Você está na página 1de 8

PENDIDIKAN KARAKTER PROFETIK DALAM PROSES

PEMBELAJARAN UNTUK MEMBENTUK SISWA


MENJADI MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA
Arif Setiawan dan Tuti Kusniarti
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Muhammadiyah Malang
arifsetiawan1988@gmail.com dan toetyhidayat@gmail.com
Abstrak
Pendidikan merupakan dasar dari setiap negara dalam membentuk warganya
menjadi insan yang mulia.Melalui pendidikan pula, bisa dikatakan negara tersebut
tergolong negara maju ataunegara berkembang.Hal ini menunjukkan, begitu
fundamentalnya peran pendidikan dalam membentuk arah dan tujuan sebuah
negara.Berdasarkan fakta tersebut, berbagai inovasi dilakukan oleh pakar untuk
memberi kemajuan dalam dunia pendidikan, tidak terkecuali di Indonesia.Akan
tetapi, akhir-akhir ini dirasakan sentuhan kemajuan yang ditiupkan dalam dunia
pendidikan mengalami kemandekan.Dikatakan mengalami kemandekan, karena
selama ini hanya ranah kognisi saja yang dikelola untuk menciptakan manusia
yang cerdas.Ranah afektif dan psikomotor siswa seperti dikebiri dan dipandang
sebelah mata dalam proses pembelajaran.Padahal secara umum tujuan pendidikan
adalah
menciptakan
manusia
yang
cerdas,
berakhlaq
mulia,
danprofesional.Berdasarkan fakta inilah pendidikan kekinian dirasa tidak
mengalami kemajuan tapi justru sebaliknya.Akhirnya muncullah ide untuk
kembali meniupkan nilai-nilai profetik dalam proses pembelajaran. Hal ini
bertujuan untukmengembalikan hakikat pendidikan yang sebenarnya,
yaitumenciptakan manusia yang cerdas, berkahlaq mulia, professional, dan
menjadi manusai Indonesia seutuhnya.
Kata kunci: pendidikan profetik, pembelajaran, manusia Indonesia seutuhnya
PENDAHULUAN
Pendidikan bisa diibaratkan sebagai pelita dalam kegelapan bagi kehidupan
setiap manusia. Hal ini tak terlepas dari kenyataan bahwa manusia tetap
melakukan proses belajar, baik itu dimulai darianak-anak, dewasa, dan sampai
meninggal (longlifeeducation).Begitu fundamentalnya peran pendidikan dalam
masyarakat, sehingga membuat semua lapisan masyarakat berlomba-lomba
menggapainya. Masyarakat berasumsi bahwa dengan pendidikan yang setinggitingginya akan mampu meraih kedudukan yang tinggi. Tentu saja asumsi
masyarakat tersebut tidak seratus persen salah, karena pada kenyataanya memang
seperti itu.Akan tetapi,ada sedikit dosa besar di balik harapan masyarakat tersebut,
di mana mereka berani menyekolahkan tinggi anaknya hanya untuk meraih
posisi/jabatan yang bagus.Tentu saja dengan pola pikir yang terlalu pragmatis
seperti itu,akan mengebiri peran pendidikan yang sebenarnya.Di mana peran
pendidikan yang sebenarnya bukan hanya menciptakan lulusan yang cerdas atau
68

mempunyai IQ tinggi.Akan tetapi, esensi pendidikan yang sesungguhnya adalah


mampu menciptakan lulusan yang siap menjadi anggota masyarakat.Tentu saja
untuk menciptakan lulusan yang seperti itu, bukan hanya ranah kognitif yang
harus dikelola. Ranah afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan hidup) juga
mendapatkan porsi yang sama untuk dikelola. Jika ketiga ranah tersebut
mendapatkan porsi yang sama, maka akan dipastikan lulusan yang diciptakan
bukan hanya cerdas secara intelektual, tapi cerdas dan cakap dalam bersikap serta
bermoral baik.Pendidikan seperti inilah yang sangat diinginkan oleh setiap negara,
sehingga warga negaranya bukan hanya cakap dalam segala hal dan siap menjadi
anggota masyarakat.
Pendidikan di suatu negara pastinya mengandung sebuah tujuan dan maksud
tertentu, serta selalu meniupkan nilai-nilai luhur di dalamnya. Hal ini juga
dilaksanakan oleh penggagas pendidikan di Indonesia,yaitu Ki Hajar Dewantoro
melalui 3 pilar pendidikanya yang meliputi, (1) ing ngarso sung tulodho(di depan
memberi teladan), (2) ing madyo mangun karso(di samping memberikan
bimbingan dan arahan), dan (3) tut wuri handayani(di belakang memberi
dorongan) (Rusman, 2011:98).Gagasan dari Ki Hajar Dewantoro inilah yang
menginspirasi seluruh elemen pendidikan di Indonesia.Inspirasi tersebut
menumbuhkan buah pikiran baru, yaitu gerakan untuk menerapkan nilai-nilai
luhur bangsa dan filosofi pendidikan yang berlandaskan Pancasila.Semua gagasan
tersebut dirasakan amat perlu untuk diaplikasikan dalam dunia pendidikan di
Indonesia.Dasar ini bukan hanya sebatas isapan jempol belaka, tetapi ini
berangkat dari kondisi Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, berbagai
macam suku bangsa, dan memiliki berbagai macam bahasa ibu (bahasa daerah)
(Sukardjo dan Komarudin, 2012:12).Tentunya dengan dasar dan filosofi negara
yang sudah diterapkan dalam pendidikan, diharapkan ke depan pendidikan
mampu menghasilkan lulusan menjadi manusia yang dapat diterima dengan
baik.Dengan demikian, pendidikan nasional bukan lagi berorientasi pada
kecerdasan semata tetapi juga mencakup moral Pancasila, sehingga nilai moral
tersebut mampu menjadi bekal secara universal di segala penjuru dunia.
Berdasarkan uraian di atas, sudah sangat jelas sekali bahwa orientasi
pendidikan Indonesia yang sekarang bukan lagi bersifat pragmatis. Dasar inilah
yang mendorong semua elemen bangsa untