagai ilmu pengetahuan, sebagai alat, maupun sebagai
pembentuk sikap yang diharapkan. Matematika itu memegang peranan penting dalam pendidikan
di masyarakat baik sebagai objek langsung (fakta, kemampuan, konsep, prinsipel) maupun tak
langsung (bersikap kritis, logis, tekun, mampu memecahkan masalah dan lain-lain).
Selain itu Ruseffendi (2006: 208) mengemukakan kegunaan sederhana yang praktis dari
pengajaran matematika :
1) Dengan belajar matematika kita mampu berhitung dan mampu melakukan perhitunganperhitungan lainnya.
2) Dengan belajar matematika kita memiliki persyaratan untuk belajar bidang studi lain .
3) Dengan belajar matematika perhitungan menjadi lebih sederhana dan praktis.
4) Dengan belajar matematika diharapkan kita menjadi manusia yang tekun, kritis, logis,
bertanggung jawab, mapu menyelesaikan permasalahan.
Akan tetapi kondisi pembelajaran matematika dewasa ini tampak bahwa matematika masih
dianggap mata pelajaran yang kurang menyenangkan dan dianggap sukar, seperti yang
dikemukakan Ruseffendi (2006:253), Matematika merupakan mata pelajaran yang sukar
dipahami. Siswa yang diharapkan aktif dalam pembelajaran, pada kenyataannya justru lebih pasif
daripada guru yang mengajar. Kondisi yang dimaksud sesuai dengan penegasan Ansari (dalam
Rahman, 2006: 3) bahwa pada umumnya guru matematika masih menganut paradigma transfer of
knowlage atau teaching centered dan masih jarang bersifat student centered. Ruseffendi
(Yusyawati 2007: 3), mengemukakan Matematika (ilmu pasti) bagi anak-anak pada umumnya
merupakan mata pelajaran yang dibeci. Ketidak senagan tersebut kemungkinan disebabkan
sukarnya memahami masalah-masalah matematika dan kemampuan berpikir belajar mereka masih
rendah.
Berkenaan dengan peserta didik, Ruseffendi (2006 : 8) mengatakan bahwa Keberhasilan siswa
dalam belajar sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yakni faktor dalam dan faktor luar
siswa. Sesuai dengan kutipan di atas yang termasuk faktor dalam yaitu : kecerdasan anak,
kesiapan anak, bakat anak, kemampuan belajar dan minat anak. Sedangkan faktor luar yakni :
model penyajian materi, pribadi dan sikap guru, suasana belajar, kompetensi atau kemampuan
guru. Ruseffendi (2006: 100) mengemukakan, pada umumnya orientasi pengajaran matematika
itu kepada hasil, soal-soalnya terutama mengenai ingatan, pemahaman, keterampilan, disuapi dan
semacamnya. Sedangkan Wahyudin (1999) mengungkapkan bahwa selama ini pembelajaran
matematika didominasi oleh guru melalui metode ceramah dan ekspositorinya. Guru jarang
mengajak menganalisis siswa secara mendalam tentang suatu konsep dan jarang mendorong siswa
untuk menggunakan penalaran logis yang lebih tinggi seperti membuktikan konsep.
Sementara itu Marpaung (dalam Rahman, 2006: 3) menemukan masalah dalam pembelajaran
matematika yaitu antara lain :
(1) siswa hampir tidak pernah dituntut untuk mencoba strategi sendiri, atau cara alternatif
dalam memecahkan masalah; (2) siswa pada umumnya hanya duduk, mendengar dan
menulis. Sangat jarang siswa bebas berinteraksi dengan sesama selama pelajar berlasung;
dan (3) guru tidak berani mengambil keputusan yang bersifat kurikulum demi kepentingan
kelas.
Dengan demikian sampai saat ini pembelajaran matematika masih bermasalah dan memerlukan
inovasi-inovasi tertentu untuk memperbaikinya. Meskipun kenyataan proses dan hasil
pembelajaran matematika belum memuaskan, namun hal ini bukan berarti tidak ada peluang untuk
memperbaikinya. Khususnya untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa dalam
pembelajaran matematika, banyak cara dan mode yang dapat dilakukan. Salah satunya dengan
menerapkan media komputer dengan menggunakan Macromedia Flash. Model pembelajaran
seperti ini diharapkan salain mampu menumbuhkan minat belajar juga diharapkan mampu

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

185

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

meningkatkan hasil belajar siswa melalui kebiasaan berfikir dalam memahami dan memecahkan
masalah matematika. Pada akhirnya kebiasaan tersebut diharapkan akan mamberikan efek positif
terhadap prilaku siswa dalam menghadapi kehidupan sehari-hari mereka. Guru tidaklah dipahami
sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi dengan posisinya sebagai peran penggiat, guru pun
harus mampu merencanakan dan menciptakan sumber-sumber belajar lainnya sehingga tercipta
lingkungan belajar yang kondusip (Munadi, 2008: 5). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
menjadikan pembelajaran matematika diharapkan dapat lebih kondusip adalah dengan
menggunakan media pembelajaran salah satunya multimedia dalam proses pembelajaran
matematika. Rahman (2006: 5) mengemukakan beberapa alasan logis mengapa model
pembelajarannya yang menjadi penekanan dalam pengembangan hasil belajar dalam pembelajaran
matematika:
Pertama, model pembelajaran merupakan variable manipulatif, yang mana setiap guru memiliki
kebebasan untuk memilih dan menggunakan berbagai model pembelajaran sesuai dengan
karakteristik materi pembelajaran. Kedua, pengembangan model pembelajaran memiliki fungsi
sebagai instrumen yang membantu atau memudahkan siswa dalam memperoleh sejumlah
pengalaman belajar. Ketiga, pengembangan model pembelajaran dalam konteks peningkatan mutu
perolehan hasil belajar matematika siswa perlu diupayakan secara terus meneurus dan bersifat
komprehensif. Untuk mewujudkan harapan agar siswa memiliki hasil belajar yang baik, tentunya
dibutuhkan pula model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar. Melalui media
komputer dengan menggunakan program Macromedia Flash diharapkan dapat meningkatkan hasil
matematika belajar siswa.
Ruseffendi (2006 : 21) mengungkapkan, Kehidupan di dunia berubah, masyarakat berubah,
semua berubah. Untuk dapat menyesuaikan pengajarannya dengan perubahan itu, guru harus dapat
mengikuti perkembangan itu.Uraian di atas mendorong penulis untuk menerapkan model
pembelajaran yang disajikan dalam bentuk program interaktif. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
penulis mengambil judul: Pengaruh Media Komputer dengan Menggunakan Macromedia Flash
terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SMP.
1.2.

Rumusan Masalah

Merujuk pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah ada perbedaan hasil belajar matematika siswa yang belajar melalui media
komputer dengan menggunakan Macromedia Flash dengan siswa yang belajar biasa?
2. Apakah siswa yang belajar melalui media komputer dengan menggunakan
Macromedia Flash menunjukan sikap positif terhadap pembelajaran Matematika?
1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar matematika siswa yang belajar melalui
media komputer menggunakan Macromedia Flash dengan siswa yang belajar biasa.
2. Untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika yang belajar
dengan media komputer menggunakan Macromedia Flash.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi peneliti : mengetahui kontribusi penggunaan media komputer dengan
menggunakan Macromedia Flash terhadap hasil belajar matematika siswa.
2. Bagi guru : memberi alternatif pembelajaran matematika dengan mengunakan madia
komputer untuk mengatasi kejenuhan siswa dalam belajar.
3. Bagi peneliti lain : menjadi bahan pertimbangan untuk mengkaji lebih dalam tentang
penggunaan media komputer dengan menggunakan Macromedia Flash terhadap hasil
belajar matematika siswa, khususnya di sekolah menengah.
186

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

1.4.

Definisi Operasional

Supaya tidak terjadi salah penafsiran terhadap judul penelitian, maka berikut ini diberikan
penjelasan berkenaan dengan istilah-istilah yang digunakan :
a. Media komputer adalah penggunaan komputer sebagai alat untuk mendapatkan
informasi, dalam hal ini komputer berfungsi sebagai hardware (perangkat keras).
b. Macromedia Flash adalah sebuah program animasi yang banyak digunakan oleh para
Animator untuk menghasilkan animasi yang profesional. Program yang memungkinkan
pembuatan animasi seperti animasi interaktif, game, company profile, presentasi, movie
dan tampilan animasi lainnya.
f. Hasil belajar adalah kemampun yang diperoleh siswa dalam mempelajari materi
tertentu, setelah menempuh rentang waktu tertentu, yang dinyatakan dalam bentuk
angka-angka, nilai-nilai yang diperoleh dari hasil tes atau pengukuran dalam suatu
evaluasi. Adapun Hasil belajar yang diukur adalah pengetahuan (C1), pemahaman
(C2), penerapan (C3),dan analisis (C4).
2.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Berkaitan dengan
metode yang digunakan, dalam penelitian ini penulis melakukan eksperimen mengajar di
kelas dengan media komputer dengan menggunakan Macromedia Flash, untuk kelas
eksperimen dan metode ekspositori untuk kelas kontrol.
Adapun desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
O X O Kelas eksperimen
O
O Kelas kontrol
Dengan :

O = pretes/postes
X = pembelajaran dengan media komputer menggunakan Macromedia Flash
2.1 Populasi dan Sampel Penelitian

Pelaksanaan pembelajaran matematika dengan media komputer dapat diterapkan di setiap


jenjang pendidikan. Namun karena tidak semua sekolah memiliki laboratorium komputer,
maka yang menjadi subjek penelitian adalah hanya sekolah- sekolah yang mempunyai
fasilitas laboratorium komputer. Penelitian ini dilakukan di SMP. Sebab pada siswa-siswa
SMP berada pada masa transisi, yang masih bisa dibentuk sikapnya. Hal ini sejalan dengan
Kanopka (dalam Yusuf, 2006: 71): Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu
adalah masa (fase) remaja. Masa ini merupakan segmen kehidupan yang penting dalam
dalam siklus perkembangan individu, dan merupakan masa transisi yang dapat diarahkan
kepada perkembangan masa dewasa yang sehat.
Permasalahan yang diangkat dari penelitian ini berlaku untuk semua SMP di Indonesia
yang memiliki laboratorium komputer. Tetapi SMP yang ada di Indonesia sangat
heterogen, dengan kualitas yang berbeda-beda, tinggi sedang dan rendah. Jika diambil
populasi seluruh Indonesia, maka sampel yang diambil harus bisa mewakili semua SMP
yang memiliki laboratotium komputer dari kualitas tinggi, sedang, dan rendah. Agar
sampel tersebut representatif, dengan tetap memperhatikan keterbatasa waktu, tenaga, dan
biaya, penelitian ini hanya dilakuakan untuk kota Bandung. Sekolah-sekolah yang berada
di kota Bandung pun sangat heterogen, untuk memudahkan penyusun dalam penelitian,
maka penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 47 Bandung. Pemilihan SMP Negeri 47

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

187

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Bandung sebagai tempat penelitian didasari oleh pertimbangan terdapatnya laboratorium


komputer, siswa-siswanya dapat mengoperasikan komputer, dan fasilitas sekolah
mendukung untuk pembelajaran dengan media khususnya komputer. Kelas yang dijadikan
sampel dipilih secara stratified random sampling (cara strata), sebanyak dua kelas VIII dari
sepuluh kelas yang ada, satu untuk kelas eksperimen dan satu untuk kelas kontrol.
2.2 Instrumen Penelitian
Instrumen yang dibuat dalam penelitian ini adalah seperangkat tes hasil belajar matematik
berbentuk uraian, yang berindikatorkan: pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan
(C3),dan analisis (C4). Instrument pembelajaran yang terdiri dari RPP dan LKS. Skala
sikap digunakan untuk mengetahui sikap siswa terhadap penggunaan media komputer
dengan menggunakan Macromedia Flash dalam upaya meningkatkan hasil pembelajaran
metematika. Perhitungan skala sikap yang dipergunakan adalah skala Likert. Instrumen
skala sikap terdiri dari 30 pernyataan. Pendapat siswa terhadap suatu pernyataan terbagi
menjadi lima pilihan, yaitu: SS (Sangat Setuju), S (Setuju), N (Netral), TS (Tidak Setuju),
STS (Sangat Tidak Setuju).
2.3 Teknik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan terbagi menjadi 2 bagian. Data yang dianalisis secara kuantitatif
adalah data yang diperoleh dari hasil pretes dan postes dengan menggunakan SPSS 16.0 for
Windows, dan analisis data kualitatif yaitu analisis data untuk skala sikap menggunakan skala
Likert dan menghitung rata-rata skor subyek. Data diolah dengan cara menjumlahkan skor sikap
tiap siswa lalu dibagi dengan banyaknya siswa yang memilih tiap kategori.

3.

Hasil dan dan Pembahasan

Berdasarkan hasil tes yang diberikan sebelum mendapatkan pembelajaran (pretes), terlihat nilai
rerata kelompok eksperimen tidak jauh berbeda dengan nilai rerata kelompok kontrol. Selain itu,
setelah dianalisis melalui pengujian hipotesis dengan uji-t pada taraf signifikasi 0.05, ternyata hasil
belajar matematika siswa sebelum mendapatkan pembelajaran menggunakan media komputer
dengan program Macromedia Flash dan hasil belajar matematika siswa dengan pembelajaran biasa,
tidak terdapat perbedaan kemampuan awal pada kedua kelas tersebut.
Setelah melakukan pembelajaran dan dilakukan tes akhir terlihat bahwa nilai rerata kedua kelas
berbeda. Nilai rerata pada kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol. Terdapat berbedaan hasil
belajar kelas eksperimen dan kelas kontrol, lalu untuk mengetahui kebermaknaan pembelajaran dan
mengetahui kelas mana yang lebih baik dilakukan uji Scheffe. Uji tersebut menunjukan bahwa
kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol, sehingga dapat disimpulkan hasil belajaran
matematika yang menggunakan komputer dengan program Macromedia Flash lebih baik dari hasil
belajar siswa yang menggunakan pembelajaran biasa.
Berdasarkan hasil skala sikap, terlihat bahwa siswa memberikan respon positif dan menaruh minat
terhadap pembelajaran matematika menggunakan media komputer. Artinya hasil ini sesuai dengan
apa yang diutarakan Hamalik (Winarti 2009, 53)
Media pendidikan membangkitkan keinginan dan minat-minat yang baru. Melalui alat/media para
siswa akan memperoleh pengalaman lebih luas dan lebih kaya. Dengan demikian persepsinya akan
menjadi lebih tajam dan pengrtiannya menjadi lebih cepat. Dan akan menimbulkan keinginankeinginan serta minat yang baru.Dari pernyataan yang peneliti berikan pada siswa, umumnya
mereka setuju bahwa menggunakan media komputer membantu mereka dalam menemukan
gagasan atau ide baru, dapat mengurangi ketidak senangan siswa terhadap matematika, dan
menambah minat mereka dalam pelajaran matematika.

188

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Dilihat dari sikap siswa terhadap pembelajaran matematika terhadap media komputer menunjukan
sikap positif. Hasil ini sesuai dengan apa uang dikemukakan oleh Ruseffendi (2006 : 22), alat bantu
pengajaran itu menambah siswa bersikap positif dan membantu pemahaman terhadap bidang
studinya, siswa yang belajar matematikanya menggunakan alat peraga atau pengajaranya, sikapnya
terhadap matematika lebih positif dan penguasaanya lebih baik daripada mereka yang tak
menggunakanya.
Berdasarkan hasil analisis skala sikap di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa siswa
memberikan sikap yang positif terhadap pembelajaran menggunakan media komputer dengan
Macromedia Flash. Hasil skala sikap dan tes menunjukan bahwa penerapan model pembelajaran
menggunakan media komputer dengan Macromedia Flash, terdapat perbedaan dan memiliki hasil
yang lebih baik serta bedampak positif terhadap sikap siswa.

4.

Kesimpulan

Berdasarkan data penelitian dan analisi data serta pengujian hipotesis dalam penelitian ini,
maka dapat disimpulkan :
1) Terdapat perbedaan hasil belajar matematika siswa yang belajar melalui media komputer
dengan menggunakan Macromedia Flash dengan siswa yang belajar biasa. Hal ini ditandai
dengan nilai Sig.(2-tailed) untuk Uji Mann-Whitney yang bernilai 0,01. Dilakukan uji Scheffe
untuk mengetahui kelompok mana yang lebih unggul, dan hasinya adalah kelas eksperimen
lebih baik dari kelas kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil
belajar matematika siswa yang belajar melalui pembelajaran menggunakan media komputer
dengan Macromedia Flash dengan hasil belajar matematika siswa yang belajar
menggunakan pembelajaran biasa, dan siswa yang belajar melalui pembelajaran
menggunakan media komputer dengan Macromedia Flash memiliki hasil yang lebih baik.
2) Siswa menunjukan sikap positif terhadap pembelajaran matematika melalui media komputer
dengan menggunakan Macromedia Flash, karena pembelajaran tersebut merupakan hal yang
baru yang membuat siswa menjadi lebih tertarik mengikuti pembelajaran matematika. Hal
ini ditandai dengan kesukaan siswa terhadap pembelajaran matematika melalui media
komputer dengan menggunakan Macromedia Flash.

5. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa saran berhubungan dengan penelitian ini, antara lain:
1) Pembelajaran matematika melalui media komputer dengan menggunakan Macromedia Flash
memerlukan waktu yang cukup banyak dalam implementasinya, maka disarankan untuk
merancang bahan ajar sedemikian rupa sehingga waktu yang tersedia dapat dimanfaatkan
dengan baik.
2) Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan dengan materi lain atau varibel terikat lain untuk
melihat efektifitas yang lebih nyata mengenai penggunaan media komputer.

DAFTAR PUSTAKA
Munadi, Yudhi.(2008). Media Pembelajaran. Ciputat : Gaung Persada Press.
Rahman, Ade.(2006). Pembelajaran Matematika Interaktif Berbasis Komputer Tipe Guided
Reinvention untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMA
(Studi Eksperimen pada SMA Negeri 9 Bandung).Skripsi Pendidikan Matematika FMIPA
UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Ruseffendi,E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensi dalam
Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam
Pelajaran Matematika (Disertasi). Bandung: IKIP Bandung.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

189

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Winarti,Y.E.(2009). Penerapan Model Pembelajaran Matematika Interaktif Berbasis Media


Komputer untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika SMA (Penelitian Eksperimen
pada Siswa Kelas X SMAN 1 Banjaran). Skirpsi. Jurusan Pendidikan Matematika FKIP
UNPAS Bandung. Tidak Diterbitkan.
Yuliawati, L. (2003). Pemahaman Siswa SLTP terhadap Konsep Matematika Melalui
Pembelajaran dengan Pendekatan Realistik. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika
FPMIPA UPI: Tidak diterbitkan.
Yusuf, Syamsu.(2006). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.

190

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

IMPLEMENTASI LESSON STUDY UNTUK


MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES
MATEMATIKA SEKOLAH TERHADAP CALON PENDIDIK
Ratna Sariningsih
STKIP Siliwangi
ratnasari_ning@ymail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, keterampilan proses
matematika sekolah melalui Implementasi Lesson Study. Adapun pelaksanaannya dengan
tahapan yaitu, plan, do, dan see. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan dengan
pendekatan kualitatif-deskriptif yang dilaksanakan selama 4 siklus. Subjek penelitian adalah
seluruh mahasiswa A2 angkatan 2012 Pendidikan Matematika Reguler. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan terdapat peningkatan keterampilan proses dengan menngunakkan
lesson study.
Kata Kunci: Lesson Study, Keterampilan Proses, Penguasaan Konsep Matematika Sekolah

1. Pendahuluan
1.1.

Latar Belakang Masalah

Pembelajaranmerupakan suatu proses pembentukan pengetahuan oleh siswa yang difasilitasi guru
untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Di dalam proses pembelajaran sangat sering
ditemukan permasalahan yang menghambat keberhasilan siswa dalam mencapai keberhasilan
tersebut. Namun permasalahan merupakan hal yang wajar ditemukan dalam dinamika
pembelajaran yang dialami oleh siswa. Berbagai faktor penyebab terjadinya permasalahan
penghambat pembelajaran telah coba dianalisa penyebabnya,baik dari sisi siswa,pengajar maupun
sumber ajar. Akan tetapi penyebab munculnya permasalahan terjadi selama ini, hanya satu sisi
yang disoroti yaitu siswa. Kebanyakan kegagalan dalam suatu ujian ditumpahkan kepada siswa.
Seolah-olah siswalah yang paling bertanggungjawab atas kegagalan yang dialaminya. Padahal
setiap siswa itu memiliki cara berfikir yang beragam serta memiliki latar belakang yang beragam
pula.
Salah satu komponen pembelajaran yang berpengaruh terhadap prestasi siswa adalah guru. Guru
yang kreatif dan professional mampu membuat suasana pembelajaran menjadi efektif dan
menyenangkan (Nurhadi, 2004).Pada pasal I Undang-Undang nomor 14 tahun 2005, bahwa: guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, membimbing, mengarahkan, mengajar,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa peran
guru sangat penting di dalam dunia pendidikan, karena kualitas pendidikan di Indonesia
dipengaruhi oleh guru. Kemampuan proses adalah kemampuan seseorang dalam mendapatkan
informasi, mengolah informasi, menggunakan informasi, dan mengkomunikasikan hasil.
Keterampilan proses meliputi: observasi, bertanya, hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis
data dan kesimpulan. Proses ini merupakan proses berpikir ilmiah, siswa harus mencari solusi dari
masalah berdasarkan fenomena yang diamati.
Salah satu masalah atau topik pendidikan yang belakangan ini menarik untuk diperbincangkan
yaitu tentang Lesson Study, muncul sebagai salah satu alternatif guna mengatasi masalah praktik
pembelajaran yang selama ini dipandang kurang efektif.Konsep Lesson Study pertama kali
dikembangkan oleh para guru pendidikan dasar di Jepang, dalam bahasa Jepang disebut dengan
istilah kenkyuu jugyo. Makoto Yoshida, orang yang dianggap berjasa besar dalam mengembangkan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

191

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kenkyuu jugyo di Jepang. Keberhasilan Jepang dalam mengembangkan Lesson Study tampaknya
mulai diikuti pula oleh beberapa negara lain, termasuk di Amerika Serikat yang secara gigih
dikembangkan dan dipopulerkan oleh Catherine Lewis yang telah melakukan penelitian tentang
Lesson Study di Jepang sejak tahun 1993. Sementara di Indonesia pun saat ini mulai gencar
disosialisasikan untuk dijadikan sebagai sebuah model dalam rangka meningkatkan proses
pembelajaran siswa, bahkan pada beberapa sekolah sudah mulai dipraktikkan. Meski pada awalnya,
Lesson Study dikembangkan pada pendidikan dasar, namun saat ini ada kecenderungan untuk
diterapkan pula pada pendidikan menengah dan bahkan pendidikan tinggi.
Lesson study merupakan sebuah proses sistematis yang digunakan oleh para guru di Jepang untuk
menguji keefektifan pembelajaran dalam rangka mencapai keberhasilan tujuan pembelajaran.
Lesson study menghendaki proses pembelajarannya bermula dari suatu masalah yang nyata,
terciptanya pembelajaran yang kolaboratif terutama guru yang sebidang sehingga tercipta kondisi
yang memungkinkan untuk terjadinya suatu pembelajaran kolaboratif antar guru. Prinsip utama
Lesson study adalah peningkatan kualitas pembelajaran secara bertahap dengan cara belajar dari
pengalaman sendiri dan pengalaman orang lain dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
Mahasiswa calon guru dapat belajar dari pengalaman orang lain untuk memperbaiki kegiatan
pembelajaran di kelas. Kegiatan Lesson studysangat efektif dilakukan oleh calon guru untuk
meningkatkan kinerja serta keprofesionalannya. Berdasarkan hasil observasi, dan uji pendahuluan
terhadap mahasiswa tingkat 2 diperoleh terdapat beberapa permasalahan yaitu calon pendidik
kurang aktif dalam proses pembelajaran. Adapun beberapa permasalahan yang ditemukan pada
mahasiswa calon pendidik tersebut yaitu : 1) kurang memperhatikan materi yang disampaikan; 2)
sulit menguasai konsep pelajaran; 3) sibuk dengan kegiatan lain dikelas.

2.

Kajian Teoritis
2.1. Lesson Study
Lesson Study bukanlah suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, tetapi merupakan salah satu
upaya pembinaan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru
secara kolaboratif dan berkesinambungan, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi
dan melaporkan hasil pembelajaran. Lesson Study bukan sebuah proyek sesaat, tetapi merupakan
kegiatan terus menerus yang tiada henti dan merupakan sebuah upaya untuk mengaplikasikan
prinsip-prinsip dalam Total Quality Management, yakni memperbaiki proses dan hasil
pembelajaran siswa secara terus-menerus, berdasarkan data. Bill Cerbin & Bryan Kopp

mengemukakan bahwa Lesson Study memiliki 4 (empat) tujuan utama, yaitu untuk : (1)
memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru
mengajar; (2) memperoleh hasil-hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh para guru
lainnya, di luar peserta Lesson Study; (3) meningkatkan pembelajaran secara sistematis
melalui inkuiri kolaboratif. (4) membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana
seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya.
Lesson study dilaksanakan dalam 3 tahapan yaitu: (1) perencanaan (plan); (2) pelaksanaan
(do): dan (3) refleksi (see). Tahap pertama, Plan membuat perencanaan pembelajaran yang
berpusat pada siswa secara kolaboratif. Tahap kedua, do, menerapkan rencana
pembelajaran di kelas oleh seorang guru sementara yang lain mengamati aktivitas siswa
dalam pembelajaran. Tahapan ketiga adalah see, diskusi pasca pembelajaran untuk
merefleksikan efektivitas pembelajaran yang dilaksanakan langsung setelah pembelajaran
dilaksanakan. Adapun alur lesson study adalah sebagai berikut:

192

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Gambar 2. Siklus pembelajaran Lesson Study


Lesson study adalah suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji
keefektifan pengajarannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran (Garfield, 2006).
Sejalan dengan pendapat tersebut Hendayana dkk (2006) menyatakan bahwa lesson study adalah
model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan
berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun
komunitas belajar.

a. Keterampilan Proses
Kemampuan proses belajar adalah tujuan pendidikan yang belum banyak disinggung
dalam pendidikan. Kemampuan proses adalah kemampuan seseorang dalam mendapatkan
informasi, mengolah informasi, menggunakan informasi dan mengkomunikasikan hasil.
Keterampilan proses merupakan kemampuan yang akan dikembangkan dalam setiap mata
pelajaran di kedua sekolah. Kemampuan dalam keterampilan proses terdiri atas tujuh
kemampuan yaitu
1. Mengamati
2. Mengelompokkan
3. Memproyeksikan
4. Menerapkan
5. Menganalisis
6. Melakukan penelitian sederahan
7. Mengkomunikasikan hasil
Sedangkan menurut Semiawan (2002), terdapat sepuluh keterampilan proses dan mengapa
perlu diterapkannya keterampilan proses yaitu:
1. Kemampuan mengamati
2. kemampuan menghitung
3. kemampuan mengukur
4. kemampuan mengklasifikasikan
5. kemampuanmenemukan hubungan
6. kemampuan membuat prediksi
7. kemampuan melaksanakan penelitian
8. kemampuan mengumpulkan dan menganalisis data
9. kemampuan menginterpretasikan data
10. kemampuan mengkomunikasikan hasil

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

193

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Semiawan dkk (1985) merinci alasan perlunya diterapkan keterampilan proses dalam
kegiatan belajar mengajar sehari-hari:
1. Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung semakin cepat sehingga tak mungkin
lagi para guru mengajarkan semua fakta dan konsep kepada siswa. Untuk
mengatasi hal tersebut maka para siswa harus dibekali keterampilan proses yang
dapat mereka gunakan untuk pembelajara.
2. Para ahli psikologi umumnya sependapat bahwa anak-anak mudah memahami
konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkrit.
3. Dalam proses belajar mengajar seyogyanya pengembangan konsep tidak dilepaskan
dari pengembangan sikap dan nilai dalam diri anak-anak didik. Konsep di satu
pihak serta sikap dan nilai di lain pihak harus dikaitkan.
Untuk keterampilan dasar, proses-prosesnya meliputi keterampilan mengobservasi,
mengklasifikasikan, mengukur, mengkomunikasikan, menginferensi, memprediksi,
mengenal hubungan.Keterampilan mengobservasi adalah keterampilan yang
dikembangkan dengan menggunakan semua indera yang kita miliki untuk mengidentifikasi
dan memberikan nama sifat-sifat dari objek-objek atau kejadian-kejadian dari kegiatan
yang dapat dilakukan yang berkaitan dengan kegiatan mengobservasi misalnya:
menjelaskan sifat-sifat yang dimiliki oleh benda-benda, sistem-sistem, dan organisme
hidup.
3.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif. Penelitian ini dilakukan dengan


mengamati tindakan calon pendidik dalam proses pembelajaran di kelas untuk meningkatkan
keterampilan proses dan penguasaan konsep matematika sekolah.Penelitian ini dilaksanakan di
STKIP Siliwangi Bandung, dilaksanakan pada mahasiswa tingkat 2 pendidikan matematika kelas
A2 Reguler. Tahapan pengumpulan data yaitu observasi dilakukan bersamaan dengan
implementasi tindakan. Proses observasi menggunakan lembar monitoring tahap perencanaan,
pelaksanaan, refleksi dalam Lesson Study danlembar observasi keterampilan proses, lembar
observasi penguasaan konsep matematika sekolah. Tes dilakukan setelah pemberian tindakan
penerapan pembelajaran dengan Lesson Study pada tiap akhir pokok bahasan. Tes berupa soal
objektif dan soal uraian. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis kualitatif
yang terdiri dari tiga komponen yaitu mereduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

4.

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Keterlaksanaan lesson study oleh guru model mahasiswa pendidikan matematika yang terdiri dari 4
siklus. Paparan data mengenai keterlaksanaan lesson study oleh guru model sebagai berikut. Pada
LS I persentase ketuntasan belajar yaitu sebesar 87%. Pada LS I dengan materi suku banyak,para
mahasiswa secara berkelompok merancang pembelajaran.Sebelum kegiatan berlangsung terlebih
dahulu dipilih observer sebanyak sembilan orang yang diambil masing-masing satu orang dari tiap
kelompok. Kegiatan pembelajaran mahasiswa yaitu mahasiswa secara berkelompok dengan
kelompok ahli menyusun sistematika materi suku banyak setelah itu dianalisis, kemudian
menyusun rencana pembelajaran dari sistematika materi yang telah dibuat. Kegiatan mahasiswa
setelah berdiskusi dengan kelompok asal yaitu diskusi kelas dengan mempresentasikan hasil
pengamatan selama berdiskusi. Berdasarkan tahap pelaksanaan (do) lesson study, guru model
dalam hal ini dipilih satu orang dari satu kelompok untuk memberikan materi suku banyak yang
berorientasi kepada kurikulum 2013.Guru model tanggapan mengenai kesulitan untuk
mengorganisasikan waktu kegiatan pembelajaran dan mengondisikan siswa untuk menerima
pembelajaran. Tahap seeobserver memberikan masukan mengenai kesiapan mahasiswa dalam

194

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kegiatan pembelajaran dan memperhatikan alokasi waktu yang telah dirancang agar tujuan
pembelajaran terlaksana.
Pada LS II persentase ketuntasan belajar yaitu sebesar 90%. Pada LS II dengan materi Program
Linear, mahasiswa mulai terbiasa untuk melakukan kegiatan open lesson, di mana kegiatan tersebut
terdiri dari chapter Design yaitu mahasiswa membuat sistematika urutan materi program linear dari
buku sumber yang tersedia, dan lesson design kemudian setelah itu berdiskusi kelas untuk
menentukan pertemuan yang akan dibuat rencana pembelajarannya. Guru model mulai menemukan
masalah ketika pelaksanaan pembelajaran di kelas yaitu keterlambatan mahasiswa datang di kelas.
Berdasarkan masalah tersebut maka observer memberikan masukan kepada guru model untuk
senantiasa memberikan peringatan kepada mahasiswa agar datang tepat waktu agar semua
mahasiswa dapat mengikuti kegiatan pembelajaran.
Pada LS III persentase ketuntasan belajar yaitu sebesar 93% dengan materi Barisan dan Deret.
Kegiatan inti mahasiswa yaitu mahasiswa membuat Chapter dan Lesson design seperti sebelumnya.
Terlihat bahwa di lesson design LS III, semua mahasiswa sudah sangat terbiasa mengerjakan.
Antusisasme mahasiswa dalam kegiatan open lesson ini sangat meningkat. Kegiatan siswa
selanjutnya yaitu presentasi kelas. Siswa antusias dan termotivasi untuk mengikuti kegiatan
pembelajaran hari ini mengenai barisan dan deret.
Pada LS IV persentase ketuntasan belajar yaitu sebesar 97% dengan materi Geometri Transformasi.
Guru model merancang kegiatan pembelajaran. Pada pertemuan sebelumnya, guru model meminta
mahasiswa untuk menyiapkan alat-alat tulis untuk membuat peta pikiran. Pada pelaksanaannya,
siswa lebih termotivasi dan antusias untuk mengerjakan pembuatan peta pikiran pada materi
geometri transformasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh guru model saat pelaksanaan
pembelajaran yaitu guru model sebaiknya mengusahakan keterlibatan seluruh siswa saat presentasi
kelas sehingga jalannya diskusi tidak berjalan pasif. Pengalaman yang diperoleh selama
pelaksanaan lesson study yaitu adanya masukan yang diberikan oleh observer mengenai kegiatan
siswa selama pembelajaran dapat dijadikan masukan bagi guru model untuk memperbaiki
pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Guru model mendapatkan banyak masukan mengenai
rancangan pembelajaran yang akan diterapkan di kelas sehingga diharapkan menghasilkan
pembelajaran yang efektif.
a. Peningkatan Keterampilan Proses
Data yang diperoleh selama pelaksanaan tindakan dan observasi siklus I sampai siklus IV
kemudian dianalisis. Hasil analisis menunjukkan adanya peningkatan keterampilan proses belajar
siswa. Peningkatan keterampilan proses belajar siswa ditunjukkan pada gambar 4.1
120
100
80
60
40
20
0

Persentase Siklus I
Persentase Siklus II
Persentase Siklus III
Persentase Siklus IV

Gambar 4.1 Keterampilan Proses mahasiswa LS I sampai LS IV


Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan pada setiap aspek keterampilan proses
dari LS I sampai LS IV. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kegiatan mengamati/observasi
terlihat di LS I sebesar 90% meningkat pada LS II sebesar 92% terus meningkat pada LS III
sebesar 95% dan meningkat pada LS IV 100%, mengumpulkan data mengalami peningkatan
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

195

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

terlihat di LS I sebesar 88% pada LS II sebesar 90% pada LS III sebesar 90% dan pada LS IV 95%,
menganalisis data mengalami peningkatanterlihat di LS I sebesar 88% pada LS II sebesar 88%
pada LS III sebesar 90% dan pada LS IV 95%, mengkomunikasikan mengalami
peningkatanterlihat di LS I sebesar 89% pada LS II sebesar 90% pada LS III sebesar 95% dan pada
LS IV 95%, menyimpulkan mengalami peningkatanterlihat di LS I sebesar 80% pada LS II sebesar
90% pada LS III sebesar 95% dan pada LS IV 100%. Setiap aspek dari keterampilan proses yang
Peningkatan kemampuan prosesmahasiswa pendidikan matematika melalui implementasi lesson
study disebabkan adanya sifat kolaborasi dan kolegalitif yang terdapat dalam prinsip-prinsip
pelaksanaan lesson study sehingga dapat dimanfaatkan sebagai model bimbingan untuk
pembelajaran mahasiswa sebagai calon guru. Penerapan lesson study dapat dijadikan sebagai
praktik mahasiswa sebagai calon guru untuk menerapkan kemampuan dasar mengajarnya sehingga
mendapatkan pengetahuan dan pengalaman untuk merencanakan dan melaksanakan pembelajaran
yang efektif dan inovatif. Mahasiswa sebagai guru model pelaksanaan lesson study mendapatkan
adanya umpan balik langsung dalam kegiatan refleksi sehingga dapat belajar dari pengalaman
untuk melaksanakan pembelajaran yang lebih baik. Menurut Lewis (2002) bahwa lesson study
dapat meningkatkan keprofesionalan guru karena dengan lesson study guru melakukan pengkajian
kurikulum, merumuskan tujuan pembelajaran, menentukan metode pembelajaran yang sesuai, dan
menentukan media.
Tabel 1. Data Kemampuan proses mahasiswa calon pendidik
Lesson study
Nilai
Kategori
I

87%

Baik

II
III

90%
93%

Baik
Baik

IV

97%

Baik

Rata-rata

92%

Baik

Dapat dilihat pada tabel 1 bahwa terjadi peningkatan kegiatan dari LS I sampai LS IV. Pada LS I
mahasiswa mendapat nilai 87% dengan kategori Baik, LS II mahasiswa mendapat nilai 90%
dengan kategori Baik, LS III mahasiswa mendapat nilai 93% dengan kategori Baik, dan pada lS IV
mahasiswa mendapat nilai 97% dengan kategori Baik. Setiap siklus LS mahasiswa mendapat nilai
yang relatif meningkat dengan kategori baik.
b. Pembahasan
Pelaksanaan Lesson Study dalam penelitian ini dilakukan sebanyak empat kali siklus. Tahapan
Lesson Studyyang dilakukan peneliti adalahplan yang terdiri dari chapter design dan lesson
designkemudian tahap dodalam hal ini praktek mengajar yang dilaksanakan oleh guru model
(mahasiswa pendidikan matematika) lalu tahap see. Observer pada penelitian ini sebanyak Sepuluh
orang yaitu Sembilan dari mahasiswa pendidikan matematika dan satu observer adalah dosen mata
kuliah kapita selekta matematika.Pada tahap planseluruh mahasiswa dikelompokkan menjadi
beberapa kelompok untuk mengamati dan menyusun sistematika urutan materi sekolah menengah
kemudian menyusun rencana pembelajaran yang akan dipraktekkan oleh salah seorang guru model.
Setelah semua mahasiswa berdiskusi secara kelompok, siswa kembali berdiskusi kelas dan
mempresentasikan dari kegiatan chapter dan lessondesign yang telah dibuat.
Pada tahap do guru model melaksanakan pembelajaran dengan mengacu pada perangkat
pembelajaran yang telah dibuat oleh tim. Pada tahap ini para observer mengamati dan mencatat
aktivitas siswa selama pembelajaran dan mengisi lembar observasi. Setelah proses pembelajaran
selesai dilakukan see, para observer memberikan hasil pengamatannya dan saran untuk perbaikan
pembelajaran di pertemuan selanjutnya. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh fakta bahwa
pembelajaran dari tindakan siklus I dan siklus II mengalami peningkatan. Begitupun pada siklus III

196

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

ke siklus IV. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa kualitas pembelajaran mengalami
peningkatan.
Kegiatan Lesson Study di kelas selama proses pembelajaran, catatan hasil observasi dari observer
membantu guru untuk refleksi, sehingga kualitas semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Widhiartha (2008) observer mengamati kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan
memfokuskan pada kinerja siswa sehingga permasalahan yang terjadi di kelas dapat dianalisis dan
dicarikan solusi yang tepat, dengan demikian masalah yang terjadi di kelas pada saat kegiatan
pembelajaran dapat dipecahkan secara bersama-sama dan kegiatan belajar selanjutnya dapat
berjalan dengan baik dan meningkatkan kualitas pembelajaran.
Keterampilan proses yang diukur dalam penelitian ini yaitu mengamati, mengumpulkan data,
menganalisis data, mengkomunikasikan, dan menyimpulkan. Berdasarkan hasil analisis data,
keterampilan proses mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II, siklus II ke III, siklus II ke
siklus IV. Peningkatan dapat dilihat dari setiap aspek, mengamati mengumpulkan data 6,9%,
menganalisis, mengkomunikasikan, menyimpulkan. Aktifitas siswa dalam proses pembelajaran
bertambah aktif, siswa melakukan kegiatan mengobservasi, merumuskan masalah, membuat
hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data, mengkomunikasikan, dan menyimpulkan. Hal
ini sesuai dengan pendapat Zaini, dkk (2008) bahwa belajar aktif dapat mengajak peserta didik
untuk turut serta dalam semua proses pembelajaran, tidak hanya mental tetapi juga melibatkan
fisik. Siswa menjadi terlatih untuk bertanya dan berusaha menjawab pertanyaan melalui proses
diskusi.
Hasil belajar mahasiswa mengalami peningkatan karena mahasiswa telah melakukan pembelajaran
dengan baik, karena pada setiap pertemuan aktivitas guru semakin meningkat dalam membimbing
dan memberikan penguatan motivasi kepada mahasiswa, membuat mahasiswa lebih terpacu dalam
proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran berjalan baik, mahasiswa akan aktif
dalam belajar, mudah memahami materi, dan mudah menjawab soal-soal pada waktu tes. Upaya
meningkatkan keterampilan proses juga dapat meningkatkan penguasaan konsep yang diukur
dengan hasil belajar mahasiswa. Nurhadi (2004) menyatakan hasil belajar merupakan perubahan
tingkah laku siswa yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Ketiga ranah tersebut
berhubungan dengan kemampuan siswa untuk melakukan proses ilmiah sebagaimana cara ilmuan
bekerja untuk membentuk pemahaman atau aspek kognitifnya terlebih dahulu.
5. Kesimpulan dan Saran
a.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat diperoleh kesimpulan
yaitu peningkatan keterampilan proses mahasiswa melalui implementasi lesson study dari tahap
plan, do, dan see dari lesson study I sampai IV dengan rata-rata 92% dengan kategori sangat Baik.
b. Saran
Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian ini, maka penulis menyarankan sebagai berikut: Guru
maupun mahasiswa sebagai calon pendidik dapat menerapkan lesson studysebagai salah satu
alternatif pembelajaran matematika dalam meningkatkan keterampilan proses dan penguasaan
konsep matematika sekolah

DAFTAR PUSTAKA
Bill Cerbin & Bryan Kopp. A Brief Introduction to College Lesson Study. Lesson Study Project.
online: http ://www.uwlax.edu/sotl/lsp/index2.htm
Garfield, J. (2006). Exploring the Impact of Lesson Study on Developing Effective Statistics
Curriculum. (Online): http// www.stat.auckland.ac.nz/-iase/publication/-11/Garfield.doc.
diambil tanggal 19-6-2006

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

197

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Hendayana, S., dkk. (2002). Lesson Study Have a Future in the United States?.Nagoya of
Education
and
Human
Development,
2002
(1):
1-23.
[online]
http://www.lessonstudygroup.net/lg/reading/Doeslessonstudyhaveafuture
intheUSLewisC/DoeslessonstudyhaveafutureintheUSLewisC.pdf) .
Lewis, Catherine. 2002. Does Lesson Study Have a Future in the United States?. Nagoya Journal
of
Education
and
Human
Development,
2002
(1):
1-23.
(Online),
http://www.lessonstudygroup.net/lg/readings/DoeslessonstudyhaveafutureintheUSLewisC/
DoeslessonstudyhaveafutureintheUSLewisC.pdf) diakses tanggal 25 April 2012
Nurhadi. Yasin, Burhan. Senduk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK.
Malang: UM Press.
Semiawan, C., dkk. (1985). Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: PT Gramedia.
Semiawan, C. (2002). Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: Rineka Cipta
Zaini, H., Munthe, B., & Aryani, S. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Insan Madani

198

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN


MASALAH MATEMATIS SISWA SMP MELALUI
PENDEKATAN PROBLEM POSING
Indah Puspita Sari
STKIP Siliwangi
chiva.aulia@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini merupakan bagian dari laporan penelitian Mengembangkan Kemampuan
Berpikir Tingkat Tinggi Matematis dan Retensinya serta Kemandirian Belajar Siswa SMP
Melalui Pendekatan Kontekstual. Penelitian ini merupakan eksperimen berbentuk disain
kelompok kontrol postes saja yang bertujuan menelaah peranan pendekatan pembelajaran
kontekstual terhadap retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa SMP. Selain
itu penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan retensi kemampuan berpikir tingkat
tinggi matematis siswa SMP. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP kelas
VIII Kota Cimahi, sedangkan sampelnya adalah siswa kelas VIII dari dua SMP yang
ditetapkan secara purposif pada SMP di Kota Cimahi dan dipilih secara acak dari kelas VIII
yang ada.Kemudiandari sampeltersebut ditetapkan secara acak yang menjadi kelas eksperimen
dan kelas kontrol. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa: (1) Retensi
kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa SMP, yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada yang memperoleh
pembelajaran biasa ditinjau secara keseluruhan (kedua kelas tergolong kategori cukup). (2)
Retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa SMP, yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih baik daripada yang memperoleh
pembelajaran biasa berdasarkan kemampuan awal matematika siswa (KAM) baik, sedang, dan
kurang dengan keseluruha KAM pada kedua kelas tergolong kategori cukup. (3) Terdapatefek
interaksi antara Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dan Kemampuan Awal Matematika
Siswa (KAM) secara bersama-sama dalam menghasilkan Retensi Kemampuan Berpikir
Tingkat Tinggi Matematis siswa.
Kata Kunci: Pemecahan Masalah Matematis, Pendekatan Problem Posing

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan sumber daya manusia.
Maju atau mundurnya suatu Negara dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang dimiliki oleh
Negara tersebut. Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui
pendidikan terus dikembangkan. Salah satu usaha tersebut adalah dengan diterapkannya kurikulum
2013. Dalam kurikulum 2013, sikap tertuang dalam kompetensi inti dan kompetensi dasar sehingga
diharapkan terbentuknya karakter-karakter siswa yang berkualitas.
Matematika merupakan bagian dari pendidikan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Pada saat manusia melakukan aktivitas memecahkan masalah, sesungguhnnya manusia telah
melakukan aktivitas matematika. Kemampuan pemecahan masalah matematis merupakan aspek
penting dalam pembelajaran matematika karena proses pemecahan matematis merupakan salah satu
dasar kemampuan matematis yang harus dikuasai siswa sekolah menengah. Sumarmo (2005)
mengemukakan bahwa pemecahan masalah matematis merupakan salah satu tujuan penting dalam
pembelajaran matematika bahkan proses pemecahan matematik merupakan jantungnya
matematika. Hal ini sejalan dengan NCTM (2000) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

199

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika, sehingga hal tersebut tidak boleh
dilepaskan dari pembelajaran matematika.
Polya (1957) secara garis besar mengemukakan empat langkah utama dalam pemecahan masalah
yaitu: Understanding the problem, Devising a Plan, Carrying out the Plan, dan Looking Back.
Secara rinci keempat langkah itu diuraikan sebagai berikut:
a) Memahami masalah (Understanding the Problem)
Pada langkah ini siswa harus memahami: Masalah apa yang dihadapi?; Apa yang diketahui?;
Apa yang ditanya?; Apa kondisinya?; Bagaimana memilah kondisi-kondisi tersebut?; Tuliskan
hal-hal itu, bila perlu buatlah gambar, gunakan simbol atau lambang yang sesuai.
b) Menyusun rencana pemecahan (Devising a Plan)
Menemukan hubungan antara data dengan hal-hal yang belum diketahui, atau mengaitkan halhal yang mirip secara analogi dengan masalah. Apakah pernah mengalami problem yang mirip?
Apakah mengetahui masalah yang berkaitan? Teorema apa yang dapat digunakan? Apakah ada
pola yang dapat digunakan?
c) Melaksanakan rencana (Carrying out the Plan)
Menjalankan rencana untuk menemukan solusi, melakukan dan memeriksa setiap langkah
apakah sudah benar, bagaimana membuktikan bahwa perhitungan, langkah-langkah dan
prosedur sudah benar.
d) Memeriksa kembali (Looking Back)
Melakukan pemeriksaan kembali terhadap proses dan solusi yang dibuat untuk memastikan
bahwa cara itu sudah baik dan benar. Selain itu untuk mencari apakah dapat dibuat generalisasi,
untuk menyelesaikan masalah yang sama, menelaah untuk pendalaman atau mencari
kemungkinan adanya penyelesaian lain.
Adapun karakteristik pemecahan masalah matematik yang baik menurut Sumarmo, dkk (1994: 1415) diantaranya adalah: 1) mampu memahami konsep dan istilah matematika; 2) mampu
memahami keserupaan, perbedaan dan analogi; 3) mampu mengidentifikasi unsur yang kritis dan
memilih prosedur dan data yang benar; 4) mampu mengetahui data yang tidak relevan; 5) mampu
mengestimasi dan menganalisis; 6) mampu memvisualisasi (manggambarkan) dan
menginterpretasikan fakta kuantitatif dan hubungan; 7) mampu menggeneralisasi berdasarkan
beberapa contoh; 8) mampu menukar/ menganti metoda/ cara dengan tepat; 9) memiliki harga diri
dan kepercayaan diri yang kuat serta hubungan dengan sesama siswa; 10) memiliki rasa cemas
yang rendah.
Meskipun kemampuan pemecahan masalah matematis merupakan salah satu keterampilan yang
harus dikuasai siswa, namun kenyataan dilapangan memperlihatkan bahwa keterampilan
pemecahan masalah belum dilatih secara maksimal. Wahyudin (1999) menemukan bahwa guru
matematika pada umumnya mengajar dengan metode ceramah dan ekspositori. Sebagian besar
siswa hanya memperoleh informasi dan penjelasan yang diberikan oleh guru. Siswa sangat jarang
mengajukan pertanyaan, hanya menerima saja apa yang disampaikan oleh guru sehingga siswa
tidak mendapatkan kesempatan untuk menemukan dan membangun pengetahuan mereka sendiri.
Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA), memperlihatkan prestasi
yang dicapai oleh siswa Indonesia belum memuaskan (Balitbang-Depdiknas, 2007). Sebanyak
49,7% siswa berada pada level terendah untuk kemampuan pemecahan masalah matematis. Sejalan
dengan Sumarmo (Rohaeti, 2008: 3) juga menyatakan bahwa keterampilan siswa SMA maupun
SMP di Jawa Barat dalam menyelesaikan masalah matematis masih tergolong rendah.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
adalah pendekatan problem posing. Pendekatan problem posing menekankan pada siswa untuk
membentuk atau mengajukan soal berdasarkan informasi atau situasi yang diberikan sehingga
siswa dapat menemukan dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Silver (Hamzah, 2003)
menemukan bahwa pendekatan problem posing merupakan suatu aktivitas dengan dua pengertian
yang berbeda, yaitu: 1) Proses pengembangan matematika yang baru oleh siswa berdasarkan situasi
yang ada; 2) Proses memformulasikan kembali masalah matematika dengan kata-kata sendiri
berdasarkan situasi yang diberikan. Pendekatan problem posing memberikan kesempatan kepada
200

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

siswa untuk lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Selain itu siswa bebas mengeluarkan
ide-ide mereka pada saat mengajukan soal. Oleh karena itu, pendekatan problem posing diyakini
dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan problem posing lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran biasa?
2. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan problem posing lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran biasa?
1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat pada penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menelaah tentang:
c. Siswa dapat belajar mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis melalui
pendekatan problem posing.
d. Penelitian ini dapat mengembangkan teori belajar dan pembelajaran mengenai kemampuan
pemecahan masalah matematis melalui pendekatan problem posing
e. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang sejauh mana peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan pendekatan problem
posing.

2.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan desain
kelompok kontrol pretes-postes. Penelitian ini dilakukan pada siswa dari dua kelas dengan
pendekatan pembelajaran yang berbeda. Kelompok pertama merupakan kelas eksperimen yang
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan problem posing, sedangkan kelompok kedua
merupakan kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran biasa. Kedua kelas tersebut akan
diberikan pretes dan postes untuk menelaah pembelajaran dengan pendekatan problem posing
terhadap pencapaian dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP.
Diagram desain penelitian ini adalah sebagai berikut:
O
X
O
O

Keterangan:
X = Pembelajaran dengan pendekatan problem posing
O = Pretes = Postes pemecahan masalah matematis siswa
= Pengambilan kelas tidak secara acak
2.1 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII pada salah satu SMP Negeri di Ngamprah.
Berdasarkan nilai ujian nasional, sekolah ini termasuk dalam sekolah dengan level menengah.
Sekolah ini dipilih dengan pertimbangan bahwa pada level menengah kemampuan akademik siswa
heterogen, sehingga dapat mewakili siswa dari tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik
pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu. Satu kelas untuk kelas eksperimen yang

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

201

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing dan satu kelas kontrol yang pembelajaran
biasa.
2.2 Instrumen Penelitian
Tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siswa terdiri dari
5 butir soal yang berbentuk uraian. Tes disusun berdasarkan pokok bahasan yang dipelajari siswa
kelas VIII SMP dengan tahap-tahap sebagai berikut: pembuatan kisi-kisi soal yang mencakup
pokok bahasan, kemampuan yang diukur (indikator), serta jumlah butir soal. Kemudian dilanjutkan
dengan menyusun soal beserta kunci jawaban dan aturan pemberian skor untuk masing-masing
butir soal.

3.

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Berdasarkan pengolahan data pretes, postes dan gain ternormalisasi kemampuan pemecahan
masalah matematis, diperoleh skor rata-rata (x ) berikut presentase dari skor ideal (%), deviasi
standar (s), secara ringkas disajikan pada Table 1 berikut:
Tabel 1
Rekapitulasi Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Pendekatan Problem Posing
Pembelajaran Biasa
Aspek yang
diukur
Pretes
Postes
Gain
Pretes
Postes
Gain
5.48
30.70
0.47
5.67
27.91
0.41
(x)
PMC
S
2.16
4.88
0.16
1.86
4.14
0.12
%
10.96
61.40
11.34
55.82
Keterangan : SMI tes pemecahan masalah matematis (PMM) = 50
Rangkuman uji perbedaan rata-rata pretes dan postes kemampuan pemecahan masalah dapat dilihat
pada Table 2 berikut ini:
Tabel 2
Uji Perbedaan Rata-Rata Pretes dan Postes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Kelompok
Sig.(2-tiled)
Ket.
Kesimpulan
Eksperimen
H0
Tidak terdapat
Pretes
0.939
diterima
perbedaan
Kontrol
Eksperimen
Postes
0.000
H0 ditolak Terdapat perbedaan
Kontrol
Sedangkan perhitungan uji perbedaan rata-rata N-Gain untuk kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa dapat dilihat pada Table 3 berikut ini:
Tabel 3
Uji Perbedaan Rata-rata N-Gain Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Kelompok
Sig.(2-tiled)
Ket.
Kesimpulan
Eksperimen
H0
Terdapat
0.000
ditolak
perbedaan
Kontrol
Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa sebelum dilaksanakan pembelajaran, kelompok
eksperimen memiliki rata-rata kemampuan pemecahan masalah yang sedikit lebih rendah daripada
rata-rata kelompok kontrol. Namun setelah dilakukan uji statistik perbedaan dua rata-rata diketahui
bahwa kemampuan awal pemecahan masalah matematis siswa kedua kelompok tidak memiliki
perbedaan. Setelah kelompok eksperimen diberi pembelajaran problem posing dan kelompok
kontrol diberi pembelajaran biasa, rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada
tiap kelompok meningkat. Namun pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis
kelompok eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Pencapaian kemampuan pemecahan
masalah matematis kelompok eksperimen tergolong dalam kategori tinggi sedangkan pencapaian
kemampuan pemecahan masalah matematis kelompok kontrol berada pada kategori sedang. Selisih

202

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

pencapaian yang cukup besar antara kedua kelompok menunjukkan bahwa pembelajaran problem
posing memberikan pengaruh pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
Hal ini didukung dengan hasil uji perbedaan rata-rata hasil postes kemampuan pemecahan masalah
matematis antara kedua kelompok menggunakan uji Mann Whitney. Berdasarkan uji Mann Whitney
tersebut menunjukkan hasil bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang
mendapat pembelajaran problem posing lebih baik dibandingkan yang mendapat pembelajaran
biasa. Artinya pencapaian kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen lebih baik daripada
kelas kontrol. Berdasarkan kriteria, pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
kelompok eksperimen tergolong tinggi sedangkan pada kelompok kontrol tergolong sedang. Hal ini
dimungkinkan karena melalui pembelajaran problem posing, siswa dilatih dengan cara dihadapkan
pada situasi atau masalah sehingga siswa tertarik dalam menyelesaikan masalah yang diberikan dan
melatih siswa memecahkan masalah tersebut.
Untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara
siswa yang mendapat pembelajaran biasa dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa, maka
dilakukan analisis terhadap skor N-gain siswa yang memperoleh kedua pembelajaran tersebut.
Berdasarkan hasil perhitungan N-gain kemampuan pemecahan matematis, rata-rata N-gain
kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol namun rata-rata N-Gain kedua
kelompok tersebut tergolong pada klasifikasi sedang. Berdasarkan hasil uji perbedaan dua rata-rata
menggunakan uji t pada N-Gain kemampuan pemecahan masalah matematis didapat hasil bahwa
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis kelompok yang mendapat pembelajaran
problem posing lebih baik daripada kelompok yang mendapat pembelajaran biasa.
4.

Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan temuan yang diperoleh selama melakukan penelitian dengan
pembelajaran yang menggunakan pendekatan problem posing pada siswa SMP, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1.
2.

Pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran


dengan pendekatan problem posing lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa.
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan problem posing lebih baik daripada yang memperoleh
pembelajaran biasa.

4.2 Saran
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, maka penulis memberikan beberapa saran, yaitu:
1. Pendekatan problem posing dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pembelajaran
matematika di SMP khususnya dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa.
2. Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan untuk meneliti kemampuan matematis lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Balitbang-Depdiknas. (2007). Ringkasan Studi PISA. Jakarta: Depdiknas.
National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School
Mathematics. [Online]. Tersedia: http:// www.nctm. org/standars/ overview. htm [25 Mei
2014]
Polya, G. (1957). How to Solve It", 2nd ed., Princeton University Press, 1957, ISBN 0-691-080976. [online]. Tersedia: http://www.math.utah.edu/~pa/math/polya.html.
Rohaeti E, E. (2008). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Metode IMPROVE untuk
Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematika siswa SLTP. Disertasi
pada Sekolah Pascasarjana UPI: Diterbitkan pada Educationist, tahun 2010.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

203

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan


Masalah Matematik pada Guru dan Siswa SMP. Laporan Penelitian FPMIPA IKIP
Bandung: tidak diterbitkan.
Sumarmo. (2005). Pengembangan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta
Mahasiswa Strata Satu (S1) Melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan
Penelitian Hibah Pascasarjana Tahun Ketiga. UPI Bandung.
Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika dan Siswa dalam
Mata Pelajaran Matematika. Disertasi pada PPS UPI: tidak diterbitkan

204

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN


MATEMATTIK SISWA SMA MELALUI GAME ADOBE
FLASH CS 4
Martin Bernard
STKIP Siliwangi Bandung
pamartin23rnard@gmail.com

ABSTRAK
Adobe Flash CS4 merupakan program komputer yang sangat besar pengaruh dalam dunia
animasi termasuk di bidang pendidikan sebagai bantuan untuk dalam belajar dan mengajar di
dalam kelas, yang berfungsi agar siswa lebih interaktif dan memberikan nuansa yang
menyenangkan saat belajar matematika. Dan kelebihan program Adobe Flash CS4 dapat
membantu untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematik siswa yaitu analogi dan
generalisasi, sehingga siswa mampu menyimpulkan konsep matematika. Sesuai dengan
pembelajaran Kurikulum 2013 salah satunya yang harus dikuasai oleh seorang guru adalah
menciptakan inovasi dimana siswa harus dapat berinteraktif dalam belajar mengajar, dalam hal
ini adalah memanfaatkan komputer sebagai cara untuk menciptakan inovasi itu sendiri, memang
dibutuhkan pemikiran yang lebih kreatif dan kerja keras untuk meuangkan gagasan ide yang akan
disampaikan materi kepada siswa, tetapi bahasa Action Script Adobe Flash CS4 dapat dikuasai
jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa program lainnya seperti menggunakan Java dan C++,
sehingga program ini lebih cocok untuk para guru.
Kata Kunci : Game Adobe Flash CS4, Kemampuan Penalaran Matematik siswa SMA

1.

Pendahuluan

Kemajuan pada zaman sekarang sangat cepat, dimana setiap orang berlomba-lomba untuk
melakukan inovasi baru. Hal ini di karenakan adanya persaingan yang sangat ketat diakibatkan oleh
imbasnya kemajuan tekhnologi negara-negara lain. Butuhnya peran penting teknologi suatu negara
yang di dasari oleh kemampuan generasi sekarang dapat memberikan kontribusi untuk memajukan
suatu negara tersebut.
Kebutuhan saat ini adalah terfokus pada kemampuan pengetahuan yang luas dapat dikaitkan
dengan kemajuan teknologi. Peran yang sangat penting untuk generasi sekarang adalah kualitas
pendidikan, yang berperan sebagai modal untuk memajukan negara. Banyak faktor-faktor
pendukung untuk teknologi yang harus didasari oleh penguasaan ilmu salah satunya adalah
matematika.
Tak heran jika banyak program-program matematika dalam menawarkan menu-menu seperti
pembuatan kalkulator persamaan kuadrat, kalkulator , phytagoras, Trigonometri dan lain-lain salah
satu program yang menggunakan hal tersebut kebanyakan orang menggunakan Macromedia Flash
sekarang release lebih baik lagi yaitu adobe Flash CS 4.
Sebenarnya pembuatan Game adobe Flash, diperkenalkan dulu cara proses berpikir matematik
contohnya membuat permainan matematika aritmatika yang sederhana yaitu operasi penjumlahan,
pengurangan, perkalian dan pembagian, apalagi jika ditambah fitur-fitur atau design yang menarik
siswa sehingga siswa muncul keinginan untuk belajar matematika.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

205

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Kenapa Game edukatif sangat penting, karena orang bisa merasakan terhibur namun di sisi lain,
masalah ketagihan pada game tidak bisa dihindarkan seseorang bisa betah berjam-jam bermain
game sampai lupa makan dan minum. Mereka lebih suka bermain dan sampai mereka mengerti
cara proses permainan tersebut. Namun jika kita menggantikan proses permainan tersebut dengan
game matematika dan mengerti konsep-konsep matematika di dalam permainan tersebut bisa jadi
mereka mampu menguasai matematika.
Dalam penelitian Maria Virvou dkk (Hidayatullah, 2011) tentang efektivitas game dalam
membantu proses pembelajaran. Mereka menyatakan bahwa game edukatif virtual reality yang
mereka buat (VR-ENGAGE) dapat sangat memotivasi sambil meningkatkan efek edukatif pada
siswa. Yang menarik adalah beliau bercerita dalam paper-nya bahwa di sekolah yang menjadi
tempat penelitiannya, dulu ada siswa yang membuat suasana kelas kurang kondusif. Dia sering
mengganggu temannya yang sedang belajar. Namun sejak diimplementasikannya VR-ENGAGE
ini, siswa tersebut tidak pernah mengganggu temannya.
Permainan dilakukan dengan bantuan alat elektronik yaitu TIK yang berbasis game Adobe Flash
CS 4 sebagai alat bantu untuk membuat sebuah permainan dalam pembelajaran matematik yang
lebih menyenangkan dan juga diharapkan siswa dapat memberikan ide dan dapat
mengapresisasikan metematika serta mampu memiliki sikap keingintahuan yang besar mengenai
teknologi tepat guna. Selain hanya memberikan jawaban atau gagasan permasalahan yang diajukan.
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam penalaran dan komunikasi
pembelajaran matematik. Pembelajaran siswa pada dasarnya siswa lebih menyukai permainan
daripada mereka harus belajar secara monoton. Hal ini peran guru adalah memberikan cara proses
pembelajaran matematik yang menyenangkan. Di sini perlu membuat rancangan dimana guru
memiliki daya kreativitas yang memiliki tujuan yaitu meningkatkan kualitas anak dalam
pembelajaran matematika. Sehingga dapat diharapkan interaksi antara siswa dan guru adalah suatu
hal yang penting untuk membangun pengetahuan matematika, mengembangakan kemampuan
pemecahan masalah dan penalaran, memperoleh keterampilan, bersosialisasi, dan menigkatkan
sikap siswa terhadap pembelajaran matematika. Dengan hal ini dapat dirancangkan siswa menjadi
lebih aktif dalam belajar matematik. Sesuai dengan dunia modern salah satu yang ramai digunakan
adalah model pembelajaran berbasis teknologi atau lebih dikenal pembelajaran multimedia. Hal ini
mengandung tujuan bahwa di dalam pembelajaran guru dituntut mampu menerapkan metode yang
mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.
Metode pembelajaran multimedia melalui media presentasi interaktif sederhana diharapkan dapat
memberikan pengalaman baru dan menyenangkan baik bagi guru maupun siswa. Selain
pembelajaran yang lebih bervariasi, siswa dapat termotivasi untuk belajar dan menyenangi apa
yang dipelajarinya.
Saat ini kendala guru mengajarkan kepada siswa adalah merancang produk memanfaatkan
teknologi agar pada waktu mengajar kepada siswa dapat tercapai, yaitu guru harus mampu dan
mudah menggunakannya dan prkatis, salah satu multimedia yang digunakan adalah Adobe Flash
CS4, karena dengan menggunakan software tersebut kita dapat membuat game matematika
sehingga siswa lebih semangat untuk belajar.

2.
Kajian Teoritis
2.1.Kemampuan Penalaran Matematik
Masih mengenai definisi penalaran, Keraf (1982: 5) dalam Fadjar Shadiq (2004: 2) menjelaskan
penalaran (jalan pikiran atau reasoning) sebagai: Proses berpikir yang berusaha menghubunghubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan.
Penalaran adalah salah satu kemempuan proses berpikir matematika yang yang mengkaitkan untuk
menyelesaikan masalah matematika berdasarkan fakta-fakta atau bukti yang kongkrit sehingga
siswa mampu menarik kesimpulan bagaimana cara siswa dapat menggunakan konsep atau metode
yang diperolehnya.
Sumarmo (2012: 17) berdasarkan penarikan kesimpulan, bahwa kemampuan penalaran dapat di
klarifikasikan dengan dua jenis yaitu penalaran inuktif dan penalaran deduktif. Biasanya banyak
206

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

pandangan orang pada umumnya penalaran induktif adalah proses melakukan pengamatan dari
khusus melakukan beberapa percobaan sampai mendapatkan kesimpulan berdasarkan pengamatan
khusus atau ke umum, dan penalaran deduktif adalah melakukan pernyataan kesimpulan terlebih
dahulu atau dari umum untuk berlaku kepada pernyatan khusus, contohnya siswa mencoba mencari
pembuktian penjumlahan akar-akar dari dari beberapa persamaan kuadrat dari percobaan tersebut
siswa dapat menyatakan kesimpulan bahwa setiap persamaan kuadrat dimodelkan matematika

dalam bentuk 2 + + = 0, didapatkan jumlah akar-akar kuadratnya yaitu 1 + 2 = ,

sehingga dari kesimpulan tersebut siswa menduga bahwa rumus tersebut adalah benar maka dari
hasil pengamatan umum dapat di gunakan kepada yang lebih khusus ke persamaan kuadrat yang
berbeda atau disebut dengan penalaran deduktif. Namun menurut Sumarmo (2012:17) bahwa
penalaran induktif tidak hanya sekedar dari dari khusus ke umum tetapi penalaran induktif
memiliki beberapa kegiatan yaitu, a) Penalaran transduktif yaitu proses penarikan kesimpulan, b)
penalaran analogi yaitu penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan proses atau data, c)
penalaran generalisasi taitu penarikan kesimpulan secara umum berdasarkan data yang terbatas; d)
Memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan: interpolasi dan ekstrapolasi; e) memberikan
penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan atau pola yang ada; f) Menggunakan pola
hubungan untuk menganalisis situasi, dan menyusun konjektur. Jadi untuk pernyataan khusus ke
umum dalam penalaran induktif merupakan bagian dari pengertian dari kegiatan penarik
kesimpulan bukan definisi secara umum, dapat saja bahwa hal itu adalah kategori generalisasi.
Karena itu untuk melakukan kegiatan penalaran siswa dapat dilakukan berdasarkan keenam item
tersebut. Demikian juga menurut Sumarmo (2012:21) Penalaran deduktif adalah penarik
kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Dan beberapa kegiatan yang tergolong pada
penalaran deduktif diantaranya adalah, a) Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau
rumus tertentu secara konsep, kemampuan ini tergolong berpikir matematik tingkat rendah, karena
hanya melakukan perhitungan saja; b) Penalaran logis matematik berdasarkan aturan inferensi,
memeriksa validitas, argumen, membuktikan dan menyusun argumen yang valid; c) Menyusun
pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan pembuktian dengan induksi matematika. Jadi
penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan,
kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran, dan
berpikir penalaran memiliki ciri-ciri tertentu.
Dari beberapa item-item untuk penyelesaian masalah-masalah matematik dengan kemampuan
penalaran induktif, siswa harus dibiasakan untuk melihat mencirikan beberapa kasus melihat pola
(analogi) dan membuat dugaan tentang hubungan yang ada diantara kasus-kasus itu, serta
selanjutnya menyatakan hubungan yang berlaku umum (generalisasi), selain itu siswa menyadari
kesalahan dalam proses pengerjaan matematika, memperkirakan jawaban berdasarkarkan faktafakta dari kegiatan pengamatan siswa sehingga siswa mampu membuat kesimpulan yang tepat. Dan
untuk kemampuan penalaran deduktif, siswa sudah memahami dan menguasai konsep-konsep yang
suah dipelajari di kelas sehingga mampu menghitung dari soal-soal dari kategori yang mudah
sampai yang tersulit, juga berpikir logis dengan proposional, probabilitik, korelasional dan
kobinatorik, disini siswa dibiasakan mengenal simbol-simbol matematika dan bentuk pernyataanpernyataan martematika berupa modus ponen, modus tolens, modus silogime sehingga memperoleh
hasil dari premis-premis berdasarkan fakta umum yang sudah disepakati.
Agar hal ini dapat memunculkan proses penalaran matematik siswa baik induktif dan deduktif,
menurut Wahyudin (2011,12), siswa harus didorong untuk bernalar matematis melalui tantangan
dengan pernyataan mengapa dan bagaimana. Dengan cara demikian, para siswa mulai
menyadari bahwa mampu memecahkan masalah saja tidaklah cukup; mereka harus memikirkan
matematika yang mendasarinya, membuat konjektur atau hipotesis, dan mengkonsumsikan
berbagai solusi dan strategi kepada orang lain. Oleh sebab itu dibuat beberapa indikator-indikator
membuat soal penalaran yang tujuannya agar siswa mempunyai keinginan tahu yang besar dan
jawaban yang dapat disimpulkan oleh setiap siswa sehingga mereka mengerti untuk menyelesaikan
soal-soal matematika.
Indikator-indikator kemampuan penalaran matematis (Sumarmo, 2012:16)
a. Menarik kesimpulan analogi, generalisasi, dan menyusun konjektur.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

207

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

b. Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, dan
menyusun argumen yang valid.
c. Menyusun pembuktian langsung, dan dengan induksi matematik.

2.2.Adobe Flash CS 4
Adobe Flash CS 4 merupakan versi terbaru yang merupakan pengembangan dari Adobe Flash CS
4. Animasi yang dihasilkan Adobe Flash CS 4 adalah animasi berupa file movie. Movie yang
dihasilkan dapat berupa grafik atau teks, mengimpor file suara, video, maupun file gambar dari
aplikasi lain. Animasi Adobe Flash CS 4, mampu membuat tampilan website dan presentasi
menjadi unik dan menarik, dilengkapi dengan gambar kreatif dan video. Penggunaan Adobe Flash
CS4 sebagai software yang digunakan untuk mengembangkan media pembelajaran berbasis
edutainment, didasarkan pada beberapa kelebihan yang dimilikinya. Anggra Yuda Ramadianto
menyatakan bahwa Adobe Flash CS 4 memiliki keunggulan dibanding program lain yang sejenis,
antara lain, misalnya:
a. Seorang pemula yang masih awam terhadap dunia desain dan animasi dapat mempelajari dan
memahami Adobe Flash CS 4 dengan mudah dengan mudah tanpa harus dibekali dasar
pengetahuan yang tinggi tentang bidang tersebut.
b. Pengguna program Adobe Flash CS 4 dapat dengan mudah dan bebas dalam berkreasi
membuat animasi dengan gerakan bebas sesuai dengan alur adegan animasi yang
dikehendakinya.
c. Adobe Flash CS 4 ini dapat menghasilkan file dengan ukuran kecil. Hal ini dikarenakan Flash,
menggunakan animasi dengan basis vektor, dan juga ukuran file Flash yang kecil ini dapat
digunakan pada halaman web tanpa membutuhkan waktu loading yang lama untuk
membukanya.
d. Adobe Flash CS 4 menghasilkan file bertipe (ekstensi). FLA yang bersifat fleksibel, karena
dapat dikonversikan menjadi file bertipe .swf, .html, .gif, .jpg, .png, .exe, .mov. hal ini
memungkinkan pengguna program Adobe Flash CS 4 untuk berbagai keperluan yang kita
inginkan.

2.3.Pembelajaran Matematika Game Adobe Flash CS 4


Dalam pembelajaran, Macromedia Flash merupakan gabungan konsep pembelajaran dengan
teknologi audio-visual yang mampu menghasilkan fitur-fitur baru yang dapat dimanfaatkan dalam
pendidikan. Pembelajaran berbasis multimedia dapat menyajikan materi pelajaran yang lebih
menarik, tidak monoton, dan memudahkan penyampaian. Siswa dapat mempelajari materi
pelajaran tertentu secara mandiri dengan komputer yang dilengkapi program multimedia.
Hidayatullah (2011:18) Langkah-langkah Pembelajaran Matematik Game Adobe Flash CS 4 adalah
a. Penyampaian tujuan dan memotivasi siswa.
Dalam langkah ini dilakukan penyampaian tujuan pembelajaran dengan menggunakan flash
game dan memberikan motivasi kepada siswa.
b. Kajian materi
Dalam langkah ini, guru mengajarkan materi yang disajikan dalam flash game.
c. Membagi media
Pada langkah ini, guru mulai mengenalkan media flash game sebagai alat pembelajaran dan
mengajarkan cara-cara penggunaan media flash game.
d. Membimbing
Dalam langkah ini, guru membantu setiap siswa secara individual.
e. Evaluasi
Langkah evaluasi bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa dari penggunaan media flash
game.
f. Penghargaan
Pada langkah ini, guru memberikan penghargaan yang bertujuan untuk memotivasi siswa
dalam pembelajaran.

208

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.4.Langkah-langkah Sebelum Melakukan Pembuatan Game Adobe Flash CS 4


Biasanya sebelum melakukan belajar dan mengajar dalam kelas, kita dapat melihat tingkat
masalah yang dihadapi oleh guru saat penyampaian materi. Seperti hal kebiasaan guru
mengajar di depan kelas lalu apa yang perlu di tambahkan untuk motivasi siswa untuk
belajar matematika.
Menyebabkan
Ceramah
sebagai
model
pembelajara
n

Terjadi
kebosanan
belajar
matematika
,
ketidaksuka
asilnya an belajar
matematika
dibutuknan
tuntutan
baru
Ide

Kejadian
engevaluasi diri
saat belajar awal
pembelajaran
menggunakan
inovasi

akibatnya

Terjadi
Perubahan
Sosial
(Mahasiswa
Guru) atau
Dosen harus
membuat
inovasi

Kemampuan

emberikan
Penalaran
langkah-langkah
Matematik Siswa
mengajar
tujuannya
pembelajaran
matematika
menyenangkan
Tujuan pendidik
tersampaikan

Barang
enciptakan
karya yang
dapat
membatu
dalam belajar

Gambar 1 Pemetaan langkah-langkah sebelum membuat Game Adobe Flash CS 4


Gambar di atas merupakan pengamatan saat belajar mengajar di dalam kelas dan inovasi-inovasi
apa yang dapat membantu agar tujuan pendidikan dapat tercapai, disini nantinya dad keterkaitan
dari mulai kejadian, lalu memunculkan ide berdasarkan kemampuan apa yang akan disampaikan
kepada siswa dengan bantuan hasil inovasi guru berupa karya seperti hasil pembuatan Game Adobe
Flash CS 4.
2.5. Rencana Pembelajaran Hasil Karya berupa Game Adobe Flash CS 4
Dari hasil karya tersebut diujikan kepada beberapa siswa apakah karya tersebut dapat diterima
dengan baik sehingga memunculkan motivasi dan semangat belajar matematika.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

209

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Guru dan Dosen


Membuat Model

Terhadap Benda,
objek atau ideide

Evaluasi

Inovasi

Ditolak

Pencapain
Tujuan
Pendidikan

Diterima

Presentasikan

Gambar 2 Cara mengambil keputusan model pembelajaran dan dipresentasikan


Tujuan diatas adalah apakah ada kekurangan ide apa yang menjadi hambatan sehingga
pembelajaran hasil karya tidak ada efek yang positif atau biasa saja sehingga tidak perlu
menggunakan Game Adobe Flash CS4 dalam belajar mengajar dalam kelas tetai bukan artinya
bahwa hasil karya yang diberikan itu tidak baik tetapi perlu dievaluasi apa yang harus ditambahkan
sehingga siswa mampu berinteraktif dan menyenangkan belajar matematika.

2.6.Keputusan-keputusan yang Harus dipertimbangkan


Untuk memperhatikan bagaimana kita dapat mempresentasikan inovasi yang kita buat, pertama kita
harus dapat memahami pengertian tenang Model Inovasi Difusi yaitu komunikasi inovasi antara
warga masyarakat (anggota sistem sosial), dengan menggunakan saluran tertentu dan dalam waktu
tertentu . komunikasi dalam definisi ini ditekannkan dalam arti terjadinya saling tukar informasi
(hubungan timbal balik), antar beberapa individu baik memusat atau divergen secara menyebar.
Kedua menurut Roger Difusi dibedakan menjadi Difusi sentaralisasi yaitu penentuan tentang
berbagai hal seperti : kapan dimulainya difusi inovasi, dengan saluran apa, siapa yang akan menilai
hasilnya, dan pimpinan agen pembaharuan (Guru). Sedangkan Difusi Desentralisasi, penentuan itu
dilakuan oleh klien (siswa) bekerja sama dengan orang telah menerima inovasi (Guru). Yang ketiga
Diseminasi adalah proses penyebaran inovasi yang direncanakan, diarahkan, dan dikelola.
Dari keterangan tersebut Guru dan Dosen harus mempersiapkan waktu kapan inovasi yang dibuat
tepat waktu saat belajar dan mengajar, diupayakan ide apa yang yang dipresentasikan tentang
inovasi yang dibuat dapat berdampak positif, sehingga harus ada yang mengamati apakah ada
kegunaan inovasi tersebut atau tidak, di sini saya memantau atau kontrol (mengamati)action atau
tindakan siswa terhadap inovasi yang saya buat (sebagai dosen). Dan dibutuhkannya kerjasama
antara dosen dan mahasiswa untuk mencari solusi kebutuhan pendidikan dan tercapainya tujuan
pendidikan.

2.7.Pembuatan Game Adobe Flash CS 4


Sebelum membuat Game Adobe Flash CS4 harus dapar dulu mengenal dasar-dasar seperti
membuat kalkulator operasi penjumlahan dan biasanya dapat menggunakan Action Script 2.0
adalah bahasa program flash yang lebih sederhana.

210

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.
4.

Action Script 2.0

5.
6.
7.
8.
Gambar 3. Pembuatan Game Adobe Flash CS 4 yang Sederhana
Disini siswa menjawab latihan penjumlahan dan di cek apakah jawaban yang disi siswa maka akan
muncul keterangan benar atau salah.

2.8. Membuat Adobe Flash CS 4 yang disesuaikan Kemampuan Penalaran yang


Sederhana
Siswa terlibat berinteraktif dengan membuat percobaan yang tadinya belum diketahui sampai
siswa tersebut membuat hipotesis contoh siswa kelas 5 belum mengerti mengenai pecahan maka
dengan menggunakan game adobe flash mereka dapat membentuk pola pecahan (Generalisasi)
sehingga dapat membuat kesimpulan pengertian dari pembilang dan penyebut.

Gambar 4. Siswa belajar mempolakan bentuk pecahan dengan Media Adobe Flash CS 4

Keserupaan

Gambar 5. Siswa Belajar Analogi


pada gambar 5 siswa dapat memberikan kesimpulan dari gambar lingkaran dan sebuah tang air
yang diisikan air.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

211

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.9.Kemampuan Penalaran Matematik SMA dengan Game Adobe Flash CS

Gambar 6. Belajar Generalisasi dengan Menggunakan Rumus Trigonometri


Siswa kelas 10 SMA melakukan permainan menentukan ketinggian di tempat yang berbeda sampai
mereka menyimpulkan fungsi dari tangensial pada derajat yang telah ditentukan.

Gambar 7. Permainan Trigonometri dalam bentuk Analogi


Setelah mereka memahami fungsi trigonometri dapat di lakukan dalam bentuk permainn tembaktembakan.

Gambar 7. Permainan Trigonometri lebih Komplek


Siswa sudah memiliki pemahaman tentang rumus trigonometri sehingga mereka dengan dapat
menghitung secara deduktif.

212

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.

Kesimpulan

Pembelajaran matematika menggunakan Game Adobe Flash CS 4 adalah suatu program yang dapat
dikembangkan oleh guru menjadi media pembelajaran yang lebih interaktif untuk meningkatkan
kemampuan penalaran siswa SMA, karena siswa lebih mudah membuat kesimpulan dengan
berbagai percobaan secara visual dari pada harus selalu menggunakan rumus, tetapi media
pembelajaran dengan menggunakan komputer bukan sebagai pengganti guru untuk menyampaikan
materi, sebab media belajar tidak dapat direncanakan dengan baik jika guru tidak dapat
memberikan pengontrol bahan apa yang akan diberikan sepada siswa.
Game Adobe Flash CS 4 dapat membantu siswa lebih interaktif dan mendorong semangat belajar
matematika dan dibutuhkan langkah-langkah yang inovatif dari seorang guru untuk lebih kreati
sesuai tujuan Kurikulum 2013.

DAFTAR PUSTAKA
Anggra Y. R. (2007). Membuat Gambar Vektor dan Animasi Atraktif dengan Flash Professional 8.
Bandung: Yrama Widya
Hidayatullah, P., Daswanto, A., Nugroho .S.P. (2011) Membuat Mobile Game Edukatif Dengan
Flash. Bandung: Penerbit INFORMATIKA.
Keraf, G.(1982). Argumen dan Narasi. Komposisi Lanjutan III. Jakarta : Gramedia
Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika dengan Kemampuan
Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar-Mengajar. Disertasi IKIP
Bandung: Tidak Diterbitkan.
Sumarmo, U. (2003) Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah
menengah. Makalah pada Seminar Basional Pendidikan FMIPA UPI. Bandung: Tidak
Diterbitkan
Sumarmo. U. (2010). Berfikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana
Dikembangkan pada Peserta Didik. FPMIPA UPI. Tersedia.
Sumarmo, U. (2012). Bahan Belajar Matakuliah Proses Berfikir Matematik. Bandung: Tidak
diterbitkan.
Wahyudin (2011). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika dan siswa dalam Mata
Pelajaran Matematika. Disertasi pada SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

213

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MODEL PEMBELAJARAN INTERAKTIF E LEARNING


BERBASIS WEB UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA MAHASISWA S1
PENDIDIKAN MATEMATIKA PADA MATA KULIAH
GEOMETRI ANALITIK RUANG
Abi Suwito1, Ervin Oktavianingtyas2
1)

FKIP Universitas Jember


masabisuwito@yahoo.com; 2) rvien_okta@ymail.com

ABSTRAK
Penelitian ini ingin menghasilkan suatu model pembelajaran interaktif e-learning berbasis web
untuk menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah matematika pada matakuliah Geometri
Analitik Ruang. Perkuliahan ini bertujuan untuk mendorong penerapan e-learning di
Universitas Jember. Sistem e-learning yang dikembangkan merupakan e-learning penuh
sehingga pembelajaran dapat dilakukan secara jarak jauh dan diakhir pembelajaran diperoleh
nilai pada mahasiswa yang telah melakukan pembelajaran tersebut.Masalah dalam penelitian
ini adalah bagaimanakah proses dan pembelajaran interaktif e-learning untuk menumbuhkan
kemampuan pemecahan masalah matematika pada materi Geometri Analitik Ruang. Untuk
mencapai tujuan tersebut, dilakukan suatu penelitian. Untuk mendeteksi ketercapaian kriteria
yang telah ditetapkan, maka dilakukan validasi pakar/ ahli dan uji coba terbatas terhadap
produk. Instrumen yang digunakan yaitu lembar validasi, lembar observasi, tes, dan angket.
Seluruh instrumen divalidasi oleh pakar/ ahli. Kepraktisan model pembelajaran diamati melalui
pedoman observasi keterlaksanaan model e-learning dalam pembelajaran. Keefektifan model
e-learning diamati melalui beberapa indikator yaitu (1) Hasil tes kemampuan formal maupun
informal, (2) angket. Adapun hasil dari penelitian ini adalah proses dan pembelajaran interaktif
e-learning mampu menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah matematika pada materi
Geometri Analitik Ruang
Kata Kunci: Pembelajaran interaktif e learning berbasis web, kemampuan pemecahan
masalah matematika

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat menyebabkan terjadinya perubahan


paradigma dalam bidang pendidikan. Mulanya pembelajaran hanya dilakukan secara tatap muka
(lecturing) di kelas atau di ruang kuliah saja, sedangkan saat ini jaringan internet dan teknologi
informasi dapat dimanfaatkan untuk proses pembelajaran. Perkembangan ini menyebabkan proses
pembelajaran tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Pembelajaran yang berbasis pada penggunaan
perangkat elektronik sering disebut dengan istilah e-learning.
E-learning dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang dilakukan melalui jaringan (network).
Sejalan dengan hal itu Thompson, dkk dalam Yaniawati (2003) menyatakan, "E-learningis
instructional content or learning experiences delivered or enabled by electronic technology."
Dengan kata lain e-learning memungkinkan transfer pengetahuan antara pendidik dan peserta
didik melalui media elektronik berupa komputer maupun jaringan internet. Dengan e-learning
penyediaan bahan ajar maupun instruksi pembelajaran dapat diakses kapanpun, dimanapun dan dari
manapun.
Universitas Jember (UNEJ) terus berupaya untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi
dalam mengakses berbagai informasi maupun dalam proses pembelajaran. Hal ini dalam rangka
214

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

perwujudan pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang berprinsip Student Center Learning
(SCL) di tingkat pendidikan tinggi. Sampai saat ini kebijakan e-learning di UNEJ masih bersifat
suplemen atau alternative (pengayaan) saja. Dalam konsep e-learning tidak hanya materi kuliah
yang disajikan secara online, akan tetapi terdapat suatu software (sistem) yang mengatur interaksi
antara pendidik dan peserta didik (dosen dan mahasiswa) baik secara langsung maupun tertunda.
Sistem tersebut sering disebut LSM.
Diantara berbagai macam software LSM yang ada, Moodle merupakan opensource yang digunakan
di UNEJ. Dengan software tersebut, dosen tidak hanya dapat mengupload materi perkuliahan saja,
akan tetapi juga dapat memberikan ruang untuk chating, teleconference, videoconference, email,
serta latihan soal-soal secara online.
Salah satu mata kuliah yang belum menggunakan e-learning adalah Geometri Analitik Ruang.
Penyampaian mata kuliah geometri saat ini masih mengutamakan kegiatan tatap muka. Padahal
pola proses pembelajaran pendidik aktif dan mahasiswa pasif memiliki efektivitas yang rendah.
Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu model pembelajaran berbasis e-learning untuk materi
geometri analitik ruang di Universitas Jember. Pengembangan e-learning dilakukan untuk
mengkaji model e-learning yang sesuai dengan kondisi peserta didik yang dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematik mahasiswa.

2.

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Perkembangan perilaku belajar dan perkembangan teknologi merupakan alasan pengembangan


media pembelajaran on-line. Perilaku belajar membutuhkan media yang sesuai. Pebelajar yang
individual memiliki perilaku mencari sumber belajar secara mandiri untuk mengkonstruksi
pengetahuannya sehingga memiliki penguatan atau perubahan pemahaman tentang objek belajar.
Bahan ajar yang digunakan salah satunya berupa modul dalam kemasan elektronik. Dalam
pembelajaran berbasis web modul elektronik dikenal dengan istilah bahan ajar mandiri yang
dikemas untuk mahasiswa belajar mandiri. Di dalam bahan ajar mandiri selain materi juga
disediakan latihan-latihan yang harus dikerjakan mahasiswa untuk mengukur perkembangan
belajarnya.
Dalam pembelajaran blended, selain bahan ajar modul elektronik, dalam proses belajarnya
mahasiswa juga memanfaatkan bahan ajar berbasis web. Pengembangan bahan ajar dengan
pemanfaatan media/teknologi merupakan salah satu ciri dalam proses pembelajaran berbasis web,
diantaranya pemanfaatan teks, audio, video dan multimedia. Penggunaan teks, audio, video dan
multimedia adalah untuk pengayaan materi untuk berlatih (drill and practice) dan untuk penguatan
mahasiswa dalam mempelajari salah satu topik. Dalam pembelajaran blended, pengemasan
dilakukan secara digital dan diakses melalui bahan ajar berbasis web. Pemanfaatan teks, audio,
video dan multimedia dilakukan pada masa belajar mandiri.
Dengan model pembelajaran web diharapkan porsi waktu masa belajar mandiri lebih banyak
dibandingkan dengan tatap muka baik off-line maupun on-line. Mahasiswa tidak hanya mengakses
bahan ajar, melainkan beberapa aktifitas yang dilakukan adalah: 1) Melakukan interaksi, baik
melalu email, chat ataupun forum diskusi. Mahasiswa dapat bertanya maupun mengajukan
pendapat tentang suatu hal baik dengan dosen ataupun dengan teman/kelompoknya; 2)
Mengerjakan tugas (assignments). Mahasiswa akan diberikan beberapa tugas baik perorangan
maupun kelompok; 3) Menjawab soal latihan. Di setiap topik akan disediakan beberapa soal latihan
yang harus dijawab mahasiswa.
Setelah mahasiswa menyelesaikan masa belajar mandiri pada minggu terakhir dan di akhiri dengan
ujian semester. Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran blended, proses
pembelajaran berlangsung dengan menggunakan 4 model kombinasi: tatap muka, media elektronik,
teks, audio, video dan multimedia, dan berbasis web. Porsi belajar mandiri dengan pembelajaran
berbasis web lebih besar dibandingkan proses tatap muka.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

215

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Setelah dilakukan pembelajaran berbasis web pada mata kuliah Geometri Analitik Ruang selama 1
semester, didapatkan kemampuan pemecahan masalah matematik sebesar 69% dengan peningkatan
sebesar 58% dari skor ideal. Peningkatan sebesar ini dikalsifikasikan sedang karena rata-rata kelas
diantara 30% sampai 70% dari skor ideal. Dengan perolehan ini, dapat dikatakan bahwa secara
signifikan model pembelajaran interaktif e-learning berbasis web mampu menumbuhkan
kemampuan pemecahan masalah matematika pada matakuliah Geometri Analitik Ruang. Hal ini
dikarenakan beberapa kendala yang dialami mahasiswa dalam mata kuliah Geometri Analitik
Ruang dapat diminimalisir dengan menggunakan model pembelajaran berbasis web.

DAFTAR PUSTAKA
Denecke, K. and Wismath, S.L., Universal Algebra and Coalgebra, World Scientific, 2009.
Hildebrandt, T. H., Linear Continuous Functionals on the Space (BV) with weak topologies, Proc.
Amer. Math. Soc. 17, 658 664, 19

216

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN


MATEMATIK SISWA SMP MELALUI MODEL
PEMBELAJARAN GENERATIF
Gida Kadarisma
STKIP Siliwangi

gidakadarisma@yahoo.com

ABSTRAK
Matematika adalah ilmu yang berkenaan dengan konsep abstrak yang disusun secara hierarki
dan penalaran deduktif yang membutuhkan pemahaman secara bertahap dan beruntun. Oleh
karena itu pemahaman matematik yang baik sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan
penguasaan matematika secara menyeluruh. Namun pada kenyataannya pemahaman matematik
siswa cenderung rendah. Penggunaan metode-metode pembelajaran yang inovatif dapat
menjadi kunci untuk meningkatkan pemahaman matematik siswa, salah satunya dengan
menerapkan metode pembelajaran Generatif. Metode ini dianggap efektik meningkatkan
pemahaman matematik siswa. Metode pembelajaran Generatif menekankan kegiatannya pada
kemampuan masing-masing siswa, sehingga siswa dapat menggali potensi dirinya dan
mengembangkan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa dengan pengetahuan baru.Atas dasar
pemikiran diatas maka timbulah sebuah pertanyaan, Apakah peningkatan kemampuan
pemahaman matematik siswa yang belajar menggunakan metode generatif lebih baik dari pada
yang menggunakan model pembelajaran biasa?Instrumen berupa seperangkat tes sebanyak 4
soal mengenai pemahaman konsep luas dan keliling segitiga dan segiempat, tipe tes yang
digunakan berbentuk tes uraian,yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah siswa SLTP
Pasundan 2 Cimahi. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa SLTP Pasundan 2 Cimahi kelas
VII yang berjumlah 74 siswa yang diacak berdasakan kelas.Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang belajar
menggunakan model generatif lebih baik dari pada yang menggunakan model pembelajaran
biasa. Setelah melakukan pengujian hipotesis dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa
peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa yang belajar menggunakan model
generatif lebih baik dari pada yang menggunakan model pembelajaran biasa.
Kata Kunci: Model Pembelajaran Generatif, Pemahaman Matematik

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang sangat berguna dalam menyelesaikan


permasalahan kehidupan sehari-hari dan dalam upaya memahami ilmu pengetahuan lainnya.
Tujuan dari pendidikan matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah
menekankan pada penataan nalar dan pembentukan kepribadian (sikap) siswa agar dapat
menggunakan atau menerapkan matematika dalam kehidupannya. Dengan demikian, matematika
menjadi mata pelajaran yang sangat penting dalam pendidikan dan wajib dipelajari pada setiap
jenjang pendidikan
Pada dasarnya belajar matematika merupakan belajar konsep. Konsep-konsep pada matematika
menjadi kesatuan yang bulat dan berkesinambungan. Agar dapat memahami suatu konsep siswa
harus membentuk konsep sesuai dengan stimulus yang diterimanya dari lingkungan atau sesuai
dengan pengalaman yang diperoleh semasa hidupnya.Pengalaman-pengalaman yang harus dilalui
oleh siswa merupakan serangkaian kegiatan pembelajaranyang dapat menunjang terbentuknya
konsep-konsep tersebut Komunikasi yang terjadi tidak hanya satu arah dari guru ke siswa tetapi
banyak arah (Sudjana, 2005:13).
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

217

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Pemahaman konsep adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian sepetrti mampu


mengungkapkan materi yang disajikan kedalam bentuk yang lebih dipahami, mampu memberikan
interpretasi, dan mampu mengaplikasikannya Pemahaman konsep sangat penting dimiliki oleh
siswa yang telah mengalami proses belajar. Pemahaman konsep yang dimiliki siswa dapat
digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang ada kaitannya dengan konsep yang
dimiliki. Dalam pemahaman konsep siswa tidak sebatas hanya mengenal tetapi siswa harus dapat
menghubungkan antara satu konsep dan konsep lainnya .Bloom ( Armiza, 2007:19)
Hal ini sesuai dengan pendapat Ausabel dalam Dahar (2001:137) yang menyatakan bahwa belajar
bermakna merupakan proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang
terdapat pada struktur kognitif seseorang. Untuk itu, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
pemahaman siswa terhadap konsep Matematika diutamakan pada pengkonstruksian pengetahuan
anak yang diimplementasikan dalam bentuk model pembelajaran. Yaitu dengan model
pembelajaran generatif.
Menurut Maria (1999:11) Model pembelajaran generatif dikembangkan oleh Osborne dan
Wittrock dengan berdasarkan teori belajar generatif dan konstruksi bahwa pengetahuan dibangun
sendiri oleh siswa seperti membangun ide tentang suatu fenomena atau membangun arti untuk
suatu istilah dan juga membangun strategi untuk sampai pada penjelasan tentang pertanyaan
bagaimana dan mengapa. Intisari dari pembelajaran generatif bahwa otak tidak menerima
informasi dengan pasif, melainkan aktif mengkonstruksi suatu interpretasi dari informasi tersebut
dan kemudian mengambil kesimpulan. Melalui model pembelajaran generatif, siswa diarahkan
untuk mengkonstruksi fakta-fakta yang dimilikinya sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan
yang tepat juga mendorong siswa yang kurang mampu ikut berpartisipasi secara aktif dalam proses
pembelajaran
1.2.

Rumusan Masalah

Secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:


1) Apakah pencapaian kemampuan pemahaman siswa SMP yang belajar menggunakan model
generatif lebih baik daripada yang menggunakan model pembelajaran biasa?
2) Apakah peningkatan pencapaian kemampuan pemahaman siswa SMP yang belajar
menggunakan model generatif lebih baik daripada yang menggunakan model pembelajaran
biasa?

2.

Kajian Teoritis

2.1.

Pemahaman Matematik

Pemahaman matematik dapat dipandang sebagai proses dan tujuan dari suatu pembelajaran
matematika. Pemahaman matematik sebagai proses berarti pemahaman matematik adalah suatu
proses pengamatan kognisi yang tak langsung dalam menyerap pengertian dari konsep/teori yang
akan dipahami, menggunakan kemampuannya di dalam menerapkan konsep/teori yang dipahami
pada keadaan dan situasi-situasi yang lainnya. Sedangkan sebagai tujuan, pemahaman matematik
berarti suatu kemampuan memahami konsep, membedakan sejumlah konsep-konsep yang saling
terpisah, serta kemampuan melakukan perhitungan secara bermakna pada situasi atau
permasalahan-permasalahan yang lebih luas menurut Kurniawan ( 2009).
Dengan demikian kemampuan pemahaman matematik merupakan suatu kekuatan yang harus
diperhatikan dan diperlakukan secara fungsional dalam proses dan tujuan pembelajaran
matematika, terlebih lagi sense memperoleh pemahaman matematik pada saat pembelajaran, hal
tersebut hanya bisa dilakukan melalui pembelajaran dengan pemahaman. Menurut Anderson dan
Krathwohl (2001) ketika tujuan primer pengajaran adalah mempromosikan retensi pengulangan
maka fokus objek materi pengajarannya menekankan pada kemampuan ingatan. Namun ketika
tujuan pengajaran bertujuan untuk mempromosikan pentransferan/transfer pemindahan, maka
bagaimanapun juga fokus objek materi pembelajarannya menekankan pada lima proses kognitif
yang lainnya (pemahaman hingga kreasi).
218

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Polya (Utari, 1987 : 23)


mengemukakan empat tingkat pemahaman suatu hukum, yaitu
pemahaman mekanikal, pemahaman induktif, pemahaman rasional dan pemahaman intuitif.
Seseorang memiliki pemahaman mekanikal, berarti ia dapat mengingat dan menerapkan hukum itu
secara benar, dan bila seseorang memiliki pemahaman induktif berarti ia telah mencobakan hukum
itu kedalam kasus sederhana dan yakin bahwa hukum berlaku untuk kasus-kasus yang serupa.
Selanjutnya, bila seseorang memiliki pemahaman rasional berarti ia dapat membuktikan hukum itu,
dan bila ia telah memiliki pemahaman intuitif berarti ia telah yakin hukum itu tanpa ragu-ragu, ia
dapat dengan segera memberikan suatu prediksi yang tepat dan kemudian terbukti kebenarannya.
Menurut Mastie dan Johson (Wanhar, 2000), pemahaman terjadi ketika orang mampu mengenali,
menjelaskan dan menginterpretasikan suatu masalah. Bila seseorang akan menjelaskan suatu situasi
maka ada tiga aspek kemampuan yang harus diperhatikan untuk memahaminya, yaitu kemampuan
mengenal, kemampuan menjelaskan dan kemampuan untuk menarik kesimpulan.Sebagai contoh,
bila seorang siswa akan memahami suatu objek secara mendalam, maka menurut Michener (Utari,
1987 : 24) ia harus mengenal : (1) Objek itu sendiri, (2) Mengenal relasinya dengan objek lain yang
sejenis, (3) Mengenal relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis, (4) Relasi-dual dengan objek
lain
yang
sejenis,
(5)
Relasi-dual
dengan
objek
lain.
Skemp (Utari, 1987 : 24-25) menyatakan bahwa pemahaman ada dua jenis, yaitu pemahaman
instrumental dan pemahaman relasional. Pemahaman instrumental suatu konsep matematik berarti
suatu pemahaman atas membedakan sejumlah konsep sebagai pemahaman konsep yang saling
terpisah dan hanya hafal rumus dengan perhitungan sederhana. Sedangkan pemahaman relasional
berarti dapat melakukan perhitungan, indikator dari aspek instrumental adalah siswa mampu
menghafal rumus, menggunakan rumus dan aplikasi rumus dalam konteks yang berbeda,sedangkan
indikator aspek relasional adalah siswa mampu menggunakan keterkaitan antara konsep dan
strategi. secara bermakna Pemahaman (understanding) merupakan bagian dari the cognitive
process dimension pada Taksonomi Bloom.
2.2.

Pembelajaran Generatif

Menurut Osborno dan Wittrock (Anwar Kholil, 2008), Pembelajaran generatif merupakan suatu
model pembelajaran yang menekankan pada pengintegrasian secara aktif, pengetahuan baru dengan
menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya. Pengetahuan baru itu akan
diuji dengan cara menggunakannya dalam menjawab pesoalan / gejala yang terkait, jika
pengetahuan baru itu berhasil menjawab permasalahan yang dihadapi, maka pengetahuan baru itu
akan disimpan dalam memori jangka panjang.
Menurut Maria (1999:11) melalui model pembelajaran generatif siswa diarahkan untuk
mengkonstruksi fakta-fakta yang dimilikinya sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan yang tepat
juga mendorong siswa yang kurang mampu ikut berpartisipasi secara aktif dalam proses
pembelajaran.
Tahapan Pembelajaran Generatif, Langkah-langkah atau tahapan pembelajaran generatif:
a. Tahap 1 : Pengingatan
Pada tahap awal ini, guru menuliskan topik dan melibatkan siswa dalam diskusi yang bertujuan
untuk menggali pemahaman mereka tentang topik yang akan dibahas. Mereka diajak untuk
mengungkapkan pemahaman dan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan
dengan topik tersebut. Mereka diminta mengomentari pendepat teman sekelas dan membandingkan
dengan pendapat sendiri. Tujuan dari tahap pengingatan ini adalah untuk menarik perhatian
mahasiswa terhadap pokok yang sedang dibahas, membuat pemahaman mereka menjadi eksplisit,
dan sadar akan variasi pendapat di antara mereka sendiri. Untuk membuat suasana menjadi
kondusif, guru diharapkan tidak akan menilai mana pendapat yang salah dan mana yang benar
. yang perlu dilakukan adalah membuat mereka berani mengemukakan pendapatnya tanpa takut
disalahkan. Sebaiknya pertanyaan yang diajukan guru adalah pertanyaan terbuka.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

219

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

b. Tahap -2 : Tantangan dan Konfrontasi


Setelah guru mengetahui pandangan sebagian siswanya, guru mengajak mereka untuk
mengemukakan fenomena atau gejala-gejala yang diperkirakan muncul dari suatu peristiwa yang
akan didemonstrasikan kemudian. Mereka diminta mengemukakan alasan untuk mendukung
dugaan mereka. Mereka juga diajak untuk menanggpapi pendapat teman satu kelas mereka yang
berbeda dari pendapat sendiri.
c. Tahap-3 : Reorganisasi kerangka kerja konsep
Pada tahap ini guru membantu siswa dengan mengusulkan alternatif tafsiran menurut fisikawan dan
menunjukkan bahwa pandangan yang dia usulkan dapat menjelaskan secara koheren gejala yang
mereka amati. Siswa diberikan beberapa persoalan sejenis dan menyarankan mereka menjawabnya
dengan pandangan alternatif yang diusulkan guru.
d. Tahap -4: Aplikasi Konsep
Pada Tahap ini, guru memberikan berbagai persoalan dengan konteks yang berbeda untuk
diselesaikan oleh siswa dengan kerangkan konsep yang telah mengalami rekonstruksi. Maksudnya
adalah memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan/keterampilan baru
mereka pada situasi dan kondisi yang baru.
e. Tahap 5 : Menilai kembali
Dalam suatu diskusi, guru mengajak siswanya dalam menilai kembali
kerangka kerja konsep
yang telah mereka dapatkan. Beberapa Petunjuk Pelaksanaan Pembelajaran Generatif, guru perlu
memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Menyajikan demonstrasi untuk menantang intuisi siswa. Setelah guru mengetahui intuisi yang
dimiliki siswa, guru mempersiapkan demonstrasi yang menghasilkan peristiwa yang dapat
berbeda dari intuisi siswa. Dengan melihat peristiwa yang berbeda dari dugaan mereka maka
di dalam pikiran mereka timbul perasaan kacau (dissonance) yang secara psikologis
membangkitkan perasaan tidak tenteram sehingga dapat memotivasi mereka untuk
mengurangi perasaan kacau itu dengan mencari alternatif penjelasan.
b) Mengakomodasi keinginan siswa dalam mencari alternatif penjelasan dengan menyajikan
berbagai kemungkinan kegiatan siswa antara lain berupa eksperimen/percobaan, kegiatan
kelompok menggunakan diagram, analogi, atau simulasi, pelatihan menggunakan tampilan
jamak (multiple representation) untuk mengaktifkan mahasiswa dalam proses belajar. Variasi
kegiatan ini dapat membantu siswa memperoleh penjelasan yang cukup memuaskan.
c) Untuk lebih memperkuat pemahaman mereka maka guru dapat memberikan soal-soal terbuka
(open-ended questions), soal-soal kaya konteks (context-rich problems) dan pertanyaan
terbalik (reverse questions) yang dapat dikerjakan secara kelompok.
Kemampuan pemahaman akan suatu konsep dalam pembelajaran mendapat perhatian yang besar
dalam model pembelajaran generatif. Menurut model ini, siswa aktif dalam mengkonstruksi arti
untukdapat memperoleh pemahaman. Hasil penelitian Wittrock dalam Maria (1999:17)
menunjukan bahwa Model pembelajaran generatif siswa dalam dua hal, yaitu hubungan antara
konsep yang dipelajari dan hubungan antara konsep dengan pengetahuan dan pengalaman siswa.

220

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

otak mengarahkan indra

Pemasukan indra belum


punya arti

otak menentukan pemasukan


indra yang diperlukan

siswa menimbulkan hubungan


dengan isi otak
hubungan dipakai member arti
pada pemasukan indra
Kadang arti diuji terhadap isi otak
Pemasukan indra punya arti
(Osborne dan Wittrock dalam Maria, 1999:13)
Diagram 1.1. Proses Pembentukan Pengetahuan
Model Pembelajaran Generatif

3.

Metode Penelitian

Disain dalam penelitian ini adalah disain eksperimen Pretest postes control design yang dipilih
secara acak kelas, dimana populasi dalam penelitian ini adalah SLTP Pasundan 2 Cimahi di kelas
VII, sampel dipilih dari 9 kelas dengan lotre. Kelas pertama mendapat pembelajaran dengan model
generatif atau kelas eksperimen dan kelas kedua memperoleh pembelajaran dengan metode
konvensional atau kelas control, disainnya sbb:
A
O
X
O
A
O
O
Dimana :
A : Pengambilan sampel secara acak menurut kelas
O : Pre tes = post tes kemampuan pemahaman matematik
X : Pembelajaran dengan Model generatif

4.

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Berikut ini disajikan hasil temuan mengenai kemampuan pemahaman matematik siswa seperti
tersaji pada Tabel 1.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

221

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Tabel 1
Statistika Deskriptif Pretes, Postes dan Gain Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol dari
Kemampuan Pemahaman Matematik
Kelas Pembelajaran Generatif Kelas Pembelajaran Biasa (n =
KEMAMPUAN
(n= 37)
37)
MATEMATIK
Pretes
Postes
Gain
Pretes
Postes Gain
Pemahaman
Matematik

Rerata

52,16

70,68

SD

12,39

15,42

0,55

48,65

58,65

13,93

15,80

0,29

Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas kedua kelas baik pretes maupun postes diperoleh
P-Value dari masing-masing > 0.05, maka dapat disimpulkan Pretes , postes dan gain kelas
eksperimen maupun kelas kontrol berdistribusi normal dan homogen. Berikutnya dilakukan uji
perbedaan rerata yaitu dengan menggunakan uji t, dengan taraf signifikansi 5%, hasilnya sbb :
Tabel 2
Rekapitulasi Hasil Uji perbedaan rata-rata Pembelajaran Generatif dengan Pembelajaran
Biasa
KEMAMPUAN

Sig.

Pemahaman Matematik

0.001

Uji Gain Kemampuan


Pemahaman Matematik

0.000

INTERPRETASI
Kemampuan pemahaman matematik siswa
yang
pembelajarannya menggunakan model generatif lebih baik
dari yang menggunakan model pembelajaran biasa
Peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa
yang pembelajarannya menggunakan model generatif lebih
baik dari yang menggunakan model pembelajaran biasa

Berdasarkan hasil penelitian, perbedaan perlakuan yang diberikan pada masing-masing kelas
mengakibatkan pemahaman matematik siswa yang berubah pula. Padahal kemampuan pemahaman
awal kelas eksperimen dan kelas kontrol relatif sama atau homogen.
Dari penjelasan diatas menunjukan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode generatif
lebih baik daripada cara biasa, hal ini tidak terlepas dari kelebihan metode generatif jika
dibandingkan dengan cara biasa, yaitu dalam pembelajaran generatif , siswa belajar aktif untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan pengetahuan awal yang dimiliki sebelumnya, dan
menekankan pada pengintegrasian secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan
pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya, pengetahuan baru itu akan diuji dengan cara
menggunakannya dalam menjawab persoalan yang terkait dan jika pengetahuan baru itu berhail
menjawab permasalahan yang dihadapi, maka pengetahuan baru itu akan disimpan dalam memori
jangka panjang.
5. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan, maka kesimpulan dalam makalah ini adalah:
a) Pencapaian Kemampuan pemahaman matematis siswa SMP yang pembelajarannya
menggunakan model pembelajaran generatif lebih baik dari pada yang menggunakan
model pembelajaran biasa.
b) Peningkatan Kemampuan pemahaman matematis siswa SMP yang pembelajarannya
menggunakan model pembelajaran generatif lebih baik dari pada yang menggunakan
model pembelajaran biasa.
6. Saran
1) Pembelajaran dengan model generatif dapat digunakan sebagai alternatif pembelajaran
dikelas untuk meningkatkan kemampuan pemahaman matematik siswa.

222

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2) Bagi peneliti yang akan melakukan penelitian hendaknya melakukan persiapan yang lebih
baik dari mulai pembuatan instrumen, rencana pembelajaran, LKS, dan mengalokasikan
waktu secara cermat agar mempermudah saat penelitian berlangsung

DAFTAR PUSTAKA
Anderson dan Krathwohl (2001). The Cognitive Process Dimension of The Revised Version of
Blooms Taxonomy in The Cognitive Domain. The Lost Journal of Ven Polypheme.
Tersedia : http://www.. enpolypheme.com/bloom.htm. (Mei 2008).
Anwar
Kholil
(2008).PembelajaranGeneratif.http://anwarholil.blogspot.com/2008/04/
pembelajaran-generatif-mpg.html
Armiza (2007). Model Siklus Belajar Abduktif Empiris untuk Meningkatkan
Pemahaman
Konsep dan Keterampilan Berfikir Kritis Siswa SMP pada
Materi
Pemantulan
Cahaya. Tesis pada PPS UPI. Bandung : tidak diterbitkan
Dahar (2001). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga
Kurniawan (2009). Kemampuan Pemahaman, Pemecahan Masalah Matematik Serta Pembelajaran
Kontekstual .Majalengka
Maria S, Haratua Tiur (1999). Penerapan Model Belajar Generatif dalam Pembelajaran
Rangkaian Listrik Searah. Tesis PPS UPI : Tidak diterbitkan
Sudjana, N.(2005). Dasar-dasar Proses Belajar mengajar. Bandung : Sinar Baru Algesindo
Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan penalaran Matematika siswa SMA Dikaitkan
dengan Kemampuan penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar.
Disertasi. Bandung : Fakultas Pascasarjana IKIP Bandung.(Tidakditerbitkan).
Wanhar (2000).Hubungan antara Konsep Matematika Siswa dengan Kemampuan Menyelesaikan
Soal-Soal Fisika. Tesis. Bandung : UPI. Tidak diterbitkan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

223

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

TAHAP PERKEMBANGAN KOGNITIF MATEMATIKA


SISWA MTs ASY SYIFA KELAS IX BERDASARKAN
TEORI PIAGET
Harry Dwi Putra
STKIP Siliwangi

harrydp.mpd@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah kesesuaian tahap perkembangan kognitif Piaget
terhadap siswa kelas IX di MTs Asy Syifa di Desa Kertamukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten
Bandung Barat. Penulis memilih sekolah tersebut karena berada pada level sedang dan
kemampuan siswanya heterogen. Subjek dari penelitian ini adalah siswa sebanyak 35 orang
yang terdiri dari 6 siswa laki-laki dan 29 siswa perempuan dengan usia antara 14 sampai 16
tahun. Penelitian ini menggunakan instrumen Test of Logical Operations (TLO) dalam
matematika. TLO telah diuji coba validitas dan reliabilitasnya oleh Leongson & Limjap. TLO
terdiri dari 14 soal dan siswa diberi waktu menjawab semua soal selama 45 menit. Penulis
menyusun kembali urutan soal-soal tersebut dari mudah hingga sukar agar siswa tidak
langsung merasa kesulitan menjawab soal pada permulaan. Berdasarkan asumsi yang telah
diutarakan, penulis menyimpulkan bahwa hanya 5 siswa berada pada tahap operasi formal,
sedangkan 30 siswa lainnya berada pada tahap operasi kongkrit. Keadaan ini tidak sesuai
dengan teori perkembangan kognitif Piaget sebagaimana yang diujikan pada anak-anak Barat
yang berusia 11 tahun ke atas sudah sampai pada tahap operasi formal. Hasil dari penelitian ini
hanya berlaku pada 35 siswa kelas IX MTs Asy Syifa yang diberi soal TLO. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut di SLTP lainnya pada kelas tiga ke atas untuk mengukur tahap
perkembangan kognitif siswa, apakah telah sampai pada tahap operasi formal, sebagaimana
yang dijelaskan dalam teori Piaget.
Kata Kunci: Tahap Perkembangan Kognitif Piaget, Test of Logical Operations.

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Berhasil tidaknya proses belajar mengajar salah satunya dipengaruhi oleh kesesuaian antara materi
pelajaran dan tingkat kemampuan berpikir siswa. Menurut Piaget (Dahar, 1989) bahwa setiap
individu akan mengalami tahap perkembangan kognitif dan siswa sekolah menengah pertama
(SMP) di Indonesia dapat dikatakan mempunyai tingkat perkembangan kognitif operasional
formal, dikarenakan telah berusia rata-rata di atas 11 tahun. Pada tingkat tersebut, anak-anak dapat
menggunakan operasi konkretnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks (dapat berpikir
abstrak).
Jean Piaget sering disebut sebagai ahli Ilmu Jiwa dan Biologi bangsa Swiss. Ada pula yang
mengatakan bahwa ia bukan ahli Ilmu Jiwa karena tidak bersekolah untuk mejadi ahli Ilmu Jiwa,
tetapi ia banyak menggunakan istilah-istilah Ilmu Jiwa. Piaget merupakan ahli Zoologi melalui
sekolah. Bidang utamanya adalah Falsafah dan Biologi (Ruseffendi, 2006).
Piaget mengadakan penelitian kepada anak-anak Barat, dimulai dengan penelitian kepada anaknya
sendiri. Dari penelitiannya timbul teori belajar yang biasa dikenal Teori Perkembangan Mental
Manusia. Kata mental biasanya disebut juga dengan intelektual atau kognitif. Teori ini
disebut teori belajar karena berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar. Piaget
menetapkan ragam dari tahap-tahap perkembangan kognitif manusia dari lahir sampai dewasa serta

224

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

ciri-ciri dari setiap tahap tersebut. Menurut teorinya, perkembangan kognitif manusia itu tumbuh
secara kronologis (urutan waktu) melalui empat tahap tertentu yang berurutan.
Empat tahap yang dimaksudkan dari teori perkembangan kognitif Piaget (Ruseffendi, 2006),
sebagai berikut:
1. Tahap sensori motor (dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun).
2. Tahap preoperasi (umur dari sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun).
3. Tahap operasi kongkrit (umur dari sekitar 7 tahun sampai sekitar 11 sampai 12 tahun atau
lebih).
4. Tahap operasi formal (umur dari sekitar 11 tahun sampai dewasa).
Menurut Ruseffendi (2006) bahwa sebaran umur setiap tahap ini adalah rata-rata (sekitar) dan
mungkin terdapat perbedaan antara anak yang satu dengan anak yang lain dari suatu masyarakat.
Lagi pula, teori Piaget ini hanya berlaku bagi masyarakat Barat. Atherton (2011) menjelaskan
tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget dalam tabel 1, sebagai berikut:
Tabel 1. Stages of Cognitive Development Piaget
Stage
Sensori-motor
(Birth-2 yrs)

Pre-operational
(2-7 years)

Concrete operational
(7-11 years)

Formal operational
(11 years and up)

Characterized by
Differentiates self from objects.
Recognizes self as agent of action and begins to act intentionally: e.g.
pulls a string to set mobile in motion or shakes a rattle to make a noise.
Achieves object permanence: realizes that things continue to exist even
when no longer present to the sense (pace Bishop Berkeley).
Learns to use language and to represent objects by images and words.
Thinking is still egocentric: has difficulty taking the viewpoint of others.
Classifies objects by a single feature: e.g. groups together all the red
blocks regardless of shape or all the square blocks regardless of colour.
Can think logically about objects and events.
Achieves conservation of number (age 6), mass (age 7), and weight (age
9).
Classifies objects according to several features and can order them in
series along a single dimension such as size.
Can think logically about abstract propositions and test hypotheses
systematically.
Becomes concerned with the hypothetical, the future, and ideological
problems.

Piaget menyatakan bahwa anak-anak dianggap siap mengembangkan konsep atau materi khusus
jika memperoleh skemata yang diperlukan, hal ini berarti anak-anak tidak dapat belajar
(mengembangkan skemata) apabila tidak memiliki keterampilan kognitif, artinya proses belajar
mengajar menjadi terhambat bila penalaran formal siswa tidak sesuai dengan yang diperlukan.
Maka dari itu, perlu dilakukan penelitian tentang perkembangan kognitif siswa untuk menguji
kesesuaian tahap-tahap Piaget tersebut. Penulis melakukan penelitian kepada siswa kelas IX di
MTs Asy Syifa.
1.2.

Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimana tahap perkembangan kognitif matematika
siswa kelas IX di MTs Asy Syifa menurut tahap perkembangan kognitif Piaget?
1.3.

Asumsi

Dalam penelitian ini, penulis memiliki asumsi-asumsi, sebagai berikut:


1) Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget, siswa kelas IX MTs Asy Syifa (setara kelas
3 SLTP) yang berusia antara 14 sampai 16 tahun berada pada tahap operasi formal.
2) Berdasarkan pendapat Ruseffendi (2006: 148) yang menyatakan bahwa:Dilihat dari segi
umur anak di SLTP kita, sebagian daripada mereka tahap berpikirnya belum masuk ke dalam

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

225

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

tahap operasi formal. Sebab itu, nampaknya tahap berpikir formal ini aman bila dikenakan
kepada murid SLTP kelas III ke atas..
1.4.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelaah kesesuaian tahap perkembangan kognitif Piaget
terhadap siswa kelas IX di MTs Asy Syifa dalam matematika.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat bagi guru bidang studi matematika kelas IX MTs Asy Syifa
untuk mengetahui tahap perkembangan kognitif siswa yang diajarnya, sehingga dapat menentukan
metode pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan tingkat kognitif siswa.

2.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif, yang berusaha
mencari kesesuaian tahap perkembangan kognitif Piaget pada siswa kelas IX MTs Asy Syifa.
Penelitian ini menggunakan instrumen Test of Logical Operations (TLO) dalam matematika. TLO
telah diuji coba validitas dan reliabilitasnya oleh Leongson & Limjap (2003). TLO terdiri dari 14
soal dan siswa diberi waktu menjawab semua soal selama 45 menit. Penulis menyusun kembali
urutan soal-soal tersebut dari mudah hingga sukar agar siswa tidak langsung merasa kesulitan
menjawab soal pada permulaan.
Tipe soal TLO terdiri dari keproporsionalan, klasifikasi, pola barisan, kompensasi, logika
penggandaan, peluang, dan hubungan. Dalam mengerjakan TLO dituntut kemampuan bernalar
siswa, karena semua soalnya sudah dipelajari siswa di jenjang sebelumnya. Melalui TLO ini,
perkembangan kognitif siswa dapat diketahui.
Hasil jawaban siswa dinilai berdasarkan pedoman penskoran TLO dalam Schoenfelds Scoring
Continuum (Leongson & Limjap, 2003)yang disajikan dalam tabel 2, sebagai berikut:
Tabel 2. Pedoman Penskoran TLO
Nilai
Keterangan
0
Siswa tidak melakukan usaha apapun untuk menyelesaikan masalah.
Siswa melakukan sedikit usaha dalam bentuk sketsa, memperlihatkan hubungan,
1
mengetahui kebutuhan data, atau membuat penjelasan untuk menyelesaikan masalah.
Siswa menunjukkan pemahaman masalah melalui representasi yang dibuat dan
2
melakukan usaha awal setengah jalan untuk menyelesaikan masalah.
Siswa melakukan hal yang baik dalam masalah, masalah hampir terselesaikan, dan
3
solusi benar namun masih terdapat kesalahan.
4
Siswa menyelesaikan masalah secara lengkap dan terpecahkan dengan benar.
Hasil skor TLO siswa dikelompokkan berdasarkan tahap kognitif Piaget (Leongson & Limjap,
2003), seperti pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Pengelompokan Tahap Kognitif Piaget Berdasarkan Skor TLO
Tahap Kognitif Piaget
Tahap Operasi Kongkrit Awal
Tahap Operasi Kongkrit Akhir
Tahap Operasi Formal Awal
Tahap Operasi Formal Akhir

Skor TLO
0 - 14
15 - 28
29 - 42
43 - 56

Rerata pencapaian siswa dalam memahami tipe soal TLO dikategorikan pada tabel 4, sebagai
berikut:

226

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Tabel 4. Kategori Pemahaman Tipe Soal TLO


Kategori
Pemahaman Rendah
Pemahaman Kurang
Pemahaman Cukup
Pemahaman Tinggi

Rerata Skor Soal


0 2,16
2,17 4,16
4,17 6,16
6,17 - 8

2.1 Subjek Penelitian


Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas IX di MTs Asy Syifa sebanyak 35 orang yang terdiri
dari 6 siswa laki-laki dan 29 siswa perempuan dengan usia antara 14 sampai 16 tahun. Lokasi
Penelitian di Desa Kertamukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Penulis memilih
sekolah tersebut karena berada pada level sedang dan kemampuan siswanya heterogen. Selain itu,
lokasi dari MTs Asy Syifa ini sangat efisien bagi penulis dalam melakukan penelitian.

3.

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Sebelum penulis membahas hasil penelitian ini, terlebih dahulu ditampilkan beberapa foto yang
memperlihatkan keadaan siswa ketika mengerjakan soal-soal TLO, sebagai berikut:

Berdasarkan hasil skor TLO dari 35 siswa MTs Asy Syifa yang diolah menggunakan Microsoft
Excel diperoleh bahwa tidak ada siswa yang berada pada tahap operasi formal akhir, 5 siswa berada
pada tahap operasi formal awal, 27 siswa berada pada tahap operasi kongkrit akhir, dan 3 siswa
berada pada tahap operasi kongkrit awal. Jika dibuat histogramnya menggunakan Minitab 16
diperoleh gambar 1, sebagai berikut:

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

227

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Gambar 1. Histogram Skor TLO Siswa


Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa distribusi skor TLO dari 35 siswa menyerupai kurva normal.
Sesuai dengan pendapat Galton (Ruseffendi, 2006: 112) bahwa perbedaan kepandaian, kemampuan
untuk memerintah, tinggi, berat, dan lain-lain bila dibuat distribusinya maka akan berupa distribusi
yang pada masa kini disebut distribusi normal.
Dengan demikian, dari sekelompok anak sebarang (yang tidak dipilih khusus) terdapat sejumlah
anak-anak yang berbakat hebat yang ada di atas kelompok sedang (menengah) yang jumlahnya
sama dengan anak-anak tidak pandai di bawah anak-anak yang sedang itu. Gambar 2 di bawah ini,
menunjukkan skor TLO siswa yang berdistribusi normal dengan menggunakan Minitab 16.

Gambar 2. Distribusi Skor TLO Siswa


Gambar 2 di atas memperlihatkan bahwa distribusi skor TLO siswa selalu mendekati garis normal.
Berdasarkan uji Anderson Darling dengan diperolehnya nilai P-Value sebesar 0,340 (kecil dari alfa
0,05) disimpulkan bahwa skor TLO siswa berdistribusi normal.
Apabila dilihat dari gender siswa, seorang siswa laki-laki dan 4 orang siswa perempuan yang
berada pada tahap operasi formal awal, 5 orang siswa laki-laki dan 22 orang siswa perempuan
berada pada tahap operasi kongkrit akhir, sedangkan siswa yang berada pada tahap operasi kongkrit

228

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

awal semuanya perempuan sebanyak 3 orang. Ruseffendi (2006: 237) dalam penelitiannya
menemukan bahwa pada umumnya sikap siswa wanita (di kelas 3 SMP dan 1 SMA) terhadap
matematika itu kurang positif dibandingkan dengan pria. Pemahaman siswa terhadap tipe soal TLO
disajikan pada tabel 5, sebagai berikut:
Tabel 5. Rerata Pemahaman Siswa Terhadap Tipe Soal TLO
Tipe Soal
Keproporsionalan
Klasifikasi
Pola Barisan
Kompensasi
Logika Penggandaan
Peluang
Hubungan

No. Soal
1 dan 2
3 dan 4
5 dan 6
7 dan 8
9 dan 10
11 dan 12
13 dan 14

Rerata
2,42
1,21
1,19
2,34
1,54
0,61
1,76

Kategori
Pemahaman Kurang
Pemahaman Rendah
Pemahaman Rendah
Pemahaman Kurang
Pemahaman Rendah
Pemahaman Rendah
Pemahaman Rendah

Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa pemahaman siswa kurang pada tipe soal keproporsionalan dan
kompensasi, sedangkan pemahaman siswa pada tipe soal klasifikasi, pola barisan, logika
penggandaan, peluang, dan hubungan tergolong rendah. Jika diurut lagi berdasarkan rerata
pemahaman siswa terhadap tipe soal TLO maka tipe soal yang lebih dipahami siswa adalah
keproporsionalan (2,42), kompensasi (2,34), hubungan (1,76), logika penggandaan (1,54),
klasifikasi (1,21), pola barisan (1,19), dan peluang (0,61). Rendahnya pemahaman siswa terhadap
soal-soal yang diujikan berdampak negatif terhadap perkembangan kognitifnya. Apabila dilihat
rerata pemahaman siswa berdasarkan tahap perkembangan kognitifnya diperoleh data seperti pada
tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Rerata Pemahaman Siswa Terhadap Tipe Soal TLO
Berdasarkan Perkembangan Kognitif
Tipe Soal
Keproporsionalan
Klasifikasi
Pola Barisan
Kompensasi
Logika Penggandaan
Peluang
Hubungan
Rerata
Pemahaman

Rerata Perkembangan Kognitif Siswa


Formal Awal Kongkrit Akhir Kongkrit Awal
2,80
2,43
2,00
2,00
1,17
0,33
1,50
1,15
1,00
4,00
2,22
0,67
2,70
1,44
0,50
1,30
0,54
0,17
2,90
1,67
0,67
2,46
1,52
0,76
Kurang
Rendah
Rendah

Berdasarkan tabel 6 di atas, diperoleh rerata pemahaman siswa pada tahap operasi formal awal di
setiap tipe soal TLO selalu lebih baik dari siswa pada tahap operasi kongkrit akhir dan tahap
operasi kongkrit awal. Demikian juga pemahaman siswa pada tahap operasi kongkrit akhir selalu
lebih baik dari pemahaman siswa pada tahap operasi kongkrit di setiap tipe soal TLO.

4.

Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian ini, berdasarkan asumsi yang telah diutarakan sebelumnya, penulis
menyimpulkan bahwa siswa kelas IX MTs Asy Syifa sebanyak 35 orang dengan usia 14 sampai 16
tahun belum semuanya berada pada tahap operasi formal. Hanya 5 siswa berada pada tahap operasi
formal, sedangkan 30 siswa lainnya berada pada tahap operasi kongkrit. Keadaan ini tidak sesuai
dengan teori perkembangan kognitif Piaget sebagaimana yang diujikan pada anak-anak Barat yang
berusia 11 tahun ke atas sudah sampai pada tahap operasi formal.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

229

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Hasil dari penelitian ini hanya berlaku pada 35 siswa kelas IX MTs Asy Syifa yang diberi soal
TLO. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di SLTP pada kelas tiga atau jenjang sekolah
menengah lainnya untuk mengukur tahap perkembangan kognitif siswa, apakah telah sampai ke
tahap operasi formal, sebagaimana yang dijelaskan dalam teori Piaget. Ruseffendi (2006: 148)
menyatakan bahwa tahap berpikir formal ini lebih aman bila dikenakan kepada murid SLTP kelas
tiga ke atas.

DAFTAR PUSTAKA
Atherton, J. S. (2011). Learning and Teaching; Piaget's Developmental Theory. [Online]. Tersedia
di: http://www.learningandteaching.info. Diakses 18 September 2011
Dahar, R. W. (1997). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
.Leongson & Limjap (2003). Test of Logical Operations. Filipina: University Bataan Polytechnic
State College and De La Salle University.
Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

230

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

APLIKASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI


DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DAN
MENGENAL SOFTWARE AUTOGRAPH
Ida Nuraida
Pendidikan Matematika, Universitas Galuh Ciamis

ida.nuraidamath@gmail.com

ABSTRAK
Teknologi dalam pendidikan yang pesat memiliki dampak pada pembelajar di dunia luas.
Beberapa orang percaya bahwa teknologi membawa dampak jelek bagi masa depan siswa di
dalam pembelajarnnya. Semua siswa berbeda dalam pembelajarannya, dan teknologi
membantu kesulitan dalam pendidikan, khususnya dalam pembelajaran siswa. Ada
pembelajaran jarak jauh, pembelajaran elektronika, penggunaan software, misal software
autografh dan multimedia yang diterapkan dalam pembelajaran matematika. Mungkin
pembelajar Ketika teknologi dan metode pembelajaran yang tepat atau cocok diintegrasikan
dalam belajar dan pembelajaran, dampak positif mungkin dapat diterapkan dalam kedua ranah
kognitif dan afektif. Fungsi teknologi sebagai alat atau penghubung komunikasi dengan
pembelajar lainnya, untuk aktif menerima transfer informasi dari seorang guru, buku teks atau
media. Siswa dapat membuat pilihan tentang bagaimana membangkitkan semangat,
memperoleh informasi, memanipulasi atau menyalurkan informasi. Progres teknologi yang
cepat memiliki dampak pada belajar dan pembelajaran. Beberapa upaya dibuat untuk
meningkatkan pembelajaran siswa dalam pembelajaran matematika. Pada pembelajaran
tradisional, siswa pasif dalam menerima informasi ketika guru lebih cepat melengkapi
informasi untuk mereka.
Kata Kunci: Autograph, E-learning, Multimedia Pembelajaran Jarak Jauh, Software,
Teknologi Informasi

1.

Pendahuluan

Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung begitu pesat, bahkan
bukan dalam hitungan tahun, bulan, minggu,hari, atau jam melainkan menit atau detik.
Perkembangan ini terutama dalam teknologi yang berkaitan teknologi informasi dan komunikasi
yang didukung oleh teknologi elektronika. Hal ini sudah barang tentu sangat berpengaruh pada
berbagai bidang kehidupan, yang sangat terasa terutama pada bidang pendidikan. Pengaruh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya berdampak positif saja, dampak
negatifnya pun ada, bahkan mungkin lebih besar.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berdampak positif apabila kita
memanfaatkannya dan menggunakannya dengan baik. Teknologi dan komunikasi pada saat ini
telah menembus dunia dan ruang waktu, kita akan mengetahui kejadian, peristiwa, atau
perkembangan suatu negara hanya dengan membuka suatu situs dalam hitungan beberapa detik.
Dampak negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknonologi dan komunikasi yaitu terjadi
pergeseran nilai, norma, aturan dan moral yang bertentangan dengan kehidupan yang dianut
masyarakat, dari dampak ini terjadi degradasi akhlak yang sangat memprihatinkan.
Pendidikanlah yang sangat berperan penting untuk mensikapi dampak negatif dari perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi. Pelaku pendidikan harus mengembangkan
dampak positif dan memperbaiki dampak negatif agar peserta didik mengetahui apa yang harus
disikapi dalam menghadapi era kemajuan teknologi dan perkembangan jaman yang tidak bisa
dielakkan lagi. Kita sebagai pendidik jangan menghindar dari teknologi, malah kita harus menjadi
pelopor dalam pengembangan dan pemanfaatannya.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

231

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Perubahan sistem pendidikan di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan sistem pendidikan yang
lebih berkualitas, yaitu dengan mengikuti jaman dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi informasi dan komunikasi. Sistem pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kompetensi peserta didik dan membentuk watak serta karakter bangsa yang berkepribadian luhur.
Adapun tujuan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang hanya bisa
dilakukan oleh tenaga pengajar profesional yang berkompeten.
Pendidikan merupakan sebuah proses akademik yang tujuannya untuk meningkatkan nilai sosial,
budaya, moral, dan agama peserta didik. Pendidikan juga bertujuan untuk mempersiapkan peserta
didik menghadapi tantangan dan pengalaman dalam kehidupan nyata. Tantangan yang harus
dihadapi salah satunya mengimbangi perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi.
Peserta didik diharapkan dapat menerapkan teknologi tersebut dalam pembelajaran yang
sebelumnya tenaga pengajar khususnya guru telah menyampaikan hal tersebut sehingga teknologi
dapat dimanfaatkan dalam pemberian materi. Materi pelajaran yang dapat disampaikan dengan
menggunakan teknologi salah satunya pada mata pelajaran matematika. Teknologi yang dapat
digunakan dalam menyampaikan materi matematika banyak sekali ragamnya dan itu tidak akan
membosankan dalam pembelajaran.

2.

Teknologi Informasi dan Komunukasi (TIK)

a. Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan


Ada beberapa peran penting dari Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam pendidikan, antara
lain:
1) TIK sebagai kompetensi dan skill
a) Setiap pemangku kepentingan harus memiliki kompetensi dan keahlian menggunakan TIK
untuk pendidikan
b) Informasi merupakan bahan mentah dar pengetahuan yang harus diolah melalui proses
pembelajaran
c) Membagi pengetahuan antar satu peserta didik dengan yang lainnya bersifat mutlak dan
tidak berkesudahan
d) Belajar mengenai bagaimana cara belajar yang efektif dan efisien bagi bagi pengajar,
peserta didik, dan stakeholder
e) Belajar adalah proses seumur hidup yang berlaku bagi setiap individu atau manusia
2) TIK sebagai Infrastruktur Pembelajaran
a) Bahan ajar pada saat ini banyak disimpan dalam format digital dengan model yang
beragam seperti multimedia
b) Para peserta didik dan instruktur secara aktif bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya
c) Proses pembelajaran seharusnya dapat dilakukan dimana dan kapan saja
d) Perbedaan letak geografis seharusnya tidak menjadi halangan untuk belajar
e) Didalam pendidikan yang bakan menjadi fenomena baru yaitu the network is the school
3) TIK sebagai sumber bahan belajar
a) Ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat
b) Guru-guru yang professional tersebar di berbagai belahan dunia
c) Buku-buku, bahan ajar, dan referensi diperbaharui secara kontinu
d) Suatu inovasi memerlukan kerja sama dalam pemikiran
e) Proses pembelajaran yang up-to-date membutuhkan waktu yang lama apabila tanpa
teknologi

232

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

4) TIK sebagai alat bantu dan fasilitas pembelajaran


a) Penyampaian pengetahuan seharusnya mempertimbangkan konteks dunia nyata peserta
didik
b) Memberikan ilustrasi berbagai fenomena ilmu pengetahuan untuk mempercepat
penyerapan bahan ajar
c) Peserta didik diharapkan melakukan eksplorasi terhadap pengetahuannya secara lebih
bebas dan mandiri
d) Akuisisi pengetahuan berasal dari interaksi antar peserta didik dan guru
e) Rasio antara guru dan peserta didik proses pemberian fasilitas
5) TIK sebagai pendukung manajemen pembelajaran
6) TIK sebagai system pendukung keputusan
b. Teknologi Informasi dan komunikasi dalam Pembelajaran
Untuk meningkatkan kompetensi guru dalam mengajar dan mutu peserta didik harus ada
pengintegrasian TIK kedalam pembelajaran, karena TIK yang berkembang pada saat ini sangat
memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan termasuk bidang pendidikan khususnya
dalam proses pembelajaran. Biasanya pembelajaran berlangsung melibatkan fasilitas berupa
material seperti buku, sekarang berkembang dengan memanfaatkan fasilitas jaringan kerja
(network) dengan memanfaatkan teknologi computer dan internet, sehingga terbentuk peserta didik
online.
Oleh karena itu guru hendaknya memanfaatkan seluruh kemampuan dan potensi teknologi untuk
meningkatkan pembelajaran, terutama melakukan inovasi dalam upaya mengembangkan proses
belajar peserta didik.
Pemanfaatan TIK dalam pembelajaran antara lain dengan:
1) Guru dan peserta didik mampu mengakses kepada TIK
2) Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menggunakan TIK, karena guru berperan
sebagai peserta didik yang harus belajar terus menerus sepanjang hayat. Tujuannya untuk
meningkatkan kualitas professional dan kompetensinya
3) Tersedia materi pembelajaran yang berkualitas dan bermakna
Guru bukan instruktur yang tugasnya memberikan perintah atau pengarahan kepada peserta didik
melainkan guru harus menjadi mitra belajar sehingga memungkinkan peserta didik tidak segan
untuk berpendapat, bertanya, bertukar pikiran dengan guru. Peran peserta didik dalam
pembelajaran bukan obyek yang pasif yang hanya menerima informasi dari guru, namun peserta
didik harus diberi keleluasaan dalam mengembangkan cara-cara belajarnya sendiri sesuai dengan
karakteristik, kebutuhan, bakat, atau minatnya. Peserta didik tidak hanya mengingat konsep-konsep
yang diberi oleh guru tetapi peserta didik harus menemukan sendiri berbagai informasi atau ilmu
pengetahuan. Dari hasil temuan selama belajar. Paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru
(instructional teacher centered) harus segera diubah menjadi pembelajaran yang berpusat pada
siswa (instructional student centered) agar dalam proses pembelajaran terjadi pembelajaran yang
bermakna (meaningful).
c. Tujuan Mempelajari Teknologi Informasi dan komunikasi
Pembelajaran yang berbasis TIK akan lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran biasa, tetapi
penerapan TIK harus disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan.
Ada beberapa tujuan mempelajari TIK yaitu:
1) Pada aspek kognitif: dapat mengetahui, mengenal, atau memahami TIK. Meningkatkan
pengetahuan dan minat peserta didik pada teknologi, serta meningkatkan kemampuan berpikir

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

233

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

ilmiah sekaligus persiapan untuk pendidikan, pekerjaan, dan peran di masyarakat pada era
teknologi yang akan datang.
2) Pada aspek afektif: dapat bersikap aktif, kreatif, apresiatif dan mandiri dalam penggunaan TIK.
Selain itu juga dapat menghargai karya cipta di bidang TIK
3) Pada aspek psikomotorik: dapat terampil memanfaatkan TIK untuk proses pembelajaran dan
dalam kehidupan sehari-hari. Membentuk kemampuan dan minat peserta didik terhadap
teknologi.
d. Komponen Teknologi Informasi dan Komunikasi
Komponen utama TIK adalah:
1) Sistem komputer
Komputer digunakan untuk menerima, menyimpan, memproses, menyajikan data dan member
informasi. Di dalam komputer terdapat hardware, software, dan penyimpanan. Komponenkomponen sistem komputer antara lain:
a) Komputer
b) Software
c) Informasi
d) Pemograman
e) Manusia
f) Komunikasi
2) Komunikasi
Pada komponen komunikasi terdapat fasilitas yang sering kita jumpai dan kita gunakan yaitu:
modem, multiplexer, bridge, gateway, network card, concentrator dan pemroses depan.
3) Mengetahui penggunaan
Untuk mengetahui manfaat dan kegunaan komputer, kita harus mengetahui untuk apa
komputer, bagaimana menggunakan komputer dan kapan menggunakan komputer, sehingga
kita tahu segalanya tentang komputer. Maka kita harus sering menggunakan komputer agar kita
terbiasa dalam mengoperasikan komputer.
e. Fungsi dan Manfaat Teknologi Informasi dan Komunikasi
Fungsi TIK adalah untuk:
1) Pengumpulan data
2) Penyimpanan data
3) Pengiriman data
Selain memiliki fungsi, TIK juga memiliki Manfaat yaitu:
1) Cepat
2) Konsisten
3) Jitu
4) Meningkatkan produktivitas
5) Menciptakan kreativitas
6) Menaruh kepercayaan

3.

Pemanfaatan Internet dalam Pembelajaran

a. Perkembangan internet
Internet sudah ada sejak tahun 1950-an yang terkenal dengan DARPA dan setelah itu muncul
WWW (World Wide Web) pada tahun 1990-an. Selain digunakan untuk mengakses berbagai
informasi, internet juga digunakan sebagai alat transaksi, pembayaran, perdagangan, pemasaran,
kesehatan dan pendidikan. Pada tahun 1989 pengguna internet di Amerika hanya berjumlah 213,
dan pada tahun 1991 angka tersebut mengalami pelonjakan menjadi 617.000. Jika dihitung secara
besar-besaran di dunia pada akhir tahun 1977 pengguna internet di seluruh dunia terdapat 99,96%.

234

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Dapat disimpulkan penggunaan internet pada setiap tahun mengalami peningkatan 20%.(Munir,
2010)
Faktor utama daya tarik internet adalah dilihat dari sisi kemampuan internet dalam mengakses
informasi teks, audio, gambar, perkiraan, ilustrasi dan yang lain dari 320 juta web di internet
dengan lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan media komunikasi/informasi yang lain. Kini
terdapat 320 juta buah mesin pencarian internet, diantaranya adalah Alta Vista, Excite, HotBot,
Infseek, Lycos, Open Text, MetaCrawler, WebCrawler dan Yahoo.
Dilihat dari segi teknikal, mesin pencarian berfungsi:
1) Indeks informasi baru, yaitu proses peng-update-an informasi.
2) Menstor halaman Web yang sudah diindeks
3) Memberikan informasi pada setiap halaman Web sehingga mudah dicapai.
b. Pengertian internet
Internet merupakan suatu jaringan komputer yang saling terkoneksi dengan jaringa komputer
lainnya ke seluruh penjuru dunia (Kitao, 1998 dalam Munir). Pengertian internet tidak hanya
terbatas pada aspek seperangkat keras berupa seperangkat komputer yang saling berhubungan satu
sama lain dan memiliki kemampuan untuk mengirimkan data, baik berupa teks, pesan, grafis,
maupun audio. Pengertian internet juga mencakup perangkat lunak yaitu berupa data yang dikirim
dan disimpan yang sewaktu-waktu dapat diakses kembali.
c. Fungsi internet
Ada enam fungsi internet dalam kehidupan sehari-hari yang dikemukakan oleh Kenji Kitao 1998
(dalam Munir), yaitu:
1) Fungsi alat komunikasi
Internet berfungsi sebagai alat komunikasi karena internet bisa digunakan sebagai sarana
komunikasi yang dapat menjangkau ke seluruk pelosok belahan dunia. Komunikasi tersebut
bisa berupa e-mail, atau ngobrol-ngobrol melalui chating maupun mailing list. Ada
perbedaan berkomunikasi antara menggunakan telepon,
facsimile dan internet. Pada
komunikasi yang menggunakan telepon, semakin jauh jarak orang berkomunikasi maka
semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan, dan semakin lama berkomunikasi dengan
menggunakan telepon semakin mahal pula biaya yang harus kita bayar. Namun berkomunikasi
dengan menggunakan internet, pulsa yang harus dibayar hanya pulsa local dan kita dapat
mengirim informasi berupa dokumen. Sedangkan berkomunikasi dengan menggunakan
facsimile, prosesnya sama-sama berlangsung cepat dan informasi atau dokumen yang dikirim
dipersiapkan terlebih dahulu. Namun semakin jauh jarak tujuan yang dituju semakin besar pula
biaya yang harus dikeluarkan. Selain jarak yang berpengaruh, banyak dan sedikitnya dokumen
yang akan dikirim juga berpengaruh pada biaya yang harus dikeluarkan. Semakin banyak
dokumen yang dikirim semakin mahal biaya yang ditanggung. Ada hal lain juga yang menjadi
perbedaan yaitu dokumen yang diterima mungkin tidak seutuhnya dan kualitas teks kurang
baik.
2) Fungsi akses informasi
Dengan menggunakan internet kita dapat mengakses berbagai informasi dari berbagai belahan
di seluruh dunia. Informasi yang dapat diaksespun dapat diakses dari berbagai sumber tidak
ada pengecualian. Selain itu kita dapat pula mengakses informasi-informasi hasil penelitian
yang kemudian dijadikan sebagi referensi. Kita tidak usah cape-cape pergi ke perpustakaan
untuk mencari buku, bahkan kita bisa meminimalisir pengeluaran untuk membeli buku ke toko
buku. Dalam bidang pendidikan hal ini akan meringankan kita dalam pembelajaran dan
pengajaran.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

235

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3) Fungsi pendidikan dan pembelajaran


Dalam bidang pendidikan dan pembelajaran, perangakat lunak yang telah dihasilkan dapat
memungkinkan membuat media pembelajaran elektronik. Setelah media pembelajaran atau
bahan ajar elektronik dikemas dan dimasukkan ke dalam jaringan lalu kita dapat mengakses
melalui internet dan mensosialisasikan program baru untuk media pembelajaran atau bahan ajar
untuk dijadikan bahan pembelajaran berikutnya, seperti program software yang semaki lama
semakin berkembang.
4) Fungsi tambahan
Sifat internet bisa dikatakan sebagai suplemen atau tambahan karena peserta didik dapat
memilih apakah menggunakan internet atau tidak, hal ini sifat internet bisa dikatakan juga
sebagai option. Peserta didik yang memanfaatkan internet tentu akan berbeda dengan peserta
didik yang tidak memanfaatkannya, karena peserta didik yang memanfaatkan internet tentu
akan mendapat tambahan pengetahuan yang tidak didapatkan di sekolah dari gurunya.
5) Fungsi pelengkap
Fungsi pelengkap dari internet yaitu guru membuat bahan ajar untuk peserta didik dengan
tujuan sebagai komplemen bagi peserta didik yang kemampuannya di atas rata-rata atau
mungkin disiapkan secara untuk peserta didik yang kemampuannya di bawah rata-rata
sekalipun.
6) Fungsi pengganti
Alternatif model pembelajaran maupun yang akan dipilih oleh peserta didik tidak menjadi
masalah dalam penilaian. Peserta didik diberi keleluasaan untuk tidak sepenuhnya mengikuti
atau menghadiri pembelajaran secara fisik, sebagai penggantinya peserta didik belajar melalui
internet.

4.

E-learning dalam Pembelajaran

a. Pengertian e-learning
Belakangan ini istilah e-learning sangat popular di lingkungan sekolah. Istilah e-learning sendiri
memiliki definisi yang sangat luas. Hurup e pada e-learning berarti elektronik yang selalu
disepadankan dengan kata virtual atau maya, sedangkan kata learning berarti pembelajaran. Jadi elearning berarti pembelajaran dengan menggunakan media atau jasa bantuan perangkat elektronika.
Elektronika disini tidak hanya komputer saja melainkan alat-alat yang berbau elektronik. Elearning merupakan sebuah proses pembelajaran yang dilakukan melalui network atau jaringan. Elearning memungkinkan penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dengan menggunakan
media TIK berupa komputer dan jaringan internet atau internet. Dengan menggunakan e-learning
belajar bisa dilakukan kapan saja, dimana saja, melalui jalur mana saja dan dengan kecepatan akses
apapun. Sehingga proses pembelajaran akan bejalan lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional, tetapi materinya hrus disesuaikan dengan terlebih dahulu.
b. Ciri-ciri e-learning
E-learning merupakan bentuk pembelajaran yang memanfaatkan fasilitas TIK, maka TIK dapat
dipandang secara positif sebagai media yang menyediakan dan membantu interaksi belajarmengajar yang terjadi, sehingga pembelajaran menjadi efektif dan efisien. Ciri-ciri e-learning
adalah:
1) E-learning tidak tergantung pada ruang dan waktu
2) Pembelajaran dengan e-learning dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.
3) E-learning tidak membutuhkan ruangan yang luas seperti pembelajaran konvensional
4) E-learning dapat memperpendek jarak antara guru dan peserta didik

236

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

c. Kelebihan e-learning
Setelah menyimak pengertian e-lerning dan ciri-cirinya maka kita dapat mengetahui kelebihan elerning. Kelebihan e-learning antara lain adalah:
1) Memberikan pengalaman belajar yang menarik dan bermakna
2) Dapat memperbaiki tingkat pemahaman terhadap materi pembelajaran
3) Memudahkan berlangsungnya proses transfer informasi dan komunikasi
4) Memudahkan akses operasional administrasi dan pengurusannya terpusat
5) Menghemat dan mengurangi biaya pendidikan
6) Pusat perhatian dalam pembelajaran akan tertuju pada peserta didik
7) Meningkatka interaksi pembelajaran
8) Mempermudah interaksi pembelajaran dari mana dan kapan saja
9) Memiliki jangkauan yang lebih luas
10) Mempermudah penyempurnaan dan penyimpanan materi pembelajaran
d. Pengembangan e-learning
Fitur yang ada dalam e-learning yaitu:
1) Database
2) Aplikasi web server (HTTP server)
3) Pemograman web
4) Password
5) Interface
6) Fasilitas sistem e-learning
e. Produk e-learning
Ada beberapa produk teknologi e-learning yaitu:
1) Audio conferencing
Audio conferencing merupakan interaksi atau konferensi langsung dalam bentuk audio antar
dua orang atau lebih yang berbeda tempat, bahkan dapat melibatkan peserta didik yang banyak
pada tempat tersebar dan berbeda.
2) Videobroadcasting
Videobroadcasting merupakan salah satu produk e-learning interaktif yang bersifat satu arah,
dan penggunaanya lebih banyak digunakan daripada audio conferencing. Hal ini karena sifat
videobroadcasting yang audio visual, sehingga melibatkan banyak indera yang digunakan
peserta didik.
3) Videoconferencing
Sesuai dengan namanya, fungsi videoconferencing memberikan visualisasi secara langsung dan
lengkap kepada seluruh peserta didik dengan menggunakan multimedia.
4) Jenis aplikasi e-learning berbasis open source
Jenis aplikasi e-learning antara lain adalah:
a) Moodle
Moodle adalah paket software yang diproduksi untuk kegiatan belajar berbasis internet.
Istilah moodle diambil dari singkatan Modular Object Oriented Dynamic Learning
Environment, yang artinya tempat belajar yang dinamis dengan menggunakan model
berorientasi objek. Moodle dapat didownload secara gratis sehingga peserta didik dapat
dengan bebas mendapatknnya.
b) Atutor
Atutor adalah Web-based Open Source learning Control Management System (LCMS)
yang didesain dengan aksesibilitas dan kemampuan adaptasi. Atutor merupakan paket
software yang diproduksi untuk kegiatan pembelajaran yang berbasis internet dan website.
Peserta didik dapat belajar dalam lingkungan yang berbeda-beda. Atutor juga sama dengan
moodle dapat didownload secara gratis.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

237

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

5) E-learning dan intelligent tutoring system


Intelligent tutoring system atau sistem cerdas pembelajaran adalah strategi pembelajaran yang
menerangkan urutan isi materi pembelajaran, bahan ajar yang diberikan dan umpan balik yang
diterima.

5. Distance Learning dalam Pembelajaran


a. Pengertian distance learning
Distance learning adalah bentuk pembelajaran jarak jauh dengan menggunakan modul yang
tercetak yang digunakan oleh peserta didik dalam pembelajaran berbasis TIK, seperti televisi,
radio, dan komputer serta internetnya. Belajar jarak jauh merupakan suatu sistem pembelajaran
yang menitikberatkan pada proses belajar mandiri secara aktif berdasarkan paket belajar dengan
bimbingan tutorial yang diselenggarakan dari jarak jauh dan satuan waktu tertentu untuk
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan jenis, sifat, dan jenjang pendidikan
yang telah ditetapkan.
b. Prinsip distance learning
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)

Tujuan jelas
Relevan dengan kebutuhan
Mutu pendidikan
Efisiensi dan efektivitas program
Efektivitas
Pemerataan
Kemandirian
Ketrepaduan
Kesinambungan

c. Karakteristik distance learning


1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

Menjangkau semua peserta didik dimanapun berada


Proses belajar dilakukan secara mandiri
Sumber belajar dikembangakan dengan mengacu pada kurikulum
Interaksi belajar dapat dilakukan secara langsung dengan bantuan tutor dalam forum
tutorial
Waktu yang digunakan harus tepat sesuai dengan program
Bertujuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik
Program disusun sesuai dengan jenjang, jenis, dan sifat pendidikan
Penilaian dilakukan sendiri

d. Kelebihan distance learning


1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

Menjangkau target yang telah ditentukan


Memberikan kesempatan yang luas dalam rangka pelayanan terhadap perbedaan individu
Tidak membutuhkan ruangan kelas khusus dan semua jenis perlengkapan
Tidak membutuhkan guru khusus yang bertugas mengajar secara berkesinambungan
Bahan ajar sudah disiapkan dalam bentuk modul
Memberikan kesempatan yang luas pada peserta didik untuk belajar mandiri secara aktif
Lebih efektif, efisien, dan ekonomis
Pengembangan kurikulum didasarkan pada kebutuhan lapangan

e. Kelemahan distance learning


1) Memerlukan waktu yang cukup banyak untuk persiapan dan perencanaan program
2) Menuntut peserta didik untuk belajar mandiri, sehingga memerlukan motivasi tinggi
3) Peserta didik tidak dapat berinteraksi dan berkomunikasi langsung dengan pengajar
238

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

4) Bahan ajar yang disajikan kurang relevan dengan kebutuhan dan kepentingan peserta didik
setempat karena modul disusun secara terpusat.

6. Aplikasi multimedia dalam pembelajaran


Teknologi multimedia diharapkan dapat mengatasi kendala dalam proses belajar mengajar,
sehingga pembelajaran mengacu pada perbaikan kualitas yang diharapkan. Konsep multimedia
didefinisikan oleh Haffost (dalam Munir) sebagai suatu sistem komputer yang terdiri dari hardware
dan software yang memberikan kemudahan untuk menggabungkan gambar, video, fotografi, grafik,
dan animasi dengan suara, teks, dan data yang dikendalikan dengan program komputer.
Penggunaan multimedia akan memberikan rangsangan yang lebih baik dengan terintegrasinya
media audio dan visual dalam satu software yang berisi program pembelajaran. Keefektifan
multimedia disebabkan karena pengajar akan menjawab permasalahan peserta didik dengan cepat
disamping mengawasi perkembangan kognitif, psikomotor, dan afektif. Multimedia memiliki
beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh media lain yaitu: (1) Multimedia menyediakan
proses interaktif dan memberikan kemudahan umpan balik (2) Multimedia memberikan kebebasan
kepada peserta didik dalam menentukan topik proses pembelajaran (3) Multimedia memberikan
kemudahan kontrol yang sistematis dalam proses pembelajaran.
Membuat program multimedia tidaklah semudah membuat media untuk program hiburan. Morgan
& Shade (dalam Munir) menemukan dari sekian banyak program yang ada di pasaran hanya 2025% yang dapat dikategorikan memenuhi syarat layak dipakai untuk keperluan pendidikan. Wright
& Shade (dalam Munir) mengatakan bahwa keefektifan proses pembelajaran dengan menggunakan
computer bergantung kepada softwarenya. Dengan demikian, dalam pembuatan program-program
multimedia diperlukan desain yang sesuai dengan tujuan proses pembelajaran.
Software yang dapat digunakan dalam pembelajaran banyak sekali macamnya dan semua itu harus
disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan. Dengan pemilihan software yang tepat maka
akan semakin efektif proses pembelajaran yang akan dilakukan peserta didik. Sofware yang sudah
sering kita kenal diantaranya: Geogebra, cabri, sketchpad, mathematica, derive, autograph,
grafhmath, garphmatica, wingeom, matlab, minitab, mediaflash, precalculus, winmat, winplot,
winstat, bagatrix, SPSS, dan masih banyak lagi. Dalam hal ini kita harus banyak mempelajari
software-software khususnya untuk pelajaran matematika, agar pembelajaran yang diberika kepada
peserta didik lebih efektif dan efisien, dan harus tepat antara pemakaian software dengan materi.
Salah satu software yang cocok digunakan dalam pembelajaran matematika yaitu software
autograph.
Software autograph merupakan teknologi yang termasuk perangkat lunak yang dinamis untuk
mengajarkan materi aljabar, kalkulus, geometri, persamaan kuadrat, vektor, transformasi, gradient,
fungsi, dan differensial. Selain itu juga autograph dapat digunakan untuk menggambar grafik
statistik, fungsi dan vektor dalam mengubah bentuk. Hal ini juga memungkinkan peserta didik
untuk mengubah bentuk atau pemahaman konsep.
Dalam pembelajaran matematika penggunaan software autograph memungkinkan peserta didik
untuk memvisualisasikan dan selanjutnya memahami fenomena matematika dalam kehidupan
nyata. Mengajar dengan mengintegrasikan autograph di sekolah akan meningkatkan efektivitas dan
kualitas pembelajaran matematika. Autograph hampir sama dengan geogebra, baik dilihat dari
fiturnya maupun operasi kerjanya, tetapi yang membedakan autograph dan geogebra adalah materi
pelajaran yang disampaikannya. Dalam geogebra, materi yang paling cocok yaitu geometri.
Stacey (2007) (dalam jurnal) berpendapat bahwa penggunaan perangkat lunak dalam pembelajaran
matematika akan meningkatkan pemahaman konsep matematika yang berhubungan dengan
variabel dan fungsi serta dapat memvisualisasikan dan merefresentasikan belajar aljabar.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

239

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

DAFTAR PUSTAKA
Dublin, Dublin, L. and Cross, J. (2003), Implementing eLearning: Getting the Most From Your
Elearning Investment. The ASTD International Conference.
Munir. (2010). Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: SPS UPI dan
CV Alfabeta.
Stacey. (2007). Instructional Efficiency of Utilization of Autograph Vs Handheld Graphing
Calculator for Learning Algebra. International Journal of Education and Information
Technology Issu 3, Vol 2, 2008.

240

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI DALAM


PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENDUKUNG
IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
Anik Yuliani
STKIP Siliwangi

anik_yuliani070886@yahoo.com

ABSTRAK
Salah satu model pembelajaran matematika yang dapat mendukung implementasi kurikulum
2013 adalah model pembelajaran inkuiri. Model pembelajaran inkuiri diyakini sangat tepat
diterapkan dalam pembelajaran matematika, dengan menerapakan model pembelajaran inkuiri
diharapkan mampu merangsang keterlibatan siswa secara aktif dan mengadakan suatu
penelitian untuk menemukan suatu penemuan tertentu. Siswa dilatih untuk dapat memecahkan
masalah, membuat keputusan dan memperoleh keterampilan. Karakteristik dari model
pembelajaran inkuiri ini sejalan dengan karakteristik pembelajaran yang terdapat dalam
Permendikbud Nomor 65 tahun 2013 tentang standar kompetensi lulusan dan standar isi.
Selain itu juga sejalan dengan Permendikbud Nomor 66 tahun 2013 tentang standar penilaian,
dimana dikatakan bahwa seorang pendidik dalam menilai kompetensi keterampilan dapat
dilakukan melalui penilaian kinerja. Penilaian kinerja ini dapat dilihat berdasarkan hasil
penemuan siswa yang telah dilakukan melalui proses penelitian.
Kata Kunci: Kurikulum 2013, Model Pembelajaran Inkuiri

1.

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Hasil studi PISA (Program for International Student Assessment), yaitu studi yang memfokuskan
pada literasi bacaan, matematika, dan IPA, menunjukkan peringkat Indonesia baru bisa menduduki
10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematics and
Science Study) menunjukkan siswa Indonesia berada pada ranking amat rendah dalam kemampuan
(1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian
alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil studi ini menunjukkan
perlu ada perubahan orientasi kurikulum dengan tidak membebani peserta didik dengan konten
namun pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga negara untuk berperan serta
dalam membangun negara pada masa mendatang (Kemendikbud, 2012).
Salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia adalah dengan
melakukan perubahan kurikulum. Seiring dengan pergantian kurikulum dari KTSP menjadi
kurikulum 2013, semua pendidik semakin dituntut untuk memiliki kompetensi yang sangat baik
dalam mengembangkan proses pembelajaran yang dilakukan di kelas. Para pendidik dituntut untuk
dapat menghasilkan peserta didik yang handal dibidang sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Adapun salah satu karakteristik dari kurikulum 2013 meliputi penilaian autentik (authentic
assessment) dan pembelajaran saintifik (scientific Learning).
Guru merupakan salah satu ujung tombak keberhasilan implementasi kurikulum 2013, dimana guru
dituntut untuk mampu menerapkan kurikulum 2013 secara tepat dan benar. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan oleh guru matematika dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 adalah
dengan memilih model pembelajaran yang tepat dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas.
Banyak aspek yang harus menjadi perhatian guru dalam memilih model pembelajaran, guru harus
memperhatikan keadaan siswa, materi bahan ajarnya, fasilitas serta media pembelajaran yang
tersedia serta kondisi dari guru itu sendiri.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

241

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Berdasarkan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses, salah satu model
pembelajaran yang diutamakan dalam implementasi kurikulum 2013 adalah model pembelajaran
inkuiri. Gulo (2002) mengemukakan bahwa model pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian
kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk
mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Inkuiri
merupakan suatu proses, proses inkuiri dimulai dari kegiatan merumuskan masalah,
mengembangkan hipotesis, mengumpulkan bukti, dan menarik kesimpulan sementara, menguji
kesimpulan sementara supaya sampai pada kesimpulan yang pada taraf tertentu diyakini oleh
peserta didik yang bersangkutan. Semua tahapan dalam proses inkuiri tersebut merupakan kegiatan
belajar dari siswa. Peranan guru pada model pembelajaran inkuiri ini hanya untuk memfasilitasi
kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam proses belajar serta sebagai motivator dan pengarah.
Model pembelajaran inkuiri diyakini sangat tepat diterapkan dalam pembelajaran matematika,
dengan menerapakan model pembelajaran inkuiri diharapkan mampu merangsang keterlibatan
siswa secara aktif dan mengadakan suatu penelitian untuk menemukan suatu penemuan tertentu.
Siswa dilatih untuk dapat memecahkan masalah, membuat keputusan dan memperoleh
keterampilan.
Hasil akhir yang berupa penemuan yang telah dilakukan melalui proses penelitian ini sejalan
dengan standar penilaian yang dimuat dalam Permendikbud Nomor 66 tahun 2013 tentang Standar
Penilaian. Dalam standar penilaian dikatakan bahwa seorang pendidik untuk melakukan penilaian
kompetensi keterampilan melalui penilaian kinerja, dimana penilaian tersebut menuntut siswa
mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktek, proyek dan
penilaian portofolio.
Model pembelajaran inkuiri ini juga sangat menekankan pada sikap ilmiah dan berfikir ilmiah.
Selain kompetensi pengetahuan dan sikap, sikap ilmiah dan berfikir ilmiah tersebut merupakan
salah satu bentuk keterampilan yang harus dimiliki siswa, dimana keterampilan merupakan salah
satu kompetensi inti dari Kurikulum 2013. Jadi, dapat dikatakan bahwa inti dan karakteristik dari
model pembelajaran inkuiri ini sangat sesuai dan mendukung tujuan Kurikulum 2013.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah: Apa saja karakteristik model
pembelajaran inkuiri dalam pembelajaran matematika yang dapat mendukung implementasi
kurikulum 2013?
1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah : Untuk mengetahui karakteristik model pembelajaran
inkuiri dalam pembelajaran matematika yang dapat mendukung implementasi kurikulum 2013.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan penulisan artikel ini, penulis berharap akan memberikan masukan-masukan bagi para
pembaca mengenai pentingnya menerapkan model pembelajaran inkuiri untuk mendukung
implementasi kurikulum 2013.

2.

Pembahasan

2.1. Model Pembelajaran Inkuiri


Dalam bahasa inggris inkuiri adalah inquiry, yang diartikan sebagai pertanyaan, atau pemeriksaan,
penyelidikan. Gulo (2002) mengemukakan bahwa inkuiri merupakan suatu rangkaian kegiatan
belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan
menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri

242

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

penemuannya dengan penuh percaya diri. Hal senada juga diungkapkan oleh Sanjaya (2009)
strategi pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada
proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu
masalah yang dipertanyakan.
Sanjaya (2009) juga mengemukakan bahwa proses pembelajaran inkuiri adalah model
pembelajaran yang memiliki tahap-tahap dalam proses pembelajarannya, adapun tahapan-tahapan
tersebut meliputi :

a. Orientasi
Pada tahap ini, guru harus menciptakan suasana atau iklim pembelajaran yang kondusif. Guru
menjelaskan pentingnya topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh
siswa. Guru juga menjelaskan pokok-pokok kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa untuk
mencapai tujuan, menjelaskan langkah-langkah inkuiri serta tujuan setiap langkah, mulai dari
langkah merumuskan masalah sampai dengan merumuskan kesimpulan. Serta guru harus
menjelaskan pentingnya topik dan kegiatan belajar.

b. Merumuskan masalah
Pada langkah ini siswa dihadapkan pada suatu persoalan yang mengandung teka-teki. Persoalan
yang diberikan kepada siswa merupakan persoalan yang menantang dan siswa diharapkan
mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Proses penyelesaian masalah tersebut merupakan hal
penting dalam pembelajaran inkuiri, karena itu melalui proses tersebut siswa akan memperoleh
pengalaman sebagai upaya mengembangkan mental melalui proses berpikirnya.

c. Merumuskan hipotesis
Pada langkah ini siswa membuat dugaan atas pertanyaan yang diberikan guru. Hipotesis yang
dibuat diuji kebenarannya, karena merupakan jawaban sementara. Guru harus mampu
mengembangkan kemampuan berhipotesis pada siswa, dengan cara mengajukan berbagai
pertanyaan yang mendorong siswa untuk dapat merumuskan dugaannya atau merumuskan
berbagai dugaan kemungkinan jawaban terhadap masalah yang dikaji.

d. Mengumpulkan data
Pada tahap mengumpulkan data, siswa menjaring informasi yang dibutuhkan untuk menguji
hipotesis yang diajukan. Mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat penting
dalam pengembangan intelektual. Peran guru pada tahap ini adalah untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk berpikir mencari informasi yang
dibutuhkan.

e. Menguji hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan untuk menentukan jawaban yang dianggap benar sesuai dengan
data yang diperoleh. Siswa dituntut untuk menggunakan segala pengetahuannya. Dalam
pengujian hipotesis, siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir rasionalnya. Sehingga
kebenaran jawaban yang diberikan berdasarkan argumentasi dari data yang ditemukan dan dapat
dipertanggungjawabkan.

f. Merumuskan kesimpulan
Merumuskan kesimpulan merupakan proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh siswa
berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Untuk memperoleh kesimpulan yang akurat guru
sebaiknya menunjukkan pada siswa data mana yang relevan untuk digunakan.
Sagala (2011) juga mendefinisikan model pembelajaran inkuiri merupakan model pembelajaran
yang berupaya menanamkan dasar-dasar berfikir ilmiah pada diri siswa yang berperan sebagai
subjek belajar, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri,
mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Sementara itu Aziz (Ahmad, 2011)
mengemukakan bahwa model pembelajaran inkuiri adalah model yang menempatkan dan menuntut
guru untuk membantu siswa menemukan sendiri data, fakta dan informasi tersebut dari berbagai
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

243

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

sumber agar dengan kegiatan itu dapat memberikan pengalaman kepada siswa. Pengalaman ini
akan berguna dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya.
2.2. Kurikulum 2013
Mengingat semakin menurunnya kualitas moral serta mental generasi muda saat ini, maka banyak
upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki masalah tersebut. Salah satu upaya
pemerintah tersebut adalah dengan melakukan perubahan kurikulum. Kurikulum yang diterapkan
saat ini adalah kurikulum 2013, dimana dalam kurikulum 2013 ini lebih mengutamakan
pembentukan karakter peserta didik. Perubahan kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah harus
meningkat dari kurikulum yang dirubah sebelumnya, kepentingan peserta didik harus lebih
diutamakan.
Tilaar (1999) mengemukakan bahwa sejak tahun 1945 pemerintah sudah melakukan banyak sekali
perubahan kurikulum di Indonesia. Tahun 1947 kurikulum rencana pelajaran dirinci dalam
Rencana Pelajaran Terurai, 1964 Rencana Pendidikan Sekolah Dasar, 1968 Kurikulum Sekolah
Dasar, 1973 kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), 1975 Kurikulum Sekolah
Dasar, 1984 Kurikulum 1984, 1994 Kurikulum 1994, 1997 revisi Kurikulum 1994, 2004 rintisan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), 2006 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan
saat ini kurikulum yang terbaru adalah kurikulum 2013.
Kemendikbud (2012) menjelaskan bahwa kurikulum merupakan salah satu unsur yang bisa
memberikan kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi
peserta didik. Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa kurikulum yang dikembangkan dengan
berbasis pada kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik
menjadi: (1) manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu
berubah; dan (2) manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab.
Peserta didik yang mengikuti pendidikan masa kini akan menggunakan apa yang diperolehnya dari
pendidikan ketika mereka telah menyelesaikan pendidikan 12 tahun dan berpartisipasi penuh
sebagai warganegara. Atas dasar pikiran itu maka konten pendidikan yang dikembangkan dari
warisan budaya dan kehidupan masa kini perlu diarahkan untuk memberi kemampuan bagi peserta
didik menggunakannya bagi kehidupan masa depan terutama masa dimana dia telah menyelesaikan
pendidikan formalnya. Dengan demikian sikap, keterampilan dan pengetahuan yang menjadi
konten pendidikan harus dapat digunakan untuk kehidupan paling tidak satu sampai dua dekade
dari sekarang. Artinya, konten pendidikan yang dirumuskan dalam Standar Kompetensi Lulusan
dan dikembangkan dalam kurikulum harus menjadi dasar bagi peserta didik untuk dikembangkan
dan disesuaikan dengan kehidupan mereka sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warganegara
yang produktif serta bertanggungjawab di masa mendatang.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses, karakteristik
pembelajaran pada setiap satuan pendidikan terkait erat pada Standar Kompetensi Lulusan dan
Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan memberikan kerangka konseptual tentang sasaran
pembelajaran yang harus dicapai. Standar Isi memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan
belajar dan pembelajaran yang diturunkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi.
Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah
sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan.
Ketiga ranah kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang berbeda.
Sikap diperoleh melalui aktivitas menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan
mengamalkan. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas mengingat, memahami, menerapkan,
menganalisis, mengevaluasi, mencipta. Keterampilan diperoleh melalui aktivitas mengamati,
menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Karaktersitik kompetensi beserta perbedaan
lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik standar proses. Untuk memperkuat

244

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar mata pelajaran), dan tematik (dalam
suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian
(discovery/inquiry learning). Untuk mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan
karya kontekstual, baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan
pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah(project based
learning).
Sementara itu dalam Permendikbud Nomor 66 tahun 2013 tentang Standar Penilaian, penilaian
proses pembelajaran menggunakan pendekatan penilaian otentik (authentic assesment) yang
menilai kesiapan siswa, proses, dan hasil belajar secara utuh. Keterpaduan penilaian ketiga
komponen tersebut akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan perolehan belajar siswa atau bahkan
mampu menghasilkan dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant
effect) dari pembelajaran. Hasil penilaian otentik dapat digunakan oleh guru untuk merencanakan
program perbaikan (remedial), pengayaan (enrichment), atau pelayanan konseling. Selain itu, hasil
penilaian otentik dapat digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki proses pembelajaran sesuai
dengan Standar Penilaian Pendidikan. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan saat proses
pembelajaran dengan menggunakan alat: angket, observasi, catatan anekdot, dan refleksi.
2.3. Karakteristik Model Pembelajaran Inkuiri yang sesuai dengan kurikulum 2013
Berdasarkan kajian teori yang telah dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran
inkuiri merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran
matematika yang dapat mendukung implementasi kurikulum 2013. Hal tersebut sejalan dengan
yang tertulis dalam Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses. Dimana tertulis
bahwa untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar mata
pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis
penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning).
Karakteristik dari model pembelajaran inkuiri ini sejalan dengan pendekatan ilmiah (scientific), hal
ini dikarenakan dalam model pembelajaran inkuiri siswa dirangsang untuk aktif berpikir secara
ilmiah, sehingga siswa mampu menganalisis, siswa lebih banyak belajar sendiri, serta mampu
mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai
subjek yang belajar, peranan guru dalam pembelajaran inkuiri adalah sebagai pembimbing dan
fasilitator. Menurut GLEF (Hutabarat, 2009) dengan inkuiri akan memperbaiki prestasi siswa,
karena pengetahuan diperoleh oleh beberapa tindakan riset. Maksudnya adalah dalam penelitian
inkuiri siswa akan menjadi lebih kreatif dan lebih berpikir positif dan mandiri. Pada model
pembelajaran inkuiri konsep, dalil, prosedur, algoritma yang dipelajari oleh siswa merupakan hal
yang baru, tetapi guru sudah mengetahui apa yang akan ditemukan dan anak melakukan terkaan,
melakukan perkiraan sesuai dengan pengalamannya untuk sampai pada konsep yang ditemukan.
Pada model pembelajaran inkuiri ini siswa juga menjadi lebih aktif dan antusias dalam belajar, hal
tersebut tergambar pada tahap-tahap pembelajaran inkuiri sosial seperti observasi, hipotesis,
menyusun definisi, eksplorasi, pengumpulan data dan fakta, sampai pada menggeneralisasikan
temuan yang diperoleh pada pembelajaran.
Penerapan model pembelajaran inkuiri dalam pembelajaran matematika melibatkan keterampilan
proses seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan, menjelaskan, dan
menyimpulkan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sanjaya (2009) bahwa metode inkuiri
memiliki beberapa keunggulan, diantaranya:
a. Metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang menekankan kepada pengembangan
aspek kognitif, afektif dan psikomotor secara seimbang sehingga pembelajaran akan lebih
bermakna.
b. Metode inkuiri memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar
mereka.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

245

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

c.

d.

Metode inkuiri merupakan metode yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi
belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat
adanya perubahan.
Keuntungan lain adalah metode pembelajaran ini dapat melayani kebutuhan siswa yang
memiliki kemampuan di atas rata-rata. Artinya, siswa yang memiliki kemampuan belajar
yang bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar.

Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran inkuiri menekankan pada proses ilmiah (scientific).
Ketika menekankan pada proses ilmiah berarti proses pembelajaran selalu dimulai dengan
memunculkan permasalahan, hipotesis, pengujian data dan membuat kesimpulan. Pembelajaran
inkuiri melatih siswa untuk menjadi peneliti-peneliti awal yang tidak dimiliki oleh pembelajaran
model yang lain. Karena kekhususannya itulah pembelajaran inkuiri akan pas jika digunakan pada
mata pelajaran matematika sehingga dapat mendukung implementasi kurikulum 2013.

3.

Kesimpulan dan Saran

3.1. Kesimpulan
Karakteristik dari model pembelajaran inkuiri menekankan pada proses ilmiah (scientific), yang
dimulai dengan memunculkan permasalahan, hipotesis, pengujian data dan membuat kesimpulan.
Karakteristik inilah yang dapat merangsang siswa untuk aktif berpikir secara ilmiah, sehingga
siswa mampu menganalisis, siswa lebih banyak belajar sendiri, serta mampu mengembangkan
kreativitas dalam memecahkan masalah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran inkuiri akan cocok jika digunakan pada mata pelajaran matematika sehingga dapat
mendukung implementasi kurikulum 2013.
3.2. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan dalam artikel ini diantaranya:
a. Penerapan model pembelajaran inkuiri bisa coba diterapkan di sekolah guna mendukung
implementasi kurikulum 2013, dimana dengan model pembelajaran inkuiri ini siswa dapat
menjadi lebih aktif dan dapat berpikir secara ilmiah.
b. Dalam implementasi kurikulum 2013 ini sebaiknya terus dilaksanakan pengawasan proses
pembelajaran yang dilakukan melalui kegiatan pemantauan,supervisi, evaluasi, pelaporan, serta
tindak lanjut secara berkala dan berkelanjutan. Pengawasan proses pembelajaran dilakukan oleh
kepala satuan pendidikan dan pengawas.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A. (2011). Hakikat Metode Inkuiri. Universitas Negeri Makassar.Tersedia
pada:pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/.../HAKIKAT_METODE_INKUIRI.rtf. Diakses pada
tanggal 20 Nopember 2014.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Permendikbud No 66 Tahun 2013 tentang
Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Depdikbud
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Permendikbud No 65 Tahun 2013 tentang
Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdikbud
Gulo. (2002). Strategi Belajar-Mengajar. Grasindo: Jakarta.
Hutabarat, D. (2009). Studi Perbandingan Kemampuan Penalaran dan Representasi Matematis
pada Kelompok Siswa yang Belajar Inkuiri dan Biasa. Tesis UPI: Tidak diterbitkan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2012).
Dokumen Kurikulum 2013. Jakarta:
Kemendikbud
Sagala Syaiful. (2011). Konsep dan Makna Pembelajaran.Bandung: Alfabeta
Sanjaya, W. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Tilaar. (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya

246

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN


MATEMATIS DAN SELF CONFIDENCE SISWA MTs
DI KOTA CIMAHI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN
INKUIRI TERBIMBING
Ratni Purwasih
STKIP Siliwangi

ratnipurwasih61@gmail.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini mengkaji peningkatan kemampuan pemahaman matematis dan self
confidence siswa MTs di kota Cimahi melalui model pembelajaran inkuiri terbimbing. Latar
belakang penelitian ini adalah rendahnya kemampuan pemahaman matematis dan self
confidence siswa MTs di kota Cimahi. Agar kemampuan pemahaman matematis dan self
confidenve siswa dapat terealisasi dengan baik, diupayakan suatu pembelajaran matematika
yang dapat memacu siswa untuk dapat memahami konsep self confidence dalam proses
pembelajaran. Salah satu pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran matematika
dengan menggunakan inkuiri terbimbing. Metode penelitian yang digunakan adalah
eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretes-postes melibatkatkan dua kelompok.
Populasi dalam penelitian eksperimen ini adalah seluruh siswa MTs di kota Cimahi yang salah
satu karakteristiknya memiliki nilai rerata Ujian Nasional matematika sekitar 8,00. Dari
seluruh MTs di kota Cimahi, dipilih MTs Asih Putera yang memiliki karakteristik serupa yaitu
memiliki rerata nilau Ujian Nasional matematika sekitar 7,80 untuk tahun ajaran 2013/2014.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini secara acak kelas, dalam teknik random sampling,
dimana setiap unit sampling sebagai unsur populasi memperoleh peluang yang sama untuk
menjadi sampel atau mewakili populasi. Melalui undian yang dilakukan terhadap 5 kelas dari
kelas VIII MTs Asih Putera di peroleh kelas VIII-B (kelas eksperimen) yang diberikan
perlakuan pembelajaran inkuiri terbimbing dan kelas VIII-A (kelas kontrol) yang diberikan
perlakuan pembelajaran konvensional.Instrumen yang digunakan adalah tes kemampuan
pemahaman, kemampuan komunikasi dan skala self confidence. Dari hasil perhitungan dan uji
hipotesis disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman matematis kelas
eksperimen lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan kelas kontrol. Selain itu,
sebagian besar siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran
inkuiri terbimbing mendapatkan self confidence yang lebih baik secara signifikan dibandingkan
dengan pembelajaran konvensional.
Kata Kunci: Inkuiri Terbimbing, Pemahaman, Komunikasi, Self Confidence

1.

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Pembelajaran matematika untuk pemahaman konsep matematis yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah matematika dan ilmu pengetahuan lainnya merupakan kebutuhan
matematika masa sekarang. Salah satu misi pembelajaran matematika yaitu mengarahkan pada
pemahaman konsep matematika yang diperlukann untuk menyelesaikan masalah matematika yang
dihadapinya. Misi pembelajaran matematika yang diungkapkan di atas sejalan dengan yang
dirumuskan oleh National Council of Teacher of Mathematic (NCTM) (Minarti, 2012:2) yaitu
pemahaman masalah matematis merupakan kemampuan berpikir matematis yang esensial dan
merupakan standar proses. Berdasarkan uraian tersebut, kemampuan pemahaman matematis salah
satu kemampuan matematika yang perlu di kembangkan dan dimiliki oleh siswa.
Pemahaman konsep matematis merupakan dua aspek kemampuan yang perlu dikembangkan pada
saat pembelajaran matematika agar siswa mampu memahami dan memecahkan masalah
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

247

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

matematika yang sedang dihadapinya. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) (2006)


menyatakan pembelajaran matematika pada jenjang sekolah menengah pertama dilaksanakan
dengan tujuan agar peserta didik memiliki kemampuan: (1) memahami konsep, menjelaskan
keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep-konsep matematika dalam pemecahan
masalah matematika; (2) menggunakan penalaran untuk generalisasi, menyusun bukti atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan. Salah satu Kemampuan matematis yang banyak di
perhatikan oleh para peneliti dan pendidik adalah kemampuan pemahaman matematis. Siswa yang
memiliki kemampuan pemahaman matematis yang baik mampu memahami konsep-konsep
matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat Baroody (Dahlan, 2004:3) yang mengatakan bahwa
pemahaman dan penalaran dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Jika siswa diberikan
permasalahan dengan menggunakan benda-benda nyata, membaca pola, membuktikan dan
membaca bukti, dan mengevaluasi suatu permasalahan yang dihadapinya maka mampu membantu
siswa dalam memahami proses yang disiapkan dengan cara doing mathematics.
Selanjutnya Wahyudin (Anggraeni, 2012:1) mengemukakan bahwa salah satu penyebab siswa
lemah dalam matematika adalah kurangnya siswa tersebut memiliki kemampuan pemahaman untuk
mengenali konsep-konsep dasar matematika yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang
dibahas. Kemampuan pemahaman matematis mampu membantu siswa senantiasa berpikir secara
sistematis, mampu menyelesaikan masalah matematika dalam kehidupan sehari-hari dan mampu
menerapkan matematika dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan lain.
Selain itu, Sumarmo (1987:4) menemukan bahwa keadaan skor kemampuan siswa dalam
pemahaman masih rendah dan siswa masih banyak mengalami kesukaran dalam pemahaman
relasional. TIMSS dan PISA (Aulya, 2013:2) merupakan dua lembaga dunia yang
menyelenggarakan tes yang salah satunya ditujukan untuk pelajar setingkat SMP yang telah dipilih
secara acak dari tiap negara. PISA 2009 diikuti oleh 65 negara dan TIMSS 2011 diikuti oleh 45
negara. Hasil PISA 2009 menunjukkan bahwa skor rata-rata matematika siswa Indonesia adalah
371, dengan rata-rata skor internasional sebesar 496. Selanjutnya Cheung (2012:45)
mengungkapkan bahwa PISA bertujuan untuk mengukur kemampuan matematis yang didefinisikan
sebagai kemampuan siswa untuk merumuskan, menggunakan dan menginterpretasikan matematika
dalam berbagai konteks matematika, yaitu meliputi penalaran secara matematis dan penggunaan
konsep matematis, prosedur, fakta, alat untuk menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksi
fenomena. Salah satu dari standar internasional TIMSS 2011 mengenai prestasi matematika, yaitu
siswa dapat mengaplikasikan pemahaman dan pengetahuan mereka dalam berbagai situasi yang
kompleks.
Selain itu, hasil TIMSS 2011(Aulya, 2013:4) menunjukkan bahwa kinerja siswa Indonesia lebih
rendah dibandingkan dengan kinerja siswa Thailand dan nilai international median pada standar
internasional TIMSS 2011, hanya sekitar 43% siswa Indonesia yang memenuhi low benchmark.
Beberapa faktor penyebab dari rendahnya kemampuan pemahaman matematis siswa Indonesia,
antara lain siswa terbiasa mempelajari konsep-konsep dan rumus-rumus matematika dengan cara
menghafal tanpa memahami maksud, isi, dan kegunaannya. Effendi (2010:3) menyatakan bahwa
siswa hanya fokus pada keterampilan berhitung seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian dan
pembagian sejumlah bilangan. Faktor lainnya, yaitu kebanyakan siswa memahami konsep
matematis yang baru tanpa didasari pemahaman mengenai konsep matematis sebelumnya. Kondisi
tersebut bertentangan dengan hakikat matematika, yaitu bahwa matematika merupakan suatu ilmu
yang hierarki, di mana terdapat keterkaitan antara satu konsep dengan konsep lainnya. Hal ini
sejalan dengan Situmorang (2012:3) bahwa Pemahaman konsep yang baik membutuhkan
komitmen siswa dalam memilih belajar sebagai suatu yang bermakna, lebih dari hanya menghafal,
yaitu membutuhkan kemauan siswa mencari hubungan konseptual antara pengetahuan yang
dimiliki dengan yang sedang dipelajari di dalam kelas.

248

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Departemen Agama (Zanthy, 2011:7) mengatakan bahwa kemampuan pemahaman matematis


siswa SMP masih rendah, apalagi siswa MTs yang rata-rata uas matematika lebih rendah
dibandingkan di SMP. Kondisi inilah salah satu ketertarikan peneliti untuk meniliti peningkatan
kemampuan pemahaman matematis di tingkat MTs. Selain itu, hasil uji coba secara terbatas oleh
Hendriana (2009) yang dilakukan pada populasi siswa SMP di Kota Cimahi menunjukan bahwa
siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional pada pokok bahasan perbandingan, operasi
hitung aljabar dan persamaan/pertidaksamaan linear satu variabel ternyata rerata kemampuan
komunikasi matematis siswa adalah 55% lebih rendah dari rerata kemampuan pemahaman
matematis siswa yang mencapai 64%. Sudrajat (2013:5) mengemukakan bahwa kemampuan
pemahaman dan komunikasi matematis siswa MTs Cimahi masih rendah, banyak siswa hanya
terpaku pada rumus-rumus yang ada dan contoh yang diberikan oeh guru. Jika siswa diberikan soal
yang berbeda dari contoh atau soal yang memerlukan analisis, banyak siswa yang tidak mampu
mengerjakan soal tersebut. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka siswa akan kesulitan menguasai
konsep yang baru.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti merasa bahwa kemampuan pemahaman dan
komunikasi matematis masih perlu ditingkatkan. Pendekatan pembelajaran yang berorentasi
meningkatkan dan mengembangkan kemampuan pemahaman matematis harus dipersiapkan. Hal
ini sesuai dengan Aussebel (Hutajulu, 2010:3) yaitu Pembelajaran hendaknya menekankan
keterlibatan siswa secara aktif sehingga memungkinkan pembelajaran menjadi lebih bermakna
(meaningful), siswa tidak hanya mengetahui sesuatu (learning to know about), tetapi juga belajar
melakukan (learning to do), belajar menjiwai (learning to be), dan belajar bagaimana seharusnya
belajar (learning to learn), serta bagaimana bersosialisasi (learning to live togather).
Model pembelajaran yang diupayakan guru harus merupakan model pembelajaran yang
memberikan keterlibatan siswa secara aktif. Hal ini sejalan dengan pendapat Sumarmo (2013:7)
bahwa agar pembelajaran dapat memaksimalkan proses dan hasil belajar matematika, guru perlu
mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam diskusi, bertanya serta menjawab pertanyaan,
berfikir secara kritis, menjelaskan setiap jawaban yang diberikan, serta mengajukan alasan untuk
setiap jawaban yang diajukan.
Salah satu model pembelajaran yang dipandang mampu mengembangkan keterlibatan siswa secara
aktif adalah model pembelajaran inkuiri. Pada model pembelajaran inkuiri pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh oleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta,
tetapi hasil dari menemukan sendiri. Yuliani (2011:7) mengatakan bahwa model inkuiri sejalan
dengan tujuan pembelajaran matematika, di mana menerapkan model pembelajaran inkuiri akan
melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara
sistematis, kritis, logis, analisis, sehingga siswa mampu merumuskan sendiri penemuannya dengan
penuh percaya diri. Sund, Trowbridge dan Leslie (Yuliani, 2012:20) membedakan model
pembelajaran inkuiri menjadi tiga jenis berdasarkan besarnya intervensi guru terhadap siswa atau
besarnya bimbingan yang diberikan oleh guru kepada siswanya. Ketiga jenis model pembelajaran
inkuiri tersebut adalah: (1) inkuiri terbimbing; (2) inkuiri bebas; (3) inkuiri yang dimodifikasi.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing. Karena
penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing ini dilaksanakan pada siswa MTs dimana siswa
MTs masih memerlukan bimbingan dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran ini
diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi siswa.
Sanjaya (Hutajulu, 2010:31) mengatakan, Pendekatan inkuiri terbimbing adalah suatu rangkaian
kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk
mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan . Langkahlangkah dalam pembelajaran inkuiri dimulai dari siswa dihadapkan dengan masalah, siswa
mengembangkan/mengajukan hipotesis, siswa mengumpulkan bukti atau data, siswa menguji
hipotesis dan siswa menarik kesimpulan. Semua langkah-langkah tersebut merupakan kegiatan

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

249

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

yang dilakukan oleh siswa, sedangkan guru hanya berperan sebagai motivator dan fasilitator. Pada
saat siswa terlibat dalam memahami masalah yang dihadapinya, diharapkan muncul pemahaman
yang mendalam mengenai konsep-konsep matematika yang sedang dipelajari tersebut. Setelah itu,
dilanjutkan dengan melakukan kegiatan pembuktian atau dugaan-dugaan sementara. Kegiatan
pembelajaran inkuiri terbimbing dilanjutkan dengan diskusi antar siswa maupun siswa dengan guru
sebagai wujud dari komunikasi, baik lisan maupun tulisan untuk menyempurnakan dugaan-dugaan
sementara yang mereka lakukan, dan kegiatan para siswa untuk mencoba meyakinkan siswa
lainnya tentang gagasan-gagasan matematika yang diyakininya dengan membeberkan bukti-bukti
yang dapat diterima akal pikirannya. Dengan demikian pembelajaran inkuiri terbimbing ini
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Ketika
siswa terlibat dalam kegiatan mengamati dan pembuktian terhadap dugaan-dugaan sementara
permasalahan yang dihadapinya, dilanjutkan siswa termotivasi melakukan diskusi sebagai wujud
dari komunikasi, keberanian mengungkapkan pendapat serta percaya diri untuk mempresentasikan
hasil kelompok di depan kelas. Sehingga, melalui pembelajaran inkuiri terbimbing ini di harapkan
dapat meningkatkan kepercayaan diri atau self confidence siswa.
Model pembelajaran inkuiri juga diyakini mampu membantu meningkatkan sikap positif siswa
terhadap pembelajaran matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat Wahyudin (2008:56) yang
mengatakan bahwa dalam inkuiri melibatkan unsur search-surprise, sifat ini menjadikan inkuri
bersifat sangat memotivasi siswa. Tumbuhnya sikap positif pada diri siswa diyakini akan tumbuh
juga semangat terhadap matematika. Oleh karena itu, sikap postif matematika perlu diperhatikan.
Hal ini sejalan dengan Ruseffendi (Hutajulu, 2010:4) mengatakan bahwa sikap positif terhadap
matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika.
Kemampuan pemahaman terdapat aspek psikologis yang turut memberikan kontribusi terhadap
keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas dengan baik. Aspek psikologis tersebut adalah
self confidence. Menurut Walgio (Aflatin dan Martaniah, 1998:33) salah satu untuk menumbuhkan
self confidence adalah dengan memberikan suasana atau kondisi yang demokratis, yaitu individu
dilatih untuk dapat mengemukakan pendapat kepada pihak lain melalui interaksi sosial, dilatih
berfikir mandiri dan diberi suasana yang aman sehingga individu tidak takut berbuat kesalahan. Hal
ini mendukung seorang guru harus mampu menciptakan suasana pembelajaran yang memberikan
kebebasan siswa untuk melakukan interaksi baik antara siswa dengan siswa maupun antara siswa
dengan guru melalui diskusi.
Selanjutnya Hannula, Maijah & Pohkonen (Fitriani, 2012:13) menyatakan bahwa jika siswa
memiliki self confidence yang baik, maka siswa dapat sukses dalam belajar matematika. Oleh
karena itu, self confidence mampu mendukung motivasi dan kesuksesan siswa dalam belajar
matematika. Siswa akan cenderung memahami, menemukan, dan memperjuangkan masalah
matematika yang dihadapinya untuk solusi yang diharapkan. Menurut TIMSS (2008:68)
menunjukkan bahwa self confidence siswa Indonesia masih rendah dibawah 30%. Self confidence
menurut TIMMS yaitu memiliki matematika yang baik, mampu belajar matematika dengan cepat
dan pantang menyerah, menunjukan rasa yakin dengan kemampuan matematika yang dimilikinya,
dan mampu berfikir secara realistik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa self confidence
penting untuk dimiliki oleh siswa. Melalui kerja kelompok atau diskusi, self confidence dapat
dikembangkan, di sini siswa dituntut untuk mampu mengeksplorasi dan menemukan sendiri
konsep-konsep matematika yang sedang dipelajarinya.
Selain itu, self confidence juga dapat dikembangkan melalui suatu pembelajaran yang menekankan
pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari
suatu masalah yang dipertanyakan, hal ini sejalan dengan pembelajaran inkuiri terbimbing. Yuliani
(2011:9) meyatakan pula bahwa sasaran utama kegiatan pembelajaran inkuiri yaitu
mengembangkan sikap percaya pada diri siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inkuiri.
Melalui proses merumuskan masalah, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan bukti, dan
menarik kesimpulan sementara, dilanjutkan menguji kesimpulan sementara supaya sampai pada
kesimpulan yang pada taraf tertentu diyakini oleh peserta didik yang bersangkutan, diperlukan

250

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

suatu kepercayaan diri untuk berani mengemukakan pendapat terhadap proses yang siswa alami.
Dengan demikian model pembelajaran inkuiri terbimbing diharapkan dapat meningkatkan self
confidence atau kepercayaan diri siswa. Berdasarkan permasalahan dan pendapat-pendapat yang
telah diungkapkan di atas, peneliti melakukan penelitian dengan judul Peningkatkan Kemampuan
Pemahaman Matematis dan Self Confidence Siswa MTs Kota Cimahi melalui Model Pembelajaran
Inkuiri Terbimbing.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan
pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa yang
mendapatkan pembelajaran konvensional?
b. Apakah siswa yang mendapatkan pembelajaran inkuiri terbimbing memiliki self confidence
yang lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran secara
konvensional?
c. Apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara kemampuan pemahaman matematis
dan self confidence siswa ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk melihat apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang
mendapatkan pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
mendapatkan pembelajaran secara konvensional.
b. Untuk melihat apakah peningkatan self confidence siswa yang mendapatkan pembelajaran
inkuiri terbimbing lebih baik daripada yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional.
c. Untuk melihat apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara kemampuan pemahaman
matematis siswa dengan self confidence siswa.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Guru
1) Memperluas wawasan guru tentang startegi pembelajaran matematika untuk menambah
prestasi belajar siswanya.
2) Meningkatkan kreatifitas guru menciptakan pembelajaran yang menarik
b. Siswa
1) Belajar mengembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis.
2) Menelaah kekurangan atau kelebihan siswa dalam menyelesaikan soal pemahaman dan
komunikasi matematis dan upaya memperbaikinya.
3) Memberikan pengalaman baru tentang pembelajaran inkuiri terbimbing.

2.
Metode Penelitian
2.1. Metode dan Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretespostes melibatkan dua kelompok. Pengambilan kelas dilakukan secara acak kelas. Bagan desain
eksperimen dalam penelitian ini menurut Ruseffendi (2010:51) adalah:
A
A

O
O

O
O

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

251

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Keterangan :
A = pemilihan sampel secara acak kelas
O = pretes = postes
X= perlakuan berupa pembelajaran menggunakan model pembelajaran Inkuiri Terbimbing.
Pada desain ini setiap kelompok diberikan pretes (O) dan postes (O) mengenai kemampuan
pemahaman matematis dan kemampuan komunikasi, serta untuk mengukur self confidence siswa
akan diberikan skala self confidence siswa di akhir pembelajaran. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh model inkuiri terbimbing terhadap kemampuan pemahaman dan komunikasi
matematika serta self confidence siswa.
2.2. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian eksperimen ini adalah seluruh siswa MTs di kota Cimahi. Pengambilan
sampel dalam penelitian ini secara acak kelas, dalam teknik random sampling, dimana setiap unit
sampling sebagai unsur populasi memperoleh peluang yang sama untuk menjadi sampel atau
mewakili populasi. Melalui undian yang dilakukan terhadap 5 kelas dari kelas VIII MTs Asih
Putera di peroleh kelas VIII-B (kelas eksperimen) yang diberikan perlakuan pembelajaran inkuiri
terbimbing dan kelas VIII-A (kelas kontrol) yang diberikan perlakuan pembelajaran konvensional.
2.3. Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran inkuiri terbimbing, sedangkan
variabel terikatnya adalah kemampuan pemahaman matematis, kemampuan komunikasi matematis
dan self confidence siswa.
2.4. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis instrumen, yaitu instrumen tes
dan instrumen non tes.

3.

Pembahasan

3.1. Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis


Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan yang diperoleh berdasarkan model pembelajaran,
kemampuan pemahaman matematis matematis dan self confidence siswa. Penelitian ini
menggunakan dua jenis model pembelajaran, yaitu pembelajaran model inkuiri terbimbing dan
pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya,
diperoleh beberapa temuan yang berkenaan dengan peningkatan kemampuan pemahaman
matematis dan self confidence siswa, hubungan antara kemampuan pemahaman matematis dan
pencapaian kemampuan pemahaman matematis siswa. Hasil penelitian memberikan gambaran
bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing terbukti memberikan peranan dalam meningkatkan
kemampuan pemahaman matematis kelas eksperimen. Hal ini berarti menunjukkan bahwa sebagian
besar siswa kelas eksperimen memiliki kemampuan pemahaman matematis yang lebih baik
daripada siswa kelas kontrol. Berdasarkan hasil uji kesamaan dua-rata skor pretes kelas eksperimen
dengan kelas kontrol diperoleh bahwa kemampuan pemahaman matematis awal siswa adalah sama.
Hal ini terlihat dari pengujian hipotesis dengan menggunakan uji statistik non parametrik untuk
kemampuan
pemahaman dengan bantuan software SPSS 21.0 for window yaitu dengan
menggunakan uji Mann-Whitney diperoleh nilai signifikansi 0, 608 lebih besar dari 0,05. Maka
0 diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman awal matematis siswa
kedua kelas sama.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai gain normalisasi, secara keseluruhan kelas eksperimen
menunjukan peningkatan kemampuan pemahaman sebesar 0,72 sedangkan kelas kontrol sebesar
0,27. Setelah diinterpretasikan, kelas eksperimen memiliki rata-rata nilai gain ternormalisasi yang
termasuk ke dalam kategori sedang sedangkan kelas kontrol termasuk ke dalam kategori rendah.

252

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Hal ini menunjukan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman kelas eksperimen lebih baik
secara signifikan daripada kelas kontrol.
Berdasarkan hasil analisis di atas, model pembelajaran inkuiri terbimbing merupakan salah satu
alternatif pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi
matematis siswa dalam pembelajaran matematika. Model pembelajaran inkuiri terbimbing adalah
suatu model pembelajaran suatu rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses
berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu
masalah yang dipertanyakan. Hal ini sejalan dengan penelitian Lindawati (2010) mengungkapkan
bahwa peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang belajar dengan
menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing secara signifikan lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan konvensional.
Siswa yang diberikan persoalan atau permasalahan matematika dalam suatu kelompok dalam
jangka waktu tertentu akan membentuk suatu ikatan kemudian terlibat dalam percakapan dan
pemahaman mengenai konsep matematis. Pembelajaran inkuiri terbimbing juga menuntut tanggung
jawab seseorang terhadap pemahaman matematis dalam memahami serta menyelesaikan persoalan
yang sedang dihadapinya. Hal ini berarti siswa yang memiliki kemampuan pemahaman matematis
yang lebih baik dituntut untuk membantu temannya yang memiliki kemampuan pemahaman
matematis yang lebih rendah.
Seorang siswa yang memiliki kemampuan pemahaman matematis yang baik akan mampu
menyelesaikan soal yang lebih rumit, yang menuntut kemampuan untuk mengaitkan berbagai
macam konsep matematis konsep matematis dalam berbagai bentuk representasi matematika,
bukan hanya soal dalam konteks yang sederhana, yang hanya memerlukan hafalan rumus semata.
3.2. Self Confidence Siswa
Partisipasi aktif setiap siswa terlihat ketika siswa menyelesaikan masalah yang terdapat pada
lembar kerja siswa dan kuis secara berkelompok. Siswa dilatih agar mampu bekerja sama dengan
anggota kelompoknya masing-masing dalam memunculkan ide, saling bertukar ide, dan akhirnya
memilih ide yang sesuai dengan solusi yang diinginkan. Dengan demikian, pembelajaran tidak
hanya terpaku pada aktivitas mendengarkan, mencatat, dan mengerjakan latihan yang sudah
dijelaskan terlebih dahulu oleh guru. Selain itu, hasil yang diperoleh dari skor skala self confidence
siswa menunjukkan bahwa siswa yang mendapatkan pembelajaran inkuiri terbimbing memiliki self
confidence siswa yang lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Self
confidence siswa yang memperoleh pembelajaran inkuiri terbimbing terbukti lebih baik daripada
yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hal ini dikarenakan siswa pada saat pembelajaran
akan dimulai mengalami kondisi yang menyenangkan, hal ini dikarenakan mereka mempercayai
diri dalam mengerjakan ataupun menyelesaikan permasalahan matematika yang diberikan. Siswa
merasa permasalahan yang diberikan mampu terselesaikan, sehingga siswa senang dan percaya
diri ketika belajar matematika. Hal ini bersesuaian dengan Ignoffo (Fitriani, 2012:24) yang
mengungkapkan bahwa self confidence yang dimiliki seseorang mampu berfikir positif dan yakin
akan kemampuan diri sehingga tercipta lingkungan hidup yang positif.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kontrol, siswa terlihat kurang aktif
jika dibandingkan dengan pembelajaran inkuiri terbimbing, siswa kurang berusaha untuk
menyelesaian masalah yang diberikan oleh guru. Jika guru memberikan tugas atau permasalahan
yang menuntut kemampuan pemahaman matematis maka siswa terlihat kurang antusias dalam
menyelesaikannya. Hal ini dikarenakan mereka tidak terbiasa untuk mengerjakan masalah rutin
matematis, tanpa memahami konsep matematis secara lebih mendalam. Selain itu, suasana belajar
yang terpusat pada guru juga dapat mengakibatkan siswa tidak senang dibandingkan dengan
pembelajaran inkuiri terbimbing. Hasil kemampuan pemahaman matematis siswa yang
mendapatkan pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada kemampuan pemahaman
matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Demikian pula, kemampuan
komunikasi matematis siswa kelas eksperimen lebih baik daripada siswa kelas kontrol serta self

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

253

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

confidence siswa yang mendapatkan pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada siswa
yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Yuniarti (2007) yang mengungkap bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing mampu
meningkatkan self confidence siswa.
Dari hasil penelitian dan pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung, self confidence
siswa dapat dikembangkan melalui sebuah proses tanya jawab antara guru dan siswa, guru
merangsang siswa dengan pertanyaan yang diperlukan untuk memecahkan permasalahan
matematika. Selain itu, siswa mengajukan hipotesis mengenai soal-soal yang sedang di hadapinya,
sehingga memberikan siswa kemampuan keberanian dan percaya diri untuk mengemukan
pendapatnya. Siswa berperan aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan barunya dengan menggali
kemampuan yang ada, mengajukan dugaan/hipotesi, mencoba menemukan sendiri dengan
kemampuan prasyarat yang mereka miliki.
Sementara itu, berdasarkan hasil pengolahan data mengenai hubungan self confidence dan
pemahaman matematis siswa di kelas eksperimen diperoleh bahwa terdapat hubungan positif antara
self confidence. Hal ini terlihat dari nilai korelasi untuk kelas kontrol bernilai positif sebesar 0,255
dan nilai korelasi untuk kelas eksperimen sebesar 0,123.. Oleh karena itu, self confidence siswa
harus diatasi agar kemampuan pemahaman matematis matematis siswa dapat berkembang dengan
lebih baik.
Berdasarkan hasil pengolahan data sebelumnya, dapat di simpulkan bahwa antara kemampuan
pemahaman matematis dan self confidence memiliki hubungan yang erat. Hubungan tersebut
sifatnya saling mendukung dan menguntungkan satu sama lainnya. Apabila salah satu kemampuan
berpikir dikuasai dengan baik maka mendukung kemampuan berpikir lainny untuk menjadi lebih
baik pula. Hubungan tersebut sifatnya saling tergantung atau bersifat indepedensi (Fitriani,
2012:86).
Berdasarkan uraian secara keseluruhan, pembelajaran matematika dengan menggunakan
pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa
dibandingkan dengan pembelajaran matematika konvensional.
4.
Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan mengenai peningkatan kemampuan
pemahaman dan komunikasi matematis serta self confidence siswa MTs melalui pembelajaran
model inkuiri terbimbing, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
a. Peningkatan kemampuan pemahaman
matematis antara siswa yang mendapatkan
pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran model inkuiri terbimbing lebih
baik daripada pembelajaran konvensional.
b. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang mendapatkan pembelajaran
matematika dengan menggunakan pembelajaran model inkuiri terbimbing lebih baik daripada
pembelajaran konvensional.
c. Self confidence siswa yang mendapatkan pembelajaran inkuiri terbimbing lebih baik secara
signifikan daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional
d. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kemampuan pemahaman matematis dan self
confidence siswa.
e. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kemampuan komunikasi matematis dan self
confidence siswa
4.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:
a. Pembelajaran matematika dengan model inkuiri terbimbing dapat dijadikan salah satu alternatif
pembelajaran matematika di sekolah.
254

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

b. Pendekatan inkuiri terbimbing sangat cocok jika akan diaplikasikan untuk memecahkan
permasalahan matematika yang bersifat non rutin, sehingga siswa tidak lagi merasa asing
dengan permasalahan yang ada di sekitar mereka yang berhubungan dengan matematika.

DAFTAR PUSTAKA
Aflatin, T. & Martaniah, S.M. (1998). Peningkatan Kepercayaan Diri Remaja melalui Konseling
Kelompok. Jurnal Pskologi. Nomor 6 III 1998. 66-79.
Anggraeni (2012). Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Berfikir Kreatif Matematis Siswa
melalui Pendekatan Kontekstual. Tesis PPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan.
Arikunto (2010). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan . Jakarta: Bumi Aksara.
Asikin, M. (2002). Menumbuhkan Kemampuan Komunikasi Matematika Melalui Pembelajaran
Matematika Realistik. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya (Prosiding Konferensi
Nasional Matematika XI).
Aulya, R.N. ( 2013). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe CRH (Course, Review,
Huray) Terhadap Kemampuan Pemahaman Matematis dan Kecemasan Matematika Siswa
SMP. Tesis PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Cheung, K. C. (2012). Conceptualization of The PISA Mathematical Literacy Proficiency Scale: A
Validation of Its Cognitive Components. Disajikan pada The East Asia Forum on
Mathematics Competence and Their Assessment, 10-11 Mei 2012, East China Normal
University, Shanghai.
Dahlan, J. A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematik Siswa
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama melalui Pendekatan Open-Ended. Disertasi pada PPs
UPI. Bandung: Tidak dipublikasikan.
Depdiknas (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta:Depdiknas.
Edistria, E. (2012). Pengaruh Penerapan Hypnoteaching dalam Problem Based Learning terhadap
Kemampuan Komunikasi dan Berfikir Kreatif Matematis Siswa Sekolah Mengah Pertama.
Tesis PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Effendi, M. M. (2010). Prinsip Kurikulum Matematika Sekolah: Kajian Orientasi Pengembangan.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FKIP Universitas
Muhammadiyah Malang, 30 Januari 2010.
Fitriani, N. (2012). Penerapan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik secara Berkelompok
untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Self Confidence
Siswa SMP. Tesis PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Hedriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical Thinking untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi dan Kepercayaan diri
Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi PPs UPI. Bandung:Tidak diterbitkan.
Hiebert, J., Carpenter, T. P. (1992). Learning and Teaching with Understanding. Dalam D. A.
Grows (Ed.), Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York:
Macmillan Publishing Company.
Hutabarat, D.(2006). Studi Perbandingan Kemampuan Penalaran dan Representasi Matematis
pada Kelompok Siswa yang Belajar Inkuiri dan Biasa. Tesis UPI. Tidak diterbitkan.
Hutajulu, M. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa
Sekolah Menengah Atas melalui Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing. Tesis PPs UPI.
Bandung: Tidak diterbitkan.
Lindawati, S. (2010). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah
Menengah Pertama. Tesis pada PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Meriana (2012). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematis
Siswa SMA melalui Model Pembelajaran Ekploratif. Tesis PPs UPI. Bandung: Tidak
diterbitkan.
Minarti, E. (2012). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Penalaran Matematis
Siswa SMA melalui Pembelajaran Eksploratif. Tesis PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Mullis, I. V. S., Martin, M.O., Foy P., Arora, A. (2012). TIMSS 2011 International Result in
Mathematics. Netherlands: IEA.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

255

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

NCTM (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: The National
Council of Teachers of Mathematics, Inc.
Ruseffendi, E. T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam
Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: Diktat.
Ruseffendi, E. T. (2010). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non eksakta Lainnya.
Bandung: Tarsito.
Rusman (2010). Model-Model Pembelajaran: Seri Manajemen Sekolah Bermutu. Banndung:
Mulia Mandiri Pres
Saragih, S. (2005). Mengembangkan Kemampuan Berfikir Logis dan Komunikasi Matematika
Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi PPS
UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Siregar, I. (2012). Menerapkan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Model Eliciting
Avtivitiies untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kreatif Matematis dan Self-Confidence
Siswa SMP.Tesis pada PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Somatanaya, A.A.G.(2005). Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa SLTP melalui
Pembelajaran dengan Metode Inkuiri. Tesis PPs UPI. Tidak diterbitkan.
Sudjana (2005). Metoda Statitika. Bandung: Tarsito.
Sudrajat, A. (2013). Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis serta
Motivasi Belajar Siswa MTs dengan Pendekatan Metaphorical Thinking Berbantuan
Komputer. Tesis pada PPs UPI. Tidak diterbitkan.
Suherman, E. (2001). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA FPMIPA UPI.
Suherman, E. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-IMSTEP.
Sumarmo, U. (1987). Kemampuan dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan
Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar.
Disertasi pada PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Sumarmo, U. (2013). Bahan Ajar Perkuliahan dalam Pengajaran Matematika: Program
Pascasarjana STKIP Siliwangi. Bandung: Tidak diterbitkan.
Supriadi, A. (2012). Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa
Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Inkuiri Terbimbing. Tesis pada PPs UPI.
Bandung: Tidak diterbitkan.
Tasdikin (2012). Pembelajaran Berbasisi Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi
dan Pemecahan Matematis. Tesis pada PPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
TIMSS (2008). TIMSS 2007 International Mathematics Report: Finddings from IEAs Trends in
International Mathematics and Science Study the Fourth and Eight Grades. Boston.
TIMSS& PIRLS International Study Center.
Turmudi (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA FPMIPA UPI.
Utomo, D. P. (2010). Pengetahuan Konseptual dan Prosedural dalam Pembelajaran Matematika.
Makalah pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Universitas
Muhammadiyah Malang.
Wahyudin (2008). Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Bandung: UPI.
Yuliani, A. (2011). Meningkatkan Kemampuan Anologi dan Generalisasi Matematis Siswa SMP
dengan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing. Tesis PPs UPI. Bandung: Tidak
diterbitkan.
Yuniarti, Y. (2007). Meningkatkan Kemampuan Penalaarn dan Komunikasi Siswa SMP melalui
Pembelajaran dengan Pendekatan Inkuiri. Tesis PPs UPI. Tidak diterbitkan.
Yuspriyati, D.N. (2012). Implementasi Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Double
Loop Problem Solving (DLPS) untuk Meningkatkan Kompetensi Strategis Siswa SMP. Tesis
PPs UPI. Tidak diterbitkan.

256

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

STRATEGI STUDENT CENTERED LEARNING TIPE


COLLABORATIVE LEARNING UNTUK MENINGKATKAN
HASIL BELAJAR MAHASISWA SERTA KORELASINYA
TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIK PADA PERKULIAHAN STATISTIKA
Sri Tirto Madawistama
Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Siliwangi
sritirtomadawistama@unsil.ac.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menerapkan suatu pembelajaran dengan menggunakan strategi Student
Centered Learning (SCL) tipe Collaborative Learning (CL) dan akibat yang dilihat adalah
peningkatan hasil belajar mahasiswa serta korelasinya terhadap pemecahan masalah pada
materi statistika. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik sampling sederhana
menurut kelas. Sebelum pembelajaran dimulai, terlebih dahulu diberikan pre test selanjutnya
diterapkan Student Centered Learning (SCL) tipe Collaborative Learning (CL). Setelah selesai
pembelajaran maka dilaksanakan post tes dan tes kemampuan pemecahan masalah. Pengolahan
data pre dan post test dihitung gain untuk melihat peningkatan hasil belajar Student Centered
Learning (SCL) tipe Collaborative Learning (CL). Sedangkan hasil belajar diperoleh dari hasil
rata rata Tugas Individu, Tugas Kelompok dan Pos Test. Selanjutnya Hasil belajar
dikorelasikan dengan hasil tes kemampuan pemecahan masalah. Berdasarkan hasil analisis
dengan menggunakan software spss versi 20 dapat disimpulkan ada peningkatan hasil belajar
melalui strategi Student Centered Learning (SCL) tipe Collaborative Learning (CL) pada
pembelajaran statistika. Berdasarkan hasil pengolahan data korelas, kriteria keputusan maka
korelasi antara hasil belajar dan pemecahan masalah adalah positif tinggi. Selama mengikuti
pembelajaran melalui strategi Student Centered Learning (SCL) Tipe Collaborative Learning
(CL) pada perkuliahan statistika mahasiswa terlibat secara aktif dalam kegiatan diskusi dan
proses pembelajaran. Aktivitas mahasiswa semakin baik dan berani dalam menyampaikan
pertanyaan, menanggapi maupun presentasi menyelesaikan soal soal. Mahasiswa aktif selama
proses pembelajaran hal ini terlihat dari adanya kerja sama kelompok, saling membantu dan
saling memberikan pendapat dalam menyelesaikan soal individu dan kelompok.
Kata Kunci: Student Centered Learning (SCL), Collaborative Learning (CL), Hasil Belajar,
Pemecahan Masalah

1.

Pendahuluan

Di Perguruan Tinggi dalam perkuliahan secara umum masih terlihat di warnai metode seperti ini
Saya Pengajar dan Mahasiswa sebagai Pendengar sehingga dosen dapat disebut sebagai tokoh
sentral dalam perkuliahan, hal ini sangat tidak di benarkan karena pola berfikir mahasiswa akan
sangat terbatas, sedangkan dunia pendidikan kini sedang bermetamorfosa dalam berbagai
perubahan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta ditantang untuk dapat
menjawab berbagai permasalahan lokal dan perubahan global yang terjadi begitu pesat. Tuntutan
untuk menghasilkan lulusan yang lebih berkompetensi dan didukung dengan upaya menghadapi
persaingan yang sangat ketat dalam perubahan orientasi lembaga pendidikan.
Idealnya pembelajaran pada setiap perkuliahan berorientasi pada prinsip prinsip pembelajaran
modern yang dikelola secara efektif dan berpusat pada peserta didik dalam hal ini mahasiswa.
Pembelajaran yang efektif dapat tercipta bila mahasiswa dapat secara kritis menanggapi hal hal
yang di kemukakan atau dipertanyakan oleh dosennya sehingga mereka dapat menemukan hakikat

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

257

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

aktivitas yang mereka lakukan sehingga mahasiswa akan mengerti benar tentang fakta, konsep,
prosedur serta kemampuan lainnya seperti pemecahan masalah dan daya nalar yang tinggi. Dengan
tercapainya pembelajaran yang ideal maka diharapkan memperoleh hasil yang ideal pula.
Kita perlu segera melakukan perubahan terhadap orientasi pendidikannya dengan merubah metode
pembelajaran Teaching Centered Learning (TCL) menjadi metode pembelajaran Student Centered
Learning (SCL). Seiring dengan perubahan paradigma pembelajaran, maka keberhasilan kegiatan
belajar mengajar di perguruan tinggi tidak hanya ditentukan oleh faktor pengajar atau dosen,
melainkan sangat dipengaruhi oleh keaktifan mahasiswa. Sistem kuliah Student Centered Learning
(SCL) di Universitas Siliwangi, mempertegas bahwa proses pembelajaran harus berpusat pada
peserta belajar, pengajar bukan sebagai satu-satunya sumber belajar atau sumber informasi,
melainkan berperan sebagai fasilitator, dinamisator, dan motivator dalam pembelajaran.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti melakukan penelitian dengan judul Peningkatan Hasil
Belajar Mahasiswa Melalui Strategi Student Centered Learning (SCL) Tipe Collaborative
Learning (CL) Serta Korelasinya Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Pada Perkuliahan
Statistika.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Adakah peningkatan hasil belajar mahasiswa melalui strategi Student Centered Learning (SCL)
Tipe Collaborative Learning (CL) pada perkuliahan statistika?
b. Adakah korelasi antara hasil belajar mahasiswa dan kemampuan pemecahan masalah pada
perkuliahan statistika?

2.
Kajian Pustaka
2.1. Hasil Belajar Mahasiswa
Hasil belajar merupakan suatu kemampuan yang dimiliki mahasiswa setelah menerima pengalaman
belajarnya dan dapat dilihat setelah mengikuti tes. Hasil belajar matematika merupakan hasil
belajar yang didapat mahasiswa setelah mengalami pengalaman belajar tentang konsep konsep
matematikanya. Hasil belajar mahasiswa dalam penelitian ini dilihat dari tugas individu, tugas
kelompok dan hasil tes setelah strategi Student Centered Learning (SCL) tipe Collaborative
Learning (CL) diterapkan. Konsistensi, sikap dan kepedulian dalam memperbaiki dan
meningkatkan hasil belajar adalah mutlak diperlukan di antaranya penerapan berbagai strategi dan
metode pembelajaran. Hasil belajar dikatakan baik jika bahan pelajaran 60% atau 70% dikuasai
siswa (Bahri,Syaiful&Zain,Aswan, 2002: 122).
Syah, Muhibbin (2005:132) mengemukakan faktor faktor yang mempengaruhi keberhasilan
belajar yaitu : Faktor internal (faktor dari dalam peserta didik) yakni keadaan atau kondisi jasmani
dan rohani peserta didik. Faktor eksternal (faktor dari luar peserta didik) yakni kondisi lingkungan
di luar peserta didik. Faktor pendekatan belajar (approach to learning)yakni jenis upaya belajar
peserta didik yang meliputi strategi dan metode yang digunakan peserta didik untuk melakukan
kegiatan pembelajaran materi materi pelajaran.
Dalam penelitian ini keaktifan mahasiswa dapat dilihat dari tingkah laku yang muncul selama
pembelajaran. Aktivitas mahasiswa yang dapat diamati antara lain meliputi : mengajukan
pertanyaan kepada dosen maupun teman apabila mengalami kesulitan, mengerjakan soal-soal
dengan diskusi sehingga menambah kerjasama mahasiswa dengan temannya, menyajikan hasil
kerja di depan kelas, menanggapi hasil pekerjaan siswa lain.
2.2. Student Centered Learning (SCL) Tipe Collaborative Learning (CL)
Student Center Learning (SCL) merupakan metode pembelajaran yang memberdayakan peserta
didik menjadi pusat perhatian selama proses pembelajaran berlangsung. Pembelajaran dalam
258

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Student Centered Learning mempunyai ciri-ciri antara lain: Peserta didik harus aktif terlibat dalam
proses belajar yang dipicu dari motivasi instrinsik, Topik, isu, atau subyek pembelajaran harus
menarik dan memicu motivasi instrinsik, pengalaman belajar diperoleh melalui suasana yang
nyata atau sebenarnya dan relevan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dan
digunakan di tempat kerja.
Dalam buku panduan pelaksanaan SCL Pusat Pengembangan Pendidikan UGM (2010) disebutkan
bahwa Dosen dalam proses pembelajaran Student Centered Learning memiliki peran yang penting
dalam pelaksanaan pembelajaran SCL yaitu meliputi: Bertindak sebagai fasilitator dalam proses
pembelajaran. Mengkaji kompetensi matakuliah yang perlu dikuasai mahasiswa di akhir
pembelajaran. Merancang strategi dan lingkungan pembelajaran yang dapat menyediakan beragam
pengalaman belajar yang diperlukan mahasiswa dalam rangka mencapai kompetensi yang dituntut
matakuliah. Membantu mahasiswa mengakses informasi, menata dan memprosesnyauntuk
dimanfaatkan dalam pemecahan permasalahan sehari hari. Mengidentifikasi dan menentukan
polapenilaian hasil belajar mahasiswa yang relevan dengan kompetensi yang akan diukur.
Terdapat berbagai macam tipe atau metode dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
SCL, diantaranya: Individual Learning, Autonomous Learning, Active Learning, Self Directed
Learning,Collaborative Learning, Cooperative Learning, Case Based Learning, Research Based
Learning, Problem Based Learning, Student Teacher Aesthethic Role Sharing. Pada kesempatan ini
peneliti mencoba untuk mengaplikasikan pendekatan SCL dengan tipe Collaborative Learning.
Collabortaive Learning pada dasarnya merupakan pembelajaran yang berdasarkan pengalaman
peserta didik sebelumnya (prior knowledge) dan dilakukan secara berkelompok. Oleh karena
dilakukan secara berkelompok, maka nuansa individual tidak terlihat secara nyata. Sharing gagasan
dan pengetahuan untuk meningatkan hasil belajar bersama merupakan hakekat Collaborative
Learning. Mutu pembelajaran terletak pada interaksi yang maksimal antar peserta didik di dalam
kelompoknya. Interakasi tersebut diwujudkan dengan cara bertukar pikiran, berdebat atau
berdiskusi sehingga memperluas wawasan/wacana peserta didik. Collabortaive Learning dilakukan
dalam kelompok, seperti halnya pada pembelajaran kooperatif dan kompetitif, tetapi tidak
diarahkan untuk berkompetisi dan tidak diarahkan hanya pada satu kesepakatan tertentu.
Collaborative learning adalah metode belajar yang menitik beratkan pada kerjasama antar peserta
didik yang didasarkan pada konsensus yang dibangun sendiri oleh anggota kelompok.
2.3. Kemampuan Pemecahan Masalah
Menurut Gagne (Tim MKPBM. 2001:83) Bahwa keterampilan intelektual paling tinggi dapat
dikembangkan melalui pemecahan masalah . Untuk meningkatkan kemampuan peserta didik
dalam memecahkan masalah matematik, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
jalan membiasakan peserta didik mengajukan masalah, soal, atau pertanyaan matematika sesuai
dengan situasi yang diberikan oleh guru. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari pemecahan
masalah dilakukan, perlu adanya tahap-tahap pelaksanaannya. Sumarmo, Utari (2006:12)
menyebutkan empat langkah dasar untuk problem solving (pemecahan masalah) sebagai berikut :
Memahami masalah (serupa dengan tahap membaca survey, cepat), Mencari alternative
penyelesaian (serupa dengan tahap membaca read), Melaksanakan perhitungan (serupa dengan
membaca recite, ektensif), Memeriksa kebenaran jawaban.
Kerangka Pemikiran
Tujuan pembelajaran matematika tidak sekedar mencapai pemahaman matematika tetapi juga
diharapkan dapat mengembangkan atau meningkatkan soft skill mahasiswa, salah satunya
meningkatnya kemampuan berpikir ktitis dan kreatif mahasiswa dalam memecahkan masalah,
demikian juga sebaliknya. Lingkungan yang kondusif untuk mengembangkan kemampuan
memecahkan masalah mahasiswa sangat berperan besar dalam peningkatan kemampuan berpikir
kritis dan kreatif bagi mahasiswa. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi, metode atau
pendekatan pembelajaran matematika yang dapat mewujudkan hal tersebut.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

259

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Student Centered Learning (SCL) melalui tipe Collaborative Learning (CL) diartikan sebagai
kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (Facilitating, Empowering, Enabling), untuk
mahasiswa belajar secara aktif yang menekankan pada sumber belajar. Dengan demikian,
pembelajaran merupakan proses pengembangkan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan
kemampuan memecahkan masalah mahasiswa, serta dapat meningkatkan dan mengkontruksi
pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan danpengembangan yang baik terhadap
materi perkulihan.
Berdasarkan uraian yang telah di kemukakan di atas, peneliti menduga bahwa pembelajaran dengan
menggunakan Student Centered Learning (SCL) tipe Collaborative Learning (CL) dapat di
jadikan salah satu cara untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa serta korelasinya terhadap
kemampuan pemecahan masalah pada perkuliahan statistika.
Hipotesis
Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Ada peningkatan hasil belajar melalui strategi Student Centered Learning (SCL) Tipe
Collaborative Learning (CL) pada perkuliahan statistika.
b. Terdapat kolerasi positip antara hasil belajar mahasiswa dan Kemampuan Pemecahan Masalah
pada perkuliahan statistika.

3.

Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peningkatan hasil belajar mahasiswa melalui strategi
Student Centered Learning (SCL) Tipe Collaborative Learning (CL) serta korelasinya terhadap
kemampuan pemecahan masalah. Pembelajaran dilakukan melalui strategi Student Centered
Learning (SCL) Tipe Collaborative Learning (CL) disertai kemampuan pemecahan masalah.
Penggunaan metode penelitian yang tepat sangat membantu dalam upaya mengumpulkan data
penelitian yang diperlukan. Menurut Arikunto, Suharsimi (2006:160) Metode penelitian adalah
cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif korelasional. Menurut Ruseffendi,E,T, (2003:31) Metode
korelasional adalah penelitian yang berusaha melihat apakah antara dua variabel atau lebih ada
hubungan atau tidak. Pemilihan metode ini didasarkan atas pertimbangan waktu terjadinya
masalah dan juga adanya tujuan mendeskripsikan pokok masalah dan hasil penelitian secara apa
adanya. Untuk kepentingan itu diperlukan rancangan penelitian. Subjek penelitian dipilih secara
acak menurut kelas. Sebelum pembelajaran dimulai, terlebih dahulu diberikan pre test selanjutnya
diterapkan Student Centered Learning (SCL) tipe Collaborative Learning (CL). Setelah selesai
pembelajaran maka dilaksanakan post tes dan tes kemampuan pemecahan masalah. Pengolahan
data pre dan post test dihitung gain untuk melihat peningkatan hasil belajar Student Centered
Learning (SCL) tipe Collaborative Learning (CL).
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa yang mengikuti mata kuliah statistika di
program studi pendidikan matematika Universitas Siliwangi Semester VI (angkatan 2011/2012)
yang terdiri atas 7 (tujuh) kelas. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik
sampling sederhana menurut kelas. Sampel penelitian diambil secara acak dari 7 kelas semester VI
mahasiswa yang mengikuti mata kuliah statistika dengan mengambil satu kelas (VIB) terpilih
secara random sebagai kelas eksperimen.
Instrumen Penelitian
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini berupa seperangkat soal tes uraian untuk menggali
hasil pembelajaran mahasiswa dan tes kemampuan pemecahan masalah. Tahap dalam penelitian ini
merupakan inti kegiatan yang berfokus pada kegiatan pengumpulan dan penjaringan data melalui
teknik yang telah direncanakan, Adapun langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut: Tes Hasil
260

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Belajar,
Memberikan Tugas Individu, Memberikan Tugas Kelompok, Tes Kemampuan
Pemecahan Masalah.
Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan IBM SPSS Statistik versi 20. Data yang akan
diolah dalam penelitian ini adalah data yang berasal dari nilai tugas individu, nilai tugas kelompok,
pos tes dan tes pemecahan masalah yang menggunakan metode Student Centered Learning tipe
Collaborative Learning. Pre test dan post tes melalui gain diolah dan dianalisis untuk mengetahui
peningkatannya. Nilai tugas individu, nilai tugas kelompok dan post test di rata-ratakan untuk
mendapatkan hasil belajar yang kemudian nilai hasil belajar di korelasikan dengan nilai tes
pemecahan masalah.
Reabilitas kedua perangkat tes itu yaitu tes hasil belajar dan tes kemampuan pemecahan masalah
termasuk kategori tinggi dengan koefisien reabilitas berturut turut rhasil belajar = 0,76 dan rpemecahan
masalah =0,082.

4.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Kesimpulan Statistik
N

Statistik
Valid
Missing

Mean
Median
dk
Std. Deviation
Variance
Skewness
Std. Error of Skewness
Kurtosis
Std. Error of Kurtosis
Range
Minimum
Maximum

TI
35
0
81.1429
80.0000
34
7.18308
51.597
.015
.398
-1.005
.778
25.00
70.00
95.00

TK
35
0
80.2857
82.0000
34
5.85899
34.328
-.149
.398
-1.102
.778
18.00
71.00
89.00

POST
35
0
80.5714
79.0000
34
4.02409
16.193
.365
.398
-.317
.778
17.00
73.00
90.00

HB
35
0
80.4857
81.0000
34
3.54278
12.551
-.528
.398
.003
.778
14.00
72.00
86.00

PM
35
0
80.4000
80.0000
34
3.54135
12.541
-.027
.398
-1.383
.778
10.00
75.00
85.00

Pembahasan
1.

Peningkatan Hasil Belajar melalui Strategi Student Centered Learning (SCL) Tipe
Collaborative Learning (CL)

Data skor pre tes merupakan skor yang diperoleh dari hasil tes sebelum pembelajaran, sedangkan
data skor pos tes merupakan skor yang diperoleh dari hasil tes setelah pembelajaran. Untuk
mengetahui adanya peningkatan hasil belajar melalui Strategi Student Centered Learning (SCL)
Tipe Collaborative Learning (CL) yaitu dengan menghitung gain ternormalisasi.
Tingkat n-gain kategori tinggi dengan frekuensi 26 sebesar 74,3% dan n-gain kategori sedang
dengan frekuensi 9 sebesar 25,7%. Selanjutnya dilakukan uji t satu sampel untuk menguji rerata
dari sampel tunggal.
Pengujian hipotesis 1
Hipotesis 1 yang diajukan dalam penelitian ini adalah Ada peningkatan hasil belajar melalui
strategi Student Centered Learning (SCL) Tipe Collaborative Learning (CL) pada perkuliahan
statistika.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

261

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

H0: Tidak ada peningkatan hasil belajar melalui strategi Student Centered Learning (SCL)
Tipe Collaborative Learning (CL)
H1: Ada peningkatan hasil belajar melalui strategi Student Centered Learning (SCL) Tipe
Collaborative Learning (CL).
Berdasarkan hasil pengolahan data pada tabel 4.10 dan 4.11 menunjukan nilai uji statistik t yang
didapat t = 81,112 dengan derajat kebebasan
= n-1=35-1=34. Berdasarkan Tabel 4.11
diperoleh Asymp.Sig (2- tailed) untuk skor gain ternormalisasi adalah 0,000. Hubungan nilai
1
signifikansi Asym.Sig(1-tailed) = Asym.Sig (2-tailed) sehingga nilai Asym Sig (1-tailed) = 0,000.
2
Jika diambil = 0,05 ternyata Asymp. Sig(1-tailed) < , Nilai p-value atau sig (untuk 1-tailled) =
0,000 jelas lebih kecil dari = 0,05 dan hal ini menunjukan penolakan terhadap H 0. Sehingga dapat
disimpulkan ada peningkatan hasil belajar melalui strategi Student Centered Learning (SCL) tipe
Collaborative Learning (CL) pada pembelajaran statistika.
2. Kolerasi Hasil Belajar Mahasiswa dan Kemampuan Pemecahan Masalah.
Data skor hasil belajar merupakan skor yang diperoleh dari hasil rata rata tugas individu, tugas
kelompok dan post tes dari pembeajaran melalui Strategi Student Centered Learning (SCL) Tipe
Collaborative Learning (CL). Sedangkan data skor kemampuan pemecahan masalah diperoleh dari
tes pemecahan masalah yang dilaksanakan beberaha hari setelah ujian post test dilaksanakan.
Untuk menganalisis korelasi digunakn software spss versi 20 dengan cara menginput data nilai
hasil belajar dan pemecahan masalah.
Pengujian hipotesis 2
Hipotesis 2 yang diajukan dalam penelitian ini adalah Terdapat kolerasi positip antara hasil belajar
mahasiswa dan Kemampuan Pemecahan Masalah pada perkuliahan statistika. Berdasarkan
hipotesis penelitian yang diajukan tersebut, hipotesis statistik yang diuji adalah sebagai berikut :
H0
H1

: Tidak terdapat kolerasi positip antara hasil belajar mahasiswa dan


Kemampuan Pemecahan Masalah
: Terdapat kolerasi positip antara hasil belajar mahasiswa dan
Kemampuan Pemecahan Masalah.

Berdasarkan hasil pengolahan data korelasi dengan menggunakan program komputer spss versi 20
diperoleh hasil seperti yang terdapat pada tabel 4.12. Kriteria keputusan jika signifikansi > 0,05 H 0
diterima dan jika signifikansi < 0,05 H0 ditolak. Pada tabel 4.12 diketahui signifikansi adalah
0,000 kurang dari 0,05 maka H0 ditolak sehingga H1 diterima. Dari hasil pengolahan data didapat
pula koefisien korelasi sebesar 0,682 karena nilainya positif dan mendekati 1 berdasarkan kriteria
maka korelasi antara hasil belajar dan pemecahan masalah adalah positif tinggi. kesimpulannya
yaitu Terdapat kolerasi positip antara hasil belajar mahasiswa dan Kemampuan Pemecahan
Masalah.
5. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, pengolahan data dan pengujian hipotesis serta pembahasan pada
bagian terdahulu mengenai Peningkatan Hasil Belajar Mahasiswa Melalui Strategi Student
Centered Learning (SCL) Tipe Collaborative Learning (CL) Serta Korelasinya Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Pada Perkuliahan Statistika diperoleh simpulan sebagai berikut :
a. Ada peningkatan hasil belajar melalui strategi Student Centered Learning (SCL) Tipe
Collaborative Learning (CL) pada perkuliahan statistika.
b. Terdapat kolerasi positip yang tinggi antara hasil belajar mahasiswa dan Kemampuan
Pemecahan Masalah pada perkuliahan statistika.
c. Selama mengikuti pembelajaran melalui strategi Student Centered Learning (SCL) Tipe
Collaborative Learning (CL) pada perkuliahan statistika mahasiswa terlibat secara aktif dalam
262

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kegiatan diskusi dan proses pembelajaran. Aktivitas mahasiswa semakin baik dan berani
dalam menyampaikan pertanyaan, menanggapi maupun presentasi menyelesaikan soal soal.
Mahasiswa aktif selama proses pembelajaran hal ini terlihat dari adanya kerja sama kelompok,
saling membantu dan saling memberikan pendapat dalam menyelesaikan soal individu dan
kelompok.
5.2. Saran
Berdasarkan temuan pada penelitian ini, penulis kemukakan beberapa saran sebagai berikut :
a. Pembelajaran melalui strategi Student Centered Learning (SCL) Tipe Collaborative Learning
(CL) dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran matematika, dengan
tujuan untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan memberikan suasana baru dalam
pembelajaran. Student Centered Learning (SCL) Tipe Collaborative Learning (CL) dapat pula
meningkatkan aktivitas mahasiswa secara optimal, memfasilitasi dalam pembelajaran dan
membangun pengetahuannya, menciptakan suasana pembelajaran lebih kondusif serta
memberikan kesempatan pada siswa untuk dapat bebas melakukan eksplorasi.
b. Pembelajaran melalui strategi Student Centered Learning (SCL) Tipe Collaborative Learning
(CL) secara signifikan berkontribusi dalam meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa.
c. Berdasarkan temuan di lapangan, setiap pengajar hendaknya mengadakan perubahan secara
bertahap dalam pembelajaran sehari hari dengan cara mengkombinasikan beberapa model
pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan mahasiswa.
d. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan untuk mengkaji aspek lainnya yang belum terjangkau
dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
A.M., Sardiman. (2006). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Bahri, Syaiful& Aswan Zain. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. Rineka Cipta.
Barkley, E.F., K.P. Cross, and C.H. Major. (2005). Collaborative Learning Techniques. A
Handbook foe College Faculty. John Wiley & Sons, Inc., San Fransisco.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Buku X Tata
Kelola. Jakarta.
Fathurronman, Pupuhdan Sutikno, (2007). Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep
Umumdan Konsep Islami. Bandung. RefikaAditama.
Harsanto, Ratno. (2007). Pengelolaan Kelas yang Dinamis: Paradigma Baru Pembelajaran Menuju
Kompetensi Siswa. Yogyakarta: Kanisius.
Ibrohimdan Syaohidih, (2003). Perencanaan Pengajaran. Jakarta. Rineka Cipta.
Mustaji, (2009). Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pola Kolaborasi
dalam Mata Kuliah Masalah Sosial. Disertasi. Malang: Program Pascasarjana UIniversitas
Negeri Malang
Pusat Pengembangan Pendidikan UGM, (2010). Student Centered Learning (SCL) Dan Student
Teacher Aesthethic Role-Sharing (STAR)
Ratnaningsih, N. (2008). Berbagai Keterampilan Berpikir Matematik. Makalah Seminar
Pendidikan Matematika. HIMAPTIKA FKIP UNSIL Tasikmalaya.
Rohani, (2004). Pengelolaan Pengajaran. Jakarta .PT. Rineka Cipta
Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. UPI Badung: JICA.
Trianto.(2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:
Prestasi Pusaka Publisher.
Sadirman,(2010).Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Soerjono Soekamto, (2002). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sudjana,N. & Ibrahim, M.A. (2004). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung. Universitas Pendidikan
Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

263

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Sumarmo, U., (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajar terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian.
IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.
Suryosubroto, 2002.Proses BelajarMengajar di Sekolah. Jakarta. RinekaCipta.
Syah, Muhibin. (2005). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung. Remaja Ros

264

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA


SMA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
REALISTIK
In In Supianti
Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Pasundan
supianti@unpas.ac.id

ABSTRAK
Kemampuan berpikir kritis siswa SMA rendah. Penelitian eksperimen ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMA menggunakan model pembelajaran
matematika realistik. 80 siswa SMA Pasundan 7 Bandung yang terdiri dari 40 siswa kelas
eksperimen dan 40 siswa kelas kontrol menjadi subjek penelitian yang dipilih secara acak
kelas. Instrumen yang digunakan adalah tes kemampuan berpikir kritis tipe uraian yang
diberikan ketika pretes dan postes. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji rerata (uji
t), hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa dengan pembelajaran
matematika realistik meningkat.
Kata Kunci: Pembelajaran Matematika Realistik, Kemampuan Berpikir Kritis, Pemecahan
Masalah

1.

Pendahuluan

Peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam menghadapi perubahan teknologi dan informasi
terus perlu dilakukan. Sumber daya manusia ini di harapkan mampu menguasai, mengembangkan
dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Putra (2007:15) salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah meningkatkan kualitas pendidikan yang berfokus
pada pengembangan kemampuan berpikir siswa. Salah satunya adalah kemampuan berpikir kritis.
Menurut Wijaya (1996:70) kemampuan berpikir kritis siswa masih rendah, rendahnya kemampuan
berpikir kritis disebabkan upaya pengembangan kemampuan berpikir kritis di sekolah-sekolah
jarang dilakukan. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan kemampuan
yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali
dan berpikir kritis dalam mengkonstruksi sendiri ide-ide matematika.
Sifat abstrak yang merupakan salah satu karakteristik matematika menyebabkan banyak siswa
mengalami kesulitan dalam belajar matematika sehingga kemampuan berpikir kritis siswa lemah.
Selain itu, belajar matematika siswa juga belum bermakna, Ruseffendi (2006:172) menyatakan
bahwa belajar bermakna adalah belajar yang untuk memahami apa yang sudah diperolehnya itu
dikaitkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya itu lebih mengerti. Mengaitkan pengalaman
kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan
agar pembelajaran lebih bermakna.
Menurut Van de Henvel-Panhuizen (dalam Zainurie, 2007:1), bila anak belajar matematika terpisah
dari pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan
matematika. Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran matematika di kelas ditekankan pada
keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari. Selain itu,
menerapkan kembali konsep matematika yang telah dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari atau
pada bidang lain sangat penting dilakukan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

265

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan, terungkap bahwa berpikir kritis perlu dikembangkan dan
diterapkan dalam proses belajar mengajar sehingga siswa mampu bersaing pada saat ini dan pada
masa yang akan datang. Oleh karena itu, perlu dicari model pembelajaran yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Salah satu alternatif pembelajaran matematika
yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah pembelajaran
matematika realistik. Pembelajaran matematika realistik berorientasi pada matematisasi
pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam
kehidupan sehari-hari
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian tentang pengaruh pembelajaran matematika realistik terhadap peningkatan kemampuan
berpikir kritis siswa dengan memberikan pembelajaran menggunakan model pembelajaran
matematika realistik dan rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
a. Apakah kemampuan berpikir kritis siswa SMA yang mendapatkan pembelajaran
matematika realistik lebih baik daripada yang mendapatkan pembelajaran ekspositori?
b. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika realistik dalam pembelajaran
matematika?
Hipotesis dalam penelitian ini adalah: Kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan
pembelajaran Matematika Realistik lebih baik daripada yang mendapatkan pembelajaran
Ekspositori.

2.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan dua kelompok, yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kedua kelompok dipilih berdasarkan kehomogenan
kemampuan kelas dan dipilih secara acak kelas. Kedua kelompok diberi pretes dan postes.
Kelompok eksperimen memperoleh pengajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran
matematika realistik sebagai perlakuan sedangkan kelompok kontrol memperoleh pengajaran
matematika ekspositori sebagai perlakuan. Bagan dari desain penelitiannya sebagai berikut:
A0X0
A0 0

(Ruseffendi, 2005:50)

Keterangan :
A = pengambilan sampel dilakukan secara acak menurut kelas
0 = pretes = postes
X = pengajaran matematika realistik
Peneliti memilih penelitian pada SMA di kota Bandung yaitu SMA Pasundan 7 Bandung.
Berdasarkan pokok bahasan yang diambil dalam penelitian ini peneliti mengambil kelas XI IPA
sebagai sampel penelitian, dan karena menurut guru kelas XI IPA SMA Pasundan 7 Bandung
kemampuan siswa di kelas-kelas yang ada homogen, maka dalam penelitian ini penulis mengambil
dua kelas (kelas eksperimen dan kelas kontrol) dengan cara acak menurut kelas.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ialah instrumen pengumpulan data yang terdiri dari
tes dan non tes. Tes berupa tes kemampuan berpikir kritis matematika berbentuk uraian sebanyak 5
soal. Adapun langkah-langkah penyusunan tes kemampuan matematika dalam jenjang kognitif
adalah: a) Membuat kisi-kisi soal yang meliputi dasar dalam pembuatan soal tes kemampuan
berpikir kritis, b) Menyusun soal tes kemampuan berpikir kritis, c) Menilai kesesuaian antara
materi, indikator, dan soal tes untuk mengetahui validitas isi, d) Melakukan uji coba soal untuk
memperoleh data hasil tes uji coba, e) Menghitung validitas tiap butir soal, reliabilitas soal, daya
pembeda, dan indeks kesukaran tiap butir soal menggunakan data hasil uji coba.

266

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Instrumen non tes berupa angket skala sikap model Likert. Skala sikap diberikan kepada kelas
eksperimen yang mendapat pembelajaran matematika realistik. Skala Likert meminta kepada
responden untuk menjawab suatu pernyataan dengan jawaban sangat setuju (SS), setuju (S), tak
memutuskan (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).
Prosedur Penelitian, Dalam pengumpulan data penelitian ini melalui tiga tahapan, yaitu yang
pertama tahapan persiapan, kedua tahapan pelaksanaan, dan ketiga tahapan akhir.
1) Tahap Persiapan
Langkah-langkah tahap persiapan, yaitu: a) Melakukan uji coba instrumen penelitian b)
Mengumpulkan data c) Mengolah hasil uji coba instrumen
2) Tahap Pelaksanaan
Langkah-langkah pelaksanaan penelitian, yaitu: a) Memilih dua kelas secara acak, yaitu kelas
kontrol dan kelas eksperimen; b) Melaksanakan pretes pada kedua kelompok; c) Melakukan
kegiatan belajar mengajar, kelas kontrol menggunakan pembelajaran biasa, sedangkan kelas
eksperimen menggunakan pembelajaran matematika realistik; d) Melaksanakan postes pada kedua
kelas; e) Membagikan angket skala sikap untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran
dengan model pembelajaran matematika realistik.
3) Tahap Akhir
Pada tahapan ini peneliti mengolah dan menganalisis data hasil tes yang dilaksanakan
menggunakan uji rata-rata dan hasil angket skala sikap siswa. Peneliti juga membuat kesimpulan
hasil penelitian berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskan.

3.

Hasil dan Pembahasan

Data yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu data kuantitatif berupa nilai tes awal (pretes) dan
nilai tes akhir (postes) serta data kualitatif berupa hasil angket.
3.1. Pengolahan Data Hasil Pretes
a) Tes Normalitas Distribusi
Langkah pertama adalah menguji normalitas kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Dalam
penelitian ini metode yang digunakan yaitu metode Shapiro-Wilk melalui aplikasi program SPSS 15
for windows dengan taraf signifikansi 0,05. Setelahdilakukan pengolahan data, tampilan output
SPSS normalitas distribusi untuk masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1
Normalitas Distribusi
Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen
Nilai
Pretes

Kelas

Shapiro-Wilk
Statistic

df

Sig.

Kontrol

.971

40

.385

Eksperimen

.952

40

.089

Santoso (2007:169) menjelaskan bahwa bila nilai signifikan atau nilai probabilitas > 0,05 maka
distribusinya normal. Pada Tabel 1 dapat dilihat nilai signifikan untuk kelompok kontrol 0,385
sedangkan nilai signifikan untuk kelompok eksperimen adalah 0,089 Karena nilai signifikan kedua
kelas tersebut lebih dari 0,05 maka hal ini menunjukkan bahwa kelompok kontrol dan kelompok
eksperimen berdistribusi normal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik Q-Q plot di bawah
ini

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

267

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Grafik 1 Normalitas Q-Q Plot Tes Awal (Pretes)


Kelompok Kontrol dan Eksperimen

Menurut Santoso (2007:169) jika data tersebar di sekitar garis maka masing-masing kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen berdistribusi normal. Pada Grafik 1 terlihat ada garis lurus dari
kiri bawah ke kanan atas dan data tersebar di sekitar garis, maka dapat diasumsikan kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen berdistribusi normal.
b) Tes Homogenitas Dua Varians
Menguji homogenitas variansi kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dengan menggunakan
uji Levenes Test melalui aplikasi SPSS 15 for windows dengan taraf signifikansi 0,05. Setelah
dilakukan pengolahan data, tampilan output SPSS dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2
Output Uji Homogenitas Dua Varians Tes Awal (Pretes)
Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen

Based on Mean
Based on Median
Nilai
Pretes

Based on Median and with


adjusted df
Based on trimmed mean

Levene
Statistic
0.572

df1
1

df2
78

Sig.
0.452

0.534

78

0.467

0.534

77.419

0.467

0.584

78

0.447

Menurut Santoso (2007:169) bila nilai signifikan > 0,05 berasal dari populasi yang mempunyai
varians sama. Berdasarkan uji homogenitas varians menggunakan uji Levenes Test pada tabel 4.3
di atas, terlihat bahwa nilai signifikan sebesar 0,452 Lebih besar dari 0,05 maka dapat diambil
kesimpulan bahwa siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen berasal dari populasi yang mempunyai
varians sama, atau kedua kelompok tersebut homogen.
c) Uji t
Setelah kedua kelompok tersebut berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen,
selanjutnya dilakukan uji kesamaan dua rerata dengan uji-t melalui aplikasi program SPSS 15 for
windows menggunakan Independent Sample t-Test dengan taraf signifikansinya 0,05. Setelah
dilakukan pengolahan data, tampilan output SPSS dapat dilihat pada Tabel 3.

268

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


Tabel 3
Output Uji-t Tes Awal (Pretes)
Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen
Levene's Test for Equality of
Variances

F
Nilai Equal
Pretes variances
assumed

Sig.

t-test for Equality of Means

.572 .452 .073

Equal
variances not
assumed

Df

95% Confidence
Interval of the
Sig.
Mean
Std. Error
Difference
(2-tailed) Difference Difference
Lower Upper

78

.982

.075

3.309

-6.512

6.662

.073 77.26

.982

.075

3.309

-6.513

6.663

Dengan kriteria, diterima H 0 jika probabilitas > 0,05 sebaliknya jika probabilitas < 0,05 maka

H 0 ditolak (Santoso, 2007:245). Atau terima H 0 untuk t1 1 t hitung t1 1 dengan taraf


2

signifikasi 0,05.
Hipotesis dirumuskan dalam bentuk hipotesis statistik (Uji dua pihak) sebagai berikut:
0 1 = 2
1 1 2
Keterangan :
0 : Tidak ada perbedaan secara signifikan antara kemampuan berpikir kritis siswa kelompok
kontrol dengan kelompok eksperimen pada tes Akhir.
1 : Ada perbedaan secara signifikan antara kemampuan berpikir kritis siswa
kelompok
kontrol dengan kelompok eksperimen pada tes awal.
Pada Tabel 3 diperoleh nilai probabilitas pada signifikansi (2-tailed) adalah 0,982.
Oleh karena itu nilai probabilitas > 0,05, maka H 0 diterima atau tidak berbeda secara signifikan
kemampuan berpikir kritis siswa kedua kelas.
Pada Tabel 3, terlihat t hitung untuk skor pretes dengan equal varians assumed (kedua varians sama)
adalah 0,073 dan

t1 1

dari hasil interpolasi diperoleh

t 0,975( 78)

= 1,994. Ternyata

t 0,975(78) t hitung t 0,975(78) , maka H 0 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak berbeda
secara signifikan kemampuan awal berpikir kritis siswa kedua kelas.
3.2. Pengolahan Data Hasil Postes
a) Tes Normalitas Distribusi
Langkah pertama adalah menguji normalitas kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Dalam
penelitian ini metode yang digunakan yaitu metode Shapiro-Wilk melalui aplikasi program SPSS 15
for windows dengan taraf signifikansi 0,05. Setelah dilakukan pengolahan data, tampilan output
SPSS normalitas distribusi untuk masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 4.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

269

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


Tabel 4
Normalitas Distribusi
Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen
Kelas
Nilai
Postes

Kontrol
Eksperimen

Shapiro-Wilk
Statistic
df
.979
40
.973
40

Sig.
.648
.451

Santoso (2007:169) menjelaskan bahwa bila nilai signifikan atau nilai probabilitas > 0,05 maka
distribusinya normal. Pada Tabel 4.6 dapat dilihat nilai signifikan untuk kelompok kontrol 0.648
sedangkan nilai signifikan untuk kelompok eksperimen adalah 0,451 Karena nilai signifikan kedua
kelas tersebut lebih dari 0,05 maka hal ini menunjukkan bahwa kelompok kontrol dan kelompok
eksperimen berdistribusi normal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik Q-Q plot di bawah
ini:

Grafik 3 Normalitas Q-Q Plot Tes Akhir (Postes)


Kelompok Kontrol

Grafik 4 Normalitas Q-Q Plot Tes Akhir (Postes)


Kelompok Eksperimen

270

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Menurut Santoso (2007:169) jika data tersebar di sekitar garis maka masing-masing kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen berdistribusi normal. Pada Grafik 4.3 dan Grafik 4.4 terlihat ada
garis lurus dari kiri bawah ke kanan atas dan data tersebar di sekitar garis, maka dapat diasumsikan
kelompok kontrol dan kelompok eksperimen berdistribusi normal.
b) Tes Homogenitas Dua Varians
Setelah tes normalitas distribusi, langkah selanjutnya adalah menguji homogenitas variansi
kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dengan menggunakan uji Levenes Test melalui
aplikasi SPSS 15 for windows dengan taraf signifikansi 0,05. Setelah dilakukan pengolahan data,
tampilan output SPSS dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5
Output Uji Homogenitas Dua Varians Tes Akhir (Postes)
Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen

Nilai
Postes

Based on Mean
Based on Median
Based on Median and with
adjusted df
Based on trimmed mean

Levene
Statistic
df1
3.505
1
3.195
1

df2
78
78

Sig.
.065
.078

3.195

69.957

.078

3.363

78

.070

Menurut Santoso (2007:169) bila nilai signifikan > 0,05 berasal dari populasi yang mempunyai
varians sama. Berdasarkan uji homogenitas varians menggunakan uji Levenes Test pada tabel 5 di
atas, terlihat bahwa nilai signifikan sebesar 0,065 Lebih besar dari 0,05 maka dapat diambil
kesimpulan bahwa siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen berasal dari populasi yang mempunyai
varians sama, atau kedua kelompok tersebut homogen.
c) Uji t
Setelah kedua kelompok tersebut berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen,
selanjutnya dilakukan uji kesamaan dua rerata dengan uji-t melalui aplikasi program SPSS 15 for
windows menggunakan Independent Sample t-Test dengan taraf signifikansinya 0,05. tampilan
output SPSS dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6
Output Uji-t Tes Awal (Pretes)
Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen
Levene's Test for Equality of
Variances
F

Sig.

t-test for Equality of Means

df

Equal
variances
3.505 .065 9.206
78
Nilai assumed
Postes Equal
variances
9.206 70.49
not assumed

Sig.
(2-tailed)

95% Confidence
Mean
Std. Error Interval of the
Difference
Difference Difference
Lower Upper

.000

24.575

2.669

29.889 19.261

.000

24.575

2.669

29.898 19.252

Hipotesis tersebut dirumuskan dalam bentuk hipotesis statistik (Uji satu pihak) sebagai berikut:

H 0 : 1 2
H 0 : 1 > 2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

271

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Keterangan :
0 : Siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik kemampuan berpikir kritisnya
sama dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional).
1 : Siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik kemampuan berpikir kritisnya
lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional).
Pada Tabel 6, terlihat bahwa nilai probabilitas pada signifikansi (2-tailed) adalah 0,000. Oleh
karena itu probabilitas < 0,05, maka H 0 ditolak dengan kondisi lain H 1 diterima atau
kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh model pembelajaran matematika realistik lebih
baik daripada siswa yang memperoleh model pembelajaran konvensional.
Dengan kriteria uji tolak Ho untuk t hitung t1 dan terima H 0 jika t hitung memiliki harga lain,
dengan taraf signifikansi 0,05. Pada Tabel 6 di atas, terlihat t hitung untuk skor postes dengan equal
varians assumed (kedua varians sama) adalah 9,206 dan t1 a dari hasil interpolasi diperoleh

t 0,95( 78) = 1,6665. Jadi t hitung t 0,95( 78) , maka H 0 ditolak atau kemampuan berpikir kritis siswa
yang memperoleh pembelajaran matematika realistik lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
3.3. Pengolahan Data Skala Sikap
Hasil skala sikap diperoleh dengan memberikan angket skala sikap kepada siswa yang mendapat
pembelajaran matematika realistik. Skala sikap ini disajikan menjadi tiga bagian, yaitu : (1) Sikap
siswa terhadap pelajaran matematika, (2) Sikap siswa terhadap pembelajaran matematika realistik,
dan (3) Sikap siswa terhadap soal-soal kemampuan berpikir kritis. Setelah data diolah maka
diperoleh hasil sebagai berikut :
a) Sikap Siswa terhadap Pelajaran Matematika
Tabel 7
Sikap Siswa terhadap Pelajaran Matematika
No

272

Indikator

Menunjukkan
kesukaan
terhadap
matematika

Menunjukkan
kesungguhan
mengikuti
proses
pembelajaran

No.
Soal

Sifat

(+)

(-)

15

(+)

19

(-)

(+)

(-)

24

(+)

11

(-)

SS

TS

STS

7
5
1
1
3
5
0
1
13
5
0
1
2
5
0
1

10
4
7
2
22
4
2
2
25
4
2
2
11
4
1
2

21
3
13
3
11
3
15
3
1
3
19
3
23
3
8
3

2
2
16
4
4
2
16
4
1
2
13
4
3
2
24
4

0
1
3
5
0
1
7
5
0
1
6
5
1
1
7
5

Rata-rata Skor Sikap


Siswa
Item
Klasifikasi

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

3,55
3,33
3,60
3,70
3,65
4,25
3,58
3,25
3,93

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Berdasarkan Tabel 7 rata-rata skor sikap siswa terhadap pelajaran matematika lebih besar daripada
skor netralnya yaitu 3,65 > 3,00 hal tersebut menunjukkan bahwa siswa yang memperoleh
pembelajaran matematika realistik memiliki sikap yang positif terhadap pelajaran matematika.
b) Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Matematika Realistik
Tabel 8
Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Matematika Realistik
No

Indikator

No
Soal

Sifat

SS

TS

STS

Rata-rata Skor
Sikap Siswa
Item

Menunjukkan
kesukaan
terhadap
pembelajaran
matematika
realistik

Manfaat
mengikuti
pembelajaran
matematika
dengan
menggunakan
pembelajaran
matematika
realistik

12

(+)

(-)

(+)

21

(-)

22

(+)

10

(-)

(+)

(-)

4
5

18
4

15
3

3
2

0
1

0
1
6
5
0

1
2
25
4
11

13
3
5
3
7

23
4
3
2
15

3
5
1
1
7

4
5
0
1
7
5
1

23
4
1
2
24
4
1

8
3
7
3
8
3
2

4
2
24
4
1
2
25

1
1
8
5
0
1
11

Klasifikasi

3,58
3,70
3,80
3,45
3,77
3,63
3,98
3,93
4,10

Berdasarkan Tabel 8 rata-rata skor sikap siswa terhadap pembelajaran matematika realistik lebih
besar daripada skor netralnya yaitu 3,77 > 3,00 hal tersebut menunjukkan bahwa siswa yang
memperoleh pembelajaran matematika realistik memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran
matematika realistik.
c) Sikap Siswa terhadap Soal-soal Kemampuan Berpikir Kritis
Tabel 9
Sikap Siswa terhadap Soal-soal Kemampuan Berpikir Kritis
No

Indikator

Menunjukkan
kesukaan
terhadap soalsoal yang
diberikan

No.
Soal

Sifat

22

(+)

10

(-)

9
4

(+)

(-)

SS

TS

STS

23

24

24

25

11

Rata-rata Skor
Sikap Siswa
Item Klasifikasi
3,63

3,98
3,73
3,93
4,10

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

273

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

No

Indikator

No.
Soal

13

Manfaat soalsoal yang


diberikan dalam
kehidupan
sehari-hari

23

18

Sifat

SS

TS

STS

20

12

13

23

20

15

18

(+)

3,35

(-)
(+)

Rata-rata Skor
Sikap Siswa
Item Klasifikasi

3,70

3,83

(-)

3,35

Berdasarkan Tabel 9 rata-rata skor sikap siswa terhadap soal-soal kemampuan berpikir kritis lebih
besar daripada skor netralnya yaitu 3,73 > 3,00 hal tersebut menunjukkan bahwa siswa yang
memperoleh pembelajaran matematika realistik memiliki sikap yang positif terhadap soal-soal
kemampuan berpikir kritis.
Berdasarkan hasil pretes nilai rerata untuk kelompok eksperimen sebesar 44,300 tidak jauh berbeda
dengan nilai rerata kelompok kontrol sebesar 44,375. Selain itu, setelah dianalisis ternyata tidak
terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol.
Berdasarkan hasil postes nilai rerata untuk kelompok eksperimen sebesar 69,05 lebih baik daripada
nilai rerata kelompok kontrol sebesar 44,48. Setelah dianalisis, didapat bahwa kemampuan berpikir
kritis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
Berdasarkan hasil skala sikap, terlihat bahwa siswa memberikan respon positif terhadap penerapan
pembelajaran matematika realistik pada pembelajaran matematika, dari pernyataan yang peneliti
berikan kepada siswa, umumnya mereka setuju bahwa pembelajaran matematika realistik memberi
kemudahan kepada mereka dalam mempelajari matematika serta membantu mereka dalam
menyelesaikan soal-soal yang diberikan. Hal ini didasarkan pada jawaban siswa yang cenderung
memilih jawaban setuju untuk pernyataan positif dan tidak setuju untuk pernyataan yang bersifat
negatif daripada memilih jawaban netral.

4.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat diambil yaitu:
a. Kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika realistik lebih
baik daripada kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.
b. Siswa menunjukkan sikap positif terhadap pembelajaran matematika realistik.

DAFTAR PUSTAKA
Putra, T.G. (2007). Model Pembelajaran Redoks Berbasis Komputer untuk Meningkatkan
Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMK. Tesis PPS UPI. Bandung
: tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya.
Bandung : Tarsito.
274

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya


dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito.
Santoso, S. (2007). Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 15. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Zainurie
(2007).
Pembelajaran
Matematika
Realistik
(RME).
Tersedia
:
http//Zainurie.wordpress.com/2007/04/13/pembelajaran-matematika-realistik-rme.
[05
Desember 2009].
Wijaya, C. (1999). Pendidikan Remedial Sarana Pengembangan Mutu Sumber Daya Manusia.
Bandung : PT. ROSDA Karya.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

275

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN STUDENT


FACILITATOR AND EXPLAINING UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS
SISWA SMA
Ida Nuraida
Pendidikan Matematika, Universitas Galuh Ciamis
ida.nuraidamath@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan implementasi pembelajaran
yang menggunakan student facilitator and explaining terhadap kemampuan berpikir logis,
peningkatan kemampuan berpikir logis ditinjau dari kategori kemampuan awal siswa ditinjau
secara keseluruhan dan kategori kemampuan awal siswa. Desain penelitian ini adalah
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pretes dan postes. Kelompok eksperimen
mendapat pembelajaran yang menggunakan student facilitator and explaining dan kelompok
kontrol mendapat pembelajaran konvensional. Pada penelitian ini untuk mendapatkan data
hasil penelitian digunakan instrumen berupa tes kemampuan berpikir logis, lembar observasi
dan wawancara. Seluruh siswa kelas XI IPA di salah satu SMA yang ada di belahan utara
kabupaten Tasikmalaya yang dipilih secara purposif. Analisis data dilakukan secara kuantitatif.
Analisis kuantitatif dilakukan terhadap data pretes, postes, dan N-gain kemampuan berpikir
logis siswa antara kedua kelompok eksperimen dan kontrol dengan menggunakan uji
perbedaan rerata dua populasi dan UJI ANOVA Dua Jalur. Hasil penelitian menunujukkan
bahwa kemampuan berpikir logis siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan
student facilitator and explaining secara perhitungan statistik lebih baik daripada siswa yang
mendapatkan pembelajaran konvensional. Terdapat perbedaan yang signifikan antara
peningkatan kemampuan berpikir logis siswa kelompok atas, kelompok tengah, dan kelompok
bawah pada kelompok siswa yang mendapat pembelajaran student facilitator and explaining.
Kata Kunci: Pembelajaran Student Facilitator and Explaining, Kemampuan Berpikir Logis

1.

Pendahuluan

Tujuan utama penyelenggaraan pendidikan adalah untuk mempersiapkan setiap individu menjadi
anggota masyarakat yang berguna dan menjadi aset yang berharga dalam melaksanakan
pembangunan bangsa dan negara, kini dan masa depan. Pendidikan merupakan proses sosialisasi,
peserta didik diperkenalkan dengan potensi diri, ilmu pengetahuan, dan lingkungan agar mereka
mampu memainkan peran dan ambil bagian dalam proses pembangunan masyarakat sesuai dengan
posisi dan kedudukannya. Untuk mempersiapkan para peserta didik menghadapi tantangan masa
depan, maka harus dipersiapkan peserta didik yang berkepribadian luhur dan bermartabat tinggi.
Untuk merespon hal tersebut maka Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 membuat inovasi
yang harus diadopsi oleh semua satuan pendidikan yaitu adanya Standar Nasional Pendidikan
(SNP) yang berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan
dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, dan bertujuan menjamin mutu
pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat.
Berkenaan dengan peran matematika dalam kemajuan zaman, Levvit (dalam Buchori, 2000)
menyatakan bahwa jika suatu masyarakat dibiarkan dalam kebutaan matematika maka akan
membuat masyarakat tersebut kehilangan kemampuan untuk berpikir secara disipliner dalam
menghadapi masalah-masalah nyata, yang dimulai dari masalah-masalah yang relatif sederhana

276

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

hingga masalah-masalah yang benar-benar rumit. Sejalan dengan itu maka berdasarkan pendapat
Turmudi (2009) penguasaan mata pelajaran matematika memudahkan peserta didik untuk
melatih berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan inovatif yang difungsikan untuk mendukung
pembentukan kompetensi program keahlian, maka dengan diberikannya mata pelajaran
matematika terhadap peserta didik diharapkan mereka dapat mengikuti perkembangan jaman yang
semakin canggih dengan teknologi-teknologinya yang hampir merusak karakter dan kepribadian
peserta didik.
Turmudi ( 2008 ) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika selama ini hanya disampaikan
kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya memperoleh informasi dari guru saja
sehingga derajat kemelekatannya juga dapat dikatakan rendah. Siswa sebagai subjek belajar
kurang dilibatkan dalam menemukan konsep-konsep pelajaran yang harus dikuasainya. Hal ini
menyebabkan konsep-konsep yang diberikan tidak membekas dalam ingatan siswa sehingga siswa
merasa mudah lupa dan selalu kebingungan apabila mendapatkan soal yang diberikan guru. Pada
laporan studi TIMSS (2011) yang dilakukan di 38 negara (termasuk Indonesia) oleh Mullis et.al
(2000) mengungkapkan bahwa sebagian besar kegiatan pembelajaran matematika belum berfokus
pada pengembangan penalaran matematika atau kemampuan berpikir logis siswa. Hal ini
menunjukkan bahwa jiwa kompetitif peserta didik Indonesia dalam ajang Internasional masih
rendah, ini dapat dibuktikan dengan melihat peringkat. Peringkat peserta didik Indonesia berada
diperingkat sepuluh terakhir dari 45 negara lebih yang ikut ajang kompetisi.
Hal itu disebabkan pembelajaran matematika pada saat ini disampaikan dengan pembelajaran
konvensional, sehingga kemampuan siswa hanya berpikir tingkat rendah dan hapalan saja.
Pembelajaran bermakna yang diharapkan tidak terlaksana. Menurut Herman (2007) bahwa
kegiatan pembelajaran konvensional seperti ini tidak mengakomodasi pengembangan kemampuan
siswa dalam memecahkan masalah, penalaran, koneksi, dan komunikasi matematis. Aktivitas
pembelajaran konvensional mengakibatkan terjadinya proses penghapalan konsep atau prosedur
tanpa bermakna. Pemahaman konsep matematika siswa rendah, sehingga siswa harus mengikuti
aturan atau prosedur yang berlaku maka terjadi pembelajaraan makanistik.
Poejawijatna (1992) menyatakan bahwa orang yang berpikir logis akan taat pada aturan. Sejalan
dengan pendapat itu, Kennedy (dalam Awaludin, 2007) berpendapat kemampuan berpikir logis
sebagai kemampuan mengidentifikasi atau menambahkan argumentasi logis yang diperlukan untuk
menyelesaikan soal. Sesuai dengan pendapat tersebut, Awaludin menambahkan bahwa penalaran
logis adalah proses berpikir untuk menarik kesimpulan berupa pengetahuan dengan menggunakan
logika tertentu berdasarkan informasi-informasi yang diberikan. Sebagai bukti kebenaran dari
kesimpulan tersebut, seorang siswa harus memberikan argumen atau alasan yang logis.
Rendahnya kemampuan berpikir logis matematis siswa akan berimbas pada rendahnya prestasi
belajar siswa di Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menyikapi masalah
tersebut melalui pemilihan metode pembelajaran yang tepat dan sesuai. Metode pembelajaran yang
tepat dan sesuai dapat mengoptimalkan kemampuan siswa secara baik. Sesuai dengan hal itu
Wahyudin (1999) menyatakan bahwa kemampuan para guru matematika menggunakan berbagai
metode atau pendekatan dengan tepat dan benar dalam mengajar, dapat mempengaruhi tingkat
penguasaan siswa dalam matematika itu sendiri. Untuk merespon masalah rendahnya kemampuan
berpikir logis siswa di sekolah, maka dalam penelitian ini dilakukan inovasi baru dengan
melakukan pembelajaran student facilitator and explaining. Metode ini termasuk pembelajaran
cooperative learning. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka rumusan
masalahnya adalah 1) Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir logis siswa
antara kelompok atas, keliompok tengah, dan kelompok bawah pada siswa yang memperoleh
pembelajaran matematika dengan student facilitator and explaining dan siswa yang memperoleh
pembelajaran matematika secara konvensional? 2) Apakah terdapat interaksi antara faktor
pembelajaran yang yang diberikan terkait dengan faktor kategori kemampuan berpikir logis siswa?

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

277

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.
Kajian Pustaka
2.1. Kemampuan Berpikir Logis
Pada proses berpikir terjadi penggabungan antara persepsi dan unsur-unsur yang ada dalam pikiran,
serta manipulasi atau kombinasi kegiatan mental yang membentuk suatu pemikiran. Menurut
Poedjiadi (1999) berpikir dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kegiatan akal yang khas dan
terarah, yaitu kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang diterima melalui indera dan
ditujukan untuk mencapai kebenaran. Jika berpikir yang benar dengan proses yang benar dan
mengacu pada azas-azas, hukum-hukum, atau aturan-aturan, maka timbul suatu disiplin ilmu
tentang proses berpikir yang benar yaitu logika. Pada logika, dipelajari aturan atau standar yang
harus dipegang agar proses berpikir benar. Untuk memahami logika secara mendalam maka harus
memiliki pengertian yang jelas tentang penalaran, karena penalaran merupakan proses berpikir
yang mengacu pada hukum atau aturan logika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penalaran
adalah proses berpikir logis.
Berpikir logis adalah menggunakan seperangkat pernyataan untuk mendukung sebuah gagasan
melalui penuturan yang sistematis. Siswa yang berpikir logis akan mengungkapkan ide atau
gagasannya dalam urutan kata-kata yang terstruktur linear sehingga semua konstruksi argumennya
menjadi benar. Supaya siswa sampai pada kegiatan berpikir logis hendaknya siswa dibiasakan
untuk selalu tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi dengan mencoba menjawab pertanyaan
mengapa, apa, dan bagaimana.
2.2. Pembelajaran Student facilitator and explaining
Pembelajaran ini sintaksnya berdasarkan pembelajaran Student facilitator and explaining, tetapi
penulis merubah kalimatnya menjadi pembelajaran yang menggunakan student facilitator and
explaining, karena dalam langkah pembelajarannya ada yang diubah. Sehingga pendapat-pendapat
tentang pembelajaran ini merujuk pada pendapat pembelajaran Student facilitator and explaining.
Trianto (2007) menyatakan metode student facilitator and explaining (SFAE) merupakan salah satu
dari tipe model pembelajaran kooferatif yang menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan
jumlah anggota tiap kelompok 4-6 orang siswa secara heterogen, dan pembelajarannya diawali
dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi, melakukan kegiatan kelompok,
dan memberikan penghargaan kelompok.
Langkah-langkah dalam pembelajaran student facilitator and explaining dimulai dari guru
mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen
baik dilihat dari kemampuan maupun jenis kelamin siswa; guru menunjuk satu orang siswa dari
setiap kelompok untuk dijadikan sebagai fasilitator (tutor), dan setiap fasilitator diberi arahan; guru
menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai; guru mendemonstrasikan/menyajikan garis-garis
besar materi pembelajaran; guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kepada
siswa lainnya, misalnya melalui bagan/peta konsep. Hal ini bisa dilakukan secara bergiliran; guru
menyimpulkan ide/pendapat dari siswa; guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu;
langkah terakhir guru memberikan evaluasi.

3.

Metode Penelitian

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan studi Kuasi-Eksperimen. Pada penelitian ini subjek tidak di
kelompokkan secara acak, tetapi keadaan subjek diterima sebagaimana adanya hal ini sesuai
dengan pendapat Ruseffendi (2010). Desain rencana penelitian untuk kelompok eksperimen
sebagai berikut:
Kelas Eksperimen

Kelas Kontrol

278

O
X
O
-------------------O
O

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Keterangan:
O : Pretes atau postes kemampuan berpikir logis siswa
X : Perlakuan pembelajaran student facilitator and explaining
3.2. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMA Negeri I Ciawi Tasikmalaya, dengan
sampel kelas XI IPA I sebagai kelas yang memperoleh pembelajaran student facilitator and
explaining dan kelas XI IPA 3 sebagai kelas yang memperoleh pembelajaran konvensional.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Tujuan dari pengolahan data hasil penelitian ini yang telah dipaparkan sebelumnya adalah: 1) untuk
menelaah apakah terdapat peningkatan kemampuan berpikir logis siswa pada kelompok atas,
kelompok tengah, dan kelompok bawah siawa yang mendapatkan pembelajaran student facilitator
and explaining dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional; 2) Untuk melihat
interaksi siswa yang memperoleh pembelajaran student facilitator and explaining dengan siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional.
4.1. Kemampuan Berpikir Logis
Nilai rerata dan simpangan baku untuk data skor pretes, postes dan N-Gain ternormaliasi dari
kemampuan berpikir logis berdasarkan kelas dan kategori kemampuan awal matematis disajikan
pada tabel berikut:
Tabel 1.1.Kemampuan Berpikir Logis Berdasarkan Kelas
dan Kategori Kemampuan Awal matematis
Kontrol
Eksperimen
KAM
N
Statistik
Pretes
Postes N-Gain
N
Pretes
Postes
9,63
20,38
0,36
7,75
30,38

Tinggi
8
8
SD
3,20
4,21
0,11
2,82
3,85
5,07
12,40
0,21
5,33
23,33

Sedang
15
12
SD
1,91
1,50
0,04
1,50
5,07
3,25
10,25
0,19
3,75
17,75

Rendah
8
8
SD
1,28
1,49
0,04
2,49
4,30
5,77
13,90
0,24
5,57
23,75

Total
31
28
SD
3,22
4,64
0,10
2,65
6,55
Catatan: Skor ideal 40

N-Gain
0,71
0,10
0,52
0,14
0,39
0,10
0,53
0,17

Dari Tabel 1.1, dapat dilihat bahwa rerata nilai tes awal (pretes) kelas konvensional yaitu 5,77 lebih
tinggi daripada kelas eksperimen yaitu 5,57. Kemudian nilai postes eksperimen yaitu sebesar 23,75
lebih tinggi daripada kelas konvensional yaitu 13,90. Selanjutnya nilai N-Gain eksperimen yaitu
sebesar 0,54 lebih tinggi dibandingkan konvensional yaitu sebesar 0,24. Rerata skor pretes kelas
kontrol maupun kelas eksperimen masih cukup jauh dari skor maksimal ideal, yaitu 40. Hal ini
dapat dipahami karena pengetahuan mengenai materi yang diujikan pada kedua kelas tersebut
belum pernah diperoleh siswa sebelumnya.
Selanjutnya, rerata proporsi skor pretes, postest dan N-Gain tiap aspek kemampuan dari kedua
tabel, disajikan secara visual dengan diagram batang seperti pada Gambar 1.1 berikut:

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

279

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Gambar 1.1
Rerata Kemampuan Berpikir Logis Berdasarkan Hasil N-Gain
Berdasarkan Kemampuan Awal dan Faktor Pembelajaran

Berdasarkan Gambar 1.1, dapat dilihat nilai N-Gain kelas eksperimen untuk kategori rendah
sebesar 0,39; kategori sedang sebesar 0,52; kemudian kategori tinggi sebesar 0,71. Kelas
konvensional untuk kategori rendah yaitu sebesar 0,19; kategori sedang sebesar 0,21; kemudian
kategori tinggi sebesar 0,36. Hal ini dapat disimpulkan nilai rerata N-Gain terbesar berada pada
kelas eksperimen untuk kelompok tinggi sebesar 0,71 kemudian rerata N-Gain terkecil berada pada
kelas konvesional kategori rendah sebesar 0,19.
a.

Data Pretes Kemampuan Berpikir Logis

Analisis uji kesamaan rerata hasil pretest (tes awal) bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol apakah terdapat perbedaan atau tidak. Jenis statistik
uji kesamaan rerata yang digunakan dapat diketahui dengan terlebih dahulu melakukan uji
normalitas sebaran data dan uji homogenitas varians. Jika data memenuhi syarat normalitas dan
homogenitas, maka uji kesamaan rerata menggunakan uji-t, sedangkan jika data normal tapi tidak
homogen maka menggunakan uji-t* (uji-t dengan asumsi varians populasi tidak sama), dan untuk
data yang tidak memenuhi syarat normalitas, menggunakan uji non parametrik Mann Whitney.

Kelas
Kontrol
Eksperimen

Tabel 1.2
Uji Normalitas Data Pretes Kemampuan Berpikir Logis
Statistik
Signifikansi
Kesimpulan
0,89
0,01
H0 ditolak
0,97
0,69
H0 diterima

Keterangan
Tidak Normal
Normal

H0 : data pretes kemampuan berpikir logis berdistribusi normal


H1 : data pretes kemampuan berpikir logis tidak berdistribusi normal
Signifikansi uji normalitas distribusi data pretes kemampuan berpikir logis yang dapat dilihat pada
Tabel 1.2, nilainya lebih kecil dari = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data tersebut tidak
berdistribusi normal. Akibatnya, untuk menguji perbedaan dua rerata menggunakan uji
nonparametrik Mann-Whitney.

Z
-0,222

Tabel 1.3
Uji Mann-Whitney Data Pretes Kemampuan Berpikir Logis
Signifikansi
Kesimpulan
Keterangan
0,825
H0 diterima
Tidak ada perbedaan

H0 : rerata pretes kelas kontrol dan eksperimen tidak berbeda ( = )


H1 : terdapat perbedaan rerata pretes kelas kontrol dan eksperimen ( )

280

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Berdasarkan Tabel 1.3 pada aspek berpikir logis, nilai Sig. 0,825 > 0,025 maka hipotesis H0
diterima artinya tidak terdapat perbedaan kemampuan awal pada aspek berpikir logis siswa
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
b.

Data Peningkatan Kemampuan Berpikir Logis

Untuk melihat peningkatan kemampuan berpikir logis yang telah dicapai oleh siswa digunakan data
N-Gain ternormalisasi. Rerata N-Gain untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara
ringkas di sajikan pada Tabel 1.4 berikut:
Tabel 1.4 Rerata dan Klasifikasi N-Gain
Kemampuan Berpikir Logis
Kelas
Rerata N-Gain
Klasifikasi
Eksperimen
0,54
Sedang
Konvensional
0,24
Rendah

Untuk melihat rerata kemampuan berpikir logis berdasarkan hasil N-Gain dan faktor pembelajaran
dapat dilihat pada Gambar berikut:

Gambar 1.2
Rerata Kemampuan Berpikir Logis Berdasarkan Hasil N-Gain
dan Faktor Pembelajaran

Dari Gambar 1.2 terlihat bahwa siswa yang mendapatkan pembelajaran siawa sebagai tutor
memiliki rerata skor N-Gain yang lebih tinggi daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran
konvensional. Klasifikasi skor N-Gain kelas student facilitator and explaining termasuk kategori
sedang, sementara klasifikasi skor N-Gain kelas konvensional termasuk kategori rendah. Untuk
melihat pengaruh pembelajaran, terhadap kemampuan awal matematis, dan interaksi keduanya
terhadap kemampuan berpikir logis matematis, dilakukan uji ANOVA dua jalur. Dalam hal ini,
data yang digunakan adalah tes berpikir logis.
Sebelum Uji ANOVA dua jalur, langkah awal yang dilakukan adalah memeriksa normalitas
distribusi data peningkatan kemampuan berpikir logis berdasarkan kategori kemampuan awal
matematis pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Dari hasil perhitungan data peningkatan
kemampuan berpikir logis berdasarkan kategori kemampuan awal matematis kelas kontrol maupun
kelas eksperimen semuanya berdistribusi normal. Selanjutnya, rangkuman hasil perhitungan Uji
ANOVA Dua Jalur disajikan pada tabel berikut:
Tabel 1.5 Uji ANOVA Dua Jalur
Data Peningkatan Kemampuan Berpikir Logis
Faktor
F
Signifikansi
Pembelajaran
120,889
0,000
Kemampuan Awal
26,629
0,000
Pembelajaran*Kemampuan Awal
2,765
0,072

Kesimpulan
H0 ditolak
H0 ditolak
H0 diterima

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

281

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

1) H0 : rerata N-Gain kelas kontrol dan eksperimen sama ( = )


H1 : ada perbedaan rerata N-Gain kelas kontrol dan eksperimen ( )
2) H0 : 1 = 2 = 3 (semua sama)
H1 : paling sedikit ada satu untuk suatu
3) H0 : tidak terjadi interaksi diantara pendekatan pembelajaran dan kategori kemampuan
awal matematis
H1:terjadi interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori kemampuan awal
Analisis lebih lanjut untuk melihat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir logis berdasarkan
pembelajaran dan kategori kemampuan awal matematis disajikan pada uraian berikut.
1) Pengaruh pendekatan pembelajaran terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis.
Dari Tabel 1.5, nilai signifikansi faktor pembelajaran lebih kecil dari taraf signifikansi ( = 0.05),
berarti H0 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa faktor pembelajaran memberikan perbedaan yang
signifikan terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis siswa. Artinya, siswa yang memperoleh
pembelajaran matematika student facilitator and explaining lebih baik secara signifikan daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran matematika secara konvensional.
2) Pengaruh kemampuan awal matematis terhadap peningkatan kemampuan berpikir
logis.
Nilai signifikansi Uji ANOVA Dua Jalur untuk faktor kemampuan awal matematis lebih kecil dari
taraf signifikansinya ( = 0,05). Artinya, perbedaan kemampuan awal matematis memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis matematis siswa.
Selanjutnya, untuk mengetahui kategori kemampuan awal matematis mana yang berbeda secara
signifikan terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis, maka langkah yang harus dilakukan
adalah memeriksa homogenitas data.
Berdasarkan hasil perhitungan, varians data peningkatan kemampuan berpikir logis tidak homogen,
karena nilai signifikannya lebih kecil dari taraf signifikansi ( = 0,05), maka uji lanjutan ANOVA
Dua Jalur untuk data yang homogen adalah uji Games-Howell yang disajikan pada tabel berikut.
Tabel 1.6
Uji Games-Howell Data Peningkatan Kemampuan Berpikir Logis
antar Kemampuan Awal Matematis
Kemampuan Awal
Selisih Rerata
Signifikansi
Kesimpulan
(I J)
(I J)
Tinggi Sedang
0,184
0,018
H0 ditolak
Tinggi Rendah
0,243
0,001
H0 ditolak
Sedang Rendah
0,059
0,447
H0 dierima

H0 : = ; untuk suatu
H1 :: ; untuk suatu
Peningkatan kemampuan berpikir logis untuk kemampuan awal matematis kategori tinggi berbeda
secara signifikan dengan kategori sedang dan kategori tinggi berbeda secara signifikan dengan
kategori rendah. Untuk kemampuan awal matematis kategori sedang juga tidak berbeda signifikan
dengan kategori rendah. Secara umum disimpulkan bahwa siswa yang berada pada kategori
kemampuan awal matematis tinggi dan sedang lebih baik peningkatan kemampuan berpikir logis
dibandingkan siswa yang berada pada kategori rendah.
3) Interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kategori kemampuan awal matematis
terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis.
Dari Tabel 1.6, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi faktor pembelajaran dan kategori kemampuan
awal matematis terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis lebih tinggi dari taraf signifikansi

282

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

( = 0,05), maka H0 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara faktor
tersebut terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis. Artinya, faktor pembelajaran dan
kategori kemampuan awal matematis tidak secara bersama memberikan pengaruh terhadap
peningkatan kemampuan berpikir logis siswa.
Kurva interaksi peningkatan kemampuan berpikir logis berdasarkan faktor pembelajaran dan
kategori kemampuan awal matematis dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1.3
Peningkatan Kemampuan Berpikir Logis Siswa Berdasarkan FaktorPembelajaran dan Kategori
Kemampuan Awal Matematis

Dari Gambar 1.3 dilihat bahwa rerata peningkatan kemampuan berpikir logis kelas eksperimen
lebih tinggi daripada kelas kontrol. untuk menguji peningkatan kemampuan berpikir logis siswa
kelas eksperimen lebih baik secara signifikan daripada kelas kontrol berdasarkan masing-masing
kategori kemampuan awal matematis dilakukan uji perbedaan dua rerata. Hasil perhitungan uji
normalitas distribusi data dengan uji Shapiro-Wilk sebagai berikut:
Tabel 1.7
Uji Normalitas Data Peningkatan Kemampuan Berpikir Logis
Berdasarkan Kategori Kemampuan Awal Matematis
Kelas
Kontrol
Eksperimen

Stat
0,89
0,93

Kategori Kemampuan Awal Matematis


Tinggi
Sedang
Sig Kesimpulan Stat
Sig Kesimpulan Stat
0,24 H0diterima 0,96 0,79 H0diterima 0,91
0,52 H0diterima 0,93 0,38 H0diterima 0,26

Rendah
Sig
Kesimpulan
0,32
H0diterima
0,13
H0diterima

H0 : data peningkatan kemampuan berpikir logis berdistribusi normal


H1 : data peningkatan kemampuan berpikir logis tidak berdistribusi normal
Uji normalitas distribusi data peningkatan kemampuan berpikir logis kelas kontrol dan eksperimen
kategori kemampuan awal matematis tinggi dan sedang, nilai signifikannya lebih besar dari taraf
signifikansi ( = 0,05), maka H0 diterima. Artinya, untuk data kemampuan awal matematis
kategori rendah, sedang dan tinggi berdistribusi normal, akibatnya uji perbedaan dua rerata
menggunakan Uji-t.
Pada kemampuan awal matematis kategori tinggi, sedang, dan rendah nilai signifikansinya lebih
kecil dari = 0,05, berarti H0 ditolak. Artinya, untuk kemampuan awal matematis kategori tinggi,
sedang, dan rendah terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis kelas eksperimen berbeda
signifikan dengan kelas konvensional. Secara umum dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
kemampuan awal matematis siswa kategori tinggi, sedang dan rendah, peningkatan kemampuan

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

283

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

berpikir logis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika student facilitator and explaining
lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran matematika secara kovensional.

5. Kesimpulan dan Saran


5.1. Kesimpulan
a. Peningkatan kemampuan berpikir logis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
menggunakan student facilitator and explaining lebih baik dari pada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional. Peningkatan yang terjadi ada pada kategori rendah, sedang, dan
tinggi.
b. Tidak terdapat interaksi yang signifikan antara pendekatan pembelajaran dan kategori
kemampuan awal matematis terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis matematis.
Artinya, pendekatan pembelajaran dan kategori kemampuan awal matematis tidak secara
bersama-sama memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir logis.
5.2. Saran
a. Model pembelajaran student facilitator and explaining hendaknya menjadi alternatif dari
metode pembelajaran bagi guru SMA khususnya dalam meningkatkan kemampuan berpikir
logis.
b. Pada penelitian ini hanya dikaji kemampuan berpikir logis saja, untuk itu diharapkan pada
penelitian lainnya untuk mengkaji pembelajaran matematika dengan pendekatan student
facilitator and explaining dalam meningkatkan kemampuan berpikir matematis lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Awaludin. (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Penalaran Matematika pada
siswa dengan kemampuan Matematis Rendah Melalui Pembelajaran Open Ended dalam
Kelompok Kecil dengan Pemberian Tugas Tambahan.Tesis. UPI: Tidak diterbitkan.
Buchori, M. (2000) Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.
Herman, T. (2007). Pengembangan Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah untuk
Meningkatkan kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Proposal Penelitian. Bandung: Tidak diterbitkan.
Mukhayat. (2004). Mengembangkan Metode Belajar yang Baik pada Anak. FPMIPA.UGM.
Yogyakarta.
Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Gonzales, E.J., Gregory, KD., Garden, R. A., OConnors, KM.,
Krostowski, S.J., dan Smith, T.A. (2003). TIMSS: Trends in Mathematics anf Science Study:
Assessment Speciafication 2002. Boston: The International Study Center.
Poedjadi, A. (1999). Pengantar Filsafat Bagi Pendidik. Bandung: Yayasan Cendrawasih.
Poedjawijatna. (1992). Logika Filsafat Berpikir. Jakarta; PT Rineka Cipta.
Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya.
Bandung: Tarsito
Suprijono, A. (2009). Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Trends in International Mathematics and Science Study (2011). Mathematics and Science
Achievement of U.S Fourth and eight-grade Student in An International Context. Boston:
TIMSS & PIRLS Interntional study Center.
Trianto. (2007). Model-Model PembelajaranInovatif. Jakarta: Indonesia.
Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan teori pembelajaran Matematika (Berparadigma
Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cipta Pustaka.
_______. (2009). Taktik dan strategi Pembelajaran Matematika (Referensi untuk Guru SMK,
Mahasiswa, dan Umum). Jakarta: Leuser Cipta Pustaka.
Wahyudin (1999). Kemampuan Guru matematika, Calon Guru Matematika dan siswa dalam Mata
Pelajaran Matematika. Disertasi pada SPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

284

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MODEL PEMBELAJARAN SAVI YANG BERORIENTASI


PADA PAKEM
Mega Nur Prabawati
Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Siliwangi
megarafaadzani@gmail.com

ABSTRAK
Pada umumnya hasil pembelajaran matematika di Indonesia, termasuk pembelajaran
trigonometri di SMA masih jauh dari memuaskan, bahkan kadang-kadang boleh dikatakan
masih mengecewakan. Meskipun sudah banyak dilakukan penataran-penataran guru dalam
rangka inservice training untuk meningkatkan mutu pembelajaran matematika di SMA yang
pada gilirannya diharapkan akan dapat meningkatkan prestasi siswa dalam matematika, pada
kenyataannya belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Sehingga harus diterima sebagai
kenyataan bahwa pengelolaan pembelajaran di lapangan masih banyak dijumpai berbagai
kesulitan dan kendala, baik dari segi pengelolaan pembelajaran dari guru maupun dari sisi
pemahaman siswa.Untuk menjawab tantangan di atas dan mencermati perkembangan
pembelajaran matematika di dunia dewasa ini, maka dikembangkanlah strategi pembelajaran
matematika menggunakan model SAVI yang mengacu kepada pembelajaran yang Aktif,
Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM).
Kata Kunci: SAVI, PAKEM

1. Pendahuluan
Pada umumnya hasilpembelajaran matematika di Indonesia, termasuk pembelajaran trigonometri di
SMA masih jauh dari memuaskan, bahkan kadang-kadang boleh dikatakan masih
mengecewakan.Hal ini dapat dilihat dari hasil Nilai Ujian Nasional (UN) dari tahun ke tahun, untuk
matematika, yang di dalamnya termasuk trigonometri, termasuk dalam kategori rendah. Meskipun
sudah banyak dilakukan penataran-penataran guru dalam rangka inservice training untuk
meningkatkan mutu pembelajaran matematika di SMA yang pada gilirannya diharapkan akan dapat
meningkatkan prestasi siswa dalam matematika, pada kenyataannya belum menunjukkan kemajuan
yang berarti. Sehingga harus diterima sebagai kenyataan bahwa pengelolaan pembelajaran di
lapangan masih banyak dijumpai berbagai kesulitan dan kendala, baik dari segi pengelolaan
pembelajaran dari guru maupun dari sisi pemahaman siswa.
Paradigma baru pendidikan, menurut Zamroni (dalam Sutarto Hadi,2000), seharusnya memiliki ciriciri sebagai berikut:
a. Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada pengajaran
(teaching)
b. Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel.
c. Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus
dan mandiri, dan
d. Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senan-tiasa berinteraksi dengan
lingkungan.
Untuk menjawab tantangan di atas dan mencermatiperkembangan pembelajaran matematika di
dunia dewasa ini, maka dikembangkanlah strategi pembelajaran matematika menggunakan model
SAVI yang mengacu kepada pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan
(PAKEM).

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

285

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2. Pembahasan
2.1. Model Pembelajaran Savi yang Berorintasi pada Pakem
Pembelajaran matematika yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM)pada hakikatnya
adalah suatu strategi pembelajaran terpadu, yang menggunakan strategi, metoda, pendekatan dan
teknik pengajaran terpadu sedemikian rupa baik prosedur maupun tujuan pembelajarannya dapat
terlaksana dan tercapai dengan baik. Menyimak pemaparan Fadjar Shadik (1999),masalah trend dan
berbagai issue tentang pembelajaran matematika dewasa ini, dapat dikatakan bahwa pembelajaran
PAKEM dikembangkan, atas dasar tuntutan karena perubahan paradigma pembelajaran matematika.
Di bawah ini diutarakan secara sekilas strategi PAKEM yang dikembangkan untuk mencapai tujuan
pembelajaran matematika, sehingga dicapainya baik standar kompetensi maupun kompetensikompetensi dasar yang dikembangkan dari padanya.
2.2. Pembelajaran Aktif dalam Matematika.
Menurut Taslimutoharom (2006) proses belajar dapat dikatakan active learning apabila
mengandung :
a. Komitmen (Keterlekatan pada tugas),
Berarti, materi, metode dan strategi pembelajaran bermanfaat untuk siswa(meaningful), sesuai
dengan kebutuhan siswa (relevant) dan bersifat pribadi (personal).
b. Tanggung jawab (Responsibility),
Merupakan suatu proses belajar yang memberi wewenang pada siswa untuk krtitis, guru lebih
banyak mendengar daripada bicara, menghormat ide-ide siswa, memberi pilihan dan memberi
kesempatan pada siswa untuk memutuskan sendiri.
c. Motivasi,
Motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik, dengan lebih mengembangkan motivasi intrinsik siswa
agar proses belajar yang ditekuninya muncul berdasarkan, minat dan inisiatif sendiri, bukan
karena dorongan lingkungan atau orang lain.
Motivasi belajar siswa akan meningkat karena ditunjang oleh pendekatan belajar yang dilakukan
guru lebih dipusatkan kepada siswa (Student centred approach), guru tidak hanya menyuapi atau
menuangkan dalam ember, tetapi menghidupkan api yang menerangi sekelilingnya, dan bersikap
positif kepada siswa. Active learning bisa dibangun oleh seorang guru yang gembira,tekun dan
setia pada tugasnya, bertanggung jawab, motivator yang bijak, berpikir positif, terbuka pada ide
barudan saran dari siswa atau orang tuanya/masyarakat, tiap hari energinya untuk siswa supaya
belajar kreatif, selalu membimbing, seorang pendengar yang baik, memahami kebutuhan siswa
secara individual, dan mengikuti perkembangan pengetahuan.
Keaktifan dalam pembelajaran adalah lebih banyak berupa keaktifan mental meskipun dalam
beberapa hal ada juga yang diwujudkan dengankeaktifan fisik.Sejalan dengan faham
konstruktivisme, diyakini bahwa mengajar tidak dapat disamakan dengan menuangkan air kedalam
botol, atau menuliskan suatu informasi pada selembar kertas. Konstruktivisme berlandaskan pada
dua hipotesis yaitu:
1) Pengetahuan dibangun (dikonstruksi) secara aktif oleh dan dalam diri subyek belajar, bukan
secara pasif diterima dari lingkungan belajar.
2) Peranjakan dalam memahami sesuatu pengetahuan merupakan proses adaptif, yang
mengorganisasikan pengalaman si pebelajar dalam interaksi dengan lingkungannya. (Vigotsky
(dalam Suparno, 1997))
Dalam faham konstruktivisme diyakini bahwa pengetahuan (knowledge) tentang sesuatu merupakan
konstruksi (bentukan) oleh subyek yang (akan, sedang) dalam proses memahami sesuatu itu.

286

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada, pengetahuan selalu merupakan
akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.(Paul Suparno,
1997).Pengetahuan bukanlah tentang dunia yang lepas dari pengalaman tetapi merupakan ciptaan
manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembuktian ini
berjalan terus menerus setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang
baru (Peaget, 1991). Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui,
maka tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif.Penerima sendiri harus mengkonstruksikan
sendiri pengetahuan itu. Semua yang lain entah obyek maupun lingkungan, hanyalah sarana untuk
terjadinya konstruksi tersebut (Paul Suparno, 1997). Berangkat dari pandangan ini maka seorang
siswa akan dapat memahami matematika (termasuk di dalamnya Trigonometri SMA) hanya apabila
siswa secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan yang ada pada dirinya lewat pengalamannya
dengan lingkungan lewat pengalaman belajar mereka.
2.3. Pembelajaran Matematika yang Kreatif
Pembelajaran kreatif adalah kemampuan untuk menciptakan, mengimajinasikan, melakukan
inovasi, dan melakukan hal-hal yang kartistik lainnya.Dikarakterkan dengan adanya keaslian dan
hal yang baru. Dibentuk melalui suatu proses yang baru. Memiliki kemampuan untuk
menciptakan.Dirancang untuk mesimulasikan imajinasi.Kreatifitas adalah sebagai kemampuan
(berdasarkan data dan informasi yang tersedia) untuk memberikan gagasan-gagasan baru dengan
menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, yang menekankan pada segi
kuantitas, ketergantungan dan keragaman jawaban dan menerapkannya dalam pemecahan
masalah.
Apabila pembelajaran aktif penekanannya adalah bagaimana siswa secara aktif mengkonstruksi
pemahamannya tentang sesuatu yang dipelajarinya, maka pembelajaran kreatif penekanannya
bagaimana guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran matematika ini mampu memfasilitasi proses
belajar mengajar sehingga memberi suasana yang kondusif untuk siswa belajar. Dengan bermodal
pada pengalaman dan pengetahuannya serta mau terus belajar dan mengamati danberkreasi dengan
memanfaatkan lingkungan sekitar, sehingga tercapailah tujuan pembelajaran dengan baik.
James E. Stice seorang profesor dari North Carolina University mengajukan saran bagaimana
seorang guru kreatif menciptakan suasana belajar agar efektif. Berikut saran-sarannya:
Fahamilah apa yang sedang anda bicarakan!
Untuk ini guru tidak boleh lagi berfalsafah boleh "menang semalam" dari muridnya, berbagai survey
yang masih diikuti survey berikutnya, akhirnya sampai pada suatu kesimpulan dari hasil penilaian
siswa kepada gurunya (sebagai umpan balik), menunjukkan bahwa siswa tidak dengan mudah
menerima materi pengajaran yang tidak disiapkan oleh gurunya sendiri. Hal ini menuntut guru
secara kreatif mempersiapkan materi pembelajaran, tidak sekedar mencomot darisana sini dan belum
dikemas dan dimodifikasikan sesuai dengan kondisi lapangan. Sebagai contoh meskipun di pasaran
banyak terjual berbagai buku-buku teks pembelajaran matematika yang berdasar promosinya
membantu gurutinggal dilaksanakan di kelas begitu saja, namun jika tidak dilakukan modifikasi oleh
guru yang bersangkutan hasilnya tidak optimal.
Ajarilah dan kedepankan dengan contoh!
Guru harus menunjukkan bahwa keberhasilan seseorang menjadi mantap secara intelektual, menjadi
lebih profesional adalah karena pengetahuan dari hasil belajarnya. Dapat dicontohkan di sini bahwa
orang-orang yang berhasil baik dalam bidang ekonomi dan industri maupun dalam dunia politik
adalah karena hasil belajar mereka, mereka selalu belajar dan belajar untuk lebih baik lagi.
Hargailah siswa anda!
Salah satu bagian dari menghargai siswa adalah membuatnya berani mengajukan suatu pertanyaan
dan berani mengetengahkan pendapatnya.Bahwa salah satu keberhasilan guru matematika dalam

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

287

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

mengembangkan pembelajarannya adalah menjadikan siswa berani mengajukan pertanyaan dan


berani menyatakan pendapatnya.
Berilah selalu motivasi siswa anda!
Belajar akan menjadi lebih efektif apabila sipebelajar dimotivasi dan disemangati untuk ambil
bagian dalam menyelesaikan tugas dalam belajarnya. Pertahankanlah ketertarikan siswa
menggunakan materi pelajaran dengan berbagai contoh dan variasinya.Dengan demikian guru
dituntut secara kreatif untuk selalu memberi motivasi sepanjang jalannya pembelajaran dan terus
mengupayakan ketertarikan siswa tersebut.Sebagai contoh dalam memberi motivasi yang
nampaknya sepele tetapi berdasar pengalaman berdampak cukup baik adalah pemberian
penghargaan bagai siswa yang telah selesai lebih dulu dengan benar tugas yang diberikan kepadanya
setidak-tidaknya pemberian pujian.
Konstruksikan selalu tujuan pembelajaran yang akan anda laksanakan!
Dengan telah dikonstruksikan tujuan pembelajaran, maka anda dapat memilih kegiatan-kegiatan
kelas, memilih bacaan, dan penetapan tugas rumah yang lebih fokus untuk membantu siswa
meningkatkan kemampuannya. Dari sini guru dituntut secara kreatif mengembangkan silabus
sehingga mampu diselenggarakannya suatu proses pembelajaran sehingga diwujudkannya
kompetensi dasar yang telah ditetapkannya.
Ajarilah siswa problem solving skill!
Siswa-siswa mengerti banyak, tetapi tidak banyak dari mereka yang mengerti bagaimana
menerapkan pengetahuannya untuk menyelesaikan problem yang belum pernah ia pelajari
sebelumnya. Di sini kreatifitas guru dituntut meningkatkan kemampuan problem solving siswa.
Katakanlah dan Perlihatkan!
Kebanyakan yang kita ajarkan adalah abstrak.Kita seringkali menerapkan kecanggihan matematika
untuk menurunkan suatu relasi, membangun suatu konsep, dan memaksakan dengan itu semua
untuk memecahkan masalah.Sehingga sering dijumpai siswa melewati itu semua tanpa memahami
secara realitas fenomena pokok yang sedang didiskusikan.Jawablah tantangan itu secara kreatif
dengan memvariasikan metoda-metoda yang dapat membuatnya lebih konkret, atau yang dikenal
dengan pembelajaran kontekstual. Dengan merelasikan konsep-konsep dengan situasi dunia real,
memberanikan kelompok kerja menggunakan cara apapun untuk dapat mengetuk pintu pengetahuan
siswa.
Baca dan baca terus model-model pembelajaran!
Terdapat banyak model-model pembelajaran-pemahaman berikut dasar-dasar psikologinya. Belajar
tentang berbagai jalan yang dilalui oleh orang yang belajar, adalah langkah pertama untuk
mengeliminasi tidak sesuainya ( mismatch ) antara gaya belajar siswa dengan gaya mengajar anda.
Ajarkan siswa anda tentang belajar!
Seseorang dapat anda jadikan figure idola dalam belajarnya dengan style yang berbeda-beda. Secara
kreatif anda dapat menceritakan gaya belajar penemu atau gaya belajar Kolb. Demikian juga Dunn
dan Dunn (dalam Kemp, 1985), merancang sebuah catatan gaya belajar bagi kelompok pelajar
usia sekolah dan sebuah instrumen kedua untuk pelajar dewasa, sehingga siswa dapat memilih gaya
belajar yang paling mereka sukai. Yang intinya adalah mencari (1) lingkungan jasmani langsung, (2)
keadaan perasaan seseorang, (3) kebutuhan seseorang untuk bermasyarakat, (4) kebutuhan jasmani
seseorang. Dengan memahami gaya-gaya belajar yang dia senangi, siswa dapat menentukan cara
belajar yang efektif untuk diri mereka.

288

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Konstrusikan test yang valid!


Buatlah test yang benar-benar sahih dan reliabel, mengacu kompetensi dasar yang ingin dicapai, dan
pengembangan silabus yang telah dirumuskanya. Untuk tingkat sederhana tes yang anda buat
dimintakan pertimbangan guru yang lain.
2.4. Pembelajaran Matematika yang Efektif.
Kanold (dalam Suryanto, 1999) mengemukakan resep pembelajaran efektif, yang meliputi
perencanaan, penyajian, dan penutupan sebagai berikut:
a. Perencanaan
Membuat rencana (di rumah, sebelum mengajar) sehingga dapat:
1) Memulai pertemuan dengan tinjauan singkat atau dengan maslah pembuka selera;
2) Memulai pelajaran dengan pemberitahuan tujuan dan alasan, secara singkat;
3) Menyajikan bahan pelajaran baru sedikit demi sedikit, dan di antara bagian-bagian penyajian
yang sedikit itu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami, mencobakan, bertanya,
dan sebaganya;
4) Memberikan petunjuk yang rinci untuk setiap tugas bagi siswa;
5) Memeriksa pemahaman siswa dengan jalan mengajukan banyak pertanyaan dan memberikan
latihan yang cukup banyak;
6) Membolehkan siswa bekerjasama sampai pada tingkat siswa dapat mengerjakan tugas secara
mandiri.
b. Penyajian
Mengimplementasikan rencana yang telah dibuat dengan:
1) Pemeriksaan pemahaman oleh siswa dilakukan dengan pemberian tugas kepada siswa. Guru
memberikan penjelasan pembuka jalan, kemudian siswa menyelesaikan tugas itu, lalu guru
berkeliling memeriksa hasil pembelajaran, memberi bantuan, siswa membuat ringkasan proses
langkah-langkah penyelesaian tugas tersebut.
2) Pertanyaan diajukan kepada seluruh siswa; siswa diberi waktu cukupuntuk menemukan jawaban;
baru kemudian salah seorang siswa ditunjuksecara acak untuk menjawab pertanyaan tadi;
akhirnya jawaban ditawarkan kepada siswa lain untuk menilai kebenaran atau ketepatannya.
3) Pada pembelajaran tentang konsep atau prosedur, siswa mengerjakan latihan terbimbing. Guru
membimbing dengan menugasi siswa bekerja berkelompok kecil atau berpasangan untuk
"merumuskan jawaban atas latihan itu", "menyelidiki pola yang mungkin ada", "menyusun
strategi yang diperlukan dalam mengerjakan latihan itu", dan sebagainya.
c. Penutup pertemuan
1) Jika sisa waktu tinggal sedikit, digunakan untuk membuat ringkasan dari pelajaran yang baru saja
selesai.
2) Jika sisa waktu agak banyak, digunakan untuk membicarakan langkah awal dari penyelesaian
tugas yang harus dikerjakan di rumah.
2.5. Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan.
Motivasi yang merupakan syarat utama agar pembelajaran matematika itu menyenangkan
merupakan kunci dari pembelajaran yang efektif.Gagne (dalam Bigge, 1982) menyatakan bahwa
motivasi untuk pembelajaran adalah dorongan utama yang mengakibatkan seseorang dengan senang
hati, terdorong untuk meraih suatu tujuan.Salah satu hambatan dalam pembelajaran matematika
adalah bahwa banyak siswa yang tidak tertarik pada matematika itu sendiri, sudah barang tentu
termasuk di dalamnya trigonometri.
Dengan adanya motivasi yang baik, siswa akan lebih mudah dan senang belajar matematika.
Motivasi dalam pembelajaran matematika adalah usaha-usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi
sehingga seseorang terdorong untuk belajar lebih baik, dan mempengaruhi siswa sehingga pada diri

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

289

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

siswa timbul dorongan untuk belajar, sehingga diperoleh pengertian, pengetahuan, sikap dan
penguasaan kecakapan, agar lebih dapat mengatasi kesulitan-kesulitan. Tim Instruktur Pemantapan
Kerja Guru (PKG) Sekolah Menengah (1994), menyimpulkan sejumlah motivasi yang dapat
dikembangkan di sekolah, yang dapat dimanfaatkan untuk menjadikannya siswa menyenangi dan
termotivasi untuk belajar matematika dan sudah barang tentu untuk pembelajaran Trigonometri
SMA, di antaranya:
1) Pemberian nilai
2) Persaingan, di sekolah persaingan sering mempertinggi hasil belajar, baik persaingan individual
maupun persaingan kelompok.
3) Kerja sama, jika siswa diminta melakukan tugas bersama-sama,saling bantu membantu dalam
menunaikan tugas akan mempertinggi kegiatan pembelajaran dan dapat memupuk hubungan
sosial yang sehat.
4) Keterlibatan harga diri, bila siswa merasa pentingnya tugas yang harus diembannya maka ia
akan menerima sebagai suatu tantangan dengan mempertaruhkan harga dirinya.
5) Tugas atau pertanyaan yang menantang
6) Pujian
7) Penampilan guru, bahwa guru yang menarik perhatian siswa terha-dap pelajaran dapat
menimbulkan minat yang lebih mendalam terhadappelajaran itu
8) Suasana yang menyenangkan
9) Pengertian, ia akan berusaha untuk mencapainya. tujuan yang menarik bagi siswa adalah
motivasi yang sangat baik.
10) Variasi kegiatan belajar, dengan digunakannya bermacam-macam alat bantu pembelajaran,
menceritakan sejarah yang berhubungan dengan topik, kegiatan laboratorium dan outdoor
mathematics membangkitkan minat dalam belajar matematika.
11) Matematika sebagai rekreasi, bahwa pengajaran yang disisipi teka-teki matematika, permainan
dan tebakan yang menyangkut sifat-sifat matematika dapat memberikan pengalaman yang
menyenangkanterhadap matematika.
2.6. Model Pembelajaran SAVI yang beroentasi pada PAKEM
Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh anak berdiri dan bergerak. Akan tetapi
menggabungkan gerak fisik dengan aktivitas intelektual dan pengunaan semua indra dapat
berpengaruh besar terhadap pembelajaran. Pendekatan belajar seperti tersebut dinamakan dengan
pendekatan SAVI.SAVI singkatan dari Somatic, Auditori, Visual dan Intektual. Teori yang
pendukung pembelajaran SAVI adalah Accelerated Learning, teori otak kanan/kiri; teori otak
triune; pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik); teori kecerdasan ganda; pendidikan
(holistic) menyeluruh; belajar berdasarkan pengelaman; belajar dengan symbol. Pembelajaran
SAVI menganut aliran ilmu kognitif modern yang menyatakan belajar yang paling baik adalah
melibatkan emosi, seluruh tubuh, semua indera, dan segenap kedalaman serta keluasan pribadi,
menghormati gaya belajar individu lain dengan menyadari bahwa orang belajar dengan cara-cara
yang berbeda. Mengkaitkan sesuatu dengan hakikat realitas yang nonlinear, nonmekanis, kreatif
dan hidup.
Bobbi De Porter, dkk, 2005, dalam bukunya Quantum Learning, mengemukakan tiga modalitas
belajar yang dimiliki seseorang. Ketiga modalitas tersebut adalah modalitas visual, modalitas
auditoral, dan modalitas kinistetik (somatis). Pelajar visual belajar melalui apa yang mereka lihat,
pelajar auditorial melakukan melalui apa yang mereka dengar, dan pelajaran kinestetik belajar
lewat gerak dan sentuhan.
Unsur-unsurnya mudah di ingat, yaitu:
1. Somatis : Belajar dengan bergerak dan berbuat
2. Auditori : Belajar dengan berbicara dan mendengar
3. Visual : Belajar dengan mengamati dan menggambarkan
4. Intelektual : Belajar dengan memecahakan masalah dan merenung

290

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Sesuai dengan singkatan dari SAVI sendiri yaitu Somatic, Auditori, Visual dan Intektual, maka
karakteristiknya ada empat bagian yaitu:
1) Somatic
Somatic berasal dari bahasa yunani yaitu tubuh soma.Jika dikaitkan dengan belajar maka
dapat diartikan belajar dengan bergerak dan berbuat.Sehingga pembelajaran somatic adalah
pembelajaran yang memanfaatkan dan melibatkan tubuh (indera peraba, kinestetik, melibatkan
fisik dan menggerakkan tubuh sewaktu kegiatan pembelajaran berlangsung).
2) Auditori
Belajar dengan berbicara dan mendengar.Pikiran kita lebih kuat daripada uyang kita sadari,
telinga kita terus menerus menangkap dan menyimpan informasi bahkan tanpa kita
sadari.Ketika kita membuat suara sendiri dengan berbicara beberapa area penting di otak kita
menjadi aktif. Hal ini dapat diartikan dalam pembelajaran siswa hendaknya mengajak siswa
membicarakan apa yang sedang mereka pelajari, menerjemahkan pengalaman siswa dengan
suara. Mengajak mereka berbicara saat memecahkan masalah, membuat model, mengumpulkan
informasi, membuat rencana kerja, menguasai keterampilan, membuat tinjauan pengalaman
belajar, atau menciptakan makna-maknan pribadi bagi diri mereka sendiri.
3) Visual
Belajar dengan mengamati dan menggambarkan. Dalam otak kita terdapat lebih banyak
perangkat untuk memproses informasi visual daripada semua indera yang lain. Setiap siswa
yang menggunakan visualnya lebih mudah belajar jika dapat melihat apa yang sedang
dibicarakan seorang penceramah atau sebuah buku atau program computer. Secara khususnya
pembelajar visual yang baik jika mereka dapat melihat contoh dari dunia nyata, diagram, peta
gagasan, ikon dan sebagainya ketika belajar.
4) Intektual
Belajar dengan memecahkan masalah dan merenung.Tindakan pembelajar yang melakukan
sesuatu dengan pikiran mereka secara internal ketika menggunakan kecerdasan untuk
merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari
pengalaman tersebut.Hal ini diperkuat dengan makna intelektual adalah bagian diri yang
merenung, mencipta, dan memecahkan masalah.
Dikarenakan pembelajaran SAVI sejalan dengan gerakan Accelerated Learning (AL), maka
prinsipnya juga sejalan dengan AL yaitu:
1) pembelajaran melibatkan seluruh pikiran dan tubuh
2) pembelajaran berarti berkreasi bukan mengkonsumsi.
3) kerjasama membantu proses pembelajaran
4) pembelajaran berlangsung pada benyak tingkatan secara simultan
5) belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri dengan umpan balik.
6) emosi positif sangat membantu pembelajaran.
7) otak-citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.
Beberapa ciri-ciri yang mencerminkan gaya belajar tersebut adalah:
a. Belajar visual senang menggambar diagram, gambar, dan grafik, serta menonton film. Mereka
juga suka membaca kata tertulis, buku, poster berslogan, bahan belajar berupa teks tertulis
yang jelas.
b. Pembelajaran auditori dengan mendengar informasi baru melalui penjelasan lisan, komentar
dan kaset. Mereka senang membaca teks kunci dan merekamnya di kaset
c. Pembelajaran fisik (somatis) senang pembelajaran praktik supaya bisa langsung mencoba
sendiri. Mereka suka berbuat saat belajar, misalnya: menggaris bawahi,mencorat-coret,
menggambarkan.
Dibawah ini adalah beberapa contoh bagaimana membuat aktifitas sesuai dengan cara belajar/ gaya
belajar siswa:

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

291

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Gaya belajar
Somatis

Auditori

Visual

Intelektual

292

Aktifitas
Orang dapat bergerak ketika mereka:
1. Membuat model dalam suatu proses atau prosedur
2. Menciptakan piktogram dan periferalnya
3. Memeragakan suatu proses, sistem, atau seperangkat konsep
4. Mendapatkan pengalaman lalumenceritakannya dan
merefleksikannya
5. Menjalankan pelatihan belajar aktif (simulasi, permainan
belajar dan lain-lain)
6. Melakukan kajian lapangan. Lalu tulis, gambar, dan
bicarakan tentang apa yang dipelajari.
Berikut ini gagasan-gagasan awal untuk meningkatkan sarana
auditori dalam belajar
1. Ajaklah pembelajar membaca keras-keras dari buku
panduan dan komputer
2. Ceritakanlah kisah-kisah yang mengandung materi
pembelajaran yang terkandung didalam buku pembelajaran
yang dibaca mereka
3. Mintalah pembelajar berpasang-pasangan menbincangkan
secara terperinci apa yang mereka baru saja mereka
pelajari dan bagaimana mereka akan menerapkanya
4. Mintalah pembelajar mempraktikkan suatu ketrampilan atau
memperagakan suatu fungsi sambil mengucapkan secara
singkat dan terperinci apa yang sedang mereka kerjakan
5. Mintalah pembelajar berkelompok dan bicara non stop saat
sedang menyusun pemecahan masalah atau membuat
rencana jangka panjang
Hal-hal yang dapat dilakukan agar pembelajaran lebih visual
adalah:
1. Bahasa yang penuh gambar (metafora, analogi)
2. Grafik presentasi yang hidup
3. Benda 3 dimensi
4. Bahasa tubuh yang dramatis
5. Cerita yang hidup
6. Kreasi piktrogram (oleh pembelajar)
7. Pengamatan lapangan
8. Dekorasi berwarna-warni
9. Ikon alat bantu kerja
Aspek intelektual dalam belajar akan terlatih jika kita mengajak
pembelajaran tersebut dalam aktivitas seperti:
1. Memecahkan masalah
2. Menganalisis pengalaman
3. Mengerjakan perencanaan strategis
4. Memilih gagasan kreatif
5. Mencari dan menyaring informasi
6. Merumuskan pertanyaan
7. Menerapkan gagasan baru pada pekerjaan
8. Menciptakan makna pribadi
9. Meramalkan inplikasi suatu gagasan

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.

Kerangka Perencanaan Pembelajaran SAVI

Pembelajaran SAVI dapat direncanakan dan kelompok dalam empat tahap:


Tahap 1. Persiapan
Tujuan tahap persiapan adalah menggugah minat pembelajar, memberi mereka perasaan positif
mengenai pengalaman belajar yang akan mereka lalui, dan menempatkan mereka pada suasana
belajar yang optimal.
Yang dapat dilakukan guru antara lain :
1. Memberikan sugesti positif
2. Menyatakan manfaat bagi pembelajar
3. Menyatakan tujuan yang jelas dan bermakna
4. Menciptakan lingkungan fisik yang positif
5. Menciptakan lingkungan emosional yang positif
6. Menciptakan lingkungan sosial yang positif
7. Menenangkan ketakutan pembelajar
8. menggugah rasa ingin tahu dan menimbulkan minat
9. Mengajak pembelajar terlibat penuh sejak awal.
Tahap 2. Penyampaian
Tujuan tahap penyampaian adalah membantu pembelajar menemukan materi belajar yang baru
dengan cara yang menarik, menyenangkan, relevan, multi-indra, dan cocok untuk semua gaya
belajar.
Yang dapat dilakukan guru, antara lain :
1. Memberikan uji-coba kolaboratif dan berbagi pengetahuan.
2. Mengajak mengamati fenomena dunia nyata
3. Menciptakan keterlibatan seluruh otak, seluruh tubuh.
4. Mengajak presentasi interaktif
5. Mengajak berlatih menemukan (pribadi, berpasangan, berdasar tim).
6. Memberikan pengalaman belajar kontekstual dari dunia nyata
7. Mengajak berlatih memecahkan masalah.
Tahap 3. Pelatihan
Tujuan tahap pelatihan adalah membantu pejalar mengintegrasikan dan memadukan pengetahuan
atau keterampilan baru dengan berbagai cara.
Yang dapat dilakukan guru antara lain :
1. Aktivitas memproses pembelajar
2. Membuat usaha/umpan balik/perenungan/usaha kembali secara langsung.
3. Membuat simulasi dunia - nyata.
4. Membuat permainan belajar.
5. Memberikan latihan belajar lewat praktik.
6. Mengadakan aktifitas pemecahan masalah
7. Mengadakan perenungan.
8. Mengajak dialog berpasangan atau kelompok.
Tahap 4. Penampilan Hasil
Tujuan tahap penampilan hasil adalah membantu pelajar menerapkan dan mengembangkan
pengetahuan serta keterampilan baru mereka pada pekerjaan sehingga pembelajaran tetap melekat
dan prestasi terus meningkat.
Yang dapat dilakukan guru antara lain:
1. Membuat aktifitas penguatan lanjutan.
2. Memberi materi penguatan pasca sesi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

293

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3. Memberi pengarahan berkelanjutan.


4. Mengadakan evaluasi prestasi dan umpan balik.
5. Mengadakan aktifitas dukungan kawan-kawan.
Stretegi PAKEM bisa optimal jika keempat unsur SAVI ada dalam suatu peristiwa pembelajaran.
Pembelajar dapat meningkatkan kemampuan mereka memecahkan masalah (Intelektual) jika
mereka secara simultan menggerakan sesuatu (Somatis) untuk menghasilkan piktogram atau
pajangan tiga dimensi (Visual) sambil membicarakan apa yang sedang mereka kerjakan (Auditori).
Menggabungkan keempat modalitas belajar dalam satu peristiwa pembelajaran adalah inti dari
Pembelajaran Multi Indriawi

DAFTAR PUSTAKA
Ari, R & Indriyastuti. (2008). Perspektif Matematika 2 untuk kelas XI SMA dan MA Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri.
Cecep E. Rustana. (2001). Belajar dan Mengajar Kontekstial. Jakarta : Direktorat SLTP, Depdiknas
Krismanto, Al.. (2001). Beberapa Model dan teknik Pembelajaran Aktif-Efektif Matematika.
Yogyakarta: PPPG Matematika
Sumardi,et.al (1994). Matematika SMU. Surakarta : PT. Tiga Serangkai
Suparlan, dkk. (2009). PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.
Bandung: PT Genesindo.
Suryanto. (1999). Matematika Humanistik sebagai Pembelajaran yang Aktif-Efektif.Yogyakarta :
PPPG Matematika
Tim Instruktur PKG Matematika SMU.(1994). Beberapa Metode dan Ketrampilan dalam
Pengajaran Matematika.Yogyakarta : Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Depdiknas.
Ruseffendi. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam
Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito
Wirodikromo,S. (2004). Matematika untuk SMA kelas XI. Jakarta: Erlangga

294

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENGARUH PEMBELAJARAN MATEMATIKA


REALISTIK BERBASIS KURIKULUM 2013
TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN
REPRESENTASI MATEMATIK SISWA SMP
Ika Wahyu Anita
STKIP Siliwangi
anita.iw2013@yahoo.com

ABSTRAK
Kemampuan representasi matematik siswa SMP masih rendah dalam implementasi Kurikulum
2013 pada pelajaran matematika. Diharapkan pembelajaran Realistik mampu membantu
mahasiswa meningkatkan kemampuan representasi matematik siswa. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu metode kuasi eksperimen dan desain pretes-postes. Sampel diambil
di dua kelas siswa kelas VIII di suatu SMP Swasta di Kota Cimahi dimana satu kelas sebagai
kelas eksperimen dan satu kelas sebagai kontrol. Instrumen pada penelitian ini sebanyak enam
soal kemampuan representasi matematik berbentuk uraian. Analisis data yang digunakan yaitu
analisis data pretes, postes dan gain. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
kemampuan representasi matematik siswa dengan pembelajaran Realistik.
Kata Kunci: Kurikulum 2013, Pembelajaran Matematika Realistik, Representasi Matematik

1.

Pendahuluan

Kurikulum 2013 menitikberatkan pada meningkatnya potensi dan kemampuan siswa dilihat dari
aspek sikap (afektif), kognitif dan ketrampilan. Diharapkan dengan pengembangan kemampuan
yang terintegrasi dapat diaplikasikan siswa dikehidupannya sehari-hari sehingga pembelajaran
berbasis kurikulum 2013 pada prinsipnya berpusat pada pengembangan kreativitas siswa dan
pembelajaran yang bernilai, beretika, mengandung nilai-nilai estetika, logis serta menyediakan
pengalaman belajar yang dapat langsung diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada kenyataannya implementasi Kurikulum 2013 yang terkesan mendadak dengan segala
permasalahan yang muncul menyebabkan guru agak kesulitan pada pelaksanaan pembelajaran
dikelas. Hal ini menyebabkan siswa juga kurang maksimal dalam menggali kemampuannya.
Sedangkan NCTM (2000) sendiri merekomendasikan 5 kompetensi dasar yang perlu dikuasai
siswa, yaitu: kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan penalaran (reasoning
and), kemampuan komunikasi (communication), kemampuan koneksi (connection), dan
kemampuan representasi (representation). Hal ini yang mendasari pentingnya kemampuan
representasi matematik dikembangkan.
Kurikulum 2013 yang didalamnya mengembangkan pendekatan saintifik sejalan dengan
karakteristik pendekatan matematika realistik, sehingga pembelajaran realistik dijadikan sebagai
bantuan dalam aplikasi kurikulum 2013. Titik tekan pembelajaran dalam penelitian ini
menggunakan konteks dunia nyata yang ada disekitar siswa di sekolah. Langkah-langkah
pembelajaran matematika Realistik sudah lebih operasional sehingga peneliti merumuskan judul
penelitian yang akan dilakukan yaitu Pengaruh Pembelajaran Matematika Realistik Berbasis
Kurikulum 2013 Terhadap Peningkatan Kemampuan Representasi Matematik Siswa SMP.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

295

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Kajian Teori

2.1. Kemampuan Representasi Matematik


Menurut Gravemeijer (Mubarokah, 2006) representasi atau model matematik dapat dipandang
berkembang dan ataupun merupakan jembatan yang menghubungkan bagian konkrit dan bertransisi
ke abstrak dalam pembelajaran matematik. Kemampuan ini mengembangkan dan mengaitkan ideide matematik dalam berbagai topik dan kehidupan sehari-hari. Dari kemampuan representasi ini
akan memicu berkembangnya kemampuan komunikasi, penalaran dan pemecahan masalah
matematik.
Representasi matematik digolongkan menjadi dua, yaitu 1). Representasi internal (sulit diamati
karena merupakan aktivitas mental seseorang didalam otaknya) dan 2). Representasi eksternal
(ditunjukkan dalam tulisan berupa gambar, simbol, grafik, tabel dan moderl matematika dan lisan
berupa pendapat, dan kata-kata yang diungkapkan siswa baik dalam diskusi kelompok,diskusi kelas
serta tanya jawab klasikal. Representasi internal akan nampak saat mengukur representasi
eksternal.
Bentuk-bentuk Operasional Representasi Matematis (Mudzakir, 2006) sebagai berikut: 1).Visual,
yaitu menyajikan kembali data atau informasi dari suatu representasi ke representasi diagram,
grafik, atau tabel. Menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah. Membuat
gambar pola-pola geometri. Membuat gambar bangun geometri untuk memperjelas masalah dan
memfasilitasi penyelesaiannya. 2). Persamaan atau ekspresi matematis yaitu membuat persamaan
atau model matematis dari representasi lain yang diberikan. Membuat konjektur dari suatu pola
bilangan. Penyelesaian masalah dengan melibatkan ekspresi matematis. 3). Kata-kata atau teks
tertulis yaitu menuliskan langkah-langkah penyelesaian masalah matematis dengan kata-kata.
Menyusun cerita yang sesuai dengan representasi yang disajikan. Menjawab soal dengan
menggunakan kata-kata atau teks tertulis.
2.2. Pembelajaran Matematika Realistik Berbasis Kurikulum 2013
Treffers (1991) menyatakan tentang konsep RME dalam pengajaran sebagai berikut,
1) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang real bagi siswa sesuai dengan
pengalaman dan tingkat pengetahuan sehingga siswa terlibat dalam pembelajaran secara
bermakna
2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam pembelajaran tersebut.
3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap
persoalan yang diajukan
4) Pengajaran berlangsung secara interaktif. Siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap
jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya, setuju terhadap jawaban
temannya, menyatakan ketidak setujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain, dan
melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Pembelajaran matematika realistik sejalan dengan prinsip-prinsip pendekatan Saintifik pada
Kurikulum 2013. Pengembangan pembelajaran realistik yang diimplementasikan disesuaikan
dengan kehidupan sehari-hari siswa.

Metode dan desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan yaitu kuasi eksperimen karena peneliti menyesuaikan dengan
kondisi kelas yang ada dengan desain sebagai berikut :
AOX O
________ _

AO

296

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Dimana
A : Pengambilan sampel
O : Pretes / postes
X : Pembelajaran Matematika Realistik Berbasis Kurikulum 2013
Penelitian dilakukan dengan sampel 2 kelas VIII di suatu SMP Swasta di Kota Cimahi. Kelas
VIIID menjadi kelas eksperimen dan kelas VIIIB sebagai kelas kontrol dengan jumlah siswa
masing-masing 41 siswa. Instrumen penelitian berupa 6 soal kemampuan representasi matematik
berupa soal uraian yang telah diujicobakan dan divalidasi sebelumnya.

Hasil dan Pembahasan

Setelah diolah diketahui bahwa data hasil pretes, postes dan gain pada kelas kontrol dan
eksperimen menunjukkan bahwa ketiganya berdistribusi normal dan homogen. Data hasil
pengolahan data pretes sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Uji Pretes
Standar
Kelas
N
p-value
deviasi
Eksperimen
41
2,84
0,10
Kontrol

41

2,10

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa p-value > 0,05 yang artinya bahwa tidak terdapat
perbedaan kemampuan representasi matematik awal siswa antara kelas eksperimen dan kontrol.
Tabel 2. Hasil Uji Postes
Standar
Kelas
N
p-value
deviasi
Eksperimen
41
1,45
0,013
Kontrol
41
2,22

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa p-value < 0,05 yang artinya bahwa kemampuan
representasi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran matematika
Realistik lebih baik dari pada pembelajaran biasa.
Tabel 3. Hasil Uji gain
Standar
Kelas
N
deviasi
Eksperimen
41
0,11
Kontrol
41
1,11

p-value
0,021

Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa p-value < 0,05 yang artinya bahwa peningkatan
kemampuan representasi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran
matematika Realistik lebih baik dari pada pembelajaran biasa.
Pembelajaran di kelas eksperimen lebih terarah dan rapi karena merunut pada langkah-langkah
pembelajaran Realistik yang sudah lebih operasional untuk mengimplementasikan kurikulum 2013
sehingga tujuan-tujuan dan capaian pembelajaran dapat tercapai. Pada pelaksanaannya,
pembelajaran berjalan lancar dan terus menunjukkan peningkatan ditiap pertemuan. Siswa juga
menunjukkan minatnya dan semakin berani untuk mengungkapkan pendapat, berperan aktif selama
pembelajaran dan menunjukkan peningkatan kemampuan representasi yang makin baik. Hal ini
juga didukung oleh aktivitas kelas dan LKS yang diberikan guru.
Berbeda dengan yang terjadi di kelas kontrol, pembelajaran berbasis kurikulum 2013 kurang efektif
dilakukan. Terkadang masih terbayang-bayangi dengan pembelajaran yang biasa dilakukan,
keikutsertaan siswa dalam pembelajaran juga tampak kurang walau pembelajaran telah dibantu
dengan adanya LKS.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

297

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Kesimpulan

Dari hasil perhitungan statistik dan pembahasan diambil kesimpulan bahwa terdapat peningkatan
kemampuan representasi matematik siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan Pembelajaran
Matematika Realistik.

DAFTAR PUSTAKA
Mubarokah, N. 2006. Pengaruh Model Pembelajaran Siklus Belajar Empiris Induktif Terhadap
Kemampuan Representasi Siswa SMP. Skripsi. UPI Bandung: Tidak diterbitkan
Mudzakkir, H. S. 2006. Strategi Pembelajaran Think-Talk-Write untuk Meningkatkan
Kemampuan Representati Matematik Beragam Siswa SMP. Tesis pada Program Pasca
Sarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
NCTM. (2000). Principle and Standards for School mathematics. [Online]. Tersedia:
http://standards.nctm.org/document/prepost/project.htm. (20 Nopember 2014)
Treffers, A. (1991). Realistic mathematics education in The Netherlands 1980-1990. In L.
Streefland (ed.), Realistic Mathematics Education in Primary School. Utrecht: CD-b Press /
Freudenthal Institute, Utrecht University.

298

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN STRATEGI KNOWLEGDE SHARING


DALAM MENINGKATKAN SELF-DEVELOPMENT SISWA
DI SMA
Ishaq Nuriadin
Pendidikan Matematika, FKIP UHAMKA
Ishaq_nuriadin@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini tujuan mengetahui efektifitas strategi knowlegde sharing dalam meningkatkan
sikap self-development di SMA. Self-development siswa adalah sikap atau prilaku yang
mengerakkan seseorang (siswa) tentang cara berpikir dalam mengembangkan kemampuan diri
secara sungguh-sungguh dalam mencari solusi dengan penuh tanggung jawab. Strategi
knowledge sharing yang meliputi: sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi dan internalisasi.
Untuk mencapai tujuan tersebut mengunakan pretes-postes non equivalent group desain.
Populasi dalam penelitian ini siswa SMAN di Kota Tangerang tahun ajaran 2013/2014 siswa
kelas XI. Teknik pengambilan sempel menggunakan teknik stratified sampling sebanyak 70
siswa pada level sekolah sedang dan rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penerapan strategi knowlegde sharing dapat meningkatkan self-development siswa pada level
sekolah sedang sebesar 20,8% dan level sekolah rendah sebesar 6,4%. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa secara keseluruhan peningkatan self-development siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan strategi knowledge sharing pada level sekolah sedang lebih baik daripada
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi knowledge sharing pada level sekolah
rendah.
Kata Kunci: Strategi Knowledge Sharing, Self-Development

1.

Pendahuluan

Belajar matematika dimaksud untuk membentuk pengetahuan dan sikap agar dapat diaplikasikan
dalam kehidupan bermasyarakat. Belajar matematika merupakan suatu proses kegiatan untuk
mengubah tingkah laku siswa yang disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Sardiman (2003)
diantara sekian banyak faktor yang memiliki pengaruh dalam belajar itu faktor psikologis dalam
belajar akan memberikan andil yang cukup tinggi. Aspek psikologis senantiasa memberikan
kemudahan dalam usaha mencapai tujuan belajar matematika secara optimal. Self- development
merupakan faktor psikologis yang bersifat non intelektual berperan sebagai pengerak dan
penyemangat belajar. Untuk memahami pelajaran matematika dengan baik, sangat penting bagi
siswa memiliki yang self- development kuat mengingat matematika merupakan pelajaran yang
sering diabaikan, karena dianggap pelajaran paling sulit bagi sebagian siswa. Self-development
dalam belajar matematika dijadikan sebagai tenaga pendorong dalam diri siswa untuk mengikuti
pembelajaran secara sungguh-sungguh.
Tujuan pelajaran matematika (BSNP, 2006) agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai
berikut: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan
masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3)
memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan
dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5)
memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu,

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

299

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

perhatian, dan minat dalam memperlajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah. Berdasarkan tujuan belajar matematika tersebut, siswa tidak hanya terampil
dalam menyelesaikan masalah matematis tetapi juga siswa diharapakan memiliki sikap atau
prilaku yang baik agar dapat diterima dalam masyarakat tempat mereka berada.
Pembelajaran matematika di lapangan belum sepenuhnya menekankan pada pengembangan daya
nalar, logika, dan proses berpikir matematis siswa. Pembelajaran matematika di sekolah pada
umumnya didominasi oleh pengenalan rumus-rumus serta konsep-konsep secara verbal, tanpa
memperhatikan tingkat kemampuan matematis siswa. Siswa tidak dipandu dalam mengoptimalkan
potensi yang ada pada dirinya. Sering kali ada siswa yang mampu mengerjakan dan menyelesaikan
soal yang diberikan guru dengan tepat, namun ketika temannya meminta untuk menjelaskan proses
penemuan jawaban yang diberikan terlihat masih kebingungan untuk menjelaskan jawabannya.
Bahkan, tidak jarang malah memunculkan rasa keraguan atas jawaban mereka sendiri, secara tidak
langsung mengurangi rasa pecaya diri peserta didik. Selain itu, ada peserta didik yang selalu
mengeluh tak punya kemampuan apa-apa dalam pembelajaran matematika. Jika sikap mudah
menyerah dan mengeluh peserta didik muncul, maka proses berpikir siswa tidak terjadi. Proses
berpikir yang terhenti mengakibatkan tidak bertambahnya kemampuan siswa. Kebiasan berpikir
berdampak pada meningkatnya kemampuan matematis siswa.
Kemampuan dalam memahami konsep matematika secara mendalam diharapkan dapat membentuk
kebiasaan pengembangan diri (self-development) siswa. Self- development merupakan bagian soft
skill. Soft skill yang ditanamkan pada peserta didik secara berkelanjutan saat pembelajaran
matematika akan membentuk disposisi matematik (mathematical disposition). Disposisi matematik
merupakan kesadaran, keinginan, kegigihan, dedikasi, dan kecendrungan yang kuat pada diri
peserta didik untuk berpikir dan berbuat secara positif guna mengembangkan diri dalam
kemampuan matematis. Polking (1998) berpendapat bahwa disposisi matematis menunjukkan (a)
rasa percaya diri dalam menggunakan matematika, memecahkan masalah, memberi alasan dan
mengkomunikasikan gagasan; (b) fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematika dan
berusaha mencari metode alternatif dalam memecahkan masalah; (c) tekun mengerjakan tugas
matematika; (d) minat, rasa ingin tahu, dan dayatemu dalam melakukan tugas matematika; (e)
cendrung memonitor, merefleksikan penampilan dan penalaran mereka sendiri; (f) menilai aplikasi
matematika ke situasi lain dalam matematika dan pengalaman sehari-hari; (g) apresiasi peran
matematika dalam kultur dan nilai, matematika sebagai alat dan bahasa. Pelaksanaan pembelajaran
matematika harus mempu menanamkan sikap self-development sebagai komponen soft skill
matematika dilaksanakan secara terintegratif dengan pengembangan kemampuan matematis peserta
didik sebagai komponen hard skill matematika.
Self-development merupakan aspek afektif dalam diri seorang siswa. Aspek afektif ini didasarkan
pada asumsi bahwa perilaku siswa pada tingkat yang lebih rendah merupakan prasyarat bagi
perilaku tingkat yang lebih tinggi. Itulah sebabnya, ranah ini diurutkan ke dalam suatu garis
kontinum dalam bentuk hierarkis dan pencapaiannya bersifat komulatif. Mulai dari tahap pertama
yaitu menerima suatu nilai, keinginan untuk merespon, kepuasan yang didapat ketika merespon
akan memunculkan penghargaan pada nilai itu, selanjutnya mengorganisasi nilai-nilai ke suatu
sistem nilai yang sifatnya amat pribadi, dan akhirnya berperilaku secara konsisten berdasarkan nilai
yang dimiliki dan dipercayainya.
Aspek self-development bagian dari bentuk soft skills seperti kreativitas, produktivitas, berpikir
kritis, bertanggungjawab, memiliki kemandirian, berjiwa kepemimpinan serta kemampuan
berkolaborasi yang perlu dimiliki oleh peserta didik. Penghargaan terhadap keragaman
kemampuan, memiliki kesadaran akan nilai-nilai kesatuan dalam kemajemukan yang didasarkan
pada nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan religi, amat perlu dikembangkan. Keseimbangan saat
pelaksanaan pembelajaran matematika harus mempu menanamkan sikap self-development sebagai
komponen soft skill matematika dilaksanakan secara terintegratif dengan pengembangan
kemampuan matematis peserta didik sebagai komponen hard skill matematika. Kegiatan-kegiatan
yang disarankan oleh Woodcook & Francis (1981) dalam membiasakan sikap self-development

300

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

peserta didik yaitu sebagai berikut: (a) menentukan sasaran yang jelas; (b) menentukan cara
menilai keberhasilan; (c) mensyukuri kemajuan walaupun hanya sedikit; (d) berani mengambil
resiko; (e) perkembangan diatur oleh diri anda sendiri; (f) memanfaatkan setiap kesempatan yang
ada; (g) terbuka untuk belajar dari siapa saja dalam kontek untuk mengembangkan potensi diri; (h)
belajar dari kesalahan dan selalu bersikap realistis; (i) jangan hanya berbicara, tetapi kerjakan yang
anda ucapkan.
Self-development siswa merupakan sikap atau prilaku yang mengerakkan seseorang (siswa) tentang
cara berpikir dalam mengembangkan kemampuan diri secara sungguh-sungguh dalam mencari
solusi dengan penuh tanggung jawab. Aspek pengembangan diri (self-development) menurut
Nuriadin (2014) meliputi: (a) inisiatif belajar; (b) mempersiapkan kebutuhan pendukung belajar;
(c) menetapkan tujuan belajar yang sesuai; (d) memonitor kemajuan target belajar; (e) mengatur
dan mengontrol belajar; (f) mengidentifikasi kesulitan belajar; (g) mencari dan memanfaatkan
sumber referensi yang relevan; (g) memilih dan menerapkan strategi menyelesaikan masalah; (h)
mengevaluasi kebenaran proses dan hasil belajar; (i) mengkreasikan pengetahuan yang dimiliki
dengan beragam pemecahan masalah.
Pembelajaran yang membentuk self-development dan mengenalkan konsep matematika dapat
disajikan melalui masalah kehidupan sehari-hari salah satunya dengan strategi knowledge sharing.
Knowledge sharing menjadi pilihan dalam pembelajaran matematika karena didasarkan pada hasil
diskusi. Matematika yang bersifat abstrak, suka dipahami apabila di pelajari secara individu, untuk
itu di perlukan proses diskusi dalam mempelajarinya. Berbagi keterampilan dan pengalaman dalam
hal teknik-teknik dalam penyelesaian masalah matematika menjadi hal penting dalam aktifitas
belajar peserta didik, berbagi pemahaman tentang simbol-simbol yang digunakan dan aturan-aturan
(dalil, teorema) dapat membantu tercapainya tujuan pembelajaran. Knowledge sharing merupakan
siasat yang digunakan guru untuk mempromosikan praktek berbasis bukti dan pengambilan
keputusan, serta untuk memicu pertukaran ide atau gagasan dari peserta didik diluar dugaan guru.
Sehingga, dapat melatih berkembangnya pola pikir atau penalaran peserta didik.
Tujuan pembelajaran matematika menggunakan strategi knowledge sharing dalam setiap kegiatan
untuk berbagi pengetahuan dan keahlian di antara siswa agar dapat menyebarluaskan pemahaman
saat pembuktian matematis dan pengambilan keputusan berupa kesimpulan. Situasi saat berbagi
pengetahuan tidak mungkin menjadi tujuan secara eksplisit, namun pengetahuan dan keahlian tetap
dapat diinformasikan dan dibagi kepada yang memerlukan.
Strategi Knowledge sharing sering digambarkan sebagai kegiatan pembelajaran dalam bentuk
mendiskusikan permasalahan tertentu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari secara kelompok,
namun setiap peserta didik dapat menjadi subjek penyelidikan dan sumber informasi yang
terpercaya berdasarkan referensi. Keragaman sumber belajar dan intelektual yang dimiliki peserta
didik juga menjadi tantangan bagi guru dalam memilah-milah informasi yang sukar dipahami.
Meier (2002:99) menambahkan bahwa intelektual adalah pencipta makna dalam pikiran, sarana
yang digunakan seseorang untuk berpikir, menyatukan pengalaman, menciptakan jaringan saraf
baru, dan belajar. Belajar secara intelektual merupakan bagian mencipta, memecahkan masalah dan
membangun makna.
Menurut Nutchey (2011) yang secara eksplisit dengan Knowledge sharing mampu menggambarkan
masyarakat belajar dan pemahaman istimewa masing-masing dari peserta didik. Agar knowledge
sharing berjalan dengan baik, perlu investasi dan sumber daya yang mencukupi berupa
pemahaman, keterampilan dan pengalaman dari tiap-tiap peserta didik. Guru sebagai fasilitator
harus memiliki kepekaan dalam membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi peserta didik dalam
berbagi pengetahuan. Menurut Binz-Scharf (2003:15) hal penting yang perlu diperhatikan dalam
knowledge sharing, sebagai berikut:
a) Model knowledge sharing. Pengetahuan dapat ditiru, disalin, atau ditransfer melalui
komunikasi (Zander & Kogut, 1995), masing-masing kasus menghasilkan hasil yang berbeda
sesuai dengan peran yang terlibat baik individu, maupun kelompok;

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

301

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

b)

c)
d)

e)

Faktor yang berpengaruh knowledge sharing. Pengalaman, kepercayaan, motivasi, dan


kesulitan transfer pengetahuan secara signifikan mempengaruhi apakah dan seberapa efektif
pengetahuan dapat dibagi;
Budaya konteks. latar belakang budaya berdampak setiap fungsi individu maupun kelompok
dalam berbagi pengetahuan, yang dapat dengan sendirinya mewakili subkelompok budaya;
Penggunaan teknologi informasi. menerapkan teknologi informasi, penggunaannya oleh
anggota kelompok mempengaruhi cara pengetahuan dibagi, oleh karena itu perlu
dimasukkan dalam diskusi;
Koordinasi mekanisme pengetahuan. Knowledge sharing adalah berbeda dalam hirarki,
rutinitas, jaringan, dan kelompok, mekanisme yang berdampingan.

Menurut Burch (2007:26) prinsip dalam knowledge sharing sebagai berikut: (a) semakin banyak
pengetahuan yang dibagi, semakin bertambah pengetahuan baru; (b) pengetahuan tidak dapat
ditransfer, hanya dapat berbagi; (c) setiap orang dalam kelompok memiliki pengetahuan yang
berharga; (d) keragaman pengalaman dan pendapat harus dihormati agar proses berbagi terlaksana
dengan baik; (e) karena setiap peserta memiliki pengetahuan mengenai topik yang didiskusikan,
kontribusi setiap orang sama-sama berharga; (f) dalam kelompok diskusi, berkaitan dengan topik
tertentu, tidak ada yang merasa lebih baik (semua anggota ahli); (g) mengakui bahwa kontribusi
orang lain dapat mengubah dan meningkatkan pengetahuan baik secara individu maupun kolektif;
(h) mengakui bahwa waktu adalah langka sehingga sangat penting untuk menghormati waktu yang
diberikan masing-masing untuk berbicara membuat jelas bahwa waktu tambahan yang diambil oleh
satu orang untuk berbicara partisipasi batas lain dan menghambat interaksi proses.
Szulanski (2003:75) mengidentifikasi tiga hambatan yang paling penting untuk knowledge sharing:
(1) keterlambatan dari hubungan antara pengirim dan penerima; (2) kurangnya penerima kapasitas
serap atau kemampuan untuk mengadopsi pengetahuan dan menerapkannya; dan (3) ambiguitas
kausal atau kurangnya penerima memahami signifikansi. Dengan demikian, strategi knowledge
sharing merupakan siasat atau kiat yang direncanakan guru untuk pembelajaran agar proses
pertukaran pengetahuan dan informasi yang meliputi keterampilan, pengalaman dan pemahaman
antar anggota kelompok dan kelompok-kelompok yang berbeda.
Mengajar dengan strategi knowlegde sharing memberi peluang bagi guru untuk menghubungkan
atau menjembatani kerangka pikir eksternal ke dalam proses pembelajaran. Proses berbagi
pengetahuan bagi, siswa melakukan kerja keras untuk mendapatkan pengetahuan baru secara
mandiri didukung oleh informasi dan sumber belajar yang tepat. Pengetahuan baru dari sumber
belajar yang terpercaya, siswa menjadi lebih percaya diri dan pembelajaran lebih bermakna saat
siswa dapat memahami dan menggunakan pengetahuan yang dimiliki mengendap dalam
pikirannya.
Bimbingan dengan strategi knowlegde sharing secara tidak langsung dilakukan guru melalui
scaffolding, yaitu dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan ataupun
dengan bertanya pada siswa baik dalam satu kelompok maupun dengan kelompok lain dengan
mengamati dan memberikan pertanyaan pancingan kepada setiap kelompok. Pertanyaanpertanyaan dapat berupa pertanyaan yang menggiring siswa pada penyelesaian masalah, pertanyaan
yang memacu siswa untuk berpikir, dan pertanyaan yang dapat menghubungkan pengetahuan siswa
sebelumnya untuk dapat menemukan solusi dari permasalahan yang diberikan. Selanjutnya, ada
beberapa teknik yang diarahkan guru ketika peserta didik memberikan alasan jawaban atas
pertanyaan peserta didik lainnya, yaitu: (a) menjelaskan secara lengkap alasan jawaban dari
masalah yang diberikan; (b) menginformasikan sumber belajar yang digunakan sebagai penguatan;
(c) menjelaskan strategi yang digunakan; (d) memprediksi kemungkinan yang dapat terjadi; (e)
mengidentifikasi pertanyaan yang tidak sesuai (f) mengembangkan pertanyaan untuk menciptakan
masalah yang relevan.
Kegiatan pembelajaran menggunakan strategi knowlegde sharing akan memicu guru dalam
menyiapkan perangkat pembelajaran yang tepat. Setiap langkah dalam pembelajaran yang

302

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

dijalaninya selalu memberikan kesempatan siswa untuk berpikir dan berbagi pengetahuan, serta
secara konsisten memikirkan prinsip-prinsip ataupun landasan-landasan dan strategi pembelajaran
di dalam maupun di luar kelas sesuai dengan bakat dan minat siswa. Selanjutnya, siswa menjadikan
pengalaman dirinya tentang pengetahuan yang didapat tersebut sebagai bahan pembelajaran untuk
berbagi dengan sesama teman. Berbagi pengetahuan baru dapat membentuk self- development
peserta didik untuk membantu teman dalam menyelesaikan permasalahan berkaitan dengan
pembelajaran baru yang diberikan guru. Siswa aktif belajar dalam kelompok kecil maupun besar,
disertai diskusi dengan sumber informasi yang tepat, hasil diskusi dipresentasikan dengan rasa
percaya diri dengan arahan dan bimbingan guru.
Keberhasilan dalam pembelajaran dapat terlihat dari prilaku dan sikap peserta didik atas apa yang
telah ditanamkan di sekolah. Mengingat pentingnya membangun sikap dan nilai self-development
pada perkembangan peserta didik sebagai sumber kekuatan untuk dapat mengaktualisasikan diri
secara utuh, maka peserta didik membutuhkan guru. Sikap self-development tidak hanya harus
dimiliki orang dewasa, melainkan anak-anak memerlukannya agar tumbuh menjadi orang dewasa
yang unggul di bindangnya. Sikap sulit sekali dikatakan secara nyata, namun dapat diamati dalam
prilaku sehari-hari. Prilaku seseorang yang memiliki self-development akan dapat menerima
kekurangan dan kelebihan dirinya sendiri, sehingga siap menerima tantangan dalam arti mau
mencoba sesuatu yang baru dengan segala resikonya.
Pembelajaran matematika sarat dengan nilai-nilai self-development yang dapat ditanamkan dan
dibiasakan dalam proses pembelajaran. Dwirahayu (2013) menyatakan bahwa karakter siswa yang
dapat dikembangkan dalam pembelajaran matematika sesuai edaran pemerintah tentang integrasi
nilai dalam mata pelajaran terdiri dari sikap teliti, tekun, kreatif, kerja keras, keingintahuan, dan
pantang menyerah. Waktu belajar yang terbatas di sekolah dan kesulitan guru dalam merancang
pembejaran yang efektif, menjadikan pembelajaran matematika sulit bagi peserta didik. Untuk itu,
guru sebagai orang yang paling berpengaruh dan terdekat dengan peserta didik harus memahami
terlebih dahulu kesulitan, kelemahan, dan hambatan yang dialami dalam membangun selfdevelopment peserta didik. Kemudian untuk meningkatkan self-development peserta didik
diperlukan strategi dalam proses pemebelajaran. Strategi yang dimaksud yaitu strategi knowledge
sharing yang menempatkan matematika sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, sehingga dapat
di share dalam bentuk pengetahuan. Proses pembelajaran yang menempatkan peserta didik bukan
sebagai obyek, melainkan sebagai subyek yang bebas menemukan pemahaman berdasarkan sumber
belajar dan pengalaman sendiri. Dengan demikian, strategi berpotensi sebagai sarana untuk
mencerdaskan peserta didik secara kognitif, psikomorik, maupun afektif.
Berikut tahapan yang dapat dilakukan oleh guru untuk mengintegrasikan nilai-nilai selfdevelopment melalui strategi knowledge sharing, dimodifikasi berdasarkan pendapat Kesuma,
Permana & Triatna (2010) sebagai berikut:
1) Guru mendisain RPP berbasis nilai-nilai self-development. Akan lebih baik apabila nilai selfdevelopment yang dirujuk guru sesuai dengan karakter lulusan yang unggul dalam dunia kerja
dan hasil kesepakatan antara sekolah dan stakeholder yang menjadi visi sekolah.
2) Guru merancang, menyusun, dan menggunakan bahan ajar yang mengintegrasikan nilai selfdevelopment dan strategi di dalamnya. Bahan ajar produk guru tersebut, diharapkan tidak hanya
menyajikan materi ataupun pengetahuan saja, tetapi menguraikan nilai-nilai yang terkait dengan
materi dan pengetahuan tersebut.
3) Guru melakukan apersepsi kontekstual dengan mengkaitkan kehidupan sehari-hari dengan
materi dan pengetahuan yang akan dipelajari siswa.
4) Melakukan pembelajaran sebagaimana disain dalam RPP yang dirancang. Saat pelaksanaan
pembelajaran inti, guru melakukan elaborasi pendekatan saintifik dengan strategi knowledge
sharing terhadap makna dari materi yang sedang diajarkan. Aktivitas aktivitas saat
pembelajaran harus mendorong peserta didik aktif dalam berpikir dan bersifat learner-centered.
5) Saat proses diskusi maupun memberikan argumen/gagasan peserta didik diharapkan
menyebutkan atau menggunakan sumber belajar yang relevan, hal ini dimaksudkan informasi
yang diberikan tidak memuncukan rasa ragu-ragu dalam diri peserta didik lainnya.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

303

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

6) Melakukan penilaian/evaluasi melalui pengamatan terhadap yang akan dikuatkan atau


dikembangkan muncul dalam prilaku peserta didik.
7) Memberikan catatan khusus jika ada peserta didik yang secara khusus memiliki perkembangan
perilaku yang berbeda dengan kelompoknya atau tidak sesuai dengan tahapan
perkembangannya.
8) Pelaksanaan pembelajaran strategi knowledge sharing terintegrasi dengan nilai-nilai selfdevelopment terjadi pada setiap tahap dari proses pembelajaran.
9) Aktivitas belajar harus bermakna dapat membantu peserta didik memperoleh banyak nilai-nilai
matematika yang positif.

2.

Metode Penelitian

2.1. Disain penelitian


Rancangan penelitian ini menggunakan pretes-postes non equivalent group desain. Disain ini
digunakan agar dapat mengetahui peningkatan sikap self-development siswa SMA setelah
mendapatkan pembelajaran matematika dengan strategi knowlegde sharing.
2.2. Subyek penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMAN di Kota Tangerang tahun ajaran
2013/2014 siswa kelas XI. Teknik pengambilan sempel menggunakan teknik stratified sampling
pada level sekolah sedang dan level sekolah rendah. Sampel yang terpilih sebanyak 70 orang siswa.
Sampel tersebut berasal dari sekolah yang mewaliki kedua level sekolah (sedang, rendah), yaitu
SMAN 12 Tangerang sebanyak 35 orang siswa dan SMAN 13 Tangerang sebanyak 35 orang
siswa.
2.3. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini menggunakan angket self-development siswa dalam belajar matematika.
Angket diberikan sebelum dan sesudah pembelajaran dengan strategi knowlegde sharing.
Instrumen terdiri dari pernyataan-pernyataan tertulis sebanyak 40 item. Data yang didapat dari
pengisian respon atas pernyataan tersebut, digunakan untuk menganalisis bagaimana sikap selfdevelopment r siswa dalam pembelajaran matematika di SMAN 12 Tangerang dan SMAN 13
Tangerang pada kelas XI tahun ajaran 2013/2014.
2.4. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul dianalisis dengan mencari N-Gain (gain ternormalisasi). Interpretasi
indeks dilakukan berdasarkan kriteria indeks gain dalam Meltzer (2002). Dengan rumus sebagai
berikut:
Skor postes Skor (pretes )
N-Gain =
Skor ideal Skor (pretes )

Dengan kriteria indeks gain seperti pada Tabel 1. di bawah ini:


No
1
2
3

Tabel 1.
Skor Gain Ternormalisasi
Skor Gain
Interpretasi
g > 0,7
0,3 g
0,3 g

0,7

Tinggi
Sedang
Rendah

Untuk menguji normalitas dan homogenitas data skor pretes, postes dan gain dengan menggunakan
uji Lilliefors (Kolmogorov-Smirnov Z) dan uji Levene. Selanjutnya, untuk mengetahui perbedaan
peningkatan self-development siswa pada level sekolah sedang dan level sekolah rendah dilakukan
Independent Samples t-Test.

304

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.

Pembahasan Hasil Penelitian

Hasil analisis data self-development peserta didik yang terdiri dari rerata respon sebelum
pembelajaran (pre-respon), rerata respon sesudah pembelajaran (pos-respon), rerata N-Gain SD,
simpangan baku (DS), data minimum dan data maksimum berdasarkan level sekolah dapat
disajikan pada Tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3.
Data N-Gain SD berdasarkan Level Sekolah
Level Sekolah
Sedang
Rendah
Statistik
Pre-respon
Pos-respon
N-Gain
Pre-respon
Pos-respon
SD
N
35
35
35
35
35
Rerata
103,029
116,114
0,208
106,914
110,886
DS
21,910
16,031
0,122
19,920
18,317
Minimum
69
85
-0,020
70
80
Maksimum
137
138
0,479
136
139
*Skor maksimal ideal 160

N-Gain
SD
35
0,064
0,153
-0,262
0,316

Tabel 3, tersebut menunjukkan bahwa sebelum pembelajaran dilakukan, rerata self-development


(SD) peserta didik yang mengikuti strategi knowledge sharing (SKS) pada level sekolah sedang
sebesar 103,029. Sedangkan, rerata self-development (SD) peserta didik yang mengikuti strategi
knowledge sharing (SKS) pada level sekolah rendah sebesar 106,914. Selisih rerata skor SD dari
dua level sekolah tersebut sebesar 3,885. Dari selisih tersebut dapat dikatakan pre-respon dari
kedua level sekolah relatif sama. Setelah pembelajaran berakhir berdasarkan pos-respon data pada
Tabel 4.40, self-development (SD) peserta didik terlihat mengalami peningkatan. Peserta didik yang
mengikuti pembelajaran dengan SKS pada level sekolah sedang memiliki rerata SD sebesar
116,114 (terjadi peningkatan sebesar 0,208) dan yang mengikuti pembelajaran dengan SKS pada
level sekolah rendah memiliki rerata SD sebesar 110,886 (mengalami peningkatan sebesar 0,064).
Dapat disajikan secara grafik rerata peningkatan self-development (SD) peserta didik pada Gambar
1. sebagai berikut.

RERATA N-GAIN SD

0,25
0,2
0,15
0,1
RERATA
0,05
0
1

Sedang

2
Rendah

LEVEL SEKOLAH

Gambar 1.
Rerata N-Gain SD berdasarkan Level Sekolah

Pada Gambar 1, pada diagram batang tersebut menunjukkan adanya kecendrungan perbedaan
peningkatan self-development antara peserta didik yang mengikuti pembelajaran dengan strategi
knowledge sharing pada level sekolah sedang dengan peserta didik yang mengikuti pembelajaran
dengan strategi knowledge sharing pada level sekolah rendah. Untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan peningkatan self-development peserta didik pada kedua level sekolah tersebut,
selanjutnya dilakukan analisis uji statistik. Uji statistik yang dilakukan meliputi: uji normalitas, uji
homogenitas dan uji perbedaan rata-rata data self-development. Secara ringkasan hasil uji
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

305

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

normalitas data rerata N-Gain peningkatan self-development (SD) peserta didik berdasarkan level
sekolah dapat disajikan pada Tabel 4. di bawah ini.
Tabel 4.
Uji Normalitas Data N-Gain SD berdasarkan Level Sekolah
Level
Sekolah
Sedang
Rendah

Rerata

35
35

0,208
0,064

K-S
(Z)
0,570
1,040

Sig.
(2-tailed)
0,901
0,229

H0
Diterima
Diterima

Berdasarkan Tabel 4. tersebut hasil uji normalitas K-S Z menunjukkan keseluruhan nilai probabilitas
pada setiap level sekolah lebih dari taraf signifikansi = 0,05. Ini memperlihatkan bahwa hipotesis
nol (H0) diterima. Sehingga, sampel yang digunakan berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Hasil uji homogenitas varians N-Gain self-development (SD) peserta didik dari dua level sekolah
(sedang, rendah) dengan uji Levene, dengan hipotesis yang diujikan sebagai berikut.
Tabel 5.
Uji Homogenitas Data N-Gain SD berdasarkan Level Sekolah
Level Sekolah
Sedang
Rendah

Jumlah
35
35

Statistik Levene (F)

Sig.

H0

0,763

0,385

Diterima

Pada Tabel 5. memperlihatkan bahwa nilai probabilitas (sig.) lebih dari taraf signifikansi = 0,05,
maka hipotesis nol (H0) diterima. Berarti varians N-Gain self-development (SD) memiliki varians
yang homogen. Kemudian untuk mengetahui terdapat dan tidaknya perbedaan peningkatan selfdevelopment antara peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan strategi knowledge
sharing pada level sekolah sedang dengan peserta didik yang memperoleh pembelajaran dengan
strategi knowledge sharing level sekolah rendah dilakukan uji-t dengan hasil sebagai berikut.
Tabel 6.
Hasil Analisis Uji-t N-Gain SD berdasarkan Level Sekolah
Level Sekolah

Perbedaan Rerata

Sig.
(2-tailed)

H0

Sedang
Rendah

0,208
0,064

4,349

0,000

Ditolak

Pada Tabel 6. menunjukkan bahwa nilai probabilitas sig. (2-tailed) pada masing-masing level
sekolah kurang dari 0,05. Hasil perhitungan secara ringkas dapat dilihat pada Lampiran H-3. Hal
ini menandakan bahwa hipotesis nol (H0) ditolak. Jadi, dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan peningkatan N-Gain self-development peserta didik antara peserta didik yang
mendapat pembelajaran dengan strategi knowledge sharing pada level sekolah sedang dengan
peserta didik yang mendapat pembelajaran dengan strategi knowledge sharing pada level sekolah
rendah. Berdasarkan skor rerata N-Gain self-development kedua level sekolah tersebut dapat
disimpulkan, bahwa secara keseluruhan peningkatan self-development peserta didik peserta didik
yang mengikuti pembelajaran dengan strategi knowledge sharing pada level sekolah sedang lebih
baik daripada peserta didik yang mengikuti pembelajaran dengan strategi knowledge sharing pada
level sekolah rendah.

4.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari angket self-development belajar matematika sebanyak 70
orang siswa berasal dari sekolah SMAN 12 Tangerang dan SMAN 13 Tangerang pada kelas XI,
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan strategi knowlegde sharing dapat meningkatkan
self-development siswa pada level sekolah sedang sebesar 20,8% dan level sekolah rendah sebesar

306

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

6,4%. Pada kedua level sekolah memiliki katergori N-Gain rendah, hal ini disebabkan untuk
pembentukkan sikap sangat sulit dibentuk dalam jangka waktu pendek karenanya perlu dibiasakan
dan dilatih secara terus menerus. Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara keseluruhan
peningkatan self-development siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi knowledge
sharing pada level sekolah sedang lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
strategi knowledge sharing pada level sekolah rendah. Berdasarkan hasil penelitian dari data yang
diperoleh, peneliti merekomendasikan agar:
a) Siswa harus menyadari pentingnya belajar matematika, sehingga dapat mengoptimalkan
potensi self-development dalam belajar matematika. Selain itu, siswa memiliki inisiatif belajar,
selalu mempersiapkan kebutuhan pendukung belajar, menetapkan tujuan belajar yang sesuai,
melakukan memonitor kemajuan target belajar, mengatur dan mengontrol belajar, mampu
mengidentifikasi kesulitan belajar, berusaha mencari dan memanfaatkan sumber referensi yang
relevan, memilih dan menerapkan strategi menyelesaikan masalah; mengevaluasi kebenaran
proses dan hasil belajar, serta berusaha mengkreasikan pengetahuan yang dimiliki dengan
beragam pemecahan masalah. Kebiasan-kebiasaan tersebut, sangat membantu untuk menjadi
lebih baik dalam belajar matematika dan lebih membentuk pribadi yang berintegritas dimasa
depan.
b) Para guru harus berusaha menggunakan beragam strategi pembelajaran agar menjadikan
pelajaran matematika sebagai pelajaran yang menarik dan menyenangkan untuk dipelajari serta
didiskusikan oleh siswa. Salah satunya menggunakan strategi knowledge sharing. Penerapan
strategi ini, guru harus mampu mengarahkan siswa untuk dapat merubah sikap dan pemahaman
yang keliru mereka terhadap pelajaran matematika. Apabila siswa senang pada pelajaran ini,
akan membuka peluang prilaku pengembangan diri (self-development) dalam belajar
matematika akan terbangun dan kemampuan matematis akan meningkat. Jika self-development
terbentuk dalam belajar dan kemampuan matematis meningkat, maka prestasi belajar
matematikanya akan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Binz-Scharf M. C. (2003). Exploration and Exploitation: Toward a Theory of Knowledge Sharing
in Digital Government Projects. Universitt St. Gallen ADAG: Dissertation: Copy AG.
BSNP. 2006. Standar Isi Standar Kompetensi-Kompetensi Dasar. Jakarta: BSNP.
Burch, S. (2007). Knowledge Sharing For Rural Development: challenges, experiences and
methods Translated from the Spanish: Compartir conocimientos para el desarrollo rural:
retos, experiencias y mtodos. ALAI, Quito.
Dwirahayu, Gelar. (2013). Pengaruh Strategi Pembelajaran Eksploratif terhadap Peningkatan
Kemampuan Visualisasi, Pemahaman Konsep Geometri, dan Karakter Siswa. Disertasi
Pendidikan Matematika. SPS UPI.
Kesuma, D., Permana, J., Triatna, C. (2010). Model Pembelajaran dalam Pendidikan Karakter.
Proceeding of The 4th International Conference on Teacher Education, Join Coference UPI
& UPSI. Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010.
Meier, D. (2002). The Accelerated Learning. Bandung: Kaifa PT. Mizan Pustaka.
Meltzer, D. E . (2002). Normalized Learning Gain: A Key Measure Of Student Learning. Iowa:
Department of Physics and Astronomy, Iowa State University. Tersedia:
http://ajp.aapt.org/resource/1/ajpias/v70/i12/p1259_s1? (12 Desember 2011)
Nuriadin, I. (2014). Seminar Nasiaonal Matemamatika Innovation in Matematics Education
toward Asian Community. Membangun Pengembangan Diri (Self-Development) Siswa
melalui Pembelajaran Matematika dengan Strategi Knowledge Sharing. Jakarta. FKIP
UHAMKA.
Nutchey, D. (2011). Towards a model for the description and analysis of mathematical knowledge
and understanding. Brisbane: Queensland University of Technology.
Polking, J. (1998). Response To NCTMs Round 4 Questions [Online] In
http://www.ams.org/government/argrpt4.html.
Sardiman, A.M., (2003). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

307

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Szulanski, Gabriel (2003) Sticky Knowledge, Barriers to Knowing in the Firm, Sage Publications,
London.
Woodcook & Francis, D. (1981). Organization Development Through Team Building. New York,
Halsted.
Zander, U. & Kogut, B. (1995). Knowledge and the speed of the transfer and imitation of
organizational capabilities: An empirical test. Organization Science, 6(1): 76-92.

308

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

SESI
MAHASISWA

PROSIDING SEMINAR NASIONAL


PENDIDIKAN MATEMATIKA
Program Studi Pendidikan Matematika
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(STKIP) Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN PENDEKATAN OPEN-ENDED DALAM


PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK
MENINGKATKAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA
Indri Herdiman
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi
herdi_zona@yahoo.com

ABSTRAK
Makalah ini menggambarkan peranan penerapan pendekatan open-ended yang bertujuan
meningkatkan kemandirian belajar siswa dalam pembelajaran matematika. Dikatakan bahwa
ranah afektif juga berpengaruh pada hasil belajar siswa. Salah satunya yaitu kemandirian
belajar siswa Kemandirian belajar yang baik tidak menutup kemungkinan mendapat hasil
belajar yang baik, karena dengan kemandirian siswa termotivasi aktif belajar atas dorongan
dirinya sendiri. pendekatan open-ended guru memberikan permasalahan kepada siswa yang
solusinya tidak hanya satu jalan/ cara. Sehingga akan menuntut siswa untuk belajar lebih aktif
untuk berusaha memecahkan masalah yang diberikan. Hal tersebut diantaranya dapat menjadi
salah satu pemicu yang dapat menumbuhkan kemandirian belajar siswa. Berdasarkan
penelitian dan survey yang telah dilakukan, penerapan pendekatan open-ended dalam
pembelajaran matematika merangsang kemampuan kemandirian belajar siswa kearah yang
lebih baik.
Kata Kunci: Kemandirian Belajar, Pendekatan Open-Ended

1.

Pendahuluan

Pendidikan memegang peranan penting karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan
dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Dalam dunia pendidikan, terutama pendidikan
di sekolah, matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting karena
matematika merupakan ilmu yang dapat melatih untuk berpikir kritis, sistematis, logis, dan kreatif.
Matematika juga memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya, sehingga
memungkinkan peserta didik terampil berpikir rasional. Mengingat hal tersebut, penting untuk
mempelajari matematika tidak hanya sekedar mengetahui tetapi juga berusaha untuk memahami.
Menurut Ruseffendi (2006: 208) mengatakan, Matematika itu memegang peranan penting dalam
pendidikan masyarakat baik sebagai objek langsung (fakta, keterampilan, konsep, prinsipel)
maupun objek tak langsung (bersikap kritis, logis, tekun, mampu memecahkan masalah dan lainlain).
Selain dari ranah kognitif, ranah afektif juga berpengaruh pada hasil belajar siswa. Salah satunya
yaitu kemandirian belajar siswa. Kemandirian merupakan sikap yang memungkinkan seseorang
melakukan sesuatu atas dorongan sendiri, kemampuan mengatur diri sendiri untuk menyelesaikan
masalah dan dapat bertanggungjawab terhadap keputusan yang diambil. Kemandirian belajar juga
merupakan kesiapan dari individu dengan inisiatif sendiri untuk belajar, dengan atau tanpa bantuan
pihak lain dalam hal penentuan tujuan belajar, metoda belajar, dan evaluasi hasil belajar.
Kemandirian belajar yang baik tidak menutup kemungkinan mendapat hasil belajar yang baik
karena dengan kemandirian siswa termotivasi aktif belajar atas dorongan dirinya sendiri. Dengan
belajar aktif siswa akan berusaha memecahkan masalah yang diberikan guru. Diantaranya siswa
yang memiliki kemandirian belajar dalam mencari sumber belajar selain sumber yang diberikan
oleh gurunya akan memiliki lebih banyak cara untuk menyelesaikan suatu persoalan. Siswa akan

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

309

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

lebih banyak memiliki alasan (reasoning) mengenai mengapa suatu konsep atau rumus tertentu
dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu persoalan sehingga belajar menjadi bermakna.
Dalam kegiatan pembelajaran, kemandirian sangat penting karena kemandirian merupakan sikap
pribadi yang sangat diperlukan oleh setiap individu. Menurut Sumarmo (2004: 12) dengan
kemandirian, siswa cenderung belajar lebih baik, mampu memantau, mengevaluasi, dan mengatur
belajarnya secara efektif, menghemat waktu secara efisien, akan mampu mengarahkan dan
mengendalikan diri sendiri dalam berfikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung pada orang
lain secara emosional. Siswa yang mempunyai kemandirian belajar mampu menganalisis
permasalahan yang kompleks, mampu bekerja secara individual maupun bekerja sama dengan
kelompok, dan berani mengemukakan gagasan.Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa
ini tidak lepas dari peran matematika sebagai ilmu dasar.
Belajar bermakna jika siswa mengalami sendiri apa yang mereka pelajari, bukan sekedar
mengetahui sebagai pemindahan pengetahuan dari guru. Guru dapat membantu siswa dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa untuk membangun pengetahuannya
sendiri. Penelitian yang dilakukan Delta (2012) menemukan bahwa rendahnya kemandirian belajar
siswa SMP disebabkan kurangnya motivasi belajar siswa, rendahnya keaktifan siswa dalam
pembelajaran, kejenuhan dalam kelas. Pada umumnya pembelajaran di kelas bersifat monoton
yaitu guru menyampaikan materi dan siswa menyimak kemudian diberi latihan soal rutin. Siswa
tidak aktif membangun pengetahuan dalam proses pembelajaran di kelas. Hal itu menjadi salah satu
faktor yang menghambat peningkatan kemampuan siswa.
Menyadari kenyataan di lapangan bahwa kemandirian belajar siswa dalam pembelajaran
matematika masih tergolong rendah maka pengembangan kemampuan tersebut harus diperhatikan
dalam pembelajaran. Kondisi siswa belajar secara pasif, jelas tidak menguntungkan terhadap
peningkatan kemandirian belajarnya. Untuk itu perlu usaha guru agar siswa belajar secara aktif.
Pendekatan pembelajaran diupayakan dapat mengaktifkan siswa untuk mengembangkan
kemandirian belajar siswa sehingga siswa mampu mengembangkan dan mengevaluasi argumentasi.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang bisa dipilih adalah pendekatan open-ended dengan
menerapkan media pembelajaran berupa Lembar Kerja Siswa (LKS) yang berbasis open-ended
problem.
Pendekatan open-ended adalah pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara
matematika dan siswa sehingga mengundang siswa untuk menjawab permasalahan melalui
berbagai strategi. Dalam pendekatan open-ended guru memberikan permasalahan kepada siswa
yang solusinya tidak hanya satu jalan/ cara. Guru hendaknya memanfaatkan keberagaman cara atau
prosedur untuk menyelesaikan masalah, agar memberi pengalaman kepada siswa dalam
menemukan sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan, keterampilan, dan cara berpikir
matematika yang telah diperoleh sebelumnya.
Dalam pembelajaran ini siswa diberikan LKS untuk dikerjakan secara individu sehingga siswa
dengan mudah dapat memahami konsep materi. Siswa diajak belajar mandiri, dilatih untuk
mengoptimalkan kemampuannya dalam menyerap informasi ilmiah yang dicari, dilatih untuk
memecahkan masalah. Jadi melalui LKS berbasis open-ended problem ini keaktifan, kemandirian
dan keterampilan siswa dapat dikembangkan dan efektif.

2. Pembahasan
2.1. Kemandirian Belajar
Sumarmo (2004) mengungkapkan bahwa kemandirian belajar merupakan proses perancangan dan
pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam menyelesaikan suatu
tugas akademik. Sejalan dengan itu Tahar (2006:92) menyatakan kemandirian belajar merupakan
kesiapan dari individu yang mau dan mampu untuk belajar dengan inisiatif sendiri, dengan atau
310

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

tanpa bantuan pihak lain dalam hal penentuan tujuan belajar, metoda belajar, dan evaluasi hasil
belajar. Sejalan dengan itu, menurut Subliyanto (2011) kemandirian belajar adalah aktivitas
belajar yang didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri tanpa
bantuan orang lain serta mampu mempertanggung jawabkan tindakannya. Siswa dikatakan telah
mampu belajar secara mandiri apabila ia telah mampu melakukan tugas belajar tanpa
ketergantungan dengan orang lain.
Selanjutnya Sumarmo (2004) merinci indikator kemandirian belajar sebagai berikut : 1) inisiatif
belajar, 2). mendiagnosa kebutuhan belajar, 3) menetapkan target dan tujuan belajar, 4) memonitor,
mengatur dan mengontrol kemajuan belajar, 5) memandang kesulitan sebagai tantangan, 6)
memanfaatkan dan mencari sumber yang relevan, 7) memilih dan menerapkan strategi belajar, 8)
mengevaluasi proses dan hasil belajar dan 9) memiliki self -concept (konsep diri).
Woolfolk (Qohar, 2011) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar
meliputi: pengetahuan (knowledge), motivasi (motivation) dan disiplin pribadi (self-discipline).
Motivasi merupakan faktor penting dalam kemandirian belajar. Siswa dengan motivasi belajar yang
tinggi akan tertarik untuk mengerjakan berbagai tugas yang diberikan karena menyukai dan
memiliki motivasi untuk menyelesaikannya. Mereka mengetahui alasan mereka belajar, sehingga
ketika mereka memilih dan melakukan sesuatu, hal tersebut merupakan dorongan dari dalam diri
mereka sendiri dan bukan karena dipengaruhi dan dikontrol oleh orang lain.
Salah satu bentuk tes yang bisa mengukur kemadirian belajar matematik siswa adalah bentuk
angket yang berisi pernyataan yang dapat mendiagnosa kebutuhan belajar siswa. Seperti pernyataan
ketika mengalami kesulitan, saya menunggu bantuan teman/guru dan siswa memilih jawaban
kolom sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, atau sangat tidak setuju.
2.2. Pendekatan Open-Ended
Pendekatan open-ended menurut Becker dan Shigeru (Mahmudi, 2008), pada awalnya
dikembangkan di Jepang pada tahun 1970-an, peneliti-peneliti Jepang melakukan proyek penelitian
pengembangan metode evaluasi keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam pendidikan matematika
dengan menggunakan soal atau masalah terbuka (open-ended problem) sebagai tema. Meskipun
pada mulanya pengembangan soal terbuka dimaksudkan untuk mengevaluasi keterampilan berpikir
tingkat tinggi, tetapi selanjutnya disadari bahwa pembelajaran matematika yang menggunakan soal
terbuka mempunyai potensi yang kaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Menurut Mahmudi (2008), soal terbuka (open-ended problem) adalah soal yang mempunyai
banyak solusi atau strategi penyelesaian. Hal ini sesuai dengan pendapat Suherman, et. al (2001)
problem yang diformulasikan memiliki multijawaban yang benar disebut problem tak lengkap atau
disebut juga problem openended atau problem terbuka. Penerapan problem open-ended dalam
kegiatan pembelajaran adalah ketika siswa diminta mengembangkan metode, cara, atau pendekatan
yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan dan bukan berorientasi pada jawaban
atau hasil akhir. Tujuan utama siswa dihadapkan dengan problem open-ended adalah bukan untuk
mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara bagaimana sampai pada suatu jawaban.
Jadi, tidak hanya ada satu pendekatan atau metode dalam memperoleh jawaban, namun beberapa
atau banyak.
Penggunaan soal terbuka juga dapat memicu tumbuhnya kemampuan berpikir kreatif siswa karena
dalam kegiatan pembelajaran dapat membawa siswa dalam menjawab permasalahan dengan
banyak cara dan mungkin juga banyak jawaban yang benar, Sehingga pola pikir matematis siswa
dapat dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan setiap siswa. Nohda
(Suherman, et. al, 2001: 114) menyatakan, tujuan dari pembelajaran open-ended ialah untuk
membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa melalui problem
solving secara simultan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

311

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Aspek keterbukaan dalam soal terbuka dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yaitu: (1) terbuka
proses penyelesaiannya, yakni soal itu memiliki beragam cara penyelesaian, (2) terbuka hasil
akhirnya, yakni soal itu memiliki banyak jawab yang benar, dan (3) terbuka pengembangan
lanjutannya, yakni ketika siswa telah menyelesaikan suatu soal, selanjutnya mereka dapat
mengembangkan soal baru dengan mengubah syarat atau kondisi pada soal yang telah diselesaikan.
Dalam membuat masalah open-ended, Jerry P. Becker & Shigeru Shimada (Suherman, et. al, 2001:
118-119) memberikan beberapa hal yang dapat dijadikan acuan dalam mengkreasi masalah
tersebut, antara lain:
1) Menyajikan permasalahan melalui situasi fisik yang nyata dimana konsep matematika dapat
dikaji dan diamati siswa.
2) Soal-soal pembuktian dapat diubah sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan
hubungan dan sifat-sifat dari variable dalam masalah itu.
3) Menyajikan bangun-bangun geometri sehingga siswa dapat membuat suatu konjektur
4) Memberikan suatu barisan bilangan atau tabel bilangan sehingga siswa dapat menemukan
aturan matematika
5) Memberikan contoh konkret dalam beberapa kategori sehingga siswa dapat mengelaborasi
sifat-sifat dari contoh itu untuk menemukan sifat-sifat yang umum.
Penyajian soal dalam pendekatan open-ended yang akan dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan media berupa LKS yang dapat difungsikan untuk menemukan dan mengaplikasikan
suatu konsep. Lembar Kegiatan Siswa (LKS) merupakan bahan ajar yang dikemas sedemikian rupa
agar siswa dapat mempelajari materi tersebut secara mandiri. Secara umum LKS merupakan
perangkat pembelajaran sebagai pelengkap pendukung pelaksanaan Rencana Pembelajaran. LKS
memberikan arahan yang terstruktur bagi siswa untuk memahami materi yang diberikan. Melalui
LKS, guru akan memperoleh kesempatan untuk memancing siswa agar secara aktif terlibat dengan
materi yang dibahas. LKS didesain untuk dimanfaatkan siswa secara mandiri, dan guru hanya
berperan sebagai fasilitator sehingga yang diharapkan berperan aktif dalam mempelajari materi
yang ada dalam LKS adalah siswa. Dalam proses pembelajaran matematika, LKS dapat
difungsikan dengan tujuan untuk menemukan konsep, prinsip, juga untuk aplikasi konsep dan
prinsip. Dhari dan Haryono (Wandhiro, 2011: 3) menyatakan lembar kerja siswa adalah lembaran
yang berisi pedoman bagi siswa untuk melakukan kegiatan yang terprogram.
Menurut Darmojo (Wandhiro, 2011: 8), LKS yang memenuhi asas-asas belajar mengajar yang
efektif, yaitu:
1) Memperhatikan adanya perbedaan individual
2) Tekanan pada pemahaman konsep
3) Memiliki variasi stimulus melalui berbagai media dan kegiatan siswa
4) Dapat mengembangkan kemampuan komunikasi social, emosional, moral dan estetika pada
anak.
5) Pengalaman belajarnya ditentukan oleh tujuan pengembangan pribadi siswa dan bukan
ditentukan oleh bahan pelajaran.
Sedangkan syarat konstruksi sebuah LKS menurut Darmojo (Wandhiro, 2011: 8) adalah sebagai
berikut:
1) Menggunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa anak.
2) Menggunakan struktur kalimat yang jelas, yaitu menghindari kalimat yang kompleks,
menghindari kata-kata yang tidak jelas dan menghindari kalimat negatif.
3) Memiliki tata urutan pelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan anak. Apabila konsep
yang hendak dituju merupakan sesuatu yang kompleks, dapat dipecahkan menjadi bagianbagian yang lebih sederhana terlebih dahulu.
4) Menghindari pertanyaan yang terlalu terbuka. Dianjurkan isian atau jawaban didapat dari hasil
pengolahan informasi.
5) Tidak mengacu pada sumber diluar kemampuan siswa.

312

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

6) Menyediakan ruangan yang cukup untuk memberikan keleluasaan pada siswa untuk
menuliskan maupun menggambarkan pada LKS. Memberi bingkai dimana anak harus
menuliskan jawaban dan menggambarkan sesuai dengan yang diperintahkan.
7) Menggunakan kalimat yang sederhana dan pendek. Kalimat yang panjang tidak menjamin
kejelasan instruksi atau isi namun kalimat yang terlalu pendek
8) juga dapat mengundang pertanyaan.
9) Menggunakan ilustrasi.
10) Dapat digunakan untuk anak yang lamban maupun pandai.
11) Memiliki tujuan belajar yang jelas serta manfaat dari itu sebagai sumber informasi.
12) Mempunyai identitas untuk memudahkan administrasinya, misalnya nama, kelas dan
sebagainya.
Keunggulan pendekatan open-ended menurut Suherman, et. al (2003: 132) antara lain:
1) Siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan sering mengekspresikan ide.
2) Siswa memiliki kesempatan lebih banyak dalam memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan
matematik secara komprehensif.
3) Siswa dengan kemampuan matematika rendah dapat merespon permasalahan dengan cara
mereka sendiri.
4) Siswa secara intrinsik termotivasi untuk memberikan bukti atau penjelasan.
5) Siswa memiliki pengalaman banyak untuk menemukan sesuatu dalam menjawab
permasalahan.
Sedangkan kelemahan pendekatan open-ended menurut Suherman, et. al (2003: 132) antara lain:
1) Membuat dan menyiapkan masalah matematika yang bermakna bagi siswa bukanlah pekerjaan
yang mudah.
2) Mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahami siswa sangat sulit sehingga banyak
siswa yang mengalami kesulitan bagaimana merespon permasalahan yang diberikan.
3) Siswa dengan kemampuan tinggi bisa merasa ragu atau mencemaskan jawaban mereka.
Sebagian siswa mungkin merasa bahwa kegiatan belajar mereka tidak menyenangkan karena
kesulitan yang mereka hadapi.
2.3. Benang Merah Penerapan Pendekatan Open-Ended Terhadap Peningkatan Kemandirian
Belajar Siswa
Pendekatan open-ended adalah pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara
matematika dan siswa sehingga mengundang siswa untuk menjawab permasalahan melalui
berbagai strategi. Dalam pendekatan open-ended guru memberikan permasalahan kepada siswa
yang solusinya tidak hanya satu jalan/ cara. Sehingga akan menuntut siswa untuk belajar lebih aktif
untuk berusaha memecahkan masalah yang diberikan. Hal tersebut diantaranya dapat menjadi salah
satu pemicu yang dapat menumbuhkan kemandirian belajar siswa dalam mencari sumber belajar
selain sumber yang diberikan oleh gurunya, yang merupakan salah satu dari indikator kemandirian
belajar.
Penyajian soal dalam pendekatan open-ended bisa disajikan menggunakan media berupa LKS yang
dapat difungsikan untuk menemukan dan mengaplikasikan suatu konsep. Dengan LKS berbasis
open-ended problem dimana berisi persoalan terbuka, maka rasa ingin tahu siswa akan semakin
tinggi. Penggunaan LKS berbasis open-ended problem dapat menumbuhkan ide, kreativitas serta
sikap kritis siswa. Siswa dapat mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi
dalam memperoleh jawaban, sehingga lebih mementingkan proses daripada hasil. Hal ini akan
membentuk pola pikir keterpaduan, pemahaman konsep dan melatih daya nalar siswa.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

313

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Contoh salah satu bentuk soal open-ended yang diberikan kepada siswa:
Kotak kapur dimasukkan ke dalam sebuah dus dan disusun seperti gambar di bawah.

18 cm

12 cm
50 cm
Buatlah pernyataan dan pertanyaan yang berhubungan dengan volume balok berdasarkan informasi
pada gambar diatas, sertakan juga penyelesaian dari pertanyaannya!
Soal tersebut menuntut siswa menggunakan cara yang berbeda dalam proses mengemukakan ide
penyelesaian sehingga siswa dituntut mampu mengarahkan dan mengendalikan diri sendiri dalam
berfikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung pada orang lain dan berani mengemukakan
gagasan. Siswa akan lebih banyak memiliki alasan (reasoning) mengenai mengapa suatu konsep
atau rumus tertentu dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu persoalan sehingga belajar
menjadi bermakna.

3. Kesimpulan dan Saran


3.1. Kesimpulan
Dengan menerapakan pendekatan open-ended dalam pembelajaran matematika diharapkan dapat
meningkatkan kemandirian belajar siswa, hal tersebut didukung dari hasil beberapa survey dan
penelitian yang telah dilakukan bahwa penerapan pendekatan open-ended dapat meningkatkan
kemandirian belajar siswa dalam pembelajaran matematika.
3.2. Saran
Berhubung sangat pentingnya kemandirian belajar siswa dalam pembelajaran matematika, karena
dengan kemandirian belajar yang baik tidak menutup kemungkinan mendapat hasil belajar yang
baik. maka untuk mengembangkan kemandirian belajar tersebut rekomendasi yang disampaikan,
antara lain:
1. Penerapan LKS berbasis open-ended problem dapat dijadikan alternatif pembelajaran yang
dapat digunakan guru-guru disekolah sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kemandirian belajar siswa.
2. Apabila guru matematika akan menggunakan LKS berbasis open-ended problem dalam proses
pembelajaran maka perlu mempertimbangkan antara lain waktu yang tersedia, pemilihan pokok
bahasan, pengelolaan kelas, kesiapan siswa terhadap penguatan materi prasyarat sebelum
konsep yang baru akan disajikan serta motivasi yang lebih terhadap siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Delta, E. (2012). Peningkatan Kemandirian dan Hasil Belajar Matematika Melalui Strategi Problem
Based Learning (PBL) Bagi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Wonogiri. [online]
http://dellsabsrina.files.wordpress.com/2013/01/pbl.docx. [10 April 2014]
Mahmudi, A. (2008). Mengembangkan Soal Terbuka (Open-Ended Problem) dalam Pembelajaran
Matematika. [Online]. Tersedia : http://zonasabar.blogspot.com/2011/03/makalahpembuatan-lks-lembar-kerja.html. [18 januari 2012].

314

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Qohar, A. (2011). Asosiasi Antara Koneksi Matematis dan Komunikasi Matematis serta
Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP. Makalah Disajikan Pada Lomba dan Seminar
Matematika XIX di UNY
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito.
Subliyanto.
(2011).
Kemandirian
Belajar.
[Online].
Tersedia:
http://subliyanto.blogspot.com/2011/05/kemandirian-belajar.html/ [10 Maret 2013]
Suherman, E, et.al. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA
UPI.
Sumarmo, U. (2004). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada
Peserta Didik. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana UPI. Bandung : Tidak dipublikasikan.
Tahar, I. & Enceng. Hubungan Kemandirian Belajar dan Hasil Belajar Pada Pendidikan Jarak Jauh.
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume. 7, Nomor 2, September 2006, 91-101.
Wandhiro, M. F. (2011). Lembar Kerja Siswa (LKS). [Online]. Tersedia :
http://zonasabar.blogspot.com/2011/03/makalah-pembuatan-lks-lembar-kerja.html.
[28
februari 2012].

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

315

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN


PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SERTA
KEPERCAYAAN DIRI SISWA SMA DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Nurismayanti
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi
nurismayanti31@gmail.com

ABSTRAK
Kemampuan komunikasi dan kemampuan pemecahan masalah matematis merupakan
kemampuan esensial dalam matematika yang mengembangkan dan mengintegrasikan
keterampilan melalui lisan, tulisan, gambar, perkataan, dan mampu mempresentasikan apa
yang telah dipelajari berdasarkan informasi untuk memperoleh solusi dalam mengatasi
kesulitan yang dihadapi guna mencapai suatu tujuan dengan menggunakan strategi
penyelesaian yang tidak rutin. Apabila kedua kemampuan tersebut berkembang dengan baik
diharapkan kepercayaan diri siswa berkembang sehingga tampil aktif dan memberi respon
yang positif terhadap pembelajaran matematika. Artikel ini membahas pembelajaran untuk
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan komunikasi matematis, mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah matematis, serta meningkatkan kepercayaan diri siswa SMA
dalam pembelajaran matematika. Uraian berdasarkan pada analisis terhadap (1) karakteristik
matematika yang aktif dan dinamis; (2) kebutuhan akan pembelajaran matematika masa kini
dan masa yang akan datang; (3) keterampilan dasar matematika untuk siswa sekolah
menengah; (4) upaya untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa terutama dalam
pembelajaran matematika. Beberapa hasil studi menemukan bahwa berbagai pembelajaran
matematika yang inovatif berhasil (1) mengembangkan kemampuan komunikasi dan
pemecahan masalah siswa lebih baik dibandingkan dengan pendekatan biasa; (2) mendorong
siswa belajar menemukan kembali secara aktif dan bekerja sama , serta menumbuhkan
kepercayaan diri siswa.
Kata Kunci: Komunikasi matematis, Pemecahan masalah matematis, Kepercayaan diri

1.

Pendahuluan

Memahami suatu konsep yang dipelajari menjadi hal mendasar yang harus dimiliki oleh siswa
dalam pembelajaran. Proses pemahaman dan penerapan konsep matematika hingga mampu
menyelesaikan persoalan tentunya membutuhkan komunikasi yang baik antar siswa dan guru.
Collins (Putri, 2012) menyebutkan bahwa salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran
matematika adalah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk
mengembangkan dan mengintegrasikan keterampilan berkomunikasi melalui lisan, tulisan,
berbicara, menggambar, dan mempresentasikan apa yang telah dipelajari. Tanpa komunikasi yang
baik, maka perkembangan matematika akan terhambat.
Mengingat begitu pentingnya kemampuan komunikasi, maka pembelajaran matematika perlu
dirancang dengan baik sehingga memungkinkan dapat menstimulasi siswa dalam mengembangkan
kemampuan komunikasinya. Proses komunikasi yang baik berpotensi memicu siswa untuk
mengembangkan ide-ide dan membangun pengetahuan matematikanya. Dalam upaya
menemukan berbagai strategi atau solusi suatu soal, siswa didorong untuk mengeksplorasi
pengetahuan atau ide-ide yang relevan. Dengan cara demikian, siswa akan menjadi lebih
kompeten dalam memahami konsep-konsep matematika. Guru yang sukses menanamkan konsepkonsep matematika yang baik kepada siswanya akan mempermudah siswa dalam memecahkan

316

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

masalah matematik yang dihadapi pada soal dan materi berikutnya. Peningkatan kemampuan
komunikasi akan dibarengi dengan perkembangan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.
Masalah yang dimaksud adalah soal-soal yang harus dipecahkan oleh siswa yaitu soal yang tidak
rutin bagi siswa sehingga memerlukan keterampilan dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Cooney (Gani, 2004) menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan proses menerima
masalah dan berusaha untuk memecahkan masalah tersebut. Sedangkan Polya (Setiawan, 2011)
mengartikan pemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan
guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu mudah untuk dicapai.
Kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa merupakan hal yang penting
dimiliki siswa terutama setelah diterapkannya kurikulum 2013 melalui pendekatan ilmiah yang
diantaranya menekankan pentingnya komunikasi dalam pembelajaran baik antar siswa maupun
antara siswa dengan guru, juga pentingnya pemecahan masalah sehingga siswa mampu mengatasi
hal-hal yang tidak rutin yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Selain kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis yang harus dikuasai siswa,
suatu hal yang penting untuk dipahami dan disadari dalam proses belajar dan berpikir matematis
adalah bahwa penguasaan sikap setelah berlangsungnya kegiatan pembelajaran, yaitu semakin
meningkatnya rasa percaya pada kemampuan diri sendiri dalam menyelesaikan soal-soal yang
dihadapi. Sikap percaya diri menurut Bandura (Nurasyah, 2005) adalah keyakinan seperti yang
dibutuhkan untuk mengakibatkan hasil yang diharapkan. Kepercayaan diri siswa dalam
menghadapi pelajaran dapat terlihat dari sikap aktif, kreatif, dan inovatif siswa dalam menghadapi
pelajaran tersebut. Keaktifan siswa akan muncul jika siswa menguasai materi dengan baik
sehingga mampu menyelesaikan persoalan yang diberikan dan mampu mengembangkan pola
pikirnya, mau mengkomunikasikan ide-ide baik dalam bentuk gambar, grafik, tabel, lisan, maupun
tulisan. Suatu cara pandang siswa tentang persoalan matematika ikut mempengaruhi pola pikir
tentang penyelesaian yang akan dilakukan.
Kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis perlu dikembangkan sejak dini pada
berbagai tahapan usia terutama pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) sebab pada usia
tersebut siswa mulai beranjak dewasa sehingga mampu mengkomunikasikan gagasan serta mampu
mengatasi masalah sendiri. Diharapkan setelah pembelajaran, siswa lebih mampu menyampaikan
ide dan pendapatnya di hadapan orang lain serta penuh kepercayaan diri dalam menyampaikan
segala solusi dalam mengadapi berbagai masalah.
Dalam pembelajaran matematika diperlukan suatu metode yang tepat agar tujuan pembelajaran
dapat tercapai sekaligus meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis
siswa sehingga memunculkan sikap percaya diri dalam menyikapi berbagai masalah. Seiring
dengan pemberlakuan kurikulum 2013 di setiap sekolah, salah satu cara yang harus ditempuh guru
adalah mengkondisikan siswa untuk dapat mengkontruksi pengetahuannya dan memfasilitasi siswa
untuk melakukan aktivitas belajar yang melibatkan pemecahan masalah.

2.

Pembahasan

2.1. Kemampuan Komunikasi Matematis


Komunikasi merupakan suatu peristiwa penyampaian informasi dalam suatu komunitas baik secara
langsung maupun tidak langsung. Suherman (2008) mengemukakan bahwa kemampuan
komunikasi matematis adalah kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan ide matematis kepada
orang lain dalam bentuk lisan, tulisan, atau diagram sehingga orang lain memahaminya. Berbeda
dengan pendapat Syaban (Nurmayanti, 2012) yang menyatakan komunikasi merupakan refleksi
pemahaman matematika dan merupakan bagian dari daya matematik. Siswa yang mempelajari
matematika seakan-akan mereka berbicara dan menulis tentang apa yang sedang mereka kerjakan.
Mereka dilibatkan secara aktif dalam mengerjakan matematika, diminta untuk memikirkan ide-ide,
atau berbicara dan mendengarkan siswa lain dalam berbagai ide, pendapat, dan solusi.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

317

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Dalam komunikasi matematis siswa dilibatkan secara aktif dalam berbagi ide dengan siswa lain.
Ketika sebuah konsep informasi matematika diberikan oleh seorang guru kepada siswa atau siswa
terlibat aktif dalam sebuah diskusi memikirkan ide-ide, menulis, berbicara atau mendengarkan
siswa lain, maka pada saat tersebut sedang terjadi tranformasi informasi. Pentingnya komunikasi
matematik antara lain dikemukakan oleh Baroody (Sumarmo, 2013) dengan rasional: (1)
Matematika adalah bahasa esensial yang tidak hanya sebagai alat berpikir, menemukan rumus,
menyelesaikan masalah, atau menyimpulkan aja, namun matematika juga memiliki nilai yang tak
terbatas untuk menyatakan beragam ide secara jelas, teliti, dan tepat. (2) Matematika dan belajar
matematika adalah jantungnya kegiatan sosial manusia.
Kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, dimana siswa
diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan
bekerja sama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman konsep matematika. Siswa yang
diberikan kesempatan untuk bekerja dalam kelompok dalam mengumpulkan dan menyajikan data,
mereka menunjukkan kemajuan yang baik saat mereka saling mendengarkan ide satu sama lain.
Diskusi bersama kemudian menyusun kesimpulan.
Pentingnya komunikasi juga dinyatakan oleh National Council of Teacher Mathematics (NCTM)
(2004) yang menyatakan bahwa program pembelajaran matematika sekolah harus memberikan
kesempatan kepada siswa untuk: (1) Menyusun dan mengaitkan mathematical thinking melalui
komunikasi; (2) Mengkomunikasikan mathematical thinking
secara logis dan jelas: (3)
Menganalisis dan menilai mathematical thinking dan strategi yang dipakai orang lain; (4)
Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematika.
Adapun indikator kemampuan komunikasi matematis menurut NCTM diantaranya: (1)
Kemampuan mengekpresikan ide matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya
serta menggambarkannya secara visual; (2) Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan
mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya; (3)
Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika, dan struktur-strukturnya
untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi.
Selain itu indikator kemampuan komunikasi matematis menurut Sumarmo (2013) yaitu: (1)
Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika; (2) Menjelaskan ide,
situasi, dan relasi matematik, secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, grafik, dan aljabar; (3)
Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; (4) Mendengarkan,
berdiskusi, dan menulis tentang matematika; (5) Membaca dengan pemahaman suatu presentasi
matematika tertulis; (6) Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan
generalisasi; (7) Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa
sendiri.

2.2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis


Kemampuan pemecahan masalah pada dasarnya juga sangat diperlukan siswa baik di lingkungan
sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari. Perlunya kemampuan pemecahan masalah menjadi
sangat penting apabila dipahami bahwa dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi manusia akan selalu dihadapkan pada masalah yang rumit. Polya (Setiawan, 2011)
mengartikan pemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan
guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu mudah untuk dicapai. Pendapat serupa juga
dikemukakan oleh Sumarmo (2013) yang menyebutkan bahwa pemecahan masalah adalah sebagai
proses, lebih mengutamakan prosedur, langkah-langkah, strategi, heuristik yang ditempuh oleh
siswa dalam menyelesaikan masalah hingga menemukan jawaban soal.

318

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Menurut Hudojo (2001) syarat suatu masalah bagi seorang siswa sebagai berikut:
a. Pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang siswa haruslah dimengerti oleh siswa tersebut,
namun pertanyaan itu harus merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya.
b. Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa.
Karena itu, faktor waktu untuk menyelesaikan masalah janganlah dipandang sebagai hal yang
esensial.
Adapun konsep pemecahan masalah menurut Branca (Sumarmo, 2013) dapat diartikan
menggunakan dua interpretasi umum yaitu sebagai berikut :
a. Pemecahan masalah sebagai suatu pendekatan, yaitu pembelajaran yang diawali dengan suatu
penyajian masalah kontekstual kemudian melalui penalaran induktif siswa menemukan kembali
konsep yang dipelajari dan kemampuan matematik lainnya.
b. Pemecahan masalah sebaai suatu proses meliputi beberapa kegiatan, yaitu mengidentifikasi
kecukupan unsur untuk menyelesaikan masalah, memilih dan melaksanakan strategi untuk
menyelesaikan masalah, melaksanakan perhitungan, dan menginterpretasi solusi terhadap
masalah semula dan memeriksa kebenaran solusi.
Selanjutnya Polya (Sumarmo, 2013) membuat langkah pemecahan masalah tersebut menjadi empat
tahap yaitu: memahami masalah, membuat rencana, melakukan rencana, dan melihat kebenaran
jawaban. Dalam pemecahan masalah, siswa dapat menemukan solusi pemecahan dengan konsep
yang baru. Maka dari itu kemampuan pemecahan masalah memerlukan suatu keterampilan dalam
menganalisa informasi dan saling berhubungan untuk menarik suatu kesimpulan logis.
Beberapa indikator pemecahan masalah dapat diperhatikan menurut NCTM (2004) diantaranya:
a. Membangun pengetahuan matematika baru melalui pemecahan masalah.
b. Memecahkan masalah yang timbul dalam matematika dan dalam konteks lain.
c. Menerapkan dan menyesuaikan berbagai strategi yang tepat untuk memecahkan masalah.
d. Memonitor dan merefleksikan proses pemecahan masalah matematika.
Sedangkan indikator kemampuan pemecahan masalah matematis menurut Sumarmo (2010), adalah
sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang
diperlukan.
b. Merumuskan masalah matematika atau menyusun model matematika.
c. Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam
atau di luar matematika.
d. Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal.
e. Menggunakan matematika secara bermakna.

2.3. Kepercayaan Diri


Sikap percaya diri dalam setiap individu harus ditanamkan dan dilatih sejak dini. Dengan terbiasa
percaya pada kemampuan diri sendiri tentunya siswa akan terbiasa mandiri mengerjakan apapun
termasuk mengerjakan berbagai soal matematika. Kepercayaan diri akan timbul jika siswa mampu
memahami konsep yang disampaikan dan memiliki pengetahuan yang cukup dalam permasalahan
yang dihadapi.
Kepercayaan diri secara sederhana menurut Hakim (2002) dapat dikatakan sebagai suatu keyakinan
seseorang terhadap gejala aspek kelebihan yang dimiliki oleh individu dan keyakinan tersebut
membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan hidupnya. Rasa percaya diri juga
dapat diartikan sebagai suatu kepercayaan terhadap diri sendiri yang dimiliki setiap orang dalam
kehidupan serta bagaimana orang tersebut memandang dirinya secara utuh dengan mengacu pada
konsep dirinya. Kepercayaan diri merupakan sikap positif yang harus dimiliki oleh setiap orang
dimana merasa mampu, nyaman dan puas terhadap diri sendiri sehingga mampu memandang
dirinya secara utuh dengan tetap mengacu pada konsep dirinya. Pembentuk utama dalam

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

319

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

keprcayaan diri siswa dalam bermatematika diantaranya interaksi siswa dan guru dan interaksi
sesama siswa sehingga menumbuhkan sikap positif yang mempercayai kemampuan diri dalam
menyelesaikan berbagai soal yang dihadapi di kelas.
Berikut beberapa indikator kepercayaan diri menurut Lauster (Hapsari, 2013) yaitu : (1) Tampil
percaya diri; (2) Bertindak independen; (3) Menyatakan keyakinan atas kemampuan sendiri; dan
(4) Berani Menghadapi tantangan atau konflik. Weinberg & Gould (Wicaksono, 2009) merinci
enam manfaat atau dampak positif dan rasa percaya diri sebagai berikut: (1) Kepercayaan diri
mengembangkan emosi positif; (2) Kepercayaan diri mempermudah konsentrasi; (3) Kepercayaan
diri mempengaruhi sasaran; (4) Kepercayaan diri meningkatkan usaha; (5) Kepercayaan diri
mempengaruhi strategi belajar; dan (6) Kepercayaan diri mempengaruhi momentum psikologis.

3.

Contoh Butir Soal Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah


Matematis

3.1. Butir Soal Kemampuan Komunikasi Matematis (Materi Barisan dan Deret)
Indikator : Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematik dengan benda nyata, gambar, grafik dan
aljabar.
Dalam satu gedung pertunjukkan terdapat 25 baris kursi penonton. Pada baris pertama terdapat 15
kursi, pada baris kedua dan seterusnya selalu bertambah 5 kursi. Gambarkan situasi di atas dalam
pola tertentu!
a. Konsep apa yang Anda temukan pada pola tersebut?
b. Jelaskan bagaimana dapat menemukan formula suku ke-n dari pola di atas!
c. Lima baris pertama kursi penonton merupakan kursi kelas VIP dan sisanya adalah kursi kelas
ekonomi. Andaikan harga tiket kelas VIP sebesar Rp 100.000 dan kelas ekonomi Rp 50.000
dengan 8 buah kursi yang rusak. Buat model matematika untuk menghitung harga penjualan
tiket andaikan tiket terjual habis? Selesaikan!
Indikator: Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika.
Seorang tukang angkut diminta memindahkan batu bata dalam beberapa tumpukan dengan
mengikuti pola berikut :
Tumpukan ke-1

M
M
H

Gambar 1.a Tumpukan batu bata

Tumpukan ke-2

Gambar 1.b Tumpukan batu bata

320

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Tumpukan ke-3
Eva
Im

R
GA

Im

Ev

Gambar 1.c Tumpukan batu bata


Tumpukan pertama diselesaikan satu jam setelah dia masuk dan setiap tumpukan dia selesaikan
dalam waktu satu jam. Karena suatu hal, pada saat jam ke-4 pekerjaannya digantikan oleh orang
lain selama 3 jam dengan mengikuti pola yang sudah terbentuk.
a. Maka pada saat dia masuk, berapa batu bata yang harus dipindahkan ketika dia mulai bekerja
kembali?
b. Konsep apa yang terlibat dalama masalah tersebut?
c. Berikan aturan atau prosedur untuk menentukan pola ke-n dari permasalahan tersebut!
3.2. Butir Soal Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis (Materi Barisan dan Deret)
Indikator: Merumuskan masalah matematika atau menyusun model matematika.
B1

A2

A1

A3

B2

A3

B3

B4
Gambar 2. Susunan Beberapa Segitiga Siku-siku Sama Kaki
0
Pada gambar di atas! AOB
1
1 merupakan segitiga sama kaki dengan sudut AOB
1
1 90 dan

garis OA2 merupakan garis tingginya. A2OB2 juga merupakan segitiga sama kaki dengan sudut

A2OB2 900 dan garis OA3 merupakan garis tingginya, dan demikian seterusnya. Andaikan
panjang garis OA1 50 2 , buatlah model matematika untuk menentukan panjang seluruh garis
tinggi yang terbentuk kemudian selesaikan! Sertakan langkah-langkah pengerjaannya!
3.3. Butir Skala Kepercayaan Diri Siswa Belajar Matematika
Butir skala disusun dalam bentuk kegiatan atau perasaan atau pendapat positif atau negatif dengan
pilihan jawaban Sangat Sering (SS), Sering (S), Jarang (J), dan Jarang Sekali (JS) dengan aturan
penilaian negatif SS: 1; S: 2; J: 3, JS: 4 dan penilaian positif SS: 4; S: 3; J: 2, JS: 1.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

321

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Tabel. 1 Contoh Butir Skala Kepercayaan Diri


No

Kegiatan/ Perasaan/ Pendapat

Saya memiliki kemampuan yang tinggi dalam matematika.


Saya tidak memiliki sesuatu yang dibanggakan dalam
pembelajaran matematika.
Ketika mulai memecahkan masalah matematika, saya berpikir
tidak akan dapat menyelesaikan masalah tersebut.
Saya yakin dapat menyelesaikan setiap masalah matematika.
Saya merasa kesulitan menyelesaikan soal-soal berbentuk
cerita.
Saya mampu mengaplikasikan teori dalam berbagai bentuk soal
matematika.

2
3
4
5
6

SS

Jawaban
S
J

SJ

4. Kesimpulan
Kesimpulan dari artikel ini adalah bahwa kemampuan komunikasi, kemampuan pemecahan
masalah, dan kepercayaan diri saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain. Ketika
kemampuan komunikasi terbentuk dengan baik, maka kemampuan pemecahan masalah pun
mengiringi dalam menyelesaikan permasalahan. Begitu juga ketika kedua kemampuan tersebut
terkuasai, maka permasalahan apapun akan mudah dipecahkan dengan rasa penuh percaya diri.
DAFTAR PUSTAKA
Gani, R. (2004). Pengaruh Penerapan Pembelajaran dengan Pendekatan Pemecahan Masalah
terhadap Hasil belajar Matematika Siswa Sekolah Menengah Umum di Bandung. Tesis PPS
UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Hakim, T. (2002). Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta : Puspa Swara.
Hapsari, M. J. (2013). Upaya Meningkatkan Self-Confidence Siswa dalam Pembelajaran
Matematika melalui Model Inkuiri Terbimbing. Jurnal Tesis. Jurusan Pendidikan matematika
UNY : tidak diterbitkan.
Hudojo, H. (2001). Teori Belajar Dalam Proses Belajar-Mengajar Matematika. Jakarta.
Depdikbud.
National Council of Teacher of Mathematics. (2004). CSSU Math Frameworks.
[Online].Tersedia:http://www.cssu.org/cms/lib5/VT01000775/Centricity/Domain/32/CSSU
MathCurricMay04.pdf. (7 April 2014).
Nurmayanti, N. (2012). Penerapan Pembelajaran Matematika Berdasarkan Prinsip Brain Based
Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa. Skripsi. Jurusan
Pendidikan Matematika FPMIPA UPI : tidak diterbitkan.
Putri, H. E. (2012). Pengembangan Model Bahan Ajar Strategi Pembelajaran Konflik (Cognitive
Conflict) untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMP. Skripsi.
Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI : tidak diterbitkan.
Setiawan, B. (2011). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis
Siswa melalui Pembelajaran Kooperatif Model Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC). [Online].
Suherman, E. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika.
Bandung : Wijaya Kusumah.
Sumarmo, U. (2013). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik Siswa
SMK melalui Pendekatan Kontekstual dan Strategi Formulate-Share-Listen-Create (FSLC).
Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematika serta Pembelajarannya.
Wicaksono, D. (2009). Pengaruh Kepercayaan Diri, Motivasi Belajar Sebagai Akibat dari latihan
Bola
Voli
terhadap
Prestasi
Belajar
Atlet
di
Sekolah.
[Online].Tersedia:http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Danang%20Wicaksono,
%20S.Pd.Kor.,%20M.Or/tesis%20.pdf. (12 April 2014).

322

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA TENTANG


MATERI JARING-JARING KUBUS DAN BALOK PADA
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN
MENGGUNAKAN ALAT PERAGA
Maman Suryatman
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi
mamansuryatman7@gmail.com

ABSTRAK
Matematika dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit oleh siswa, sehingga sebagian besar
dari mereka merasa tidak menyukai bahkan benci terhadap mata pelajaran matematik, yang
akhirnya membawa dampak terhadap harapan siswa, guru, orang tua, serta masyarakat pada
umumnya. Namun pada kenyataannya hasil belajar yang tinggi masih jauh dari harapan. Dan
mereka tidak menyadari bahwa matematik dapat digunakan di dalam bidang studi lain, bahkan
dalam kehidupan sehari-hari pun manfaat dari matematik ini sangat besar. Keadaan yang
disebutkan di atas disebabkan oleh karakteristik dari matematik itu sendiri yaitu objeknya yang
bersifat abstrak. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu serta peran pembelajaran di dalam
dan di luar kelas, juga meningkatkan sikap profesional pendidikan yaitu dengan mengadakan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk meningkatkan pemahaman matematik siswa dengan
menggunakan alat peraga untuk membantu memperjelas materi pembelajaran yang
disampaikan kepada siswa dan mencegah terjadinya verbalisme pada diri siswa.
Kata Kunci: Alat Peraga, Pemahaman Matematik

1.

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah


Berdasarkan isi dari pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional yakni,
Pendidikan bertujuan mengambangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, cakap, kretif, mandiri dan
menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Tujuan tersebut di atas dapat dicapai melalui pembelajaran yang efektif dan efisien. Salah satu
aktifitas pembelajaran yang efektif dan efisien adalah guru memberikan kesempatan yang seluasluasnya untuk belajar dengan mengalaminya sendiri secara individu dan kelompok. Siswa
membangun pengertian, pemahaman dan pengetahuan bersama.
Pengetahuan ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa secara aktif sebagai komunikasi
secra kelompok yang dikemukakan Jonson dan Smith dalam IIC (2003:5-6), belajar adalah suatu
proses pribadi tetapi proses sosial yang terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan
yang lainnya dan membangun pengertian dan pengetahuan bersama.
Keberhasilan mutu proses dan hasil belajar siswa, selain guru dapat mengembangkan materi,
sumber pembelajaran, metode evaluasi dan penggunaan media dan alat peraga. Media dan alat
peraga merupakan bagian yang penting dalam menunjang tujuan pembelajaran.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

323

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

1.2. Identifikasi Masalah


Sesuai dengan tingkatannya, penekanan pembelajaran matematika di SD di fokuskan pada konsepkonsep dasar matematika. Menurut Priatna (1999:2) menyatakan sekolah dasar merupakan tempat
pertama siswa mempelajari konsep-konsep dasar matematika.
Menurut kenyataan yang terjadi di lapangan justru berbeda dengan arahan para pakar dan tuntutan
kurikulum. Pengalaman saya sebagai guru kelas IV SDN Malangbong 01 dalam pembelajaran
matematika, hanya berpedoman pada materi pembelajaran yaitu metode ceramah yang kurang
didukung oleh penggunaan alat peraga atau media lainnya yang berpariasi, penggunaan metode
ceramah saya anggap paling efisien karrena dengan metode ini akan lebih mudah menyelesaikan
materi pembelajaran yang tertuang dalam kurikulum sesuai dengan alokasi waktu yang telah
ditentukan. Proses pembelajaran terjadi satu arah dimana siswaa tekesan sebagai pendengar,
penonton dan pencatat, dengan demikian proses pembelajaran hanya berpusat pada guu, aktiivitas
belajar siswa sangat kurang bahkan cenderung mengakibatkan siswa bersifat pasif.
Akibat dari cara pengolahan pembelajaran yang dipaparkan di atas, penguasaan konsep matematika
siswa kelas IV SDN Malangbong 01 sangat kuranng. Hal ini terbukti dari tiap tes formatip masih
sangat rendah hampir setiap tes nilai rata-rata kelas kurang dari 6, bahkan untuk materi tentang
kosnsep sifat-sifat banggun ruang sederhna selama saya menjadi guru kelas IV persentase siswaa
yang mencapai batas minimal keberhasilan masih rendah.
1.3. Analisis Masalah
Untuk menghadapi permasalahan dalam pembelajara matematika, khusunya tentang sifat-sifat
bangun ruang sederhana saya berusaha mencari faktor penyebab rendahnya hasil belajar siswa dan
setelah dianalisis ternyata rendaahnya hasil belajar siswa ditandai kurangnya keterlibatan siswa
dalam pembelajaran. Guru dalam menjelaskan materi tidak menggunakan alat peraga, penjelasan
materai tidak terperinci dan kurangnya memberikan contoh dan latihan.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan faktor penyebab di atas saya mencoba merumuskan masalah yang menjadi fokus
perbaikan yaitu : Bagaimana meningkatkan penguasaan siswa tentang materi jaring-jaring kubus
dan balok dengan alat peraga sederhana?
1.5. Strategi Pemecahan Masalah
Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk proses berdaur atas siklus. Tiap siklus terdiri dari
tahapan: Perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Dimana tahapan-tahapan tersebut di atas
dituangkan dalam kegiatan PTK untuk tiap mata pelajaran matematika.
Deskripsi untuk mata pelajaran matematika yaitu :
1. Mengidentifikasi Masalah Pembelajaran Matematika
2. Merumuskan Masalah dan Langkah-langkah Tindakan Pemecahan Masalah Pembelajaran
Matematika
Pelaksanaan perbaikan pembelajaran dilakukan dalam 2 siklus pembelajaran dengan tindakan tiap
siklus sebagai berikut :
1. Membuat RPP, lembar pengamatan, LKS, alat evaluasi, menyiapkan bahan ajar, alat peraga
dan mengelompokan siswa
2. Melaksanakan tindakan pembelajaran sesuai dengan tujuan RPP
3. Minta bantuan teman sejawat bertindak sebagai observer
4. Setelah pembelajaran berakhir, peneliti bersama teman sejawat melakukan refleksi dan data
yang terkumpul disederhanakan dalam bentuk tabel dan grafik.
Pola umum pelaksanaan PTK digunakan untuk masing-masing siklus pembelajaran matematika.

324

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

2.1. Deskripsi Per Siklus


2.1.1. Data Perencanaan
Penelitian perbaikan pembelajaran ini merupakan penelitian yang dilakukan dalam bentuk PTK.
Untuk memperjelas langkah-langkah khusus dan rinci peneliti mendiskusikan dengan hasilnya
antara lain :
a. Penelitian tindakan kelas dilakukan dalam siklus dilaksanakan pada pembelajaran matematika
kelas IV semester II
b. Materi pembelajaran matematika untuk kelas IV adalah jaring-jaring kubus
Langkah-langkah tiap siklus selanjutnya dituangkan dalam bentuk Rencana Perbaikan
Pembelajaran, LKS dan lembar observasi.
2.1.2.

Data Hasil Pelaksanaan

Mata Pelajaran Eksak : Matematika


2.1.2.1. Siklus 1
a. Data Pelaksanaan Pembelajaran
Hari / Tanggal : Sabtu, 02 Maret 2013
Kelas / Semester
: IV / II
Topik
: Jaring-jaring Kubus
Tujuan Perbaikan
: Meningkatkan keterampilan guru
Menggunakan alat peraga
Aktivitas utama adalah penggunaan alat pergara untuk meningkatkan pemahaman siswa
tentang jaring-jaring kubus.
b. Data Hasil Pengamatan
Data hasil pengamatan berupa kinerja guru dan siswa berupa data kualitatif dan
kuantitatif. Data kualitatif misalnya aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran
sedangkan data kuantitatif berupa nilai hasil belajar anak.
1) Hasil Pengamatan Kinerja Guru
Pengamatan observer terhadap kegiatan mengajar dilakukan oleh guru kelas yang
dianggap relevan dengan upaya perbaikan siklus 1. (hasil pengamatan kinerja guru
dapat dilihat pada lampiran)
2) Data Hasil Pengamatan Siswa
Peneliti mengamati proses berjalannya siswa berdiskusi siklus 1, sedangkan data hasil
belajar siswa dapat dilihat tebl 2 dan grafik 2
c. Refleksi Terhadap Pembelajaran Siklus 1
Refleksi difokuskan pada kendala guru dan kegiatan siswa sebagai bahan pertimbangan
guru (peneliti) untuk merancang dan menentukan tindakan pembelajaran berikutnya.
Dari hasil pengamatan peneliti dan teman sejawat dapat dikatan jauh lebih baik jika dibanding
dengan pembelajaran sehari-hari walaupun belum mencapai target nilai yang didapat pada siklus 1
dapat dilihat pada tabel 3.
2.1.2.2. Siklus 2
a. Data Pelaksanaan Pembelajaran
Hari / Tanggal
: Rabu, 06 Maret 2013
Kelas / Semester
: IV / II
Topik
: Jaring-jaring Balok
Tujuan Perbaikan
: Meningkatkan pemahaman siswa
Dalam mengidentifikasi Jaring-jaring kubus

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

325

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Tujuan yang menjadi fokus tindakan perbaikan pada siklus 2 adalah upaya untuk
mengoptimalkan kemampuan guru dan aktivitas siswa yang berhubungan dengan
penggunaan alat peraga.
b. Data Hasil Pengamatan
Peneliti mengamati proses berjalannya siswa berdiskusi pada siklus 2 dapat dilihat pada
lampiran, sedangkan data hasil belajar siswa dapat dilihat pada tabel 2 dan grafik 1
2.2. Pembahasan Dari Setiap Siklus
Proses pelaksanaan pemelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga sederhana di kelas
IV SDN Malangbong 01 Kec. Malangbong Kab. Garut menunujukan bahwa guru sudah
melaksanakan tugasnya, mualai dari menyusun RPP, menetapkan tujuan, menjelaskan materi
pembelajaran, membimbing siswa, menyimpulkan materi, menyiapkan alat peraga, lembar
observasi LKS dan alat evaluasi.
Dari temuan dan refleksi dapat di identifikasi pada siklus 1 pembelajaran belum optimal :
Motivasi belajar dan hasil siswa masih rendah
Guru dalam menggunakan alat peraga belum optimal
Guru kuran memberi kesempatan bertanya pada siswa
Dari temuan di atas peneliti berusaha memperbaiki pembelajaran dengan merancang dan
menentukan fokus tindakan berikut :
Langkah-langkah yang dilakukan adalah :
Memberikan motivasi belajar pada siswa
Memulai pembelajaran dengan memberikan orientasi pada tujuan tentang materi yang akan
dipelajari
Mengoptimalkan penggunaan alat peraga
Guru berusaha mengaktifkan siswa dalam diskusi
Pada pembelajaran siklus 2 setelah di identifikasi, proses pembelajaran sudah mengalami adanya
peningkatan.
2.3. Refleksi Terhadap Pembelajaran Siklus 2
Refleksi terhadap hasil dan proses pembelajaran siklus 2 dilakukan oleh peneliti dan observer.
Menurut observer secara umum upaya guru untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
melakukan kegiatan sudah baik. Sedangkan untuk siswa terhadap penguasaan materi pada
pembelajaran siklus 2 sudah baik, hal ini terlihat pada tabel 3.
Adapun data lengkapnya hasil evaluasi perbaikan pembelajaran matematika dari siklus 1 sampai
siklus 2 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Nilai Hasil Belajar Siswa Pembelajaran Matematika
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

326

Nama Siswa
Bustamil Widen
Dallia Nur Kifa
Elvita Rahmawati
Rika Fenriyanti
Fitri Ramadani
Imas Siti Hanifah
Ikbal Lesmana
Kasmal Mawwar Azis
Muhamad Irsanudin
Muhamad Faisal Miraj
Nazwa Riadiani Kinaya
Nisa Siti Sarah

Siklus 1
6
6
5
7
6
7
6
7
7
6
7
6

Siklus 2
7
7
6
8
6
9
7
9
9
7
8
5

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Rata-rata
6,5
6,5
5,5
7,5
6
8
6,5
8
8
6,5
7,5
5,5

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


No
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26

Nama Siswa
Filma Afrilia
Nuryanti Sri Rahayu
Rani Amelia
Ratu Anita Adriansyah
Reza Helmi Taptanzani
Resti Novianti
Rillah Arti Utami
Risqy Andria
Ruli Rukman
Wily Lukmanul Hakim
Ilham Fahmi Abdul Latip
Imam Magni Alawi
Risdah Nuraeni
Firman Nurdin
Jumlah
Rata-Rata

Siklus 1
7
5
6
7
6
6
5
7
6
7
6
7
7
6
164
63

Siklus 2
7
7
6
8
6
9
7
9
9
7
8
9
7
8
195
7,5

Rata-rata
7
6
6
7,5
6
7,5
6
8
7,5
7
7
8
7
7
179,5
6,9

Untuk lebih jelasnya saya sajikan dalam bentuk grafik


10
9
8
7,5
7
6,3
6
5
4
3
2
1
0
Siklus 1

Siklus 2

Grafik 1. Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada pembelajaran matematika

Keterangan :
Dari keterangan data di atas dapat kita lihat penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran
matematika menunjukan dari siklus ke siklus.
Siklus 1
: rata-rata nilai = 6,3
Siklus 2
: rata-rata nilai = 7,5

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

327

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


Tabel. 3. Rekapitulasi Nilai Hasil Belajar Siswa Pada Pembelajaran Matematika
Nilai
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Jml

Siswa yang mendapat


Nilai tiap siklus
1
2

11
12
3

7
4
9
4
1

26

26

Persentase tiap siklus


1

Ket.
Siklus 1 yang
mendapat nilai
7 keatas 11
siswa atau 42 %

Siklus 2 yang
mendapat nilai
7 keatas 20
siswa 78,5 %

2.4. Keberhasilan dan Kegagalan


Setelah merefleksi keberhasilan dan kegagalan dalam pembelajaran Matematika dari siklus 1 dan 2
yaitu :
2.4.1.

Keberhasilan

a. Dengan penjelasan materi yang sistematis dan jelas siswa lebih mudah memahami materi
sehingga pemahaman siswa menjadi lebih cepat.
b. Dengan menggunakan alat peraga siswa lebih aktif dan hasil belajar
2.4.2

Kegagalan

a. Belum semua siswa aktif dalam pembelajaran


b. Belum berhasil semua siswa mencapai ketuntasan belajar
2.5 Pembahasan dari Setiap Siklus
Proses pelaksanaan pemelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga sederhana di kelas
IV SDN Malangbong 01 Kec. Malangbong Kab. Garut menunujukan bahwa guru sudah
melaksanakan tugasnya, mualai dari menyusun RPP, menetapkan tujuan, menjelaskan materi
pembelajaran, membimbing siswa, menyimpulkan materi, menyiapkan alat peraga, lembar
observasi LKS dan alat evaluasi.
Dari temuan dan refleksi dapat di identifikasi pada siklus 1 pembelajaran belum optimal karena
Motivasi belajar dan hasil siswa masih rendah, Guru dalam menggunakan alat peraga belum
optimal, Guru kurang memberi kesempatan bertanya pada siswa. Dari temuan di atas peneliti
berusaha memperbaiki pembelajaran dengan merancang dan menentukan fokus tindakan
berikutnya.
Langkah selanjutnya dilaksanakan dalam pembelajaran siklus 2 yaitu dengan memunculkan
motivasi belajar yang ada pada diri siswa memulai pembelajaran dengan memberikan orientasi
pada tujuan siswa tentang konsep yang akan dipelajari, mengaitkan pembelajaran dengan
kebutuhan siswa, mengoptimalkan alat peraga dan guru berusaha mengaktifkan siswa dalam
kegiatan pembelajaran.
Setelah di identifikasi ternyata pembelajaran pada siklus 2 mengalami peningkatan, namun Kolb
(1984.Suciwati,2004:4,14) menyatakan bahwa Pengetahuan diperoleh secara terus menerus dan
diuji melalui pengalaman peserta didik. Maka demikian belajar merupakan proses
berkesinambungan dan membawa implikasi yang berkesinambungan pula. Jadi keberhasilan proses
belajar mengajar harus ditindak lanjuti agar memperoleh inovasi pembelajaran yang akan
menambah inovasi belajar siswa.
328

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.

Kesimpulan, Saran dan Tindak Lanjut

3.1 Kesimpulan
Pemecahan masalah pembelajaran dilaksanakan dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
terhadap siswa kelas IV SDN Malangbong 01 Kecamatan Malangbong Kabupaten garut dalam
bentuk proses berdaur (Siklus).
Pada pelajaran matematika pembelajaran dengan menggunakan alat peraga sederhana ternyata
terbukti hasilnya ada peningkatan. Hasil penelitian pada pembelajaran matematika dapat
disimpulkan :
a. Perencanaan pembelajaran merupakan langkah awal dalam pembelajaran tentang materi jaringjaring kubus dan balok dengan menggunakan alat peraga
b. Dalam proses pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan alat peraga berjalan dengan
baik bahkan dapat meningkatkan pemahaman siswa
c. Hasil yang dicapai dalam pembelajaran matematika ini ada peningkatan dari siklus 1 sampai
siklus 2
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dengan
menggunakan alat peraga sederhana tentang materi jaring-jaring kubus dan balok dapat
meningkatkan pemahaman siswa kelas IV SDN Malangbong 01 Kecamatan Malangbong
Kabupaten Garut.
3.2 Saran dan Tindak Lanjut
Pembelajaran dengan menggunakan alat peraga sederhana pada pembelajaran matematika
hendaknya lebih ditingkatkan lagi. Dengan menggunakan alat peraga siswa lebih aktif dalam
mengikuti pembelajaran.
Untuk lebih meningkatkan lagi kemampuan siswa pada materi tentang jaring-jaring kubus dan
balok pada pemebelajaran matematika yaitu :
a. Dalam perencanaan pembelajaran pada materi tersebut di atas dengan meggunakan alat peraga
sederhana guna memperoleh hasil yang baik, maka rencana pembelajaran dan alat peraga
benar-benar dipersiapkan
b. Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan alat peraga harus ses uai dengan teori
c. Untuk lebih meningkatkan lagi guru dan siswa harus bersama-sama aktif dalam pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Burhan mustaqim, Ary Astuty (1998). Ayo Belajar Matematika untuk SD Kelas IV. Pusat
Perbukuan, Depdiknas
Departemen Pendidikan dan kebudayaan (1993). Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta: Depdikbud
Departemen Pendidikan Nasional (2003). Pelayanan Profesional Kurikulum 2004 : pembelajaran
yang efektif. Jakarta: Badan Peneliti dan Pengembangan Pusat Kurikulum Dediknas.
Depdiknas. (2004). Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kelas IV Sekolah Dasar
dan Madrasah Ibtidaiyah.
Gatot Muhsetyo (2007). Pembelajaran Matematika SD: Universitas Terbuka
Karim A, Muchtar, dkk (2007). Pendidikan Matematika 2: Jakarta Universitas Terbuka
Mastur. Dkk (2007). Ilmu Pengetahuan Sosial Untuk SD/MI Kelas IV. Semarang Aneka Ilmu
Ruseffendi, E.T. (1997). Pengajaran Matematika Modern untuk Orang Tua Murid, Guru dan SPG.
Bandung: Tarsito
Suciati, dkk (2004) Belajar dan Pembelajaran 2, Jakarta: Universitas Terbuka.
Sudjana, Nana (2004) Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Al Gresindo

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

329

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Suradisastra, D. (1992). Pendidikan IPS 3. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek
Pembinaan Tenaga Kependidikan
Tim FKIP (2007). Pemantapan Profesional, Jakarta: Universitas Terbuka
Permendiknas no.22 tahun 2006 tentang untuk Pendidikan Dasar dan Menengah (2008) Jakarta
Depdiknas
Wardari, I.G.A.K Et.al (2004). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka

330

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK


MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK
Wawan Setiawan
SMP YP Mustika Padalarang Kabupaten Bandung Barat
w.setiawan1969@gmail.com

ABSTRAK
Artikel ini membahas pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir komunikasi
dan pemecahan masalah matematik peserta didik melalui pendekatan kontekstual. Uraian pada
artikel ini meliputi (1) komunikasi matematik, pemecahan masalah matematik, dan pendekatan
kontekstual, dan (2)
bagaimana cara menerapkan pendekatan kontekstual dalam
mengembangkan kemampuan berpikir komunikasi dan pemecahan masalah matematik
tersebut.
Kata Kunci: komunikasi matematik, pemecahan masalah matematik, pendekatan kontekstual

1.

Pendahuluan

Dalam hidup ini, komunikasi sangatlah penting dan diperlukan oleh semua orang sebagai sarana
untuk menyampaikan pesan dari pembawa pesan ke penerima pesan. Komunikasi berfungsi sebagai
media untuk memberitahu, menyampaikan pendapat, atau prilaku baik langsung maupun tidak
langsung. Dalam berkomunikasi kita harus berpikir bagaimana caranya agar pesan yang kita
sampaikan itu dapat diterima dan dipahami si penerima pesan.
Dalam pembelajaran matematika standar komunikasi menitik beratkan pada pentingnya dapat
berbicara, menulis, menggambarkan, dan menjelaskan konsep-konsep matematika. Dengan
menggunakan bahasa matematis, siswa diharapkan bisa aktif di kelas untuk menyampaikan ide-ide,
gagasan, maupun pendapat.
Pada zaman sekarang, matematika sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara kita
tahu, bahwa di negara kita pada umumnya pengetahuan siswa tentang matematika sangat rendah.
Bahkan paling rendah bila dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang ilmu yang
lainnya. Para siswa menganggap bahwa matematika itu pelajaran yang sulit bahkan paling sulit.
Mereka menganggap bahwa matematika itu pelajaran yang penuh dengan hitungan dan
membosankan. Mereka banyak yang antipati bahkan cenderung menghindari pelajaran matematika.
Mereka malas belajar jika sudah bertemu dengan pelajaran matematika. Hal ini terbukti dengan
rendahnya nilai ujian nasional matematika yang diperoleh siswa di Indonesia.
Sebenarnya anggapan-anggapan siswa seperti di atas tadi terhadap matematika terjadi karena salah
komunikasi antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Matematika adalah ilmu
yang penuh dengan simbol-simbol yang abstrak dan sulit dikomunikasikan. Oleh karena itu, bahasa
komunikasi matematis sangatlah diperlukan di dalam proses pembelajaran di kelas agar siswa bisa
menerima konsep-konsep maupun strategi penyelesaian masalah matematika yang disampaikan
guru di dalam kelas.
Pemecahan masalah bisa dilaksanakan bila komunikasi matematiknya sudah lancar. Pemecahan
masalah sangat diperlukan siswa sebagai bekal hidupnya nanti jika sudah terjun ke masyarakat. Hal
ini senada dengan pendapat Manalu (Juhadi,2013), yang mengatakan bahwa pemecahan masalah
terutama yang bersifat matematika dapat menolong seseorang untuk meningkatkan daya analitis
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

331

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

dan dapat membantu mereka untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan pada berbagai


situasi yang lain. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Gagne (Juhadi, 2013) bahwa
pemecahan masalah merupakan tipe belajar paling tinggi yang dapat membantu dan
mengembangkan keterampilan intelektual tingkat tinggi.
Kemampuan pemecahan masalah sangatlah penting dan diperlukan siswa di masyarakat. Tetapi
kenyataan sangatlah bertolak belakang dengan yang diharapkan. Di lapangan, kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa di Indonesia masih rendah. Bahkan sebuah penelitian yang
dilakukan terhadap mahasiswa-mahasiswa PGSD pun mengatakan hal yang sama. Berdasarkan
hasil penelitian Wakiman (1995: 28) terhadap mahasiswa D-II Penyetaraan Tatap Muka FIP IKIP
Yogyakarta menunjukkan bahwa pemahaman terhadap soal-soal pemecahan masalah matematika
dalam bentuk cerita masih rendah.
Salah satu solusi untuk meningkatkan kemampuan komunikasi, dan pemecahan masalah
matematis, kita bisa melakukan pembelajaran di kelas dengan menggunakan pendekatan
pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual adalah sebuah pembelajaran yang terfokus
dalam melibatkan siswa aktif memperoleh informasi yang dilaksanakan dengan mengenalkan
mereka pada lingkungan serta terlibat secara langsung dalam proses pembelajarannya. Jadi dalam
pembelajaran ini guru lebih aktif memberikan strategi pembelajaran daripada informasi
pembelajaran.
Uraian di atas sesuai dengan pendapat Ahmadi, dkk (2011), yang menyatakan bahwa pembelajaran
kontekstual merupakan metode belajar yang membantu semua guru mempraktikkan dan
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi yang ada di lingkungan siswa dan
menuntut siswa membuat hubungan beberapa pengetahuan yang pernah dialami siswa dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pendekatan
kontekstual meruapkan konsep belajar yang memudahkan guru mengaitkan materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

2.

Komunikasi Matematik

Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menyampaikan suatu pesan dari
pembawa pesan ke penerima pesan untuk memberitahu, pendapat, atau perilaku baik langsung
secara lisan, maupun tak langsung melalui media. Di dalam berkomunikasi tersebut harus
dipikirkan bagaimana caranya agar pesan yang disampaikan seseorang itu dapat dipahami oleh
orang lain. Untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, orang dapat menyampaikan
dengan berbagai bahasa termasuk bahasa matematis.
Menurut Wahyudin (Sobandi, 2013 : 11) komunikasi adalah bagian esensial dari matematika dan
pendidikan matematika. Kemampuan komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu
kemampuan siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog atau
saling hubungan yang terjadi di lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan. Pesan yang
dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari siswa, misalnya berupa konsep, rumus,
atau strategi penyelesaian suatu masalah. Pihak yang terlibat dalam peristiwa komunikasi di dalam
kelas adalah guru dan siswa. Cara pengalihan pesannya dapat secara lisan maupun tertulis.
Sedangkan menurut Asikin (Sobandi, 2013 : 11) komunikasi matematika dapat diartikan sebagai
suatu peristiwa saling hubungan/dialog yang terjadi dalam suatu lingkungan kelas, dimana terjadi
pengalihan pesan dari guru kepada siswa. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika
yang dipelajari di kelas.
Collins, dkk (Abadi, 2002:493) mengatakan salah satu tujuan pembelajaran matematika yang
ingin dicapai adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para siswa untuk
mengembangkan keterampilan berkomunikasi melalui modeling, speaking, writing, talking and
332

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

drawing serta mempresentasikan apa yang dipelajari. Sehingga untuk mensuport pembelajaran
agar efektif, guru harus membangun komunitas kelas yang kondusif sehingga para siswa bebas
untuk mengekspresikan pemikirannya seperti mengungkapkan ide, menciptakan model serta
mengatur dan mengabungkan pemikiran matematis mereka lewat komunikasi.
Di dalam proses pembelajaran matematika di kelas, komunikasi gagasan matematika bisa
berlangsung antara guru dengan siswa, antara buku dengan siswa, dan antara siswa dengan siswa.
Komunikasi matematik bisa mendukung belajar siswa atas konsep konsep matematis yang baru
saat mereka berperan dalam suatu situasi, mengambil, menggunakan obyek-obyek, memberikan
laporan dan penjelasan-penjelasan lisan, menggunakan diagram, menulis, serta mengunakan
simbol-simbol matematis. Satu keuntungan sampingannya yaitu komunikasi mengingatkan para
siswa bahwa mereka berbagi tanggung jawab dengan guru untuk belajar yang berlangsung selama
pelajaran di kelas (Silver, Kilpatrick, dan Schlesinger dalam Abadi, 2011).
Sedangkan indikator kemampuan siswa dalam komunikasi matematis pada pembelajaran
matematika menurut NCTM (Herdiana, 2010) dapat dilihat dari : (1) Kemampuan
mengekspresikan ide-ide matematika melalui lisan, tertulis, dan mendemonstrasikannya serta
menggambarkannya secara visual; (2) Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan
mengevaluasi ide-ide matematika baik secara lisan maupun dalam bentuk visual lainnya; (3)
Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya
untuk menyajikan ide, menggambarkan hubungan-hubungan dan model-model situasi.
Within (Herdiana, 2010) menyatakan kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi
antar siswa dilakukan, dimana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan,
menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerjasama sehingga dapat membawa siswa pada
pemahaman yang mendalam tentang matematika. Anak-anak yang diberikan kesempatan untuk
bekerja dalam kelompok dalam mengumpulkan dan menyajikan data, mereka menunjukkan
kemajuan baik di saat mereka saling mendengarkan ide yang satu dan yang lain, mendiskusikannya
bersama kemudian menyusun kesimpulan yang menjadi pendapat kelompoknya. Ternyata mereka
belajar sebagian besar dari berkomunikasi dan mengkontruksi sendiri pengetahuan mereka.

3.

Pemecahan Masalah Matematik

Kemampuan pemecahan masalah adalah suatu tindakan atau kegiatan untuk menyelesaikan suatu
masalah. Dengan kata lain kemampuan pemecahan masalah matematika adalah proses yang
menggunakan kekuatan dan manfaat matematika dalam menyelesaikan masalah, yang juga
merupakan metode penemuan solusi melalui tahap-tahap pemecahan masalah. Pemecahan masalah
juga bisa disebut sebagai cara untuk mencari jalan keluar dari suatu kesulitan. Uraian tersebut
selaras dengan pendapat Polya (Juhadi, 2013), pemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari
jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu mudah dicapai.
Suatu masalah muncul jika ada kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan, antara
apa yang dimiliki dengan apa yang dibutuhkan, antara apa yang telah diketahui yang berhubungan
dengan masalah tertentu dengan apa yang ingin diketahui. Kesenjangan itu perlu segera diatasi.
Proses mengenai bagaimana mengatasi kesenjangan ini disebut sebagai proses memecahkan
masalah.
Masalah dalam pembelajaran matematika merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon.
Namun tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi
masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat
dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui si pelaku.
Implikasi dari definisi diatas, termuatnya tantangan serta belum diketahuinya prosedur rutin pada
suatu pertanyaan yang akan diberikan kepada siswa akan menentukan terkategorikan tidaknya
suatu pertanyaan menjadi masalah atau hanyalah suatu pertanyaan biasa. Karenanya dapat terjadi
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

333

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

bahwa suatu pertanyaan masalah bagi seorang siswa, akan menjadi pertanyaan biasa bagi siswa
lainnya karena ia sudah mengetahui prosedur untuk menyelesaikannya.
Pemecahan masalah sebagai salah satu aspek kemampuan berpikir tingkat tinggi. Pemecahan
masalah bisa dilaksanakan bila komunikasi matematiknya sudah lancar. Pemecahan masalah sangat
diperlukan siswa sebagai bekal hidupnya nanti jika sudah terjun ke masyarakat. Hal ini senada
dengan pendapat Manalu (Juhadi 2013: 1), yang mengatakan bahwa pemecahan masalah terutama
yang bersifat matematika dapat menolong seseorang untuk meningkatkan daya analitis dan dapat
membantu mereka untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan pada berbagai situasi yang
lain. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Gagne (Juhadi 2013: 1) bahwa pemecahan masalah
merupakan tipe belajar paling tinggi yang dapat membantu dan mengembangkan keterampilan
intelektual tingkat tinggi.
Berbicara tentang pemecahan masalah dalam bidang matematika Ruseffendi (Juhadi, 2013 : 7)
mengemukakan bahwa masalah dalam matematika, adalah suatu persoalan yang ia sendiri mampu
menyelesaikannya tanpa menggunakan cara atau algoritma yang rutin. Suatu masalah dapat
dikatakan masalah bagi seorang siswa jika 1) siswa belum mempunyai prosedur atau algoritma
tertentu untuk menyelesaikannya; 2) siswa mampu menyelesaikannya; dan 3) siswa memiliki niat
menyelesaikannya.
Sedangkan menurut Polya dan Ruseffendi (Juhadi, 2013 :8), suatu persoalan atau soal matematika
akan menjadi masalah bagi seorang siswa apabila:
1. Mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan, bila ditinjau dari segi kematangan mental dan
ilmunya;
2. Belum mempunyai algoritma atau pendapat juga prosedur untuk menyelesaikannya dan
berlainan yang sembarang letaknya;
3. Berkeinginan untuk menyelesaikannya.
Terdapat banyak interpretasi tentang pemecahan masalah matematis dalam matematika,
diantaranya Polya (Verawati, 2009 : 13) mengemukakan ada empat aspek atau langkah yang dapat
ditempuh dalam pemecahan masalah matematis, yaitu: (1) memahami masalah; (2) membuat
rencana; (3) melakukan perhitungan; (4) memeriksa kembali hasil yang diperoleh.
Selaras dengan pendapat Polya, Farida (Afifah, 2010 : 17) mengemukakan indikator yang
digunakan dalam pemecahan masalah matematis, anatara lain:
a. Mengidentifikasi unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang
diperlukan;
b. Merumuskan masalah matematika (menyusun model matematika);
c. Menerapkan strategi penyelesaian berbagai masalah (baik yang sejenis maupun masalah baru)
di dalam atau di luar matematis;
d. Menjalankan atau menginterpretasikan hasil sesuai dengan permasalahan asal;
e. Menggunakan matematika secara bermakna
Kemampuan pemecahan masalah sangatlah penting dan diperlukan siswa di masyarakat. Tetapi
kenyataan sangatlah bertolak belakang dengan yang diharapkan. Di lapangan, kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa di Indonesia masih rendah. Bahkan sebuah penelitian yang
dilakukan terhadap mahasiswa-mahasiswa PGSD pun mengatakan hal yang sama. Berdasarkan
hasil penelitian Wakiman (1995: 28) terhadap mahasiswa D-II Penyetaraan Tatap Muka FIP IKIP
Yogyakarta menunjukkan bahwa pemahaman terhadap soal-soal pemecahan masalah matematika
dalam bentuk cerita masih rendah. Endang Retno Winarti (1998:3) yang meneliti jenis-jenis
kesalahan mahasiswa PGSD dalam menyelesaikan soal matematika menemukan bahwa kesalahan
yang terbesar adalah dalam mengerjakan soal-soal pemecahan masalah matematika yang berbentuk
uraian; khususnya pada soal-soal penerapan.

334

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Oleh karena itu maka kita sebagai guru matematik, harus berusaha meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematik dengan berbagai cara supaya penguasaan siswa terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematiknya bisa meningkat.

4.

Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual adalah sebuah pembelajaran yang terfokus dalam melibatkan siswa aktif
memperoleh informasi yang dilaksanakan dengan mengenalkan mereka pada lingkungan serta
terlibat secara langsung dalam proses pembelajarannya. Jadi dalam pembelajaran ini guru lebih
aktif memberikan strategi pembelajaran daripada informasi pembelajaran.
Menurut Ahmadi (2011) pendekatan kontekstual merupakan metode belajar yang membantu semua
guru mempraktikkan dan mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi yang ada di
lingkungan siswa dan menuntut siswa membuat hubungan beberapa pengetahuan yang pernah
dialami siswa dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Dengan pembelajaran seperti itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi
siswa.
Dalam pendekatan kontekstual, pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan karena
siswa mengalami bagaimana bekerja dan mengalami secara langsung bukan mentransfer
pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil.
Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang memudahkan guru mengaitkan antara
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Konteks dalam pengertian pembelajaran kontekstual mempunyai makna lebih dari sekedar
keterkaitan lingkungan fisik tertentu pada waktu tertentu. Proses belajarnya berlangsung alamiah
dalam bentuk siswa bekerja dan mengalami, tidak hanya mentransfer atau mengkopi dari guru.
Dalam pendekatan kontekstual kita dapat membuat variasi dalam pembelajaran dan hasil belajar
yang diharapkan dapat dicapai secara optimal.
Ahmadi, dkk (2011 : 80) menyatakan bahwa hakikat pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning) sebagai konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya secara teoritis dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari, dengan cara melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif,, yakni
kontruktivisme (constuctivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar
(learning community), permodelan (modeling), refleksi (reflection), penilaian sebenarnya
(authentic assessment).
Ada beberapa perbedaan antara pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran tradisional. Ciriciri pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut:
a. Menyandarkan pada pemahaman makna
b. Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa
c. Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran
d. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan.
Langkah-langkah melaksanakan pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut:
a. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik
b. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan jalan bertanya
c. Ciptakan komunitas belajar
d. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
e. Lakukan refleksi di akhir pertemuan
f. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

335

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Pendekatan kontekstual memiliki 7 (tujuh) komponen pokok, yaitu :


a. Kontruktivisme (pembentukan karakter dan pengetahuan)
b. Inkuiri (penemuan sendiri)
c. Questioning (bertanya)
d. Learning community (masyarakat belajar)
e. Pemodelan
f. Refleksi
g. Authentic assessment (penilaian yang sebenarnya)
Selain itu, pendekatan kontekstual juga memiliki kelebihan dan kekurangan yaitu sebagai berikut :
Kelebihan
Dalam pendekatan kontekstual siswa akan lebih percaya diri dalam mengungkapkan apa yang
mereka lihat dan apa yang mereka alami dalam kehidupan nyata, dan membuat mereka siap
menghadapi masalah-masalah yang biasa muncul dalam kehidupan sehari-hari. Serta lebih
menyenangkan karena siswa tidak jenuh dengan pembelajaran yang monoton di dalam kelas.
Selain itu dengan pembelajaran dengan konteks alam membuat siswa akan lebih mencintai
lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan yang ada di sekitarnya dan lebih peka terhadap
alam. Di lain pihak guru lebih berperan dalam menentukan tema pembelajaran yang akan
dilangsungkan.
Kekurangan
Terdapat beberapa kekurangan dalam pendekatan kontekstual salah satunya ialah waktu yang
digunakan kurang efisien karena membutuhkan waktu yang cukup untuk mengaitkan tema dengan
materi. Dan bila diterapkan pada kelas kecil seperti siswa kelas 1 dan 2. Guru kesulitan dalam
menciptakan kelas yang kondusif. Menurut kami pada siswa kelas awal jika diajak pembelajaran di
luar kelas siswa akan sulit diatur, dan membutuhkan pengawasan ekstra karena pada umumnya
siswa memiliki keingintahuan yang sangat besar.

5.

Penerapan Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematik

Sesuai dengan karakter pendekatan kontekstual, maka dalam kegiatan pembelajaran ini, siswa
diajak untuk turun ke lapangan baik langsung maupun tidak langsung melalui media untuk
mengamati peristiwa-peristiwa yang bisa dijadikan bahan pembelajaran. Misalnya, bila
memungkinkan siswa diajak ke warung untuk mengetahui secara real harga-harga barang di
warung tersebut yang nantinya bisa dijadikan bahan pembelajaran. Tetapi bila tidak mungkin
langsung dibawa ke warung tersebut, siswa bisa saja diajak untuk menonton video dan disuruh
mengamati tayangan video tersebut.
Dalam masalah ini siswa diajak untuk belajar menggunakan kemampuan komunikasi matematik
dan pemecahan masalah melalui pendekatan kontekstual. Karena itu soal-soal matematika yang
diberikan harus berdasarkan hasil pengamatan nyata baik langsung maupun tidak langsung di
lapangan.
Untuk kemampuan komunikasi matematik, ada beberapa indikator yang bisa dikembangkan,
diantaranya :
1) Menyatakan suatu situasi atau masalah matematik atau kehidupan sehari-hari ke dalam bentuk
model matematik.
Misalnya :
Banyaknya siswa kelas 9A suatu SMP di Cimahi ada 40 orang. Sebanyak 15 orang siswa
senang bermain musik, 20 orang siswa senang menari, 10 orang senang bermain musik dan
menari. Berapa banyak siswa yang tidak suka bermain musik atau menari? Pilihlah model
matematik untuk melukiskan masalah tersebut! Mengapa dipilih model itu?

336

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2) Membuat model matematika dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya.
Misalnya :
Kolam ikan Pa Budi berbentuk persegi panjang. Keliling kolam ikan tersebut 80 meter dan
panjang kolam ikan tersebut 10 meter lebih panjang dari lebarnya.
a. Susunlah model matematika dari persoalan di atas, dan tentukan ukuran panjang dan lebar
kolam ikan tersebut.
b. Jika kolam ikan tersebut dijual dengan harga Rp. 120.000,00 per meter persegi, berapakah
harga jual kolam tersebut?
3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.
Misalnya :
Diketahui SPLDV berikut :
3x + y = 26
2x + 2y = 28
Buatlah suatu cerita masalah sehari-hari yang sesuai dengan SPLDV tersebut, kemudian
selesaikan soal tersebut!
4) Menjelaskan dan membuat pertanyaan matematika yang telah dipelajari.
Misalnya :
Seorang pedagang menjual dua jenis ikan, yaitu ikan mas dan ikan gurame. Jika 3 kg ikan mas
dan 2 kg ikan gurame dijual, maka pedagang memperoleh uang Rp. 126.000,00. Sedangkan bila
menjual 2 kg ikan mas dan 3 kg ikan gurame, maka pedagang memperoleh uang sebesar Rp.
134.000,00.
a. Susunlah model matematika dari peristiwa di atas!
b. Kemukakan sebuah pertanyaan terkait cerita di atas, kemudian selesaikan jawabanmu!
Sedangkan untuk kemampuan pemecahan masalah matematik, ada beberapa indikator yang bisa
dikembangkan, diantaranya :
1) Mengidentifikasi unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang
diperlukan.
Misalnya :
Dalam suatu kandang terdapat 50 ekor ayam, 27 ekor jantan, dan 18 diantaranya berwarna
hitam. Yang berwarna hitam seluruhnya 35 ekor. Berapa ekorkah ayam betina yang tidak
berwarna hitam ?
2) Merumuskan masalah matematika (menyusun model matematika).
Misalnya :
Pada sebuah tempat parkir terdapat 84 kendaraan yang terdiri atas sepeda motor dan mobil.
Setelah dihitung jumlah roda seluruhnya ada 220 buah, maka :
a. Susunlah model matematika dari permasalahan di atas.
b. Jika tarip parkir untuk sepeda motor Rp 1.000 dan untuk mobil Rp 2.000, tentukan jumlah
uang parkir yang dapat dikumpulkan pada hari itu !
3) Menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematis.
Misalnya :
Ani dan Budi mempunyai uang masing-masing Rp 35.000,00. Mereka berdua pergi ke pasar
untuk membeli buah-buahan. Ani membeli 2 kg jeruk dan 3 kg salak, sedangkan Budi membeli
3 kg jeruk dan 1 kg salak. Setelah buah-buahan hasil belanjaan mereka masing-masing dibayar,
ternyata uang mereka habis seluruhnya. Bagaimana cara mereka mengetahui harga tiap kg buahbuahan yang mereka beli ? Jelaskan pendapatmu!
4) Menggunakan matematik secara bermakna.
Misalnya :
Selisih umur seorang ayah dan anak perempuannya adalah 26 tahun, sedangkan lima tahun yang
lalu jumlah umur keduanya 34 tahun. Hitunglah umur ayah dan anak perempuannya dua tahun
yang akan datang.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

337

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

6.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan penelaahan terhadap sumber rujukan, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
a. Komunikasi matematik adalah kemampuan siswa dalam mengekspresikan ide-ide matematik
secara lisan, tulisan, dan mendemontrasikannya serta menggambarkannya secara visual.
b. Kemampuan komunikasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan
kontekstual diharapkan lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.
c. Pemecahan masalah matematik adalah kemampuan siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur
yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan untuk merumuskan
masalah matematik.
d. Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh pembelajaran melalui
pendekatan kontekstual diharapkan lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
biasa.
e. Pendekatan kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan
materi yang akan diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yaitu
kontruktivisme, penemuan sendiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan
penilaian sebenarnya.
f. Pendekatan kontekstual memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah siswa
memiliki rasa percaya diri dalam mengungkapkan pendapat dan lebih siap dalam menghadapi
masalah-masalah di dunia luar, proses belajar mengajar terasa lebih menyenangkan dan tidak
menjenuhkan. Sedangkan kekurangannya memerlukan waktu yang cukup lama dan di kelas
kecil, guru kesulitan menciptakan kelas yang kondusif.

DAFTAR PUSTAKA
Abadi, N. (2011) Kemampuan Komunikasi Matematika. [Online]. Tersedia :
http://noviansangpendiam.blogspot.com/2011/04/kemampuan-komunikasi:
matematika.html.(diakses 15 April 2014).
Afifah, L.N. (2010). Model Pembelajaran Osborn untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematis Siswa. Bandung : Skripsi. FPMIPA UPI. Tidak diterbitkan.
Ahmadi, IK, Amri, S, dan Elisah, T. (2011). Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu. Jakarta :
Prestasi Pustakaraya.
Herdiana.
(2010).
Kemampuan
Komunikasi
Matematika.
[Online].
Tersedia
:
http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-komunikasi-matematis/. [15 April
2014].
Juhadi. (2013). Pengaruh Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Bandung : Skripsi. Prodi Matematika STKIP
Siliwangi Bandung. Tidak diterbitkan.
Sobandi, B. (2013). Penerapan Metode Investigasi Kelompok untuk Meningkatkan Kemampuan
Komunikasi Matematik Siswa SMP. Bandung : Skripsi. Prodi Matematika STKIP Siliwangi
Bandung. TIdak diterbitkan.
Veragawati, (2009). Pengaruh Implementasi Strategi Working Backward terhadap Peningkatan
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP. Bandung : Skripsi. FPMIPA
UPI. Tidak diterbitkan.
Wakiman, T. (1995). Kesulitan-kesulitan memahami soal cerita matematika pada mahasiswa
PGSD D-II Penyetaraan Tatap Muka FIP IKIP Yogyakara Angkatan Tahun 1993. Laporan
Penelitian. IKIP Yogyakarta. Tidak ditertibkan.

338

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN PENDEKATAN PROBLEM BASED LEARNING


TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK
PADA MATERI PROGRAM LINEAR SISWA MADRASAH
ALIYAH
Ricky Ekaristy Purwadi
Madrasah Aliyah Al-Mutohhar, Purwakarta
ricky.purwadi@gmail.com

ABSTRAK
Kemampuan komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu kemampuan siswa dalam
menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog atau saling hubungan yang
terjadi di lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan berupa konsep, rumus, atau
strategi penyelesaian suatu masalah. kemampuan komunikasi matematika merupakan
kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk memberikan
alasan rasional terhadap suatu pernyataan, mengubah bentuk uraian ke dalam pendekatan
matematika, dan mengilustrasikan ide-ide matematika ke dalam bentuk uraian yang relevan
sehingga siswa dapat menerapkan apa yang dipelajari ke dalam kehidupan sehari-hari.
Penggunaan pendekatan yang tepat dapat meningkatkan kemampuan matematik yang
diharapkan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang cocok untuk meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah dan kemandirian belajar siswa adalah dengan menggunakan pendekatan
Problem based learning (PBL). dalam PBL siswa diharapkan untuk terlibat dalam proses
penelitian yang mengharuskannya untuk mengidentifikasi permasalahan, mengumpulkan data,
dan menggunakan data tersebut untuk pemecahan masalah. ciri-ciri pendekatan PBL yaitu
menggunakan permasalahan dalam dunia nyata, pembelajaran dipusatkan pada penyelesaian
masalah, tujuan pembelajaran ditentukan oleh siswa, dan guru berperan sebagai fasilitator.
Kata Kunci:Komunikasi Matematik, Problem Based Learning

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Proses pembelajaran matematika di kelas tidak lepas dari pemecahan masalah. Dalam proses
pemecahan masalah matematik perlu didampingi dengan mengkomunikasikan gagasan matematika
yang bisa berlangsung antara guru dengan siswa, antara buku dengan siswa, dan antara siswa
dengan siswa. Setiap kali kita mengkomunikasikan gagasan-gagasan matematika, kita harus
menyajikan gagasan tersebut dengan suatu cara tertentu. Ini merupakan hal yang sangat penting,
sebab bila tidak demikian, komunikasi tersebut tidak akan berlangsung efektif. Gagasan tersebut
harus disesuaikan dengan kemampuan orang yang kita ajak berkomunikasi. Kita harus mampu
menyesuaikan dengan sistem representasi yang mampu mereka gunakan. Tanpa itu, komunikasi
hanya akan berlangsung dari satu arah dan tidak mencapai sasaran.
Dalam mengajarkan matematika, pembelajaran di kelas hampir selalu dilaksanakan secara
konvensional. Akibatnya, siswa pada umumnya dapat melakukan berbagai perhitungan matematis,
tetapi kurang menunjukkan hasil yang menggembirakan terkait penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari khusunya kemampuan komunikasi matematis. Jika kesulitan tersebut dibiarkan, maka
tujuan pembelajaran tidak akan tercapai dengan baik. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, siswa
memerlukan bantuan, baik dalam mencerna bahan pengajaran maupun dalam mengatasi hambatanhambatan lainnya. Kurangnya kemampuan komunikasi siswa dalam belajar matematika juga dapat
dilihat dalam pembelajaran di kelas, misalnya siswa dapat mengerjakan soal matematika yang
diberikan, namun ketika ditanya bagaimana langkah-langkah untuk mendapatkan hasilnya, siswa

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

339

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

menjadi bingung dan kesulitan dalam menjelaskan. Selain itu, masih seringnya ditemukan
kesalahan siswa dalam menyatakan notasi matematika, symbol dan istilah.
Seperti yang pernah penulis alami ketika mengajarkan materi program linear, siswa mengalami
kesulitan dalam menyatakan suatu situasi kehidupan sehari-hari ke dalam bentuk model
matematika dan siswa tidak memahami serta tidak dapat menjelaskan kembali apa maksud dari
bentuk model matematika. Sering kali siswa mengalami kesulitan dalam menentukan daerah
penyelesaian dari sebuah sistem pertidaksamaan dan terkadang salah dalam menyatakan fungsi
tujuan dari sebuah situasi matematika.
Dalam hal ini penulis menyadari bahwa kemampuan komunikasi matematik siswa masih kurang.
Terdapat beberapa indikator kemampuan komunikasi matematik yang diungkapkan oleh Sumarmo
(2013:5) yang harus dicapai oleh siswa diantaranya adalah siswa dapat menyatakan suatu situasi
dalam kehidupan sehari-hari ke dalam bahasa, simbol, idea atau model matematika, siswa dapat
menjelaskan idea, situasi dan relasi matematika secara lisan atau tulisan, dan siswa dapat
mengungkapkan kembali suatu uraian matematika dalam bahasa sendiri. Indikator-indikator
kemampuan komunikasi matematik tersebut harus dicapai siswa dalam menyelesaikan masalahmasalah pada materi program linear sehingga siswa dapat memahami penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Selain dari kurangnya kemampuan komunikasi matematik siswa, pendekatan pembelajaran yang
digunakan oleh guru di kelas juga mempengaruhi ketercapaian indikator-indikator komunikasi
matematik. Memperhatikan karakteristik matematika yang rasional, yaitu memuat cara pembuktian
yang valid, rumus-rumus atau aturan yang umum atau sifat penalalaran matematika yang sistematik
memerlukan pendekatan pembelajaran yang objektif dan deduktif. Oleh karena itu, diperlukan
pendekatan pembelajaran yang dapat mendorong menjadi proses pembelajaran dengan hasil belajar
yang optimal bagi pengembangan seluruh potensi anak. Pendekatan pembelajaran yang digunakan
haruslah yang berpusat pada siswa. Pembelajaran yang berpusat pada siswa dapat memudahkan
siswa untuk memahami materi pembelajaran, akan terciptanya siswa belajar aktif. Penggunaan
pendekatan yang tepat dapat meningkatkan kemampuan matematik yang diharapkan. Salah satu
pendekatan pembelajaran yang cocok untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik
siswa adalah dengan menggunakan pendekatan Problem based learning (PBL). Baron (Rusmono,
2012:74) mengungkapkan ciri-ciri pendekatan PBL yaitu menggunakan permasalahan dalam dunia
nyata, pembelajaran dipusatkan pada penyelesaian masalah, tujuan pembelajaran ditentukan oleh
siswa, dan guru berperan sebagai fasilitator.
1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan Apakah
kemampuan komunikasi matematik siswa MA yang pembelajarannya menggunakan pendekatan
problem based learning lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya menggunakan cara
biasa?
1.3.

Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah penelitian ini bertujuan untuk menelaah atau menganalisis
kemampuan komunikasi matematik siswa MA yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan problem based learning dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya
menggunakan cara biasa.
2.

Kajian Teoritis dan Pembahasan

2.1.

Kemampuan Komunikasi Matematik

Dalam National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) laporan Cockroft menyatakan


bahwa: We believe that all these perceptions of the usefulness of mathematics arise from the fact
that mathematics provides a means of communication which is powerful, concise, and

340

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

unambiguous. Pernyataan ini menunjukkan perlunya para peserta didik belajar matematika dengan
alasan bahwa matematika merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, teliti, dan tidak
membingungkan. Disamping itu NCTM menyatakan pentingnya komunikasi dalam pembelajaran
matematika, bahwa program pembelajaran matematika sekolah harus memberi kesempatan kepada
siswa,
a. Menyusun dan mengaitkan mathematical thinking mereka melalui komunikasi.
b. Mengkomunikasikan mathematical thinking mereka secara logis dan jelas kepada
teman-temannya, guru, dan orang lain.
c. Menganalisis dan menilai mathematical thinking dan strategi yang dipakai orang lain.
d. Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara
benar.
Indikator kemampuan komunikasi matematika yang diungkapkan oleh Sumarmo (2013:5)
komunikasi matematis meliputi kemampuan siswa dalam,
a. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika;
b. Menjelaskan idea, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda
nyata, gambar, grafik dan aljabar;
c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbul matematika;
d. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika;
e. Membaca dengan pemahaman atau presentasi matematika tertulis;
f. Membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan definisi dan generalisasi;
g. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
Sedangkan indikator komunikasi matematis menurut NCTM menyatakan,
a. Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, dan
mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual;
b. Kemampuan memahami, mengiterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik
secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya;
c. Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan
struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan
dengan pendekatan-pendekatan situasi.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terdapat beberapa standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang didalamnya memberikan nuansa baru dalam pembelajaran matematika.
Tidak hanya konsep dan pemecahan saja, penalaran dan komunikasi matematika pun tidak luput
dari penilaian matematika. Adapun tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum tersebut
menyiratkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai yaitu kemampuan pemecahan masalah
(problem solving), kemampuan berargumentasi (reasionning), kemampuan berkomunikasi
(communication), kemampuan membuat koneksi (connection), dan kemampuan representasi
(representation). Dengan demikian pembelajaran matematika kini telah berpindah dari pandangan
mekanistik kepada pemecahan masalah, meningkatkan pemahaman dan kemampuan
berkomunikasi secara matematika dengan orang lain. Adapun aspek-aspek untuk mengungkap
kemampuan komunikasi matematika siswa menurut Ujang (Nugroho, 2010:19) antara lain:
a. Kemampuan memberikan alasan rasional terhadap suatu pernyataan.
b. Kemampuan mengubah bentuk uraian ke dalam pendekatan matematika.
c. Kemampuan mengilustrasikan ide-ide matematika ke dalam bentuk uraian.
Berdasarkan uraian di atas, kemampuan komunikasi matematika merupakan kemampuan yang
dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk memberikan alasan rasional terhadap
suatu pernyataan, mengubah bentuk uraian ke dalam pendekatan matematika, dan mengilustrasikan
ide-ide matematika ke dalam bentuk uraian yang relevan. Untuk mengetahui peningkatan
kemampuan komunikasi matematika dilakukan observasi pada saat pembelajaran dan pemberian
tes kemampuan komunikasi matematika secara tertulis dengan indikator sebagai berikut:
a. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematik,

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

341

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

b. Menjelaskan idea, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata,
gambar, grafik dan aljabar,
c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika,
d. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
Contoh soal kemampuan komunikasi matematik:
Indikator: Menyatakan suatu situasi kedalam bahasa, simbol, idea atau model matematika.
Seorang pedagang buah dengan menggunakan gerobak menjual jeruk dan pepaya. Pedagang
tersebut membeli jeruk dan pepaya disebuah grosir dengan harga pembelian jeruk Rp. 15.000,- tiap
kilogram, dan pepaya Rp. 5.000,- tiap kilogram. Modal yang dimiliki pedagang adalah Rp.
500.000,- dan muatan gerobak tidak dapat melebihi 400 kg. Penjual buah tersebut menjual kembali
jeruk dan pepaya masing-masing dengan harga Rp. 20.000,- tiap kilogram dan Rp. 6.000,- tiap
kilogram.
Nyatakan situasi yang dialami pedagang buah di atas ke dalam model matematika?
2.2 Problem Based Learning
Berdasarkan karakteristik dari permasalahan yang dipilih, pendekatan pembelajaran problem based
learning dapat memudahkan siswa dapat membantu meningkatkan kemampuan siswa di dalam
pembelajaran matematika di kelas. Dalam pelaksanaannya, pendekatan PBL tentunya memiliki
kelebihan dan kelemahannya menurut Lidinillah (2011) yaitu:
a. Kelebihan PBL
1) Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam situasi nyata.
2) Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui aktivitas
belajar.
3) Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada hubunganna tidak
perlu saat itu dipelajari oleh siswa. Hal ini mengurangi beban siswa dengan menghafal
atau menyimpan informasi.
4) Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok.
5) Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan baik dari perpustakaan,
internet, wawancara dan observasi.
6) Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri.
7) Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah dalam kegiatan diskusi
atau presentasi hasil pekerjaan mereka.
8) Kesulitan belajar siswa secara individual dapat diatasi melalui kerja kelompok dalam
bentuk peer teaching
b.

Kekurangan PBL
1) PBL tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru berperan aktif
dalam menyajikan materi. PBL lebih cocok untuk pembelajaran yang menuntut
kemampuan tertentu yang kaitannya dengan pemecahan masalah.
2) Dalam suatu kelas yang memiki tingkat keragaman siswa yang tinggi akan terjadi
kesulitan dalam pembagian tugas.
3) PBL kurang cocok untuk diterapkan di sekolah dasar karena masalah kemampuan bekerja
dalam kelompok. PBL sangat cocok untuk mahasiswa perguruan tinggi atau paling tidak
sekolah menengah.
4) PBL biasanya membutuhkan waktu yang tidak sedikit sehingga dikhawatirkan tidak dapat
menjangkau seluruh konten yang diharapkan walapun PBL berfokus pada masalah bukan
konten materi.
5) Membutuhkan kemampuan guru yang mampu mendorong kerja siswa dalam kelompok
secara efektif, artinya guru harus memilki kemampuan memotivasi siswa dengan baik.
6) Adakalanya sumber yang dibutuhkan tidak tersedia dengan lengkap

Barret dalam Lidinillah (2011) menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan PBL sebagai berikut:
a. Siswa diberi permasalahan oleh guru (atau permasalahan diungkap dari pengalaman siswa),

342

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

b. Siswa melakukan diskusi dalam kelompok kecil dan melakukan hal-hal berikut:
1) Mengklarifikasi kasus permasalahan yang diberikan
2) Mendefinisikan masalah
3) Melakukan tukar pikiran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki
4) Menetapkan hal-hal yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah
5) Menetapkan hal-hal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah
c. Siswa melakukan kajian secara independen berkaitan dengan masalah yang harus diselesaikan.
Mereka dapat melakukannya dengan cara mencari sumber di perpustakaan, database, internet,
sumber personal atau melakukan observasi,
d. Siswa kembali kepada kelompok PBL semula untuk melakukan tukar informasi, pembelajaran
teman sejawat, dan bekerjasaman dalam menyelesaikan masalah.
e. Siswa menyajikan solusi yang mereka temukan
f. Siswa dibantu oleh guru melakukan evaluasi berkaitan dengan seluruh kegiatan pembelajaran.
Hal ini meliputi sejauhmana pengetahuan yang sudah diperoleh oleh siswa serta bagaiman
peran masing-masing siswa dalam kelompok.

3.
3.1

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan

Kemampuan komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu kemampuan siswa dalam
menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog atau saling hubungan yang
terjadi di lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan berupa konsep, rumus, atau strategi
penyelesaian suatu masalah. Berdasarkan uraian di atas kemampuan komunikasi matematik
dianggap sangat penting bagi siswa karena pada akhirnya siswa dapat menyertakan dan memuat
berbagai kesempatan untuk memberikan alasan rasional terhadap suatu pernyataan, mengubah
bentuk uraian ke dalam pendekatan matematika, dan mengilustrasikan ide-ide matematika ke dalam
bentuk uraian yang relevan. Untuk mencapai indikator-indikator kemampuan komunikasi
matematik guru harus dapat menggunakan pendekatan pembelajaran yang tepat. Penggunaan
pendekatan problem based learning dianggap dapat membantu siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran yang diharapkan karena dapat membentuk suatu proses pemahaman isi suatu mata
pelajaran berdasarkan masalah yang relevan dengan tujuan pembelajaran, mutakhir, menarik,
berdasarkan info yang luas, terbentuk secara konsisten dengan masalah lain dan termasuk dalam
dimensi kemanusiaan.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan mengenai kemampuan komunikasi matematik dan pendekatan problem
based learning, maka penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
d. Pendekatan problem based learning berpeluang dapat meningkatkan kemampuan memecahkan
masalah dalam situasi nyata, memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah, dan
menjadikan siswa belajar aktif.
e. Dapat dijadikan solusi alternatif untuk meningkatkan kemampuan matematik dan merupakan
bahan informasi lanjutan bagi peneliti lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan untuk
pengembangan dalam inovasi proses belajar dan usaha-usaha perbaikan proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Lidinillah, DAM. (2011). Pembelajaran Berbasis Masalah. [Online]. Tersedia:
http://file.upi.edu/Direktori/KD_TASIKMALAYA/DINDIN_ABDULMUIZ_LIDINILLA
H_(KD-TASIKMALAYA)197901132005011003/
132313548%20
20dindin%20abdul%20muiz %20lidinillah/ Problem%20Based%20Learning. pdf [2 Juli
2014]
National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Prinsiples and Standards
forSchoolMathematics. Reston: NCTM

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

343

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Nugroho, P.A. (2010). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan


Matematika Siswa SMP Melalui Model Pembelajaran Kooperatif
Write (TTW). Skripsi pada FKIP. UNY : Tidak diterbutkan
Rusmono (2012). Strategi Pembelajaran dengan Problem Based Learning itu
Ghalia Indonesia.
Sumarmo, U. (2013). Berpikir dan Disposisi Matematik Serta Pembelajarannya.
Makalah. UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

344

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Masalah
Tipe Think-TalkPerlu.

Jakarta:

Kumpulan

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN


KOMUNIKASI SERTA DISPOSISI MATEMATIK SISWA
SMA MENGGUNAKAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN
PROBING PROMPTING
Suharsono
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

nayafiqisono@yahoo.co.id

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah masalah pecapaian dan peningkatan kemampuan
pemahaman dan komunikasi serta disposisi matematik siswa SMA antara yang menggunakan
pendekatan pembelajaran probing prompting dengan pembelajaran konvensional. Penilitian ini
merupakan penilitian kuasi eksperimen dengan desain tes pretest dan posttest. Pengambilan
sampel dalam penelitian in menggunakan Simple Random Sampling karena anggota sampel
dipilih secara acak kelas yaitu terdiri siswa kelas XII IPA2 sebanyak 33 orang dan siswa kelas
XII IPA 3 sebanyak 33 orang. Metode pengumpulan data adalah tes dan non tes.. intrumen tes
mencakup tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik sedangkan non tes
mencakup tes skala sikap. Data dikumpulakan kemudian dianalisis dengan menggunakan
analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial (uji-t). Berdasarkan hasil analisis data, Ratarata hasil belajar kemampuan pemahaman matematik siswa keas eksperimen adalah 4,484
tergolong kriteria sedang, dan rata-rata hasil belajar siswa kelas kontrol dengan adalah 3,030
tergolong kriteria rendah. Rata rata hasil belajar komunikasi matematik siswa kelas
eksperimen adalah 8,424 tergolong kriteria tinggi dan rata-rata hasli belajar siswa kelas kontrol
adalah 6,667 tergolong kriteria sedang.. disposisi matematik siswa kelas eksperimen tidak lebih
baik dibandingkan dengan siswa kelas kontrol. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar siswa antara yang belajar dengan pendekatan
pembelajaran probing-prompting dan siswa yang belajar dengan pmbelajaran konvensional.
Perbedaan yang signifikan ini membuktikan bahwa penggunaan pendekatan pembelajaran
probing-prompting lebih baik terhadap hasil belajar siswa dibandingkan dengan

pembelajaran konvensional.
Kata Kunci:Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik, Disposisi Matematik, Probing
Prompting

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Pembelajaran Matematika yang pada umumnya diterapkan oleh para guru adalah konvensional
dengan menggunakan pembelajaran ekspositori. Kenyataan di lapangan peserta didik hanya
menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep matematika jika menemui masalah
dalam kehidupan nyata yang berhubungan dengan konsep yang dimiliki (Trianto, 2007). Fakta
pembelajaran matematika menggunakan pembelajaran ekspositori dapat memunculkan persepsi
peserta didik yang selalumengidentikkan matematika dengan rumus.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbsis kompentensi sehingga pengembangannya diarahkan
pada pencapaian kompentensi yang dirumuskan dari standar kompentensi lulusan (SKL). Berkaitan
dengan pemberlakuan kurikulum 2013 saat ini khususnya dalam pelajaran matematika maka
diharapkan peserta didik memiliki kemampuan kompentensi inti yaitu bidang sikap, pengetahuan
dan keterampilan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

345

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Kemampuan pemahaman, kemampuan komunikasi, dan disposisi matematik merupakan


kemampuan yang esensial untuk dikembangkan pada siswa sekolah menengah. Pentingnya
pemilikan kedua kemampuan matematik dan disposisi matematik di atas termuat dalam
tujuan Kurikulum 2013 yaitu siswa memiliki kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik
memiliki sikap memahami dan menerapkan serta minat dalam memecahkan masalah.
Komunikasi matematik berperan untuk memahami ide-ide matematik secara benar. Siswa yang
memiliki kemampuan komunikasi matematik yang baik, cenderung dapat membuat berbagai
representasi yang beragam, sehingga lebih memudahkan siswa dalam mendapatkan alternatifalternatif penyelesaian berbagai permasalahan matematik.
Disisi lain pembelajaran matematika mempunyai peran arti yang lebih luas yaitu mengembangkan
kemampuan bernalar, berfikir sistematik, kritis dan cermat, menumbuhkan rasa percaya diri dan
rasa keindahan terhadap keteraturan sifat matematika , dan megembangkan sikap obyektif dan
terbuka yang diperlukan dalam menghadapi masa depan yang selalu berubah. Sikap dan kebiasaan
befikir seperti tersebut secara akumulatif menumbuhkan disposisi matematik ( Mathemathical
Disposition ) yaitu keinginan, kesadaran dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar
matematika dan melaksanakan berbagai kegiatan matematik (Sumarmo, 2013:76-77).
Salah satu pendekatan mengajar yang dinilai akomodatif dapat meningkatkan aktifitas
berpikir siswa adalah pendekatan pembelajaran Probing Prompting . Sebagaimana
dijelaskan Suherman (2008: 6) bahwa pendekatan pembelajaran Probing Prompting adalah
pendekatan pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang
sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan
pengetahuan tiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru yang sedang
dipelajari. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pada siswa akan membuat siswa berpikir
lebih rasional tentang pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya, dan mengaitkan
pertanyaan-pertanyaan yang datang sehingga timbul pengetahuan baru. Pada saat itu
berarti siswa telah dilatih untuk melakukan pemahaman dan komunikasi matematik serta disposisi
matematik.
Berdasarkan uraian masalah yang telah dijelaskan sebelumnya maka permasalahan dalam
penelitian ini menelaah apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan pemahaman,
komunikasi dan disposisi matematik siswa yang pembelajarannya mengggunakan pendekatan
pembelajaran probing prompting lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran
konvensional. Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah masalah pencapaian dan
peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi serta disosisi matematik siswa yang
pembelajarannya mengggunakan pendekatan pembelajaran probing prompting dibandingkan
dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional. Penelitian ini diharapakan dapat
bermanfaat untuk semua pihak dengan dunia pendidikan, diantaranya adalah manfaat bagi
siswa, guru, sekolah dan peneliti
Probing Prompting adalah pendekatan pembelajaran dimana guru menyajikan serangkaian
pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang
mengaitkan pengetahuan tiap siswa dan pengalamannya dengan pengetahuan baru
yang sedang dipelajari. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut (1). Guru menghadapkan
siswa pada situasi baru yang mengandung permasalahan. (2). Menunggu beberapa saat untuk
memberikan kesempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban atau melakukan diskusi kecil
dalam merumuskannya. (3). Guru mengajukan persoalan kepada siswa yang sesuai indikator
kepada seluruh siswa. (4). Menunggu beberapa saat untuk memberikan kesempatan kepada siswa
untuk merumuskan jawaban atau melakukan diskusi kecil dalam merumuskannya. (5). Menunjuk
salah satu siswa untuk menjawab pertanyaan. (6). Jika jawabannya tepat maka guru meminta
tanggapan kepada siswa lain tentang jawaban tersebut untuk meyakinkan bahwa seluruh siswa
terlibat dalam kegiatan yang sedang berlangsung. Namun jika siswa tersebut mengalami kemacetan
jawab dalam hal ini jawaban yang diberikan kurang tepat, tidak tepat, atau diam, maka guru
mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain yang jawabannya merupakan petunjuk jalan penyelesaian,

346

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan yang menuntut siswa berpikir pada tingkat yang lebih
tinggi, sampai dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan kompetensi dasar atau indikator.
Pertanyaan yang dilakukan pada langkah keenam ini sebaiknya diajukan pada beberapa siswa yang
berbeda agar seluruh siswa terlibat dalam seluruh kegiatan probing prompting. (7). Guru
mengajukan pertanyaan akhir pada siswa yang berbeda untuk lebih menekankan bahwa indikator
tersebut benar-benar telah dipahami oleh seluruh siswa.

2.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen bertujuan untuk : (a) Menelaah kualitas
kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa setelah menggunakan model
pembelajaran Probing Prompting dan pembelajaran konvensional, (b) Mendeskripsikan sikap
siswa terhadap pembelajaran Probing Prompting, (c) Memperoleh gambaran aktivitas siswa selama
proses pembelajaran probing prompting.
Penelitian dilaksanakan pada salah satu SMA di Kabupaten Bandung, dan mengambil desain test
pretest dan postest sebagai berikut:
O X O
O
O
Keterangan:
O `: Pretes / postes pemahaman dan komunikasi matematik serta disposisi matematik
X : Perlakuan berupa Model pembelajaran Probing Prompting
Karena materi yang diberikan kepada siswa merupakan materi baru, maka diberikan tes awal
dengan rasional. bahwa siswa belum memahami materi tersebut. Untuk mengetahui kesiapan siswa
menerima materi baru dan untuk melihat kesamaan kemampuan awal kedua kelompok, pada awal
pembelajaran diadakan tes penguasaan materi pretest. Pada akhir pembelajaran setelah semua
materi pelajaran diberikan maka dilakukan pemberian postes, baik kepada siswa kelas eksperimen
maupun kelas control dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan yang dicapai siswa setelah
mendapatkan perlakuan pembelajaran baik kelas yang menggunakan model pembelajarn probing
prompting maupun yang menggunakan pembelajarn konvensional.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Simple Random
Sampling. Hal ini dilakukan karena anggota sampel dipilih secara acak kelas. Jumlah total siswa
kelas XII di SMA Negeri 1 Pangalengan adalah 290 orang.Sampel yang diambil secara acak
sebanyak 30%. Selanjutnya sampel sebanyak 66 siswa dikelompokan menjadi dua kelas A2 dan A3
yang masing-masing kelas terdiri atas 33 siswa. Kelas A2 menjadi kelas kontrol dan kelas A3
menjadi kelas eksperimen.
Instrumen dalam penelitian ini yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes dan non tes.
Instrumen berupa tes mencakup tes tentang kemampuan pemahaman matematik dan kemapuan
komunikasi matematik, sedangkan instrument non tes berupa angket skala sikap.
Tes kemampuan pemahaman matematik dan kemampuan komunikasi matematik berupa tes tertulis
berbentuk uraian yang diberikan pada saat pretes dan postes. Pretes diberikan diawal kegiatan
penelitian sebelum siswa mendapat pembelajaran materi yang akan dibahas, sedangkan postes
diberikan pada akhir kegiatan penelitian setelah mendapatkan pembelajaran. Pretes dan postes
diberikan pada siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen.
Hasil pretes digunakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa baik kemampuan pemahaman
matematik maupun kemampuan komunikasi matematik, sedangkan hasil postes digunakan untuk
melihat peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik siswa baik dikelas
eksperimen maupun kelas kontrol

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

347

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Perlakuan pelaksanaan pembelajaran pada kelas eksperimen dengan menggunakan model


pembelajaran Probing Prompting selama 10 pertemuan, demikian juga kelas kontrol dengan
menggunakan pembelajaran konvensional (biasa) mengdiberikan selama 10 pertemuan dengan
metode ekspositori dan tanya jawab.
Jika jawabannya tepat maka guru meminta tanggapan kepada siswa lain tentang jawaban tersebut
untuk meyakinkan bahwa seluruh siswa terlibat dalam kegiatan yang sedang berlangsung. tetapi
jika siswa tersebut mengalami kemacetan jawab dalam hal ini jawaban yang diberikan kurang
tepat, tidak tepat, atau diam, maka guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain yang jawabannya
merupakan petunjuk jalan penyelesaian jawab. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan yang menuntut
siswa berpikir pada tingkat yang lebih tinggi, sampai dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan
kompetensi dasar atau indikator. Pertanyaan yang dilakukan pada langkah keenam ini sebaiknya
diajukan pada beberapa siswa yang berbeda agar seluruh siswa terlibat dalam seluruh kegiatan
probing prompting. Pendekatan pembelajaran probing prompting peneliti tidak memberikan
penilaian secara sepihak terhadap jawaban setiap kelompok, tetapi peneliti bersama-sama siswa
membahas solusi atau penyelesaian tersebut secara efektif untuk menyelesaiakn masalah tersebut.
Berdasarkan hasil analisis data yang dikemukakan sebelumnya bahwa hasil rata-rata postes
yang diperoleh siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen untuk kemampuan pemahaman
matematik adalah berturut-turut 8,303 dan 10,091 dengan SMI 20 sedangkan rata-rata postes
yang diperoleh untuk kemampuan komunikasi matematik untuk kelas kontrol dan kelas
eksperimen berturut-turut adalah 10,152 dan 13,00 dengan SMI 20.
Berdsarkan data tersebut secara keseleuruhan terlihat bahwa hasil rata-rata yang diperoleh
siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen terlihat ada perbedaan meskipun tidak terlalu besar
dan hasil yang diperoleh siswa pada kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol baik
kemampuan pemahaman matematik maupun kemampuan komunikasi matematik dengan
selisih 1,788 untuk kemampuan pemahaman matematik dan 2,848 uantuk kemampuan
komunikasi matematik.
Berdasarkan hasil analisis data hasil N-gain ternormalisasi dieproleh hasil bahwa data N-gain
ternorlmalisasi kemampuan pemahaman matematik yaitu kelompok kelas eksperimen yang
mendapat perlakuan pembelajaran menggunakan model pembelajaran probing prompting
adalah 0,455, skor gain ternormalisasi kelas eksperimen berada dalam kategori sedang, dan
kelompok kelas kontrol yang mendapat pembelajaran secara konvensional adalah 0,143, skor
gain ternormalisai berda dalam kategori rendah.
Hasil gain ternormalisasi kemampuan komunikasi matematik siswa kelas eksperimen yang
mendapat perlakuan pembelajaran menggunakan model pembelajaran probing prompting
adalah 0,800, skor gain kelas eksprimen berada pada kategori tinggi, sedangkan gain
ternormalisasi kelas kontrol dengan pembelajaran secara konvensional adalah 0,636, skor gain
ternormalisasi dalam karegori sedang.
Berdasarkan uraian tersebut bahwa peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi
matematik kelas eksperimen dengan menggunkan pembelajaran probing prompting lebih baik
daripada kelas kontorl yang menggunakan pembelajaran secara konvensional.
a. Kemampuan dan Diseposisi Matematik
Berikut disajikan hasil temuan tentang pretes, postes dan normal gain kemampuan pemahaman
dan komunikasi matematik siswa kedua kelas seperti yang disajikan pada tabel 1.

348

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Tabel 1
Pretes, Postes dan N-Gain Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matetamatik
Siswa kedua Kelas
Kemampuan
Pemahaman Matetamik
Komunikasi Matematik
NPretes Postes
Pretes Postes N-Gain
Gain
Rerata 5,242 10,091 8,848 4,576 13,000 15,000
Kelas Probing
Prompting
SD
1,527
2,213
2.659 2,077
2,550
8,424
Rerata 5,818
8,303
3,030 3,576 10,152 14,000
Kelas
Konvensional
SD
2.186
1,976
1,811 2,278
2,333
6,667
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 4.22 diperoleh tidak terdapat perbedaan skor pretes
kemampuan pemahaman matematik siswa kelas eksperimen dengan kelas kontrol, keduanya
tergolong rendah. Tetapi setelah pembeajaran mengggunakan model pembelajaran probing
prompting untuk kelas eksperimen, skor yang dicapai adalah (10,091 dari 20) dan memperoleh
peningkatan sebesar 4,849 yang tergolong sedang dan lebih baik dari skor yang dicapai siswa
kelas kontrol dengan yang menggunakan pembelajaran konvensional yaitu 8,303 dari 20
dengan peningkatan sebesar 2,485.
Hasil yang dicapai pada kemampuan komunikasi matematik siswa juga tidak ada perbedaan
skor yang diperoleh siswa kelas eksperimen dengan kelas kontrol pada pretes. Tetapi setelah
pembelajaran skor yang diperoleh siswa kelas eksperimen dengan menggunakan model
pemebelajaran probing prompting adalah 13,000 dari 20 dengan peningkatan sebesar 8,424
dan lebih baik dari skor yang diperoleh siswa kelas kontrol dengan pembelajaran konvensional
10,152 dari 20 dengan peningkatan sebesar 6,576.
Analisis asosiasi antara kemampuan pemahaman matematik dan komunikasi matematik siswa
seperti yang disajikan pada tabel 2 berikut :
Tabel. 2
Asosiasi kemampuan pemahaman matematik dan komunikasi
matematik siswa
Komunikasi
Kemampuan
Jumlah
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
8
10
7
25
Pemahaman
Sedang
1
0
4
5
Tinggi
0
0
3
3
Jumlah
9
10
14
33
Berdasarkan data yang tersaji pada tabel 4.23 diperoleh assosiai cukup antara kemampuan
pemahaman dan komunikasi matematik dengan derajat assosiasi sebesar C = 0,472. Pada tabel
tersebut juga tergambar bahwa banyak siswa dengan kemampuan pemahaman yang rendah
lebih banyak dibandingkan dengan kemampuan komunikasi matematik yaitu 25 dan 9, dan
banyak siswa dengan kemampuan pemahaman matematik yang tinggi lebih sedikit yaitu 3 dan
14 dibandingkan siswa dengan kemampuan komunikasi matematik. Temuan tersebut
mendukung pemikiran bahwa tugas pemahaman matematik lebih sukar dari tugas komunikasi
matematik.
b. Asosiasi antara kemampuan dan disposisi matematik
Asosiasi kemampuan pemahaman dengan disposisi matematik dan kemampuan komunikasi
dan disposisi matematik menggunakan tabel kontingensi antar dua variabel seperti disajikan
pada tabel 3 dan 3 berikut.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

349

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Tabel. 3
Kontingensi kemampuan pemahaman matematik dan disposisi
matematik siswa
Disposisi Matematik
Kemampuan
Jumlah
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
3
9
13
25
Pemahaman
Sedang
1
1
3
5
Tinggi
2
0
1
3
Jumlah
6
10
17
33
Tabel. 4
Kontingensi kemampuan komunikasi matematik dan disposisi
matematik siswa
Disposisi Matematik
Kemampuan
Jumlah
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
1
0
8
9
Pemahaman
Sedang
2
6
2
10
Tinggi
3
4
7
14
Jumlah
6
10
17
33
Berdasarkan tabel data pada tabel 4.24 dan 4.25 menunjukkan asosiasi disposisi matematik
dengan kemampuan pemahaman matematik adalah rendah dengan derajat asosiasi C = 0,393,
sedangkan asosiasi disposisi matematik dengan kemampuan komunikasi matematik adalah
cuku dengan derajat asosiasi C = 0,489. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi asosiasi antara
kemampuan matematik dan aspek efektifitas belajar matematika masih rendah.
c. Kesulitan Siswa
Analisis selanjutnya, butir soal kemampuan pemahaman matematik yang tergolong sukar
adalah mengenai tugas mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk lainnya dan menggunakan
model, diagram dan simbol-simbol untuk mempresentasikan suatu konsep, hampir semua siswa
tidak dapat menyelsaikan tugas dengan baik, sedang tugas yang lain siswa dapat menyelesaikan
cukup baik. Butir soal kemampuan komunikasi matematik yang tergolong sukar adalah mengenai
tugas menghubungkan gambar dan diagram ke dalam idea matematika, menjelaskan idea, situasi
dan relasi matematik secara tertulis dengan aljabar, dan menjelaskan dan membuat pertanyaan
tentang matematika yang telah dipelajari, hampir semua siswa tidak dapat dapat menyelesaikan
dengan baik, sedang tugas yang lainnya siswa dapat menyelesaikan dengan cukup baik.

4.

Kesimpulan

Berdasarkan temuan dan pembahasan, penelitian ini meberikan suatu kesimpulan bahwa :
1. Pencapaian kemampuan pemahaman dan komunikas matematik siswa dengan pendekatan
pembelajaran probing prompting lebih baik dibandingkan dengan pemahaman matematik
siswa yang menggunakan pembelajaran secara konvesional. Kemampuan pemahaman
matematik pada kelas eksperimen tergolong kategori sedang, dan kelas kontrol tergolong
kategori rendah.
2. Peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik siswa dengan
pendekatan pembelajaran probing prompting lebih baik dibandingkan dengan pemahaman
matematik siswa yang menggunakan pembelajaran secara konvesional. Peningkatan
kemampuan pemahaman matematik pada kelas eksperimen tergolong kategori sedang, dan
kelas kontrol tergolong kategori rendah.
350

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3. Disposisi matematik siswa pada kelas dengan menggunakan pendekatan pembelajaran


probing prompting tidak lebih baik dibandingkan disposisi matematik siswa pada kelas
dengan pembelajaran konvensional.
4. Siswa kelas eksperimen dengan menggunakan pendekatan pembelajaran probing
prompting terdapat asosiasi yang cukup antara kemampuan pemahaman matematik dengan
kemampuan komunikasi matematik. Tetapi tugas pemahaman matematik lebih sukar jika
dibandingkan dengan tugas komunikasi matematik.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2009). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ayuningrum, D dkk. (2014). Penerapan Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project
(MMP) Pada Materi Teorema Pythagoras Di Kelas VIII SMP Negeri 1 Kamal. Surabaya:
Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya (tidak diterbitkan).
Chotimah, S. (2014). Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi serta Self
Confidence Matematik Siswa SMP Kota Bandung dengan Pendekatan Realistic
Mathemathics Educations, Tesis STKIP Siliwangi. Bandung: Tidak diterbitkan.
Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical Thingking untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah
Menengah Pertama. Disertasi UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Hendriana, H. dan Rohaeti, E.E (2007), Bahan Ajar Penelitian Pendidikan. Diktat Pembelajaran.
Bandung: Tidak diterbitkan
Herdian
(2010),
Kemampuan
Pemhaman
Matematika.
[Online].
Tersedia:
http://remajaatuh.blogspot.com/2011/12/kemampuan-pemahaman-matematika.html.
[05
Mei 2013].
Ruseffendi, H.E.T. Prof. S.Pd, M.Sc, Ph.D (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru
Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung. Tarsito.
Sumarmo, Utari (2013) Berpikir dan Disposisi Matenatik Serta Pembelajarannya, Kumoulan
Makalah. Jurusan Matematika Fakultas MIPA UPI Bandung.
Suherman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA UPI.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

351

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP


MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN TERBALIK
(RECIPROCAL TEACHING)
Mila Miliatiningsih
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
mila.miliati@ymail.com

ABSTRAK
Dalam makalah ini akan disampaikanmasihrendahnyakemampuankomunikasi matematiksiswa
SMP. Pertama, sering terjadi kegagalan dalam pembelajaran karena komunikasi yang terjadi
kurang berjalan dengan efektif. Kedua, komunikasi yang kurang terarah dan terlatih. Ketiga,
kemampuan komunikasi yang sangat berpengaruh, ternyata terjadi dari dua arah yakni pengajar
dan peserta didik. Kemampuan berkomunikasimerupakan inti dari kecerdasan intrapersonal.
Oleh karena itu,kegiatan pembelajaran seharusnya bisa memberikan kontribusi
dalammengembangkan kemampuan komunikasi siswa. Dalam suatupembelajaran, proses atau
kegiatan konfirmasi diperlukan untukmendapatkan informasi tentangpemahaman siswa
terhadap konsepyang dipelajari. Inti dari proses konfirmasi adalah komunikasi, yaitubagaimana
siswa mengkomunikasikan gagasannya. Kemampuankomunikasi dan interaksi sosial yang baik
akan menjadi bekal siswadalam menjalani peran sebagai anggota dari suatu sistem
sosialmasyarakat.Dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siwa guru
dapat menggunakan pembelajaran terbalik (reciprocal teaching). Pembelajaran terbalik
(reciprocal teaching) adalah suatu kegiatan belajar yang meliputi membaca bahan ajar yang
disediakan, menyimpulkan, membuat pertanyaan, menjelaskan kembali dan menyusun
prediksi.
Kata Kunci: Komunikasi Matematik, Reciprocal Teaching

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Matematika adalah ilmu pengetahuan yang mempunyai aplikasi sangat luas pada aspek kehidupan,
karena banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari yang harus diselesaikan dengan matematika.
Dalam NCTM 2000, di Amerika, disebutkan bahwa terdapat lima kemampuan dasar matematika
yang merupakan standar yakni pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan bukti
(reasoning
and
proof),komunikasi
(communication),
koneksi
(connections),
dan
representasi(representation). Dengan mengacu pada lima standar kemampuan NCTM di atas,maka
kemampuan komunikasi matematik merupakan kemampuan yang strategisyang menjadi tujuan
pembelajaran matematika.
Kemampuan Komunikasi matematik adalah cara untuk menyampaikan ide-ide pemecahan masalah,
strategi maupun solusi matematika baik secara tertulis maupun lisan. Sedangkan, kemampuan
komunikasi matematik menurut National Council of Teachers of Mathematics (2000:348) dapat
dilihat ketika siswa menganalisis dan menilai pemikiran dan strategi matematis orang lain dan
menggunakan bahasa matematika untuk menyatakan ide matematika dengan tepat.
Menurut Schoen, Bean dan Ziebarth (Hulukati, 2005) mengemukakan bahwa
matematik adalah kemampuan dalam hal menjelaskan suatu algoritma dan cara
pemecahan masalah, kemampuan mengkonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena
secara grafik, kata kata / kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik atau
memberikan dugaan tentang gambar gambar geometri.

352

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

komunikasi
unik untuk
dunia nyata
kemampuan

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Melihat pentingnya komunikasi matematik bagi siswa, NCTM (2000:60) menuliskan standar
komunikasi program pengajaran harus memungkinkan semua siswa untuk: (1) mengatur dan
menggabungkan pemikiran matematis mereka melalui komunikasi, (2) mengkomunikasikan
pemikiran matematika secara koheren dan jelas kepada teman, guru dan orang lain, (3)
menganalisa dan menilai pemikiran dan strategi matematik orang lain, (4) menggunakan bahasa
matematika untuk menyatakan ide matematika dengan tepat.
Gardner dalam Wijaya (2012: 29), melaluiteori kecerdasan majemuk yang diakembangkan,
menegaskan pentingnya kemampuan komunikasi.Kemampuan berkomunikasi merupakan inti dari
kecerdasan intrapersonal. Oleh karena itu,kegiatan pembelajaran seharusnya bisa memberikan
kontribusi dalam mengembangkan kemampuan komunikasi siswa. Dalam suatu pembelajaran,
proses atau kegiatan konfirmasi diperlukan untukmendapatkan informasi tentang pemahaman siswa
terhadap konsepyang dipelajari. Inti dari proses konfirmasi adalah komunikasi, yaitu bagaimana
siswa mengkomunikasikan gagasannya. Kemampuan komunikasi dan interaksi sosial yang baik
akan menjadi bekal siswadalam menjalani peran sebagai anggota dari suatu sistem sosial
masyarakat.
Dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siwa SMP, guru dapat
menggunakan pembelajaran terbalik (reciprocal teaching). Palinscar (1986) menyatakan bahwa
pembelajaran terbalik (reciprocal teaching) adalah suatu kegiatan belajar yang meliputi membaca
bahan ajar yang disediakan, menyimpulkan, membuat pertanyaan, menjelaskan kembali dan
menyusun prediksi.

2.

Kajian Teoritis

2.1.

Kemampuan Komunikasi Matematik

Komunikasi matematik adalah cara untuk menyampaikan ide-ide pemecahan masalah, strategi
maupun solusi matematika baik secara tertulis maupun lisan. Komunikasi secara umum dapat
diartikan sebagai suatu cara untuk menyampaikan suatu pesan dari pembawa pesan ke penerima
pesan untuk memberitahu, pendapat, atau prilaku baik langsung secara lisan, maupun tak langsung
melalui media. Di dalam berkomunikasi tersebut harus dipikirkan bagaimana caranya agar pesan
yang disampaikan seseorang itu dapat dipahami oleh orang lain. Untuk mengembangkan
kemampuan berkomunikasi, orang dapat menyampaikan dengan berbagai bahasa termasuk bahasa
matematis.
Within (Herdian, 2010) menyatakan kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar
siswa dilakukan, dimana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, menggambarkan,
mendengar, menanyakan dan bekerjasama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang
mendalam tentang matematika. Anak anak yang diberikan kesempatan untuk bekerja dalam
kelompok dalam mengumpulkan dan menyajikan data, mereka menunjukan kemajuan baik di saat
mereka saling mendengarkan ide yang satu dan yang lain, mendiskusikannya bersama kemudian
menyusun kesimpulan yang menjadi pendapat kelompoknya. Ternyata mereka belajar sebagian
besar dari berkomunikasi dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka.
Pengertian yang lebih luas tentang komunikasi matematik ini dikemukakan oleh Romberg dan
Chair (Sumarmo, 2006) yaitu: menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide
matematik, menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda
nyata, gambar, grafik dan aljabar, menyatakan peristiwa sehari - hari dalam bahasa atau simbol
matematika, membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis, membuat
konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi, menjelaskan dan membuat
pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
Menurut Baroody (Saragih, 2007) terdapat lima aspek komunikasi, kelima aspek itu adalah:
1) Representasi diartikan sebagai bentuk baru dari hasil translasi suatu masalah atau ide, atau
translasi suatu diagram dari model fisik ke dalam simbol atau kata kata (NCTM, 1989).
Misalnya bentuk perkalian ke dalam model kongkrit, suatu diagram ke dalam bentuk
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

353

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2)

3)

4)

5)

simbol. Representasi dapat membantu anak menjelaskan konsep atau ide dan memudahkan
anak mendapatkan strategi pemecahan. Selain itu dapat meningkatkan fleksibelitas dalam
menjawab soal matematika.
Mendengar ( listening), dalam proses diskusi aspek mendengar salah satu aspek yang
sangat penting. Kemampuan siswa dalam memberikan pendapat atau komentar sangat
terkait dengan kemampuan dalam mendengarkan topi topik utama atau konsep esensial
yang didiskusikan. Siswa sebaiknya mendengar dengan hati hati manakala ada
pertanyaan dan komentar dari temannya. Baroody (Saragih, 2007) mengatakan mendengar
secara hati hati terhadap pertanyaan teman dalam suatu grup juga dapat membantu siswa
mengkonstruksi lebih lengkap pengetahuan matematika dan mengatur strategi jawaban
yang lebih efektif.
Membaca (reading), kemampuan membaca merupakan kemampuan yang kompleks,
karena di dalamnya terkait aspek mengingat, memahami, membandingkan, menemukan,
menganalisis, mengorganisasikan, dan akhirnya menerapkan apa yang terkandung dalam
bacaan.
Diskusi (Discussing), merupakan sarana bagi seseorang untuk dapat mengungkapkan dan
mereflesikan pikiran pikirannya berkaitan dengan materi yang diajarkan. Gogkhale
(Hulukati, 2005) menyatakan aktivitas siswa dalam diskusi tidak hanya meningkatkan daya
tarik antara partisipan tetapi dapat juga meningkatkan cara berfikir kritis. Baroody
(Saragih, 2007) menguraikan beberapa kelebihan dari diskusi antara lain : (a) dapat
mempercepat pemahaman materi pembelajaran dan kemahiran menggunakan strategi, (b)
membantu siswa mengkonstruksi pemahaman matematis, (c) menginformasikan bahwa
para ahli matematika biasanya tidak memecahkan masalah sendiri sendiri tetapi
membangun ide bersama pakar lainya dalam satu tim, dan (4) membantu siswa
menganalisa dan memecahkan masalah secara bijksana.
Menulis (writing), kegiatan yang dilakukan dengan sadar untuk mengungkapkan dan
mereflesikan pikiran, dipandang sebagai proses berfikir keras yang dituangkan di atas
kertas. Menulis adalah alat yang bermanfaat dari berfikir karena siswa memperoleh
pengalaman matematika sebagai suatu aktifitas yang kreatif. Sedangkan Manzo (Hulukati,
2005) menulis dapat meningkatkan taraf berpikir siswa kearah yang lebih tinggi (higher
order thinking).

Begitu juga menurut hasil penelitian Osterholm (2006:292-294) menyatakan bahwa siswa
tampaknya kesulitan mengartikulasikan alasan dalam memahami suatu bacaan. Ketika diminta
mengemukakan alasan logis tentang pemahamannya, siswa kadang-kadang hanya tertuju pada
bagian kecil dari teks dan menyatakan bahwa bagian ini (permasalahan yang memuat simbolsimbol) tidak mengerti, tetapi tidak memberikan alasan atas pernyataannya tersebut. Berikut
disajikan contoh soal komunikasi matematik
Contoh 1 :Menghubungkan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika,
maksudnya adalah siswa dapat merefleksikan data ke dalam ide matematika berupa gambar model.
Dalam wacana ini, siswa dapat mengumpulkan, mencatat, menginterpretasikan serta menganalisis
data yang telah didapat.
Perhatikan Gambar !

354

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Pada ABC yang tampak pada gambar. Diketahui bahwa

, sedangkan F,E,D,

berturut turut merupakan titik titik tengah dari


= ,

a. Buatlah model matematika untuk menentukan panjang keliling segitiga dari seluruh segitiga
yang tampak pada gambar tersebut ?
g. Tuliskan konsep matematika yang digunakan!

2.2.

Pendekatan Reciprocal Teaching

Pembelajaran terbalik (Reciprocal Teaching) adalah pembelajaran yang dikembangkan oleh Anne
Marie palinscar dari Universitas Michigan dan Anne brown dari Universitas Illionis, USA. Adapun
karakteristik dari pembelajaran terbalik (Reciprocal Teaching) menurut Palinscar dan Brown
(Sadiah, 2011:21) adalah:
1) Dialog antara siswa dan guru, siswa mendapat kesempatan menjadi pemimpin dalam
diskusi.
2) Reciprocal artinya suatu interaksi dimana seseorang bertindak untuk merespon yang lain.
3) Dialog yang terstruktur dengan menggunakan empat strategi yaitu: merangkum, membuat
pertanyaan, mengklarifikasi (menjelaskan) dan meprediksi.
Ann Brown (1982) dan Anne Marie Palinscar (1984) mengemukakan bahwa dengan pengajaran
terbalik guru mengajarkan siswa keterampilan-keterampilan kognitif penting dengan menciptakan
pengalaman belajar, melalui pemodelan prilaku tertentu dan kemudian membantu siswa
mengembangkan keterampilan tersebut atas usaha mereka sendiri dengan pemberian semangat,
dukungan dan suatu sistem scaffolding.
Melalui pengajaran terbalik siswa diajarkan empat strategi pamahaman pengaturan diri spesifik
yaitu perangkuman, pengajuan pertanyaan, pengklarifikasian (menjelaskan kembali) dan prediksi.
Adapun tujuan dari setiap strategi-strategi yang dipilih adalah sebagai berikut:
1) Membuat rangkuman
Strategi merangkum ini bertujuan untuk menentukan intisari dari teks bacaan, memberikan
kesempatan untuk mengidentifikasi dan mengintegrasikan informasi yang paling penting dalam
teks.
2) Membuat pertanyaan dan jawaban
Strategi bertanya ini digunakan untuk memonitor dan mengevalusi sejauhmana pemahaman
pembaca terhadap bahan bacaan. Pembaca dalam hal ini siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan
pada dirinya sendiri atau dalam bentuk self-test untuk memastikan bahwa mereka dapat
memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka dengan baik, teknik ini seperti sebuah
proses metakognitif.
Sementara salah seorang siswa berperan sebagai guru, guru memberikan dukungan, umpan balik,
dan semangat ketika siswa-siswa belajar strategi-strategi tersebut dan membantu mereka saling
mengajar satu sama lain. Suasana belajar dalam kelompok dapat membantu siswa untuk saling
memberikan umpan balik diantara anggota kelompok.
Pada penerapan Pengajaran Terbalik guru memberitahukan akan memperkenalkan suatu
pendekatan/strategi belajar, menjelaskan tujuan, manfaat dan prosedurnya. Menurut Nur dan
Wikandari (dalam Trianto, 2007) dalam mengawali pemodelan dilakukan dengan cara membaca
satu paragraf suatu bacaan. Kemudian menjelaskan dan mengajarkan bahwa pada saat atau selesai
membaca terdapat kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan yaitu:
1) Memikirkan pertanyaan-pertanyaan penting yang dapat diajukan dari apa yang telah dibaca
dan memastikan bisa menjawabnya.
2) Membuat ikhtisar/rangkuman tentang informasi terpenting dari wacana.
3) Memprediksi/meramalkan apa yang mungkin akan dibahas selanjutnya;
4) Mencatat apabila ada hal-hal yang kurang jelas atau tidak masuk akal dari suatu bagian,
selanjutnya memeriksa apakah kita bisa berhasil membuat hal-hal itu masuk akal.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

355

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Setelah siswa memahami keterampilan-keterampilan diatas, guru akan menunjuk seorang siswa
untuk menggantikan perannya dalam kelompok tersebut. Mula-mula ditunjuk siswa yang memiliki
kemampuan memimpin diskusi, selanjutnya secara bergilir setiap siswa merasakan/melakukan
peran sebagai guru.
Langkah-langkah pembelajaran terbalik menurut Palinscar (1986) adalah sebagai berikut:
1) Pada tahapan awal pembelajaran, guru bertanggung jawab untuk memimpin tanya jawab
dan melaksanakan keempat strategi pembelajaran terbalik yaitu merangkum, menyusun
pertanyaan, menjelaskan kembali, dan memprediksi.
2) Guru memperagakan bagaimana cara merangkum, menyusun pertanyaan, menjelaskan
kembali, dan memprediksi setelah selesai membaca.
3) Selama membimbing siswa melakukan latihan menggunakan strategi pembelajaran
terbalik, guru membantu siswa dalam menyelesaikan apa yang diminta dari tugas yang
diberikan berdasarkan tingkat kepandaian siswa.
4) Selanjutnya, siswa belajar untuk memimpin tanya jawab dengan atau tanpa guru.
Guru bertindak sebagai fasilitator dengan memberikan penilaian berkenaan dengan penampilan
siswa dan mendorong siswa untuk berpartisipasi dalam tanya jawab ke tingkat yang lebih tinggi

3.

Penutup

Kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, dimana siswa
diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan
bekerjasama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang
matematika. Anak anak yang diberikan kesempatan untuk bekerja dalam kelompok dalam
mengumpulkan dan menyajikan data, mereka menunjukan kemajuan baik di saat mereka saling
mendengarkan ide yang satu dan yang lain, mendiskusikannya bersama kemudian menyusun
kesimpulan yang menjadi pendapat kelompoknya. Ternyata mereka belajar sebagian besar dari
berkomunikasi dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka.Di dalam berkomunikasi tersebut
harus dipikirkan bagaimana caranya agar pesan yang disampaikan seseorang itu dapat dipahami
oleh orang lain. Untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi, orang dapat menyampaikan
dengan berbagai bahasa termasuk bahasa matematik.
Dengan pengajaran terbalik guru mengajarkan siswa keterampilan-keterampilan kognitif penting
dengan menciptakan pengalaman belajar, melalui pemodelan prilaku tertentu dan kemudian
membantu siswa mengembangkan keterampilan tersebut atas usaha mereka sendiri dengan
pemberian semangat, dukungan dan suatu sistem scaffolding.Melalui pengajaran terbalik siswa
diajarkan empat strategi pamahaman pengaturan diri spesifik yaitu perangkuman, pengajuan
pertanyaan, pengklarifikasian (menjelaskan kembali) dan prediksi.

DAFTAR PUSTAKA
Herdian.(2010).
Kemampuan
Komunikasi
Matematika.
[online].
Tersedia:http://herdy07.wordpress.com/2014/05/27/kemampuan - komunikasi matematis.
Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Generatif. Tesis pada Program Pasca
Sarjana UPI, Bandung: Tidak dipublikasikan.
NCTM.(2000). Principles and Standards for School Mathematics.Tersedia di www.nctm.org.
Osterholm, Magnus. (2006). Metakognition and reading-criteria for comprehension of
mathematics texts. In Novotna, J., Moraova, H., Kratka, M. & Stehlikova, N. (Eds.).
Proceedings 30th Conference of the Internatinal Group for the Psychology of Mathematics
Education, Vol. 4, pp. 289-296. Prague: PME.

356

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Palinscar A.S dan Brown A (1986). Reciprocal Teaching Of Comprehension Fostering And
Comprehension
Mentoring
Activities.Cognition
And
Instruction.
1(2):Moc.go.jm/projects/newhorizons/pdf/specific%20reading-teaching%20
strategies/reciprocal%20teaching.pdf.
Sadiah, I (2012). Pembelajaran matematika dengan model Reciprocal Teachinguntuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Subang: Tidak diterbitkan.
Saragih.(2007).MengembangkanKemampuanBerfikirLogisdanKomunikasiMatematikSiswaSekolah
MenengahPertamamelaluiPendekatanMatematikaRealistik.Disertasipada
Program
PascaSarjana UPI Bandung: Tidakdipublikasikan.
Schoen, H. L, Bean, D. L, & Ziebarth, S. W. (1996). Embedding Makalah pada Seminar di
UNSWAGATI Tanggal 10 September 2000. Cirebon.
Sumarmo, U. (2006). Pembelajaran keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah
Menengah, Bandung: FPMIPAUPI, Melalui <http:// math. Sps.upi.edu>.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

357

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI


MATEMATIK PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Maryam
SMP Negeri 1 Batujajar

Maryam_juhaendi@yahoo.co.id

ABSTRAK
Makalah ini membahas tentang kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik di sekolah
menengah pertama, kemampuan tersebut sebagai dasar untuk mempelajari materi pelajaran
terutama pada pelajaran matematika, untuk itu siswa penting dapat memahami dan
mengkomunikasikan materi, dimana kedua kemampuan tersebut sebagai tolak ukur untuk
menguasai kemampuan yang lebih tinggi ataupun untuk mempelajari materi pembelajaran
berikutnya. Maka dari itu sudah sepantasnya pendidik berusaha untuk meningkatkan
kemampuan pemahaman dan komunikasi pada siswa sekolah menengah pertama, khususnya
pada pembelajaran matematika, sehingga belajar matematika menjadi bermakna untuk
menghadapi kehidupan yang akan datang. Sebab kemampuan pemahaman meliputi diantaranya
melaksanakan perhitungan rutin, membuktikan kebenaran, mengkaitkan sesuatu dengan hal
lainnya. Sedangkan kemampuan komunikasi diantaranya : menjelaskan ide, gambar ataupun
symbol, dll.Sementara masih banyak siswa yang belum memahami materi pembelajaran dan
belum dapat mengkomunikasikan secara optimal terbukti masih banyak siswa yang belum
tuntas dalam pembelajaran matematika.
Kata Kunci: Komunikasi Matematik, Pemahaman Matematik

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan ini dari mulai bayi sampai orang tua, kita
tidak lepas dari kebutuhan itu, baik pendidikan formal maupun non formal, Ruseffendi (2006, 199)
bangsa Inggris berpendapat pendidikan itu penting untuk hidup layak di masyarakat. Pendidikan
formal diantaranya tingkat menengah pertama, pada usia ini siswa dihadapkan pada perubahan
pendidikan dari sekolah dasar kesekolah menengah dan materi pelajaran yang diajarkan tentu saja
lebih tinggi sesuai dengan usianya.
Pelajaran matematika adalah suatu pelajaran yang dipelajari siswa sejak di bangku sekolah dasar,
jika siswa telah menguasai pelajaran matematika di tingkat sekolah dasar maka siswa tersebut akan
lebih mudah mempelajari ditingkat berikutnya yaitu di sekolah menengah pertama, pelajaran
matematika menuntut siswa jujur, kreatif, aktif, kritis dan disiplin, sehingga dapat mengikuti
pelajaran dengan baik, aktif dan kreatif dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan, kritis jika
menghadapi persoalan dalam pembelajaran dan disiplin jika diberikan tugas dirumah serta belajar
teratur.
Ada berbagai kemampuan dasar matematika di sekolah Sumarmo (2013,30) terdiri dari :
pemahaman, pemecahan masalah, komunikasi, penalaran dan koneksi matematik.adapun yang akan
dibahas dalam makalah ini, yaitu kemampuan pemahaman dan komunikasi. Kemampuan
pemahaman dan kemampuan komunikasi merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai siswa
dalam belajar matematika.
Kemampuan pemahaman matematik siswa SMP adalah penting sebab setelah siswa mengetahui
materi pembelajaran matematika selanjutnya siswa harus memahami lebih jauh materi tersebut.
menurut sumarmo ( 2013, 436 ) Seorang siswa SMP dikatakan memahami hukum assosiatif
358

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

cukup bila ia dapat menerapkan sifat itu dengan benar. Dalam taksonomi bloom, secara umum
indikator pemahaman matematik meliputi ; mengenal dan menerapkan konsep, prosedur prinsip
dan idea matematika yang benar .
Kemampuan komunikasi matematik siswa SMP penting dalam proses pembelajaran, bagaimana
gagasan akan muncul bila tidak dikomunikasikan, symbol tidak akan berarti jika tidak
dikomunikasikan begitu juga tabel dan diagram tidak akan dimengerti bila tidak dikomunikasikan,
sementara kemampuan komunikasi matematik SMP banyak yang masih rendah, .menurut
Sumarmo ( 2013,445 ) Komunikasi matematik merupakan kemampuan matematik essensial yang
tercantum dalam kurikulum matematika sekolah menengah, Komponen tujuan pembelajaran
matematika tersebut antara lain : dapat mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel ,
diagram, atau ekspresi matematik untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan memiliki sikap
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu , perhatian, dan minat
dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Dua kemampuan tersebut saat ini kebanyakan siswa belum menguasai sepenuhnya, untuk itu
penulis merasa penting untuk menyajikan kedua hal tersebut agar pendidikan matematika
dilingkungan sekolah menengah pertama berhasil secara optimal. Sehingga mendapat perhatian
guru dalam pembelajaran matematika dimana siswa mendapat kesempatan lebih banyak untuk
menggali dan mengembangkan kemampuan pemahaman dan kemampuan komunikasi matematik
baik secara berdiskusi ataupun mengemukakan pendapat. Untuk itu proses pembelajaran perlu
dibenahi agar dalam setiap pembelajaran guru senantiasa menggunakan berbagai metode ataupun
model pembelajaran yang tepat, guru lebih tahu pembelajaran apa yang cocok untuk siswanya
sebab menurut Ruseffendi (1982) bagaimanapun baiknya atau sempurnanya suatu program,
akhirnya guru pula yang menetukan.

2.

Kajian Teoritis

2.1.

Pemahaman Matematik

Pemahaman matematik adalah merupakan kemampuan dasar sebab siswa bukan hanya mengetahui
materi pembelajaran yang dipelajari tetapi harus paham apa yang ia pelajari, bagaimana cara
menyelesaikannya sehingga siswa dapat mempelajari matematika secara bermakna .menurut
sumarmo (2013,31 ) berdasarkan taksonomi bloom , aspek pemahaman berada pada tahap kedua
dan masih tergolong pada tingkat berpikir rendah karena masih bersifat melaksanakan perhitungan
rutin atau menerapkan rumus secara langsung . Beberapa pakar lainnya , mengklarifikasi
pemahaman matematik dalam beberapa tingkat kognitif diantaranya polya dan pollatsek begitu
juga skemp dan copeland .
Polya,dalam Sumarmo ( 2013,31 ) menggolongkan pemahaman matematik dalam empat tingkat
pemahaman yaitu sebagai berikut.
a) Pemahaman mekanikal yaitu : dapat melaksanakan perhitungan rutin atau perhitungan
sederhana.
b) Pemahaman induktif yaitu : dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu
bahwa sesuatu itu berlaku dalam kasus serupa.
c) Pemahaman rasional yaitu : dapat membuktikan kebenaran sesuatu.
d) Pemahaman intuitif yaitu : dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa ragu-ragu,
sebelum menganalisis secara analitik.
Skemp dalam Sumarmo (2013,31) membedakan dua jenis tingkat pemahaman sebagai berikut :
a) Pemahaman instrumental yaitu : hafal sesuatu secara terpisah atau dapat menerapkan
sesuatu pada perhitungan rutin atau sederhana, mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja.
Tingkat pemahaman ini setara dengan pemahaman mekanikal .
b) Pemahaman relasional yaitu : dapat mengkaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar
dan menyadari proses yang dilakukan . Tigkat pemahaman ini setara dengan pemahaman
rasional.
Pollatsek dalam Sumarmo (2013,31) membedakan dua tingkat pemahaman yaitu :

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

359

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

a) Pemhaman komputasional yaitu : dapat menerapkan rumus atau aturan pada perhitungan
rutin atau sederhana , atau mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja . Pmahaman ini
setara dengan pemahaman mekanikal dan pemahaman instrumental .
b) Pemahaman fungsional yaitu : dapat mengkaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar
dan menyadari proses yang dilakukan . Pemahaman ini setara dengan pemahaman rasional
dan pemahaman relasional .
Copeland, dalam Sumarmo (2013,32) , membedakan dua tingkat pemahaman sebagai berikut .
a) Knowing how to yaitu : dapat mengerjakan perhitungan secara rutin atau algoritmik.
Pemahaman ini setara dengan pemahaman mekanikal, pemahaman instrumental dan
pemahaman komputasional .
b) Knowing yaitu : dapat mengerjakan perhitungan dengan sadar akan proses yang
dikerjakannya. Pemahaman ini setara dengan pemahaman rasional, pemahaman intuitif,
dan pemahaman fungsional
2.2.

Komunikasi Matematik

Komunikasi matematik adalah kemampuan siswa untuk mengkomunikasikan materi, symbol, tabel
atau yang lainnya. Kemampuan komunikasi matematik antara lain meliputi proses-proses
matematik berikut ( Elliot dan Kenney, Eds, 1996, NCTM, 1989 ) dalam Sumarmo (2013,35)
a) Menyatakan suatu situasi atau masalah matematik atau kehidupan sehari-hari ke dalam
bentuk gambar, diagram, bahasa atau simbol matematik, atau model matematik .
b) Menjelaskan suatu idea matematik dengan gambar, ekspresi, atau bahasa sendiri secara
lisan atau tulisan .
c) Membuat suatu ceritera berdasarkan gambar, diagram, atau model matematik yang
diberikan .
d) Menyusun pertanyaan tentang konten matematik yang diberikan.
menurut Sumarmo ( 2013,445 ) Komunikasi matematik merupakan kemampuan matematik
essensial yang tercantum dalam kurikulum matematika sekolah menengah, Komponen tujuan
pembelajaran matematika tersebut antara lain : dapat mengkomunikasikan gagasan dengan symbol,
tabel , diagram, atau ekspresi matematik untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu , perhatian, dan
minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

3.

Pembahasan

Contoh soal pemahaman dan komunikasi berikut adalah tentang system persamaan linear dua
variabel pada siswa kelas viii diantaranya:
a. soal pemahaman
1. pemahaman
instrumental
berupa
perhitungan
rutin,
diantaranya
:
Tentukan himpunan penyelesaian dari system persamaan 1/x + 2/y = 3/20 dan 3/x + 5/y =

2. Pemahaman relasional berupa mengkaitkan suatu konsep dengan konsep lainnya


diantaranya : Keliling sebuah persegi panjang 64 cm. sedangkan panjangnya 8 cm lebih
dari lebarnya.Tentukan luas persegi panjang itu.
b. soal komunikasi.
1. Menyusun argument seperti soal berikut :
Apa arti mengeliminasi sebuah variabel ?.bila kita hendak mengeliminasi variabel y pada
system persamaan 3x + 2y 8 dan 4x + 3y = 5, bagaimana caranya?
2. Menulis tentang matematika seperti soal berikut :
Nyatakan persoalan berikut ini ke dalam persamaan linear dengan dua variabel!. Enam kali
sebuah bilangan dikurangi delapan kali bilangan lainnya adalah 16

360

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Dalam mengerjakan soal-soal diatas tidak semua siswa atau masih banyak siswa yang belum
mampu menjawab dengan tepat, itulah tugas kita sebagai pendidik untuk mendorong siswa
bagaimana supaya semuanya tercapai sesuai rencana.

4.

Kesimpulan

Dari berbagai kemampuan yang harus dikuasai siswa, kemampuan pemahaman dan komunikasi
adalah dua kemampuan dasar yang akan menjadi tolak ukur keberhasilan siswa dalam belajar
matematika, untuk itu guru harus mendorong siswa dengan memilih metode atau model
pembelajaran yang tepat, bagaimanapun guru yang lebih tahu akan keadaan siswanya. Disini
gurulah yang harus terampil dalam memberikan materi, kemampuan apa yang harus dikuasai siswa,
metode dan model apa yang tepat untuk mengajarkan suatu materi juga bagaimana membangkitkan
motivasi belajar siswa, agar pembelajaran menarik bagi siswa sehingga proses belajar mengajar
berjalan lancar.

DAFTAR PUSTAKA
Ruseffendi, E.T. ( 1986 ) Dasar-Dasar Matematika Modern untuk guru. Bandung ; Tarsito.
Ruseffendi, E.T. ( 2006 ) Pengantar kepada membantu guru mengembangkan kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika. Bandung ; Tarsito.
Sumarmo, U. ( 2013 ) Berfikir dan Disposisi Matematika Serta Pembelajarannya. Bandung ;
FPMIPA UPI..

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

361

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN


MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP
MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS
MASALAH
Wilda Rahayu
SMK Permata Indan, Cianjur
dawilyadj@gmail.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis dan
komunikasi matematis siswa SMP melalui pendekatan pembelajaran berbasis masalah.
Populasi penelitian adalah siswa SMP di kabupaten Cianjur tahun pelajaran 2014/2015. Jenis
penelitian adalah kuasi eksperimen dengan pretest-postest control design. Kelompok
eksperimen diberi perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berbasis
masalah dan kelas kontrol dengan pembelajaran biasa. Instrumen dalam bentuk tes terdiri dari
pretes kemampuan pemecahan masalah matematis dan komunikasi matematis siswa serta
postes kemampuan pemecahan masalah matematis dan komunikasi matematis siswa. Lembar
observasi yang memuat aktivitas siswa dan guru dalam pembelajaran..
Kata Kunci: Pemecahan Masalah Matematis, Komunikasi Matematis, Pembelajaran Berbasis
Masalah

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Salah satu kemampuan matematis yang harus dikuasai adalah pemecahan masalah (problem solving)
dan komunikasi (communication). Pemecahan masalah dapat juga dipandang sebagai suatu kendaraan
yang dapat mengantarkan siswa untuk menyadari indahnya matematika, sekaligus berperan untuk
mengikat pengalaman matematika mereka dengan kebermaknaan dari matematika yang dipelajari. Maka
dengan pembelajaran pemecahan masalah matematis akan lebih membantu siswa untuk menyelesaikan
masalah-masalah matematika. Pemecahan masalah merupakan metode yang merangsang berpikir dan
menggunakan wawasan tanpa melihat kualitas pendapat yang disampaikan oleh siswa. Oleh karena itu
kemampuan seseorang dalam memecahan masalah matematis perlu terus dilatih sehingga orang tersebut
mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapinya.
Kemampuan komunikasi yang baik maka suatu masalah akan lebih cepat bisa direpresentasikan dengan
benar dan hal ini akan mendukung untuk penyelesaian masalah. Kemampuankomunikasi dan pemecahan
masalah matematis termasuk ke dalam kemampuan kognitif siswa. Salah satu pendukung atau penunjang
seseorang untuk berhasil yaitu dari aspek psikologisnya yang menjadikan seseorang berhasil dalam
menyelesaikan tugas dengan baik. Ketika aspek psikologis siswa tidak stabil di dalam pembelajaran,
kemungkinan besar akan menimbulkan kecemasan matematis siswa yang akan menimbulkan ketidak
tercapaian tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, aspek psikologis siswa di dalam pembelajaran juga
harus diperhatikan dengan seksama sebagai komponen yang menunjang di dalam proses pembelajaran.
Salah satu aspek psikologis tersebut adalah self-efficacy.Self-efficacy merupakan salah satu faktor
penting dalam menentukan prestasi matematika seseorang (Wilson & Janes dalam Widyastuti, 2010).
Pada dasarnya pola pengajaran pada SMP swasta ataupun negri itu sama atau di kota maupun daerah,
tapi dengan kondisi SDM siswa yang cenderung apa adanya sehingga kemampuan mereka dalam
mengerjakan soal dalam pelajaran matematikapun apa adanya. Oleh karena dengan latar belakang

362

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kondisi seperti ini penulis menyajikan penelitian ini dengan menggunakan pedekatan pembelajaran
berbasis masalah dimana siswa diajak untuk aktif dan belajar untuk berpikir sehingga mereka memiliki
potensi untuk meyakini diri mereka sendiri mengerjakan soal matematika. Pembelajaran berbasis
masalah merupakan strategi belajar yang berfokus pada pemecahan masalah, menganalisis masalah,
merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, pengujian hipotesis dan merumuskan penyelesaian.
1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini diidentifikasi dan
dirumuskan sebagai berikut:
d. Apakah pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP yang
memperoleh pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan pembelajaran berbasis
Masalah lebih baik dari siswa yang memperoleh pembelajaran biasa?
e. Apakah pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa SMP yang memperoleh
pembelajaran dengan menggunakan Pendekatan pembelajaran berbasis Masalah lebih baik
dari siswa yang memperoleh pembelajaran biasa?
f. Apakah terdapat kaitan antara kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan
komunikasi matematis siswa SMP?
1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk menelaah :
f. Pencapaian kemampuan pemecahan masalah, komunikasi matematis dan kemampuan diri
siswa SMP sebelum dan sesudah pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran biasa.
g. Pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP yang memperoleh
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah
dibandingkan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.
h. Pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa SMP yang memperoleh
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah
dibandingkan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.
i. Kaitan antara kemampuan pemecahan masalah dengan komunikasi matematis siswa SMP..
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
a. Bagi guru, dapat menjadi model pembelajaran alternatif yang dapat diaplikasikan dalam
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi matematis dan
kemampuan diri siswa dalam matematika.
b. Bagi siswa, diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah,
komunikasimatematis siswa dan kemampuan diri siswa dalam matematik.
c. Bagi pembelajaran matematika memberikan kontribusi kepada pembelajaran matematika
serta mampu mengoptimalkan pencapaian kemampuan diri dan kemampuan matematis
melalui pendekatan pembelajaran berbasis masalah.
1.4.

Definisi Operasional

g. Retensi adalah kemampuan untuk menyimpan dalam ingatan atau memori, konsep yang
dipahami secara baik oleh siswa dari pembelajaran yang diberikan.
h. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis adalah kemampuan yang meliputi: pemecahan
masalah, berpikir kritis dan berpikir kreatif matematik.
4) Pemecahan Masalah Matematik adalah kemampuan siswa dalam menerapkan strategi
untuk menyelesaikan berbagai masalah yang sejenis maupun yang baru dan menjelaskan
hasil yang diperoleh sesuai dengan permasalahan awal serta menyelesaikannya.
5) Berpikir Kritis Matematik adalah kemampuan yang meliputi: a) Menganalisis dan
mengevaluasi argumen dan bukti; b) Menyusun klarifikasi dan membuat pertimbangan
yang bernilai; c) Menyusun penjelasan berdasarkan data yang relevan dan yang tidak
relevan; d) Mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi.
6) Berpikir Kreatif Matematik adalah kemampuan meliputi: kemahiran/kelancaran,
kelenturan, Keaslian dan Elaborasi.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

363

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

i.

Pembelajaran Kontekstual adalah proses kegiatan belajar-mengajar yang diawali dengan


menghadapkan siswa pada masalah nyata atau yang disimulasikan dalam suatu ko nteks
sosial dan fisik yang menantang siswa, kemudian diangkat ke dalam konsep yang akan
dipelajari. Pembelajaran kontekstual ini berisikan karakterisitik sebagai berikut: berbasis
masalah kontekstual terstruktur, berpandangan konstruktivisme (constructivism), mengajukan
pertanyaan (questioning), menemukan (inquiry), komunitas belajar (learning community),
menggunakan model (modeling), melaksanakan refleksi (reflection) dan authentic assessment.

2.

Kajian Teoritis

2.1.

Kemampuan Pemecahan Masalah

Dalam penelitian ini, pemecahan masalah dinterpretasikan sebagai tujuan. Menurut NCTM (dalam
Walle, 2008), bahwa dalam standar pemecahan soal, semua siswa harus membangun pengetahuan
matematika baru melalui pemecahan soal. Ini berarti pemecahan soal harus dijadikan sarana bagi
siswa untuk mengembangkan ide-ide matematika (dalam Walle, 2008).
Salah satu standar proses dari prinsip-prinsip dan standar matematika sekolah yang telah ditetapkan
oleh NCTM (dalam Walle, 2008) adalah standar pemecahan soal. Pada standar pemecahan masalah
harus memungkinkan siswa untuk (1) membangun pengetahuan matematis baru melalui pemecahan
soal, (2) menyelesaikan soal yang muncul dalam matematika dan dalam bidang lain, (3)
menerapkan dan menyesuaikan berbagai macam strategi yang cocok untuk memecahkan soal, dan
(4) mengamati dan mengembangkan proses pemecahan soal matematis.
Berikut adalah indikator dari pemecahan masalah matematis menurut Sumarmo (2012) sekaligus
merupakan indikator yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain.
a. Mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur.
b. Membuat model matematika.
c. Menerapkan strategi menyelesaikan masalah dalam/di luar matematika.
d. menginterpretasikan hasil.
e. Menyelesaikan model matematika dan masalah nyata.
f. Menggunakan matematika secara bermakna.
Berikut contoh soal kemampuan pemecahan masalah dengan indikator mengidentifikasi unsur yang
diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur; Asti dan Anton bekerja pada sebuah perusahaan
sepatu. Asti dapat membuat tiga pasang sepatu setiap jam dan Anton dapat membuat empat pasang
sepatu setiap jam. Jumlah jam bekerja Asti dan Anton 10 jam sehari, dengan banyak sepatu yang
dapat dibuat 55 pasang. Jika banyaknya jam bekerja keduanya tidak sama, berapakah lama bekerja
Asti dan Anton? (Budi suryatin, 2009).
2.2 Kemampuan Komunikasi Matematis
Dengan pengertian bahwa komunikasi adalah sebuah cara berbagi ide-ide dan memperjelas
pemahaman, maka melalui komunikasi ide-ide direfleksikan, diperbaiki, didiskusikan, dan diubah.
Sudrajat (2001) mengatakan ketika seorang siswa memperoleh informasi berupa konsep
matematika yang diberikan guru maupun yang diperoleh dari bacaan, maka saat itu terjadi
transformasi informasi matematika dari sumber kepada siswa tersebut. Siswa akan memberikan
respon berdasarkan interpretasinya terhadap informasi itu. Masalah yang sering timbul adalah
respon yang diberikan siswa atas informasi yang diterimanya tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan. Hal ini mungkin terjadi karena karakteristik dari matematika yang sarat dengan istilah
dan simbol, sehingga tidak jarang ada siswa yang mampu menyelesaikan soal matematika dengan
baik, tetapi tidak mengerti apa yang sedang dikerjakannya.
Untuk mengurangi terjadinya hal seperti ini, siswa perlu dibiasakan mengkomunikasikan
(menyampaikan secara lisan) kepada orang lain informasi yang diperoleh sesuai dengan
penafsirannya sendiri. Sehingga orang lain dapat menilai dan memberikan tanggapan atas

364

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

penafsirannya itu. Melalui kegiatan seperti ini siswa akan mendapatkan pengertian yang lebih
bermakna baginya tentang apa yang sedang ia lakukan. Ini berarti guru perlu mendorong
kemampuan siswa dalam berkomunikasi pada setiap pembelajaran.
Sebagai aktivitas, komunikasi juga membantu siswa dalam mengembangkan bahasanya sendiri
untuk mengekspresikan ide-ide matematika dan apresiasi terhadap perlunya ketelitian dalam bahasa
yang digunakannya. Proses-proses komunikasi juga membantu membangun pengertian dan
keakuratan ide serta membuatnya dapat disampaikan kepada orang lain. Percakapan yang
mengungkapkan ide-ide matematika dalam banyak perspektif membantu siswa dalam mengasah
pikirannya dan membuat hubungan-hubungan. Siswa yang terlibat dalam diskusi, khususnya
terlibat dalam perbedaan pendapat atau mencari solusi dari suatu permasalahan, akan memahami
matematika lebih baik. Hal ini sebagai akibat dari usaha mereka untuk meyakinkan temantemannya tentang idenya atau perbedaan pandangan itu.
Kemampuan komunikasi dalam matematika dan pembelajaran matematika menjadi sesuatu yang
diperlukan diungkapkan olehLindquist (Linquist & Elliott, 1996) yang berpendapat bahwa jika kita
sepakat bahwa matematika itu merupakan suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasan terbaik
dalam komunitasnya, maka mudah dipahami bahwa komunikasi merupakan esensi dari mengajar,
belajar, dan mengassess matematika. Pada bagian lain Cai, Lane, dan Jakabcsin (1996)
mengatakan adalah mengejutkan bagi siswa ketika mereka diminta untuk memberikan
pertimbangan atau penjelasan atas jawabannya dalam belajar matematika. Hal ini terjadi sebagai
akibat dari sangat jarangnya para siswa dituntut untuk menyediakan penjelasan dalam pelajaran
matematika, sehingga sangat asing bagi mereka untuk berbicara tentang matematika. Karena itu
menurut Pugalee (2001) siswa perlu dibiasakan dalam pembelajaran untuk memberikan argumen
atas setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain,
sehingga apa yang sedang dipelajari menjadi lebih bermakna baginya.
Indikator dalam penelitian yang akan dilakukan penulis adalah : Menghubungkan benda nyata,
gambar, dan diagram ke dalam idea matematika; menjelaskan idea, situasi dan relasi matematik
secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar; menyatakan peristiwa
sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang
matematika; membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis; membuat
konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; menjelaskan dan membuat
pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari
Berikut contoh soal kemampuan komunikasi matematis dengan indikator ; menyatakan peristiwa
sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; Seorang anak yang membeli 3 buku tulis dan 2
pensil, harus membayar Rp.26.000,00, adiknya membeli 5 buku tulis dan 1 pensil, dan harus
membayar Rp.27.000,00. Harga 1 buah buku tulis adalah ..., sedangkan 1 pensil adalah .... (Budi
suryatin, 2009).
2.3 Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah
Smith (2005), mengemukakan bahawa manfaat PBM di atas menemukan bahwa siswa akan
meningkat kecakapan pemecahan masalahnya, lebih mudah mengingat, meningkat pemahamannya,
meningkat pengetahuannya yang relevan dengan dunia praktik, mendorong mereka penuh
pemikiran, membangun kemampuan kepemimpinan dan kerjasama, kecakapan belajar dan
memotivasi siswa. Adapun kelebihan dan kekurangan dari Pendekatan pembelajaran berbasis
masalah (PBM) ini adalah sebagai berikut :
Kelebihannya adalah :
a. Mengembangkan jawaban yang bermakna bagi suatu masalah yang akan membawa siswa
mampu menuju pemahaman lebih dalam mengenai suatu materi
b. PBM memberikan tantangan pada siswa sehingga mereka bisa memperoleh kepuasan dengan
menemukan pengetahuan baru bagi dirinya sendiri
c. PBM membuat siswa selalu aktif dalam pembelajaran

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

365

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

d. PBM membantu siswa untuk mempelajaribagaimana cara untuk mentransfer pengetahuan


mereka kedalam masalah dunia nyata.
e. PBM dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis setiap siswa serta kemampuan
mereka untuk beradaptasi untuk belajar dengan situasi yang baru
f. Menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan
baru bagi siswa.
g. Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa.
h. Dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah
dalam kehidupan nyata .
Kekurangannya adalah:
a. Siswa yang terbiasa dengan informasi yang diperoleh dari guru dan guru merupakan
narasumber utama, akan merasa kurang nyaman dengan cara belajar sendiri dalam pemecahan
masalah.
b. Jika siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang
dipelajari sulit untuk dipecahkan maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba masalah
memerlukan cukup waktu untuk persiapan.
c. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang
dipelajari maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Dari pendapat para ahli, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Problem Based Learning (PBM)
adalah metode pendidikan yang medorong siswa untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama
dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah
digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek.
PBM menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan
dan menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran. Dalam PBM, siswa dituntut
bertanggungjawab atas pendidikan yang mereka jalani, serta diarahkan untuk tidak terlalu
tergantung pada guru. PBM membentuk siswa mandiri yang dapat melanjutkan proses belajar pada
kehidupan dan karir yang akan mereka jalani. Seorang guru lebih berperan sebagai fasilitator atau
tutor yang memandu siswa menjalani proses pendidikan. Ketika siswa menjadi lebih cakap dalam
menjalani proses belajar, PBM tutor akan berkurang keaktifannya
Langkah langkah dalam PBM menurut M. Taufik Amir (2009) : 1) mengklarifikasi istilah dan
konsep yang belum jelas; 2) merumuskan masalah; 3) menganalisis masalah; 4) menata gagasan
dan secara sistematis menganalisis dengan dalam; 5) memformulasikan tujuan pembelajaran;
6)mencari informasi tambahan dari sumber lain; 7) mensintesa (menggabungkan) dan menguji
informasi baru, dan membuat laporan untuk kelas. Sejalan dengan itu diungkapkan oleh (Barrows
and Kelson, 1995) bahwa tahapan dari PBM itu adalah : 1) Menjelaskan susunan kata, pernyataan
dan konsep yang tidak diketahui; 2) Menentukan masalah; 3)Tukar pendapat analisi/coba
jelaskan masalah tersebut; 4)Merumuskan masalah pembelajaran dan tentukan tindakan yang perlu
diambil; 5)Pembelajaran yang diarahkakn diri sendiri; 6)Pertemuan selanjutya : laporkan evaluasi
pembelajaran yang diarahkan sendiri. Perbaiki masalah pembelajaran dan tentukan tindakan lebih
lanjut;7)Fase laporan, penyelesaian masalah, evaluasi proses.

3.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan kuasi eksperimen. Populasi penelitian adalah siswa SMP di kabupaten
Cianjur tahun pelajaran 2014/2015. Desain kelompok kontrol pretes-postes melibatkan paling tidak
dua kelompok.
Desain penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
X O
---------------O
366

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Dimana:
O : Postest kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis
X : Pembelajaran dengan Pendekatan pembelajaran berbasis masalah
--------: Pengambilan sampel tidak acak
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
Pada penelitian ini dikembangkan dua jenis instrumen, yaitu instrumen tes dan non-tes Instrumen
dalam bentuk tes terdiri dari pretes kemampuan pemecahan masalah matematis dan komunikasi
matematis siswa serta postes kemampuan pemecahan masalah matematis dan komunikasi
matematis siswa. Sedangkan, instrumen dalam bentuk non-tes, lembar observasi yang memuat
aktivitas siswa dan guru dalam pembelajaran. Sebelum digunakan dalam penelitian, instrumen tes
tersebut terlebih dahulu diujicobakan untuk melihat validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan
indeks kesukaran. Berikut ini disajikan contoh instrumen dalam penelitian ini.
Contoh 1 : soal pemecahan masalah
Seorang pedagang menjual semua ikan cakalang dan kepiting bakau yang diperolehnya seharga Rp.
600.000,00. Harga 2 ekor kepiting bakau adalah Rp. 12.000,00,-, dan harga 3 ekor ikan cakalang
adalah Rp. 60.000,00. Apabila ia hanya menjual dari jumlah kepiting dan
dari jumlah ikan
cakalang, maka ia dapat mengumpulkan uang sebanyak Rp. 110.000,00. Jika kita ingin menghitung
jumlah masing-masing ikan cakalang dan kepiting bakau yang telah dijual pedagang itu? Tuliskan
langkah-langkah untuk menyelesaikannya!
Contoh 2 : soal komunikasi matematis
Misalnya diketahui SPLDV :
3x + y = 24
y = 3x
a. Gambarkanlah kedua garis yang menyusun SPLDV tetrsebut pada satu diagram cartecius!
b. Buatlah suatu cerita masalah sehari-hari yang sesuai dengan SPLDV tersebut! Kemukanan
sebuah pertanyaan terkait cerita yang kamu buat dan dapat dijawab dengan menyelesaikan
SPLDV di atas!

4.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan penggunaan pendekatan


Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) dapat mengembangkan kemampuan siswa SMP dalam
menyelesaikan soal matematika, khususnya siswa diarahkan dalam kemampuan pemecahan
masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis, selain itu dapat mengembangkan
kemampuan diri (rasa percaya diri) siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Penelitian ini
dilaksanakan pada siswa SMP dengan kemampuan matematik siswa yang tergolong sedang.
Mereka memerlukan waktu belajar yang lebih lama untuk memahami konsep-konsep matematika
dan penerapannya. Terlebih lagi, soal-soal kemampuan pemecahan masalah matematik dan
komunikasi matematik. Oleh karena itu disarankan pembelajaran dilaksanakan dalam waktu yang
cukup untuk memberi kesempatan siswa belajar secara bermakna. Diharapkan bahwa PBM layak
dipergunakan oleh guru bidang studi Matematika di SMP sebagai alternatif untuk mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis.

DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. (2010). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Amir, M.T. (2013). Inovasi PendidikanMelalui Problem Based Learning . Jakarta: Kencana.
Gordah, E. K. (2009). Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis
Melalui Pendekatan Open Ended.Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

367

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Handayani, I.(2011). Penggunaan Model Method Dalam Pembelajaran Pecahan Sebagai Upaya
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Self-Efficacy Siswa
Sekolah Dasar.Tesis pada SPs UPI: Tidak diterbitkan.
Hendriana. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik dan Kepercayaan Diri Siswa
SMP. Disertasi pada SPs UPI: Tidak diterbitkan.
National Council of Teachers of Mathematics. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for
School Mathematics. Reston, VA : NCTM. (2000). Principles and Standards for Schools
Mathematics. Reston, VA:NCTM.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru
Mengembangkan Kompetensinra
dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito
Kemampuan
Metakognisi.
[Online].
Tersedia:
http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/metakognisi.pdf. []
Walle, J. (2008). Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Pengembangan Pengajaran. Jakarta:
Erlangga.
Widyastuti. (2010). Pengaruh Pembelajaran Model-Elicting Activities Terhadap Kemampuan
Representasi Matematis dan Self-efficacy Siswa. Tesis pada SPs UPI: Tidak diterbitkan.
Yusfhy
(2014).
Kelebihan
dan
Kekurangan
Model
Pembelajaran.[Online].
Tersedia:http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2254000-kelebihan-dankekurangan-model-pembelajaran/#ixzz31sTTuB78

368

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI


MATEMATIK SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN
MATEMATIK REALISTIC INDONESIA (PMRI)
Irman
Mahasiswa S-2 Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi
doank.irman@rocketmail.com

ABSTRAK
Kemampuan komunikasi matematik siswa merupakan fondasi dalam membangun pengetahuan
siswa terhadap matematika baik lisan maupun tulisan. Ada beberapa indikator yang dapat
dilihat untuk membangun kemampuan mengkomunikasikan ide atau gagasan kedalam model
matematika. Walaupun kemampuan komunikasi matematik siswa sangat penting namun pada
kenyataannya siswa sedikit sekali dapat mengkomunikasikan ide tersebut sehingga
kemampuan siswa juga berkurang. Siswa hanya biasa mengerjakan soal yang dituntut mencari
hasil namun tidak atau jarang sekali ditanya asal usul atau langkah-langkah pengerjaannya.
Pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang real bagi siswa, menekankan
keterampilan proses of doing mathematics, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi
dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (student inventing sebagai
kebalikan dariteacher telling) dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk
menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Pada pendekatan ini peran
guru tak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator sementara siswa berpikir,
mengkomunikasikan reasoning, melatih nuansa demokrasi dengan menghargai
pendapatoranglain. Maka dengan itu penulis bermaksud menampilkan pembelajaran yang
berkaitan dengan proses sehari-hari dan akkhirnya dapat meningkatkan komunikasi matematik
siswa dengan pembelajaran matematik realistik.
Kata Kunci: Kemampuan Komunikasi Matematik, Pendekatan Pembelajaran Matematik
Realistik

1.

Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diikuti oleh siswa mulai dari tingkat
sekolah dasar sampai tingkat sekolah menengah bahkan sampai ke perguruan tinggi. Hal ini disebabkan
matematika sangat dibutuhkan dan berguna dalam kehidupan sehari-hari bagi sains, perdagangan dan
industri. Di samping matematika menyediakan suatu daya, alat komunikasi yang singkat dan tidak
ambigius serta berfungsi sebagai alat untuk mendeskripsikan dan memprediksi.
Mengingat begitu penting peranan matematika, telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas pendidikan matematika. Usaha yang telah dilakukan diantaranya mengadakan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), seminar, pelatihan guru, penyempurnaan kurikulum dan
lain-lain. Namun usaha ini belum memberikan hasil yang memuaskan, karena jika dilihat di lapangan
hasil belajar matematika masih rendah jika dibandingkan dengan hasil belajar mata pelajaran lain.
Depdiknas (2003:1) merumuskan bahwa tujuan dari pembelajaran matematika adalah sebagai berikut
a. Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan.
b. Mengembangkan aktifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan
mengembangkan pemikiran yang divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan
serta mencoba-coba.
c. Mengembangkan kemampuan penyampaian informasi atau mengkomunikasikan gagasan.
Pencapaian tujuan tersebut diuraikan dalam bentuk kompetensi dasar yang berupa

pengetahuan,

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

369

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

keterampilan, dan sikap dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Untuk membantu siswa dalam
menguasai matematika, perlu usaha maksimal agar tujuan pembelajaran matematika dapat tercapai
seperti yang diharapkan. Salah satu yang dapat dilakukan dalam pembelajaran matematika adalah guru
seharusnya dapat memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang tepat, sehingga siswa dapat
memahami konsep matematik dengan baik dan mampu mengembangkan kemampuan menyampaikan
informasi atau mengkomunikasikan gagasan dari konsep matematika tersebut.
Terdapat beberapa alasan pentingnya kemampuan komunikasi matematika siswa dikembangkan dalam
pembelajaran matematika. Pertama, kemampuan komunikasi diperlukan untuk mempelajari bahasa dan
simbol-simbol matematika serta mengekspresikan ide-ide matematik. Disamping itu komunikasi juga
bermanfaat untuk melatih siswa untuk mengemukakan gagasan secara jujur berdasarkan fakta , rasional,
serta meyakinkan orang lain dalam rangka memperoleh pemahaman bersama.

2. Pembahasan
Komunikasi Matematik
Komunikasi memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran matematik, dengan
komunikasi yang baik siswa dapat dengan lancar mengemukakan berbagi ide serta bertukar pikiran,
baik dengan siswa maupun dengan guru dan lingkungannya.
Dengan cara berdiskusi, hasil pemikiran yang dimiliki akan lebih mudah untuk ditularkan kepada yang
lainnya, dan diapun akan mendapatkan pengetahuan baru dari hasil diskusi. Selain itu bagi yang
mendengarkannya akan berkesempatan untuk membangun pengetahuan dari hasil menyimak penjelasan
tersebut dan pada akhirnya dapat diketahui kelemahan dan kelebihannya.
Matematika memiliki fungsi yang cukup menentukan sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikiran,
ide dan gagasan yang ada dalam otak individu, sehingga fungsi matematika tidak hanya sebagai alat
berpikir yang membantu untuk menyelesaikan masalah saja, tetapi matematika juga merupakan suatu
sistem yang terstruktur dengan baik yang sifatnya bersistem deduktif.
Untuk dapat mengkomunikasikan matematika dengan efektif kemudian dibuatlah simbol-simbol yang
mampu mewakili bahasa matematik agar bisa mempermudah dan mempersingkat pemahaman kita
terhadap maksud dan tujuan dari informasi yang ingin disampaikan.
Kegiatan belajar bersama adalah hal yang penting untuk mengasah keterampilan dan mengembangkan
komunikasi matematik. Siswa dapat belajar dengan berdiskusi sehingga terjadi pembicaraan lebih dari
satu arah antar mereka dan akhirnya mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan lebih mudah
karena adanya saling memberi penjelasan. Pada kegiatan belajar bersama akan terjadi komunikasi
dimana jika ada salah satu dari peserta diskusi menyampaikan pendapatnya maka peserta lain akan
mendengarkan dan mencatat sesuatu yang penting yang disampaikan pembicara, kemudian catatan
tersebut dapat dibaca ulang untuk dijadikan argumen baru
Dari beberapa pendapat para ahli disimpulkan oleh Sumarmo (2012 : 14), untuk mengidentifikasi
indikator komunikasi matematik adalah meliputi kemampuan sebagai berikut :
a. Menghubungkan benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matematik;
b. Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, gambar,
grafik dan aljabar;
c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa dan simbol matematika;
d. Mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematika;
e. Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika;
f. Menyusun konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi;
g. Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam bahasa sendiri.
Sebagai contoh, pemakalah mengambil materi bangun ruang sisi datar yang dihubungkan dengan dunia
nyata, sehingga menuntut siswa untuk mengumpulkan, mencatat, menginterpretasi, menganalisis,
mengkomunikasikan, dan merepresentasikan data yang sangat penting bagi proses pembuatan
370

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

keputusan. Kemampuan komunikasi matematik siswa dapat dilihat melalui indikator sebagai berikut :
a. Dapat mengkomunikasikan strategi penyelesaian suatu masalah matematik.
Contoh soal :
Perhatikan gambar kotak-kotak persegi di bawah ini!

a. Bila kamu mengarsir sebagian dari persegi-persegi tersebut, bentuk jaring-jaring bangun ruang
apakah yang dapat dibuat dengan menggunakan kotak-kotak tersebut? Mengapa?
b. Ada berapa jaring-jaring bangun ruang yang dapat dibuat dari kotak-kotak itu?
c. Berilah penjelasan tentang jaring-jaring bangun ruang yang kamu kehendaki dengan cara mengarsir
kotak-kotak tersebut secara terpisah!
2. Dapat menyusun suatu argumen dari suatu penyelesaian masalah matematik
Contoh soal :
Lihatlah gambar ini!

a. Dengan petunjuk-petunjuk yang ada, ungkapkan cerita tentang gambar itu?


b. Tulislah unsur-unsur apa sajakah yang dapat kamu ketahui berdasarkan gambar tersebut?
c. Dapat menyatakan suatu idea/relasi matematika dalam suatu gambar
Contoh soal :
Diketahui panjang rusuk kubus sama dengan tinggi balok, lebar balok sama dengan setengah panjang
rusuk kubus, panjang balok sama dengan 5 kali panjang rusuk kubus. Andaikan tinggi balok sama
dengan a, maka :
a. Ilustrasikan bentuk kedua bangun ruang itu!
b. Susun model matematika untuk menentukan luas permukaan kubus serta volume balok!
4. Dapat memberikan alasan tentang dipilihnya suatu bentuk matematik untuk menyajikan suatu
peristiwa dalam kehidupan sehari-hari
Contoh soal :
Atap sebuah rumah berbentuk limas dengan alas persegi berukuran 18 m x 18 m dan tinggi segitiga pada
bidang tegaknya 10 m. Pemilik rumah bermaksud akan memasang genting pada atap tersebut.
a. Tunjukkan gambar yang tepat dari soal tersebut.
b. Gambarkan data di atas dalam bentuk matematika untuk mengetahui luas atap yang harus dipasangi
genting.
c. Seandainya tiap-tiap m2 memerlukan 24 buah genting, berapa banyak genting yang harus dipasang
oleh pemilik rumah?
5. Dapat menyatakan peristiwa kehidupan sehari-hari ke dalam bentuk matematik
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

371

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Contoh soal :
Pak Buhori membuat tempat penampung pasir yang cukup unik di rumahnya yaitu berbentuk prisma
segitiga siku-siku yang memiliki luas alas 6 m2 dan tinggi prisma 2 m. Setiap hari secara rutin prisma
tersebut diisi pasir yang diambil dari sungai oleh 4 orang anak Pak Buhori. Satu orang anak
berkewajiban mengangkut 5 kali per hari, setiap kali mengangkut masing-masing mampu membawa
sepersepuluh kubik.
a. Tulis bentuk matematika dari kegiatan di atas menurut cara kamu sendiri.
b. Tentukan berapa banyak masing-masing anak dapat mengangkut pasir sampai wadah tersebut terisi
penuh.
c. Cukupkah waktu seminggu untuk menyelesaikan pekerjaan mereka? Mengapa?

3. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia


2.1 Penghertian PMRI
Secara garis besar PMRI atau RME adalah suatu teori pembelajaran yang telah dikembangkan
khusus untuk matematika. Konsep matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk
memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana
meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar.
2.2 Karakteristik PMRI
\

Karakteristik PMRI adalah menggunakan: konteks dunia nyata, model-model, produksi dan
konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (Koen,1994).
a. Menggunakan Konteks Dunia Nyata
b. Menggunakan Model-model (Matematikasi)
c. Menggunakan Produksi dan Konstruksi
d. Menggunakan Interaktif
e. Menggunakan Keterkaitan (Intertwinment)
2.3 Prinsip PMRI
Van den Heuvel-Panhuizen (1996) dalam Marpaung, merumuskan prinsip PMRI sebagai berikut:
a. Prinsip Aktivitas
b. Prinsip Realitas
c. Prinsip Berjenjang
d. Prinsip Jalinan
e. Prinsip Interaksi
2.4 Ciri-Ciri PMRI
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia adalah pendekatan pembelajaran yang memiliki ciriciri sebagai berikut:
1) Menggunakan masalah kontekstual, yaitu matematika dipandang sebagai kegiatan sehari-hari
manusia, sehingga memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi atau dialami oleh siswa
(masalah kontekstual yang realistik bagi siswa) merupakan bagian yang sangat penting.
2) Menggunakan model, yaitu belajar matematika berarti bekerja dengan matematika (alat
matematis hasil matematisasi horisontal).
3) Menggunakan hasil dan konstruksi siswa sendiri, yaitu siswa diberi kesempatan untuk
menemukan konsep-konsep matematis, di bawah bimbingan guru.
4) Pembelajaran terfokus pada siswa.
5) Terjadi interaksi antara murid dan guru, yaitu aktivitas belajar meliputi kegiatan memecahkan
masalah kontekstual yang realistik, mengorganisasikan pengalaman matematis, dan

372

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

mendiskusikan hasil-hasil pemecahan masalah tersebut (Suryanto&Sugiman dalam Supinah,


2008: 16).
2.5 Standar Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
Berdasarkan Seminar PMRI di Yogyakarta pada tanggal 17-18 April 2009 ditetapkan standar
penjaminan mutu PMRI. Terdapat 5 standar guru PMRI yang ditetapkan yaitu:
a. Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang PMRI dan dapat
menerapkannya dalam pembelajaran matematika untuk menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.
b. Guru mendampingi siswa dalam berpikir, berdiskusi, dan bernegosiasi untuk mendorong
inisiatif dan kreativitas siswa.
c. Guru mendampingi dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan gagasan dan
menemukan strategi pemecahan masalah menurut mereka sendiri.
d. Guru mengelola kerja sama dan diskusi siswa dalam kelompok atau kelas sehingga siswa dapat
saling belajar.
e. Guru bersama siswa menyimpulkan konsep matematika melalui proses refleksi dan konfirmasi.
Selain standar guru, ada pula standar pembelajaran PMRI yaitu:
1. Pembelajaran materi baru diawali dengan masalah realistik sehingga siswa dapat mulai berpikir
dan bekerja.
2. Pembelajaran memberi kesempatan pada siswa untuk mengeksplorasi masalah yang diberikan
guru dan bertukar pendapat sehingga siswa dapat saling belajar dan meningkatkan pemahaman
konsep.
3. Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat pembelajaran lebih
efisien.
4. Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk memberi kesempatan bagi siswa
belajar matematika secara utuh, yaitu menyadari bahwa konsep-konsep dalam matematika
saling berkaitan.
5. Pembelajaran materi diakhiri dengan proses konfirmasi untuk menyimpulkan konsep
matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk
2.6 kelebihan dan Kelemahan PMRI
Menurut Suwarsono (Fauzan: 2002) kelebihan pembelajaran matematika realistik antara lain:
a. Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan antaramatematika dengan
kehidupan sehari-hari dan tentang kegunaanmatematika pada umumnya bagi manusia.
b. Matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh
siswa dan oleh orang lain tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar matematika.
c. Cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus sama antara
orang yang satu dengan yang lainnya.
d. Mempelajari proses pembelajaran matematika merupakan sesuatu yangutama dan untuk
mempelajari metematika orang harus menjalanisendiri proses itu dan menemukan sendiri
konsep-konsep matematika dengan bantuan guru.
e. Memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan pembelajaran lainyang juga
dianggap unggul yaitu antara pendekatan pemecahanmasalah, pendekatan konstruktivisme dan
pendekatan pembelajaran yang berbasis lingkungan.
Kelemahan pembelajaran matematika realistik menurut Suwarsono (Hadi, 2003), yaitu :
a. Pencarian soal-soal yang kontekstual tidak terlalu mudah untuk setiap topik matematika yang
perlu dipelajari siswa.
b. Penilaian dan pembelajaran matematika realistik lebih rumit daripada pembelajaran
konvensional.
c. Pemilihan alat peraga harus cermat sehingga dapat membantu peroses berfikir siswa.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

373

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3. Hasil Penelitian yang Relevan


Berdasarkan studi terhadap beberapa hasil penelitian secara umum diperoleh gambaran mengenai
pembelajaran dengan pembelajaran PMRI yang dilaksanakan di sekolah menengah memberikan
hasil yang positif, baik mengenai hasil belajar maupun sikap siswa dalam pembelajaran.
Darto (2008) dalam penelitiannya tentang Meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan
masalah matematik siswa melalui pendekatan Realistic Mathematics Education di SMP negeri 3
pangkalan Kuras, disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematik siswa dengan metode
PMRI lebih baik daripada yang diajar dengan metode konvensional. Penelitian ini dapat dijadikan
acuan bahwa pendekatan Realistic Mathematics Education salah satu pendekatan pembelajaran
yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa.

4. Kesimpulan
Komunikasi memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran matematik, dengan
komunikasi yang baik siswa dapat dengan lancar mengemukakan berbagi ide serta bertukar
pikiran, baik dengan siswa maupun dengan guru dan lingkungannya. Dengan cara berdiskusi, hasil
pemikiran yang dimiliki akan lebih mudah untuk ditularkan kepada yang lainnya, dan diapun akan
mendapatkan pengetahuan baru dari hasil diskusi. Selain itu bagi yang mendengarkannya akan
berkesempatan untuk membangun pengetahuan dari hasil menyimak penjelasan tersebut dan pada
akhirnya dapat diketahui kelemahan dan kelebihannya. Matematika memiliki fungsi yang cukup
menentukan sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikiran, ide dan gagasan yang ada dalam otak
individu, sehingga fungsi matematika tidak hanya sebagai alat berpikir yang membantu untuk
menyelesaikan masalah saja, tetapi matematika juga merupakan suatu sistem yang terstruktur
dengan baik yang sifatnya bersistem deduktif. Untuk dapat mengkomunikasikan matematika
dengan efektif kemudian dibuatlah simbol-simbol yang mampu mewakili bahasa matematik agar
bisa mempermudah dan mempersingkat pemahaman kita terhadap maksud dan tujuan dari
informasi yang ingin disampaikan
PMRI dipandang oleh penulis sebagai pembelajaran yang tepat dalam meningkatkan kemampuan
komunikasi matematik. Dalam PMRI dunia nyata digunakan sebagai titik awal untuk
pengembangan ide dan konsep matematika. Ketika memecahkan suatu masalah dengan
menggunakan PMRI maka :
a. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi
belajar selanjutnya.
b. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya
sendiri.
c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi,
modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.
d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat
ragam pengalaman.
4.1 Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan adalah:
1. Berdasarkan karakteristik PMRI masalah yang diberikan guru sebaiknya adalah masalah (soal)
yang nyata bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa
segera terlibat dalam pelajaran yang bermakna.
2. Guru bertindak sebagai fasilitator untuk memancing diskusi antar siswa.
3. Guru dapat mengatur kembali waktu untuk berdiskusi sehingga interaksi dari anggota kelas
yang lain dapat terjadi.
4. Guru dapat mengakhiri pembelajaran dengan konfirmasi jawaban yang diberikan oleh siswa.

374

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fauzan. 2002. Applying Realistic Mathematics Education (RME) in Teaching Geometry in
Indonesian Primary Schools. Enschede: Print Partners Ipskamp.
Darto. 2008. Meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa melalui pendekatan
Realistic Mathematic Education di SMPN 3 Pangkalan Kuras.Tesis tidak diterbitkan.
Universitas Negeri padang.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika
Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta: Depdiknas.
Graveneijer Koeno. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Neterland:Freundenthal
Institude.
John A. 2008 . Matematika Sekolah Dasar dan Menengah. Jakarta : Erlangga.
Marpaung, Y . 2000 . Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Maatematika di SD. Proceding
Konperensi Nasional X Matematika. ITB, 17-20 Juli 2000.
Utari Sumarno. 2002. Pengukuran evaluasi dalam pendidikan. UPI Bandung.
Supinah.2008. Pembelajaran Matematika SD Dengan Pendekatan Kontekstual Dalam
Melaksanakan KTSP.Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik Tenaga
Kependidikan Matematika.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

375

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN


KONEKSI SERTA DISPOSISI MATEMATIK SISWA
MADRASAH TSANAWIYAH MELALUI PEMBELAJARAN
BERBASIS MASALAH
Nurjaman
MTs Negeri Ujungjaya Sumedang
nurmang14@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian yang akan dilaksanakan ini, bertujuan ingin mengetahui peningkatan kemampuan
Pemahaman dan Koneksi serta Disposisi Matematika Siswa Madrasah Tsanawiyah Melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah. Dari telaah literature yang dilakukan penulis diketahui bahwa
kemampuan Pemahaman Matematik menjadi sangat penting dan mendasar yang harus dikuasai
peserta didik. Hal ini akan menjadi dasar pada kemampuan-kemempuan selanjutnya yang harus
dan akan dimiliki peserta didik, seperti Kemampuan Koneksi dan Disposisi Matematik.
Dengan menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah diharapkan akan lebih mudah dalam
mengungkap peningkatan kemampuan pemahaman dan koneksi serta Disposisi Matematik
dengan membandingkan hasil pembelajaran biasa.
Kata Kunci: Kemempuan Pemahaman Matematik, Kemempuan Disposisi Matematik,
Disposisi Matematik, Pembelajaran Berbasis Masalah

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Kemampuan pemahaman mutlak harus dikuasai karena akan mempermudah siswa untuk
mengikuti pembelajaran sekaligus akan menjadi pondasi yang kokoh bagi dirinya sehingga akan
mempermudah mengikuti pembelajaran selanjutnya.
Kemampuan pemahaman matematis adalah salah satu tujuan penting dalam pembelajaran,
memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya sebagai
hafalan, namun lebih dari itu dengan pemahaman siswa dapat lebih mengerti akan konsep materi
pelajaran itu sendiri.
Kemampuan Koneksi Matematik merupakan kemampuan mendasar yang harus dimiliki oleh
Siswa. Pentingnya kemampuan koneksi matematika terkandung dalam tujuan pembelajaran
matematika sekolah dasar (KTSP,2006:417) yaitu memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien,
dan tepat, dalam pemecahan masalah
Dalam matematika setiap konsep itu berkaitan dengan konsep lain, karenanya kemampuan untuk
menghubungkan suatu konsep dengan konsep lain siswa harus lebih banyak diberikan kesempatan
untuk melihat keterkaitan itu dengan latihan-latihan yang mengarahkanya.Melalui kemampuan
koneksi matematis, kemampuan berfikir siswa terhadap matematika diharapkan dapat menjadi
semakin luas. Selain itu, koneksi matematis dapat pula meningkatkan kemampuan kognitif siswa
seperti mengingat kembali, memahami penerapan suatu konsep terhadap lingkungan dan
sebagainya. Tanpa menerapkan konsep dengan pengalaman siswa, maka ia akan susah mengingat
suatu materi yang disampaikan dan mengingat terlalu banyak konsep yang terpisah padahal
matematika kaya akan prinsip-prinsip.

376

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan dalam penelitian ini diidentifikasi dan
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa Madrasah
Tsanawiyah yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada
pembelajaran biasa?
2. Apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa Madrasah
Tsanawiyah yang menggunakan pembelajaran berbais masalah lebih baik daripada
pembelajaran biasa?
3. Apakah Disposisi matematik siswa Madrasah Tsanawiyah yang menggunakan pembelajaran
berbasis masalah lebih baik daripada pembelajaran biasa?
4. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman dan koneksi matematik siswa
Madrasah Tsanawiyah?
1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan dalam penelitian ini diidentifikasi dan
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan pemahaman matematik siswa Madrasah
Tsanawiyah yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada
pembelajaran biasa?
2. Apakah pencapaian dan peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa Madrasah
Tsanawiyah yang menggunakan pembelajaran berbais masalah lebih baik daripada
pembelajaran biasa?
3. Apakah Disposisi matematik siswa Madrasah Tsanawiyah yang menggunakan pembelajaran
berbasis masalah lebih baik daripada pembelajaran biasa?
4. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman dan koneksi matematik siswa
Madrasah Tsanawiyah?
1.4.

Manfaat Penelitian

Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:


a. Bagi Guru
Proses pembelajaran yang baik akan menumbuhkan sikap dan minat siswa terhadap pelajaran
matematika. Dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki siswa yang dilakukan oleh guru
dalam proses pembelajaran baik dari kemampuan pemahaman dan koneksi serta disposisi
matematik akan banyak manfaat yang diperoleh guru diantaranya, transfer of knowledge
terhadap siswa akan berjalan sesuai yang diharapkan, suasana pembelajaran menjadi
menyenangkan yang pada akhirnya akan menghasilkan hasil yang maksimal serta guru akan
lebih semangat dalam menjalankan tugasnya di kelas.
b. Bagi Siswa
Suasana pembelajaran yang menyenangkan akan lebih membuat siswa mudah menerima materi
dengan baik dan aktifitas siswa akan lebih optimal dalam pembelajaran yang berpusat pada
mereka, sekaligus menumbuhkan rasa keingintahuan siswa dalam pembelajaran serta akan
lebih tergali kemampuan koneksi matematiknya.
c. Bagi Pembelajaran Matematik
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi bagi para guru untuk lebih
mengembangkan kreatifitas dalam pembelajaran yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil
belajar matematika siswa.adalah kemampuan untuk menyimpan dalam ingatan atau memori,
konsep yang dipahami secara baik oleh siswa dari pembelajaran yang diberikan.

2.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen,dimana unsur pemilihan acak diabaikan.
Kemudian menggunakan dua kelas sampel, satu kelas sebagai kelas eksperimen yang diberi

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

377

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

perlakuan berupa pendekatan pembelajaran berbasis masalah dan kelas control diberi pendekatan
pembelajaran biasa.
Desain penelitian ini adalah sebagai berikut:
OXO
-------O O
Keterangan:
O
= tes awal/ tes akhir kemampuan pemahaman dan koneksi serta disposisi matematik
X
= pendekatan pembelajaran berbasis masalah
------ = pengambilan sampel tidak acak

3.

Studi Literatur

3.1 Pemahaman Matematik


Pemahaman Menurut Virlianti (2002:6) adalah konsepsi yang bisa dicerna atau dipahami oleh
peserta didik sehingga mereka mengerti apa yang dimaksudkan, mampu menemukan cara untuk
mengungkapkan konsepsi tersebut, serta dapat mengeksplorasi kemungkinan yang
terkait.Selanjutnya menurut Ernawati (2003:8) pemahaman adalah kemampuan menangkap
pengertian-pengertian seperti mampu mengungkapkan suatu materi yang disajikan dalam bentuk
lain yang dapat dipahami, mampu memberikan interpretasi dan mampu mengklasifikasikannya.
Demikian juga menurut Mulyasa (2005 : 78) bahwa pemahaman adalah kedalaman kognitif dan
afektif yang dimiliki oleh individu.
Sedangkan menurut menurut Sanjaya (2009) mengatakan dimaksud pemahaman konsep adalah
kemampuan siswa yang berupa penguasaan sejumlah materi pelajaran, dimana siswa tidak sekedar
mengetahui atau mengingat sejumlah konsep yang dipelajari, tetapi mampu mengungkapan
kembali dalam bentuk lain yang mudah dimengerti, memberikan interprestasi data dan mampu
mengaplikasikan konsep yang sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Sementara Pemahaman Matematik menurut Polya (Sumarmo, 2013) menggolongkan pemahaman
matematik dalam empat tingkat pemahaman yaitu sebagai berikut:
a. Pemahaman mekanikal yaitu dapat melaksanakan perhitungan rutin atau perhitungan
sederhana.
b. Pemahaman induktif yaitu dapat mencoba sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu bahwa
sesuatu itu berlaku dalam kasus serupa.
c. Pemahaman rasional yaitu dapat membuktikan kebenaran sesuatu.
d. Pemahaman intuitif yaitu dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa ragu-ragu, sebelum
menganalisis secara analitik.
Berbeda dengan Polya, Skemp (Sumarmo, 2013) membedakan dua jenis tingkatan pemahaman
sebagai berikut:
a. Pemahaman instrumental yaitu hafal sesuatu secara terpisah atau menerapkan sesuatu pada
perhitungan rutin atau sederhana, mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja. Tingkat
pemahaman ini setara dengan pemahaman mekanikal.
b. Pemahaman relasional yaitu dapat mengaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar dan
menyadari proses yang dilakukan. Tingkat pemahaman ini setara dengan pemahaman
relasional.
Serupa dengan Skemp, Pollatsek (Sumarmo, 2013) membedakan dua tingkatan pemahaman yaitu:
a. Pemahaman komputasional yaitu dapat menerapkan rumus atau aturan pada perhitungan rutin
atau sederhana, atau menerapkan rumus atau aturan algoritmik saja. Pemahaman ini setara
dengan pemahaman mekanikal dan pemahaman instrumental.
b. Pemahaman fungsional yaitu dapat mengaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar dan
menyadari proses yang dilakukan. Pemahaman ini setara dengan pemahaman rasional dan
pemahaman relasional.

378

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Mirip dengan Skemp dan Pollatsek, Copeland (Sumarmo, 2013) membedakan dua tingkatan
pemahaman sebagai berikut:
a. Knowing how to yaitu dapat mengerjakan perhitungan secara rutin atau algoritmik.
Pemahaman ini setara dengan pemahaman mekanikal, pemahaman instrumental dan
pemahaman komputasional.
b. Knowing yaitu dapat mengerjakan perhitungan dengan sadar akan proses yang dikerjakannya.
Pemahaman ini setara dengan pemahaman rasional, pemahaman intuitif dan pemahaman
fungsional
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman matematik adalah tingkatan
berfikir yang masih sederhana yakni melakukan perhitungan, mencoba dan membuktikan serta
memperkirakan kebenaran sesuatu dengan penuh keyakinan dan percaya diri. Sehingga indikator
dari kemampuan pemahaman matematik yang digunakan adalah:
1) Pemahaman mekanikal (pemahaman instrumental, pemahaman komputasional dan knowing
how to).
Contoh soal;
Hitunglah akar-akar persamaan 3x2 5 x + 2 = 0
2) Pemahaman rasional (pemahaman relasional, pemahaman fungsional dan knowing)
Contoh soal:
Pa Ahmad menananm pohon jati di sekeliling ladangnya yang berbentuk persegipanjang berukuran
300m x 150m jika jarak antara dua pohon 3 m, berapakah pohon yang dapat ditanam oleh pa
Ahmad? Jelaskan bagaimana cara menghitungnya?
3) Pemahaman relasional (rasional dan fungsional)
Perhatikan gambar di bawah ini:
C
D E
F
l

A
B
Garis l sejajar m dengan jarak t. segitiga manakah yang luasnya paling besar diantara segitiga
ABC, segitiga ABD, segitiga ABE dan segitiga ABF? Jelaskan jawabanmu!
3.2 Kemampuan Koneksi Matematik
Kemampuan Koneksi Matematik (KTSP,2006:417) yaitu Memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes,
akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
Menurut Suherman (2008: 3), kemampuan koneksi dalam matematika adalah kemampuan untuk
mengkaitkan konsep/aturan matematika yang satu dengan yang lainnya, dengan bidang studi lain,
atau dengan aplikasi pada kehidupan nyata.
Menurut Sumarmo (2013:128), kemempuan ini menjadi sangat penting karena akan membantu
penguasaan pemahaman konsep yang bermakna dan membantu menyelesaikan tugas pemecahan
masalah melalui keterkaitan antara konsep matematika dan antara konsep matematika dengan
konsep dalam disiplin lain. Demikian pula kemampuan koneksi matematika ini akan membantu
siswa dalam menyusun model matematika yang juga menggambarkan keterkaitan antar konsep dan
atau data suatu masalah atau situasi yang diberikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bruner (dalam
Russefendi, 2006: 152) yang mengemukakan bahwa; Dalam matematika setiap konsep itu
berkaitan dengan konsep lain.Begitu pula antara yang lainnnya misalnya antara dalil dengan dalil,
antara teori dan teori, antara topik denan topik, antara cabang matematika. Oleh karena itu, agar

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

379

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

siswa berhasil belajar matematika, siswa harus lebih banyak diberi kesempatan untuk melihat
kaitan-kaitan itu.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematik adalah kemampuan
dalam mengaitkan konsep-konsep matematika, baik antar konsep matematika itu sendiri maupun
dengan bidang lainnya (dengan mata pelajaran lain dan dengan kehidupan nyata sehari-hari).
Sehingga indikator kemampuan koneksi yang digunakan adalah:
1) Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur
Contoh soal:
Apakah persamaan fungsi y = 2x 1 ekuivalen dengan y = 4x 2 ? Jelaskan!
2) Memahami hubungan antar topik matematika
Contoh soal:
Perhatikan gembar di bawah ini:
M
C

K
P

Tuliskan hubungan apa antara garis AD dengan segitiga ABC, antara garis QS dengan segitiga
PQR, dan antara garis KN dengan segitiga KLM. Tuliskan alasannya!
3) Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh soal:
Pa Soleh menabung di Bank syariah sebesar Rp. 5.000.000,- dengan mendapatkan bagi hasil tetap
setiap sebesar p%. Tentukan besar bagi hasil setelah satu bulan pertama?Berapa besar tabungan
setelah satu bulan?Berapa besar tabungan setelah dua bulan? Berapa besar tabungan setelah n bulan
rumus apa yang digunakan dalam menghitung besar tabungan setelah bulan tertentu?
3.3 Disposisi Matematik
Menurut Sumarmo (2010) disposisi matematis yaitu keinginan, kesadaran, kecenderungan dan
dedikasi yang kuat pada diri siswa mahasiswa untuk berpikir dan berbuat secara matematis.
Dengan cara yang positif, Polking dalam Sumarmo (2010), mengemukakan bahwa disposisi
matematis menunjukkan (1) rasa percaya diri dalam menggunakan matematika, memecahkan
masalah, memberi alasan dan mengkomunikasikan gagasan, (2) fleksibilitas dalam menyelidiki
gagasan matematis dan berusaha mencari metoda alternatif dalam memecahkan masalah; (3) tekun
mengerjakan tugas matematika; (4) minat, rasa ingin tahu (curiosity), dan daya temu dalam
melakukan tugas matematika; (5) cenderung memonitor, merepleksikan performance dan penalaran
mereka sendiri; (6) menilai aplikasi matematika ke situasi lain dalam matematika dan pengalaman
sehari-hari; (7) apresiasi (appreciation) peran matematika dalam kultur dan nilai, matematika
sebagai alat, dan sebagai bahasa.
Senada dengan pendapat di atas, (NCTM, 2000) mengemukakan bahwa disposisi matematis
menunjukkan: rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan perhatian serius dalam
belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, rasa ingin tahu yang
tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan orang lain. Berdasarkan beberapa definisi di
atas, maka pengertian disposisi matematis pada makalah ini adalah kecenderungan sikap positif
serta kebiasaan untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang logis, dan berguna, dengan
indikatornya sebagai berikut:
(1) Kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah matematika, mengkomunikasikan ide-ide,
dan memberi alasan;

380

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

(2) Fleksibel dalam mengeksplorasi ide-ide matematis dan mencoba berbagai metode untuk
memecahkan masalah;
(3) Bertekad kuat untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika;
(4) Ketertarikan dan keingintahuan untuk menemukan sesuatu yang baru dalam mengerjakan
matematika;
(5) Kecenderungan untuk memonitor dan merefleksi proses berpikir dan kinerja;
(6) Mengaplikasikan matematika dalam bidang lain dan dan dalam kehidupan sehari-hari; dan
(7) Penghargaan peran matematika dalam kultur dan nilai, baik matematika sebagai alat,
maupun matematika sebagai bahasa.
Untuk mengungkapkan disposisi matematis siswa, dapat dilakukan dengan membuat skala
disposisi dan pengamatan. Skala disposisi memuat pernyataan-pernyataan masing-masing
komponen disposisi. Misalnya untuk pemahaman lebih mendalam, saya mencoba
menyelesaikan soal matematika dengan cara lain. Melalui pengamatan, disposisi siswa dapat
diketahui ada tidaknya perubahan pada saat siswa memperoleh atau mengerjakan tugas-tugas.
Misalnya pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung dapat dilihat apakah siswa dalam
menyelesaikan soal matematika yang sulit siswa terus berusaha sehingga memperoleh
jawaban yang benar.
3.4 Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran Berbasis Masalah adalah suatu strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa,
starategi ini mengolaborasikan antara pemecahan masalah dan refleksi terhadap suatu pengalaman.
Suradijono (2004) mengungkapkan pendapatnya tentang Pembelajaran Berbasis Masalah,.beliau
menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah metode belajar yang menggunakan
masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru.
Menurut Ibrahim dan Nur (2004), Pembelajaran Berbasis Masalah memiliki karakteristik.
Karakteristik yang dimaksud adalah adanya: (1) Pengajuan pertanyaan atau masalah, (2) berfokus
pada keterkaitan antar disiplin, (3) penyelidikan autentik, (4) menghasilkan produk atau karya dan
memamerkannya, (5) kerjasama. Stepien & Workman (1993) dan Ward & Lee (2002) memiliki
pandangan yang sedikit berbeda tentang Pembelajaran Berbasis Masalah. Mereka mengatakan
bahwa Pembelajaran Berbasis Masalah adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa
untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat
mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki
keterampilan untuk memecahkan masalah
Mempelajari penjelasan beberapa ahli di atas, ditemukan bahwa pengertian Pembelajaran Berbasis
Masalah tidak dinyatakan dalam satu arti yang sama. Pembelajaran Berbasis Masalah dapat saja
dikatakan sebagai suatu strategi, metode, model, pendekatan pembelajaran yang menggunakan
masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir
kritis dan keterampilan memecahkan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep
yang esensial dari materi pelajaran.
Berikutnya, Barret (2005) menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan Pembelajaran Berbasis
Masalah sebagai berikut.
1) Siswa diberi permasalahan oleh pengajar (atau permasalahan diungkap dari pengalaman
siswa/mahasiswa);
2) Siswa melakukan diskusi dalam kelompok kecil dan melakukan hal-hal: a) Mengklarifikasi
kasus permasalahan yang diberikan, b) Mendefinisikan masalah, c) Melakukan tukar pikiran
berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki, d) Menetapkan hal-hal yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah;
3) Siswa melakukan kajian secara independen berkaitan dengan masalah yang harus diselesaikan.
Mereka dapat melakukannya dengan cara mencari sumber di perpustakaan, database, internet,
sumber personal atau melakukan observasi;
4) Siswa kembali kepada kelompok Pembelajaran Berbasis Masalah semula untuk melakukan
tukar informasi, pembelajaran teman sejawat, dan bekerjasama dalam menyelesaikan masalah;

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

381

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

5) Siswa menyajikan solusi yang mereka temukan,


6) Siswa dibantu oleh guru melakukan evaluasi berkaitan dengan seluruh kegiatan pembelajaran.
Hal ini meliputi sejauhmana pengetahuan yang sudah diperoleh oleh siswa serta bagaimana
peran masing-masing siswa dalam kelompok.
Menurut Rumi (dalam Rachmawati, 2008:15), kelebihan dari model Pembelajaran Berbasis
Masalah adalah:
a. Meningkatkan motivasi belajar siswa melalui pengaplikasian konsep pada masalah.
b. Menjadikan siswa aktif dan belajar lebih mendalam (deep learners).
c. Memungkinkan siswa untuk membangun keterampilan dalam pemecahan masalah.
d. Meningkatkan pemahaman melalui dialog dan diskusi dalam kelompok.
e. Menjadi pembelajar yang mandiri.

4.

Kesimpulan

1. Kemampuan Pemahaman matematik adalah tingkatan berfikir yang masih sederhana yakni
melakukan perhitungan, mencoba dan membuktikan serta memperkirakan kebenaran sesuatu
dengan penuh keyakinan dan percaya diri.
2. Kemampuan koneksi matematik adalah kemampuan dalam mengaitkan konsep-konsep
matematika, baik antar konsep matematika itu sendiri maupun dengan bidang lainnya (dengan
mata pelajaran lain dan dengan kehidupan nyata sehari-hari)
3. Disposisi matematis adalah kecenderungan sikap positif serta kebiasaan untuk melihat
matematika sebagai sesuatu yang logis, dan berguna.
4. Pembelajaran Berbasis Masalah adalah: pembelajaran yang menekankan pada meningkatkan
motivasi belajar siswa melalui pengaplikasian konsep pada masalah dan menjadikan siswa aktif
belajar lebih mendalam (deep learners), sehingga memungkinkan siswa untuk membangun
keterampilan dalam pemecahan masalah dan meningkatkan pemahaman melalui dialog dan
diskusi dalam kelompok serta menjadi pembelajar yang mandiri.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2005).Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara
BSNP. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Depdikbud.
Dault Jagul.S. (2012): http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2264360- kemampuanpemahaman-matematis/#ixzz2xbd0Tl60[2 Maret 2014]
Hendriana, H dan Rohaeti, E.E. (2007).Bahan Ajar Penelitian Pendidikan.Diktat Pembelajaran.
Bandung: Tidak diterbitkan.
Hudoyo, Herman. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.JICA.
Universitas Negeri Malang
Hudoyo, Herman. (1985). Teori Belajar Dalam Proses Belajar-Mengajar Matematika. Jakarta.
Depdikbud.
Ibrahim, M dan Nur, M.(2000). Pembelajaran Berbasis Masalah. Surabaya: UNESA University
Press.
NCTM.(1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.Reston, VA : NCTM
Ruseffendi.(2006). Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung. Tarsito
Sumarmo, U.(2012). Bahan Ajar Mata kuliah Proses Berpikir Matematik Program S2 Pendidikan
Matematika STKIP Siliwangi. Bandung.
Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi
matematika pada Guru dan Siswa SMP. Laporan penelitian IKIP Bandung. Bandung: Tidak
diterbitkan.
Suradijono, SHR. (2004). Problem-based learning: Apa dan bagaimana?.Makalah Seminar.
Penumbuhan Inovasi Sistem Pembelajaran: Pendekatan Problem Based Learning berbasis
ICT (Information and Communication Technology), 15/5/2004, Yogyakarta.
Syaban, M. (2008).Menumbuhkan daya dan disposisi siswa SMA melalui pembelajaran investigasi.
Tersedia: http://www.uai.no/no/content/download/2math.html[9 Maret 2014]
Wardani, S. (2002) Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematka melalui Model
kooeratif
Tipe Jigsaw. Tersedia: http://www.matedu.cinvestav.mx/adalira.pdf[9 Maret 2014]

382

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN


KREATIF MATEMATIK SISWA PADA MATERI
INTEGRAL MELALUI PEMBELAJARAN LANGSUNG-TAK
LANGSUNG
Sidik Tamsil
Mahasiswa S-2 Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
dikseries@yahoo.co.id

ABSTRAK
Pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik sangat diperlukan siswa,
terkait dengan kebutuhan siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik
terutama yang menyangkut aktivitas matematika perlu mendapatkan perhatian khusus dalam
proses pembelajaran matematika. Namun kenyataan menunujukkan bahwa kemampuan
berpikir kritis dan kreatif matematik siswa-siswa Indonesia khususnya siswa SMA masih
belum memuaskan.
Penelitian ini berfokus pada upaya untuk mengetahui secara komprehensif mengenai jenis-jenis
kesalahan siswa khususnya pada topik integral yaitu kesalahan konsep, kesalahan prosedural
dan kesalahan teknikal serta bagaimana upaya untuk meminimalkan kesalahan-kesalahan yang
sering dijumpai pada pokok bahasan ini.
Berdasarkan identifikasi dan pengamatan kesalahan-kesalahan siswa, maka disimpulkan bahwa
pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik siswa dalam setiap proses
belajar mengajar serta pendekatan pembelajaran langsung-tak langsung akan mengeliminir
berbagai jenis kesalahan yang ditemui siswa pada pokok bahasan integral.
Kata Kunci: Berpikir Kritis, Kreatif, Pembelajaran Langsung-Tak Langsung

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Kemampuan Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, inovasi dalam
pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk menjawab tantangan zaman yang semakin
komplek dan kompetitif. Untuk itu masyarakat harus dibekali dengan kemampuan berpikir
kritis dan kreatif agar dapat menjadi bagian penting dalam menghadapi masalah dalam
berbagai situasi dan kondisi. Selain itu kemampuan berpikir kritis dan kreatif akan
melahirkan ide-ide berupa inovasi dari setiap perubahan dan perkembangan zaman yang
semakin komplek.
Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang bermuara pada penarikan kesimpulan tentang
apa yang harus kita percayai dan tindakan apa yang akan kita lakukan. Bukan untuk
mencari jawaban semata, tetapi yang terlebih utama adalah mempertanyak an jawaban,
fakta, atau informasi yang ada. Berpikir kritis mencakup tindakan untuk mengevaluasi
situasi, masalah atau argumen dan memilih pola investigasi yang menghasilkan jawaban
terbaik yang bisa didapat (Feldman, 2010 : 4).
Berpikir kritis dapat dipandang sebagai kemampuan berpikir siswa untuk membandingkan
dua atau lebih informasi, misalkan informasi yang diterima dari luar dengan informasi yang
dimiliki. Bila terdapat perbedaan atau persamaan, maka ia akan mengajukan pertanyaan atau
komentar dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan. Berpikir kritis sering dikaitkan
dengan berpikir kreatif. Evans (Siswono, 2009) menjelaskan bahwa berpikir kreatif adalah
suatu aktivitas mental untuk membuat hubungan-hubungan (conections) yang terus menerus
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

383

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

(kontinu), sehingga ditemukan kombinasi yang benar atau sampai seseorang itu menyerah.
Jadi, berpikir kreatif mengabaikan hubungan-hubungan yang sudah mapan, dan menciptakan
hubungan-hubungan tersendiri. Pengertian ini menunjukkan bahwa berpikir kreatif
merupakan kegiatan mental untuk menemukan suatu kombinasi yang belum dikenal
sebelumnya.
Pada studi TIMMS terungkap bahwa siswa Indonesia lemah dalam menyelesaikan soal -soal
tidak rutin yang berkaitan dengan jastifikasi atau pembuktian, pemecahan masalah yang
memerlukan penalaran matematika, menemukan generalisasi atau konjektur, dan menemukan
hubungan antara data-data atau fakta yang diberikan. Sedang dalam studi PISA, siswa
Indonesia lemah dalam menyelesaikan soal-soal yang difokuskan pada mathematics literacy
yang ditunjukkan oleh kemampuan siswa dalam menggunakan matematika yang mereka
pelajari untuk menyelesaikan persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan fakta di
atas, dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis,
kreatif, dan reflektif siswa pada umumnya masih rendah (Noer,2009).
Pada dasarnya kesulitan belajar siswa pada matematika bukan karena kebodohan siswa atau
ketidakmampuannya dalam belajar, tetapi terdapat kondisi-kondisi tertentu yang membuatnya
tidak siap untuk belajar. Indikator kesulitan belajar siswa pada matematika terlihat ketika
siswa melakukan kesalahan saat melakukan proses pemecahan soal -soal matematika.
Soedjadi, (Nisa, 2010) mengatakan bahwa kesulitan merupakan penyebab terjadinya
kesalahan. Oleh karena itu, untuk menciptakan dan mempersiapkan pembelajaran matematika
yang efektif dan efisien, para guru haruslah dapat mengidentifikasi dan menganalisis
kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa pada saat melakukan pemecahan masalah
matematika kemudian berusaha memberikan solusi yang tepat untuk mengatasinya.
Kesalahan siswa perlu adanya analisis untuk mengetahui kesalahan apa saja yang banyak
dilakukan dan mengapa kesalahan tersebut dilakukan siswa. Melalui analisis kesalahan akan
diperoleh bentuk dan penyebab kesalahan siswa, sehingga guru dapat memberikan jenis
bantuan kepada siswa. Kesalahan yang dilakukan oleh siswa dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan pengajaran dalam usaha meningkatkan kegiatan belajar dan mengajar.adanya
peningkatan kegiatan belajar dan mengajar diharapkan dapat memperbaiki hasil belajar atau
prestasi belajar siswa (Sahriah,dkk ,2010).
Salah satu bentuk pendekatan dalam pembelajaran adalah pendekatan secara langsung yang
merupakan pendekatan yang paling umum dilakukan oleh kalangan pendidik. Pendekatan ini
memungkinkan kegiatan siswa cenderung pasif dengan hanya mendengarkan penjelasan,
mencatat informasi dan mengerjakan soal-soal yang diberikan guru tanpa adanya proses
pembentukan konsep oleh siswa itu sendiri. Akibat dari hal tersebut maka siswa cenderung
menghafal materi atau konsep sekedar untuk bisa mengerjakan soal-soal saja. Hal ini
berdampak pada tidak adanya kebebasan siswa untuk berfikir dan kurangnya kesempatan
bagi siswa untuk menggali informasi dan konsep yang dimilikinya, sehingga konsep yang
diperoleh bukan merupakan hasil pengetahuan yang dibentuk oleh siswa sendiri.
Untuk menutupi kekurangan pada pendekatan langsung, maka digunakan pendekatan tak
langsung. Pada pendekatan tak langsung, kompetensi siswa lebih difokuskan untuk kegiatan
dalam proses menemukan konsep, guru hanya sebagai fasilitator dan pengelola kelas agar
suasana belajar tetap terjaga secara kondusif. Suasana kelas yang ditimbulkan pada
pendekatan tidak langsung akan cenderung aktif, dinamis karena siswa merupakan pusat
belajar dan tidak menunggu perintah guru. Dengan suasana belajar pada pendekatan ini
diharapkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa akan tumbuh dengan baik. Hal ini
sesuai dengan Peterson dan Fennema (Suryadi, 2005) bahwa aktivitas yang ditimbulkan pada
pendekatan langsung cenderung akan mengaktifkan kemampuan berpikir tingkat rendah,
sedangkan aktivitas belajar yang melalui pendekatan tidak langsung cenderung akan
meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Berdasarkan hal di atas maka perlu

384

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

dilakukan upaya untuk menggabungkan dua pendekatan di atas. Basden dkk (Suryadi, 2005)
mengatakan bahwa untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa, guru dapat
menggunakan pendekatan yang bervariasi dimulai dari pemberian sedikit informasi secara
langsung sampai diubah menjadi pendekatan tak langsung yang menjadikan siswa sebagai
agen pembelajar.
1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasi
dan dirumuskan yaitu : Bagaimanakah kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif
matematik siswa pada materi Integral melalui pembelajaran langsung-tak langsung?
1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:


a. Mendeskripsikan hasil pengamatan secara komprehensif tentang beberapa jenis kesalahan yang
sering dijumpai siswa khususnya dalam pokok bahasan integral
b. Memberikan gambaran pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa khususnya
dalam pokok bahasan integral dengan pembelajaran langsung-tak langsung.
c. Memberikan suatu kesimpulan yang bermanfaat bagi calon guru, guru, dosen, atau insan
pendidikan lainnya dalam upaya peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa
khususnya, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) pada umumnya.
1.4.

Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan akan dihasilkan suatu model pembelajaran matematika yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik siswa khususnya pada
pokok bahasan integral. Dengan demikian hal ini merupakan sumbangan berharga bagi upaya
peningkatan kualitas pendidikan matematika khususnya dan kualitas SDM umumnya dalam
menjawab tuntutan masa depan.

2.

Metode Penelitian

2.1.

Jenis-Jenis Kesalahan

Konsep Dalam menyelesaikan soal matematika siswa sering melakukan kesalahan. Kesalahan yang
dilakukan oleh siswa beraneka ragam dan sangat kompleks tergantung kepada pengetahuan
individu siswa tersebut. Kesalahan merupakan bentuk penyimpangan terhadap hal yang benar,
prosedur yang ditetapkan sebelumnya, atau penyimpangan dari sesuatu yang diharapkan.
Sukirman (Nisa, 2003) mengidentifikasi jenis kesalahan yang dilakukan siswa pada setiap aspek
penguasaan bahan ajar matematika. Kesalahan yang diidentifikasi antara lain: Kesalahan konsep,
yaitu kesalahan yang berkaitan dalam penggunaan konsep-konsep yang digunakan dalam materi,
kesalahan prinsip, yaitu kesalahan yang berkaitan dengan hubungan antara dua atau lebih objek
matematika, kesalahan operasi, yaitu kesalahan dalam melakukan perhitungan.
Salah satu materi matematika yang sulit dikuasai oleh sebagian besar siswa adalah integral. Integral
merupakan salah satu materi pelajaran matematika yang diajarkan ditingkat SLTA dan perguruan
tinggi dalam mata kuliah kalkulus. Untuk dapat menguasai materi integral dengan sempurna,
diperlukan pemahaman konsep serta kemampuan mengabstraksi dan bernalar yang cukup bagus.
Sebab materi integral berisi cukup banyak rumus, konsep dan aplikasi integral. Aplikasi integral
yang diperkenalkan di tingkat SLTA antara lain menghitung luas daerah di bawah kurva dan
menghitung volume benda putar.
Umumnya materi integral ini diajarkan setelah siswa menyelesaikan materi prasaratnya, yaitu
materi Limit dan Diferensial. Selain kedua materi tersebut, banyak materi lain yang juga
merupakan dasar dan terkait langsung dengan operasi-operasi dalam integral. Materi tersebut antara

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

385

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

lain aljabar, geometri dan trigonometri. Meskipun integral ini merupakan materi yang sangat
penting dalam matematika, tetapi secara umum siswa mengalami berbagai macam kesulitan untuk
menyelesaikan masalah pengintegralan.
2.2 Jenis-Jenis Kesalahan dalam Materi Integral
Kiat (2003) dalam makalahnya mengelompokkan berbagai macam kesalahan (error) yang mungkin
dilakukan siswa ketika menyelesaikan soal integral. Kesalahan yang mungkin dibuat siswa
dikelompokkan dalam 3 jenis. Jenis pertama adalah conceptual error yang menunjuk pada
kesalahan siswa karena kesalahan dalam memahami konsep yang berkaitan dengan soal. Jenis
kedua adalah procedural error yang menunjuk pada kegagalan dalam memanipulasi atau
mengalgoritma soal meski pemahaman konsep sudah dimiliki. Jenis ketiga adalah technical error
yaitu kesalahan siswa karena kurangnya pemahaman siswa pada materi lain yang berhubungan
dengan integral atau kesalahan karena kecerobohan (carelessness) yang dilakukan siswa.
2.2.1 Indikator Kesalahan Konsep
1) Integral sebagai luas daerah di bawah sebuah kurva
Tentukan luas daerah yang di batasi oleh kurva y = x(x 4) dan sumbu-X dari x = 0 sampai x =
5!
Kemungkingkan jawaban siswa adalah:
4

2
2
( x 3x) dx ( x 3x) dx
0

0
4

x 3
x2
3 2 0
64 48

3
2
2
2 satuan luas
3
Siswa tidak menyadari bahwa daerah yang dibatasi oleh kurva y = x(x 3) dan sumbu-X dari x = 0
sampai x = 4 akan terbentuk 2 daerah, yaitu
3

1) Daerah berada di bawah sumbu-X dari x = 0 sampai x = 3 yang memberikan asumsi bahwa f(x)
<0
2) Daerah berada di atas sumbu-X dari x = 3 sampai x = 5yang memberikan asumsi bahwa f(x) > 0
Selain itu siswa juga tidak memahami konsep bahwa luas daerah tidak mungkin negatif.
2.2.2 Integral sebagai anti turunan
Contoh soal:
Gradien garis singgung sebuah kurva pada setiap titik (x, y) dinyatakan oleh

dy
6

. Jika kurva melalui titik (3, 5), maka koordinat titik potong kurva terhadap sumbudx (2 x 3) 2
X adalah....
Kemungkinan jawaban siswa adalah:
Diberikan

386

dy
6

.
dx (2 x 3) 2

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

dy
6
2

2
dx (2 3 3)
3

Jika x = 3, maka

Karena kurva melalui titik (3, 5), maka persamaan kurva adalah:

2
( x 3)
3
2
y x3
3

y 5

Jika kurva memotong sumbu-X, maka y = 0

2
x3
3
1
x 4
2

Jadi koordinat titik potong kurva terhadap sumbu-X adalah ( 4

1
, 0).
2

Siswa melakukan kesalahan karena siswa tidak mencari persamaan kurva, tetapi mencari
persamaan garis singgung kurva di titik (3, 5).
Apabila seorang siswa memberikan jawaban sebagaimana yang diuraikan diatas, maka siswa
tersebut dikategorikan telah melakukan kesalahan konsep.
2.2.3 Indikator Kesalahan Prosedural
Kesalahan Prosedural adalah kesalahan dalam memanipulasi atau mengalgoritma soal meski
pemahaman konsep sudah dimiliki atau kesalahan dalam menyusun langkah-langkah yang hirarkis
sistematis untuk menjawab suatu masalah.
Kesalahan prosedural: tidak menuliskan konstan c dalam integral tak tentu
Contoh soal:
Tentukan cos(2 x 1) dx

Kemungkinan jawaban siswa adalah:

cos(2 x 1) dx 2 sin(2 x 1)
Siswa mengintegralkan integral tak tentu tanpa menambahkan sebuah konstan c. Siswa
mengabaikan konstan c karena mungkin menganggap konstan c tidak diperlukan.
2.2.4 Indikator Kesalahan Teknik
Kesalahan Teknikal yaitu kesalahan siswa karena kurangnya pemahaman siswa pada materi lain
yang berhubungan dengan integral atau kesalahan karena kecerobohan.
1) Kesalahan teknik 1: Kurangnya pengetahuan tentang operasi dalam aljabar
Contoh soal:
Tentukan 2(3 4 x) 4 dx.

Kemungkinan jawaban siswa adalah:

2(3 4x)

dx (6 8x) 4 dx
(6 8 x ) 5
c
58
1

(6 8 x ) 5 c
40

Siswa mengalikan konstanta 2 secara langsung sebelum melakukan pengintegralan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

387

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2) Kesalahan teknik 3: Kurangnya pengetahuan siswa pada materi trigonometri


Contoh soal:
Tentukan

tan

2 x dx

1
tan 3 2 x C
3.2

Agar dapat melakukan pengintegralan pada soal tersebut, siswa harus mengubah indentitas
trigonometri dari tan2x menjadi sec2x 1. Kemungkinan kesalahan yang dilakukan oleh siswa
adalah kurangnya pengetahuan siswa terhadap identitas trigonometri, sehingga siswa tidak
melakukan pengubahan atau melakukan pengubahan yang salah.

2.3 Alternatif Pemecahan


Berdasarkan beberapa temuan kesalahan pada materi integral ini, maka sebagai bentuk alternatif
pemecahan dari beberapa jenis kesalahan di atas adalah dengan mengembangkan kemampuan
berpikir kritis dan kreatif matematik siswa dengan pendekatan pembelajaran secara tak langsung
.
1) Pengembangan Kemampuan Kritis Matematik Siswa
Berpikir kritis dalam matematika merupakan suatu indera evaluatif yang digunakan untuk
menentukan kualitas suatu keputusan atau argumen. Ennis (Rohaeti, 2008) membagi aspek
berpikir kritis matematik ke dalam dua aspek yaitu aspek umum yang meliputi kemampuan dan
disposisi, serta aspek khusus yang terkait dengan materi penguasaan konsep, membuat
generalisasi, algoritma dan keterampilan serta pemecahan masalah.
Sejalan dengan Ennis, Glazer (Ambarwati: 2011) mendefinisikan berpikir kritis matematik sebagai
kemampuan dan disposisi untuk menggabungkan pengetahuan awal, penalaran matematik dan
strategi kognitif untuk mengeneralisasi, membuktikan atau mengevaluasi situasi matematika yang
kurang dikenal dalam cara yang reflektif.
Beberapa indikator dan contoh butir tes berpikir kritis matematik diharapkan dapat
mengeliminir kesalahan konsep, kesalahahan prosedural maupun kesalahan teknik, antara lain
adalah:
a) Menganalisis argumen/proses penyelesaian
2

Seorang siswa menjawab soal

4 x 5 dx sebagai berikut
3

Misal u = 4x 5, maka
2

3
4 x 5 dx u .
3

du
4 , sehingga
dx

du
4

1 1 2
. u4
4 4 1

1 4 4 15
2 1 16
16

Analisislah tiap langkah penyelesaian di atas! Jika terjadi kesalahan, tuliskan pada
langkah mana kesalahan itu terjadi, kemudian tuliskan perbaikannya. Berikan
alternatif cara penyelesaian lainnya, dan bandingkan cara dan hasilnya. Cara
manakah yang lebih kamu sukai? Jelaskan alasanmu dan sertakan teorema atau
aturan yang mendasari tiap langkah kedua cara penyelesaian di atas.

388

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

b) Kemampuan menjawab disertai alasan


Contoh butir soal :
Perhatikan grafik sebagai berikut
Y
2
5

X
O
2
5
2
1. Tuliskan langkah-langkah untuk menghitung luas daerah yang diarsir pada gambar di atas.
8
2. Susun model matematika
untuk menghitung luas daerah yang diarsir disertai dengan alasan
atau aturan yang mendasari tiap langkah pengerjaannya.
3. Cukupkah data untuk menyelesaikan model matematika tersebut? Kalau cukup selesaikan.
Kalau tidak cukup lengkapi dan kemudian selesaikan.
c) Mengidentifikasi data relevan dan tidak relevan
Indikator ini diharapkan dapat mengeliminir kesalahan teknik yang terjadi pada materi integral.
Contoh butir soal untuk indikator ini adalah :

d2y
6 x dan gradien dari kurva yang bersangkutan adalah 12 pada x
Diberikan
dx 2
= 2. Andaikan kurva tersebut melalui titik (2, 4) dan bernilai 5 untuk x = 1, dan
kurva tersebut tidak memotong sumbu x.
Cukupkah informasi untuk menentukan persamaan kurva? Beri penjelasan. Periksa
adakah data yang tidak relevan atau saling bertentangan dalam masalah tersebut!
Tuliskan data yang bersangkutan dan berikan penjelasan!
2.4 Pengembangan Kemampuan Kreatif Matematik Siswa
Pengembangan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa juga diharapkan dapat mengeliminir
bentuk kesalahan konsep, kesalahan prosedural maupun kesalahan teknik. Beberapa indikator
kemampuan berikir kreatif siswa yang diharapkan dapat mengeliminir kesalahan-kesalahan siswa.
2.4.1 Keaslian
Gunakan konsep atau prosedur yang menurut anda efektif untuk menentukan nilai k
2015

dari persamaan
k x 2014
90
x 2013
dxMatematis
2.2.
Kemampuan Berpikir
Tingkat
Tinggi

2012

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

389

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.4.2 Kelenturan
Diberikan grafik sebagai berikut:

Y
y2
=
9x
O

y = 3x
6

Hitung luas daerah yang diarsir dengan lebih dari satu cara. Cara manakah yang menurut anda
paling efektif? Berikan penjelasan
2.4.3

Kelancaran

Selesaikan bentuk

sin

3x dx dengan beberapa cara!

2.5 3) Pengembangan Pembelajaran dengan Menggunakan Pendekatan Langsung-Tak


Langsung
Adanya kelebihan dan kekurangan pada masing-masing pendekatan secara langsung maupun tak
langsung pada akhrinya menjadi salah satu terobosan baru untuk menemukan pembelajaran yang lain.
Pembelajaran langsung-tak langsung merupakan suatu terobosan dalam hal pembelajaran dimana
pada saat tertentu konsep diberikan secara langsung tetapi pada saat yang lain konsep diberikan
secara tidak langsung.
Pada dasarnya kelemahan pada pembelajaran langsung dapat ditutupi dengan kelebihan pembelajaran
tak langsung, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu salah satu alternatifnya adalah menggabungkan
kedua pendekatan langsung dan tak langsung dalam sebuah bagian pendekatan yang terintegrasi dan
tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Untuk materi yang bersifat informasi atau prosedur
perhitungan maka pendekatannya menggunakan pembelajaran langsung, adapun proses menggali
kemampuan berpikir matematik atau berkaitan dengan materi baru maka penekanannya diberikan
pembelajaran tak langsung.
Terdapat tiga karakteristik pendekatan pembelajaran langsung-tak langsung (Ambarwati, 2011),
yaitu:
1) Sajian bahan ajar dibuat dalam bentuk sajian masalah kontekstual sehingga konsep, prosedur dan
prinsip dalam matematika diperoleh siswa melalui aktivitas pembelajaran yang bersifat tak
langsung, misalnya pemecahan masalah atau penemuan.
2) Model perlakuan guru yang dikembangkan lebih bersifat tak langsung, yakni melalui teknik
Scaffolding. Materi penunjang dilakukan menggunakan pendekatan langsung.
3) Model interaksi yang dikembangkan bersifat multi arah
Bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antara lain berupa diskusi kelas, diskusi kelompok atau kegiatan
lainnya. Dalam kegiatan pembelajarannya, perlakuan guru lebih bersifat tak langsung dimana guru
hanya memberikan sedikit petunjuk atau pertanyaan yang disajikan melalui teknik scaffolding. Dalam
makalah ini kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik diproseskan secara tidak langsung yang

390

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

dimulai dengan kegiatan awal berupa pengetahuan awal dan pengenalan masalah untuk menarik
perhatian siswa. Kemudian kegiatan memecahkan masalah lalu guru memperhatikan tugas-tugas
siswa yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi objektif siswa

3. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan alternatif penyelesaian, maka dapatlah disimpulkan bahwa:
1. Pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa diharapkan dapat mengeliminir
kesalahan-kesalahan siswa dalam pokok bahasan integral.
2. Pembelajaran langsung-tak langsung merupakan sebuah inovasi pembelajaran yang diharapkan
dapat mengeliminir kesalahan-kesalahan siswa khususnya dalam pokok bahasan integral,
karena siswa disamping akan menemukan konsep dengan sendirinya juga secara langsung akan
mendapatkan berbagai informasi yang mendukung pada penguatan konsep.

DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, H. (2011). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Melalui
Pendekatan Pembelajaran Langsung dan Tak Langsung. Tesis Jurusan Pendidikan
Matematika FMIPA UPI: Tidak Diterbitkan
Feldman, DA. (2010). Berpikir Kritis. Strategi untuk Pengambilan Keputusan. Jakarta: Penerbit
PT Indeks
Kiat, Kiat Eng. (2003). Analysis of Students Difficulties in Solving Integration Problems. The
Mathematics Educator Vol. 9, No.1, 39-5
Nisa, Titin Fardatun. (2010). Analisis Kesalahan Siswa Kelas VIII SMP Kemala Bhayangkari
Surabaya dalam Menyelesaikan Soal Cerita pada Materi Bangun Ruang. Surabaya:
UNESA.
Noer, SH. (2009). Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa smp melalui pembelajaran
berbasis masalah. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
FMIPA UNY.
Rohaeti, EE. (2008). Pembelajaran dengan Pendekatan Eksplorasi untuk Mengembangkan
Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama.
Disertasi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI: Tidak Diterbitkan
Sahriah, dkk. (2010). Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Matematika Materi
Operasi Pecahan Bentuk Aljabar Kelas VIII SMP Negeri Malang. Malang: UM
Suryadi. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung Serta Pendekatan
Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi Jurusan Pendidikan Matematika
FPMIPA UPI: Tidak Diterbitkan

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

391

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENGARUH PENERAPAN PENDEKATAN


KETERAMPILAN PROSES TERHADAP KEMAMPUAN
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP
Novi Nurwantini
SD Negeri Sosial 2 Cimahi
denoviee@yahoo.com

ABSTRAK
Kemampuan dalam memecahkan masalah sangat diperlukan dalam pembelajaran matematika
pemecahan masalah adalah suatu proses atau upaya individu untuk merespon atau mengatasi
halangan atau kendala ketika suatu jawaban atau metode jawaban belum tampak jelas. Siswa
dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang
sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Aktivitas
mental yang dapat dijangkau dalam pemecahan masalah antara lain adalah mengingat,
mengenal, menjelaskan, membedakan, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi. Ada
beberapa pendekatan yang berpeluang untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematis salah satunya adalah dengan pendekatan keterampilan proses. Pendekatan
keterampilan proses pada hakekatnya adalah memproses transformasi yaitu informasi
pembelajaran. Pendekatan ini sebagai pendekatan yang menekankan pada penumbuhan dan
pengembangan sejumlah keterampilan tertentu pada diri siswa agar mampu memproses
informasi sehingga ditemukan hal-hal yang baru yang bermanfaat baik berupa fakta, konsep,
maupun pengembangan sikap dan nilai sehingga siswa dapat mengaplikasikannya dalam
pemecahan masalah matematis. Rumusan masalah dari makalah ini adalah apakah kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang belajar menggunakan pendekatan keterampilan
proses lebih baik daripada siswa yang menggunakan pendekatan biasa. Berdasarkan latar
belakang serta kelebihan dan bahan perbandingan dari keterampilan proses yang diungkapkan
di dapat hipotesis bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar
menggunakan pendekatan keterampilan proses lebih baik daripada siswa yang menggunakan
pendekatan biasa.
Kata Kunci: Pendekatan Keterampilan Proses, Kemampuan Pemecahan Masalah, Proses
Belajar

1.

Pendahuluan

Matematika adalah salah satu pengetahuan tertua dan dianggap sebagai induk atau alat dan bahasa
dasar banyak ilmu. Hudoyo (Arifin, 2010) mengatakan bahwa hakikat matematika berkenaan
dengan ide - ide, struktur - struktur dan hubungan - hubungannya yang diatur menurut urutan yang
logis, jadi matematika berkenaan dengan konsep - konsep yang abstrak. Banyak permasalahan
yang terjadi ketika siswa belajar matematika, dibutuhkan kemampuan kemampuan khusus agar
siswa dapat menyelesaikan atau memecahkan permasalahan yang ditemukan dalam pembelajaran
maupun dalam soal matematika, salah satunya adalah kemampuan pemecahan masalah matematis.
Pemecahan masalah adalah suatu proses atau upaya individu untuk merespon atau mengatasi
halangan atau kendala ketika suatu jawaban atau metode jawaban belum tampak jelas Siswono
(Sumarno, 2013). Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat
penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan
memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk
diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Melalui kegiatan ini, aspek - aspek
kemampuan matematika seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola,
penggeneralisasian, komunikasi matematik dan lain - lain dapat dikembangkan secara lebih baik.
Aktivitas mental yang dapat dijangkau dalam pemecahan masalah antara lain adalah mengingat,
mengenal, menjelaskan, membedakan, menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi.

392

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Pada kenyataannya di lapangan kegiatan pemecahan masalah belum dijadikan sebagai kegiatan
utama dalam proses pembelajaran matematika. Pemecahan masalah masih dianggap sebagai
bagian yang paling sulit dalam pembelajaran matematika. Berbagai kesulitan yang muncul antara
lain mencari jawaban dipandang sebagai satu satunya tujuan yang ingin dicapai, dan kebanyakan
siswa lebih fokus pada jawaban, siswa sering kali salah memilih teknik penyelesaian yang sesuai.
Branca (Susilawati, 2014) meninterpretasikan pemecahan masalah menjadi 3 bagian, yaitu :
a. Pemecahan masalah sebagai suatu tujuan (goal) yang menekankan pada aspek mengapa
matematika diajarkan, dengan sasaran utama yang ingin dicapai adalah bagaimana cara
menyelesaikan masalah untuk menjawab suatu soal atau pertanyaan.
b. Pemecahan masalah sebagai suatu proses (process) diartikan sebagai suatu kegiatan yang aktif.
Dalam hal ini penekanan utamanya terletak pada metode, strategi, prosedur yang digunakan
oleh siswa dalam menyelesaikan masalah hingga menemukan jawaban.
c. Pemecahan masalah sebagai suatu keterampilan (basic skill) menyangkut dua hal yaitu
keterampilan umum yang harus dimiliki oleh siswa untuk keperluan evaluasi di tingkat lokal
dan keterampilan minimum yang diperlukan siswa agar dapat menjalankan fungsinya di
masyarakat.
Kemampuan pemecahan masalah matematis perlu diasah kembali terhadap siswa, karena dengan
siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah siswa dapat menggali pengetahuan dan ide ide
mereka ketika membaca sebuah soal matematika sehigga mereka dapat menemukan proses
penyelesaiannya. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Susilawati (2014 : 55)
pemecahan masalah dalam matematika dapat menyelesaikan masalah yang cara penyelesaiannya
mempunyai prinsip (aturan, rumus, dll) tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk
menemukan atau membuktikan jawaban terhadap masalah tersebut. Bagian masalah untuk
menemukan adalah apa yang dicari, bagaimana data yang diketahui, dan bagaimana syaratnya.
Namun pada kenyataannya kemampuan tersebut masih rendah terbukti dari hasil penelitian
TIMSS (The Trends in International Mathematics and Science Study) tahun 2003 (Suryadi, 2005)
dengan menekankan pada pengetahuan fakta, prosedur dan konsep, pemecahan masalah,
pemahaman dan aplikasi matematika, serta komunikasi dan penalaran, ternyata Indonesia berada
pada posisi ke 34 dari 46 negara dan pada laporan TIMSS tahun 2011 pun Indonesia mengalami
penurunan pada urutan ke 38 dengan skor 386 dari 42 negara (Rizki, 2012).
Ada beberapa pendekatan yang berpeluang untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematis salah satunya adalah dengan pendekatan keterampilan proses. Sagala (2005 : 74)
mengungkapkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses memberikan
kesempatan kepada siswa untuk ikut menghayati proses penemuan atau penyusunan suatu konsep
sebagai suatu keterampilan proses. Pembelajaran ini menekankan kepada akivitas dan pemahaman
siswa, guru menciptakan bentuk kegiatan pengajaran yang bervariasi, agar siswa terlibat dalam
berbagai pengalaman. Dalam pendekatan keteranpilan proses ini, siswa tidak hanya belajar dari
guru, tetapi juga dari teman temannya dan lingkungan sekitarnya.
Kelebihan dari pendekatan ini adalah siswa dapat menjadi lebih aktif, kreatif, dan dapat
meningkatkan keterampilan berfikir dalam cara memperoleh pengetahuan, serta mendorong siswa
untuk menemukan konsep konsep baru. Namun pendekatan pembelajaran tidak semuanya
sempurna sama halnya dengan pendekatan keterampilan proses memiliki beberapa kelemahan,
yaitu memerlukan banyak waktu dan memerlukan fasilitas yang cukup baik, namun kelemahan itu
dapat dikurangi dengan cara guru sebelumnya melakukan segala persiapan termasuk pengaturan
waktu agar pembelajaran dapat terselsaikan dengan tuntas.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis berkeinginan untuk membuat makalah yang berjudul
Pengaruh Penerapan Pendekatan Keterampilan Proses terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Siswa SMP.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

393

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

1.1 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dibahas sebelumnya, permasalahan dalam makalah
ini dirumuskan sebagai berikut :
Apakah kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar menggunakan pendekatan
keterampilan proses lebih baik daripada siswa yang menggunakan pendekatan biasa.

2. Pembahasan
2.1 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Kemampuan pemecahan masalah adalah suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah atau proses
yang menggunakan kekuatan dan manfaat matematika dalam menyelesaikan masalah, yang juga
merupakan metode penemuan solusi melalui tahap - tahap pemecahan masalah. Siswono
(Sumarno. 2013) mengatakan bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses atau upaya individu
untuk merespon atau mengatasi halangan atau kendala ketika suatu jawaban atau metode jawaban
belum tampak jelas. Memiliki kemampuan memecahkan masalah matematis adalah salah satu
tujuan umum mata pelajaran matematika di setiap jenjang pendidikan. Kemampuan tersebut
meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model, menafsirkan solusi yang diperoleh.
Polya (Sumarmo, 2012) merinci kegiatan memecahkan masalah sebagai berikut :
1. Kegiatan memahami masalah. Kegiatan ini dapat diidentifikasi melalui beberapa pertanyaan
yaitu:
a. Apa yang tidak diketahui atau apa yang ditanyakan ?
b. Data apa yang tersedia ?
c. Bagaimana kondisi soal ?
d. Mungkinkah kondisi dinyatakan dalam bentuk persamaan atau hubungan lainnya ?
e. Apakah kondisi itu tidak cukup atau kondisi itu berlebihan atau kondisi itu saling bertentangan
?
2. Kegiatan merencanakan atau merancang strategi pemecahan masalah. Kegiatan ini dapat
diidentifikasi melalui beberapa pertanyaan yaitu :
a. Pernahkan ada soal sebelumnya atau mirip dan serupa dalam bentuk lain ?
b. Teori mana yang dapat digunakan dalam masalah ini ?
c. Apakah harus dicari unsur lain ?
d. Kembalilah pada definisi
3. Kegiatan melaksanakan perhitungan. Kegiatan ini meliputi melaksanakan rencana strategi
pemecahan masalah pada butir soal, periksa setiap langkahnya, periksa bahwa apakah tiap
langkah perhitungan sudah benar.
4. Kegiatan memeriksa kembali kebenaran hasil atau solusi. Kegiatan ini diidentifikasi dengan
bagaimana cara memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh dan dapatkah solusi itu dicari
dengan cara lain serta dapatkah hasil atau cara itu digunakan untuk masalah lain.
Pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan yang cukup penting dalam pembelajaran
matematika Conney (Widjajanti, 2009) juga menyatakan bahwa mengajarkan penyelesaian
masalah kepada peserta didik, memungkinkan peserta didik itu menjadi lebih analitis di dalam
mengambil keputusan di dalam hidupnya. Dengan perkataan lain, bila peserta didik dilatih
menyelesaikan masalah, maka peserta didik itu akan mampu mengambil keputusan, sebab peserta
didik itu telah menjadi trampil tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan,
menganalisis informasi, dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah
diperolehnya. Kemampuan pemecahan masalah matematis memiliki beberapa indikator, Sumarmo
(2013 : 5) menjelaskan indikator pemecahan masalah matematis meliputi :

394

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

1. Mengidentifikasi unsur - unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang
diperlukan.
2. Merumuskan masalah matematika atau menyusun model matematika.
3. Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam
atau di luar matematika.
4. Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal.
5. Menggunakan matematika secara bermakna.
Contoh soal indikator : Merumuskan masalah matematika atau menyusun model matematika.
Ibu membeli 3 bungkus kue wafer, 1 bungkus nya berisi 40 kue. Ibu akan menyimpan kue wafer
tersebut dalam sebuah toples makanan dengan alas berbentuk segi empat dengan panjang masing
masing rusuknya 8 cm dan 6 cm dan memiliki tinggi 10 cm. Dan potongan wafer tersebut
memiliki ukuran panjang 2 cm, lebar 2 cm, dan tebal 1 cm.
1. Cukupkah toples tersebut menampung semua kue wafer yang dibeli ibu?
2. Konsep apa yang kamu gunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut? Jelaskan !
2.2 Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses ini dipandang oleh banyak pakar sebagai pendekatan yang paling
sesuai dengan pelaksaksanaan pembelajaran di sekolah dalam rangka menghadapi pertumbuhan
dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang pesat. Dalam
pembelajaran matematika pun, pendekatan keterampilan proses ini sangat cocok digunakan.
Pendekatan proses pada hakekatnya adalah memproses transformasi yaitu informasi pembelajaran.
Pendekatan ini sebagai pendekatan yang menekankan pada penumbuhan dan pengembangan
sejumlah keterampilan tertentu pada diri siswa agar mampu memproses informasi sehingga
ditemukan hal-hal yang baru yang bermanfaat baik berupa fakta, konsep, maupun pengembangan
sikap dan nilai. Sagala (2005 : 74) mengungkapkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan
keterampilan proses memberikan kesempatan kepada siswa untuk ikut menghayati proses
penemuan atau penyusunan suatu konsep sebagai suatu keterampilan proses. Pembelajaran ini
menekankan kepada akivitas dan pemahaman siswa, guru menciptakan bentuk kegiatan
pengajaran yang bervariasi, agar siswa terlibat dalam berbagai pengalaman.
Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Hamalik (2009 : 149) pendekatan
keterampilan proses ialah pendekatan pembelajaran yang bertujuan mengembangkan sejumlah
kemampuan fisik dan mental sebagai dasar untuk Mengembangkan kemampuan yang lebih tinggi
pada diri siswa. Kemampuan ke mampuan fisik dan mental tersebut pada dasarnya telah dimiliki
siswa meskipun masih sederhana dan perlu dirangsang agar menunjukkan jati dirinya. Dengan
mengembangkan keterampilan - keterampilan memproses perolehan, anak akan mampu
menemukan dan mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut.
2.2.1

Tahap tahap Pendekatan Keterampilan Proses

Setiawati (Basuki, 2009) mengatakan bahwa ada tahap tahap kemampuan yang dikembangkan
dalam pendekatan keterampilan proses antara lain:
1. Pengamatan yaitu keterampilan mengumpulkan data atau informasi melalui penerapan dengan
indera dapat dilakukan melalui menghitung, mengukur, atau menggunakan alat peraga.
2. Menggolongkan (mengklasifikasikan) yaitu keterampilan menggolongkan benda, kenyataan,
konsep, nilai atau kepentingan tertentu. Untuk membuat penggolongan perlu ditinjau
persamaan dan perbedaan antara benda, kenyataan, konsep sebagai dasar penggolongan.
3. Menafsirkan (menginterpretasikan) yaitu keterampilan menafsirkan sesuatu berupa benda,
kenyataan, peristiwa, konsep atau informasi yang telah dikumpulkan melalui pengamatan,
penghitungan, penelitian atau eksperimen.
4. Meramalkan atau memprediksi yaitu mengantisipasi atau menyimpulkan suatu hal yang akan
terjadi pada waktu yang akan datang berdasarkan perkiraan atas kecendrungan pola tertentu,
hubungan antardata atau informasi.
5. Menerapkan (aplikasi) yaitu menggunakan hasil belajar berupa informasi, kesimpulan, konsep,
hukum, teori dan keterampilan. Melalui penerapan, hasil belajar dapat dimanfaatkan,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

395

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

diperkuat, dikembangkan atau dihayati.


6. Bereksperimen keterampilan untuk menemukan suatu konsep, rumus, teorema.
7. Membuat kesimpulan, yaitu keterampilan membuat penyimpulan dari hasil temuan.
8. Mengomunikasikan yaitu keterampilan menyampaikan perolehan atau hasil belajar atau hasil
temuan kepada orang lain dalam bentuk tulisan, gambar, gerak,tindakan atau penampilan.
2.2.2

Kelebihan Pendekatan Keterampilan Proses

Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa pendekatan keterampilan proses memiliki beberapa
beberapa kelebihan. Sagala (2005 : 74) menjelaskan kelebihan tersebut yaitu :
1. Memberi bekal cara memperoleh pengetahuan, hal yang sangat penting untuk pengembangan
pengetahuan dan masa depan.
2. Pendahuluan prses bersifat kreatif, siswa aktif, dapat meningkatkan keterampilan berfikir dan
cara memperoleh pengetahuan.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Aisyah (2007) keunggulan dari pendekatan
keterampilan proses adalah :
1. Siswa terlibat langsung dengan objek nyata sehingga dapat mempermudah pemahaman siswa
terhadap materi pelajaran.
2. Siswa menemukan sendiri konsep - konsep yang dipelajari.
3. Melatih siswa untuk berpikir lebih kritis.
4. Melatih siswa untuk bertanya dan terlibat lebih aktif dalam pembelajaran.
5. Mendorong siswa untuk menemukan konsep - konsep baru.
6. Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar menggunakan metode ilmiah.
2.2.3

Kelemahan Pendekatan Keterampilan Proses

Sagala (2005 : 74) menjelaskan kelemahan dari pendekatan keterampilan proses adalah :
1. Memerlukan banyak waktu sehingga sulit untuk dapat menyesuaikan bahan pengajaran yang
ditetapkan dalam kurikulum.
2. Memerlukan fasilitas yang cukup baik dan lengkap sehingga tidak semua sekolah dapat
menyediakannya.
3. Tidak semua siswa dapat mengikuti dan melakukan dalam merumuskan masalah, menyusun
hipotesis, merancang suatu percobaan untuk memperoleh data yang relevan.
2.3

Pendekatan Pembelajaran Biasa

Pembelajaran dengan pendekatan biasa yang dilakukan pada guru umumnya adalah suatu metode
pembelajaran dimana pada saat proses belajar mengajar guru lebih aktif berperan daripada siswa.
pendekatan ini pada umumnya sering digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar. Guru
menerangkan materi di depan kelas kepada siswa, dan siswa hanya mendengarkan dan mencatat,
menjawab jika ditanya. Tentunya dalam pendekatan ini keaktifan siswa sangatlah kurang, dan
pemahaman dari masing masing siswa pun tidak merata terutama pada proses belajar
matematika yang sangat dibutuhkan keaktifan siswa.
Kelebihan pendekatan ini dalam pelaksanaannya cenderung lebih cepat jadi tidak perlu banyak
menghabiskan waktu dalam kegiatan belajar mengajar sedangkan kekurangan pendekatan biasa
adalah siswa akan menjadi pasif karena dalam pelaksanaan metode ini peran siswa lebih sedikit
daripada peran guru.
2.4

Hipotesis

Berdasarkan studi literatur dan rumusan masalah di atas maka hipotesis dari makalah ini adalah:
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang belajar menggunakan pendekatan
keterampilan proses lebih baik daripada siswa yang menggunakan pendekatan biasa.

396

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3. Penutup
3.1

Kesimpulan

Pendekatan proses pada hakekatnya adalah memproses transformasi yaitu informasi pembelajaran,
pendekatan ini sebagai pendekatan yang menekankan pada penumbuhan dan pengembangan
sejumlah keterampilan tertentu pada diri siswa agar mampu memproses informasi sehingga
ditemukan hal-hal yang baru yang bermanfaat baik berupa fakta, konsep, maupun pengembangan
sikap dan nilai sehingga siswa dapat mengaplikasikannya dalam pemecahan masalah matematis.
Berdasarkan latar belakang serta kelebihan dan bahan perbandingan dari keterampilan proses yang
diungkapkan pada pembahasan di dapat hipotesis bahwa kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa yang belajar menggunakan pendekatan keterampilan proses lebih baik daripada
siswa yang menggunakan pendekatan biasa.
3.2

Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan mengenai pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses,


maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut :
1. Pembelajaran matematika dengan pendekatan keterampilan proses berpeluang dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa serta dapat membuat siswa
lebih berperan aktif, dan kreatif, maka dapat dijadikan salah satu alternatif pembelajaran oleh
guru terutama pada proses pembelajaran matematika.
2. Dapat menjadi acuan untuk peneliti selanjutnya agar dapat menggunakan pendekatan
keterampilan proses pada kemampuan matematis lain seperti kemamupuan pemahaman,
komunikasi, penalaran, dll.
Berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan berpikir dengan tidak sekedar menghapal fakta atau
mengerjakan sesuatu sama seperti sesuatu yang pernah disampaikan kepada kita. Herman (2005)
mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi menggunakan pemikiran
yang kompleks, non algoritmik untuk menyelesaikan suatu masalah yang tidak dapat diprediksi,
menggunakan pendekatan yang berbeda dengan tugas yang telah ada atau contoh lain.
Kenyataan di lapangan yang banyak dijumpai gaya mengajar guru yang belum maksimal sehingga
hasil belajar siswa belum efisien. Hasil penelitian Shadiq (2007) mengungkapkan bahwa proses
pembelajaran di kelas kurang meningkatkan kemampuan berpikir tinggi dan kurang terkait
langsung dengan kehidupan nyata sehari-hari. Selanjutnya penelitian Ratnaningsih (2007) dengan
subyek siswa SMP melaporkan hasil bahwa kemampuan matematik siswa dengan pembelajaran
kontekstual lebih baik daripada dengan pembelajaran konvensional. Selain itu Suryadi
(2004) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya masih berfokus pada
pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah yang prosedural.
Dalam idealisme proses pembelajaran dan fakta-fakta di atas menunjukan pentingnya siswa
memiliki kemampuan berpikir matematik dengan tingkat yang lebih tinggi yang menekankan
partisipasi dan aktivitas dari pebelajar. Hal ini berarti proses belajar terjadi jika subyek secara
aktif terlibat atau melakukan kegiatan belajar. Salah satu penyebabnya rendahnya hasil belajar
siswa adalah proses pembelajaran yang didominasi oleh pembelajaran tradisional. Pada
pembelajaran ini suasana kelas cenderung Teaching Central sehingga siswa menjadi pasif.
Meskipun demikian, dalam kegiatan proses belajar mengajar di kelas pada umumnya guru lebih
suka menerapkan model tersebut. Sehingga perlu suatu perubahan paradigma pembelajaran
yaitu orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru (Teacher Centered) beralih
berpusat pada murid (Student Centered), metodologi yang semula lebih didominasi
Ekspositori berganti ke Partisipatori, dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual
berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki
mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan. Untuk itu guru harus
bijaksana dalam menentukan suatu model pembelajaran yang sesuai yang dapat menciptakan
situasi dan kondisi kelas yang kondusif agar proses belajar mengajar dapat berlangsung sesuai
dengan tujuan yang diharapakan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

397

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching And Learning) merupakan salah satu alternatif
pembelajaran yang dapat menciptakan situasi dan kondisi kelas yang kondusif dan lebih
memberdayakan siswa. Pendekatan kontekstual ini menekankan kepada proses keterlibatan siswa
untuk menemukan materi dan mempratekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga belajar
dengan pendekatan kontekstual bukan hanya sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar
adalah proses berpengalaman secara langsung. Melalui proses pengalaman itu diharapkan
perkembangan peserta didik terjadi secara menyeluruh, yang bukan hanya sisi kognitif saja, tetapi
aspek Psikomotorik (keterampilan siswa) dan aspek afektif dalam arti tingkah laku yang
sekarang ini banyak dilupakan para pendidik dan peserta didik.
Berkaitan dengan proses belajar, konsep yang dipahami secara baik oleh siswa dari pembelajaran
dapat disimpan dalam ingatan atau memori yang kemudian akan dipergunakan pada saat
diperlukan. Kemampuan untuk menyimpan dalam ingatan ini dikenal sebagai retensi. Untuk itu
akan diteliti juga bagaimana pembelajaran kontekstual mempengaruhi retensi siswa.
Sejalan dengan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat judul dalam makalah ini yaitu
Mengembangkan Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis Siswa SMP Melalui
Pendekatan Kontekstual.

DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, N. (2007). Pendekatan Keterampilan Proses. [online].
Tersedia:http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/PengembanganPembelajaranMatematika_
UNIT_6_0.pdf.[18 Juli 2014]
Arifin (2010). Hakikat Matematika dan Pembelajaran Matematika.[online].
Tersedia:http://www.scribd.com/doc/53601045/Hakikat-Matematika-Dan-PembelajaranMatematika-Di.[17 Juli 2014]
Basuki
(2009).
Pengajaran
Dengan
Pendekatan
Keterampilan
Proses.[online]
Tersedia:http://sumsel1.kemenag.go.id/file/dokumen/PendekatanKeterampilanProses.pdf. [
22 November 2014]
Hamalik, O. (2009). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Rizki.
(2012).
Hasil
TIMSS
Terbaru.
[online]
Tersedia:http://doelfproduct.blogspot.com/2013/01/hasil-timss-terbaru.html. [30 Maret
2014].
Sagala, S. (2005). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Suryadi. (2005). Hasil Penelitian Kemampuan Matematika pada TIMSS. [online].
Tersedia:http://repository.upi.edu/operator/upload/t_mtk_0909979_chapter1.pdf.[01 April
2014].
Sumarmo,U. (2012). Bahan Belajar Mata Kuliah Proses Berpikir Matematik Program S2
Pendidkan Matematika. Bandung: STKIP Siliwangi. (Tidak diterbitkan).
Sumarmo,U. (2013). Berpikir dan Disposisi Matematik Serta Pembelajarannya. Kumpulan
Makalah. UPI Bandung. (Tidak diterbitkan).
Susilawati, W.(2014). Belajar & Pembelajaran Matematika. Bandung : CV Insan Mandiri.
Widjajanti, D. (2009). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Mahasiswa Calon Guru
Matematika Apa Dan Bagaimana Mengembangkannya. [online].
Tersedia:http://eprints.uny.ac.id/7042/1/P25Djamilah%20Bondan%20Widjajanti.pdf. [23 Juni
2014].

398

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP OPERASI


BENTUK ALJABAR DENGAN MENGGUNAKAN ICT PADA
SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1
Agus Dedi
SMP Negeri 1 Cimahi
agusdedi1@yahoo.co.id

ABSTRAK
Setiap individu adalah unik tidak ada suatu gaya belajar yang lebih baik atau lebih buruk dari pada
gaya belajar yang lain. Setiap siswa memiliki kecerdasan dominannya masing masing atau yang
disebut dengan multiple intelegences. Kenyataan tersebut menuntut agar siswa dapat dilayani sesuai
perkembangan individual masing-masing, akan tetapi pembelajaran yang ada sekarang menuntut
siswa untuk mampu mencapai KKM yang sudah ditetapkan di setiap sekolah, hal tersebut yang
mengakibatkan penulis berpikir untuk menemukan sebuah pendekatan mangajar yang bisa mewakili
kecerdasan setiap anak. Pendekatan mengajar tersebut adalah pendekatan dengan menggunakan ICT (
software hot potatoes dan power point). Metode ini mampu meningkatkan hasil pemahaman siswa
pada konsep penjumlahan dan pengurangan bentuk aljabar yang biasanya diajarkan secara abstrak
oleh guru yang ada di sekolah.
Kata Kunci:ICT, KKM , Multipleintegences, , Unik

1.

Pendahuluan

Bahan kajian inti Matematika di Sekolah Menengah Pertama (SMP) mencakup aritmetika,
Aljabar, Geometri dan Statistik (GBPP Matematika 1999 dan Standar Kompetensi
Matematika Pada KTSP, 2004). Di antara bahan kajian tersebut materi aljabar yang lebih
banyak disajikan secara abstrak. Karena sifatnya yang abstrak sehingga menyebabkan
siswa sebagian besar kurang memahami konsep matematika karena dianggap sulit dan
membosankan.
Kenyataan di atas menuntut agar siswa dapat dilayani sesuai perkembangan individual
masing-masing. Konsekuensinya adalah pembelajaran perlu melayani siswa secara
individual untuk menghasilkan perkembangan yang sempurna pada setiap siswa. (Hudojo,
1988:101).
Setiap orang memiliki gaya belajar yang unik. Tidak ada suatu gaya belajar yang lebih baik
atau lebih buruk daripada gaya belajar yang lain. Tidak ada individu yang berbakat atau
tidak berbakat. Setiap individu secara potensial pasti berbakattetapi ia mewujudkannya
dengan cara yang berbeda-beda. Singkat kata, tidak ada individu yang bodoh (atau setiap
individu adalah cerdas). Ada individu yang cerdas secara logika-matematika, namun ada
juga individu yang cerdas di bidang kesenian. Pandangan-pandangan baru yang bertolak
dari teori Howard Gardner mengenai intelligensi ini telah membangkitkan gerakan baru
pembelajaran, antara lain dalam hal melayani pererbedaan gaya belajar pembelajar. Suatu
cara pandang baru inilah yang mengakui ke-unik-an setiap individu manusia.
Gardner (1983) mengenalkan Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa
kecerdasan meliputi sembilan kecerdasan. Yaitu, kecerdasan linguistik/verbal/bahasa,
kecerdasan matematis logis, kecerdasan visual/ruang/spasial, kecerdasan musikal/ritmis,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

399

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kecerdasan kinestetik jasmani, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan


kecerdasan naturalis. Kemudian tahun 1999, Gardner menemukan jenis kecerdasan baru,
kecerdasan kesembilan dalam teorinya, yang ia namakan dengan kecerdasan eksistensial.
Pada saat penulis melakukan tes diagnostik melalui angket untuk menemukan kecerdasan
majemuk yang paling dominan dari 26 siswa usia 12-13 anak kelas VII E didapat bahwa:
13 anak memiliki kecerdasan matematis logis, 9 anak memiliki kecerdasan verbal, 4 anak
memiliki kecerdasan musical, 4 anak memiliki kecerdasan visual, 18 anak memiliki
kecerdasan intrapersonal, 12 anak memiliki kecerdasan intrepersonal, 10 anak memiliki
kecerdasan naturalis, dan 8 anak memiliki kecerdasan kinestetik jasmani.
Dari data di atas penulis menyimpulkan bahwa setiap siswa tidak dipaksakan untuk cerdas
dalam segala hal, begitu pula pada pelajaran matematika. Pernyataan tersebut bertentangan
dengan kenyataan yang ada di setiap sekolah yang ada di Indonesia karena anak
diharuskan untuk mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM).
Edgar Dale dikutip dari W. Gulo (2002: 141) mengemukakan pengalamannya tentang
penggunaan berbagai media komunikasi dan informasi dalam Kerucut Dale. Menurut Dale
konsep yang diinformasikan melalui lambang verbal mempunyai daya serap paling rendah
dibandingkan apabila disampaikan dengan lambang visual. Dalam Kerucut Dale media
yang menunjukkan keefektifan tertinggi adalah media komunikasi dengan pengalaman
langsung yang berarti mempunyai daya serap paling tinggi. Komputer merupakan salah
satu media yang masih popular di kalangan siswa yang bisa membuat pembelajaran
menarik. Erman Suherman, dkk (2003: 293) mengemukakan komputer memiliki potensi
yang besar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran
matematika. Banyak hal abstrak yang sulit dipikirkan siswa dapatdipresentasikan melalui
simulasi komputer. Hal ini tentu saja akan lebih menyederhanakan jalan pikiran siswa
dalam memahami matematika.
Aplikasi komputer yang digunakan dalam belajar matematika adalah software Hot
Potatoes dan Microsoft power point. Kedua aplikasi komputer ini yang menjadi pilihan
karena hot potatoesmerupakan tool untuk membuat Bank Soal. Program Hot Potatoes
terdiri atas enam program yang dapat digunakan untuk membuat materi pengajaran secara
interaktif berbasis web. Microsoft power pointdi gunakan sebagai tayangan bahan ajar
media gambar berupa wayang cepot dan semar untuk menjelaskan materi operasi
penjumlahan dan pengurangan bentuk aljabar.
Dari permasalahan di atas menuntut penulis untuk berpikir bagaimana caranya menemukan
sebuah metode pembelajaran yang bisa mewakili semua aspek kecerdasan anak sehingga
anak mampu mengembangkan kecerdasan matematis logisnya minimal sesuai dengan
KKM yang ada di sekolah SMPN 1 Cimahi, sehingga penulis mengambil judul
Peningkatan Pemahaman konsep operasi aljabar dengan Menngunakan ICT pada siswa
kelas VII SMP Negeri 1 Cimahi.
2.

Metode Penelitian

Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas Penelitian ini bertempat di
SMP Negeri 1 Cimahi, Jalan Artawidajaj no 12 Kota Cimahi. Subjek dari penelitian ini
adalah siswa kelas VII E Semester I tahun Pelajaran 2010/2011 sebanyak 26 orang, yang
terdiri dari 16 siswa perempuan dan 10 siswa laki-laki.
Penelitian dilakukan secara kolaboratif dengan teman satu sekolah. Penelitian ini dilakukan
dalam 2 siklus dengan menggunakan pendekatan ICT dengan menggunakan software hot

400

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

potatoes dan power point. Setiap satu siklus memerlukan 2x40 menit ( 2 jam pelajaran).
Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan kelas, maka
penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam
Sugiarti, 1997: 6), yaitu bentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus yang berikutnya.
Setiap siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan) dan
reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah
direvisi, tindakan, pengamatan dan refleksi. Sebelum masuk ke siklus 1 dilakukan
tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan.
Metode pengumpulan data yang di gunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui
observasi pengolahan pembelajaran kooperatif, observasi aktivitas siswa, dan guru serta tes
formatif.
Pada penelitian ini penulis gunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode
penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang
diperoleh dengan tujuan untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai siswa juga untuk
memperoleh respons siswa terhadap kegiatan pembelajaran serta aktivitas siswa selama
proses pembelajaran.
Untuk menganalisis tingkat keberhasilan atau persentase keberhasilan siswa setelah proses
belajar mengajar setiap putarannya dilakukan dengan cara memberikan evaluasi berupa
soal tes tertulis pada setiap akhir putaran. Analisis ini dihitung dengan menggunakan
statistik sederhana yaitu
rata-rata tes formatif dapat dirumuskan:
_
x
x =
N
_

Dengan x

x
N

: Nilai Rata-rata
: Jumlah semua nilai siswa
: Jumlah siswa (Banyak Siswa)

Untuk menghitung prosentase ketuntasan belajar digunakan rumus sebagai berikut:


Sisawa yang tuntas belajar
P=
x 100%
siswa
Maka berdasar uraian di atas penulis menetapkan KKM untuk pelajaran matematika di
SMPN 1 Cimahi adalah nilai 75.
3.
3.1.

PembahasanHasilPenelitian
Hasil penelitian Siklus I

a.Tahap Perencanaan
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran, LKS 1, Soal Tes Formatif 1 dan lembar observasi
pembelajaran yang dikembangkan peneliti untuk kepentingan supervisi kepala sekolah
terhadap guru, adapun format yang digunakan meliputi daftar pertanyaan sebelum KBM
(Pre conference) , pengamatan pelaksanaan (observasi) , dan daftar pertanyaan setelah
KBM (post conference).
b.Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus 1 dilaksanakan pada tanggal 2
September 2011 di kelas VII E dengan jumlah siswa 26 orang. Dalam hal ini peneliti

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

401

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

bertindak sebagai guru, adapun proses belajar mengajar mengacu pada Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran(RPP) ke 1 yang telah dipersiapkan.
Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan pembelajaran,
Sebagai pengamat adalah Kepala Sekolah dengan memanfaatkan program Supervisi kelas.
Pada akhir pembelajaran dalam 1 kompetensi dasar. Siswa diberiTes Formatif dengan
tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang
telah dilakukan. Adapun data hasil penelitian pada siklus I (sebelum penggunaan software
hot potatoes dan power point)
Diperoleh hasil ketuntasan belajar sebagai berikut:
> Jumlah siswa yang tuntas belajar 16 orang,
> Jumlah siswa seluruhnya 26 orang.
> Jumlah siswa yang belum tuntas = 26 - 16 = 10 orang.
> Presentasi jumlah siswa yang telah tuntas belajar
16
=
x100%
26
= 61, 54 % kurang dari 85 %
Sehingga daya serap klasikal (DSK) belum tuntas
> Daya serap soal (DSS) untuk tiap nomor masih kurang 75 %

NO
1
2

8
402

Tabel 3.1 Pengelolaan Pembelajaran Pada Siklus 1 (Pre Conference/


Sebelum KBM)
PERTANYAAN
JAWABAN
Butir Pembelajaran apa saja yang
Penjumlahan dan pengurangan bentuk
akan saudara sajikan ?
aljabar
Kemampuan apa saja yang saudara
Setelah pembelajaran siswa dapat
harapkan dimiliki oleh siswa ?
menyelesaikan penjumlahan da
pengurangan bentuk aljabar
Persiapan tertulis apa yang saudara
Program Tahunan, Program Semester,
siapkan ?
Rincian Pekan Efektif, Silabus, RPP
(LKS, Evaluasi, Tes), Baku Nilai,
Jurnal mengajar, dan Daftar Hadir
siswa
Bagaimana penangkapan kegiatan
Kooperatif dengan sintaks
pembelajaran saudara?
Pendahuluan, kegiatan Inti dan
Penutup.
Adakah materi yang saudara
Ada, yaitu materi prasyarat operasi
perkiraan sulit dipahami siswa ?
pada bilangan bulat terutama di
penjumlahan dan pengurangan.
Adakah dugaan mengenai sumber
a. Tidak ada
kesulitan belajar ?
b. Tidak ada
a. Prasarana
c. Tidak Ada
b. Bahan Ajar
d. Ada,karena kelas VII E
c. Sumber Belajar
memiliki karakterisasi yang
d. Suasana
berbeda dengan kelas lain.
Tindakan kelas apa yang saudara
Optimalisasi Pengelolaan Kelas
gunakan untuk mengatasi kesulitan
tersebut?
Metode apa yang saudara gunakan? Ekspositori , metode tanya jawab,
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

NO

PERTANYAAN

JAWABAN
pemberian tugas dan diskusi
kelompok.

Alat bantu apa saja yang saudara


persiapkan ?

LKS

10

Yakinkah saudara atas keberhasilan Yakin, karena persiapan sudah


KBM / Pembelajaran yang saudara dilakukan.
laksanakan ?

Tabel 3.2 Pengelolaan Pembelajaran pada Siklus I (Observasi/Pelaksanaan)


Dilakukan
Skor
NO
Aspek yang diamati
Ya
Tidak 1 2 3 4
1 Pengamatan KBM
A Pendahuluan
1. Mengaitkan pelajaran sekarang dengan

yang terdahulu
2. Menyampaikan tujuan pembelajaran

3. Memotivasi siswa

B Kegiatan Inti
1. Mempresentasikan informasi

2. Mengorganisasikan siswa dalam bentuk

kelompok-kelompok belajar
3. Membimbing kelompok
a. Mengajukan pertanyaan

b. Menjawab pertanyaan/menanggapi

c. Menyampaikan ide/pendapat

d. Mendengarkan secara aktif

e. Bekerja dan belajar bersama

C Penutup
Membimbing siswa merangkum pelajaran

II Suasana Kelas
1. Siswa antusias

2. Guru antusias

3. Waktu sesuai dengan alokasi

4. KBM

Jumlah
8 27 4
Keterangan :
1 = tidak baik
2 = cukup baik
3 = baik
4 = sangat baik
Nilai 90 100 = amat baik
Nilai 76 89 = baik
Nilai 60 75 = cukup
Nilai 0 59 = kurang
Dari tabel 3.2 diperoleh total nilai :
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

403

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

jumlah skor
x 100
jumlah skor ideal
8 27 4
=
x 100
4x5
= 65 (cukup)
=

Tabel 3.3 Pengelolaan Pembelajaran pada Siklus I (Pre Conference) Setelah KBM
NO
PERTANYAAN
JAWABAN
1
Apakah KBM telah sesuai dengan Rencana ? Ya, sudah sesuai
2
Kesulitan yang saudara rasakan dalain
Sebagian besar siswa
KBM?
belum paham
penjumlahan dan
pengurangan bentuk
lajabar.
3
Tindakan apa yang telah saudara lakukan
Mengulangi pada saat
untuk mengatasi kesulitan tersebut ?
membuat rangkuman
4
Bagaimana perkiraan saudara mengenai
Belum tercapai secara
ketercapaian tujuan pembelajaran ?
klasikal
5
Hal apakah yang saudara rasakan telah
Upaya kerja kelompok
mantap dan perlu dipertahankan ?
dalam diskusi
kelompok
6
Tindakan apa yang akan saudara lakukan
Penggunaan media
untuk meningkatkan keberhasilan KBM yang pembelajaran
akan datang ?
7
Kesan dan saran
c. Refleksi Pelaksanaan
Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar diperoleh informasi hasil pengamatan
sebagai berikut:
1) Tampilan guru belum optimal, masih berada pada kriteria cukup dengan total nilai 65
2) Siswa kurang antusias selama pembelajaran berlangsung.
3) Sebagian besar siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami konsep
penjumlahan dan pengurangan bentuk aljabar.
4) Daya Serap Klasikal dan Daya Serap Soal belum tuntas
d. Revisi Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada Siklus I ini masih terdapat banyak
kekurangan sehingga perlu adanya revisi untuk dilakukan pada Siklus 2.
1) Guru perlu lebih terampil dalam memotivasi siswa dan lebih jelas dalam
menyampaikan tujuan pembelajaran. Di mana siswa diajak untuk terlibat langsung
dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan.
2) Guru perlu memikirkan cara yang paling efektif dan efisien untuk menyampaikan
penanaman konsep Penjumlahan dan pengurangan bentuk aljabar, khususnya bagi
siswa yang secara individual belum tuntas (belum kompeten).
3) Gunakan inovasi alat peraga / media pembelajaran yang dapat mempermudah siswa
dalam memahami konsep penjumlahan dan pengurangan bentuk aljabar.

404

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.2.Hasil Pelaksanaan Siklus II


a. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang telah di revisi
yang terdiri dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) ke 2, LKS ke 2, soal tes
formatif dan alat-alat pengajaran yang mendukung. Selain itu juga di persiapkan lembar
observasi pengelolaan pembelajaran.
b. Tahap Kegiatan Dan Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus 2 dilaksanakan pada tanggal 12
September 2011 di kelas VII E dengan jumlah siswa 26 orang.
Dalam hal ini penelitian bertindak sebagi guru. Adapun proses belajar mengajar untuk
siklus 2 ini mengacu pada rencana pelaksanaan pembelajaran dengan memperhatikan
revisi pada siklus 1 tidak terulang lagi pada siklus 2.
Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan pembelajaran.
Sebagai pengamatan tetap kepada sekolah dengan memanfaatkan program supervisi
kelas.
Pada akhir pembelajaran siswa di beri tes formatif ke 2 dengan tujuan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan siswa. Dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan,
instruksi yang digunakan adalah tes formatif ke 2.
Dari Hasil penelitian pada siklus II setelah menggunakan software hot potatoes di atas
diperoleh hasil ketuntasan belajar sebagi berikut:
1) Jumlah siswa yang tuntas belajar = 24 orang
2) Jumlah siswa seluruhnya = 26 orang
3) Jumlah siswa yang belum tuntas = 26-24 = 2 orang
4) Prosentase jumlah siswa yang tuntas belajar
24
=
x100%
26
= 92,30 % (lebih dari 85%)
5) Daya serap soal (DSS) untuk setiap nomor lebih dari 75 %maka tuntas
Perlu diperbaiki tindak lanjut bagi 2 orang siswa yang mengalami
kesulitan di operasi bilangan bulat sebagai pengetahuan prasyarat dengan
memanfaatkan tutor baya dan pemanggilan orang tua melalui guru BK/BP.
Tabel 3.4 Pengelolaan pembelajaran pada siklus II (Pre coference/ sebelum
KBM)
NO
PERTANYAAN
JAWABAN
1
Persiapan tertulis apa saja yang
Program
tahunan,
program
saudara persiapkan ?
semester, Rincian pekan efektif,
silabus, RPP ( LKS, Evaluasi,
Tes), Jurnal mengajar, Buku nilai
dan Daftar Hadir siswa
2
Adakah materi/konsep yang saudara
Ada, yaitu konsep penjumlahan dan
perkirakan sulit di pahami siswa ?
pengurangan bentuk aljabar
3
Tindakan kelas apa saja yang saudara Penggunaan alat media power point
gunakan untuk mengatasi kesulitan
dan software hot potatoes
tersebut ?
4
Metode apa saja yang saudara
Model kooperatif dengan metode
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

405

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

NO

PERTANYAAN
gunakan?

Yakinkah saudara atas keberhasilan


KBM yang saudara laksanakan ?

JAWABAN
demonstrasi, tanya jawab
diskusi kelompok
Yakin

dan

3.5 Pengelolaan Pembelajaran pada Siklus 2 (Observasi /Pelaksanaan)


Dilakukan
Skor
No
Aspek Yang Diamati
Ya Td 1
2
3
4
I. Pengamatan KBM
A. Pendahuluan
1. Mengaitkan pelajaran sekarang

dengan yang terdahulu


2. Menyampaikan tujuan

V
pembelajaran
3. Memotivasi siswa

B. Kegiatan Inti

1. Mempresentasikan informasi

2. Mengorganisasikan siswa dalam


bentuk kelompok-kelompok

belajar
3. Membimbing kelompok
a. Mengajukan pertanyaan

b. Menjawab pertanyaan atau

menanggapi
c. Menyampaikan ide atau pendapat

d. Mendengarkan secara aktif

e. Bekerja dan belajar bersama

,
C. Penutup
Membimbing siswa merangkum

pelajaran
II. Suasana Kelas
3
1. Siswa Antusias

2. Guru Antusias

3. Waktu sesuai dengan alokasi

4. KBM sesuai dengan skenario pada

RPP
Keterangan :
1
= Tidak baik
2
= Cukup baik
3
= Baik
4
= Sangat baik
Nilai 90 -100 = Amat baik
Nilai 76 - 89 = Baik
Nilai 60 75 = Cukup
Nilai 0 -59
= Kurang
Dari tabel 3.5 diperoleh total nilai:

406

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

jumlahskor
x100
jumlahskorideal
12 44
=
x100
4 x15
= 93,3 (amat baik)

Tabel 3.6 Pengelolaan Pembelajaran pada Siklus II (Post Conference / Setelah PBM)
NO
PERTANYAAN
JAWABAN
1
Apakah KBM telah sesuai dengan Ya, sudah sesuai
rencana?
2
Kesulitan apa yang Saudara rasakan Saya kira, tidak ada kesulitan
dalam KBM?
3
Tindakan apa yang telah Saudara
lakukan untuk mengatasi kesulitan
tersebut?
4
Bagaimana perkiraan Saudara
Saya yakin secara klasikal akan
mengenai ketercapaian tujuan
tuntas
pembelajaran?
5
Hal apakah yang Saudara rasakan
Optimalisasi penggunaan media
telah mantap dan perlu
pembelajaran / alat peraga
dipertahankan?
6
Tindakan apa yang akan Saudara
Membudayakan penggunaan ICT
lakukan untuk meningkatkan
dalam penyelesaian masalah PBM
keberhasilan KBM yang akan
datang?
7
Kesan dan saran
Media
pembelajaran
dapat
meningkatkan
hasil
belajar.
Kembangkanlah kreatifitas
c. Refleksi Pelaksanaan
Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar diperoleh informasi hasil pengamatan
sebagai berikut:
1) Tampilan Guru sangat optimal, dari pre conference, observasi dan post
conference menunjukkan kriteria nilai yang amat baik yaitu 93,3 %.
2) Siswa amat senang dan antusias selama pembelajaran berlangsung.
3) Dengan menggunakan software hot potatoes konsep penjumlahan dan pengurangan
bentuk aljabar dapat dipahami dengan baik oleh Siswa.
4) Dari ketuntasan belajar di dapat
a) Daya Serap Klasikal (DSK) = 92,30 % (lebih dari 85 %) maka tuntas.
b) Daya Serap Soal (DSS) untuk setiap nomor (tanpa pengulangan).
d. Revisi Pelaksanaan
Pada Siklus 2 guru telah menerapkan pembelajaran sesuai dengan yang diinginkan,
penanaman konsep penjumlahan dan pengurangan bentuk aljabar dengan menggunakan
software hot potatoes ternyata dapat meningkatkan proses dan hasil belajar siswa kelas VII
E SMPN 1 Cimahi, secara keseluruhan pembelajaran pada Siklus 2 sudah berjalan dengan
baik.
Maka tidak perlu revisi lagi, tetapi yang perlu diperhatikan untuk tindakan selanjutnya
mempertahankan apa yang menjadi pengalaman bagi penulis, untuk dipergunakan guruguru yang lain dalam konsep penjumlahan dan pengurangan bentuk aljabar.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

407

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.3 Pembahasan Hasil Penelitian


a. Ketuntasan hasil belajar siswa
Melalui hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran melalui software hot
potatoes pada penjumlahan dan pengurangan
memiliki dampak positif dalam
meningkatkan proses dan hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya
pengalaman siswa terhadap materi yang disampaikan guru (ketuntasan belajar meningkat
dari Siklus 1 dan 2) yaitu dari 61,54 % menjadi 92,30% (ketuntasan belajar siswa) secara
klasikal telah tercapai.
b. Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran
Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam PBM setiap Siklus mengalami
peningkatan, Hal ini berdampak positif terhadap hasil belajar siswa.
c. Aktivitas Guru dan Siswa
Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas Siswa dan Guru dari Siklus I ke Siklus 2
mengalami peningkatan. Yang paling dominan adalah bekerja dengan menggunakan
software hot potatoes mendemonstrasikan, mendengar, memperhatikan dan diskusi siswa
dengan siswa, siswa dengan guru. Jadi dapat dikatakan bahwa aktivitas siswa dapat
dikategorikan aktif.
Sedangkan untuk aktivitas Guru selama pembelajaran telah melaksanakan langkahlangkah pembelajaran dengan baik. Hal ini terlihat dari aktivitas guru yang muncul
diantaranya aktivitas membimbing siswa dan mengamati siswa dalam mengerjakan LKS
kelompok atau individu, mendemonstrasikan penggunaan software hot potatoes,
menemukan konsep, menjelaskan,melatih menggunakan alat, memberi umpan balik,
evaluasi, tanya jawab dimana prosentase aktivitas di atas cukup besar.
4.

HasilPenelitiandandanPembahasan

Berikut
ini
disajikan
hasil
temuan
mengenai
kemampuanberpikirtingkattinggimatematissiswa seperti tersaji pada Tabel 2.

retensi

Tabel 2.
Rekapitulasi Data Retensi KemampuanBerpikir Tingkat TinggiMatematis (RKBTT)
PendekatanKontekstual
PendekatanBiasa
(n
=
30)
(n = 31)
KEMAMPUAN
KAM
MATEMATIK
Rerata
SD
Rerata
SD

RKBTT

4.1.

Baik

0,70

0,08

0,48

0,11

Sedang

0,69

0,06

0,68

0,17

Kurang

0,74

0,05

0,72

0,18

Total

0,70

0,07

0,66

0,18

RetensiKemampuanBerpikir Tingkat TinggiMatematisSiswasecarakeseluruhan

Setelah dilakukan uji normalitas sebaran data kemampuanberpikirtingkattinggi, retensi


kemampuanberpikirtingkattinggi, dan kemandirianbelajarsiswa secara keseluruhan diperoleh
bahwa data berdistribusi normal. Berdasarkan temuan tersebut, maka pengujian perbedaan rerata
kemampuan tersebutdilakukan dengan uji perbedaan dua rerata (tersaji dalam Tabel 3).

408

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315


Tabel 3
Rekapitulasi Hasil Uji Perbedaan Rerata dengan Uji-t
Antara PendekatanKontekstual dengan PendekatanBiasasecarakeseluruhan
KEMAMPUAN
MATEMATIS

Sig.

INTERPRETASI

Retensi
Berpikir Tingkat
Tinggi Matematis

0.047

Retensi KemampuanBerpikir Tingkat TinggiMatematissiswa, yang


pembelajarannya menggunakan PendekatanKontekstual secara
signifikan lebih baik dari pada cara biasapada taraf signifikansi 5%

Sumber : output SPSS 19

Berdasarkan hasil analisis data di atas, diperoleh interpretasi bahwa Retensi KemampuanBerpikir
Tingkat Tinggi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan Pendekatan Kontekstual
lebih baik daripada cara biasa secara keseluruhan. Kedua kelas yaitu Pendekatan Kontekstual
(0,70) dan Pendekatan Biasa (0,66) tergolong kategori Cukup.
4.2.

Retensi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis Siswa berdasarkan


Kemampuan Awal Matematika Siswa (KAM)

Retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi matematis siswa berdasarkan Kemampuan Awal
Matematika Siswa (KAM) diperoleh bahwa data berdistribusi normal. Berdasarkan temuan
tersebut, maka pengujian perbedaan rerata ketiga kemampuan dilakukan dengan uji Anova 2 jalur
yang tersaji dalam Tabel 4.
Tabel 4
Rangkuman Uji Anova Dua Jalur
Retensi KemampuanBerpikir Tingkat TinggiMatematisSiswa
Berdasarkan Faktor Pendekatan Pembelajaran dan KAM
SUMBER
PendekatanPembelajaran (A)
KAM (B)
AxB
Inter
(Diambil dari output SPSS. 19)

JK

dk

RJK

,078
,129
,102
,880

1
2
2
55

,078
,065
,051
,016

F hit
4,874
4,033
3,193

Sig
,031
,023
,049

Setelah dilakukan uji statistik data yang tersaji dalam Tabel 4, maka dapat disimpulkan:
g. Berdasarkan PendekatanPembelajaran, terdapat perbedaan yang signifikan antara
retensikemampuanberpikirtingkattinggimatematissiswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan kontekstual dengan yang pembelajarannya menggunakan cara biasa pada taraf
signifikansi 5%.
h. Berdasarkan KAM, paling tidak terdapat satu kelompok siswa dengan KAM tertentu yang
retensi kemampuanberpikirtingkattinggimatematissiswanya berbeda secara signifikan dengan
KAM lainnyapadatarafsignifikansi 5%. Untuk mengetahui KAM mana yang berbeda secara
signifikan dilakukan uji scheffe. HasilperhitungannyadisajikanpadaTabel5.
Tabel5
UjiScheffeRetensiKemampuanBerpikir Tingkat TinggiMatematisSiswa
BerdasarkanKAM
KAM (I)
Baik
Sedang
Baik

KAM (J)
Sedang
Kurang
Kurang

Sig
0,052
0,071
0,021

(Diambildari output SPSS.19)

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

409

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Dari Tabel 5 disimpulkan bahwaterdapat perbedaan yang signifikan antara retensi


kemampuanberpikirtingkattinggimatematissiswa pada kategori KAM baik dan kurang
dibandingkan dengan KAM sedang. Implikasinya retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematis siswa pada kategori KAM baik dan kurang lebih berkembang daripada kategori
sedang.
i.

Berdasarkan Efek Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan KAM, terdapat


efekinteraksi yang signifikan antara pendekatan pembelajaran (Kontekstualdan Biasa) dengan
KAM
secarabersamaandalam
menghasilkan
retensikemampuanberpikirtingkattinggimatematissiswa pada taraf signifikansi 5%.

Berdasarkan hasil analisis secara mendalam mengenai retensi kemampuan berpikir tingkat tinggi
matematis siswa, beberapa siswa masih merasa kesulitan dalam hal mengingat kembali konsepkonsep dari materi yang telah diajarkan sebelumnya. Secara umum permasalahan penguasaan
konsep tersebut masih dapat diatasi oleh siswa, namun hasilnya tetap kurang optimal dalam
menyelesaikan masalahnya. Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut hendaknya dalam
memberikan materi pelajaran, guru menggunakan pendekatan pembelajaran yang humanis agar
dapat berkesan bagi siswa dan nantinya siswa juga dapat mengingat materi yang berkesan tersebut
dengan baik.

5.

Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan
Dari hasil kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan selama 2 Siklus dan berdasarkan seluruh
pembahasan serta analisis yang telah dilakukan, maka dapat penulis simpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
a. Terjadinya peningkatan proses pembelajaran dari pembelajaran sebelum penggunaan
software hot potatoes pada konsep penjumlahan dan pengurangan bentuk aljabar (Siklus I =
65 dan Siklus 2 - 93,3).
b. Terjadinya peningkatan prosentase jumlah siswa menjawab benar untuk semua nomor soal
(lebih dari 95 %).
c. Terjadinya
peningkatan
ketuntasan
belajar
antara
sebelum
dan
sesudah
penggunaan Simpoa Berwarna (SIMBER) dari 61,54 % (Siklus 1) menjadi 92,30 % (Siklus
ke 2).
d. Adanya peningkatan jumlah siswa yang tuntas belajar dari 16 siswa pada Siklus 1 menjadi 24
siswa pada Siklus yang ke 2.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya agar
proses pembelajaran matematika lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang optimal bagi siswa,
maka disampaikan saran sebagai berikut:
a. Seorang Guru seyogyanya memikirkan cara-cara penyampaian materi atau konsep yang
efektif, sehingga Siswa dapat menerima dengan mudah.
b. Dalam
merancang
proses
pembelajaran
di
kelas,
Guru
jangan
hanya
terpakai
pada
pemenuhan
kebutuhan
kurikulum
saja,
sajikanlah
proses
pembelajaran yang menarik dan tidak kering.
c. Agar dapat mengatasi pertanyaan siswa yang bersifat minta pembuktian,
gunakanlah selalu media yang sesuai dengan karakteristik materinya.
d. Untuk
penelitian
yang
serupa,
hendaknya
dilakukan
perbaikan-perbaikan
agar diperoleh hasil yang lebih baik

410

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

DAFTAR PUSTAKA
Bas, G. dan Beyhan, O. (2010). Effects of multiple intelligences supported project-based learning
on students achievement levels and attitudes towards English lessonInternational
Electronic Journal of Elementary Education, Vol. 2, Issue 3, July, 2011. Online.
Tersedia di www.iejee.com/2_3_2010/365-385.pdf/
Suherman, E dan Sukjaya,Y.(1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan
Matematika. Bandung: Wijaya Kusumah.
Gardner, Howard. 2003. Multiple Intelligences: The Theory in Practice. New York: BasicBooks.
Hudojo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka
Cipta.
BSNP, 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika SMP/ MTs. Jakarta : Puskur
Depdiknas.
Cholik, K dkk, 2002. Matematika SMP Kelas VII. Jakarta : Erlangga. Depdiknas, 1994. GBPP
Matematika Smp. Bandung: Kaifa.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

411

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN


PEMAHAMAN MATEMATIK SERTA MINAT MEMBACA
SISWA SMP MELALUI STRATEGI SQ3R
Cicih Aesih
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi
Cicih.aesih@yahoo.com

ABSTRAK
Artikel ini membahas tentang kemampuan komunikasi , Pemahaman,serta minat membaca siswa
SMP dengan menerapkan strategi SQ3R. Pendidikan harus melahirkan manusia yang beriman
,bepikir ilmiah dan beramal shaleh. Pada kenyataanya pendidikan hanya berorientasi pada sebagian
kecerdasan siswa saja belum pada pengembangan potensi siswa secara menyeluruh. Salah satu mata
pelajaran untuk mengembangkan potensi siswa dalam kemampuan bernalar, berpikir kritis, logis
adalah melalui pembelajaran matematika. Pebelajaran matematika bertujuan untuk mempersiapkan
peserta didik mampu menghadapi persoalan hidup dan kehidupan yang kompleks di masa yang akan
datang. Matematika sebagai bahasa simbol memerlukan pemahaman yang baik sehingga mudah
untuk mengkomunikasikannya dari pendidik kepada peserta didik dan sebaliknya. Permasalahan
dalam pembelajaran matematika selain komunikasi dan pemahaman yaitu minat membaca yang
rendah. Maka dengan ini penulis melakukan penelitian untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan
strategi SQ3R (survey,Read,Recite,Review) pada siswa SMP dengan metode eksperimen.
Kata kunci : Komunikasi,Minat membaca, Pemahaman,dan SQ3R

1.

Pendahuluan

Peradaban suatu bangsa yang maju tercermin dari keberhasilan pendidikannya .Pendidikan harus
dapat memanusiakan manusia. Pendidikan harus melahirkan manusia yang beriman, bepikir ilmiah
dan beramal shaleh. Pada kenyataanya pendidikan hanya berorientasi pada sebagian kecerdasan
siswa saja belum pada pengembangan potensi siswa secara menyeluruh.Salah satu mata pelajaran
untuk mengembangkan potensi siswa dalam kemampuan bernalar, berpikir kritis, logis adalah
melalui pembelajaran matematika. Menurut Masykur (2009 : 36) pemberian mata pelajaran
matematika di sekolah untuk mempersiapkan anak didik agar bisa menghadapi perubahan
kehidupan dan dunia melalui latihan atas dasar berpikir logis, rasional dan kritis.
Ilmu Matematika bebeda dengan ilmu lainnya, didalam matematika memiliki bahasa tersendiri
yaitu symbol-simbol dan angka.Belajar matematika harus berusaha memahami makna yang ada
dibalik simbol tersebut.Bahasa matematika merupakan alat komunikasi dalam pembelajaran
matematika.Apabila manusia dalam berinteraksi dan berkomunikasi tidak melibatkan peran bahasa,
maka itu tidak mungkin. Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator
kepada komunikan. Bagi dunia ilmu matematika memiliki peran sebagai bahasa simbolik yang
memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat, jelas dan tepat.Karena matematika banyak
menggunakan bahasa simbolik maka memerlukan pemahaman yang baik dari siswa untuk
mempelajarinya.Dengan pemahaman konsep yang dibangun siswa dapat melakukan pemodelan
matematika untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari hari.
Betapa pentingnya kompetensi komunikasi dan pemahaman dalam pembelajaran matematika.
Agar kedua kompetensi tersebut tercapai dengan baik maka harus ditopang oleh kemampuan
membaca yang baik.Pada kenyataannya dilapangan yang kemampuan komunikasi matematika
siswa jarang mendapat perhatian. Guru lebih berusaha agar siswa mampu menjawab soal dengan
benar tanpa meminta alasan atau jawaban siswa, ataupun meminta siswa untuk

412

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

mengkomunikasikan pemikiran, ide dan gagasannya.Siswa jarang diminta untuk berargumentasi


dalam pembelajaran matematika, akibatnya sangat asing bagi mereka untuk berbicara tentang
matematika. Keadaan ini di perparah oleh rendahnya minat membaca siswa seperti yang di
sampaikan oleh Hary Karyono (2007 ) menyatakan bahwa secara umum minat baca bangsa
Indonesia, terutama anak-anak relatif sangat rendah,terutama jika dibandingkan dengan minat baca
negara-negara berkembang lainnya. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menanamkan minat
baca sejak anak-anak usia dini. Hal ini kita dapat temukan dengan mudah bahwa minat baca siswa
dan kemampuan bertanya mahasiswa tergolong rendah, hal ini diperkuat oleh hasil penelitian
penelitianbahwa minat baca orang Indonesia sangat rendah dibanding negara-negara lain bahkan di
Asia.
Membaca berpengaruh pada komunikasi matematik sekaligus juga berpengaruh pada
pemahamannya. Pemahaman matematik dianggap penting untuk belajar matematika secara
bermakna, tentunya para guru mengharapkan pemahaman yang dicapai siswa tidak terbatas pada
pemahaman yang bersifat dapat menghubungkan. Belajar dikatakan bermakna bila informasi yang
akan dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa sehingga siswa
dapat mengkaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimiliki. Artinya siswa dapat
mengkaitkan antara pengetahuan yang dipunyai dengan keadaan lain sehingga belajar dengan
memahami. Kemampuan pemahaman matematis adalah salah satu tujuan penting dalam
pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan
hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu. Dengan pemahaman siswa dapat lebih mengerti akan
konsep materi pelajaran itu sendiri. Pendidikan yang baik adalah usaha yang berhasil membawa
siswa kepada tujuan yang ingin dicapai yaitu agar bahan yang disampaikan dipahami sepenuhnya
oleh siswa.
Dengan demikian keberhasilan aspek komunikasi dan pemahaman sangat tergantung oleh minat
peserta didik .Faktor minat menduduki posisi penting untuk meningkatkan keberhasilan aktivitas.
Tanpa adanya minat belajar matematika dari anak maka semua target pencapaian tujuan akan siasia. Minat melahirkan perhatian spontan yang memungkinkan terciptanya konsentrasi untuk waktu
yang lama dengan demikian, minat merupakan landasan bagi konsentrasi.Sejalan dengan itu
menurut Ruseffendi (2006:12) salah satu faktor dari dalam yang mempengaruhi keberhasilan
belajar anak dalam belajar adalah minat.Minat bersifat sangat pribadi, orang lain tidak bisa
menumbuhkannya dalam diri siswa, tidak dapat memelihara dan mengembangkan minat itu.
Dampak dari rendahnya minat
membaca ini mengakibatkan komunikasi dan pemahaman
matematik menjadi kurang , peserta didik tidak menyukai soal-soal atau permasalahan yang
memerlukan kemampuan membaca seperti dalam menyelesaikan soal cerita. Logikanya bila minat
membaca rendah apalagi untuk memahami soal dan menyelesaikan soal .Ketiadaan minat terhadap
suatu mata pelajaran menjadi pangkal penyebab mengapa anak didik tidak tertarik untuk mencatat
apa-apa yang telah disampaikan oleh guru.Itulah sebagai pertanda bahwa anak didik tidak
mempunyai motivasi untuk belajar. Oleh karena itu guru harus bisa membangkitkan minat anak
didik, sehingga anak didik yang pada mulanya tidak ada hasrat untuk belajar, tetapi karena ada
sesuatu yang dicari muncullah minat untuk belajar.
Untuk mengatasi permasalahan membaca maka kami akan menerapkan strategi SQ3R. Sistem
membaca SQ3R dikemukakan oleh Prancis P. Robinson tahun 1941, merupakan sistem membaca
yang semakin populer digunakan orang. SQ3R merupakan proses membaca yang terdiri dari lima
langkah: (1) Survey, (2) Question, (3) Read, (4) Recite atau Recall, dan (5) Review.

2.

Komunikasi

Dalam pembelajaran matematika komunikasi matematik berperan penting untuk menterjemahkan


bahasa symbol sehingga dipahami oleh peserta didik. Beberapa pendapat tentang komunikasi
matermatik diantaranya :

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

413

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Komunikasi menurut Nimmo (1989:7) adalah proses interaksi sosial yang digunakan orang untuk
menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang berdasarkan itu mereka
bertindak) dan untuk bertukar citra itu melalui symbol-simbol.
Komunikasi Matematika menurut Ontario Ministry of Education (2005) adalah ekspresi dan
organisasi ide-ide dan berpikir (matematika misalnya, kejelasan, ekspresi, organisasi, logis),
dengan menggunakan lisan, visual, dan ditulis bentuk (misalnya, Picto-Material, grafis, dinamis,
numerik, aljabar bentuk, material konstruktif)
Menurut ILOs-The Intended Learning Outcomes (dikutip Armiati, 2009), komunikasi matematika
adalah suatu keterampilan penting dalam matematika yaitu kemampuan mengekspresikan ide-ide
matematika secara koheren kepada teman, guru dan lainnya melalui bahasa lisan dan tulisan.
Komunikasi matematika menurut NCTM adalah kemampuan siswa dalam menjelaskan suatu
algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa mengkonstruksikan dan
menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafis, kata-kata/kalimat, persamaan, tabel dan
sajian secara fisik atau kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri .
Dari beberapa pengertian ini dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian
suatu informasi dari satu orang ke orang lain sehingga mereka mempunyai makna yang sama
terhadap informasi tersebut.
Indikator dari kemampuan komunikasi matematika menurut :
Pendapat Sumarmo (2012:14) meliputi : (a) menghubungkan benda nyata, gambar dan diagram ke
dalam ide matematika, (b) menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika secara lisan dan tulisan
dengan benda nyata, gambar,grafik dan aljabar (c) menyatakan peristiwa sehari hari dalam bahasa
atau symbol matematika (d) mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematika,(e)
membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika (f) menyusun konjektur, menyusun
argument, merumuskan definisi dan generalisasi, (g) mengungkapkan kembali suatu uraian atau
paragraph matematika dalam bahasa sendiri.
Pendapat Sri Whardhani (2008 : 18) mengkomunikasikan gagasan matematik lebih praktis,
sistematis dan efisien . Pada pencapaian tujuan pembelajaran matematik di sebutkan: Siswa mampu
mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah Contoh soal komunikasi dengan indikator siswa dapat mengkomunikasikan
gagasan dengan simbol :
Misal :
Berikan pendapatmu tentang notasi : 30 x 3 antara lain didapat dinyatakan :
a. Luas permukaan kolam dengan ukuran panjang 30 m dan lebar 3 m
b. Banyaknya roda pada 30 beca
c. Banyaknya pensil dalam 30 kotak yang masing masing kotak berisi 3 pensil
Dari contoh di atas bahwa satu notasi dapat digunakan untuk beberapa hal tetapi tidak
membingungkan karena masing-masing memiliki kekuatan argument.
Sedangkan menurut NCTM (2000) indikator komunikasi matematis dapatdilihat dari:
(1)
kemampuan mengekspresikan ide-ide
matematis
melalui
lisan,tulisan,
dan
mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual, (2)kemampuan memahami,
menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematisbaik secara lisan, tulisan, maupun dalam
bentuk visual lainnya, (3) kemampuandalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika
dan struktur strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungandengan
model-model situasi.

3.

Metode Penelitian

Pemahaman matematik memiliki tingkat kedalaman yang berbeda dan tuntutan yang berbeda
Sumarmo (2012:6). Memahami masalah artinya membuat representasi internal terhadap masalah,
414

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

yaitu memberikan perhatian pada informasi yang relevan, mengabaikan hal-hal yang tidak relevan,
dan memutuskan bagaimana merepresentasikan masalah. Untuk mempermudah memahami
masalah dan mempermudah mendapatkan gambaran umum penyelesaian, sebaiknya hal-hal yang
penting hendaknya dicatat, dan kalau perlu dibuatkan tabelnya atau pun dibuat sket atau grafiknya.
Pengertian pemahaman menurut para ahli sebagai berikut :
Menurut Sumarmo ( 2012: 6) menyatakan bahwa, Pemahaman matematik sebagai terjemahan dari
istilah mathematical understanding memiliki tingkat kedalaman tuntutan kognitif yang berbeda.
Sedangkan menurut NCTM (2000), untuk mencapai pemahaman yang bermakna maka
pembelajaran matematika harus diarahkan pada pengembangan kemampuan koneksi matematik
antar berbagai ide, memahami bagaimana ide-ide matematik saling terkait satu sama lain sehingga
terbangun pemahaman menyeluruh, dan menggunakan matematik dalam konteks di luar
matematika.
Sejalan dengan itu Herdian (2010) berpendapat kemampuan pemahaman matematis adalah salah
satu tujuan penting dalam pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang
diajarkan kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan pemahaman
siswa dapat lebih mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri.
Indikator Pemahaman matematik. Indikator-indikator pemahaman matematik menurut beberapa
ahli diantaranya : Menurut Michener menyatakan bahwa pemahaman merupakan salah satu aspek
dalam Taksonomi Bloom. Pemahaman diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi bahan yang
dipelajari. Untuk memahami suatu objek secara mendalam seseorang harus mengetahui: 1) objek
itu sendiri; 2) relasinya dengan objek lain yang sejenis; 3) relasinya dengan objek lain yang tidak
sejenis; 4) relasinya dengan objek lainnya yang sejenis; 5) relasi dengan objek dalam teori lainnya.
Sedangkan Polya (Sumarmo,2012) membedakan 4 jenis pemahaman yaitu :
a. Pemahaman mekanikal, yaitu dapat mengingat dan menerapkan sesuatu secara rutin atau
perhitungan sederhana.
b. Pemahaman induktif, yaitu dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu bahwa
sesuatu itu berlaku dalam kasus serupa.
c. Pemahaman rasional, yaitu dapat membuktikan kebenaran sesuatu.
d. Pemahaman intuitif, yaitu dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa ragu-ragu, sebelum
menganalisis secara analitik.
Skemp (Sumarmo,2012) membedakan dua jenis pemahaman:
a. Pemahaman instrumental, yaitu hafal sesuatu secara terpisah atau dapat menerapkan sesuatu
pada perhitungan rutin/sederhana, mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja.
b. Pemahaman relasional, yaitu dapat mengkaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar dan
menyadari proses yang dilakukan.
Dalam penelitian ini penuluis akan memngambil indikator pemahaman menurut teknis peraturan
Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 506/C/PP/2004 tanggal 11 Nopember 2004 Sri Whardani
(2008:10) tentang penilaian perkembangan anak didik SMP dicantumkan indikator dari
kemampuan pemahaman konsep sebagai hasil belajar matematika. Indikator tersebut sebagai
berikut: Mengklasifikasi objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya. memberi
contoh dan non contoh dari konsep, menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi
matematis,mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep, menggunakan,
memanfaatkan dan memilih prosedur tertentu, mengklasifikasikan konsep atau algoritma ke
pemecahan masalah.
Contoh soal pemahaman matematik dengan indikator Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk
representasi matematis. Ada sebuah bilangan.Bila bilangan itu dikalikan 3 kemudian 2
ditambahkan padanya maka hasilnya 1. Bagaimana cara menyelesaikan soal tersebut ?

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

415

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

4. Minat membaca
Keberhasilan pembelajaran dalam arti tercapainya standar kompetensi sangat tergantung pada
kemampuan guru mengolah pembelajaran yang dapat menciptakan situasi yang memungkinkan
siswa belajar sehingga merupakan titik awal berhasilnya pembelajaran. Rendahnya mutu
pendidikan pembelajaran dapat diartikan kurang efektifnya proses pembelajaran. Penyebabnya
dapat berasal dari siswa, guru maupun sarana dan prasarana yang kurang memadai, minat dan
motivasi yang rendah, kinerja guru yang rendah akan menyebabkan pembelajaran kurang efektif.
Di era globalisasi dengan kemajuan teknologi, kebanyakan orang cenderung mendengar dan
berbicara ketimbang melihat diikuti membaca. Di lembaga - lembaga pendidikan pun tradisi lisan
mendominasi proses belajar mengajar sehingga minat baca dan ingin memiliki buku-buku ilmu
pengetahuan bukanlah prioritas utama atau sama sekali tidak difungsikan secara efisien. Kenyataan
menunjukkan adanya dua alternaternatif pilihan yakni ketika orang dihadapkan dengan buku-buku
ilmu pengetahuan dan tayangan film menarik, orang akan cenderung melelahkan indra penglihatan
(mata) untuk menonton film berjam jam daripada membaca buku-buku ilmu pengetahuan.
Minat membaca berpengaruh besar terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari
tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya karena tidak ada
daya tarik baginya (Slameto, 1995: 57). Dengan demikian minat belajar siswa sangat diperlukan
termasuk dalam minat membaca pemahaman.Membaca pemahaman menjadi tolok ukur
keberhasilan besajar siswa. Bagaimana siswa akan berhasil dalam pembelajarannya apabila
kemampuan membacanya rendah. Bila minat siswa baik dipastikan proses belajar mengajar akan
belajar dengan baik.Hal ini sependapat dengan yang dikemukakan oleh Slameto (1995: 57) bahwa
minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa
kegiatan.Kegiatan yang diminati seseorang diperhatikan terus menerus yang disertai dengan rasa
senang.Dengan demikian Minat adalah kecenderungan subjek yang mantap untuk merasa tertarik
pada bidang studi atau pokok bahasan tertentu dan merasa senang mempelajari materi itu.
Menurut Khuzaimatun (2009:32) mengemukakan,minat baca adalah keinginan yang kuat disertai
usaha-usaha seseorang untuk membaca.
Dari berbagai definisi dapat dikatakan bahwa minat membaca adalah suatu perhatian kuat dan
mendalam disertai dengan perasaan senang terhadap kegiatan membaca sehingga mengarahkan
anak untuk membaca dengan kemauan sendiri.Dengan demikian yang disebut minat membaca
pemahaman matematik adalah kecenderungan seseorang karena merasa senang untuk membaca
teks matematik sehingga memahami isi bacaan dan dapat mengkomunikasikannya. Minat
memegang peranan penting dalam proses belajar mengajar, karena bila bahan pelajaran yang
dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya.. Bila
murid telah berminat terhadap kegiatan belajar mengajar, maka hampir dapat dipastikan proses
belajar mengajar akan belajar dengan baik. Dengan demikian, maka tahap-tahap awal suatu proses
belajar mengajar hendaknya dimulai dengan usaha membangkitkan minat.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa minat belajar adalah
keterlibatan sepenuhnya seseorang dengan segenap kegiatan pikiran secara penuh perhatian untuk
memperoleh pengetahuan dan mencapai pemahaman tentang ilmu pengetahuan yang dituntutnya.
Indikator minat belajar menurutEvelin S (2011 : 52) ada beberapa indikator minat belajar yaitu
sebagai berikut : Perasaan Senang, ketertarikan Siswa, perhatian (attention),keterlibatan Siswa.
Sedangkan minat siswa dalam membaca pemahaman dengan indikator yang akan kami ukur
meliputi : perasaan senang, ketertarikan siswa, perhatian, keterlibatan siswa, rajin dalam belajar
dan disiplin dalam belajar.Menurut Sumarmo (2012:8) produk keterampilan dari hasil membaca
matematika siswa memahami dan diekspresikan melalui komunikasi lisan, kemudian disajikan
dalam bentuk komunikasi tulisan. Menurut Khuzaimatun (2009) indikator dari minat membaca
pemahaman sebagai berikut : Menyenangi kegiatan membaca,kesadaran akan manfaat membaca,
frekuensi membaca tinggi,Jumlah buku bacaan yang pernah dibaca, dapat menemukan ide pokok,
kalimat, paragraph,atau wacana, dapat memilih butir penting,dapat menarik kesimpulan, dapat

416

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

merangkum bacaan, dapat membedakan fakta dan opini. Minat dapat diukur dengan cara observasi,
interview dan kuesioner

5. Strategi SQ3R ( Survey ,Question ,Read,Recite ,Review)


Kebutuhan manusia yang sangat penting diantaranya adalah membaca, tanpa membaca kita akan
ketinggalan informasi. Dengan membaca kita dapat menambah pengetahuan, karena membaca
adalah jendela ilmu.Banyak sekali strategi membaca yang ditawarkan untuk dilakukan. Penulis
tertarik dengan strategi SQ3R dalam penelitian ini . Strategi ini pertama kali di kembangkan oleh
Prof.Francis P.Robinson,seorang guru besar psikologi dari Ohio State Unifersity sejak tahun 1941,
di lanjutkan oleh Robinson (1961) sedangkan di Indonesia oleh Nurhadi (1989) memberi istilah
syrtabaku (survey,Tanya,baca,katakana,ulang). SQ3R merupakan metode yang sangat baik untuk
membaca secara intensif dan rasional. SQ3R adalah suatu strategi yang mencakup lima tahap
membaca,yakni:(survey, question,read,recite dan review) atau dapat kita artikan sebagai tahaptahap mensurvei,meneliti,mengajukan pertanyaan,membaca,menceritakan kembali,dan meninjau
ulang. Adapun langkah-langkah SQ3R terdiri atas lima tahapan proses yaitu :
a. Survey atau meninjau , siswa dihadapkan pada suatu teks matematika atau tugas matematika
(soal matematika) dalam aspek kognitif tertentu. Kemudian siswa diminta membaca secara
tepat teks atau tugas yang bersangkutan dan mengidentifikasi hal-hal penting.
b. Question atau bertanya, tahap ini masuk pada tahap membaca pemahaman. Siswa diminta
untuk menyusun pertanyaan yang mengarahkan siswa pada penyelesaian masalah.
c. Read atau membaca, tahap ini merupakan tahap membaca ekstensip bacalah kembali teks atau
soal untuk menjawab pertanyaan yang telah disusun
d. Recite atau menuturkan, tahap ini menjawab pertanyaan yang telah disusun.
e. Review ataumengulang, membaca ekstensip untuk meyakinkan kebenaran jawaban

DAFTAR PUSTAKA
Armiati. (2009). Komunikasi matematis dan kecerdasan emosional. Makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional, pada tanggal 5 Desember 2009, di Yogyakarta.
Herdian
(2010)
Kemampuan
Pemahaman
Matematik.http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-pemahamanmatematis/.Diakses : Maret 2014
Karyono
,H.(2007)
Menumbuhkan
Minat
Membaca
Sejak
Dinihttp://library.um.ac.id/index.php/Artikel-Jurnal-Perpustakaan-Sekolah/menumbuhkanminat-baca-sejak-usia-dini.htmlDiakses : 4 April 2014
Khuzaimatun,S. (2009) Upaya Meningkatkan Membaca Pemahaman Dengan Metode SQ3R Pada
Siswa Kelas X.3 SMA Negeri Sumberlawang,Skripsi Surakarta:Universitas Sebelas Maret
Masykur,M (2009) Mathematical Intelegence.Yogyakarta : Ar Ruzzmedia
NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Tersedia :
http://www.k12academics.com/education-reform. Diakses : 5 Maret 2014
Nimmo,D.(1989).Komunikasi politik.Bandung :Remaja Karya.
Ruseffendi,E.T.(2006) Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA.Bandung: Tarsito
Siregar,E (2011).Teori Belajar dan Pembelajaran.Bogor : Ghalia Indonesia.
Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sri,Whardani, (2008) Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTS untuk
optimalisasi Tujuan mata Pelajaran Matematika.Yogyakarta :Depdiknas.
Sumarmo,U.(2012) Bahan Belajar Mata kuliah Proses Berpikir Matematik Program S2
Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi 2012.Cimahi: STKIP Siliwangi.
Sumarmo,U. (2013) Berpikir dan Disposisi Matematik Serta pembelajarannya,Bandung
:Universitas Pendidikan Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

417

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK


MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIS SISWA SMK
Aris Rohmana
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika, STKIP siliwangi
Aris_rohmana7@yahoo.co.id

ABSTRAK
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan di semua tingkat jenjang pendidikan
sehingga Matematika pelajaran yang sangat dibutuhkan dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia
(SDM) karena Negara akan maju bila Sumber Daya Manusianya telah menguasai saint khususnya
Matematika. Hampir semua mata pelajaran menggunakan Matematika maka dari itu matematika
disebut sebagai ratunya ilmu, matematika juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari hari
karena dalam kehidupan sehari hari tidak terlepas dari perhitungan, serta masih banyak lagi
manfaat matematika dibidang lainnya.Dalam pembelajaran matematika penulis mencoba merubah
metode dan pendekatan dalam pembelajaran Matematika melalui pembelajaran konstektual melaui
pemecahan masalah dengan harapan siswa dapat menguasai materi yang diajarkan oleh gurunya
sehingga menyenangi pelajaran Matematika yang selama ini dianggap pelajaran yang susah dan
membosankan.Pada awal penelitian siswa diberikan tesk awal dengan hasil yang jauh dari harapan
sehingga penulis mencoba untuk merubah metode dan pendekatan dalam pembelajaran matematika
memalui pembelajaran konstektual dengan belajar mandiri dalam pemecahan masalah, selama
penelitian dan penerapan metode dan pendekatan siswa menerima dengan baik bahkan antusias
setelah diberikan tujuan dan manfaatnya pembelajaran matematika, seiring waktu berjalan setelah
kurang lebih duabulan penulis memberikan lagi tes akhir soal soal pemecahan masalah, maka
dengan hasil yang memuaskan sesuai dengan harapan bahkan melebihi target peneliti yang
dibayangkan hampir 95% siswa mendapatkan nilai yang baik dan 5% pas dengan nilai KKM.
Berarti selama ini menurut penulis bahwa dalam pembelajaran Matematika jangan kaku bahkan
hanya sebatas menulis dan latihan soal saja tanpa diberikan tujuan dan manfaat dari belajar
matematika yang akan disampaikan sehingga siswa menganggapbahwa Matematika dan guru
matematinya membosankan, tapi setelah semuanya dirubah oleh peneliti maka pola pikir siswa
terhadap pelajaran Matematika berubah drastis yang tadinya membosankan menjadi pelajaran yang
disenangi dan diharapkan.
Kata Kunci : Kemampuan Pemecahan Masalah, Pembelajaran Kontekstual

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan di semua tingkat jenjang pendidikan
sehingga Matematika pelajaran yang sangat dibutuhkan dalam meningkatkan Sumber Daya
Manusia (SDM) karena Negara akan maju bila Sumber Daya Manusianya telah menguasai saint
khususnya Matematika. Hampir semua mata pelajaran menggunakan Matematika maka dari itu
matematika disebut sebagai ratunya ilmu, matematika juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan
sehari hari karena dalam kehidupan sehari hari tidak terlepas dari perhitungan, serta masih
banyak lagi manfaat matematika dibidang lainnya. Tapi disisilain matematika selama ini dianggap

418

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

pelajaran yang sulit oleh sebagian siswa SMK, bahkan ada siswa yang merasa takut, bosan atau
tidak tertarik pada mata pelajaran matematika.
Dalam pembelajaran matematika, kemampuan pemecahan masalah sangatlah penting.Hal ini sesuai
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Soedjadi (1999/2000 dalam Nanang (2008:5) bahwa
dalam matematika kemampuan pemecahan masalah bagi seseorang akan membantu keberhasilan
orang tersebut dalam kehidupan sehari hari.
Kenyataan dilapangan bahwa apabila keinginan siswa untuk belajar matematika cukup tinggi, maka
hasil dalam belajarnya akan mendapatkan nilai yang baik dan belajarnya meningkat berarti siswa
tersebut paham apa yang disampaikan oleh gurunya. Sebaliknya bila siswa kurang berminat atau
acuh tak acuh dalam mengikuti pelajan matematika maka siswa terbut susah sekali untuk
memahami dam memecahkan persoalan matematika yang pada akhirnya siswa tersebut
mendapatkan nilai yang kurang baik atau tidak sesuai harapan.
Prestasi belajar dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat diketahui dengan menggunakan tes yang
diadakan oleh guru, karena menurut Hudoyo (dalam Rubianti Rina, 2005 : 2) Maksud utama
penilaian adalah mengukur keberhasilan belajar, disamping untuk mengetahui sampai seberapa
jauh pemahaman dan penguasaan terhadap bahan yang telah dipelajari peserta didik, biasanya alat
itu berupa tes.
Kelebihan dan keutamaan dalam pembelajaran matematika sangatlah banyak keuntungan salah
satunya matematika dapat digunakan dalam kehidupan sehari hari dan tidak terlepas dalam
berhitung dalam perdagangan, jual beli, matematika adalah ratunya ilmu, matematika adalah
pelajaran yang menggunakan symbol dan masih banyak lagi, maka dari itu dalam penelitian ini
saya sebagai penulis akan menggunakan langkah langkah pendekatan Ekspository Learning
dalam Pupuh Fathurrohman (2009;31) adalah
a. Penentuan tema pokok bahasan
b. Menyusun pokok bahasan
c. Menjelaskan materi sercara baik
d. Melakukan revisi
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang masalah dalam penelitian ini diidentifikasi dan dirumuskan sebagai
berikut;
a. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan konstektual lebih baik dengan siswa yang belajarnya menggunakan
konvensional (cearaman/belajar biasa)?
b. Apakah kemandirian belajar matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan konstektual
lebih baik dengan siswa yang belajarnya menggunakan konvensional (cearaman/belajar biasa)?
c. Apakah ada korelasi antara antara pemecahan masalah dengan kemandirian belajar matematis
siswa?
d. Bagaimana sikap siswa terhadap penerapan belajar matematik menggunakan pembelajaran
konstektual?
1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan maka tujuan penelitian ini ;


a. Menelaah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang
pembelajarannya mengghunakan konstektual lebih baik dengan siswa yang belajarnya
menggunakan konvensional (cearaman/belajar biasa) ?
b. Menelaah
kemandirian belajar matematik siswa dalam pemecahan masalah yang
pembelajarannya menggunakan konstektual lebih baik dengan siswa yang belajarnya
menggunakan konvensional (cearaman/belajar biasa) ?
c. Menelaah ada korelasi antara antara pemecahan masalah dengan kemandirian belajar
matematis siswa?

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

419

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

d. Menelaah sikap siswa terhadap penerapan belajar matematik menggunakan pembelajaran


konstektual?
1.4.

Manfaat Penelitian

Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan :


a. Memberikan masukan kepada guru matematika dalam memilih metode pendekatan dalam
pembelajaran disekolah SMK
b. Diharapkan kemampuan pemecahan masalah dalam belajar matematis siwa dapat meningkat
c. Menambah ilmu dan pengetahuan tentang metode pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan konstektual apa kelebihannya dan kapan waktu yang tepat dalam metode
pembelajaran digunakan pada siswa.
d. Diharapkan kemampuan pemecahan masalah dalam belajar matematik siswa dapat meningkat

2.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan percobaan dengan metode menerapkan pendekatan pembelajaran


konstektual dengan pembelajaran ekspositori. Berdasarkan hasil Pekan Ulangan I, akan diteliti
dampak yang muncul pada subjek sebagai dari perlakuan pembelajaran yang diterapkan yaitu
kemampuan pemahaman masalah matematis dan matematis siswa dengan cara belajar mandiri.
Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data dan informasi
tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti. Istilah metode berasal
dari kata methodos (yunani) berarti cara atau jalan. (Deni darmawan :119). Penelitian ini
menggunakan rancangan eksperimen yaitu metode penelitian dilapangan yang bermaksud apa
yang akan terjadi.
Berdasarkan jenis data yang ingin dianalisis, maka penelitian ini digolongkan dengan penelitian
kuantitatif dua variabel bebas (X), dan dua variabel terikat (Y ).
X = pendekatan kontekstual
Y = kemampuan pemecahan masalah

3. Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah skor gain kemampuan pemecahan masalah belajar matematis
siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pemilihan siswa dari SMK sebagai subjek penelitian
didasarkan pada pertimbangan keragaman kemampuan pemecahan masalah matematis dalam
kemandirian belajar matematis. Pada ke dua aspek tersebut penulis perlu mendapat perhatian
melalui penelitian sehingga kemampuan aspek tersebut dapat ditingkatkan secara optimal.
a. Populasi
Menurut Sugiyono (2004:55). Populasi penelitian adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan pada akhirnya menarik kesimpulan
Penelitian ini ditentukan populasinya yaitu seluruh siswa kelas X SMK Nusantara Raya Kecamatan
Kiaracondong Kota Bandung yang berjumlah 120 siswa yang terdiri dari 4 kelas yaitu

420

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

NO
1
2
3
4
5

Tabel 1
DAFTAR SISWA KELAS XII SMK NUSANTARA RAYA
TAHUN PELAJARAN 2014 2015
Kelas
Jurusan
L
P
JUMLAH
Administrasi
X.I
40
40
Perkantoran
Administrasi
X.II
40
40
Perkantoran
Tehnik Jaringan
X
40
40
Komputer
Rekayasa Perangkat
X
13
27
40
Lunak
X
Teknik Mesin Motor
1
39
40

b. Sampel
Dalam penentuan sampelnya secara simple Random Sampling.Dikatakan Simple (sederhana)
karena pengambilan sampel anggota populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan starata
yang ada dalam populasi itu. (dalam sugiyono, 2004:57) dari 5 kelas, diambil 2 kelas yaitu kelas
X Administrasi Perkantoran (AP.1) dan kelas X Administrasi Perkantoran (AP2) melalui
pendekatan kontekstual.
Pada penelitian ini dipilih kelas X. AP.1 dan kelas X. AP.2 berdasarkan pertimbangan bahwa
karakteristik siswa kelas X.AP.1 dan X.AP.2 relatif sama dengan kelas X lainnya di SMK
Nusantara Raya Kota Bandung. Berdasarkan rerata Pekan Ulangan semester ganjil pada mata
pelajaran Matematika kelas X adalah 65

4. KesimpulanVariabel dan Definisi Operasional


Untuk mempermudah dalam pembahasan, maka selanjutnya semua variabel di atas dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada
proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkan dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan mereka. (Sanjaya, 2005). Dalam buku inovasi Pendidikan
(udin Syaefudin Saud 2009:162).
b. Masyarakat Belajar (learning Community)
Leo Semenovich Vygotsky dalam sanjaya Wina(2009:267) menyatakan bahwa pengetahuan
dan pemahaman anak ditopang banyak oleh komunikasi dengan orang lain. Dalam
permasalahan tidak dapat selalu diselesaikan sendiri, tetapi membutuhkan orang lain untuk
menyelesaikan permasalahan, dalam penyelesaikan permasalahan diperlukan kerja sama yang
sepaham untuk memecahkan suatu persoalan. Konsep masyarakat belajar dalam CTL
menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain.
c. Dalam Sanjaya, Wina (2009:179) Strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi
pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang
kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara
optimal. Dalam strategi ini materi langsung disampaikan oleh guru pada siswa dan siswa
diharapkan atau dituntut untuk menemukan dengan sendirinya dalam memecahkan materi.
d. Dalam Nanang (2008:2007), Menurut Hayes dan Mayer (matlin,1994) masalah (problem)
merupakan kesenjangan antara keadaan sekarang dengan tujuan yang ingin dicapai, sementara
kita tidak mengetahui apa yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan tersebut.

5. Teknik Pengumpulan data


Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, menggunakan jenis intrumen yaitu
tes.Instrumen dalam bentuk tes terdiri dari seperangkat soal tes untuk mengukur pengetahuan awal
matematika siswa, kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan pemahaman matematis serta
kemandirian belajar matematis siswa.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

421

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

a. Tes Pengetahuan Awal Matematika (PAM)


Pengetahuan awal matematika adalah berupa pengetahuan, keterampilan atau kemampuan yang
dimiliki siswa dan dibawa ke dalam proses belajar sebelum pembelajaran langsung. Pengetahuan
awal matematika diukur dengan mengunakan seperangkat soal soal tes yang diadopsi dari soal
soal latihan yang ada pada buku pelajaran matematika SMK kelas X Semester ganjil dengan
kurikulum 2013.
Pemilihan soal tertuju pada materi yang sudah dipelajari siswa. Soal soal yang dipilih
dimodifikasi hanya sebatas kalimat dan penambahan angka atau pengurangan angka dengan
kalimat yag disederhanakan yang mudah dimengerti oleh siswa. Beberapa pertimbangan
mengambil soal dari buku paket, diantaranya yaitu: 1) soal soal sudah teruji dan disusun oleh
para ahli dalam bidangnya sehingga tidak perlu diragukan lagi perihal validitasnya, 2) materi sudah
pernah diterima oleh siswa kelas X semester ganjil, 3) tingkat kesekaran bervariasi.
Soal soal tes PAM berbentuk uraian yang mencakup materi sesuai silabus matematika SMK kelas
8 semester ganjil yaituAljabar (Menggunakan konsep Sistem Persamaan dua Variabel dalam
pemecahan masalah) alasannya agar terlihat dengan jelas kemampuan awal matematika siswa
berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dari jawaban diberikannya.
Skor PAM siswa kedalam bentuk nilai dalam rentang 0 100 dengan rumus
Nilai Tes =Jumlah Skor yang diperoleh x 100
Skor Ideal
b. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Penyusunan soal tes pemecahan masalah matematis bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa
dalam lima aspek dari pemecaham masalah matematis yaitu aspek memahami masalah, menyusun
rencana, menyelesaikan perhitungan dan memeriksa kembali hasil perhitungan serta kemampuan
menyelesaikan masalah dengan sendirinya (mandiri). Materi yang diujikan yaitu Aljabar, Sistem
Persamaan dua variabel menyelesaikan masalah .
Soal uji ini berbentuk soal uraian sebanyak 5 soal, tes dilaksanakan sebelum pelaksanaan
pembelajaran (prites) dan sesudah pelaksanaan pembelajaran (postes).
Setiap soal diberi skor maksimal 20 dan skor minimal 5 sehingga setiap siswa akan memperoleh
skor ideal 20 x 5 = 100, dan skor minimal siswa akan memperoleh 5 x 5 = 25.

6. Intrumen Penelitian
6.1.Validitas Tes
Menurut Suharsimi Arikunto (2009: 70). Cara mengetahui Validitas alat ukur adalah
dengan menggunakan rumus korelasi product moment dengan simpangan
Rxy =
xy
)
Dimana :

rxy = koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y, dua variabel yang
dikorelasikan (x = x x dan y = y y )

xy = jumlah perkalian x dan y

x2 = kuadrat dari x

y2 = kuadrat dari y
Menurut Suharsimi Arikunto (2009:72). Rumus korelasi prodect moment dengan angka
kasar:
rxy
422

N XY ( X) (Y)

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

dimana:

N = banyaknya peserta tes

X = nilai hasil uji coba

Y = nilai rata rata harian matematika siswa (nilai pembanding)

rxy= koefisien korelasi antara variabel X dan Variabel Y, dua variabel yang
dikorelasikan.
Adapun besar korelasi dalam Suharsimi Arikunto (2009: 75) adalah :
Antara 0,08 sampai dengan 1,00 sangat tinggi
Antara 0,600 sampai dengan 0,800 tinggi
Antara 0,400 sampai dengan 1,600 cukup
Antara 0,200 sampai dengan 1,400 rendah
Antara 0,00 sampai dengan 1,200 sangat rendah
6.2.Reabilitas Tes
Cara menghitung besarnya reabilitas tes menggunakan rumus dari Brown
Rumusnya adalah.
rnn =

nr
1 + (n 1 )r

dimana:
rnn = besarnya koefisien reabilitas sesudah tes tersebut ditambah butir soal baru
n = berapa kali butir butir soal itu ditambah
r = besarnya koefisien reabilitas sebelum butir butir soalnya ditambah

6.3.Daya Pembeda
Daya pembeda soal menurut Suharsini Arikunto (2009:210) adalah kemampuan soal untuk
membedakan antara siswa yang pandai (kemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh
(berkemampuan rendah). Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut indeks
diskriminasi, disingkat D. Indeks diskriminasi (daya pembeda) ini berkisaran antara 0,00 sampai
dengan 1,00. Tanda negatif pada indeks diskriminasi digunakan jika sesuatu soal terbalik
menunjukkan kualitas testee. Yaitu anak pandai disebut bodo dan anak bodoh disebut pandai.
Bagi suatu soal yang dijawab benar oleh siswa pandai maupun siswa bodoh, maka soal itu tidak
baik karena tidak mempunyai daya pembeda. Demikian juga jika semua siswa baik pandai maupun
bodoh tidak dapat menjawab dengan benar. Soal tersebut tidak baik juga karena tidak mempunyai
daya pembeda. Soal yang baik adalah soal yang dapat dijawab benar oleh siswa yang pandai saja.
Seluruh pengikut tes dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pandai atau kelompok
atas (upper group) dan kelompok bodoh atau kelompok bawah (lower group). Untuk kelompok
kecil seluruh kelompok testee di bagi menjadi dua sama besar 50% kelompok atas 50% dan 50%
kelompok bawah.
Rumus mencari D (Suhartini Arikunto 2009: 213)
D = BA BB = P A P B
JA JB
dimana:
J = jumlah peserta tes
JA = banyak peserta kelompok atas
JB = banyak pesert kelompok bawah
BA = banyak peserta kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

423

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

BB = banyak peserta kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan


Benar
PA = BA = Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar
JA (P sebagai indeks kesukaran)
PB = BA = Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar
JA (P sebagai indeks kesukaran)
Dalam Suharsimi Arikunto (2009: 2018). Klasifikasi daya pembeda:
D : 0,00 0,20 jelek
D : 0,20 0,40 cukup
D : 0,40 0,70 baik
D : 0,70 1,00 baik sekali
D : negatif, semuanya tidak baik ( butir soal yang mempunyai nilai D negatif sebaiknya dibuang
saja)

7. Prosedur Penelitian
7.1. Tahap Penerapan
Sebelum penelitian dilaksanakan terlebih dahulu penulis melakukan persiapan persiapan
meliputi: pengajuan judul, seminar Nasional, mengurus surat surat seperti surat perjanjian,
mempersiapkan instrumen penelitian dan menghubungi kepala sekolah SMK Nusantara Raya Kota
Bandung untuk memberitahukan program atau rencana penulis dalam penelitian di sekolah
tersebut, menerima saran dari kepala sekolah dan mengubungi bagian kurikulum untuk mengetahui
jadwal yang akan digunakan pada hari pelaksanaan selama penelitian
7.2. Tahap Pelaksanaan
Setelah persiapan yang diperlukan selesai, langkah selanjutnya penulis melakukan uji coba
intrumen kepada siswa SMK Nusantara Raya Kota Bandung Selanjutnya penulis melaksanakan
penelitian.Dalam penelitian ini penulis bertindak langsung sebagai pengajar.guru.hal ini dilakukan
agar kegiatan belajar mengajar lebih dapat mengetahui kemampuan siswa secara menyeluruh.
Sebagai langkah awal penelitian dilakukan pemilihan sampel. Sampel yang diperlukan sebanyak
dua kelompok eksperimen, yaitu kelompok eksperimen I dan kelompok eksperimen II. Kedua
kelompok sampel dipilih secara acak menurut kelas yang tersedia yaitu 5 kelas, dari pemilihan
tersebut diperoleh kelas X AP.1 dan kelas X AP.2 sebagai kelas yang akan di teliti.
Ukuran sampel dari kelompok eksperimen adalah 80 orang siswa yang terdiri dari 40 orang siswa
kelompok eksperimen I dan 40 orang siswa kelompok eksperimen II.
Sebelum pelajaran dimulai kedua kelompok eksperimen tersebut diberi tes awal. Tes awal ini di
maksudkan untuk mengetahui tingkat kesiapan siswa dalam memahami materi pelajaran yang akan
di ajarkan. Langkah selanjutnya adalah memulai kegiatan belajar mengajar. Dalam kegiatan belajar
mengajar ini kedua kelompok eksperimen mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal;
a. Jumlah jam pelajaran sama
b. Materi yang disampaikan sama
c. Pengajara pada kedua kelompok eksperimen adalah penulis sendiri
7.3. Tahap Evaluasi
Pada akhir pengajaran kedua eksperimen diberi hasil tes yang sama dengan tes awal. Hal ini di
maksudkan untuk mengetahui ada atau tidaknya perubahan prestasi belajar setelah dilaksanakan
dan terdapat perbedaan kelompok eksperimen mana yang lebih berhasil dalam metode pengajaran
yang penulis terapkan.

424

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S (2009). Dasar dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Asep (2011) Upaya meningkatkan Kemampuan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Matematika
Yang Berbentuk Cerita dengan Menggunakan Langkah Langkah Poyla Tesis Jurusan
Teknologi Pembelajaran STKIP Garut : Tidak diterbitkan
Husaini Usman (2009) Pengantar Statistik Jakarta: PT Bumi Aksara
Nanang.(2008) Pengaruh Kombinasi Pembelajaran Konstektual dan Metakognitif Terhadap
Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP.
Ruseffendi (1988) Pengantar Kepada Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran
Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Wina, S (2009) Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup
Wina, S (2009) Perencanaan dan desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana, Prenada Media
Group
Wahyudin.(2007) Pembelajaran Matematika dan Pemecahan Masalah. Bandung: Mandiri

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

425

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN PENDEKATAN OPEN-ENDED DENGAN


SETTING MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE
NHT TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN
KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP
Muhammad Abul Anwar Hakim
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi
Abul_spk@yahoo.com

ABSTRAK
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah belum memuaskannya kemampuan
siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan matematik yang dimilikinya dalam kehidupan
nyata, dan kemampuan siswa dalam melakukan koneksi matematik masih tergolong rendah.
Hal itu disebabkan karena beberapa faktor diantaranya dalam pembelajaran guru masih
menggunakan cara pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran biasa atau metode
konvensional dan siswa yang masih menyenangi cara pembelajaran biasa artinya siswa hanya
menjadi penerima informasi tanpa inisiatif untuk aktif. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan menggunakan penerapan pendekatan open-ended dengan setting
model kooperatif tipe NHT terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa SMP.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan koneksi matematis siswa SMP
yang pembelajarannya menggunakan pendekatan open-ended dengan setting model
pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih baik daripada siswa yang menggunakan model
pembelajaran biasa. Penelitian ini dilakukan di SMP Kabupaten Bandung Barat kelas VII,
dengan metode penelitian yang digunakan yaitu metode kuasi eksperimen. Sempel dari
penelian ini diambil 2 kelas yaitu kelas VII A sebagai kelas eksperimen dan kelas VII B
sebagai kelas kontrol. Instrument penelitian ini berupa seperangkat soal tes koneksi matematis
yang terdiri dari 5 soal tes uraian, dan kemudian di ujikan dengan menggunakan uji statistik
diferensial. Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data maka penulis menyimpulkan
bahwa kemampuan koneksi matematis siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan open-ended dengan setting model pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih baik
daripada kemampuan koneksi matematis siswa SMP yang penbelajarannya menggunakan
model pembelajaran biasa.
Kata Kunci: kemampuan koneksi matematis.model kooperatif tipe NHT,pendekatan openended

1.

Pendahuluan

Pada dasarnya pendidikan sangatlah penting untuk menunjang keberhasilan dan kesuksesan
seseorang dimasa yang akan datang. Pendidikan merupakan suatu interaksi antara pendidik dengan
peserta didik untuk mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan matematik di sekolah
sangat penting sekali karena hasil dari proses pembelajaran matematik siswa di suatu lembaga
sekolah diharapkan dapat membangun karakter siswa yang baik, jujur, dan dapat membentuk pola
pikir yang logis, rasional, dan terarah.
Menurut Ruseffendi (2006:71) dalam pelaksanaan pengajaran matematika disuatu lembaga
pendidikan itu sendiri bertujuan untuk meluruskan dan mempermudah siswa belajar berhitung dan
cabang-cabang matematika lainnya. Hernawan (2007:27) menyatakan fungsi dari pembelajaran
matematika yaitu untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan
bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman penalaran yang dapat membantu memperjelas dan
menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
426

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Namun pada kenyataannya dilapangan menurut Rusgianto (Nurhadyani:2011) menyatakan


bahwa kemampuan siswa mengaplikasikan pengetahuan matematika yang dimilikinya dalam
kehidupan nyata masih belum memuaskan. Begitupun menurut Setiawan (Sopandi,2010:2)
kenyataan dilapangan menunjukan bahwa kemampuan siswa dalam melakukan koneksi matematik
masih tergolong rendah. Hal itu disebabkan karena dalam pembelajaran matematika guru selalu
membrikan pembelajaran yang mekanikal, sehingga soal dan pembelajaran yang diberikan sulit
untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematika siswa.
Maka untuk menggali dan meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa, dapat dilakukan
dengan menggunakan beberapa pendekatan pembelajaran.Salah satu pendekatan pembelajaran
yang dapat diterapkan adalah pembelajaran melalui pendekatan Open-Ended sebagai solusi dari
pembelajaran matematika.
Selain dengan menggunakan pendekatan open-ended untuk menggali dan meningkatkan
kemampuan koneksi matematis siswa dapat juga dilakukan dengan menggunakan beberapa model
pembelajaran yang salah satunya model kooperatif tipe NHT.
Berdasarkan yang telah di uraikan di atas, maka penulis bermaksud mengadakan penelitian dengan
judul Penerapan Open-Ended dengan Setting Model kooperatifTipe NHT Terhadap Peningkatkan
Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP.
Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan dan dibatasi sebagai berikut:
Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa SMP yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan open-ended dengan setting kooperatif tipe NHT lebih baik daripada yang
menggunakan pendekatan biasa?
Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, penelitian ini bertujuan untuk:
Menelaah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa SMP yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan open-ended dengan setting model kooperatif tipe NHT lebih baik
dibandingkan dengan yang menggunakan pendekatan biasa.

2.

Kajian Teori

2.1.

Pendekatan Open-Ended

Menurut Suherman et. al. (Dewi, 2012:12) problem yang diformulasikan memiliki multi jawaban
yang benar disebut problem tak lengkap atau disebut juga Open-Ended Problem atau soal
terbukasiswa yang dihadapkan dengan Open-Ended Problem, tujuan utamanya bukan untuk
mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara bagaimana sampai pada suatu
pendekatan atau metode dalam jawaban, namun bisa beberapa atau banyak cara.
Menurut Suherman (Dewi, 2012:13) mengemukakan bahwa dalam kegiatan matematik dan
kegiatan siswa disebut terbuka jika memenuhi tiga aspek berikut: (a) kegiatan siswa harus terbuka.
(b) kegiatan matematik merupakan ragam berfikir, (c) kegiatan siswa dan kegiatan matematik
merupakan suatu kesatuan.
Keunggulan dan kekurangan pendekatan Open-Ended menurut Suherman (Dewi, 2012:16) adalah
sebagai berikut:
a. Keunggulan Pendekatan Open-Ended
1) Siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan sering mengekspresikan idenya.
2) Siswa memiliki kesempatan lebih banyak dalam memanfaatkan pengetahuan dan
keterampilan matematika secara komperatif.
3) Siswa dengan kemampuan matematik rendah dapat merespon permasalahan dengan cara
mereka sendiri.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

427

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

4) Siswa secara instrinsik termotivasi untuk menemukan sesuatu dalam menjawab


permasalahan.
b. Kekurangan Pendekatan Open-Ended
1) Membuat dan menyiapkan masalah matematika bagi siswa tidaklah mudah.
2) Mengemukakan masalah yang berlangsung dan dapat dipahami siswa sangatlah sulit
sehingga siswa yang mengalami kesulitan bagaimana merespon permasalahan yang
diberikan.
3) Siswa dengan kemampuan tinggi bisa merasa ragu atau mencemaskan jawaban mereka.
4) Mungkin ada sebagian siswa yang merasa bahwa kegiatan belajar mereka tidak
menyenangkan karena kesulitan yang mereka hadapi.
2.2.

Model Pembelajaran Kooperatif

Menurut Sanjaya (2011:242-243) pembelajaran kooperatif (cooperative learnig) merupakan


model pembelajaran dengan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam
orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang
berbeda (heterogen). Setiap anggota kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika
kelompok mampu menunjukan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan demikian, setiap anggota
kelompok akan mempunyai ketergantungan positif. Dengan begitu setiap individu akan saling
membantu, mereka akan mempunyai motivasi untuk keberhasilan kelompok, sehingga setiap
individu akan memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi demi keberhasilan
kelompok.
Prosedur pembelajaran kooperatif menurut Sanjaya (2011: 248-249): (a) penjelasan materi, (b)
belajar dalam kelompok, (c) penilaian, (d) pengakuan tim.
2.3.
Numbered Head Together (NHT)
Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang
menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan
memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik, dengan melibatkan para siswa dalam
menelaah bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap
isi pelajaran tersebut.
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe NHT antara lain:
a.
Penomoran (Numbering)
Guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan 4
hingga 5 siswa dan memberi nomor sehingga tiap siswa dalam tim memiliki nomor berbeda.
b.
Pengajuan Pertanyaan (Quenstioning)
Guru mengajukan beberapa pertanyaan kepada para siswa.
c.
Berfikir Bersama (Head Together):
Para siswa berfikir bersama teman satu timnya untuk menggambarkan dan meyakinkan
bahwa tiap orang mengetahui jawaban tersebut.
d.
Pemberian jawaban (Answering)
Guru menyebutkan satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor sama
mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas melaporkan dan kelompok
lain menanggapinya dan dilanjutkan dengan menyimpulkan pelajaran.
Kelebihan Numbered Head Together (NHT)
Menggunakan model pembelajaran kooperatif model Numbered Head Together memiliki beberapa
kelebihan, seperti yang diungkapkan oleh Komalasari (2010:63) bahwa Model pembelajaran
Numbered Head Together (NHT) memiliki beberapa kelebihan yaitu: 1) Melatih siswa untuk dapat
bekerjasama dan menghargai pendapat orang lain, 2) melatih siswa untuk bisa menjadi tutor
Sebaya, 3) memupuk rasa kebersamaan, 4) membuat siswa menjadi terbiasa dengan perbedaan.

428

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Kelemahan Numbered Head Together (NHT)


Dalam menggunakan model pembelajaran Numbered Head Together (NHT) terdapat beberapa
kelemahan yang harus diwaspadai, hal ini dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan dalam pembelajaran, adapun kelemahan-kelemahan tersebut menurut Komalasari
(2010: 65) adalah : 1) Siswa yang sudah terbiasa dengan cara konvensional akan sedikit kewalahan,
2) Guru harus bisa memfasilitasi siswa, 3) tidak semua mendapat giliran.
2.4. Kemampuan Koneksi Matematis
Kemampuan koneksi matematis adalah suatu kemampuan untuk menghubungkan atau
mengkaitkan matematika dengan kehidupan sehari-hari, mengkaitkan matematika dengan disiplin
ilmu lain. Ruspiani (Nurdin:2012) menyatakan bahwa kemampuan koneksi matematis adalah
kemampuan siswa mengaitkan konsep-konsep matematika baik antar konsep matematika maupun
mengaitkan konsep matematika dengan bidang ilmu lainnya (di luar matematika). Pengertian itu
juga sejalan dengan definisi kemampuan koneksi matematia menurut NCTM (Nurdin: 2012)
disebutkan bahwa koneksi matematis dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu (a) koneksi antartopik
matematika, (b) koneksi dengan disiplin ilmu lain, dan (c) koneksi dengan masalah-masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
Sumarmo (Nurhadyani:2011) memaparkan beberapa indikator koneksi matematis yang dapat
digunakan, yaitu: (1) mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur; (2) memahami
hubungan antar topik; (3) menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan seharihari; (4) memahami representasi ekuivalen suatu konsep; (5) mencari hubungan satu prosedur
dengan prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen; dan (6) menerapkan hubungan antar topik
matematika dan antara topik matematika dengan topik di luar matematika.
Sedangkan indikator pencapaian kemampuan koneksi matematis dalam penelitian ini yaitu: (1
)Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari, (2) Memahami
hubungan antar topik matematika, (3) Memahami representasi ekuivalen suatu konsep.

3.

Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen karena subjek tidak dikelompokkan
secara acak tetapi peneliti menerima keadaan subjek seadanya. Disain kelompok control nonekivalen tidak berbeda dengan disain kelompok pretes - postes, kecuali mengenai pengelompokkan
subjek. Pada disain kelompok kontrol non-ekivalen subjek tidak dikelompokkan secara acak. Jadi
pada disain eksperimen ini ada pretes, perlakuan yang berbeda dimana yang satu tidak mendapat
perlakuan atau memperoleh pembelajaran dengan menggunakan pendekatan biasa sedangkan yang
satu lagi memperoleh perlakuan yaitu mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan Open-Ended dengan setting model Cooperative Learning tipe NHT, dan ada postes.
Sehingga disain penelitiannya adalah:
O X O
O

Ruseffendi (2005: 53)


Keterangan : O
: Pretest = Postest
X
: Pembelajaran dengan pendekatan open-ended dengan setting model
cooperative learning tipe NHT.
------- : Pengambilan sampel tidak secara acak.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP di Kabupatan Bandung Barat, sedangkan
sampelnya di ambil 2 kelas yaitu kelas yang pertama sebagai kelas eksperimen dan kelas yang

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

429

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kedua sebagai kelas kontrol. Pengambilan kedua kelas tersebut ambil dengan pengambilan tidak
secara acak.
instrumen dalam penelitian ini adalah seperangkat soal tes koneksi matematis yang terdiri dari 5
soal. Tes kemampuan koneksi matematis yang digunakan berbentuk soa;-soal uraian yang
diberikan dalam bentuk pretes dan postes, dengan pokok bahasan segitiga dan segi empat. Data
hasil dari penelitian ini diolah dengan menggunakan software SPSS 18 dengan uji signifikan
perbedaan dua rata-rata.

4.

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Berdasarkan dari hasil penelitian, maka diperoleh data-data yang kemudian diolah dan dianalisis
dengan menggunakan teknik pengolahan data dan analisis statistik . karena rumusan masalah yang
dibuat adalah data pretes, postes dan data gain yang ternormalisasi. Adapun hasilnya disajikan
dalam tabel berikut ini:
Tabel 1
Deskripsi Data Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Data

Pretes

S
N

Postes

S
N

Gain

S
N

Kelas
Eksperimen
6, 59
2,03
37
14,16
1,59
37
0,59
0,11
37

Kontrol
6, 68
2,43
37
12,89
2,74
37
0,05
0,17
37

Pada tabel diatas menunjukan bahwa skor rata-rata tes awal kelas eksperimen dan kelas kontrol
tidak berbeda secara signifikan, sedangkan pada tes akhir skor rata-rata kelas eksperimen lebih baik
daripada skor rata-rata kelas kontrol. Begitupun dengan hasil analisis pada indeks gain yang
ternormalisasi, menunjukan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa kelas
eksperimen lebih baik daripada rata-rata gain kelas kontrol. Dengan kriteria peningkatan indeks Ngain kedua kelas tersebut berada pada kategori sedang. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa SMP yang mendapatkan pembelajaran
dengan pendekatan open-ended dengan setting model kooperatif tipe NHT lebih baik daripada
siswa SMP yang mendapatkan pembelajaran dengan metode pembelajaran biasa.
Meskipun demikian hal tersebut belum cukup untuk membuktikan peningkkatan kemampuan
koneksi matematis siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol, sehingga untuk menguatkan
anggapan tersebut maka dilakukan uji signifikan perbedaan dua rata-rata dengan menggunakan
bantuan software SPSS 18.

5.

Kesimpulan

Dari hasil analisis dan hasil penelitian, maka diperoeh kesimpulan bahwa:
Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan open-ended dengan seting model kooperatif tipe NHT lebih baik dibandingkan dengan
yang menggunakan pembelajaran biasa.

430

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

DAFTAR PUSTAKA
Dewi, W. (2012). Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matemais Siswa SMK Melalui Pendekatan
Open-Ended. Skripsi pada STKIP Silliwangi Bandung: Tidak diterbitkan.
Hernawan, A, dkk. (2007). Pengembangan Kurukulum dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Lie, A. (2002). Cooperative learning. Jakarta: Grasindo.
Nurdin, A. (2012). Pengertian Kemampuan Koneksi Matematis. [Online]. Tersedia:
http://www.ahmatnurdin.com/pengertian-kemampuan-koneksi-matematis.html [9 November
2014].
Nurhadyani, D. (2011).Penerapan Brain Based Learning Dalam Pembelajaran Matematika Untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar Dan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa. [Online].
Tersedia: http://dinidinidini.wordpress.com/2011/01/04/140/[10november 2014].
Ruseffendi, E.T (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam
Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: Tidak diterbitkan.
Sopandi, A. (2010). Meningkatkan Kemampuan koneksi matematis siiswa SMP Melalui Pemodelan
Berbasis
Pembelajaran
Matematika
Realistik,
[online].
Tersedia:
http://www.docstoc.com/docs/46125307/Meningkatkan-Kemampuan-koneksi-MatematikSiswa-SMP-Melalui-Pemodelan-Berbasis-Pembelajaran-Matematika-Realistik [9 November
2014]
Sumarmo, U. (2012). Proses Berpikir Bahan Belajar Mata KuliahMatematik Program
S2Pendidikan Matematika. STKIP Siliwangi Bandung: Tidak dipublikasikan

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

431

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI


MATEMATIK SISWA SMP MELALUI STRATEGI THINK
TALK WRITE
Desi Rahmawati
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi
DesiRahmawati1212@yahoo.com

ABSTRAK
Masalah dalam penelitian ini adalah pembelajaran matematika belum sepenuhnya dapat
mengembangkan kemampuan dasar matematik siswa seperti kemampuan komunikasi
matematik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematik
siswa yang pembelajarannya menggunakan strategi think talk write dibandingkan dengan siswa
SMP yang pembelajarannya menggunakan pembelajran biasa. Strategi Think Talk Write adalah
strategi yang mendorong siswa untuk berpikir, berbicara, dan kemudian menuliskan suatu topik
tertentu. Penelitian ini menggunakan kuasi eksperimen, karena ada pemanipulasian perilaku,
dimana kelas yang satu mendapat pembelajran Strategi Think Talk Write dan kelas lain
mendapatkan pembelajaran biasa. Instrumen dalam penelitian ini adalah seperangkat soal tes
berbentuk soal uraian yang terdiri dari 5 soal pretes dan postes yang menjadi subjek penelitian
adalah siswa SMP. Dari kelas VII dipilih dua kelas. Jadi sampelnya adalah siswa SMP.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah peningkatamn kemampuan komunikasi matematik siswa
dengan menggunakan pendekatan pembelajaran Strategi Think Talk Write lebih baik
dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran biasa.
Kata kunci : Kemampuan Komunikasi Matematik, Strategi Think Talk Write.

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Within (Lanani, 22: 2013) menyatakan kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi
antar siswa dilakukan, dimana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan,
menggambarkan, mendengarkan, menanyakan dan bekerjasama sehingga dapat membawa siswa
pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Anak-anak yang diberikan kesempatan
untuk bekerja dalam kelompok dalam mengumpulkan dan menyajikan data, mereka menunjukan
kemajuan baik disaat mereka saling mendengarkan ide yang satu dan yang lain, mendiskusikannya
bersama kemudian menyusun kesimpulan yang menjadi pendapat kelompoknya. Kemampuan
komunikasi matematik siswa dapat dilihat dari kemampuan : (1) menghubungkan benda nyata,
gambar, dan diagram kedalam ide matematika, (2) menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematik
secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar, (3) menyatakan peristiwa
sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika, (4) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis
tentang matematika, (5) membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis, (6)
membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi, (7) menjelaskan
dan membuat pertanyaan matematika yang telah dipelajari.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematik tersebut belum
dilatih secara maksimal. Sering kali siswa tidak terbiasa melibatkan diri secara aktif dalam
pembelajaran. Dikarenakan oleh belum tersedianya soal-soal yang mengukur kemampuan
komunikasi matematik sehingga soal-soal yang selama ini diberikan kepada siswa adalah soal-soal
yang hanya menyelesaikannya secara prosedur matematik, tidak memberi kesempatan kepada

432

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

siswa untuk mengkomunikasikannya secara lisan ataupun tertulis sehingga kemampuan siswa
dalam mengkomunikasikan ide atau konsep matematika menjadi sangat lemah (Putri, 2013).
Hal tersebut sangat sesuai dengan hasil survei tiga tahunan PISA. Pada tahun 2003, Indonesia
berada pada urutan ke-40 dari 40 negara dalam hal matematika, IPA, dan membaca. Untuk
matematika, lebih dari 50 persen siswa dari Indonesia mencapai level terendah dengan skor di
bawah 358. Pada survei PISA tahun 2006, peringkat Indonesia untuk matematika turun dari 38 dari
40 negara (2003) menjadi urutan 52 dari 57 negara, dengan skor rata-rata turun dari 411 (2003)
menjadi hanya 391 (2006). Kemudian pada survei PISA tahun 2009 yang baru saja diumumkan
hasilnya pada tanggal 7 Desember 2010, secara umum Indonesia berada pada peringkat 57 dari 65
negara dan untuk matematika berada pada peringkat 5 terendah dengan skor 371. Dalam
Kompas.com (Putri, 2013),bahwa kemampuan siswa Indonesia di bawah rata-rata. Tiga hasil studi
internasional menyatakan, kemampuan siswa Indonesia untuk semua bidang yang diukur secara
signifikan ternyata berada di bawah rata-rata skor internasional sebesar 500. Siswa Indonesia hanya
mampu menjawab soal dalam kategori rendah dan sedikit sekali bahkan hampir tidak ada yang
dapat menjawab soal yang menuntut pemikiran tingkat tinggi.
Think Talk Write adalah strategi yang memfasilitasi latihan berbahasa secara lisan dan bahasa
tersebut dengan lancar. Strategi yang diperkenalkan pertama kali oleh Huinker dan Laughlin (
Huda, 218: 2013) ini didasarkan pada pemahaman bahwa belajar adalah sebuah prilaku sosial.
Strategin Think Talk Write mendorong siswa untuk berpikir, berbicara, dan kemudian menuliskan
suatu topik tertentu. Strategi ini digunakan untuk mengembangkan tulisan dengan lancar dan
melatih bahasa sebelum dituliskan. Strategi Think Tal Write memperkenankan siswa untuk
mempengaruhi memanipulasi ide-ide sebelum menuangkannya dalam bentuk tulisan. Ia juga
membantu siswa dalam mengumpulkan dan mengembangkan ide-ide melalui percakapan
terstruktur.
Menurut beberapa hasil penelitian strategi Think talk write merupakan salah stau strategi
pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik
siswa. Huinker (Weti, 2010) menyebutkan bahwa berfikir (think) dan bicara (talk) merupakan suatu
langkah yang penting bagi siswa dalam proses membawa mereka ke tahap menulis (write). Strategi
think talk write sangat mendukung dalam upaya peningkatan kemampuan komunikasi matematik
siswa. Dalam hal ini Ansari (Weti, 2010) mengemukakan bahwa esensi dari think talk write adalah
mengedepankan perlunya siswa mengkomunikasikan atau menjelaskan hasil pemikirannya
mengenai masalah yang diberikan oleh guru. Hal lain yang dapat menunjukan hubungan antara
strategi think talk write dengan komunikasi matematik adalah bahwa diantara faktor-faktor yang
berkaitan dengan kemampuan komunikasi matematika adalah diskusi (bicara) dan menulis Ansari
(think talk write). Selain itu aspek dari komunikasi, bahwa pembelajaran dapat membantu siswa
untuk mengkomunikasikan ide-ide matematik dengan mempresentasi, mendengar, membaca
berdiskusi dan menulis. Berdasarkan uraian diatas mengenai peranan dan keutamaan think talk
write serta tugas-tugas yag dilakukan siswa dalam menggunakan strategi ini, diharapkan bahwa
pembelajaran dengan strategi think talk write dapat menumbuhkan kemampuan komunikasi
matematik.
Salah satu solusi dari permasalahan di atas adalah pembelajaran matematika di sekolah dengan
menggunakan strategi Think Talk Write yang diupayakan dapat membuat siswa aktif serta
berkomunikatif dalam proses belajar mengajar pada mata pelajaran matematika. Melalui
keterlibatan siswa secara aktif tersebut, maka diharapkan kemampuan komunikasi matematik siswa
akan dapat terlatih dengan baik.
1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut
: Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya
menggunakan Strategi Think Talk Write lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya
menggunakan pembelajaran biasa ?.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

433

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan rumusan masalah penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
Kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan Strategi Think
Talk Write dibandingkan dengan siswa SMP yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran
biasa.
Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan :
a. Bagi Guru : Sebagai bahan pertimbangan bagi para guru untuk menerapkan pembelajaran
dengan strategi Think Talk Write untukmeningkatan kemampuan komunikasimatematik siswa
khususnya dalam bidang matematika.
b. Bagi Siswa : Sebagai alternatif pembelajaran yang diharapkan dapat membuat siswa lebih aktif
dalam pembelajaran akan konsep-konsep matematika dan mengoptimalkan kemampuan
komunikasi matematik siswa.

2.

Pembahasan

2.1.

Kemampuan Komunikasi Matematik

Kemampuan komunikasi matematik dapat diartikan sebagai suatu kemampuan siswa dalam
menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog atau saling hubungan yang
terjadi di lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan.
Komunikasi matematik merupakan kemampuan matematik esensial yang tercantum dalam
kurikulum matematika sekolah menengah NCTM dan KTSP (Sumarmo, 445: 2013). Komponen
tujuan pembelajaran matematika tersebut antara lain : dapat mengkomunikasikan gagasan dengan
simbol, tabel, diagram atau ekspresi matematik untuk memperjelas keadaan masalah, dan memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian dan
minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Kemampuan komunikasi matematik antara lain meliputi proses-proses matematik berikut Eliot dan
Keney, Eds, NCTM (Sumarmo, 35: 2013) :
a. Menyatakan suatu situasi atau masalah matematik atau kehidupan sehari-hari ke dalam bentuk
gambar, diagram, bahasa atau simbol matematik, atau model matematik.
b. Menjelaskan suatu idea matematik dengan gambar, ekpresi, atau bahasa sendiri atau secara lisan
atau tulisan.
c. Membuat suatu cerita berdasarkan gambar, diagram, atau model matematik yang diberikan.
d. Menyusun pertanyaan tentang konten matematik yang diberikan.
2.2.

Strategi Think Talk Write

Think Talk Write adalah strategi yang memfasilitasi latihan berbahasa secara lisan dan bahasa
tersebut dengan lancar. Strategi yang diperkenalkan pertama kali oleh Huinker dan Laughlin
(Huda, 218: 2013) ini didasarkan pada pemahaman bahwa belajar adalah sebuah prilaku sosial.
Strategin Think Talk Write mendorong siswa untuk berpikir, berbicara, dan kemudian menuliskan
suatu topik tertentu. Strategi ini digunakan untuk mengembangkan tulisan dengan lancar dan
melatih bahasa sebelum dituliskan. Strategi Think Talk Write memperkenankan siswa untuk
mempengaruhi memanipulasi ide-ide sebelum menuangkannya dalam bentuk tulisan. Ia juga
membantu siswa dalam mengumpulkan dan mengembangkan ide-ide melalui percakapan
terstruktur. Jadi strategi Think Talk Write ialah strategi yang mendorong siswa untuk berpikir,
berbicara, dan kemudian menuliskan suatu topik tertentu.
Sebagaimana namanya, strategi ini memiliki sintak yang sesuai dengan urutan di dalamnya, yakni
think berpikir), talk ( berbicara/berdiskusi), dan write (menulis).
Tahap 1: Think
Siswa membaca teks berupa soal (kalau memungkinkan dimulai dengan soal yang berhubungan
dengan permasalahn sehari-hari atau kontekstual) pada tahap ini siswa secara individu memikirkan
434

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kemungkinan jawaban (strategi penyelesaian), membuat catatan kecil tentang ide-ide yang
berpendapat pada bacaan,dan hal-hal yang tidak dipahami dengan menggunakan bahasanya sendiri.
Tahap 2: Talk
Siswa diberi kesempatan untuk membicarakan hasil penyelidikan pada tahap pertama. Pada tahap
ini siswa merfleksikan, menyusun , serta menguji (negosiasi,sharing) ide-ide dalam kegiatan
diskusi kelompok. Kemajuan komunikasi siswa akan terlihat pada dialognya dalam berdiskusi, baik
dalam bertukar ide dengan orang lain ataupun refleksi mereka sendiri yang diungkapkannya kepada
orng lain.
Tahap 3: Write
Pada tahap ini, siswa menuliskan ide-ide yang diperolehnya dari kegiatan tahap pertama dan
kedua.tulisan ini terdiri atas landasan konsep yang digunakan, keterkaitan dengan materi
sebelumnya, strategi penyelesain, dan solusi yang diproleh. Menurut silver dan smith (Huda, 219:
2013),peranan dan tugas guru dalam usaha mengefektipkan penggunaan strategi Think Talk Write
adalah mengajukan dan menyediakan tugas yang memungkinkan siswa terlibat secara aktif
berpikir,mendorong dan menyimak ide-ide yang dikemukakan siswa secara lisan dan tertulis
dengan hati-hati, mempertimbangkan dan memberi informasi terhadap apa yang digali siswa dalam
diskusi, serta memonitor, menilai, dan mendorong siswa untuk berpartisipasi secara aktif.
langkah-langkah strategi Think Talk Write:
a. siswa membaca teks dan membuat catatan dari hasil bacaan secara individual (think), untuk
dibawa ke forum diskusi.
b. siswa berinteraksi dan berkolaborasi dengan teman satu grup membahas isi catatan (talk) dan
dapat menghasilkan soslusi atas soal yang diberikan.
c. siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang memuat pemahaman dan komunikasi
matematika dalam bentuk tulisan (write).
d. kegiatan akhir pembelajaran adalah membuat refleksi dan kesimpulan atas materi yang
dipelajari.

3.
Metode Penelitian
3.1. Desain Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan disain penelitiannya adalah
sebagai berikut :
O
X
O
------------------O
O
(Ruseffendi, 53: 2010)
Keterangan :
O : Pretes=Postes (tes kemampuan komunikasi)
X : Perlakuan pembelajaran dengan menggunakan Strategi ThinkTalk Write
---- : Pengambilan sampel tidak secara acak.
3.2. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Plered. Sampel dalam penelitian
ini dikelompokan dalam dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelempok tersebut
dipilih berdasarkan kelas yang diberikan kepada peneliti oleh guru mata pelajaran di sekolah
tersebut.
3.3.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang dikembangkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu tes tertulis dalam
bentuk uraian dan non tes dalam bentuk angket (skala sikap).
Instrumen penelitian ini berupa :

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

435

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

a. Tes Tertulis
Instrumen dalam penelitian ini adalah seperangkat tes berbentuk pretes dan postes yang terdiri dari
lima soal.
1) Pretes diberikan untuk mengukur kemampuan komunikasi dan koneksi matematik awal
kelas eksperimen dan kelas kontrol.
2) Postes diberikan untuk melihat pencapain dan peningkatan kemampuan komunikasi dan
koneksi matematik siswa pada kedua kelas.
Sebagai contoh, pemakalah mengambil materi Perbandingan dan Skala.Dalam instrumen penelitian
ini dibuat seperangkat soal yang sesuai dengan indiator kemampuan komunikasi matematik siswa,
instrumen tersebut ialah sebagai berikut :
1.

Menyatakan suatu situasi atau masalah matematik atau kehidupan sehari-hari ke dalam bentuk
gambar, diagram, bahasa atau simbol matematik, atau model matematik.
Contoh soal:
Susi sedang berada di Pasar Malam. Dia membayar Rp 3.000,00 untuk tiket masuk dan
membayar Rp 2.000,00 untuk tiket satu permainan.
a. Salin dan lengkapilah tabel berikut untuk membantu Susi menentukan total biaya
berdasarkan banyak tiket permainan yang dia beli.
Banyak tiket
2
4
6
8
...
Bayar
5
...
...
...
...
b. Buatlah titik-titik untuk pasangan terurut yang menyatakan hubungan yang banyak tiket
dan total biaya yang akan dikeluarkan Susi dan buat garis yang menghubungkan titik-titik
tersebut.
Contoh soal :
Menurut grafik di samping ini, berapakah banyaknya pekerja yang diperlukan suatu proyek
agar selesai dalam tempo empat hari ?

2.

Menjelaskan suatu idea matematik dengan gambar, ekpresi, atau bahasa sendiri atau secara
lisan atau tulisan.
Contoh soal :
Seorang anak dapat membaca 750 kata dalam waktu 5 menit.
a. Buatlah tabel hubungan antara waktu dan banyak kata yang dibaca dengan waktu 0 menit
sampai 6 menit!
b. Gambarlah grafik hubungan antara waktu (dalam menit) dan banyak kata yang dibaca!
c. Berdasarkan grafik, tentukan:
i. Banyak kata yang dapat dibaca dalam waktu 4,5 menit.
ii. Waktu yang diperlukan untuk membaca sebanyak 425 kata.

3.

Membuat suatu cerita berdasarkan gambar, diagram, atau model matematik yang diberikan.
Contoh soal :
Suatu Perbandingan berbalik nilai ditunjukan oleh suatu grafik berikut !
Y

35

Orang

30

Hari

Waktu

Berikan contoh persoalan perbandingan berbalik nilai yang sesuai dengan grafik diatas.

436

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

4.

Menyusun pertanyaan tentang konten matematik yang diberikan.


Contoh soal :
Bacalah tabel di bawah ini!
Kecepatan ( km/jam )
30
60
90
Waktu tempuh (jam )
6
3
2
Apa yang dapat kamu simpulkan dari perbandingan kecepatan terhadap waktu berdasarkan
tabel tersebut ?
Dapatkah kamu menduga waktu yang mungkin ditempuh apabila kecepatan menjadi 120
km/jam?

b. Non Tes (Skala Sikap)


Skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini bertujan untuk mengetahui sikap siswa terhadap
pembelajaran matematika, khususnya dengan menggunakan strategi Think Talk Write. Angket/
skala sikap diberikan setelah seluruh pembelajaran selesai. Sedangkan angket guru diberikan untuk
mengetahui pandangan guru terhadap pembelajran dengan strategi Think Talk Write. Guru yang
mengisi angket ini adalah guru yang terlibat sebagai observer dalam setiap pembelajaran.
3.4. Prosedur Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini berasal dari hasil tes awal dan tes akhir. Setelah data
dari tes akhir diperoleh, kemudian dianalisis dengan menggunakan software MINITAB 15.
Analisis ini dilakukan adalah :
3.5. Analisis data yang dilakukan adalah :
3.5.1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak.
3.5.2. Uji Homogenitas Varians
Jika data yang diperoleh berdistribusi normal maka dilakukan uji homogenitas. Ini dilakukan untuk
mengetahui apakah data tersebut homogen atau tidak.
3.5.3. Uji Signifikansi Perbedaan Dua Rata-Rata
Uji rata-rata dilakukan terhadap hasil tes awal akhir. Jika data berdistributif dan homogen maka
dilakukan uji-t. Apabila data berdistribusi normal tetapi tidak homogen maka dilakukan uji-tl.
Sedangkan untuk data berdistribusi tidak normal maka dilakukan non parametris.
3.5.4 Uji Gain Ternormalisasi
Untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman, komunikasi dan disposisi matematik
antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan Strategi Think Talk Write
dengan pembelajaran biasa.
Skor Postes Skor Pretes
Gain Ternormalisasi (g) =
Skor Ideal Skor Pretes
Meltzer (Afrilianto, 2012)
3.6. Prosedur penelitian
Prosedur penelitian ini mengikuti tahapan sebagai berikut :
a. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan ini yang dilakukan adalah:pembuatan proposal, pengurusan perizinan,
penyusunan instrumen penelitian, pembuatan rencana pembelajaran, dan pembuatan bahan ajar.
b.
Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan ini, setelah terpilihnya kelompok eksperimen dan kontrol, maka kedua
kelompok tersebut diberi tes awal. Hal ini dimaksudkan untuk melihat kemampuan awal seluruh
siswa.Pada saat proses belajar-mengajar berlangsung, pendekatan pembelajaran pada masingmasing kelompok dibedakan, yaitu strategi pembelajaran dengan menggunakan Strategi Think Talk
Write untuk kelas eksperimen dan pendekatan pembelajaran biasa untuk kelas kontrol.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

437

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

c.
Tahap Evaluasi
Pada tahap evaluasi atau akhir pembelajaran, kedua kelompok siswa diberi tes akhir untuk melihat
prestasi akhir yang di peroleh siswa. Selanjutnya data yang diperoleh akan diolah untuk
mengetahui perbedaan kemampuan matematik antara siswa dalam kelompok eksperimen dengan
siswa dalam kelompok kontrol.Tujuan diadakannya tahap evaluasi ialah untuk mengetahui apakah
terdapat perbedaan hasil belajar dari penggunaan kedua model pembelajaran pada kelas
eksperimen.

4.

Hasil Penelitian

Berdasarkan studi terhadap beberapa hasil penelitian secara umum diperoleh gambaran mengenai
pembelajaran dengan strategi think talk write yang dilaksanakan di sekolah menengah pertama
memberikan hasil yang positif, baik mengenai hasil belajar maupun sikap siswa dalam
pembelajaran, hasil pembelajaran tersebut ialah sebagai berikut :
Elida, N (2012) diperoleh kesimpulan hasil penelitiannya bahwakemampuan komunikasi
matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran TTW secara signifikan lebih
baik daripada yang pembelajarannya menggunakan cara konvensional pada taraf signifikansi 5%.
Hadi. S. yang berjudul : Analisis Kemampuan KomunikasiMatematikMelalui Model Think Talk
Write (TTW) PesertaDidik SMPN 1 Manyar Gresik diperoleh kesimpulan hasil penelitian bahwa
pembelajaran TTW lebih baik dari pada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan
kemampuan komunikasi matematika peserta didik SMP Negeri 1 Manyar. Hal tersebut dikarenakan
model TTW memberikan peluang kepada peserta didik berpikir melalui bahan bacaan matematika
yang selanjutnya mengkomunikasikan hasil bacaannya dengan presentasi dan diskusi.
Kadarwati. S. (2014) yang berjudul : Keefektifan Strategi Think Talk Write Berbasis Kontekstual
Terhadap Kemampuan Komunikasi diperoleh kesimpulan hasil penelitian bahwa penelitian ini
telah memberikan hasil sebagai berikut: (1) Keaktifan peserta didik dan keterampilan proses
berkomunikasi matematis selama pembelajaran dengan strategiThink Talk Write berbasis
kontekstual secara bersama mempengaruhi kemampuan mengukur sudut pada kelompok
eksperimen sebesar 80,1%. Sedangkan secara terpisah keaktifan peserta didik selama pembelajaran
mempengaruhi kemampuan mengukur sudut pada kelompok eksperimen sebesar 66,4% dan
keterampilan proses mempengaruhi kemampuan mengukur sudut pada kelompok eksperiman
sebesar 78,5%. Variabel keaktifan (X1), variable keterampilan proses (X2) dan variable
kemampuan mengukur sudut () memiliki sifat linier dengan model persamaan regresi = 25.335
+ 0,418X1 + 0,230X2, (2) Kemampuan mengukur sudut peserta didik yang diajar dengan strategi
Think Talk Write berbasis kontekstual (dengan nilai rata 72,77) secara signifikan disimpulkan lebih
baik dari kemampuan mengukur sudut peserta didik yang diajar melalui pembelajaran
konvensional, yaitu strategi Problem Based Learning (dengan 1 nilai rata-rata 67,90), (3)
Penerapan strategi Think Talk Write berbasis kontekstual meningkatkan keterampilan proses
peserta didik dalam proses pembelajaran. Keterampilan proses yang dimaksud difokuskan dalam
keterampilan berkomunikasi matematis dalam mengukur sudut.

5.

Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan penelitian ini, dapat dilakukan pengujian hipotesis sehingga dapat
disimpulkan bahwa :
1. Peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan pembelajaran strategi think talk write lebih baik dibandingkan dengan pendekatan
pembelajaran biasa.
2. Kemampuan komunikasi matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan
pembelajaran strategi think talk write lebih baik dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran
biasa.

438

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

5.2. Saran
Upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa sebaiknya harus
dilaksanakan semaksimal mungkin, karena tidak ada satu teknik pembelajaran yang sempurna
khususnya untuk pembelajaran matematika. Adapun saran-saran yang dapat penulis kemukakan
untuk memberikan masukan yang diberikan terhadap :
Guru :Pendekatan pembelajaran strategi think talk write dapat dijadikan bahan pertimbangan
untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa.
Siswa :Melalui pendekatan pembelajaran strategi think talk writedapat memotivasi siswa serta
melatih siswa untuk menyelesaikan suatu masalah.

DAFTAR PUSTAKA
Afrilianto. M. (2012). Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking Untuk
Meningkatkan Pemahaman Konsep Dan Kompetensi Strategis Matematis Siswa SMP. Tesis
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung : Tidak Diterbitkan
Elida. N (2012). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah
Pertama Melalui Pembelajaran Think-Talk-Write (TTW). [Online].
Hadi. S. (2012). Analisis Kemampuan Komunikasi Matematik Melalui Model Think Talk Write
(TTW)
Peserta
Didik
SMPN
1
Manyar
Gresik
.....
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/penmath/article/viewFile/611/633_umm_scientific_jour
nal.pdf. [1 November 2014].
Huda, M.(2013). Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Malang: Pustaka Pelajar.
Kadarwati. S. (2014). Keefektifan Strategi Think Talk Write Berbasis Kontekstual Terhadap
Kemampuan Komunikasi. [Online]. Tersedia : http://www. pustaka.ut.ac.id/ dev25/
pdfprosiding2/ strategi__think_talksrikadarwati. pdf. [1 November 2014].
Lanani, K. (2013). Belajar Berkomunikasi dan Komunikasi untuk Belajar dalam Pembelajaran
Matematika. Jurnal IlmiahProgram Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
Bandung. 8 (2) 13-25.
Putri, I.L.R. (2013). Pengembangan Sosial Tipe Pisa Siswa Sekolah Menengah Pertama dan
Implikasinya pada Konteks Literasi Matematika (KLM) 2011. [Online]. Tersedia:
http://eprints.unsri.ac.id/3773/1/ARTICLE_SIMANTAP_2013.pdf. [17 April 2014]
Ruseffendi, E.T. (2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta lainnya.
Bandung : Tarsito.
Sumarmo, U. (2013). Proses Berpikir Matematik: Apa dan Mengapa Dikembangkan. Berpikir
adan Disposisi Matematik serta Pembelajaranna. 24 (24), 429-485.
Sumarmo, U. (2013). Pembelajaran Matematika Untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Berpikir adan Disposisi Matematik serta Pembelajaranna. 24 (2),
25-48.
Weti, I. (2012). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Melalui strategi Think Talk
Write (TTW). [Online]. Tersedia: http://kartiniokey.blogspot.com/2010/05/meningkatkankemampuan-komunikasi.html. [15 Juli 2014].

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

439

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN


RELASIONAL MATEMATIK SISWA MENGENAI LUAS
BANGUN DATAR SEGIEMPAT DENGAN PENDEKATAN
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Sunardi
Jurusan Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung
mathganteng@yahoo.co.id

ABSTRAK
Kemampuan pemahaman matematik merupakan hal yang penting dalam pembelajaran
matematika. Kenyataannya, masih banyak siswa yang tidak menyukai matematika. Hal
tersebut disebabkan antara lain karena kesulitan siswa dalam memahami matematika. Kesulitan
tersebut mengindikasikan ada sesuatu yang salah dan belum optimal dalam pembelajaran
matematika dan berdampak pada hasil belajar siswa. Salah satu materi yang dianggap sulit
adalah bangun datar segiempat. Pada umumnya sistem pembelajaran di sekolah hanya
memberikan rumus tanpa disertai pemahaman kepada siswa untuk menyelesaikan soal-soal
yang berkaitan dengan luas bangun datar segiempat. Penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan pemahaman relasional matematik siswa kelas VII SMP Daya
Utama Bekasi pada konsep luas bangun datar segiempat dengan pendekatan
pembe la jar an ber basis masa lah ( PBM). Pendekatan pembelajaran berbasis masalah
dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman relasional matematik siswa. Penelitian ini
menggunakan metode eksperimen dengan desain pretes dan postes. Subjek populasi dalam
penelitian adalah siswa SMP Daya Utama kelas VII. 1 dan Kelas VII.2. Kemudian masingmasing kelas yang terdiri dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen diberi
perlakuan dengan pembelajaran berbasis masalah, dan kelas kontrol diberi perlakuan
pembelajaran matematika konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: siswa
yang diajar dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah mempunyai kemampuan
pemahaman relasional matematik lebih baik bila dibandingkan siswa yang diajar dengan
pendekatan pembelajaran konvensional, baik ditinjau dari rerata pretes dan postes
kemampuan pemahaman relasional matematik siswa.
Kata kunci: PBM, Pembelajaran Konvensional, Pemahaman relasional.

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Pada umumnya sistem pembelajaran matematika di kelas mengenai luas bangun datar
segiempat hanya melatih siswa untuk mengerjakan soal-soal menggunakan rumus luas yang
diberikan tanpa pemahaman bagaimana rumus tersebut didapatkan. Siswa tidak memiliki
pemahaman yang baik antara konsep dan prosedur yang digunakan untuk menyelesaikan soal- soal
luas segiempat. Kurangnya pemahaman membuat siswa sering melakukan kesalahan dalam
menyelesaikan soal-soal mengenai luas segiempat. Menurut Van de Walle (2008) kesalahan yang
umum dilakukan siswa adalah tertukarnya rumus untuk luas dan keliling dan salah
mengkonseptualisasikan arti dari tinggi dan alas dalam bentuk-bentuk geometri dimensi dua dan
tiga.
Kemampuan pemahaman matematik merupakan hal yang penting dalam pembelajaran matematika.
Dalam NCTM (2000), disebutkan bahwa pemahaman matematik merupakan aspek yang sangat
penting dalam prinsip pembelajaran matematika. Pemahaman matematik lebih bermakna jika
dibangun oleh siswa itu sendiri. Oleh karena itu kemampuan pemahaman tidak dapat diberikan
dengan paksaan, artinya konsep- konsep dan logika- logika matematika diberikan oleh guru, dan

440

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

ketika siswa lupa dengan algoritma atau rumus- rumus yang diberikan, maka siswa tidak dapat
menyelesaikan persoalan- persoalan matematika. Sedangkan Ansari (2003 : 35) mendefenisikan
pemahaman matematik adalah tingkat atau level pengetahuan siswa tentang konsep, prinsip,
algoritma dan kemahiran siswa menggunakan strategi penyelesaian terhadap soal atau masalah
yang disajikan. Pemahaman menurut Skemp (Van de Walle, 2005) pemahaman dibagi menjadi
dua (1) Pemahaman Instrumental dan (2) Pemahaman Relasional. Pemahaman relasional
merupakan jaringan konsep yang kaya dan saling terhubung. Pemahaman relasional menghasilkan
pengetahuan konseptual dimana siswa dapat memahami dan mengerti langkah-langkah dalam
mengerjakan soal-soal matematika.
Dalam kurikulum 2006 (KTSP) kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat
tercapai dalam belajar matematika mulai dari SD sampai SMA, antara lain menunjukan
pemahaman konsep matematika yang dipelajari; menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan
masalah. Sedangkan menurut Usiskin (2012) dalam mengembangkan pemahaman akan suatu
konsep dapat dimulai dari pemahaman penggunaan aplikasi. Penggunaan aplikasi dapat dilihat dari
representasi konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran matematika yang dimulai
dengan suatu masalah yang sesuai dengan situasi siswa juga merupakan salah satu dari
karakteristik pendekatan pembelajaran berbasis masalah.
Berdasarkan hasil pengambilan data yang telah dilakukan pada siswa kelas VII SMP Daya Utama
Bekasi, siswa cukup memahami mengenai konsep luas namun siswa tidak memahami bagaimana
rumus luas bangun datar segiempat (terutama jajargenjang, belah ketupat, layang-layang, dan
trapesium) terbentuk. Selain itu, terdapat beberapa siswa yang lupa rumus luas segiempat sehingga
tidak dapat menyelesaikan soal pretest yang diberikan. Salah satu upaya yang ditempuh dalam
memperbaharui proses pembelajaran matematika yang kurang bermakna di kelas salah satunya
adalah dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (PBM).
Dalam pembelajaran berbasis masalah, siswa dihadapkan pada suatu penyajian masalah yang
dirancang dalam konteks yang relevan dengan materi yang akan dipelajari siswa untuk mendorong
siswa memperoleh kemampuan dan pemahaman konsep, mencapai berpikir kritis, memiliki
kemandirian belajar, keterampilan berpartisipasi dalam kerja kelompok, dan kemampuan
pemecahan masalah. Menurut Herman (2006), Karakteristik dari PBM diantaranya adalah: 1)
memposisikan siswa sebagai self-directed problem solver melalui kegiatan kolaboratif, 2)
mendorong siswa untuk mampu menemukan masalah dan mengelaborasinya dengan mengajukan
dugaan-dugaan dan merencanakan penyelesaian, 3) memfasilitasi siswa untuk mengeksplorasi
berbagai alternatif penyelesaian dan implikasinya, serta mengumpulkan dan mendistribusikan
informasi, 4) melatih siswa untuk terampil menyajikan temuan, dan 5) membiasakan siswa untuk
merefleksi tentang efektivitas cara berpikir mereka dalam menyelesaikan masalah. Menurut
Sumarmo (2013:150) pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang
diawali dengan penyajian masalah yang dirancang dalam konteks yang relevan dengan materi yang
akan dipelajari untuk mendorong siswa memperoleh kemampuan dan pemahaman konsep,
mencapai berpikir kritis, memiliki kemandirian belajar, keterampilan berpartisipasi dalam kerja
kelompok, dan kemampuan pemecahan masalah.
1.2.

Rumusan Masalah

Bagaimana peningkatan kemampuan pemahaman relasional matematik siswa mengenai luas


bangun datar segiempat melalui pendekatan PBM?.
1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teori pembelajaran mengenai pemahaman


relasional siswa pada konsep luas bangun datar segiempat dengan pendekatan PBM.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

441

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam mengembangkan pemahaman siswa,


tambahan referensi dan informasi pembelajaran luas segiempat bagi guru dan dapat menjadi sebuah
bahan untuk dikaji dan diperbaiki lebih lanjut oleh pembaca.
1.4.

Definisi Operasional

a. Retensi adalah kemampuan untuk menyimpan dalam ingatan atau memori, konsep yang
dipahami secara baik oleh siswa dari pembelajaran yang diberikan.
b. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Matematis adalah kemampuan yang meliputi: pemecahan
masalah, berpikir kritis dan berpikir kreatif matematik.
1) Pemecahan Masalah Matematik adalah kemampuan siswa dalam menerapkan strategi
untuk menyelesaikan berbagai masalah yang sejenis maupun yang baru dan menjelaskan
hasil yang diperoleh sesuai dengan permasalahan awal serta menyelesaikannya.
2) Berpikir Kritis Matematik adalah kemampuan yang meliputi: a) Menganalisis dan
mengevaluasi argumen dan bukti; b) Menyusun klarifikasi dan membuat pertimbangan
yang bernilai; c) Menyusun penjelasan berdasarkan data yang relevan dan yang tidak
relevan; d) Mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi.
3) Berpikir Kreatif Matematik adalah kemampuan meliputi: kemahiran/kelancaran,
kelenturan, Keaslian dan Elaborasi.
c. Pembelajaran Kontekstual adalah proses kegiatan belajar-mengajar yang diawali dengan
menghadapkan siswa pada masalah nyata atau yang disimulasikan dalam suatu ko nteks
sosial dan fisik yang menantang siswa, kemudian diangkat ke dalam konsep yang akan
dipelajari. Pembelajaran kontekstual ini berisikan karakterisitik sebagai berikut: berbasis
masalah kontekstual terstruktur, berpandangan konstruktivisme (constructivism), mengajukan
pertanyaan (questioning), menemukan (inquiry), komunitas belajar (learning community),
menggunakan model (modeling), melaksanakan refleksi (reflection) dan authentic assessment.

2.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Penggunaan metode
eksperimen ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh variabel bebas terhadap variabel
terikat (Ruseffendi, 2010). Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain postest.
Desain kelompok kontrol pretes-postes melibatkan paling tidak dua kelompok.
Desain penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
A
O1
X1
O2
A
O1
X1
O2
Keterangan:
A
O1
O2
X

(Ruseffendi, 2010)

: Sampel acak
: Tes penguasaan materi prasyarat
: Post test kemampuan pemahaman
: Pendekatan pembelajaran berbasis masalah

Populasi pada penelitian ini adalah siswa SMP kelas VII, dimana sekolah tersebut sekolah
berkategori menengah. Sampel yang digunakan adalah salah satu sekolah di Kota Bekasi
Kecamatan Mustikajaya yaitu SMP Daya Utama Bekasi. Dari sekolah tersebut dipilih dua kelas,
kelas VII. 1 sebagai kelas eksperimen dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dan kelas
VII. 2 sebagai kelas kontrol dengan pembelajaran konvensional. Tujuan dari pengambilan sampel
ini untuk mengetahui peningkatan yang terjadi pada kemampuan pemahaman relasioal matematik
siswa melalui pendekatan pembelajaran berbasis masalah.

442

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :


a. Tes
Tes tertulis digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman relasional matematik siswa
yang menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah.
1) Tes Kemampuan Pemahaman Matematik
Tes ini berupa uraian, yang soalnya terdiri dari soal-soal pemahaman relasional matematik.
Soal ini digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan pemahaman relasional
matematik siswa setelah mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran
berbasis masalah. Indikator yang diukur pada tes kemampuan pemahaman matematik
menurut pendapat Skemp yaitu, adalah pemahaman relasional dengan indikator yaitu; (1)
kemampuan siswa membandingkan atau menggunakan konteks matematika di dalam
matematika, (2) kemampuan siswa membandingkan atau menggunakan matematika dalam
konteks di luar matematika.
Pedoman penskoran yang digunakan pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Pemahaman Matematik

Aspek yang
Dinilai

Reaksi terhadap Soal/amasalah

Membandingkan
atau menggunakan
konteks matematika
di
dalam
matematika
Membandingkan
atau menggunakan
matematika dalam
konteks di luar
matematika

Tidak memahami soal/tidak ada jawab.


Tidak Menggunakan konteks di dalam matematika
Menggunakan konteks di dalam matematika, tetapi
salah
Membandingkan atau menggunakan konteks
matematika di dalam matematika dengan benar
Tidak memahami soal/tidak ada jawab.
Tidak Menggunakan matematika dalam konteks di
luar matematika
Menggunakan matematika dalam konteks di luar
matematika, tetapi salah
Menggunakan matematika dalam konteks di luar
matematika, tidak lengkap
Membandingkan atau menggunakan matematika
dalam konteks di luar matematika dengan benar

Skor
0
1
2
3
0
1
2
3
4

Sebelum digunakan dalam penelitian, instrumen tes tersebut terlebih dahulu diujicobakan
untuk melihat validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan indeks kesukaran. Langkahlangkah uji coba dilakukan adalah:
a) Instrumen dikonsultasikan pada dosen pembimbing;
b) Instrumen diujicobakan kepada subjek yang memiliki karakteristik yang serupa
dengan karakteristik subjek penelitian;
c) Menentukan nilai koefisien validitas dari instrumen tes;
d) Menentukan reliabilitas instrumen tes;
e) Menentukan daya pembeda dan indeks kesukaran instrumen tes.
b. Non Tes
Non tes dalam bentuk skala sikap/ angket digunakan untuk mengukur sikap siswa terhadap
pembelajaran matematika.

3. Hasil Penelitian dan dan Pembahasan


Deskripsi Kemampuan Pemahaman relasional Matematik merupakan gambaran kualitas
Kemampuan Pemahaman relasional matematik baik secara keseluruhan maupun berdasarkan
jenis pendekatan pembelajaran (pembelajaran berbasis masalah dan konvensional). Deskripsi

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

443

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

yang dimaksud adalah rerata gain dari hasil pretes dan postes siswa berdasarkan pendekatan
pembelajaran, disajikan pada Tabel 1.
Kode
Siswa
K-01
K-02
K-03
K-04
K-05
K-06
K-07
K-08
K-09
K-10
K-11
K-12
K-13
K-14
K-15
K-16
K-17
K-18
K-19
K-20
K-21
K-22
K-23
K-24
K-25
K-26
K-27
K-28
K-29
K-30
K-31
K-32
K-33
K-34

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

Tabel 3. Gain kelas eksperimen kemampuan pemahaman relasional matematik


Skor
Kode Siswa Pretes Postes Postes - Pretes
Ideal - Pretes Gain Kategori
Ideal
E-01
8
14
6
17
9
0.67
sedang
E-02
6
14
8
17
9
0.89
tinggi
E-03
5
12
7
17
11
0.64
sedang
E-04
5
9
4
17
12
0.33
sedang
E-05
6
12
6
17
12
0.50
sedang
E-06
4
12
8
17
11
0.73
tinggi
E-07
7
13
6
17
13
0.46
sedang
E-08
8
12
4
17
10
0.40
sedang
E-09
6
13
7
17
9
0.78
tinggi
E-10
6
12
6
17
11
0.55
sedang
E-11
7
12
5
17
11
0.45
sedang
E-12
4
11
7
17
10
0.70
tinggi
E-13
8
13
5
17
13
0.38
sedang

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Tabel 2. Gain kelas kontrol kemampuan pemahaman relasional matematik


Skor
Pretes Postes
Postes - Pretes
Ideal - Pretes Gain Kategori
Ideal
7
9
2
17
10
0.20
rendah
4
9
5
17
10
0.50
sedang
5
8
3
17
13
0.23
rendah
6
7
1
17
12
0.08
rendah
5
9
4
17
11
0.36
sedang
5
8
3
17
12
0.25
rendah
9
10
1
17
12
0.08
rendah
9
10
1
17
8
0.13
rendah
7
12
5
17
8
0.63
sedang
6
10
4
17
10
0.40
sedang
5
9
4
17
11
0.36
sedang
4
9
5
17
12
0.42
sedang
6
10
4
17
13
0.31
sedang
3
6
3
17
11
0.27
rendah
7
9
2
17
14
0.14
rendah
8
14
6
17
10
0.60
sedang
8
13
5
17
9
0.56
sedang
5
9
4
17
9
0.44
sedang
5
12
7
17
12
0.58
sedang
6
11
5
17
12
0.42
sedang
9
13
4
17
11
0.36
sedang
8
9
1
17
8
0.13
rendah
10
12
2
17
9
0.22
rendah
7
10
3
17
7
0.43
sedang
10
12
2
17
10
0.20
rendah
5
8
3
17
7
0.43
sedang
10
15
5
17
12
0.42
sedang
8
12
4
17
7
0.57
sedang
8
12
4
17
9
0.44
sedang
9
14
5
17
9
0.56
sedang
8
12
4
17
8
0.50
sedang
7
10
3
17
9
0.33
sedang
7
12
5
17
10
0.50
sedang
8
16
8
17
10
0.80
tinggi
rerata gain
0.38
sedang

444

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

No

Kode Siswa

Pretes

Postes

Postes - Pretes

14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

E-14
E-15
E-16
E-17
E-18
E-19
E-20
E-21
E-22
E-23
E-24
E-25
E-26
E-27
E-28
E-29
E-30
E-31
E-32
E-33
E-34

9
9
8
9
9
9
8
11
8
8
6
9
5
6
6
7
9
8
9
6
7

13
13
14
16
12
13
12
16
11
14
11
13
11
15
14
12
15
12
12
14
16

4
4
6
7
3
4
4
5
3
6
5
4
6
9
8
5
6
4
3
8
9
rerata gain

Skor
Ideal
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17
17

Ideal - Pretes

Gain

Kategori

9
8
8
9
8
8
8
9
6
9
9
11
8
12
11
11
10
8
9
8
11

0.44
0.50
0.75
0.78
0.38
0.50
0.50
0.56
0.50
0.67
0.56
0.36
0.75
0.75
0.73
0.45
0.60
0.50
0.33
1.00
0.82
0.59

sedang
sedang
tinggi
tinggi
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
tinggi
tinggi
tinggi
sedang
sedang
sedang
sedang
tinggi
tinggi
sedang

Berdasarkan tabel 2 dan tabel 3 di atas, dapat diungkap beberapa hal mengenai
kemampuan pemahaman relasional matematik siswa sebagai berikut.
Secara keseluruhan, kemampuan pemahaman relasional siswa yang pembelajarannya
menggunakan pembelajaran berbasis masalah mempunyai rerata hasil kemampuan relasional
matematik lebih tinggi jika dibandingkan dengan rerata siswa yang menggunakan pembelajaran
konvensional. (0,59 > 0,38).
Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara keseluruhan ditinjau dari level siswa maupun
ditinjau dari rerata pretes dan postes kemampuan pemahaman relasional matematik siswa
yang diberi pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran
konvensional.

4.

Kesimpulan dan Saran

Dalam penelitian ini terdapat pertanyaan penelitian Bagaimana siswa mengembangkan


pemahaman relasional matematik siswa mengenai luas bangun datar segiempat melalui
pendekatan pembelajaran berbasis masalah (PBM)?. Berdasarkan hasil analisis, karakteristik
PBM memiliki peran dalam mengembangkan pemahaman relasional matematik siswa kelas VII 1
SMP Daya utama Bekasi dalam kegiatan pembelajaran materi luas bangun datar segiempat.
Berikut kesimpulan hasil penelitian ini:
a. Penggunaan masalah sebagai titik awal pembelajaran matematika. Pada pertemuan
pertama konteks membandingkan luas dua buah hutan membantu siswa mengembangkan
strategi informal yang digunakan untuk menghitung luas bangun datar. Konteks pada
pertemuan kedua menentukan harga berbagai bentuk datar berperan agar siswa dapat
menemukan konsep luas dan memunculkan penemuan- penemuan baru.
b. Konteks pada setiap pertemuan membantu mengembangkan model yang digunakan siswa
untuk menyelesaikan persoalan yang diberikan.
c. Pemahaman relasional matematik siswa berkembang seturut dengan pemanfaatan hasil
konstruksi siswa pada setiap pertemuan.
d. Interaktivitas antara guru dengan siswa dan antar siswa terjalin dengan baik dan ditunjukkan
dalam diskusi kelompok dan diskusi kelas pada penelitian ini.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

445

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

e. Keterkaitan beberapa konsep dalam penelitian ini menarik perhatian dan menjadi motivasi
bagi siswa untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang diberikan.
Berikut adalah beberapa saran yang dapat diberikan sebagai perbaikan pada penelitianpenelitian selanjutnya:
Saran untuk guru: Guru perlu mendapatkan bekal yang cukup mengenai pendekatan
pembelajaran berbasis masalah dengan mengikuti seminar atau pelatihan.
Saran
untuk
peneliti lain: (a) Pada aktivitas t i ap pertemuan, agar siswa terfokus pada konsep luas bangun
datar dapat ditambahkan pertanyaan untuk menghitung luas masing- masing bentuk bangun datar.
tidak hanya terfokus menggunakan persegi satuan dapat ditambahkan pertanyaan mengenai cara
yang lebih efektif dalam mengubah bentuk bangun selain memindahkan satu persatu persegi
satuan. (b) Keterangan ukuran dan instruksi yang diberikan pada LKS harus lebih jelas. (c) Peneliti
lain dapat mengembangkan konteks lain yang sesuai dengan budaya dan lingkungan belajar siswa
yang ingin diteliti. (d) Penelitian ini dapat dilanjutkan hingga siswa benar benar mengerti
bagaimana mendapatkan luas dari bangun datar segiempat.

DAFTAR PUSTAKA
Ansari, B.I (2003). Menumbuh kembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik
Siswa SMU melalui Strategi Think-Talk- Write. Disertasi pada PPS UPI Bandung: tidak
diterbitkan.
Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas
NCTM (National Council of Teachers of Mathematics). (2000). Principles and Standars for School
Mathematics. Reston, Virginia: NCTM
Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Matematis Tingkat Tinggi Siswa SMP. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Usiskin, Zalman. 2012. What Does It Mean to Understand Some Mathematics?
(12th
International Congress on Mathematical Education). Online. http://www.icme12.org/
upload/submission/1881_F.pdf. Diakses 18 Februari 2013.
Ruseffendi, E.T. (2010). Dasar- Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang No-Eksakta Lainnya.
Bandung: Tarsito
Skemp, R. R. (1976) Relational Understanding and Instrumental Understanding.
Mathematics Teaching, 77, 2026.
Sumarmo, U (2013). Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa
SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi
Matematik serta Pembelajarannya. 150 - 152
Van de Walle, John A. 2008. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan
Pengajaran. Jakarta: Erlangga.

446

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN PENDEKATAN SCIENTIFIC-OPEN ENDED


UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN
MASALAH DAN PENALARAN MATEMATIS SERTA
KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMA
Iis Roisyatul Umah
SMA Kuningan
iis.umah@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen . yang dilatarbelakangi oleh adanya
permasalahan rendahnya pemecahan masalah dan penalaran matematis siswa serta keharusan
mengembangkan aspek afektif dalam pembelajaran matematika yang mempunyai hubungan
dengan keberhasilan seseorang dalam mengerjakan tugas akademik, hal ini dilihat dari masih
rendahnya nilai ulangan harian. Berdasarkan analisis soal ulangan harian, siswa belum terampil
merencanakan dan menjalankan masalah, siswa masih kesulitan menyusun bukti/konsep,
memberikan alasan dan belum terampil menarik kesimpulan dari suatu pernyataan matematika,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah dan penalaran matematis serta kemandirian belajar antara siswa yang
mendapat pembelajaran matematika dengan penerapan pendekatan scientific-open ended dan
penerapan pembelajaran konvensional?. Adapun tujuannya adalah untuk mengatasi cara
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan penalaran matematis serta kemandirian
belajar antara siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan penerapan pendekatan
scientific-open ended dan penerapan pembelajaran konvensional. Populasi dalam penelitian ini
adalah siswa SMA di kabupaten Kuningan, dengan sampel dua kelas XI yaitu kelas eksperimen
dan kelas kontrol pada semester II tahun pelajaran 2015/2016. Penelitian ini menggunakan
kelas secara acak. Instrument yang digunakan dalam penelitian berupa tes kemampuan
pemecahan masalah dan penalaran matematis dan angket kemandirian belajar. Analisis data
dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif dengan kriteria penolakan dan penerimaan uji
hipotesis menggunakan taraf signifikan 5%.
Kata Kunci: Kemandirian Belajar, Penalaran, Pemecahan Masalah

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Begitu penting isi dari visi pembelajaran matematika, yaitu: mengarah pada masa depan yang lebih
luas yaitu matematika memberikan kemampuan pemecahan masalah, sistematis, kritis, cermat,
bersifat objektif dan terbuka. Kemampuan tersebut sangat diperlukan dalam menghadapi masa
depan yang selalu berubah.
Pentingnya kemampuan penyelesaian masalah oleh siswa dalam matematika ditegaskan juga oleh
Branca (1980), yaitu:
1) Kemampuan menyelesaikan masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika.
2) Penyelesaian masalah yang meliputi metode, prosedur dan strategi merupakan proses inti
dan utama dalam kurikulum matematika.
3) Penyelesaian masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika.
Pandangan bahwa kemampuan menyelesaikan masalah merupakan tujuan umum pengajaran
matematika, mengandung pengertian bahwa matematika dapat membantu dalam memecahkan

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

447

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

persoalan baik dalam pelajaran lain maupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya
kemampuan pemecahan masalah ini menjadi tujuan umum pembelajaran matematika.
Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatih melalui
belajar materi matematika. kemampuan bernalar tidak hanya dibutuhkan para siswa pada saat
pembelajaran matematika ataupun mata pelajaran lainnya, namun sangat dibutuhkan ketika siswa
dituntut untuk memecahkan masalah dan mengambil kesimpulan dalam permasalahan hidup.
Mencermati begitu pentingnya kemampuan penalaran pada pembelajaran matematika maka siswa
dituntut untuk memiliki kemampuan ini. Namun berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari
salah satu guru mata pelajaran matematika di SMA di Kuningan, bahwa rata-rata kemampuan
penalaran dan pemecahan masalah siswa masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari nilai ulangan
harian siswa yang masih sebagian besar dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 65.
Dari analisis soal ulangan harian, siswa belum terampil mengajukan conjecture dari suatu
pernyataan, belum terampil merencanakan dan mejalankan masalah, siswa masih kesulitan
menyusun bukti/konsep, memberikan alasan dan belum terampil menarik kesimpulan dari suatu
pernyataan matematika yang semua itu merupakan salah satu indikator pemecahan masalah dan
penalaran.Lemahnya kemampuan penalaran siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya
adalah realita pembelajaran matematika cenderung abstrak dengan metode ceramah sehingga
konsep-konsep matematika sulit dipahami. Siswa hanya menghapal rumus dan langkah-langkah
pengerjaan soal tanpa melibatkan daya nalar yang optimal.
Pendekatan pembelajaran yang dibutuhkan dalam penalaran matematika adalah pendekatan yang
dapat merangsang daya nalar siswa melalui masalah yang ada di sekitar siswa. Pendekatan yang
memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk berpikir secara komprehensif dan terbuka
serta selalu berperan aktif mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring dengan
soal-soal open ended pada pembelajaran matematika yang akan membuat siswa menjadi mandiri
dalam belajar, dengan dilandasi pemikiran tantangan masa depan yaitu tantangan abad ke 21 yang
ditandai dengan abad ilmu pengetahuan, knowledge-based society dan kompetensi masa depan.
Seseorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar efektif dan bagaimana serta kapan
menggunakan pengetahuan itu serta memiliki kemampuan untuk mengatur motivasi dirinya, tidak
saja motivator eksternal tetapi juga motivator internal serta mereka mampu tetap menekuni tugas
jangka panjang sampai tugas itu diselesaikan berarti mempunyai kemandirian belajar. Pemahaman
yang keliru tentang matematika itu kaku dan prosedural terjadi salah satunya disebabkan oleh soalsoal dalam matematika sekolah. Soal-soal itu kebanyakan bersifat tertutup (closed ended).
Permasalahan atau soal yang sifatnya tertutup (closed ended) menurut Suherman, dkk (2003),
adalah permasalahan yang telah diformulasikan dengan baik dan lengkap sehingga bersifat unik
(hanya ada satu solusi).
Untuk melibatkan proses berpikir, seharusnya semua soal-soal dalam pelajaran matematika tidak
hanya bersifat tertutup melainkan juga bersifat terbuka. Permasalahan ini disebut juga open ended
problem (question). Pada soal open ended, jawaban yang benar dapat lebih dari satu dan strategi
atau metode penyelesaiannya pun lebih dari satu karena bergantung pada hasil pemikiran dan
penalaran siswa.
Sehingga penulis tergerak untuk melakukan yang non-rutin dengan melakukan pendekatan
scientific-open ended, dengan memberikan peluang untuk lebih mengeksplorasi kemampuan
berpikir siswa secara komprehensif, terbuka dan melatih siswa untuk menggunakan penalaran dan
kreativitas berpikir untuk memecahkan suatu masalah matematika. Proses pembelajaran dengan
berbasis pendekatan ilmiah harus dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini
bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan
tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajarn harus dilaksanakan dengan
dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah.

448

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini diidentifikasi dan
dirumuskan sebagai berikut:
1) Apakah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMA yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan scientific-open ended lebih baik daripada siswa SMA yang
pembelajarannya menggunakan pendekatan konvensional?
2) Apakah kemampuan penalaran matematika siswa SMA yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan scientific-open ended lebih baik daripada siswa SMA yang
pembelajarannya menggunakan pendekatan konvensional?
3) Apakah kemandirian belajar matematika siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan scientific-open ended lebih baik daripada siswa SMA yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan konvensional?
1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat pada penelitian ini adalah:


1) Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMA yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan scientific-open ended lebih baik daripada siswa SMA yang
pembelajarannya menggunakan pendekatan konvensional.
2) Kemampuan penalaran matematika siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan scientific-open ended lebih baik daripada siswa SMA yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan konvensional .
3) Kemandirian belajar matematika siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan scientific-open ended lebih baik daripada siswa SMA yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan konvensional.
4) Bagi guru
Pendekatan scientific-open ended sebagai alternatif untuk meningkatkan pemecahan masalah
dan penalaran matematis siswa SMA serta dapat membudayakan dalam pembelajaran
matematika.
5) Bagi siswa
Pendekatan scientific-open ended dapat memberikan suasana belajar yang baru dan
menantang, siswa dihadapkan pada masalah non rutin, sehingga siswa dituntut untuk
menggunakan nalarnya dalam memecahkan masalah tersebut serta siswa dapat berpartisipasi
secara lebih aktif dalam pembelajaran dan mengekspresikan ide-ide mereka secara lebih
intensif.
6) Bagi pembelajaran matematika
Dengan menggunakan pendekatan scientific-open ended pada pembelajaran matematika
dapat meningkatkan proses pembelajaran dalam bidang matematika serta dapat
mengakomodasi berbagai ragam karakterisik siswa.

2.

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kecakapan atau potensi yang dimiliki seseorang
atau siswa dalam menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan
matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan membuktikan, menciptakan atau
menguji konjektur.
Dengan indikator pemecahan masalah matematika dari paparan Sumarmo (2005), adalah sebagai
berikut:
a. Memahami masalah, yaitu mengidentifikasi kecukupan data untuk menyelesaikan masalah
sehingga memperoleh gambaran lengkap apa yang diketahui dan ditanyakan dalam
masalah tersebut.
b. Merencanakan penyelesaian, yaitu menetapkan langkah-langkah penyelesaian, pemilihan
konsep, persamaan dan teori yang sesuai untuk setiap langkah.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

449

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

c. Menjalankan rencana, yaitu menjalankan penyelesaian berdasarkan langkah-langkah yang


telah dirancang dengan menggunakan konsep, persamaan serta teori yang dipilih.
d. Melihat kembali apa yang telah dikerjakan yaitu tahap pemeriksaan, apakah langkahlangkah penyelesaian telah terealisasikan sesuai rencana sehingga dapat memeriksa
kembali kebenaran jawaban yang pada akhirnya membuat kesimpulan akhir.
Kemampuan penalaran matematis adalah cara menggunakan nalar atau proses mental dalam
mengembangkan pikiran dari beberapa fakta atau prinsip. Dengan indikator adalah sebagai berikut:
a) Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan tertentu.
b) Menarik kesimpulan logis.
c) Memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat dan hubungan.
d) Memeriksa validitas argument.
e) Menyusun dan membuktikan masalah matematis.
Kemandirian belajar matematika adalah sikap dan kemampuan yang dimiliki siswa untuk
melakukan kegiatan belajar matematika secara mandiri atau sendiri dan bertanggung jawab guna
mencapai suatu tujuan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Dengan indikator adalah
sebagai berikut:
a) Merancang belajarnya sendiri.
b) Memilih dan menerapkan stategi belajar.
c) Memantau, mengatur, mengontrol kemajuan belajar.
d) Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
e) Menganalisis kebutuhan belajar.
f) Merumuskan tujuan belajar.

3.

Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan rendahnya pemecahan masalah dan
penalaran matematis siswa serta keharusan mengembangkan aspek afektif dalam pembelajaran
matematika yang mempunyai hubungan dengan keberhasilan seseorang dalam mengerjakan tugas
akademik. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan
scientific-open ended. Penelitian ini mengkaji masalah peningkatan kemampuan pemecahan
masalah dan penalaran matematis serta kemandirian belajar antara siswa yang mendapat
pembelajaran matematika dengan penerapan pendekatan scientific-open ended dan pembelajaran
konvensional. Pendekatan ini semoga dapat di terapkan oleh para pendidik yang membacanya.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Gunawan, R. P. (2013). Kemampuan Penalaran Matematika. [Online].
Tersedia:http://proposalmatematika23.blogspot.com/2013/05/kemampuan-penalaranmatematika.html. (13 April 2014).
Jihad, A. (2008). Pengembangan Kurikulum Matematika. Yogyakarta: Multi Pressindo.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum
2013. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan
dan Penjaminan Mutu Pendidikan.
Maulana. (2002). Peran Lembar Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran
Aritmetika Sosial berdasarkan Pendekatan realistik. Prosiding Seminar Nasional
Matematika: Peran matematika dalam Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk
Menghadapi Era Industri dan Informasi. Bandung: UPI.
Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam
Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bahan Ajar. Bandung: Tidak
diterbitkan.

450

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta lainnya.
Bandung: Tarsito.
Subana (2005). Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia.
Sudjana, N. (2008). Penelitian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosdakarya.
Suherman, E. dkk. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Individual Textbook. Bandung:
Jurusan FPMIPA UPI. (a)
Suherman, E. dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan
FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. (b)
Sumarmo, U. (2005). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Tahun
2002 Sekolah Menengah. Makalah disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika di
FPMIPA Universitas Negeri Gorontalo tanggal 7 Agustus 2005.
Sumarmo, U. (2013). Berpikir dan Disposisi Matematika serta Pembelajarnnya. Bandung: Jurusan
FPMIPA UPI.
Tirtaraharja, U & Lasula. (2000). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

451

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK


MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI
MATEMATIS SISWA SMP
Dwi Candra Kusuma
S-2 Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung
candra_dk87@yahoo.com

ABSTRAK
Kemampuan komunikasi matematis siswa merupakan fondasi dalam membangun pengetahuan
siswa terhadap matematika baik lisan maupun tulisan. Ada beberapa indikator yang dapat
dilihat untuk membangun kemampuan mengkomunikasikan ide atau gagasan kedalam model
matematika. Walaupun kemampuan komunikasi matematis siswa sangat penting namun pada
kenyataannya siswa sedikit sekali dapat mengkomunikasikan ide tersebut sehingga
kemampuan siswa juga berkurang. Siswa hanya biasa mengerjakan soal yang dituntut mencari
hasil namun tidak atau jarang sekali ditanya asal usul atau langkah-langkah pengerjaannya.
Sehubungan dengan itu, maka tulisan ini bertujuan untuk meyajikan peranan pembelajaran
yang berkaitan dengan realitas sehingga dapat mengembangkan skill komunikasi matematis
siswa melalui pembelajaran berbasis masalah..
Kata Kunci: Komunikasi Matematis, Pembelajaran Berbasis Masalah

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Pendidikan matematika berkembang seirama dengan perkembangan teori belajar, teknologi, dan
tuntutan dalam kehidupan.Matematika adalah ilmu dasar yang diberikan pada setiap jenjang
pendidikan.Perkembangan matematika telah menunjukan perkembangan yang sangat pesat dari
waktu ke waktu. Pendidikan matematika pada jenjang pendidikan dasar mempunyai peranan yang
sangat penting, sebab jenjang ini merupakan pondasi yang sangat menentukan dalam membentuk
sikap, kecerdasan, dan kepribadian anak.
Dalam kehidupannya, setiap individu senantiasa menghadapi masalah, dalam skala sempit maupun
luas, sederhana maupun kompleks. Kesuksesan individu sangat ditentukan oleh kreativitasnya
dalam menyelesaikan masalah. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis
penting untuk dikembangkan.
Pada umumnya, pembelajaran matematika dilakukan guru kepada siswa adalah dengan tujuan
siswa dapat mengerti dan menjawab soal yang diberikan oleh guru, tetapi siswa tidak pernah atau
jarang sekali dimintai penjelasan asal mula mereka mendapatkan jawaban tersebut.Akibatnya siswa
jarang sekali berkomunikasi dalam matematika. Hal ini juga dipertegas oleh guru mata pelajaran
yang bersangkutan bahwa pada kenyataannya siswa sulit untuk mengkomunikasikan kembali
materi yang didapat. Kemampuan komunikasi siswa sulit untuk dilihat baik lisan maupun tulisan
karena siswa identik hanya melihat dan mengikuti temannya yang dianggap baik di dalam kelas.
Selain itu, sedikit sekali bahkan jarang siswa yang bertanya maupun menjawab apa yang
diinformasikan oleh guru. Apabila siswa terlibat aktif dalam proses belajar, mereka akan lebih
mampu membangun gagasan, ide, dan konsep matematika. Sehingga siswa akan memiliki konsep
atas topik matematika tersebut.Selain itu, mereka juga dapat mengembangkan skill-skillnya.

452

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Herdian (2010), menerangkan bahwa komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu cara
untuk menyampaikan suatu pesan dari pembawa pesan ke penerima pesan untuk memberitahu,
pendapat, atau perilaku baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media. Di dalam
berkomunikasi tersebut harus dipikirkan bagaimana caranya agar pesan yang disampaikan
seseorang itu dapat dipahami oleh orang lain. Untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi,
orang dapat menyampaikan dengan berbagai bahasa termasuk bahasa matematis.
Menurut Herdian (2010), kemampuan komunikasi matematis siswa dapat dilihat dari kemampuan
berikut :
1. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika.
2. Menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematik dengan benda nyata, gambar, grafik dan
aljabar.
3. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.
Permasalahan yang sering muncul dalam dunia pendidikan adalah lemahnya kemampuan siswa
dalam menggunakan kemampuan berpikirnya untuk menyelesaikan masalah.Siswa cenderung
dijejali dengan berbagai informasi yang menuntut hafalan saja.Banyak sekali pengetahuan dan
informasi yang dimiliki siswa tetapi sulit untuk dihubungkan dengan situasi yang mereka hadapi.
Alih-alih dapat menyelesaikan masalah, pengetahuan mereka seperti tidak relevan dengan apa yang
mereka hadapi. Ketika siswa mengikuti sebuah pendidikan tidak lain untuk menyiapkan mereka
menjadi manusia yang tidak hanya cerdas tetapi mampu menyelesaikan persoalan yang akan
mereka hadapi di kemudian hari.
Berdasarkan hal tersebut, guru perlu merancang pembelajaran yang mampu membangkitkan
potensi siswa dalam menggunakan kemampuan berpikirnya untuk menyelesaikan masalah. Salah
satu pendekatan pembelajaran tersebut adalah apa yang disebut Pembelajaran Berbasis Masalah
(PBM) atau Problem Based Learning (PBL). Pendekatan pembelajaran ini dipusatkan kepada
masalah-masalah yang disajikan oleh guru dan siswa menyelesaikan masalah tersebut dengan
seluruh pengetahuan dan keterampilan mereka dari berbagai sumber yang dapat diperoleh.
Jadi, PBM atau PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia
nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan
keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial
dari materi pelajaran.
Landasan teori PBM adalah kolaborativisme, suatu pandangan yang berpendapat bahwa siswa akan
menyusun pengetahuan dengan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah
dimilikinya dan dari semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama
individu. Menurut paham konstruktivisme, manusia hanya dapat memahami melalui segala sesuatu
yang dikonstruksinya sendiri.
Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow (Lidinillah, 2014) menjelaskan karakteristik dari
PBM, yaitu :
1. Learning is student-centered
Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitikberatkan kepada siswa sebagai orang belajar.
Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh teori konstruktivisme dimana siswa didorong untuk
dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri.
2. Authentic problems form the organizing focus for learning
Masalah yang disajikan kepada siswa adalah masalah yang otentik sehingga siswa mampu
dengan mudah memahami masalah tersebut serta dapat menerapkannya dalam kehidupan
profesionalnya nanti.
3. New information is acquired through self-directed learning
Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja siswa belum mengetahui dan memahami
semua pengetahuan prasyaratnya, sehingga siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui
sumbernya, baik dari buku atau informasi lainnya.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

453

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

4. Learning occurs in small groups


Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha membangun pengetahuan secara
kolaborative, maka PBM dilaksakan dalam kelompok kecil.Kelompok yang dibuat menuntut
pembagian tugas yang jelas dan penetapan tujuan yang jelas.
5. Teachers act as facilitators.
Pada pelaksanaan PBM, guru hanya berperan sebagai fasilitator.Namun, walaupun begitu guru
harus selalu memantau perkembangan aktivitas siswa dan mendorong siswa agar mencapai
target yang hendak dicapai.
Pembelajaran berbasis masalah pada intinya merupakan suatu strategi pembelajaran yang diawali
dengan penyajian adanya suatu masalah dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian digunakan
untuk membuat atau merangsang peserta didik untuk belajar lebih lanjut dan juga merupakan suatu
strategi yang digunakan guru dalam membelajarkan suatu materi pokok (materi pelajaran) terkait
dengan kompetensi dasar yang dipilihnya dengan melalui pemberian masalah kepada peserta didik
untuk diselesaikannya. Pemberian masalah yang harus diselesaikan ini hanyalah sebagai alat atau
media agar peserta didik melakukan kegiatan belajar lebih lanjut.

2.

Kajian Teoritis dan Pembahasan

2.1.

Kemampuan Komunikasi Matematis

Menurut Artmanda W. dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia dan Kamus bahasa Indonesia
online secara terminology, komunikasi berarti pengiriman dan penerimaan atau berita antara dua
orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan; kontak. Komunikasi
adalah cara untuk berbagi (sharing) ide, gagasan dan mengklarifikasi pemahaman kepada
sesama.Dari beberapa pengertian ini dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses
penyampaian suatu informasi dari satu orang ke orang lain sehingga mereka mempunyai makna
yang sama terhadap informasi tersebut.
Dalam matematika, berkomunikasi mencakup ketrampilan/kemampuan untukmenelaah dan
merespon suatu informasi.Dalam komunikasi matematika, siswa dilibatkan secara aktif untuk
berbagi ide dengan siswa lain dalam mengerjakan soal-soal matematika.
Melalui komunikasi, ide matematika dapat dieksploitasi dalam berbagai perspektif; cara berfikir
siswa dapat dipertajam; pertumbuhan pemahaman dapat diukur; pemikiran siswa dapat
dikonsolidasikan dan diorganisir; pengetahuan matematika dan pengembangan masalah siswa
dapat ditingkatkan; dan komunikasi matematika dapat dibentuk. Sesuai dengan tingkatan atau
jenjang pendidikan maka tingkat kemampuan komunikasi matematika menjadi
beragam.Komunikasi matematis sangat penting karena matematika tidak hanya menjadi alat
berfikir yang membantu siswa untuk mengembangkan pola, menyelesaikan masalah dan menarik
kesimpulan tetapi juga sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikiran, ide dan gagasan secara
jelas, tepat dan singkat.
Ada banyak cara orang melakukan komunikasi, dapat dengan nyanyian, percakapan, tanda suara
tertentu, isyarat nonverbal, gambar, bahasa tubuh, kontak mata dan tulisan. Menurut Glynn dan
Muth (dikutip Wood, 2011) bahwa pengetahuan dan matematika digunakan sebagai wahana dalam
mengajar bahasa dan kedua adalah dimana bahasa digunakan untuk mengajarkan matematika atau
pengetahuan, dari contoh membaca dan menulis untuk mempelajari pengetahuan. Ake-Larsson
(2007) menyatakan bahwa ide umum berupa cara yang dapat dinyatakan siswa dalam matematika,
mengubah kemampuan untuk dipublikasikan atau ditunjukkan argumen secara logika dan
memberikan mereka beberapa pengalaman dalam komunikasi lisan dan tulisan. Sedangkan Lopatto
(2003:141) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi ada tiga, yaitu :
1) Kemampuan komunikasi lisan (Skill at oral communication)
2) Kemampuan komunikasi tulisan (Skill at written communication)
3) Kemampuan komunikasi melihat (Skill at visual communication)
454

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Indikator yang menunjukkan kemampuan komunikasi matematika adalah:


a. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika.
b. Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar.
c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematik.
Sebagai contoh, pemakalah mengambil materi segiempat dan segitigayang dihubungkan dengan
dunia nyata, sehingga menuntut siswa untuk mengumpulkan, mencatat, menginterpretasi,
menganalisis, mengkomunikasikan, dan merepresentasikan data yang sangat penting bagi proses
pembuatan keputusan. Kemampuan komunikasi matematis siswa dapat dilihat melalui indikator
sebagai berikut :
1) Menghubungkan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika,
maksudnyaadalah siswa dapat merefleksikan data ke dalam ide matematika berupa gambar
model. Dalam wacana ini, siswa dapat mengumpulkan, mencatat, menginterpretasikan serta
menganalisis data yang telah didapat, seperti menuliskan rumus keliling dan luas
persegipanjang, memisalkan harga sawah dengan simbol.
Contoh soal :
Diketahui bentuk permukaan sawah adalah persegi panjang. Panjang dari sisinya masingmasing adalah (4x - 2)m dan (2x - 1)m. sawah tersebut memiliki keliling 102 m.
a. Gambarkan model sawah tersebut!
b. Tentukan nilai x!
c. Hitunglah panjang sisi-sisi sawah!
d. Hitunglah luas sawah!
e. Berapakah uang yang akan diterima dari hasil penjualan sawah jika harga per m 2 adalah Rp
500.000,00?
2) Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar,
maksudnya adalah siswa dapat menjelaskan sebuah ilustrasi atau peristiwa ke dalam bentuk
matematika seperti aljabar, gambar model pada situasi atau ide matematika.
Contoh soal :
Ali mempunyai kawat sepanjang 18 cm. Ia ingin membuat model segitiga yang mempunyai
keliling 18 cm dari bahan kawat yang ia miliki tersebut. Model segitiga yang dibuat Ali
tersebut mempunyai panjang sisi berturut-turut 5 cm, 5 cm, dan 8 cm.
a. Gambarkan model segitiga yang dibuat oleh Ali!
b. Model segitiga yang dibuat Ali mempunyai dua sisi yang sama panjang yaitu 5 cm. Jenis
segitiga apakah yang dibuat Ali tersebut?
c. Tentukan rumus untuk menghitung keliling segitiga!
d. Gambarkan minimal 3 model segitiga lain yang mempunyai keliling 18 cm!
3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematik, dimaksudkan adalah
siswa dapat mengubah wacana dari peristiwa sehari-hari ke dalam bahasa matematika yang
bersifat informal ke formal. Sehingga siswa mampu menggunakan istilah, gambar, notasi atau
rumus matematika secara tetap.
Contoh soal :
Sebuah kapal nelayan bertolak dari pelabuhan untuk menangkap gerombolan ikan tuna yang
biasanya berkumpul di suatu titik dilepas pantai.Agar dapat menangkap ikan lebih banyak,
kapal nelayan tidak langsung menuju tempat tersebut, melainkan berlayar melewati jalur baru
yakni 12 km ke barat kemudian 35 km ke selatan.
a. Gambarkan model ilustrasi tersebut!
b. Berapa jarak yang ditempuh kapal dengan menggunakan jalur lurus?
c. Berapa total jarak yang ditempuh jika kapal dari kumpulan ikan kembali menuju pelabuhan
melewati jalur lurus?
d. Berapa luas pantai yang telah dilewati kapal dari pelabuhan kembali ke pelabuhan lagi?

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

455

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.2 Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)


Merupakan salah satu pembelajaran yang dapat membelajarkan siswa sehingga memiliki
keterampilan untuk menyelesaikan suatu masalah adalah melalui pembelajaran berbasis
masalah.Dimana pembelajaran ini dimulai dengan menghadirkan suatu masalah yang relevan
dengan kehidupan siswa, selanjutnya melalui peran guru sebagai fasilitator siswa dibimbing untuk
menyelesaikan permasalahan terebut.Suatu masalah dapat digunakan untuk mengenakan suatu
konsep atau melatih keterampilan, untuk itu penting bagi guru untuk dapat menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah dalam mengenalkan konsep ataupun melatih keterampilan suatu
konsep.
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Based Learning (PBL) adalah suatu
pembelajaran yang mengacu kepada pilar pendidikan
universal yang dimulai dengan
menghadapkan siswa pada masalah nyata atau masalah yang disimulasikan, bekerjasama dalam
suatu kelompok untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah (problem solving),
kemudian siswa mempresentasikannya sehingga siswa diharapkan menjadi seorang self directed
learner. Adapun langkah-langkah dalam proses pembelajaran berbasis masalah menurut Ibrahim
dan Nur dalam Ratnaningsih (Sumarmo,2013 : 380) sebagai berikut :
a. Mengorientasikan siswa pada masalah
b. Mengorganisasikan siswa untuk belajar
c. Membimbing siswa bekerja individual atau kelompok
d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Sears dan Hersh (Sumarmo, 2013 : 150), mengemukakan beberapa karakteristik PBM yaitu :
1) Masalah harus berkaitan dengan kurikulum
2) Masalah bersifat tak terstruktur, solusi tidak tunggal dan prosesnya bertahap
3) Siswa memecahkan masalah dan guru sebagai fasilitator
4) Siswa hanya diberi panduan untuk mengenali masalah dan tidak diberi formula untuk
memecahkan masalah
5) Penilaian berbasis performa autentik
Adapun langkah-langkah dalam proses pembelajaran berbasis masalah menurut Ibrahim dan Nur
dalam Ratnaningsih (Sumarmo, 2013 : 380) sebagai berikut :
1) Mengorientasikan siswa pada masalah
2) Mengorganisasikan siswa untuk belajar
3) Membimbing siswa bekerja individual atau kelompok
4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
5) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Apabila berbagai persyaratan dan ketrampilan pendidik serta pemelajar terpenuhi, PBM
mempunyai berbagai potensi manfaat/kelebihan (Amir, M.T, 2009 : 27), yaitu :
a. Menjadi lebih ingat dan meningkat pemahamannya atau materi ajar.
b. Meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan.
c. Mendorong untuk berfikir.
d. Membangun kerja tim, kepemimpinan, dan ketrampilan social.
e. Membangun kecakapan belajar.
f. Memotivasi pemelajar.
Disamping kelebihannya, pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa kekurangan dalam
pemanfaatannya, diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Kurang terbiasanya peserta didik dan pengajar dengan metode ini.
b) Kurangnya waktu pembelajaran.
c) Siswa tidak dapat benar-benar tahu apa yang mungkin penting bagi mereka untuk belajar.
d) Seorang guru sulit menjadi fasilitator yang baik.

456

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Adapun untuk menanggulangi berbagai macam kekurangan dalam PBL (Amir, M.T, 2009 : 85),
yaitu :
1) Pengelolaan diri sebagai kecakapan hidup, sebagai salah satu cara untuk memandang
bahwa tanggung jawab harus kita kenal dan kita pegang.
2) Memilih sumber pembelajaran, untuk mengevaluasi dan menggunakannya secara efektif
dan efisien.
3) Membaca dengan cerdas, tidak hanya sekedar memahami, tetapi mengingatnya juga.
4) Membuat perencanaan pembelajaran.
Menjadi pribadi yang kuat, bisa mengatasi kendala dalam pembelajaran dan dapat memotivasi
untuk melaksanakan PBL menjadi lebih baik.

2.3 Beberapa Studi Yang Relevan


Berdasarkan studi terhadap beberapa hasil penelitian secara umum diperoleh gambaran mengenai
pembelajaran dengan pembelajaran berbasis masalah yang dilaksanakan di sekolah menengah
memberikan hasil yang positif, baik mengenai hasil belajar maupun sikap siswa dalam
pembelajaran.
Dalam penelitian Husna (2013), yang berjudul Peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan
komunikasi matematik melalui Pendekatan Matematika Realistik pada siswa SMP kelas VII
Langsa, menyimpulkan hasil analisis penelitiannya bahwa : (1) peningkatan kemampuan
pemecahanmasalah matematik siswa yang memperoleh pendekatan matematika realistic lebih
tinggidari pada siswa yang memperoleh pembelajaran konversional, (2) tidak terdapat
interaksiantara pembelajaran dengan kemampuan awal siswa terhadap peningkatan
kemampuanpemecahan masalah, (3) peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa
yangmemperoleh pendekatan matematika realistik lebih tinggi daripada siswa yangmemperoleh
pembelajaran konversional, (4) tidak terdapat interaksi antara pembelajarandengan kemampuan
awal siswa terhadap peningkatan komunikasi matematik, (5) Prosespenyelasaian masalah yang
dibuat oleh siswa dalam menyelesaikan masalah padaPendekatan (PMR) lebih bervariasi daripada
Pendekatan Pembelajaran Konvensional.
Tasdikin (2012), telah melakukan penelitian yang berjudul Pembelajaran Berbasis Masalah untuk
Meningkatkan kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa yang
diperoleh hasil penelitiannya yaitu menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah secara
signifikan lebih baik dalam hal meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah
matematis siswa dibanding dengan pembelajaran konvensional. Adapun sikap siswa terhadap
pembelajaran berbasis masalah menunjukkan sikap yang yang positif.
Selain itu, penelitian Romadhina, D, (2007) yang berjudul Pengaruh Kemampuan Penalaran dan
Kemampuan Komunikasi Matematik terhadap Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Pada Pokok
Bahasan Bangun Ruang Sisi Lengkung Siswa Kelas IX SMP Negeri 29 Semarang Melalui Model
Pembelajaran Pemecahan Masalah. Menyimpulkan bahwa ada pengaruh antara kemampuan
penalaran dan kemampuan komunikasi matematik terhadap kemampuan menyelesaikan soal cerita
pada pokok bahasan bangun ruang sisi lengkung siswa kelas IX SMP melalui model pembelajaran
pemecahan masalah.

Kesimpulan

Dari semua ranah-ranah pada mata pelajaran matematika, salah satunya adalah menuntut para
siswa untuk mengkomunikasikan penalaran secara singkat dan padat. Diharapkan siswa dapat
menuliskan tentang pemanfaatan matematika melalui ide atau gagasan mereka sehingga secara
efektif memasukkan bentuk-bentuk matematis seperti persamaan, perhitungan, grafik, diagram atau
tabel. Dalam hal ini diasumsikan bahwa siswa dapat berkolaborasi untuk menjelaskan penalaran

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

457

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

mereka dalam bentuk tulisan ataupun lisan kepada guru, diskusi kelas, teman sekelompok ataupun
pada siswa kelompok lainnya. Diharapkan juga siswa dapat mengkomunikasikan dan
mengaplikasikannya ke masyarakat baik lingkungan didalam maupun luar sekolah.
Pembelajaran berbasis masalah dipandang oleh penulis sebagai pembelajaran yang tepat dalam
meningkatkan kemampuan komunikasi matematis. Siswa diberi masalah dan mengkonstruksi
sendiri pengetahuannya hingga akhirnya menemukan pemahaman baru pada proses
mengkomunikasikan masalahnya. Pengetahuan yang diperolehnya tentu saja tidak akan mudah
lupa karena siswa menemukan sendiri pengetahuannya, siswa yang sudah memahami dan mampu
memecahkan permasalahan yang disajikan tentunya tidak akan takut untuk menghadapi
permasalahan-permasalahan selanjutnya. Hal itulah yang diharapkan oleh pendidik yang
menerapkan pembelajaran berbasis masalah.

DAFTAR PUSTAKA
Ake-Larsson. (2007). Communication of MathematicsAs a Tool to Improve Students General
Communicative Skills. In Proceedings of the 3rd International CDIO Conference, MIT,
Cambridge, Massachusetts, USA, June 11 14, 2007. [Online].Tersedia : http://cdio.org[20
Nopember 2014]
Amir, M.T. (2009).Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Artmanda W., Frista. ny. Kamus lengkap bahasa Indonesia. Jombang : Lintas Media.
Herdian
(2010).Kemampuan
Komunikasi Matematika.
[Online].
Tersedia:
http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-komunikasi matematis/
[20 Nopember 2014]
Herman, T. (2007).Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan
Berpikir
Matematik
Tingkat
Tinggi
Siswa
Sekolah
Menengah
Pertama.[Online].Tersedia:http://file.upi.edu/Direktori/JURNAL/EDUCATIONIST/Vol._I
_No._1Januari_2007/6._Tatang_Herman.pdf[21 Nopember 2014]
Lidinillah, A.M. (2014). Konsep Dasar Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem
Based Learning.(PBL).[Online]. Tersedia:
http://file.upi.edu/Direktori/kdtasikmalaya/dindin abdul muiz lisinillah (kdtasikmalaya)19790[22 Nopember 2014]
Tandiling, E. (2012). Pengembangan Instrumen untuk Mengukur Kemampuan Komunikasi
Matematik
Siswa
Sekolah
Menengah
Atas.[Online].
Tersedia:
http://www.academia.edu/5164612/Pengembangan instrumen untuk mengukur kemampuan
komunikasi matematik siswa sekolah menengah atas
[22 Nopember 2014]
Tasdikin (2012). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan kemampuan Komunikasi
dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa. S2 thesis, Universitas Pendidikan
Indonesia.[Online]. Tersedia: http://repository.upi.edu/id/eprint/10445[22 Nopember 2014]

458

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PEMBELAJARANMANAJEMEN DIRI DENGAN SELF


REINFORCEMENT UNTUK MENINGKATKAN
PENGUASAAN BILANGAN BULAT
SISWA SMP
Harti Wijayanti
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
whartiwijayanati@yahoo.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengatasi kesulitan belajar siswa khususnya dalam
menguasai bilangan bulat.Penelitian dilakukan padasiswa kelas VII yang dianggapkurang
mampu melaksanakan operasi aljabar untuk bilangan bulat.Penelitian dilakukan dalam tiga
siklus.Padasetiap siklussiswa diberi motivasi untuk membangun penguatan diri dengan
membuat ikrar sebagai pemicu diri untuk belajar. Setelah siswa membuat ikrar dan berjanji
akan melaksanakan ikrar secara baik penguatan diri melalui self reinforcement diiringi dengan
bimbingan belajar. Kegiatan bimbingan belajar dipimpin langsung oleh peneliti dan didukung
oleh dua orang guru matematika.Dari pelaksanaan siklus pertama dimana siswa dibagi dalam
tiga kelompok yaitu merah, biru dan hijau. Kelompok merah terdiri dari 12 orangsiswa
memiliki tingkat kelulusan dalam penguasaan materi sebesar 33,33%, kelompok biru dari 14
orangsiswalulussebesar 35,71 % dan kelompok hijau terdiri dari 14 siswa lulus 50%. Pada
siklus kedua kelompok merah terdiri dari 12 orang siswa memiliki tingkat kelulusan dalam
penguasaan materi sebesar 66,66%, kelompok biru dari 14 orang siswa lulus sebesar 78,57 %
dan kelompok hijau terdiri dari 14 siswa lulus 92,85%. Pada siklus ketiga kelompok merah
terdiri dari 12 orang siswa memiliki tingkat kelulusan dalam penguasaan materi sebesar
83,33%, kelompok biru dari 14 orang siswa lulus sebesar 92,85 % dan kelompok hijau terdiri
dari 14 siswa lulus 100 %.
Kata Kunci: Pembelajaran Manajemen Diri, Self Reinforcement

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Penguasaan atas operasi bilangan bulat, sangat dibutuhkan bagi siswa sekolah Menengah Pertama
(SMP) untuk dapat memahami dan menguasai materi lanjutan pada bidang studi
matematika.Bahkan kemampuan menguasai operasi bilangan bulat juga sangat dibutuhkan dalam
mempelajari materi bidang studi lainnya. Dari informasi yang disampaikan oleh guru bidang studi
matematika, dikatahui bahwa penguasaan siswa tentang operasi bilangan bulat sering menjadi
kendala bagi siswa untuk dapat menyelesaikan masalah, terutama untuk operasi bilangan
rasional.Informasi yang sama juga didapat dari beberapa guru bidang studi matematika, sehingga
banyak waktu yang tersita oleh guru bidang studi matematika hanya untuk mengulangi kembali
operasi bilangan bulat, agar siswa tidak mengalami hambatan dalam menyelesaikan materi
hitungan lanjutan. Dengan mengacu pada kondisi tersebut, perlu kiranya dilakukan langkah konkrit
untuk dapat membantu siswa dalam menguasai operasi bilangan cacah sejak dini. Bila kenyataan
tersebut tidak segera di atasi, maka jelas pada akhirnya kondisi tersebut akan berakibat buruk bagi
perkembangan pembelajaran dan peningkatan hasil belajar siswa.Sebagai kepala sekolah yang
bertanggung jawab terhadap proses pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung di SMP Negeri
1 Purwakarta.
sebagai guru bidang studi matematika, saya merasa terpanggil untuk dapat mengatasi masalah yang
sangat menghambat peningkatan proses pembelajaran matematika. Karena kondisi tersebut tidak

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

459

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

hanya berpengaruh pada peningkatan hasil belajar matematika tetapi juga berdampak kurang positif
bagi usaha peningkatan pembelajaran bidang studi matematika.Berdasarkan kurikulum 2013 yang
saat ini digunakan materi operasi bilangan bulat disampaikan pada siswa kelas VII.Dan
sebelumnya materi ini juga disampaikan pada tingkat sekolah Tingkat Pertama kelas VII.Namun
kenyataannya pembelajaran yang telah dilalui siswa di sekolah dasar tidak memberi kesan
mendalam sehingga tidak mampu bertahan lama dalam ingatan siswa.Lemahnya kemampuan siswa
memahami dan menguasai materi ajar yang telah disampaikan tersebut tentu dipengaruhi oleh
banyak hal.Salah satu faktor yang dapat digunakan untuk meningkatkan penguasaan siswa dapat
dilakukan dengan pengutan diri (self reinforcement). Adanya penguatan diri dari peserta didik akan
mendorong siswa untuk lebih aktif melatih diri dan berusaha memenuhi kebutuhannya dalam
menguasai materi pelajaran.Proses penguatan diri dapat dilakukan dengan mengarahkan perilaku
dan tindakan belajar siswa untuk dapat mencapai prestasi atau tujuan belajar yang telah disepakati
antara siswa dengan guru.
Agar tindakan belajar dapat terfokus, penguatan diri dapat dilakukan dengan memberikan hadiah
atau reward, keinginan untuk meraih hadiah dan memenangkan persaingan akan sarat besar
pengaruhnya terhadap kegiatan dan hasil belajar yang dapat dicapai. Berpedoman pada kenyataan
di atas diduga bahwa manajemen diri dengan self reinforcement dapat digunakan dalam upaya
meningkatkan penguasaan siswa terhadap operasi bilangan bulat pada siswa kelas VII SMP Negeri
1 Purwakarta
1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1) Bagaimana strategi guru dalam mengembangkan manajemen diri siswa melalui penguatan
diri (self reinforcement)
2) Apakah siswa dapat melakukan proses penguatan diri sebagai langkah untuk mendorong
perilaku belajar siswa ?
3) Apakah manajemen diri dengan self reinforcement dapat digunakan dalam membantu
siswa mengembangkan kemampuan operasi bilangan bulat ?
1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah dapat mengatasi kesulitan belajar siswa dan
untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada bidang studi matematika melalui manajemen diri
dengan penguatan diri (self reinforcement). Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari
penelitian tindakan kelas ini antara lain :
1) Meningkatkan kemampuan siswa dalam mengoperasikan bilangan bulat.
2) Membangun rasa percaya diri siswa dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
operasi hitung bilangan bulat.
3) Meningkatkan hasil belajar mata pelajaran matematika dan membantu siswa
menyelesaikan masalah yang berkenaan dengan operasi hitung pada bidang studi lain

2.

Metode Penelitian

2.1 Setting Penelitian


Setting penelitian adalah proses yang dilakukan dalam upaya memperbaiki kemampuan siswa
menguasai operasi bilangan bulat yang meliput :
a. Operasi penjumlahan
b. Operasi pengurangan
c. Operasi perkalian
d. Operasi pembagian

460

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.2 Tempat Penelitian


Penelitian tindakan kelas dilaksanakan di SMP Negeri 1 Purwakarta untuk bidang studi
matematika.
2.3 Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada awal tahun ajaran baru 2014/2015, yaitu bulan Agustus sampai
dengan Oktober 2014. Penentuan waktu penelitian mengacu pada kalender akademik sekolah, dan
dilakukan sebagai usaha meningkatkan penguasaan siswa dalam materi operasi bilangan bulat
sebagai alat bantu untuk memahami materi pelajaran lain
2.4 Siklus PTK
Penelitian tindakan kelas (PTK) dilaksanakan dalam tiga siklus untuk melihat peningkatan
penguasaan siswa pada operasi bilangan bulat melalui metode penguatan diri.
2.5 Persiapan PTK
Persiapan penelitian tindakan kelas (PTK) membuat berbagai input instrumental yang akan
digunakan untuk memberi perlakuan dalam penelitian tindakan kelas (PTK) yang meliputi : 1.
lembar kerja siswa, 2. lembar evaluasi.
3. Subyek Penelitian
Subyek penelitian tindakan kelas adalah siswa kelas VII yang terdiri dari 40 orang siswa yang
dianggap sulit menguasai operasi bilangan bulat.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari beberapa sumber yakni siswa guru bidang studi, wali
kelas serta pengawas sebagai kolaborator. Sumber data dari siswa dimaksudkan untuk memperoleh
masukan tentang perilaku belajar dan pengaruh penguatan diri terhadap penguasaan siswa dalam
operasi bilangan bulat. Guru bidang studi merupakan sumber untuk mengetahui perubahan
penguasaan siswa dalam operasi bilangan bulat, sebagai alat bantu untuk menyelesaikan masalah
pada proses pembelajaran lanjutan.
5. Pengawas dan Kolaborator
Pengawas dan kolaborator dimaksudkan sebagai sumber data untuk mengukur penerapan penelitian
tindakan kelas secara komprehensif, baik dari sisi siswa maupun guru.
6. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
a) Tes : dipergunakan untuk mendapatkan data tentang penguasaan siswa terhadap operasi
bilangan bulat.
b) Observasi : dipergunakan untuk mengumpulkan data tentang perubahan perilaku belajar siswa.
c) Wawancara : dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang tingkat keberhasilan penguatan
diri terhadap kegiatan belajar siswa.
d) Diskusi antara guru, pengawas, dan kolaborator dimaksudkan untuk refleksi hasil siklus PTK.
7. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpul data dalam penelitian tindakan kelas (PTK) meliputi tes, observasi, wawancara,
kuesioner dan diskusi sebagaimana berikut ini ;
a) Tes ; menggunakan butir soal/instrument soal untuk mengukur hasil belajar siswa.
b) Observasi ; menggunakan lembar observasi untuk mengukur tingkat penguatan diri siswa
dalam proses pembelajaran.
c) Wawancara ; menggunakan panduan wawancara untuk mengetahui pendapat atau sikap
tentang metode penguatan diri dalam proses pembelajaran.
d) Diskusi ; menggunakan lembar hasil pengamatan.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

461

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

8. Analisis Data
Analisis data penelitian dilakukan terhadap informasi yang diperoleh dari siswa, hasil dan
wawancara yang dilakukan dengan guru bidang studi matematika dan guru bidang studi IPA,
wawancara ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana pengaruh metode penguatan diri terhadap
penguasaan siswa terhadap konsep operasi bilangan bulat.
Beberapa data yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah :
1) Hasil belajar siswa yang diperoleh melalui evaluasi atas proses pembelajaran selanjutnya
dianalisis melalui penghitungan rata-rata, median dan modus.
2) Tanggung jawab belajar yang dikaitkan dengan metode penguatan diri yang dibangun oleh
siswa.
3) Aktivitas belajar siswa setelah pelaksanaan pembelajaran dan pemberian metode penguatan
diri sebagai kontrol individu dalam melaksanakan tugas kerjanya.
4) Wawancara dengan guru bidang studi, untuk mengukur perubahan diri dan peningkatan
kemampuan melakukan operasi bilangan bulat.
9. Prosedur Penelitian
Siklus I
Beberapa langkah kegiatan yang berlangsung pada pelaksanaan siklus pertama dalam PTK ini
terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi sebagai berikut :
1) Perencanaan (Planning)
a) Menganalisis kesulitan belajar yang dialami siswa secara perorangan mengevaluasi faktor
penghambat siswa untuk menguasai operasi bilangan bulat
b) Mengelompokkan siswa berdasarkan kesulitan belajar yang dialami sehingga akan
terbentuk beberapa kelompok belajar sesuai dengan karakteristik yang berbeda
c) Menyusun materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa dalam membangun
kompetensi dalam operasi bilangan bulat.
d) Mengembangkan strategi penguatan diri dalam kegiatan belajar, khususnya dalam
mempelajari materi operasi bilangan bulat
e) Menyusun alat evaluasi pembelajaran.
2)
a)
b)
c)
d)

h)

Pelaksanaan (Acting)
Membagi siswa dalam kelompok belajar sesuai dengan kesulitan yang dialami
Menyajikan materi pelajaran sesuai dengan kemampuan siswa berdasarkan kelompok
Menuntun siswa untuk berdiskusi menyelesaikan masalah
Membangun penguatan diri bagi peserta didik sesuai keinginan dan keyakinan yang
dimiliki
Guru bersama siswa melatih kemampuan menyelesaikan masalah dan memahami konsep
operasi bilangan bulat
Siswa diberikan kesempatan untuk berlatih secara mandiri
Guru memberikan kuis dengan mengingatkan tentang konsep penguatan diri yang
diikrarkan sebelumnya
Melakukan pengamatan atau observasi

3)
1)
2)
3)

Pengamatan (Observation)
Situasi kegiatan belajar mengajar
Tanggung jawab siswa dalam belajar
Komitmen siswa dalam menepati janji sebagai faktor penguatan diri.

e)
f)
g)

4) Refleksi (Reflecting)
Sebagai acuan keberhasilan belajar, sebelumnya ditetapkan bahwa penelitian dianggap
berhasil manakala siswa berhasil mencapai skor yang telah ditetapkan sebagai berikut :
1) Siswa dianggap mampu menguasai konsep bilangan bulat jika mencapai nilai > 70
2) Siswa yang telah mampu menguasai satu konsep diperkenankan mempelajari konsep
berikut

462

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3) Siswa yang belum mampu menguasai konsep yang disampaikan harus mengulangi setiap
materi yang disampaikan.
Siklus II
Seperti halnya siklus pertama, pelaksanaan siklus ke dua dibagi dalam empat kegiatan yang
diantaranya terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi.
1) Perencanaan (Planning)
Peneliti membuat rencana pembelajaran berdasarkan hasil refleksi pada siklus pertama.
2) Pelaksanaan (Acting)
Guru melaksanakan pembelajaran dengan menyampaikan konsep operasi bilangan bulat
setelah siswa dianggap mampu menguasai konsep operasi bilangan bulat pada siklus pertama.
3) Pengamatan (Observation)
Pengamatan dilakukan pada siklus kedua, identik dengan pengamatan yang dilakukan pada
siklus pertama yang terdiri dari :
a) Situasi kegiatan belajar mengajar
b) Tanggung jawab siswa dalam belajar
c) Komitmen siswa dalam menepati janji sebagai faktor penguatan diri
4) Refleksi (Reflection)
Refleksi pada siklus kedua didasarkan atas kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada siklus
kedua, hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang ditemui pada
pelaksanaan siklus kedua. Dan selanjutnya akan diterapkan pada pelaksanaan siklus ketiga.
Siklus III
Pelaksanaan siklus ke tiga dilakukan atas dasar perbaikan kegiatan yang dialkukan pada siklus
kedua, kegiatan yang dilaksanakan pada siklus ketiga identik dengan kegiatan yang dilakukan
pada siklus pertama dan siklus kedua, yang diantaranya :
1) Perencanaan (Planning)
Perencanaan yang disusun berdasarkan usaha perbaikan terhadap kelemahan yang terjadi pada
pelaksanaan siklus kedua.
2) Pelaksanaan (Acting)
Pelaksanaan kegiatan pada siklus ketiga dilakukan sesuai dengan usaha perbaikan dari
pelaksanaan yang telah dilaksanakan pada siklus kedua.
3) Pengamatan (Observation)
Pengamatan dilakukan pada siklus ketiga, identik dengan pengamatan yang dilakukan pada
siklus sebelumnya yang terdiri dari:
a) Situasi kegiatan belajar mengajar
b) Tanggung jawab siswa dalam belajar
c) Komitmen siswa dalam menepati janji sebagai faktor penguatan diri
4) Refleksi (Reflecting)
Pelakssanaan refleksi siklus ketiga didasarkan atas masukan yang diperoleh dari pelaksanaan
siklus kedua.Dan diharapkan berbagai kekurangan dan kelemahan yang terjadi dapat teratasi
sehingga siswa mampu menguasai operasi bilangan bulat dengan baik.

10. Hasil Penelitian dan dan Pembahasan


Dari hasil evaluasi yang dilakukan pada siklus pertama diperoleh data hasil belajar sebagai berikut :
Tabel 4.1. Nilai Rata-Rata Dan Tingkat Kelulusan Pada Siklus I
Kelompok
Jumlah
Belum
Lulus
Nilai RataPersen
Siswa
Lulus
Rata
Lulus
Merah
12
8
4
58.41
33.33333
Biru
14
9
5
63.92
35.71429
Hijau
14
7
7
67.14
50
Dengan berpedoman pada data yang tertera pada tabel di atas, jelas bahwa penguasaan siswa
terhadap operasi bilangan bulat masih jauh dari harapan. Kelompok merah yang terdiri dari 12

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

463

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

orang siswa, hanya 4 orang siswa yang dapat lulus dalam mempelajari operasi hitung bilangan
bulat negatif dengan rata-rata hasil belajar 58,41. Kelompok biru yang terdiri dar 14 orang siswa,
hanya 5 orang siswa yang dapat lulus dalam mempelajari operasi hitung bilangan rasional dengan
rata-rata hasil belajar 63,92. Kelompok hijau yang terdiri dari 14 orang siswa, hanya 7 orang siswa
yang dapat lulus dalam mempelajari operasi hitung bilangan decimal dengan rata-rata hasil belajar
67,14.Dari hasil evaluasi yang dilakukan pada siklus kedua diperoleh data hasil belajar sebagai
berikut :
Tabel 4.2. Nilai Rata-Rata dan Tingkat Kelulusan Pada Siklus II
Kelompok
Jumlah
Belum
Lulus
Nilai RataPersen Lulus
Siswa
Lulus
Rata
Merah
12
4
8
70.8333333
66.66667
Hijau
14
3
11
72.8571429
78.57143
Biru
14
1
13
72.8571429
92.85714
Dengan berpedoman pada data yang tertera pada tabel di atas, jelas bahwa penguasaan siswa
terhadap operasi bilangan bulat mulai mengalami perubahan. Kelompok merah yang terdiri dari 12
orang siswa, yang mampu lulus dan menguasaimateri pembelajaran sebanyak 8 dan 4 orang siswa
belum mampu lulus dengan rata-rata hasil belajar 70,83. Kelompok biru yang terdiri dari 14 orang
siswa, 11 orang mampu lulus dengan baik dengan mempelajari operasi hitung bilangan rasional
dengan rata-rata hasil belajar 72,85. Kelompok hijau yang terdiri dari 14 orang siswa, hanya 13
orang siswa yang dapat lulus dan 1 orang siswa belum lulus dalam mepelajari operasi hitung
bilangan decimal dengan rata-rata hasil belajar 72,85.Dari hasil evaluasi yang dilakukan pada
siklus ketiga diperoleh data hasil belajar sebagai berikut :
Tabel 4.3 Nilai Rata-Rata dan Tingkat Kelulusan pada Siklus III
Kelompok
Jumlah
Belum
Lulus
Nilai RataPersen Lulus
Siswa
Lulus
Rata
Merah
12
2
10
72.5
83.3333
Hijau
14
1
13
75
92.85714
Biru
14
0
14
76.7857143
100
Dengan berpedoman pada data yang yang tertera pada tabel di atas, terjadi peningkatan
kemampuan siswa dalam menguasai operasi aljabar pada bilangan bulat. Pada siklus ketiga seluruh
siswa pada kelompok hijau dapat menyelesaikan beban belajar dengan rata-rata hasil belajar 76,78.
Pada kelompok biru masih tersisa 1 orang siswa yang belum mampu menyelesaikan beban belajar
dengan rata-rata hasil belajar 75.Selanjutnya pada kelompok merah terdapat 2 orang siswa yang
belum mampu menyelesaikan beban belajarnya.
11. Kesimpulan dan Saran
Dengan mengacu pada data hasil penelitian serta kondisi yang terjadi dalam pelakanaan penelitian
dapat disusun beberapa keimpulan yang diantaranya adalah :
1) Penerapan metode penguatan diri dapat digunakan meningkatkan tanggung jawab belajar dan
pada akhirnya mampu meningkatkan hasil belajar siswa.
2) Faktor utama keengganan siswa mempelajari pelajaran matematika adalah rendahnya
kemampuan siswa menguasai konsep dasar operasi bilangan bulat.
3) Ikrar yang disampaikan siswa sebagai penguatan diri dalam belajar perlu selalu diingatkan agar
siswa dapat tetap berada pada batasan yang telah mereka ucapkan.
4) Dari hasil observasi terlihat bahwa terjadi peningkatan tanggung jawab belajar siswa,
khususnya pada siklus kedua, dimana siswa bersedia untuk terlambat pulang sebelum mereka
menyelesaikan dengan baik tugas belajar yang diberikan guru.
5) Peningkatan yang signifikan dari rata-rata hasil belajar yang dicapai siswa dan jumlah siswa
yang menguasai operasi hitung bilangan bulat.
Metode penguatan diri dapat digunakan sebagai faktor pendukung timbulnya tanggung jawab
belajar dalam diri siswa.Hal ini terbukti dari adanya peningkatan hasil belajar siswa dan
peningkatan jumlah siswa yang mampu menguasai operasi hitung bilangan bulat. Selanjutnya
464

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

disarankan beberapa langkah untuk mengoptimalkan peran metode penguatan diri dalam
membangun tanggung jawab belajar dalam usaha meningkatkan hasil belajar siswa diantaranya :
1) Guru perlu memiliki langkah untuk memahami kondisi siswa dan menggunakan momen dan
peran tertentu yang mampu meningkatkan tanggung jawab belajar siswa.
2) Dengan menggunakan metode penguatan diri, guru harus terampil menyusun ikrar atau janji
yang harus dipatuhi siswa.
3) Bila dibutuhkan guru perlu memberi hadih atau reward pada siswa yang mampu menguasai
menyelesaikan beban belajar dengan baik

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2005).Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta : Bumi Aksara.
Chairani, Z. (2003).Dasar-Dasar Evaluasi Penelitian Tindakan Kelas.Banjarmasin : LPMP.
Depdiknas.(1997).Sumber dan Media Pembelajaran IPS.Pusat.
Djahiri, A.K. (1997).Membina PIPS/PIS dan PPS yang Menjawab Tantangan Hari Esok. Jurnal
Pendidikan Ilmu Sosial 1 (1) : 142.
Ibrahim, M. (2000).Model Pembelajaran Kooperatif.Surabaya : University Press.
Natawijaya, R. (1985).Cara Belajar Siswa Aktif dan Penerapannya Dalam Metode Pembelajaran.
Jakarta : Direktorat Jenderak Dikdasmen, Depdiknas.
Nasution, S. (1989).Dikdaktik Azas-Azas Mengajar. Bandung : Jermnas.
Rochman Natawijaya. (1997).Konsep Dasar Penelitian Tindakan (Action Research).Bandung :
IKIP Bandung.
Saman, Mahlan. (2002.,Penelitian Tindakan Kelas. Banjarmasin : Unlam.
Suprayekti.(2003).Interaksi Belajar Mengajar.Jakarta : Direktorat Tenaga Kependidikan.
Sukarnyana.(2002).Penelitian Tindakan Kelas.Malang : PPPGS IPS dan PMP.
Suryosubroto.(1997).Proses Belajar Mngajar di Sekolah.Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Wiraatmadja, R. (2006). Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung : Rosda Karya.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

465

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN PENDEKATAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW


DENGAN MEDIA PAPAN TAKUR UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN
MATEMATIKA MATERI BILANGAN BULAT SISWA SMP
Eko Suharyanto
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
ekomat80@gmail.com

ABSTRAK
Kompetensi guru dalam pelaksanaan interaksi belajar mengajar mempunyai indikator,
mampu membuka pelajaran, mampu menyajikan materi, mampu menggunakan
metode/strategi, mampu menggunakan media/ alat peraga, mampu menggunakan bahasa
yang komutatif, mampu memotivasi siswa, mampu mengorganisasi kegiatan, mampu
menyimpulkan pelajaran, mampu memberikan umpan balik, mampu melaksanakan
penilaian, dan mampu menggunakan waktu. Salah satu keberhasilan pembelajaran adalah
model pembelajaran yang diterapkan. Prestasi belajar siswa, khususnya dalam pembelajaran
bilangan bulatbelum mencapai hasil yang memuaskan masih banyak siswa yang mengalami
kesulitan dalam memahami materi tersebut sehingga hasilnya belum mencapai nilai ketuntasan.
Dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif penulis mencoba melakukan penelitian
tentang Penerapan Pendekatan Kooperatif Tipe Jigsaw Dengan Media Papan Takur Untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematika Materi Bilangan Bulat Siswa SMP.
Dengan penelitian ini diharapkan dapat ditemukan suatu cara pembelajaran yang dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa dan aktivitas siswa dalam proses belajar. Penelitian
dilakukan dalam 2 siklus, hasil tes akhir siklus 1 masih banyak siswa yang memperoleh nilai
dibawah ketuntasan minimal karena yang mencapai nilai ketuntasan minimal baru mencapai
53,57% dan aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung baru mencapai 70%.
Hasil siklus 2 siswa yang mencapai nilai ketuntasan naik menjadi 86,11% dan aktivitas siswa
selama proses pembelajaran berlangsung 99%. Dari hasil pengolahan data tes akhir siklus i dan
siklus 2, ternyata Penerapan Pendekatan Kooperatif Tipe Jigsaw Dengan Media Papan Takur
dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan keaktifan siswa. Maka dari itu, penulis
menyimpulkan Penerapan Pendekatan Kooperatif Tipe Jigsaw dengan Media Papan Takur
pada poko bahasan Bilangan Bulat dapat meningkatkan hasil belajar siswadan aktivitas siswa
di kelas 7A SMP Negeri 2 Cipeundeuy Kabupaten Bandung Barat.
Kata Kunci: Pemahaman, Kooperatif Tipe Jigsaw

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Kompetensi guru dalam pelaksanaan interaksi belajar mengajar mempunyai indikator,


mampu membuka pelajaran, mampu menyajikan materi, mampu menggunakan
metode/strategi, mampu menggunakan media/ alat peraga, mampu menggunakan bahasa
yang komutatif, mampu memotivasi siswa, mampu mengorganisasi kegiatan, mampu
menyimpulkan pelajaran, mampu memberikan umpan balik, mampu melaksanakan penilaian,
dan mampu menggunakan waktu. (Departemen Pendidikan Nasional, 2004 ; 13 14).
Mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran abstrak dan sangat banyak penerapan dan
kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari salah satu kemampuan yang harus dimiliki diantaranya
kemampuan pemahaman matematika. Dasar atau pondasi materi matematika adalah penjumlahan,
pengurangan, perkalian dan pembagian, sehingga kemampuan pemahaman tentang dasar operasi
hitung harus benar-benar bisa tapi kenyataannya jauh sekali dengan yang diharapkan padahal
466

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

materi tersebut sudah didapatkan sejak dini. Apalagi jika kita ukur dengan hasil ulangan harian atau
pretes yang dicapai siswa masih banyak yang dibawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).
Pembelajaran matematika sekolah sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
KTSP mengisyaratkan bahwa salah satu aspek penting dalam pembelajaran matematika sekolah
adalah pengembangan kemampuan pemahaman siswa. Schonfeld (Sumarmo, 2002:631)
menambahkan bahwa Matematika merupakan proses yang aktif, dinamik, generatif dan
eksploratif, berarti bahwa proses matematika dalam penarikan kesimpulan merupakan kegiatan
yang membutuhkan pemikiran dan pemahaman tingkat tinggi. Artinya proses pembelajaran yang
melibatkan siswa secara aktif, dinamik dan eksploratiflah yang sesuai dengan pembelajaran
matematika sehingga meningkatkan pemahaman matematika siswa.
Dari hasil pengamatan bahwa dilapangan masih banyak terdapat siswa SMP yang kesulitan
pemahaman tentang operasi hitung penjumlahan dan pengurangan. Dalam penelitian tindakan
kelas ini, peneliti mencoba salah satu bentuk pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan. Dalam penyampaian pembelajaran ini peneliti menggunakan media/alat
peraga Papan Takur (Tambah dan Kurang) dalam bilangan bulat. dengan urutan
pembelajaranya sebagai berikut: Guru membagi siswa menjadi kelompok-kelompok kecil,
kemudian alat peraga Takur kita bagikan kepada masing-masing kelompok sebanyak 1 set.
Guru memperagakan alat peraga Takur itu untuk menjumlahkan dan mengurangkan dua
bilangan bulat.
1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, dalam penelitian ini dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1) Bagaimana penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan media Papan Takur
(Tambah dan Kurang) dapat meningkatkan kemampuan pemahaman siswa pada materi
operasi hitung bilangan bulat kelas VII ?
2) Bagaimana penerapan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw media Papan Takur (Tambah dan
Kurang) dapat meningkatkan keaktifan siswa pada materi operasi hitung bilangan bulat kelas
VII ?
1.3.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat pada penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menelaah tentang:
1) Untuk meningkatkan kemampuan pemahaman siswa pada materi operasi hitung bilangan
bulat kelas VII
2) Untuk meningkatkan keaktifan siswa pada materi operasi hitung bilangan bulat kelas VII.
3) Memberikan pembelajaran tentang pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan media
Papan Takur (Tambah dan Kurang) guna membantu mengatasi kesulitan siswa dan
meningkatkan kemampuan pemahaman siswa terhadap materi bilangan bulat serta
menjadi salah satu alternatif dalam pembelajaran.
4) Memberikan pengalaman langsung bagi siswa dalam menerapkan pembelajaran
kooperatif dengan menggunakan media serta memberikan dorongan untuk meningkatkan
kemampuan pemahaman matematika.
5) Hasil penelitian ini dapat digunakan bagi pembelajaran matematika untuk
meningkatkan kemampuan pemahaman matematika.

2.

Kajian Teoritis

2.1.

Kemampuan Pemahaman Matematik

Pemahaman merupakan salah satu aspek dari ranah kognitif dalam Taksonomi Bloom yang
dikemukakan oleh Benyamin S Bloom. Pemahaman diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi
pelajaran yang dipelajari. Ada tiga aspek dalam pemahaman, yaitu kemampuan mengenal,
kemampuan menjelaskan, dan menarik kesimpulan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

467

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.2.

Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Pembelajaran kooperatif jigsaw adalah tipe pembelajaran yang mendorong siswa aktif dan saling
membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi maksimal. Tahapan-tahapan
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, diantaranya :
a. Menbentuk kelompok asal secara heterogen dengan jumlah anggota sebanyak 4-5 orang;
b. Tiap orang dalam kelompok asal mendapat bagian masalah yang berbeda;
c. Membentuk kelompok ahli untuk membahas materi/masalah yang sama;
d. Kembali ke kelompok asal untuk menyampaikan hasil diskusi kepada teman-temannya;
e. Diskusi kelompok asal;
f. Mempersentasikan hasil diskusi kelompok asal didepan kelas
g. Melakukan evaluasi dan refleksi.
2.3 Media Pembelajaran
Untuk mengembangkan pemahaman dan keterampilan secara optimal
dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang media. Pengetahuan itu meliputi:
1. Media sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan proses belajar
mengajar,
2. Fungsi media dalam rangka mencapai tujuan pendidikan,
3. Hubungan antara metode mengajar dan media pendidikan,
4. Nilai atau manfaat media pendidikan dalam pengajaran,
5. Berbagai jenis alat dan teknik media pendidikan,
6. Usaha inovasi dalam media pendidikan dan lain-lain.
Dititik dari beberapa pokok yang telah di kemukakan diatas, jelaslah bahwa media
pendidikan merupakan dasar yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi dan
merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan dan usaha pengajaran di
sekolah. (Hamalik, 1980 : 15-16). Pada penelitian ini akan menggunakan media berupa Papan
Takur (Tambah dan Kurang), yang bentuknya sebagai berikut :
PAPAN MEDIA TAKUR (TAMBAH DAN KURANG)

OPERAS
I

Start

468

Bilangan Bulat (Penjumlahan dan Pengurangan)/


ekomat80@gmail.com
(+)
Posi
tif
(-)
Neg
atif

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

PILIHAN

PILIHAN
(+) x (+) =
(+) x (-) = (-)
(-) x (+) = (-)
(-) x (-) = (+)

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.

Metode Penelitian

3.1 Subjek dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII SMP Negeri 2 Cipeundeuy Kabupaten Bandung
Barat dengan jumlah siswa sebanyak 36 siswa. Penelitian dilaksanakan selama dua
bulan dari tanggal Juli s.d Agustus 2013
3.2 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini digunakan dalam 2 siklus dengan masing-masing tiga tahap, yaitu
tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap analisis data.
1) Tahap Persiapan
a. Merancang instrument penelitian
b. Melakukan uji coba instrument penelitian dan dianalisis daya pembeda, tingkat
kesukaran, validitas, dan reabilitas instrument tersebut.
2) Tahap pelaksanaan
a. Melaksanakan pretes untuk mengukur kemampuan pemahaman matematik
siswa.
b. Melaksanakan pembelajaran menggunakan media Papan Takur (Tambah dan
Kurang) yang sudah disiapkan.
3) Tahap Evaluasi
a. Melakukan evaluasi dan melakukan pengujian hipotesis
b. Melakukan pembahasan terhadap hasil penelitian yang meliputi analisis data, uji
hipotesis, hasil observasi, dan hasil penilaian sikap.
c. Menyimpulkan hasil penelitian.
3.3 Instrumen
Instrumen Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis instrumen,
yaitu soal tes hasil belajar berupa soal tes untuk menguji kemampuan pemahaman
matematik yang dibuat dalam bentuk uraian, aspek afektif keaktifan belajar siswa dengan
menggunakan angket skala sikap dan pedoman observasi selama proses pembelajaran
berlangsung. Sedangkan untuk kegiatan pembelajaran dibuat Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS).
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data, yang digunakan diantaranya :
a. Analisis kualitatif digunakan untuk menjelaskan perubahan perilaku guru dalam melaksanakan
pembelajaran dan perilaku siswa dalam belajar
b. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui keberhasilan guru dalam proses pembelajaran
dengan media

4.

Hasil Penelitian dan dan Pembahasan

Sebelum penelitian tindakan ini dilaksanakan, maka peneliti mengadakan observasi dan
pengumpulan data dari kondisi awal kelas yang akan diberi tindakan , yaitu kelas 7A SMP Negeri
2 Cipeundeuy. Pengetahuan awal ini perlu diketahui agar kiranya penelitian ini sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh peneliti, apakah benar kiranya kelas ini perlu diberi tindakan. Untuk
mengungkap kondisi awal dari kelas yang menjadi objek tindakan kelas ini maka peneliti
melakukan langkah langkah sebagai berikut :

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

469

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

1) Perencanaan.
Untuk mengetahui kondisi awal maka peneliti merencanakan observasi langsung. Peneliti
menyiapkan alat tes yang akan digunakan sebagai alat untuk mengukur kemampuan pemahaman
penguasaan awal materi dari siswa.
2) Pelaksanaan.
Pelaksanaan untuk mengukur kemampuan awal siswa dengan menggunakan metode ceramah. Pada
pembelajaran ini peneliti mengamati kejadian kejadian yang terjadi secara rinci. Dalam
menyampaikan materi kemudian pemberian contoh, selanjutnya guru memberikan posttest dengan
menggunakan soal yang telah dirancang sebelumnya.
3) Hasil Pengamatan.
Berdasarkan observasi yang dilakukan pengajaran yang dilakukan, guru masih menggunakan cara
pengajaran yang biasa yaitu guru sebagai pusat pembelajaran dengan menggunakan metode
ceramah. Pada pembelajaran berlangsung terlihat siswa asyik dengan kegiatannya sendiri. Dan dari
hasil pengerjaan siswa pada alat tes yang telah dirancang oleh guru setelah diadakan koreksi maka
didapatkan hasil yang kurang memuaskan. Hasil koreksi tes awal dari 36 siswa didik yang ada di
kelas tersebut didapatkan hasil, 15 siswa mendapatkan nilai kurang dari 60 , 15 siswa mendapatkan
nilai antara 60 hingga 70, sedangkan siswa yang telah tuntas atau mendapatkan nilai di atas batas
ketuntasan minimal ada 8 siswa . Dari paparan hasil nilai yang didapatkan siswa maka tampak
bahwa yang mencapai ketuntasan belajar hanya 53,57 %.
4) Refleksi.
Dari kondisi awal yang ada tersebut maka perlu diadakan suatu tindakan untuk mengangkat
kemampuan pemahaman matematika siswa kelas 7 materi bilangan bulat. Berdasarkan tanya jawab
yang dilakukan peneliti terhadap siswa, terungkap bahwa siswa mempunyai kelemahan pada
pengembangan skill pengerjaan . Bertolak dari kondisi awal tersebut maka peneliti merencanakan
tindakan penelitian dengan menerapkan strategi pembelajaran aktif pada pembelajaran materi
bilangan bulat dengan memperlakukan pembelajarn aktif pada kelompok kecil.
A. Deskripsi Siklus I.
1. Perencanaan.
Untuk melakukan penelitian pada siklus I ini peneliti merencanakan tindakan yang
meliputi :
a. Membuat silabus
b. Membuat rancangan program pengajaran yang diperuntukkan untuk pengajaran pada
kelompok kecil.
c. Membuat lembar kerja siswa yang digunakan untuk mengaktifkan siswa dalam belajar
dengan penyusunan tahap demi tahap yang membawa siswa dalam penemuan masalah
atau penyelesaian suatu masalah.
d. Membuat alat evaluasi yang digunakan untuk mendapatkan data kemampuan
pemahaman siswa setelah mendapatkan tindakan dengan menggunakan pembelajaran
aktif media Papan Takur (Tambah dan Kurang)
2. Pelaksanaan Tindakan.
Pelaksanaan tindakan pada siklus I
a. Peneliti membagikan lembar kerja yang telah dirancang oleh peneliti untuk
diselesaikan siswa secara keseluruhan
b. Pada saat pelaksanaan menyelesaikan lembar kerja siswa tampak beberapa siswa
saling komunikasi dengan teman terdekatnya tentang cara penyelesaian dari lembar
kerja yang dibagikan.
c. Sambil berkeliling peneliti mencatat hambatan hambatan yang terjadi pada saat
siswa mengerjakan lembar kerja tersebut selain itu peneliti juga mencatat siswa
siswa yang aktif.

470

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3. Refleksi.
Dengan melihat titik lemah yang terjadi pada sebagian kecil siswa berkenaan konsep dasar
logaritma maka perlu diadakan penjelasan yang mendasar pada anak anak yang
mengalami hambatan dengan memanfaatkan teman yang telah memahami konsep dasar
logaritma tersebut untuk menjelaskannya. Mendata siswa yang punya kemampuan lebih
dan mampu untuk menyampaikan materi yang dikuasainya kepada temannya.
B.

Deskripsi Siklus 2
1. Perencanaan.
Pada perencanaan siklus 2 ini peneliti dan guru merencanakan tindakan sebagai berikut :
a. Membuat kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 siswa secara heterogen
b. Membuat rancangan pembelajaran
c. Membuat
lembar kerja yang dipergunakan untuk diskusi kelompok asal dan
kelompok ahli
d. Merencanakan alat evaluasi yang berupa soal tes yang digunakan untuk mengukur
kemampuan siswa.
2. Pelaksanaan Tindakan
a. Peneliti melaksanaan tindakan siklus 2 dengan pembelajaran kooperatif Jigsaw
diawali penjelasan kepada siswa tentang prosedur yang akan dilaksanakan pada
pembelajaran untuk kelompok kecil. Peneliti memberikan langkah-langkah dalam
pembelajaran yang harus dilakukan dan cara-cara menggunakan media Papan Takur
(Tambah dan Kurang)
b. Hasil Pengamatan
Pada pelaksanaan siklus 2 ini tampak sekali bahwa siswa sangat antusias dalam
mengerjakan tugas kelompok, semua siswa terlihat aktif bersama kelompoknya dalam
menyelesaikan lembar kerja yang diberikan peneliti.
Pada saat diskusi pembahasan materi yang diberikan satu kelompok untuk ditanggapi
oleh kelompok lain, kadang terlihat perbedaan pola berfikir dari masing masing
individu dalam menyampaikan ide pemecahan masalah yang diberikan.
Berdasarkan evaluasi yang dilaksanakan setelah dikoreksi didapatkan hasil yang
sesuai dengan indikator pencapaian hasil yang diharapkan karena dari 36 siswa yang
ada tersebut hanya terdapat 5 siswa yang mendapatkan nilai dibawah batas ketuntasan
minimal, sehingga prosentasi siswa yang telah tuntas adalah 86,11 %.
c. Refleksi
Dari hasil evaluasi 31 siswa telah mampu mendapatkan nilai di atas batas ketuntasan
minimal namun masih terlihat kesalahan yang dibuat oleh siswa dikarenakan faktor
kekurang telitian siswa dalam bekerja.
Keaktifan dari siswa secara keseluruhan telah sesuai yang diharapkan oleh peneliti karena dalam
mengerjakan lembar kerja secara kelompok ini 99 % telah aktif dalam pembahasan lembar kerja
yang diberikan..

5.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:


1) Penerapan Pendekatan kooperatif Jigsaw dengan media Papan Takur (Tambah dan Kurang)
dapat meningkatkan kemampuan pemahaman matematika
2) Penerapan Pendekatan kooperatif Jigsaw dengan media Papan Takur (Tambah dan Kurang)
dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran matematika
3) Guru dalam mengajar perlu memperhatikan paradigma- paradigma baru sehingga dalam
mengajar tidak monoton.
4) Guru perlu merancang pembelajaran dengan sebaik-baiknya dengan menggunakan strategi
yang tepat sesuai dengan kondisi dan situasi siswa yang akan diberi pelajaran.
5) Guru perlu mencari strategi yang efektif untuk mengajarkan materi tertentu sesuai dengan
situasi dan kondisi dari siswa dan materi yang akan diajarkan.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

471

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, 2006. Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta.
Karim Muchtar A, 1999. Metodologi Pembelajaran, Jakarta
Oemar Hamalik, 1980. Media Pendidikan, Jakarta
Pujiati, 2004. Penggunaan Alat Peraga dalam Pembelajaran Berhitung di SD, Jogjakarta:
PPPG Jogjakarta.

472

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PERANAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP


PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI
MATEMATIK
Yana Cahya Kirana
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

yanacahyakirana@gmail.com

ABSTRAK
Makalah ini mendeskripsikan peranan Pendekatan Kontekstual yang bertujuan meningkatkan
kemampuan Komunikasi Matematik. Komunikasi matematik pada siswa masih tergolong
rendah untuk itu perlu ditingkatkan karena Kemampuan Komunikasi Matematik menjadi
bagian yang esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Komunikasi dalam
matematika menolong guru memahami kemampuan siswa dalam mengekspresikan dan
menginterpretasi pemahamannya tentang konsep dan proses matematika yang mereka pelajari.
Sebagaimana dikatakan Peressini dan Bassett (NCTM,1996) bahwa tanpa komunikasi dalam
matematika kita akan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa
dalam melakukan proses dan aplikasi matematika. Salah satu pendekatan pembelajaran yang
dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik adalah pembelajaran
kontekstual. Dalam pembelajaran kontekstual siswa memegang peranan yang sangat penting
dalam proses belajar, guru bukan satu-satunya sumber belajar, peserta didik berbicara
mengemukakan pendapatnya, membangun pengetahuannya sendiri, berbagi pengalaman serta
bekerja sama dalam suatu kelompok kecil untuk mencari solusi serta jawaban suatu
permasalahan, sehingga terjadi proses umpan balik yang aktif baik antar siswa maupun dengan
guru. Dengan interaksi tersebut maka dengan sendirinya timbul refleksi hasil pemikiran siswa
ataupun kelompoknya, yang akhirnya pembelajaran kontekstual diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa.
Kata Kunci: Komunikasi Matematik, Pendekatan Kontekstual

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Tujuan diberikannya pendidikan matematika menurut National Council of Teacher of Mathematics


(NCTM) (2000) yaitu: (1) belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); (2) belajar
untuk bernalar (mathematical reasoning);(3)belajar untuk memecahkan masalah (mathematical
problem solving); (4) belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections); dan (5)
pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward mathematics).
Sedangkan menurut Depdiknas (2003) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran matematika
adalah untuk mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan
gagasan, antara lain melalui pembicaraan lisan, grafik, peta diagram, dalam menjelaskan gagasan.
Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan melalui
model matematika yang dapat berupa kalimat dan persamaan matematika, diagram, grafik ataupun
tabel.
Terkait dengan hal tersebut, Asikin (Yonandi, 2010) mengemukakan beberapa alasan yang
menjadi sangat pentingnya kemampuan komunikasi matematik yaitu kemampuan komunikasi
matematik dapat membantu siswa menajamkan cara siswa berfikir, sebagai alat untuk menilai
pemahaman siswa, membantu siswa mengorganisasi pengetahuan matematik mereka, membantu
siswa membangun pengetahuan matematiknya, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

473

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

matematik, memajukan penalarannya, membangun kemampuan diri, meningkatkan keterampilan


sosialnya, serta bermanfaat dalam mendirikan komunikasi matematik.
Hasil penelitian Trends in Mathematics and Science Study (TIMSS)(2012) yang diikuti siswa kelas
VIII Indonesia tahun 2011. Penilaian yang dilakukan International Association for the Evaluation
of Educational Achievement Study Center Boston College tersebut, diikuti 600.000 siswa dari 63
negara. Untuk bidang Matematika, Indonesia berada di urutan ke-38 dengan skor 386 dari 42
negara yang siswanya dites. Skor Indonesia ini turun 11 poin dari penilaian tahun 2007. Pencapaian
prestasi belajar siswa Indonesia di bidang sains dan matematika, menurun. Siswa Indonesia masih
dominan dalam level rendah, atau lebih pada kemampuan menghafal dalam pembelajaran sains dan
matematika.
Menanggapi hal tersebut bahwa pembelajaran matematika di Indonesia masih menekankan kepada
menghapal rumus-rumus dan menghitung. Bahkan, guru pun otoriter dengan keyakinannya pada
rumus-rumus atau pengetahuan matematika yang sudah ada.
Pada umumnya, pembelajaran matematika dilakukan guru kepada siswa adalah dengan tujuan
siswa dapat mengerti dan menjawab soal yang diberikan oleh guru, tetapi siswa tidak pernah atau
jarang sekali dimintai penjelasan asal mula mereka mendapatkan jawaban tersebut. Sehingga siswa
jarang sekali berkomunikasi dalam matematika. Kurangnya kemampuan komunikasi siswa dalam
belajar matematika juga dapat dilihat dalam pembelajaran di kelas, misalnya siswa dapat
mengerjakan soal matematika yang diberikan, namun ketika ditanya bagaimana langkah-langkah
untuk mendapatkan hasilnya, siswa menjadi bingung dan kesulitan dalam menjelaskan. Selain itu,
masih seringnya ditemukan kesalahan siswa dalam menyatakan notasi matematika, symbol dan
istilah.
Untuk melaksanakan pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan Kemampuan komunikasi
Matematik dan meningkatkan keaktifan siswa maka diperlukan adanya suatu pendekatan
pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman belajar bagi siswa, dan memberikan ruang bagi
siswa untuk berlatih mengkomunikasikan matematik dengan baik. Alternatif pendekatan
pembelajaran tersebut dengan menggunakan pendekatan kontekstual.

2.

Kajian Teoritis dan Pemahasan

2.1.

Komunikasi Matematik

Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai proses menyampaikan suatu pesan dari seseorang
kepada orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Di dalam komunikasi tersebut
harus dipikirkan bagaimana pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh orang lain. Salah satu
untuk mengembangkan komunikasi tersebut yaitu dapat menyampaikan berbagai informasi
diantaranya bahasa matematik.
Selain itu, komunikasi merupakan bagian yang sangat penting pada matematika dan pendidikan
matematika. Komunikasijuga merupakan cara berbagi ide dan memperjelas pemahaman. Melalui
komunikasi ide dapat dicerminkan, diperbaiki, didiskusikan, dan dikembangkan. Proses
komunikasi juga membantu membangun makna dan proses komunikasi serta dapat
mempublikasikan ide.
Bean dan Bart (Ansari, 2003: 16) mengemukakan bahwa komunikasi matematik adalah
kemampuan siswa dalam hal menjelaskan suatu algoritma dan cara unik untuk memecahkan
masalah; kemampuan siswa mengkonstruksi; menjelaskan fenomena dunia nyata secara: grafik,
kata-kata atau kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik.
Dalam matematika, komunikasi memegang peranan yang sangat penting. Komunikasi menjadi
bagian yang esensial dari matematika dan pendidikan matematika. Komunikasi dalam matematika
menolong guru memahami kemampuan siswa dalam menginterpretasi dan mengekspresikan
474

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

pemahamannya tentang konsep dan proses matematika yang mereka pelajari. Sebagaimana
dikatakan Peressini dan Bassett (NCTM,1996) bahwa tanpa komunikasi dalam matematika
kitaakan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan
proses dan aplikasi matematika. Dalam bagian lain, Lindquist (NCTM, 1996) berpendapat, Jika
kita sepakat bahwa matematika itu merupakan suatu bahasa dan bahasa tersebut sebagai bahasan
terbaik dalam komunitasnya, maka mudah dipahami bahwa komunikasi merupakan esensi dari
mengajar, belajar, dan meng-assess matematika.Jadi jelaslah bahwa komunikasi dalam
matematika merupakan kemampuan mendasar yang harus dimiliki pelaku dan pengguna
matematika selama belajar, mengajar, dan meng-assess matematika.
Peran penting lainnya dari pemilikan kemampuan komunikasi matematik dikemukakan Asikin
(Yonandi, 2010) yaitu : membantu siswa menajamkan cara siswa berfikir, sebagai alat untuk
menilai pemahaman siswa, membantu siswa mengorganisasi pengetahuan matematik mereka,
membantu siswa membangun pengetahuan matematiknya, meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematik, memajukan penalarannya, membangun kemampuan diri, meningkatkan
keterampilan sosialnya, serta bermanfaat dalam mendirikan komunikasi matematik.
Greenesdan Schulman (Hendriana, 2009 : 24) mengemukakan bahwa kemampuan komunikasi
matematis meliputi kemampuan :
1) Mengekspresikan ide-ide dengan berbicara, menulis, mendemonstrasikan dan melukiskannya
secara visual dengan berbagai cara yang berbeda;
2) Memahami, menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide yang dikemukakannya dalam
bentuk tulisan atau bentuk visual lainnya;
3) Mengkontruksi, menginterpretasikan dan menghubungkan berbagai representasi dari ide-ide
dan hubungan-hubungan;
4) Mengamati, membuat konjektur, mengajukan pertanyaan, mengumpulkan dan mengevaluasi
informasi;
5) Menghasilkan dan mengahadirkan argumen yang jelas.
Sedangkan Indikator komunikasi matematikmenurut Sumarmo adalah:
1) Menyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, idea,
atau model matematik
2) Menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan
3) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika
4) Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis
5) Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam bahasa sendiri

2.2.

Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa dengan penerapan dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Depdiknas, 2003).Hal
iniditegaskanolehHoweydalamRohayati (2005) bahwapembelajarankontekstualadalahpembelajaran
yang
memungkinkansiswabelajarmenggunakanpemahamandankemampuanakademiknyadalamkonteks
yang bervariasi, baikkonteksitu di dalamataupun di luarsekolah.
Pendekatan kontekstual(Contextual Teaching and Learning) merupakansuatu proses pendidikan
yang holistic dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang
dipelajarinya dan materi pelajaran yang dipelajarinya dikaitkan dengan konteks kehidupan mereka
sehari-hari
(konteks
pribadi,
social
dan
kultural),
sehingga
siswa
memiliki
pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel untuk mengkontruksi sendiri pemahamannya.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

475

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

SelanjutnyaTrianto (2007) mengemukakan bahwa pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh


komponen dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif,yakni: (1)
konstruktivisme (constructivism), (2) menemukan(inquiry), (3) bertanya (questioning), (4)
masyarakat belajar (learning community), (5) pemodelan (modeling), (6) refleksi (reflection) dan
(7) penilaian sebenarnya (authentic assessment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan
kontekstual jika menerapkan ketujuh prinsip tersebut dalam pembelajaran.
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pendekatan kontekstual (Heriawan,et.al : 20) adalah
sebagaibeikut :
1) Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,
dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilanbarunya.
2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
4) Ciptakan masyarakat belajar.
5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
6) Lakukan refleksi di akhir pertemuan
7) Lakukan penilaian yang sebenarnya (authentic assesment) dengan berbagai cara.
Karakteristik pembelajaran kontektual (Depdiknas, 2003) : (1) Kerjasama; (2) Saling menunjang;
(3) Menyenangkan, tidak membosankan; (4) Belajar dengan bergairah; (5) Permbelajaran
terintegrasi; (6) Menggunakan berbagai sumber; (7) Siwa aktif; (8) Sharing dengan teman; (9)
Siswa kritis, guru kreatif; (10) Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, petapeta, gambar, artikel, humor dan lain-lain; (11) Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi
hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dan lain-lain.

3.

Kesimpulan

Dari pendahuluan dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran
kontekstual siswa memegang peranan yang sangat penting dalam proses belajar, guru bukan satusatunya sumber belajar, peserta didik berbicara mengemukakan pendapatnya, membangun
pengetahuannya sendiri, berbagi pengalaman serta bekerja sama dalam suatu kelompok kecil untuk
mencari solusi serta jawaban suatu permasalahan, sehingga terjadi proses umpan balik yang aktif
baik antar siswa maupun dengan guru. Dengan interaksi tersebut maka dengan sendirinya timbul
refleksi hasil pemikiran siswa ataupun kelompoknya, yang akhirnya pembelajaran kontekstual
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematik siswa

DAFTAR PUSTAKA
Ansari, B.I. (2003). Menumbuhkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa
SMU melalui Strategi Think-Talk-Write Disertasi Doktor pada PPS UPI. Bandung :
Tidak diterbitkan.
Depdiknas. (2003). Kumpulan Pedoman Kurikulum 2004. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas.(2003). Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Hendriana,
H.(2009).
PembelajarandenganPendekatan
Metaphorical
Thinking
untukMeningkatkanKemampuanPemahamandanKomunikasiMatematikSiswaSekolahMen
engahPertama.Disertasi.UPI :Tidakditerbitkan
Heriawan,et.al.(2012).MetodologiPembelajaranKajianTeoretisPraktis. Serang-Banten : LP3G
(LembagaPembinaandanPengembanganProfesi guru)
NCTM. (1996).Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics, Virginia: NCTM
Inc.
NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.
Sumarmo, U.(2010). Berfikir dan Disposisi Matematik : Apa, Mengapa, dan Bagaimana di
Kembangkan Pada Peserta Didik. Artikel : FPMIPA UPI.

476

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

TIMSS. (2012). TIMSS 2011 International Results in Mathematics. Chestnut Hill: TIMSS &
PIRLS International Study Center.
Trianto.(2007). Model-model PembelajaranInovatif.Jakarta :PrestasiPustaka
Yonandi, M. T. (2010). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Dan Koneksi Matematik melalui
Pembelajaran Berbantuan Komputer (Computer-Assited Instructions). Makalah Seminar
Pendidikan Matematika FMIPA UNY. Yogyakarta 17 April 2010.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

477

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN


BERFIKIR KREATIF SERTA DISPOSISI MATEMATIK
SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN SAINTIFIC
Irfan Zaini Husen
Mahasiswa S2 Pendidikan STKIP Siliwangi
mazdaloop@gmail.com

ABSTRAK
Meningkatkan pemahaman serta mengembangkan kreativitas siswa dalam pembelajaran
matematika bukan hal yang mudah. Untuk itu diperlukan suatu proses pembelajaran yang
mendukung siswa menjadi aktif dan kreatif serta paham terhadap materi yang diterima dan bisa
mengimplemetasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kurikulum 2013 mengajak kita semua
untuk semangat dan optimis untuk mendapatkan pendidikan berkarakter yang lebih baik.
Kurikulum 2013 yang menekankan pada dimensi pedagogik dalam pembelajaran
menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific approach merupakan
perpaduan antara proses pembelajaran yang semula terfokus pada eksplorasi, dan konfirmasi
dilengkapi dengan mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan.
Meskipun ada yang mengembangkan lagi menjadi mengamati, menanya, mengumpulkan data,
mengolah data, mengkomunikasikan, menginovasi dan mencipta. Namun, tujuan dari beberapa
proses pembelajaran yang harus ada dalam pembelajaran scientific sama, yaitu menekankan
bahwa belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan
masyarakat.
Kata Kunci: Berfikir Kreatif, Disposisi, Pemahaman, Pendekatan Scientific

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diikuti oleh siswa mulai dari tingkat
sekolah dasar sampai tingkat sekolah menengah bahkan sampai ke perguruan tinggi. Hal ini
disebabkan matematika sangat dibutuhkan dan berguna dalam kehidupan sehari-hari bagi sains,
perdagangan dan industri. Pentingnya kemampuan pemahaman matematika siswa dikembangkan
dalam pembelajaran matematika. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sumarmo (1987) yang mengatakan bahwa Baik secara keseluruhan maupun dikelompokkan
menurut tahap kognitif siswa, kurangnya pemahaman konsep-konsep matematik akan
mengakibatkan kesulitan terhadap siswa memahami dan menyelesaikan soal-soal yang merupakan
alat untuk melihat prestasi belajar siswa.
Dalam proses pembelajaran matematika, sebaiknya juga siswa berperan aktif serta kreatif, yakni
siswa ditempatkan sebagai subjek pembelajaran dan guru sebagai pengelola pembelajaran agar
tujuan dari pembelajaran tercapai. Walaupun dalam pembelajarannya menggunakan kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang menuntut siswa berperan aktif dalam proses belajar
mengajar tetapi dalam pelaksanaannya guru matematika kebanyakan menggunakan metode
ceramah dan faktor kurangnya pemahaman siswa terhadap matematika dikarenakan faktor intern
seperti Kurangnya minat siswa pada pelajaran matematika, kurangnya motivasi siswa terhadap
materi matematika kondisi fisik yang lelah atau sakit ketika sedang belajar serta faktor ekstern yang
meliputi Gaya guru dalam mengajar matematika, fasilitas belajar, Situasi atau kondisi lingkungan
sekolah dan keluarga. Meskipun dilakukan tanya jawab ketika pembelajaran berlangsung, tetapi
kegiatan ini kurang berjalan secara optimal sehingga menyebabkan pembelajaran berpusat pada
guru dan siswa terbiasa menerima apa yang sudah diajarkan oleh guru tersebut serta kurang

478

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

pahamnya siswa dalam menerima materi yang dikaitkan dengan tujuan serta fungsi materi dalam
kehidupan sehari-hari. Pembelajaran yang berpusat pada guru menyebabkan: (1) ketika
pembelajaran berlangsung siswa kurang memahami serta tidak dapat menyampaikan
ide/gagasannya karena kesempatan yang diberikan kepada siswa dalam menyampaikan ide/gagasan
masih kurang. (2) ketidakmampuan siswa dalam memahami secara konsep dan hanya mampu
menyelesaikan soal-soal dengan cara penyelesaian yang diajarkan oleh guru sehingga kurang
mampu untuk mencari alternatif penyelesaian yang lain. (3) Siswa kurang berani mengajukan
pertanyaan ketika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. (4) ketika siswa
diberi pertanyaan yang sedikit sulit dan mereka tidak mampu menyelesaiakannya, siswa berhenti
mengerjakan soal itu. (5) Siswa tidak percaya diri ketika menyelesaikan masalah.
Dalam pembelajaran matematika terkadang siswa jika diberi permasalahan oleh guru dalam bentuk
soal yang mengaitkan kehidupan sehari-hari, siswa merasa kurang memahami permasalahan
tentang maksud soal yang diberi sehingga mereka belum bisa mengembangkan langkah
penyelesaian dengan cara yang mereka temukan sendiri dan hanya terpaku pada penyelesaian yang
biasa. Selain itu, permasalahan yang diberikan guru selama ini belum memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menyelesaikan masalah dengan berbagai strategi ditambah dalam pembelajaran
siswa sebagian besar lebih banyak pasif.
Ini memperlihatkan bahwa siswa mempunyai pemahaman dan kreativitas matematik yang belum
optimal serta sedikitnya motivasi terhadap pembelajaran matematik, siswa memandang pelajaran
matematika menjadi mata pelajaran yang kurang direspon dan mata pelajaran yang ditakuti serta
ketika dalam pembelajaran matematika siswa dalam keadaan cemas.
Meningkatkan pemahaman serta mengembangkan kreativitas siswa dalam pembelajaran
matematika bukan hal yang mudah. Untuk itu diperlukan suatu proses pembelajaran yang
mendukung siswa menjadi aktif dan kreatif serta paham terhadap materi yang diterima dan bisa
mengimplemetasikan dalam kehidupan sehari-hari dan membimbing pada karakter siswa yang
baik. Kurikulum 2013 mengajak kita semua untuk semangat dan optimis untuk mendapatkan
pendidikan yang lebih baik. Kurikulum 2013 yang menekankan pada dimensi pedagogik modern
dalam pembelajaran menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific approach)
merupakan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik dalam pendekatan
atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah.
(Kemendikbud, 2013) Proses pembelajaran scientific merupakan perpaduan antara proses
pembelajaran yang semula terfokus pada eksplorasi, dan konfirmasi dilengkapi dengan
mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan. Meskipun ada yang
mengembangkan lagi menjadi mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengolah data,
mengkomunikasikan, menginovasi dan mencipta. Namun, tujuan dari beberapa proses
pembelajaran yang harus ada dalam pembelajaran scientific sama, yaitu menekankan bahwa belajar
tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk membuat makalah dengan judul
Meningkatkan kemampuan Pemahaman dan Kreativitas serta disposisi matematik siswa SMP
melalui pendekatan scientific.
Sebagaimana yang tersirat dalam judul dan berdasarkan latar belakang masalah yang telah
dikemukakan sebelumnya. Sehingga yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini Apakah
pendekatan scientific dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan berfikir kreatif matematika
siswa menjadi lebih baik ?, Apakah pendekatan scientific serta adanya disposisi matematik dapat
meningkatkan kemampuan pemahaman dan berfikir kreatif matematika siswa menjadi lebih baik ?
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis peningkatan kemampuan pemahaman,
berfikir kreatif serta disposisi matematik pada siswa SMP.
Dengan adanya makalah ini diharapkan memberi manfaat berupa memberdayakan guru dalam
mengembangkan pemahaman serta kreativitasnya ketika melaksanakan kegiatan pembelajaran agar

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

479

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

kegiatan pembelajaran tidak hanya berpusat pada guru, Memberdayakan siswa dalam
mengembangkan Pemahaman serta kreativitas belajar matematika agar tujuan dari pembelajaran
tercapai.

2.

Kajian Teori dan Pembahasan

2.1 Pemahaman Matematik


Pemahaman matematika adalah (1). kemampuan translation ( menyatakan suatu persamaan
menjadi grafik, menyatakan soal-soal berbentuk cerita menjadi simbol-simbol matematika dan
sebaliknya), Contohnya seperti dalam soal materi segitiga gambarlah di samping ini diketahui AD
= 10 cm, AE = 8 cm, EC = 16, dan EB = 15 cm !, (2). kemampuan interpretasi (menentukan
konsep-konsep yang tepat untuk digunakan dalam menyelesaikan masalah, mampu mengartikan
kesamaan) contohnya seperti soal apa perbedaan dan persamaan segitiga siku-siku dengan segitiga
sama sisi dan sama kaki, (3) extrapolation (menerapkan konsep dalam pemecahan masalah)
contohnya seperti soal Pak Doni memiliki sebuah kebun yang berbentuk segitiga sama sisi dengan
keliling 120 meter. Tentukan panjang sisi segitiga tersebut !.
Skemp (1976) membedakan dua jenis pemahaman konsep, yaitu pemahaman instrumental dan
pemahaman relasional. Pemahaman instrumental sejumlah konsep diartikan sebagai pemahaman
atas konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dalam perhitungan sederhana. Sebaliknya
pada pemahaman relasional termuat suatu skema atau struktur yang dapat digunakan pada
penyelesaian masalah yang lebih luas. Dalam pemahaman relasional, sifat pemakaianya lebih
bermakna.
(Ruseffendi, 1988:221) menyatakan bahwa ada 3 macam pemahaman: pengubahan (translation),
pemberian arti (interpretation), dan pembuatan ekstrapolasi (extrapolation). Implementasi
pengertian tersebut dalam matematika bisa dicontohkan sebagai berikut : pengubahan(translation),
misalnya mampu mengubah soal berbentuk kata-kata menjadi bentuk simbol atau sebaliknya,
mampu menyebutkan variabel-variabel yang diketahui dan ditanyakan; pemberian arti
(interpretation), misalnya mampu menentukan konsep-konsep yang tepat untuk digunakan dalam
menyelesaikan soal, mampu mengartikan suatu kesamaan; ekstrapolasi (extrapolation), misalnya
mampu menerapkan konsep-konsep dalam perhitungan matematis, mampu memperkirakan
kecenderungan suatu diagram.
2.2 Kemampuan Berfikir Kreatif
Poerwadarminta (Syukur, 2004: 10), mengartikan berpikir sebagai penggunaan akal budi manusia
untuk mempertimbangkan atau memutuskan sesuatu. Sedangkan Liputo (1996) berpendapat bahwa
berpikir merupakan aktivitas mental yang disadari dan diarahkan untuk maksud tertentu. Maksud
yang dapat dicapai dalam berpikir adalah memahami, mengambil keputusan, merencanakan,
memecahkan masalah dan menilai tindakan. Dari kedua pendapat diatas, tampak bahwa kata
berpikir mengacu pada kegiatan akal yang disadari dan terarah.
Terdapat bermacam-macam cara berpikir, diantaranya berpikir vertikal, lateral, kritis, analitis,
kreatif dan strategis. Tetapi pada penelitian ini akan difokuskan pada berpikir kreatif. Menurut
Hariman (Huda, 2011), berpikir kreatif adalah suatu pemikiran yang berusaha menciptakan
gagasan yang baru. Berpikir kreatif dapat juga diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang
digunakan seorang untuk membangun ide atau pemikiran yang baru. Pendapat lain dari Pehkonen
(Huda,2011), beliau memandang berpikir kreatif sebagai suatu kombinasi dari berpikir logis dan
berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran. Maksud berpikir
divergen sendiri adalah memberikan bermacam-macam kemungkinan jawaban dari pertanyaan
yang sama. Sementara itu Munandar (Huda,2011) menjelaskan pengertian berpikir kreatif adalah
kemampuan menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana
penekanannya pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keberagaman jawaban. Pengertian ini
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif seseorang makin tinggi, jika ia mampu

480

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

menunjukkan banyak kemungkinan jawaban pada suatu masalah. Tetapi semua jawaban itu harus
sesuai dengan masalah dan tepat, selain itu jawabannya harus bervariasi.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka berpikir kreatif dapat diartikan sebagai berpikir
secara logis dan divergen untuk menghasilkan ide atau gagasan yang baru. Produk dari berpikir
kreatif itu sendiri adalah kreativititas.
Sementara itu, Munandar (Huda, 2004) mengemukakan alasan mengapa kreativitas pada diri siswa
perlu dikembangkan. Pertama, dengan berkreasi maka orang dapat mewujudkan dirinya (Self
Actualization). Kedua, pengembangan kreativitas khususnya dalam pendidikan formal masih belum
memadai. Ketiga, bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat tetapi juga memberikan
kepuasan tersendiri. Keempat, kreativitaslah yang memungkinkan manusia untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa kreativitas mempunyai peranan penting
dalam kehidupan, sehingga kreativitas perlu dikembangkan terutama pada generasi muda yang
mengemban cita-cita sebagai penerus bangsa.
Tingkat Kemampuan berpikir kreatif seseorang dapat ditingkatkan dengan memahami proses
berpikir kreatifnya dan berbagai faktor yang mempengaruhinya serta melalui latihan yang tepat
(Huda, 2011: 11). Selain itu, kemampuan berpikir kreatif seseorang juga dapat ditingkatkan dari
satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi yaitu dengan cara memahami proses berpikir, dan faktorfaktornya serta melalui latihan-latihan. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
tingkat kemampuan berpikir kreatif seseorang dapat berubah dari satu tingkat ke tingkat
selanjutnya yang lebih tinggi. Menurut Guilford (Herdian, 2010) indikator dari berpikir kreatif ada
lima yaitu :
a. Kepekaan (problem sensitivity) adalah kemampuan mendeteksi (mengenali dan memahami)
serta menanggapi suatu pernyataan, situasi dan masalah.
b. Kelancaraan (fluency) adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan.
c. Keluwesan (flexibility) adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam,
pemecahan atau pendekatan terhadap masalah.
d. Keaslian (originality) adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang
asli, tidak klise dan jarang diberikan kebanyakaan orang.
e. Elaborasi (elaboration) adalah kemampuan menambah situasi atau masalah sehingga menjadi
lengkap, dan merincinya secara detail, yang didalamnya dapat berupa tabel, grafik, gambar,
model, dan kata-kata.
Sementara Silver (Huda, 2011:11) menjelaskan bahwa untuk menilai kemampuan berpikir kreatif
anak dan orang dewasa dapat dilakukan dengan menggunakan The Torrance Test of Creative
Thinking (TTCT). Tiga komponen yang digunakan untuk menilai kemampuan berpikir kreatif
melalui TTCT adalah kefasihan (fluency), fleksibilitas (fleksibility) dan kebaruan (novelty).
Pengertian lebih jelasnya sebagai berikut :
a. Kefasihan (fluency) adalah jika siswa mampu menyelesaikan masalah matematika dengan
beberapa alternatif jawaban (beragam) dan benar.
b. Fleksibilitas (flexibility) adalah jika siswa mampu menyelesaikan masalah matematika dengan
dengan cara yang berbeda.
c. Kebaruan (novelty) adalah jika siswa mampu menyelesaikan masalah matematika dengan
beberapa jawaban yang berbeda tetapi bernilai benar dan satu jawaban yang tidak biasa
dilakukan oleh siswa pada tahap perkembangan mereka atau tingkat pengetahuannya.
Rincian cirri-ciri dari fluency, flexibility, originality, dan elaboration dikemukan oleh Munandar
(1999), ciri-ciri fluency diantaranya adalah: (1) Mencetuskan banyak ide, banyak jawaban, banyak
penyelesaian masalah, banyak pertanyaan dengan lancar; (2) Memberikan banyak cara atau saran
untuk melakukan berbagai hal; (3) Selalu memikirkan lebih dari satu jawaban. Ciri-ciri flexibility
diantaranya adalah : (1) Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, dapat
melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda; (2) Mencari banyak alternatif atau
arah yang berbeda-beda; (4) Mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran. Ciri-ciri

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

481

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

originality diantaranya adalah : (1) Mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik; (2)
Memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri; (3) Mampu membuat kombinasikombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Ciri-ciri elaboration diantarnya
adalah : (1) Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk; (2) Menambah
atau memperinci detil-detil dari suatu obyek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.
Berdasarkan pada uraian-uraian yang telah dikemukakan dirumuskan pengertian kemampuan
berpikir kreatif matematika sebagai berikut : Kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan
berpikir yang sifatnya baru yang diperoleh dengan mencoba-coba dan ditandai dengan
keterampilan berpikir lancar, luwes, orisinal, dan elaborasi.
a) Contoh soal yang dapat digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir lancar :
Sebutkan jenis-jenis segitiga beserta contoh gambarnya
1) Berdasarkan panjang sisinya
2) Berdasarkan besar sudut-sudutnya
b). Contoh soal yang dapat digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir luwes :
Bu Lina akan membuat sapu tangan berbentuk segitiga. Salah satu sudut dari sapu tangan
tersebut berukuran 400 . Berapakah besar sudut lain yang mungkin, agar sapu tangan
tersebut membentuk segitiga lancip ! Jawablah pertanyaan dengan lebih dari satu jawaban !
c). Contoh soal yang dapat digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir orisinal :
Diketahui penjang AB = 15 cm, BC = 8 cm dan CD = 10 cm .
Tentukan luas ABCD ! Jawablah dengan caramu sendiri !
d). Contoh soal yang dapat digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir elaborasi :
Terdapat dua buah segitiga siku-siku yang salah satunya
D
C berhimpit seperti pada gambar di samping. Buatlah soal dengan
melengkapi gambar di samping !
A

2.4 Disposisi Matematik


NCTM (1989. c) menyatakan bahwa Disposisi matematis adalah apresiasi siswa terhadap
matematika.Apresiasi tersebut berupa kecenderungan untuk berfikir dan bertindak secara positif
terhadap matematika. Tindakan-tindakan positif siswa akan terwujud ketika mereka senantiasa
percaya diri dalam menghadapi persoalan matematis, memiliki rasa keingintahuan yang tinggi,
tekun, dan senantiasa melakukan refleksi terhadap hal-hal yang telah dilakukannya.
Menurut Sumarmo (Kesumawati, 2010:4), disposisi matematis adalah dedikasi yang kuat pada diri
siswa untuk belajar matematika. Dedikasi tersebut berupa apresiasi positif siswa terhadap
matematika berupa: (1) kepercayaan diri dalam menggunakan matematika, (2) fleksibilitas dalam
menyelidiki gagasan matematis, (3) tekun dalam mengerjakan tugas matematika, (4) mempunyai
minat belajar dan rasa keingitahuan yang tinggi terhadap persoalan matematis.
Berdasarkan keempat komponen di atas, disposisi matematis memiliki peran yang esensial di
dalam pembelajaran matematika sekolah. Esensialitas disposisi matematis siswa akan terwujud jika
disposisi dipandang sebagai salah satu faktor yang turut menentukan keberhasilan belajar siswa.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam proses belajar siswa cenderung membutuhkan rasa percaya diri
dan kegigihan dalam menghadapi setiap masalah yang diberikan. Dedikasi yang demikian harus
senantiasa dikembangkan dan dipertahankan melalui penciptaan suasana belajar yang menarik
minat siswa dan cenderung menantang untuk dieksplorasi. Dengan keadaan tersebut, diharapkan
dapat menciptakan sebuah keyakinan dalam diri siswa bahwa mereka mampu belajar dengan rasa
percaya diri dan senang terhadap matematika.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa disposisi matematis adalah
keingintahuan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar matematika.

482

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Dedikasi tersebut dikatakan baik jika siswa merasa tertarik untuk memecahkan masalah dan selalu
melibatkan dirinya dalam mencari solusi permasalahan yang diberikan.
2.6 Pendekatan Scientific
Pembelajaran dengan pendekatan scientific adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian
rupa agar peserta didik secara aktif mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapantahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah,
mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik,
menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang
ditemukan. Pendekatan scientific dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada peserta
didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan pendekatan ilmiah, bahwa
informasi bisa berasal dari mana saja, kapan saja, tidak bergantung pada informasi searah dari guru.
Oleh karena itu kondisi pembelajaran yang diharapkan tercipta diarahkan untuk mendorong peserta
didik dalam mencari tahu dari berbagai sumber melalui observasi, dan bukan hanya diberi tahu.
Penerapan pendekatan scientific dalam pembelajaran melibatkan keterampilan proses seperti
mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan, menjelaskan, dan menyimpulkan. Dalam
melaksanakan proses-proses tersebut, bantuan guru diperlukan. Akan tetapi bantuan guru tersebut
harus semakin berkurang dengan semakin bertambah dewasanya siswa atau semakin tingginya
kelas siswa. Pembelajaran dengan metode scientific memiliki karakteristik sebagai berikut :
1) Berpusat pada siswa.
2) Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengonstruksi konsep, hukum atau prinsip.
3) Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek,
khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa.
4) Dapat mengembangkan karakter siswa.
5) Berdasarkan konsep tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan saintifik adalah
pendekatan yang mengutamakan keaktifan siswa dalam pembelajaran yang melibatkan
keterampilan proses seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan,
menjelaskan, dan menyimpulkan.

3. Kesimpulan
Kemampuan pemahaman sangat lah penting dalam mempelajari matematika karena pemahaman
adalah dasar dari segala kemampuan siswa terhadap kemampuan-kemampuan lain, dengan adanya
kemampuan pemahaman maka kemampuan berfikir kreatif akan muncul dengan sendirinya karena
dalam mempelajari materi khususnya matematika maka pemahaman konsep adalah pemahaman
dasarnya, tetapi kedua kemampuan tersebut tidak akan muncul jika siswa tidak mempunyai sikap
disposisi terhadap matematika, dengan adanya pendekatan Scientific kemampuan serta disposisi
matematika akan lebih baik meningkat.

4.

Saran

Saran yang disampaikan pada tulisan ini, diharapkan guru matematika, khususnya jenjang
SMP/MTs dan umumnya SMA/SMK sederajat memahami model-model pembelajaran dalam
pendekatan Scientific dan dapat diimplementasikan di dalam PBM Matematika sehingga
pembelajaran matematika tercapai optimal baik itu segi kognitif, afektif dan psikomotor.
pembelajaran matematika yang selama ini menakutkan, megerikan bahkan persepsi negative yang
muncul di pikiran peserta didik menjadi lebih baik di Kurikulum 2013. Pedekatan Scientific atau
kurikulum 2013 ini tidak akan tercapai dengan baik ketika dasar pemahaman konsep siswa kurang
optimal sehingga guru perlu memberikan bimbingan pengetahuan untuk memancing respon siswa
terhadap pembelajaran dikelas atau pun diluar kelas.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

483

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

DAFTAR PUSTAKA
Afrilianto, M. (2012). Peningkatan Pemahaman Konsep Dan Kompetensi Strategis Matematis
Siswa Smp Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking. Bandung: INFINITY Jurnal Ilmiah
Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung: 1(1), (1 125).
Asikin,
M.
(2008). Dasar-Dasar
Proses
Pembelajaran
Matematika. Online.
http:www.ocw.unnes.ac.id/ocw/matematika/pendidikan/matematika, diakses 28 April 2014
Herdian.
(2010). Kemampuan
Berpikir
Kreatif
Siswa. [Online].
Tersedia
:
http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-berfikir-kreatif-siswa/ Tanggal : 15
April 2014
Munandar, S.C.U. (1987). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Petunjuk bagi
Guru dan Orang Tua . Jakarta Gramedia
Nurhikmayati, I. (2013) Pembelajaran Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking Untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Penalaran Matematis Siswa Smp, Bandung :
Skripsi Program Studi Matematika UPI.
Qohar,
A.
(2012)
Pemahaman
matematis
dan
penggunaannya,
http://abdqohar.blogspot.com/2012/04/pemahaman-matematis-dan-penggunaan.html
Situmorang, A. S. (2013) Peningkatan Kemampuan Pemahaman Dan Kreativitas Matematis Siswa
Dengan Menggunakan Model Pencapaian Konsep Pada Kelas X Sma Negeri 5 Medan,
Medan : Tesis Program Studi Pascasarjana UNIMED

484

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN


KOMUNIKASI SERTA DISPOSISI MATEMATIK SISWA
SMK DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN
KONTEKSTUAL
R. Bambang Kusmaryono
SMK Bina Taruna Kab. Purwakarta
bambangkusmaryono@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan
komunikasi serta disposisi matematik siswa SMK dengan menggunakan pendekatan
kontekstual, adapun tahapan pambelajaran pendekatan kontekstual adalah sebagai
berikut : 1) Konstruktivisme (Constructivism), 2) Bertanya (Questioning), 3) Inquiri
(Inquiry), 4) Masyarakat Belajar (Learning Community), 5) Penilaian Autentik
(Authentic Assensment), 6) Refleksi (Reflection), dan 7) Pemodelan (Modeling).
Pemahaman konsep pembelajaran merupakan salah satu prasyarat untuk melanjutkan
ke materi ajar selanjutnya. Dengan keterampilan komunikasi matematis, juga perlu
dikembangkan sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta
sikap ulet dan percaya diri dalam memecahkan masalah. Pengembangan disposisi
matematis untuk bertahan dalam menghadapi masalah, mengambil tanggung jawab
dalam belajar, dan mengembangkan kebiasaan kerja yang baik dalam matematika.
Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang bersifat konstriktivis dengan
cara mengkaitkan dengan permasalahan dunia nyata guna mengikat makna
pembelajaran..
Kata Kunci: Kemampuan Pemahaman Konsep, Komunikasi, Kontekstual

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

Pembelajaran pada dasarnya merupakan kegiatan terencana yang mengkondisikan seseorang agar
bisa belajar dengan baik sesuai dengan tujuan serta arah pembelajaran yang telah dirumuskan
sebelumnya. Begitu pula dengan pembelajaran matematika harus sesuai dengan tujuan dari
pembelajaran matematika itu sendiri.
Dalam menempuh proses pendidikan di sekolah, siswa wajib mengikuti beberapa mata pelajaran.
Salah satu mata pelajaran yang wajib diikuti siswa adalah matematika, karena matematika adalah
dasar dari beberapa mata pelajaran yang ada di sekolah baik dari dasar, menengah, atas maupun di
perguruan tinggi. Di SMK mata pelajaran matematika termasuk dalam kelompok A (wajib), dalam
Kurikulum 2013 SMK (Kurikulum, 2013). Kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik
dalam disposisi matematik merupakan kemampuan yang perlu dikembangkan pada siswa SMK.
Adapun tujuan pembelajaran matematika siswa SMK antara lain: (1) Memahami konsep
matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma
secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah; dan (2) Mengomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;
(3) Menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan serta memiliki rasa ingin tahu,

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

485

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Kemampuan pemahaman matematik, Pemahaman konsep pembelajaran merupakan salah satu
prasyarat untuk melanjutkan ke materi ajar selanjutnya. Namun sebagian besar siswa di kelas ini
cenderung kurang paham akan konsep yang dipelajarinya. Karena jika siswa belum dapat
memahami suatu konsep dari materi ajar, siswa akan menemui kesulitan dalam pembelajaran
ketahap selanjutnya. Sedangkan banyak aspek matematika yang berkaitan dengan pemahaman
konsep yang diperlukan dalam kehidupan nyata maupun dalam pendidikan formal, Oleh sebab itu
pemahaman konsep suatu materi ajar sangat penting untuk dikuasai siswa.
Dalam pembelajarannya, agar siswa mampu memahami konsep dari suatu hal maka seharusnya
proses pembelajaran tersebut lebih menekankan kepada kebermaknaan dan pengalaman langsung
seperti yang diungkapkan Djahiri (Kunandar, 2007:287) dalam proses pembelajaran prinsip
utamanya adalah proses keterlibatan seluruh atau sebagian besar potensi diri siswa (fisik dan
nonfisik) dan kebermaknaan bagi diri dan kehidupannya saat ini dan dimasa yang akan datang.
Kebermaknaan tersebut diperoleh dari pengalaman di lingkungan siswa tersebut belajar.
Pengalaman akan membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi siswa. Adapun pengalaman
langsung terhadap lingkungan tersebut antara lain dengan memunculkan model yang sesuai dengan
pembelajaran yang dibahas, melakukan penemuan, bertanya serta diskusi untuk mengkonstruksi
pemikirannya sendiri. Pembelajaran yang bermakna ini diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman konsep siswa serta mendorong siswa untuk menerapakannya didalam kehidupan
mereka.
Kemampuan komunikasi matematika menurut Sumarmo, U (2013) merangkum pendapat beberapa
pakar dan mengidentifikasi beberapa kemampuan komunikasi matematik antara lain: menyatakan
suatu situasi, ke dalam bentuk gambar, diagram, bahasa, simbol, ekspresi atau model matematik;
dan sebaliknya menyatakan gambar, diagram, bahasa, simbol, ekspresi atau model matematik ke
dalam bahasa sendiri. Tujuan pembelajaran matematika pada dasarnya melukiskan disposisi
matematik yaitu adalah keinginan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar
matematika dan melaksanakan berbagai kegiatan matematika.
Selain kemampuan pemahaman konsep metematik yang berkaitan dengan keterampilan
komunikasi matematis, juga perlu dikembangkan sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam memecahkan masalah. Pengembangan ranah afektif yang
menjadi tujuan pendidikan matematika di jenjang SMK menurut Kurikulum 2013 tersebut
hakekatnya adalah menumbuhkan dan mengembangkan disposisi matematis.
Pentingnya pengembangan disposisi matematis sesuai dengan pernyataan Sumarmo, U
(2013) bahwa: Adapun sikap yang harus dimiliki siswa diantaranya adalah sikap kritis dan cermat,
obyektif dan terbuka, menghargai keindahan matematika, serta rasa ingin tahu dan senang belajar
matematika. Sikap dan kebiasaan berpikir seperti di atas pada hakekatnya akan membentuk dan
menumbuhkan disposisi matematik (mathematical disposition) yaitu keinginan, kesadaran dan
dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar matematika dan melaksanakan berbagai kegiatan
matematika. Kemampuan yang diharapkan dalam tujuan mata pelajaran matematika seperti yang
dikemukakan di atas, tidak lain merupakan pengembangan daya matematis (mathemathical power).
Hal ini diungkapkan oleh NCTM dalam Sumarmo, U (2013) menyatakan, daya matematis adalah
kemampuan untuk mengeksplorasi, menyusun konjektur; dan memberikan alasan secara logis;
kemampuan untuk menyelesaikan masalah tidak rutin; mengomunikasikan ide mengenai
matematika dan menggunakan matematika sebagai alat komunikasi; menghubungkan ide-ide
dalam matematika, antar matematika, dan kegiatan intelektual lainnya. Dengan kata lain istilah
daya matematis memuat kemampuan pemahaman, pemecahan masalah, koneksi, komunikasi, dan
penalaran matematis. Sebagai implikasinya, daya matematis merupakan kemampuan yang perlu
dimiliki siswa yang belajar matematika pada jenjang sekolah manapun.

486

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

2.

Kajian Teoritis dan Pembahasan

2.1.

Pemahaman Konsep Matematika

Merujuk pendapat Polya dan Skemp, Sumarmo, U (2013) terdapat dua tingkat pemahaman
matematik yaitu tingkat rendah misalnya pemahaman mekanikal dan pemahaman komputasional,
dan pemahaman tingkat tinggi misalnya pemahaman relasional dan pemahaman rasional. Hampir
senada dengan itu Polattsek, Sumarmo, U (2013) membedakan dua jenis pemahaman: 1)
Pemahaman komputasional, dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana, dan
mengerjakan perhitungan secara algoritmik, 2) Pemahaman fungsional dapat mengkaitkan suatu
konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya, dan secara menyadari proses yang dikerjakannya.
Mirip dengan Polattsek, Copeland (1979), Sumarmo, U (2013) menggolongkan pemahaman dalam
dua jenis yaitu : 1) Knowing how to: dapat melakukan suatu perhitungan secara rutin/algoritmi dan,
2) Knowing: dapat mengerjakan suatu perhitungan secara sadar.
2.2.

Komunikasi Matematika

Salah satu kemampuan matematis yang perlu ditumbuhkembangkan di kalangan siswa adalah
kemampuan komunikasi matematis, hal ini dikarenakan matematika merupakan bahasa dan alat,
matematika menggunakan definisi-definisi yang jelas dan simbol-simbol khusus dan sebagai alat
matematika digunakan setiap orang dalam kehidupannya. Cockroft (Abdurrahman, 2009) menulis:
Matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan;
(2) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana
komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam
berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran; dan (6)
memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.
Banyak persoalan ataupun informasi disampaikan dengan bahasa matematika, misalnya
menyajikan persoalan atau masalah ke dalam model matematika yang dapat berupa diagram,
persamaan matematika, grafik, ataupun tabel. Mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa
matematika justru lebih praktis, sistematis, dan efisien. Begitu pentingnya matematika sebagai
bahasa matematika merupakan bagian dari bahasa yang digunakan dalam masyarakat. Dengan
demikian matematika dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam
berkomunikasi matematik baik dalam ilmu pengetahuan, kehidupan sehari-hari maupun dalam
matematika itu sendiri.
Baroody (1993) menyebutkan sedikitnya ada dua alasan penting, mengapa komunikasi dalam
matematika perlu ditumbuhkembangkan di kalangan siswa. Pertama, mathematics as language,
artinya matematik tidak hanya sekedar alat bantu berfikir (a tool to aid thinking), alat untuk
menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga
sebagai suatu alat yang berharga untuk mengkomunikasikan berbagai ide secara jelas, tepat dan
cermat. Kedua, mathematics learning as social activity; artinya sebagai aktivitas sosial dalam
pembelajaran matematika, matematika juga sebagai wahana interaksi antar siswa, dan juga
komunikasi antara guru dan siswa.
Dalam menyelesaikan soal-soal matematika dengan siswa lain, para siswa memperoleh keuntungan
ganda. Seringkali seorang siswa hanya memiliki satu cara, dan ia memperoleh keuntungan dari
sudut pandang orang lain yang mungkin menjelaskan dengan cara berbeda dari persoalan tersebut
yang secara aljabar seringkali sulit. Karenanya, mereka memperoleh wawasan dari teman yang
pendekatannya menggunakan representasi visual. Untuk itu guru memberikan kesempatan dan
waktu kepada siswa untuk berbicara dan mengkomunikasikan idenya. Karenanya, pemberian
kesempatan kepada siswa dan mendengar ide-ide siswa sekaligus menjadi kata kunci untuk
tercapainya kemampuan berkomunikasi (Turmudi, 2008).
2.3 Pemecahan Masalah Matematik
Ismaimuza (2010) menyebutkan bahwamasalah matematis secara lebih khusus adalah suatu
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

487

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

masalah yang diterima untuk dianalisis dan mungkin dapat diselesaikan dengan metode-metode
matematis.Menurut Minarni (2012) kemampuan pemecahan masalah matematis mencakup aspek:
(a) membuat model matematis dari suatu situasi atau masalah sehari-hari, (b) memilih dan
menerapkan strategi yang cocok, (c)menjelaskan dan menafsirkansolusi sesuai dengan masalah
asal.Matematika merupakan suatu pemecahan masalah maksudnya menekankan agar siswa belajar
menggunakan strategi yang luas dalam memahami isi matematika, mengenali dan merumuskan
persoalan dari dalam dan luar matematika, menggunakan model matematika dan teknologi yang
tepatuntuk
menyelesaikan
persoalan-persoalanyangluasdanbervariasi,termasukpersoalanpersoalan dunia nyata, menggeneralisasi penyelesaian dan strategi kemudian menggunakannya
pada persoalan yang baru, meningkatkan rasa percaya diri terhadap kemampuan untuk
menggunakan matematika secara bermakna dan menjadi penyelesai persoalan yang independen.
2.4 Disposisi Matematika
Pengembangan disposisi matematis untuk bertahan dalam menghadapi masalah, mengambil
tanggung jawab dalam belajar, dan mengembangkan kebiasaan kerja yang baik dalam matematika.
Kelak, siswa belum tentu akan menggunakan semua materi yang mereka pelajari, tetapi dapat
dipastikan bahwa mereka memerlukan disposisi positif untuk menghadapi situasi problematik
dalam kehidupan mereka.
Disposisi matematis siswa berkembang ketika mereka mempelajari aspek kompetensi matematis.
Sebagai contoh, ketika siswa diberi persoalan matematika yang menggunakan masalah kontekstual
(real) atau relevan dengan kehidupan anak dan diawali dengan masalah yang lebih mudah, maka
persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan berbagai cara atau model-model yang sesuai dengan
pengalaman anak dan kemampuan matematis yang dimilikinya.
Jika anak telah mampu menyelesaikan masalah, maka anak menjadi lebih berani, percaya diri dan
tidak kesulitan untuk belajar matematika. Karena merasa matematika tidak sulit untuk dipelajari
dan berguna dalam kehidupan sehari-hari, sehingga lama-kelamaan anak menjadi senang belajar
matematika.
Sebagaimana Pitajeng (2006) mengatakan: Permasalahan yang diangkat dari kehidupan anak lebih
mudah dipahami oleh anak, karena nyata, terjangkau oleh imajinasinya, dan dapat dibayangkan,
sehingga lebih mudah baginya untuk mencari kemungkinan penyelesaian dengan menggunakan
kemampuan matematis yang telah dimiliki. Sebaliknya jika masalah itu asing bagi anak, anak akan
kesulitan untuk memahaminya. Jika untuk memahami masalah sudah kesulitan, maka untuk
mencari penyelesaiannya akan merasa sulit.
Selanjutnya, Pitajeng (2006) mengatakan: Untuk menumbuhkan keberanian anak belajar
matematika, masalah yang diberikan sebaiknya dari yang mudah, kemudian meningkatkan
kesulitannya sedikit demi sedikit. Jika anak merasa mampu menyelesaikan masalah pertama yang
dihadapi, dia akan bersemangat dan berani mencoba menyelesaikan masalah kedua. Jika dia
mampu menyelesaikan masalah kedua, dia menjadi lebih berani mencoba menyelesaikan masalah
ketiga. Demikian untuk seterusnya, keberanian anak untuk belajar matematika tumbuh semakin
besar.Paparan di atas menunjukkan betapa pentingnya kemampuan pemahaman matematis,
komunikasi matematis dan disposisi matematis dalam proses belajar-mengajar matematika.
2.5 Pendekatan Kontekstual
Pertanyaannya adalah apakah tujuan pembelajaran matematika tersebut telah tercapai? Bagaimana
sebaiknya pengelolaan pembelajaran matematika di sekolah agar tujuan yang diharapkan itu
tercapai? Pada tahun 1998 Roy Killen (Sanjaya, 2013) mencatat ada dua pendekatan dalam
pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approach) dan
pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centred approach). Pendekatan yang digunakan oleh
para guru pada umumnya di lapangan, merupakan pendekatan yang berpusat pada guru. Guru
masih menyampaikan materi pelajaran matematika dengan pendekatan konvensional yang
menekankan pada latihan pengerjaan soal-soal, prosedural, serta penggunaan rumus. Pada
488

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

pembelajaran ini guru berfungsi sebagai pusat atau sumber materi guru yang aktif dalam
pembelajaran, sedangkan siswa hanya menerima materi.
Sebagaimana Shadiq (2009) menulis:Pada masa lalu, dan mungkin juga sampai saat ini, bahwa
sebagian guru matematika memulai proses pembelajaran dengan membahas pengertiannya, lalu
memberikan contoh-contoh diikuti dengan mengumumkan aturan-aturan. Kegiatan selanjutnya
adalah dengan meminta para siswa untuk mengerjakan soal-soal latihan. Dengan pembelajaran
seperti itu, para guru akan mengontrol secara penuh materi serta metode penyampaiannya.
Akibatnya, proses pembelajaran matematika di kelas saat itu menjadi proses mengikuti langkahlangkah, aturan-aturan, serta contoh-contoh yang diberikan guru.
Aktivitas pembelajaran di atas menekankan kepada para siswa untuk mengingat atau menghafal
dan kurang atau malah tidak menekankan kepada para siswa untuk mengkomunikasikan
gagasan/ide, bernalar, memecahkan masalah, ataupun pada pemahaman. Dengan aktivitas
pembelajaran seperti itu, kadar keaktifan siswa menjadi sangat rendah. Para siswa hanya
menggunakan kemampuan berpikir tingkat rendah selama proses pembelajaran berlangsung di
kelas dan tidak memberi kemungkinan bagi para siswa untuk berpikir dan berpartisipasi secara
penuh.
Dengan demikian, pendekatan pembelajaran pemberian informasi seperti yang digambarkan di
atas, memberi kesan yang kurang baik bagi siswa, karena dapat menimbulkan sikap negatif
terhadap matematika. Mereka melihat matematika sebagai suatu kumpulan aturan-aturan dan
latihan-latihan yang dapat mendatangkan rasa bosan, tidak adanya manfaat mempelajari
matematika dalam kehidupannya, karena aktivitas siswa hanya mengulang prosedur atau
menghafal algoritma tanpa diberi peluang lebih banyak berinteraksi dengan sesama. Apabila
pembelajaran matematika menekankan pada aturan dan prosedur, ini dapat memberi kesan bahwa
matematika adalah untuk dihafal bukan untuk belajar bekerja sendiri.
Dari fakta tersebut penulis berasumsi paling tidak ada tiga konsekwensi dari pendekatan
pembelajaran di atas. Pertama, kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis rendah, karena
tidak memberikan kebebasan berpikir pada siswa, melainkan belajar hanya untuk tujuan yang
singkat. Kedua, proses komunikasi terjadi hanya terjadi satu arah yaitu terpusat hanya pada guru
seutuhnya. Ketiga, disposisi matematis siswa rendah, karena dalam proses pembelajaran guru tidak
menumbuhkan rasa ingin tahu siswa dan percaya dirinya ketika menghadapai tantangan dalam
menyelesaikan masalah. Dari ketiga konsekwensi ini, maka mengakibatkan hasil belajar siswa pada
mata pelajaran matematika rendah.
Untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan matematis siswa perlu dilakukan
perubahan-perubahan dalam pendekatan pembelajaran matematika dari biasanya kegiatan berpusat
dari guru ke situasi yang menjadikan sebaliknya yaitu siswa menjadi pusat perhatian. Guru sebagai
fasilitator dan pembimbing sedangkan siswa sebagai terbimbing tidak hanya menyalin mengikuti
contoh-contoh tanpa mengerti konsep matematikanya.
Prinsip utama pembelajaran matematika adalah untuk memperbaiki dan menyiapkan aktivitas
belajar yang bermanfaat bagi siswa yang bertujuan untuk beralih dari paradigma mengajar
matematika ke belajar matematika, keterkaitan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran harus
ditunjang dengan disedakannya aktivitas belajar yang khusus sehingga siswa dapat melakukan
kemampuan matematis untuk menemukan dan membangun matematika dengan fasilitas oleh
guru.
Untuk mendapatkan keberhasilan dalam proses pembelajaran tidaklah mudah. Di dalam
pelaksanaannya masih banyak hambatan yang ditemui, hambatan tersebut bisa muncul dari dalam
diri siswa atau guru terutama pada pembelajaran matematika banyak siswa yang beranggapan
bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit, sehingga mereka cenderung tidak
menyenanginya. Di lain pihak, guru pun sering menemui kesulitan dalam menyampaikan materi

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

489

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

matematika yang cenderung abstrak. Pada pelaksanaan proses pembelajaran guru mempunyai
peranan penting agar proses pembelajaran tersebut dapat berjalan lancar dan efektif serta
menghasilkan out put yang baik.
Pada pembelajaran konvensional, pembelajaran masih terpusat pada guru, sehingga siswa
cenderung pasif dan sedikit diberi kesempatan untuk berpikir. Hal ini berakibat pola berpikir kreatif
siswa menjadi terhambat, padahal kemampuan berpikir sangat diperlukan oleh siswa untuk bekal
mereka ketika hidup dalam lingkungan masyarakat luas.
Terkait dengan masalah pola pikir siswa yang cenderung pasif, (Wahyudin, 2007) menyatakan
bahwa Salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa gagal dalam menguasai
materi-materi matematika adalah siswa kurang menggunakan nalar yang logis dalam
menyelesaikan permasalahan matematika. Selain itu siswa juga sering merasa bosan dengan
metode pembelajaran konvensional. Maka untuk mengatasi kebosanan siswa perlu adanya inovasi
dalam pembelajaran.
Pembelajaran kontekstual menurut Kemendikbud (2013) merupakan suatu proses pendidikan
yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk dapat memahami dan mengkaitkan materi
yang di pelajara dengan kehidupan sehari-hari. Menurut Johnson (Nuhadi, 2002)) menyatakan
tujuan utama Contextual Teaching And Learning (CTL) adalah membantu para siswa dengan cara
yang tepat untuk mengaitkan makna pada pelajaran akademik mereka. CTL membuat siswa
mampu menghubungkan isi dari subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan keseharian.
Berdasarkan penelitian Center for Occupational Research and Development (CORD) menemukan
bahwa, The majority of students in our schools are unable to make connections between what they
are learning and how that knowledge will be used. This is because the way they process
information and their motivation for learning are not touched by the traditional methods of
classroom teaching. Maksudnya kebanyakan siswa di sekolah tidak dapat membuat hubungan
antara apa yang mereka pelajari dan bagaimana pengetahuan itu akan digunakan. Hal ini karena
cara mereka memproses informasi dan motivasi mereka untuk belajar tidak tersentuh oleh metode
tradisional. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam pembelajaran kontekstual peranan guru adalah
membantu siswa menemukan makna dalam pendidikan dengan cara membuat hubungan antara apa
yang mereka pelajari di sekolah dan cara-cara menerapkan pengetahuan di dunia nyata.
Sears (2002) menegaskan bahwa, Teacher: who use CTL strategies also believe that childre
usually learn best in classroom communities that reflect dliversity. Students often learn because of
diversity, rather than in spite of diversity. Maksudnya, guru yang menggunakan strategi CTL juga
percaya bahwa pembelajaran terbaik bagi siswa adalah dalam kelas yang mencerminkan
keberagaman. Siswa lebih sering belajar karena keragaman, bukan terlepas dari keberagaman. Hal
ini mengakibatkan guru harus dapat menggunakan cara atau pengalaman yang bervasriasi dalam
pembelajaran. Siswa dengan pengalaman yang bervariasi akan lebih banyak belajar dari pada
pengalaman yang tunggal.
Menurut Johnson, (Nurhadi, 2002). Sistem CTL mencakup delapan komponen, yaitu: 1) making
meaningful connections, yaitu pembelajaran ditujukan untuk dapat menghubungkan yang bermakna
antara ilmu yang diperoleh dengan kehidupan sehari-hari; 2) doing significant work, yaitu dalam
pembalajaran, kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan yang berarti atau biasa terjadi dalam
lkehidupan; 3) self-regulated learning, yaitu siswa dapat mangatur diri sendiri untuk belajar dan
mendapatkan pengalaman; 4) collaborations, yaitu siswa diajak untuk dapat saling bekerja sama
dalam memecahkan suatu masalah dalam proses pembelajaran; 5) critical and creative thinking,
yaitu siswa dilatih untuk dapat berpikir kritis dan kreatif dalam menghadapi suatu masalah; 6)
nurturing the individual yaitu guru tidak hanya mentrasfer ilmu saja melainkan medidik, me;atih,
dan memperdulikan siswa dalam proses pembelajaran; 7) reaching high standards yaitu siswa
dilatih untuk mencapai hasil yang makasimal dalam belajar; 8) using authentic assessment yaitu
guru memberikan nilai berdasarkan kenyataan yang sebenarnya.

490

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Berdasarkan Center for Occupational Research and Development (CORD), strategi yang
digunakan dalam pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut: (1) Relating, belajar dikaitkan
dengan konteks kehidupan nyata; (2) Experiencing, belajar adalah kegiatan mengalami, siswa
berproses secara aktif hal yang dipelajari dan berupaya melakukan eksplorasi terhadap hal yang
dikaji, berusaha menemukan hal yang dipelajarinya; (3) Applying, Belajar menekankan pada proses
mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki dalam konteks dan pemanfaatannya; (4)
Cooperating, Belajar merupakan proses kolaboratif dan kooperatif melalui belajar kelompok,
komunikasi interpersonal atau hubungan intersubjektif; (5) Transfering, belajar menekankan pada
terwujudnya kemampuan memanfaatkan pengetahuan dalam situasi atau konteks baru. Setrategi ini
sering disingkat dengan istilah REACT.
Berdasarkan uraian pendapat di atas, pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang
bersifat konstriktivis dengan cara mengkaitkan dengan permasalahan dunia nyata guna mengikat
makna pembelajaran. Salah satu strategi pendekatan kontekstual yaitu menggunakan REACT
(Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, and Transfering).

3.

Kesimpulan

Pemahaman konsep pembelajaran merupakan salah satu prasyarat untuk melanjutkan ke materi ajar
selanjutnya. Dengan keterampilan komunikasi matematis, juga perlu dikembangkan sikap
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan
minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam memecahkan
masalah. Pengembangan disposisi matematis untuk bertahan dalam menghadapi masalah,
mengambil tanggung jawab dalam belajar, dan mengembangkan kebiasaan kerja yang baik dalam
matematika. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang bersifat konstriktivis dengan
cara mengkaitkan dengan permasalahan dunia nyata guna mengikat makna pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2009. Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar.Jakarta : Rineka
Cipta
Arikunto, Suharsimi. 2006. Metodelogi penelitian. Yogyakarta: Bina Aksara.
Baroody. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communication, K-8, Helping Children Think
Mathematically.New York: Macmillan Publishing Company
Faisal, Sanapiah, 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya
Himmatul Ulya, Masrukan, Kartono (2012), Keefektifan Penerapan pendekatan pembelajaran
kontekstual dengan penilaian produk Unnes Journal of Mathematics education, Semarang.
Hudoyo, H. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. JICA.
Universitas Negeri Malang
Johnson, Elaine, 2006, Contextual Teaching & Learning, terj. Ibnu Setiawan, Bandung:MLC.
Kemendikbud, 2013, Draft Kurikulum 2013, Kompentensi Dasar SD/MI,Pengembangan
Kurikulum 20013, Bahan Uji Publik, Kemendikbud Jakarta : Kemendikbud.
Nurhadi, dkk. 2002. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan
Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Pitajeng, 2006. Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Kunandar. (2007). Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi
Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
Sanjaya, W, 2013, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Cetakan ke
sepuluh. Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.
Shadiq, Fadjar. 2009. Kemahiran Matematika. Makalah disampaikan pada Diklat Instruktur
Pengembang Matematika SMA Jenjang Lanjut.
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan keduabelas 2008. Penerbit Alfabeta,
Bandung.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

491

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Sugiyono, 2009, Statistika Untuk Penelitian, Bandung: Penerbit Alfabeta, Bandung


Sumarmo, U, (2013) Berpikir dan Disposisi Matenatik Serta Pembelajarannya, Kumpulan
Makalah. Jurusan Matematika Fakultas MIPA UPI Bandung, Tidak diterbitkan
Syaodih, N, (2003). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
Turmudi (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika berparadigma
Exploratif dan Investigatif. Leuser, Jakarta.
Wahyudin, 2007, Matematika Bangun Ruang, Epsilon Grup, Bandung

492

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL


TEACHING AND LEARNING (CTL) UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP
KPK DAN FPB SISWA KELAS IV SDN LANUMA HUSEIN
S.1 BANDUNG
Iwan Darmawan
Guru SDN Lanuma Husein S.1 Bandung
darmawaniwan2013@gmail.com

ABSTRAK
Mata pelajaran Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan di SD yang
menguasai pengetahuan, fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan, dan
memiliki sikap sosial. Adapun masalah yang dihadapi peserta didik yakni mengenai rendahnya
pemahaman dan hasil belajar dikarenakan proses pembelajaran masih menggunakan
pendekatan konvensional. Agar siswa lebih dapat memahami konsep matematika maka guru
mencoba menerapkan model pembelajaran kontekstual (CTL) yang mana dalam proses
pembelajarannya siswa dilibatkan secara langsung dalam proses dan sekaligus menjadi subjek
pembelajaran. Model pembelajaran kontekstual diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
dan hasil belajar. Model pembelajaran kontekstual merupakan model belajar yang membantu
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorongnya
membangun pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka seharihari. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran kontekstual pada pokok bahasan dalam rangka meningkatkan pemahaman dan
hasil belajar mata pelajaran Mtematika. Penelitian ini dilaksanakan di SDN Lanuma Husein S,
dengan jumlah siswa di kelas IVA sebanyak 22 orang. Standar penilaian didasarkan pada
pencapaian KKM yang ditetapkan yaitu 65. Penelitian dapat dinyatakan tuntas jika pemahaman
dan hasil belajar siswa mencapai 85% diatas KKM dari hasil Penelitian secara keseluruhan.
Pendekatan penelitian ini melalui deskriftif kualitatif dan teknik yang digunakan adalah
observasi, wawancara dan simulasi sehingga hasil dari pembelajaran pada siklus 1 rata rata
nilai 49, dan pada siklus 2 meningkat menjadi 75. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa hasil
belajar mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Matematika dengan
model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan pemahaman dan hasil belajar siswa pada
materi konsep KPK dan FPB.
Kata Kunci: kontekstual (CTL) , Retensi Kemampuan Pemahaman

1.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang Masalah

1.1.1. Identifikasi Masalah


Proses belajar yang terjadi disekolah SDN Husein selama ini pada kenyataannya menunjukkan
bahwa siswa lebih berperan sebagai obyek dan guru berperan sebagai subyek. Pusat informasi atau
pusat belajar adalah guru, sehingga sering terjadi siswa akan belajar jika guru mengajar, begitu
juga dalam penilaian yang masih menekankan hasil daripada proses pembelajaran. Proses
pembelajaran matematika di SDN Husein masih sebatas sebagai proses penyampaian pengetahuan.
Ini berarti siswa hanya menerima materi-materi tanpa ada usaha menggali nilai-nilai dan
pemahaman yang terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu, sudah saatnya paradigma pendidikan yang selama ini ada untuk diubah sehingga
diperlukan suatu strategi pembelajaran yang dapat dijadikan jalan keluar agar proses pembelajaran
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

493

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

lebih efektif dan efisien. Untuk mencapai tujuan pembelajaran pada mata pelajaran Matematika
yaitu adanya internalisasi pada diri siswa tentang pemahaman pembelajaran yang diajarkan secara
mudah serta adanya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa tidak merasa
jenuh, menjadikan belajar lebih bermakna dan mampu mengaitkan materi dengan kehidupan
sehari-hari hal ini sesuai dengan tujuan Kurikulum 2013. Pembelajaran yang dimaksud adalah
Pembelajaran Kontekstualatau Contextual Teaching and Learning (CTL).
1.1.2.

Analisis Masalah

Bagaimana kemampuan pemahaman konsep KPK dan FPB siswa kelas IV SDN Husein sebelum
dan setelah tindakan melalui penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL).

Alternatif Pemecahan Masalah

1.1.3.

Untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep KPK dan FPB siswa kelas IV SDN Husein
sebagai alternatif pemecahannya maka penulis menerapkan model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning. Pembelajaran CTL adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari.
1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
a. Apakah model pembelajaran CTL dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep KPK
dan FPB siswa kelas IV SDN Husein Bandung ?
b. Bagaimana penerapan model pembelajaran CTL dalam meningkatkan pemahaman konsep
KPK dan FPB siswa kelas IV SDN Husein Bandung ?
c. Bagaimana hasil pembelajaran dengan menggunakan model CTL dalam meningkatkan
pemahaman KPK dan FPB siswa kelas IV SDN Husein Bandung ?
1.3.

Tujuan Perbaikan

Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti melakukan perbaikan
dengan tujuan sebagai berikut :
a. Meningkatkan pemahaman siswa dalam menguasai konsep KPK dan FPB
b. Meningkatkan pemahaman siswa dengan menggunakan model pembelajaran CTL
c. Meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika dengan menggunakan model
pembelajaran CTL
1.4. Manfaat Perbaikan
a. Manfaatbagi guru :
1) Menambah wawasan dan pengetahuan ilmu dan teknologi
2) Meningkatkan kualitas pembelajaran
3) Meningkatkan keprofesionalan guru
4) Sebagai kredit poin dalam kenaikan golongan
b. Manfaat bagi siswa :
1) Siswa lebih menyenangi pelajaran matematika
2) Mengembangkan kemampuan berfikir dan berkomunikasi
3) Berguna untuk kepentingan hidup dalam lingkungannya, mengembangkan pola fikirnya
dan untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya
4) Berbagi informasi dan pengalaman dalam memecahkan masalah

494

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

c. Manfaat bagi sekolah


Meningkatkanprestasisekolahterutamadalammatapelajaranmatematika memberi masukan
kepada sekolah agar siswanya dapa tmengembangkan kemampuan intelektualnya sesuai
dengan perkembangan intelektual anak

2. Kajian Pustaka
2.1. Konsep Pendekatan Kontekstual
Model pebelajaran pada dasarnya dangat beragam dan salah satunya adalaha model pembelajaran
kontekstual. Model pembelajaran kontekstual menekankan keterlibatan siswa secara maksimal
yaitu menghubungkan materi dengan kehidupan sehari-hari
Menurut Hull dan Sounders (Komalasari, 2010:6) mengatakan bahwa:
Dalam pembelajaran CTL (Contexstual Taching Learning), peserta didik menemukan
hubungan penuh makna antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dalam konteks
dunia nyata. Peserta didik menginternalisasi konsep melalui penemuan, penguatan, dan
keterhubungan. Pemebelajaran kontekstual menghendaki kerja dalam sebuah tim, baik di
kelas, laboratorium, tempat kerja maupun bank. Pembelajaran kontekstual menurut guru
mendesain lingkungan belajar merupakan gabungan beberapa bentuk pengalaman untuk
mencapai hasil yang diinginkan.
Sementara Johnson (Sadirman, 2011:222) mengemukakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah
bahwa peserta didik menghubungkan isi materi dengan konteks kehidupan sehari-hari untuk
menemukan makna.
Sedangkan, menurut Depdiknas (Kesuma, 2010:58) Contextual Teaching and Learning adalah
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata dan mendorong siswa membantu hubungan anatara pengetahuan yang dimilikinya dengan
perencanaan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan beberapa definisi pembelajaran kontekstual tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran konekstual adalah model pembelajaran yang mengaitkan materi dengan dunia nyata
siswa sekaligus mendorong siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang dimiliknya dengan
penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk yang penting, yaitu
mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan ( applying), bekerjasama
(cooperating) dan mentransfer (transferring).
2.2.

Metode Demonstrasi

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, metode artinya cara yang telah diatur dan terpikir baikbaikuntuk
mencapai suatu maksud. (Poerwodarminto,2005:767) Slameto(2010:82)
mengemukakan, metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan
tertentu.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain ( 2010:46), metode adalah suatu cara yang
digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dari beberapa pendapat diatas, dapat
penulis simpulkan bahwa metode adalah suatu cara yang telah diatur dan terpikir dengan baik
untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.

3.

Pelaksanaan Penelitian Perbaikan Pembelajaran

Rencana perbaikan pembelajaran berdasarkan masalah teridentifikasi peneliti melakukan berbagai


rencana perbaikan demi meningkatkan proses pembelajaran kearah yang lebih berkualitas, yaitu :

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

495

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.1. Rencana Perbaikan Mata pelajaran matematika


3.1.1. Siklus 1
Langkah langkah perbaikannya adalah :
a) Menjelaskan materi KPK dan FPB
b) Siswa diberi kesempatan mengamati ilustrasi tentang benda bergerak agar dapat memperoleh
gambaran kongkret tentang KPK melalui bermain
c) Siswa menjawab pertanyaan di buku dan meminta siswa untuk berdiskusi dengan teman
sebangku
d) Setelah selesai pengamatan, guru mengundi masing-masing kelompok untuk melaporkan hasil
pengamatan tentang konsep KPK
e) Guru memberi kesempatan bagi kelompok yang lain untuk menanggapi hasil pengamatan
f) Siswa dibagi menjadi 5 kelompok setiap kelompok beranggotakan 4 orang
g) Salah satu kelompok melakukan demonstrasi melompat dengan permainan lompat kelinci
h) Siswa lain mengamati kelompok lain
i) Siswa menuliskan hasil kegiatannya di buku tematik
j) Siswa mengerjakan soal yang ada pada buku dan saling bertukar jawaban dengan kelompok
lainnya
k) Guru mengadakan penilain pada saat siswa berdiskusi dan mengumpukan hasil kegiatannya.
3.1.2. Siklus 2
Langkah langkah perbaikannya adalah :
a) Menjelaskan materi KPK dan FPB
b) Siswa diberi kesempatan mengamati ilustrasi tentang benda bergerak agar dapat memperoleh
gambaran kongkret tentang KPK melalui bermain
c) Siswa menjawab pertanyaan dibuku dan meminta siswa untuk berdiskusi dengan teman
sebangku
d) Setelah selesai pengamatan, guru mengundi masing-masing kelompok untuk melaporkan hasil
pengamatan tentang konsep KPK
e) Guru memberi kesempatan bagi kelompok yang lain untuk menanggapi hasil pengamatan
f) Siswa dibagi menjadi 5 kelompok setiap kelompok beranggotakan 4 orang
g) Salah satu kelompok melakukan demonstrasi melompat dengan permainan lompat kelinci
h) Siswa lain mengamati kelompok lain
i) Siswa menuliskan hasil kegiatannya di buku tematik
j) Siswa mengerjakan soal yang ada pada buku dan saling bertukar jawaban dengan kelompok
lainnya
k) Guru mengadakan penilain pada saat siswa berdiskusi dan mengumpukan hasil kegiatannya.
3.2. Prosedur Pelaksanaan
Pelaksanaan perbaikan pembelajaran matematika dibantu teman sejawat yang berperan sebagai
observer selama proses pembelajaran berlangsung.
3.2.1.

Siklus 1

a) Melakukan Tanya jawab tentang materi sebelumnya


b) Menjelaskan materi pembelajaran
c) Melakukan demonstrasi lompat kelinci
d) Membimbing dan memantau
e) Berdiskusi
f) Menimpulkan materi
g) Penialain
h) Penugasan
Berdasarkan hasil evaluasi bahwa pada siklus 1 hasilnya belum memuaskan dan belum sesuai
dengan yang diharapkan.

496

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

3.2.2.

Siklus II

a) Melakukan tanya jawab dan mengaitkan materi dengan kehidupan


b) Menyampaikan materi dengan ber bagai contoh
c) Membagi siswa kedalam kelompok
d) Melakukan demonstrasi lompat kelinci
e) Guru menjelaskan apa yang sedang dilakukan siswa
f) Guru menyimpulan kegiatan
g) Penilaian hasil pembelajaran
Dengan melakuakn demonsrasi yang sederhana dan dengan fasilitas seadanaya, melibatkan siswa
dalam pembelajaran, mengaitkan materi dengan kehidupan
nyata, akhirnya perbaikan
pembelajaran menunjukan hasil yang memuaskan.

4.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Dalam menerapkan pembelajaran pada setiap siklusnya dilakukan sesuai dengan kemajuan
atau perubahan dengan kemajuan atau perubahan yang telah dicapai pada siklus
sebelumnya.
4.1.

Siklus I

4.1.1. Tujuan Perbaikan


Siswa dapat meningkatkan pemahaman terhadap penguasaan konsep KPK dan FPB dengan
menggunakan model pembelajaran Contectual Teaching and leraning (CTL), berikut ini di
gambarkan dalam bentuk tabel hasil dari pembelajaran matematika dengan menggunakan model
pembelajaran CTL metode demonstrasi.

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Tabel 1
Hasil pengolahan data matematika siklus I dan siklus II
Nilai
Nama
Pra Perbaikan
Siklus I
Desti Nurhalizah
55
60
Dika Maulana
50
50
Ikhsan Ramdoni
40
45
Irfan Hermawan
10
10
Jaka Erlangga
50
55
Mira Wulan
50
55
Muchammad Gias
50
55
M. Agnhy K
70
70
Rendi Pradita
10
10
Reni Sakinah
70
70
Rifa Asussyaadah
80
80
Rinrin
25
30
M. Rizki Frdaus
40
45
Rosa Pebrian
25
30
Sonia Gantira
25
30
Syaila Novtasari
65
70
Yogi Saputra
45
50
Asti Sintia
60
75
Zaki muhamad
70
80
Zahra Ayu Dita
40
50
Ali Andira
20
30
Agustian R
45
50
Jumlah
995
1030
Rata-Rata
45,7
49

Siklus II
75
75
65
60
80
75
80
90
60
80
90
70
70
70
70
90
75
90
90
70
70
75
1670
75

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa pembelajaran matematika tentang konsep pemahaman
KPK dan FPB dengan menggunakan model pembelajaran CTL metode demonstrasi dapat
meningkat, pada Pra Siklus atau jika menggunkan pembelajaran yang konvensional tingkat
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

497

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

keberhasilan siswa rata-rata 45,7, kemudian pada pembelajaran selanjutnya pada siklus I dengan
menggunakan model pembelajaran CTL meningkat menjadi nilai rata-rata yang diperoleh adalah
49, walaupun ada peningkatan tetapi belum menunjukan tingkat keberhasilan yang diharapkan
sehingga masuk pada tahap siklus ke II dan menunjukan tingkat keberhasilan sesuai dengan yang
diharapkan yaitu nilai rata-rata yang dperoleh mencapai 75.
4.1.2.

Keberhasilan

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti pada saat proses pembelajaran matematika terlihat
keinginan siswa untuk memperoleh penguasaan mata pelajaran matematika dan siswa menunjukan
sikap yang baik.
Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan proses pembelajaran dalam situasi dan kondisi yang
kondusif sehingga siswa aktif terlibat langsung dalam proses pembelajaran selain itu model
pembelajaran CTL dipandang bahwa siswa tidak hanya menjadi objek pembelajaran melainkan
menjadi subjek pembelajaran yang terlibat secara langsung dalam bentuk partisipatif.
4.2. Siklus II

4.2.1. Tujuan Perbaikan


Dilakukannya pembelajaran pada siklus II untuk lebih meningkatkan hasil beljar siswa, sebab pada
siklus I belum menunjukan peningkatan sesuai dengan yang diharapkan, dan pada siklus II
menunjukan tingkat keberhasilan siswa sesuai dengan yang diharapkan.

4.2.2. Keberhasilan
Setelah melakukan pembelajaran siklus II terlihat adanya peningkatan karena pembelajaran ini
dilakkukan secara berkelompok dengan metode demonstrasi, sehingga siswa tampak begitu
antusias dalam pembelajaran, demontrasi yang dilakukan adalah lompat kelinci.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Nilai Pra Perbaikan


Siklus I
Siklus II

Grafik 1. perolehan nilai matematika

Berdasarkan grafik diatas menunjukan bahwa perolehan nila rata-rata siswa terhadap pelajaran
matematika dengan model pembelajaran CTL mengalami peningkatan dari siklus ke siklus.
Pra perbaikan memperoleh nilai rata-rata 45,7, siklus I 49, dan siklus II 75.
Berdasarkan hasil pengamatan dan diskusi dengan teman sejawat secara umum perbaikan
pembelajaran yang dilaksanakan sudah menunjukan peningkatan, terbukti dari hasil evaluasidari
siklus ke siklus yang terus meningkat.

498

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

Volume 2, Tahun 2014. ISSN 2338-8315

Model pembelajaran CTL dengan metode demontrasi sangat membantu guru dalam penyampaian
materi pelajaran, pemahaman siswa semakin meningkat, siswa akan lebih memahami materi
pelajaran dengan model CTL hal ini disebabkan siswa dilibatkan secara langsung dalam proses
pembelajaran.
Dengan model CTL penulis dapat melihat kekurangan dan kelebihan model CTL selama proses
pembelajaran berlangsung.
Dengan menggunakan CTL dan dibantu oleh alat peraga serta media terbukti pembelajaran
matematika dipandang sangat menyenangkan bagi anak usia SD, hal ini sejalan dengan pendapat
Hull dan Sounders (Komalasari, 2010:6) mengatakan bahwa;
Dalam pembelajaran CTL (Contexstual Taching Learning), peserta didik menemukan hubungan
penuh makna antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata.
Peserta didik menginternalisasi konsep melalui penemuan, penguatan, dan keterhubungan.
Pemebelajaran kontekstual menghendaki kerja dalam sebuah tim, baik di kelas, laboratorium,
tempat kerja maupun bank. Pembelajaran kontekstual menurut guru mendesain lingkungan belajar
merupakan gabungan beberapa bentuk pengalaman untuk mencapai hasil yang diinginkan.

5.

Kesimpulan dan Saran

Penerapan model pembelajaran CTL dengan Metode Demonstrasi telah terbukti dapat :
a. Meningkatkan daya serap hasil belajar siswa, hal ini dapat dilihat pada peningkatan nilai ratarata dari siklus ke siklus
b. Meningkatkan motivasi dan perhatian siswa
c. Memiliki pngaruh yang signifikan pada peningkatan proses dan hasil belajar siswa
d. Membuat suasana kelas menjadi aktif.
Hendaknya guru harus lebih kreatif dalam mengembangkan model pembelajaran dan penggunaan
media pembelajaran yang sifatnya lebih konkret
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2010. Pedoman Khusus Pengembangan Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Depdiknas Kurikulum 2013
National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and Standars for School
Mathematics. Reston, VA: NCTM.
Sagala, S. 2008. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Sanjaya, W. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana.
Schoenfeld, A.H. (1992). Learning to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition and
Sense of Mathematics., Dalam Handbook of Reasearch on Mathematics Teaching and
Learning (pp. 334- 370). D. A. Grouws (Ed). New York: Macmillan.
Sumarmo, U. 1987. Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMP Dikaitkan
dengan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi
pada Pascasarjana IKIP Bandung: tidak diterbitkan
Tim Pustaka Yustisia. 2007. Panduan lengkap KTSP. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Komalasari, Kokom. 2010. Pembelajaran Kontekstua lKonsepdan Aplikasi. Bandung: PT
RefikaAditama.
Sugiyono (2008). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer Bandung: JICA
Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3
Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma
Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cipta Pustaka

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi

499

Você também pode gostar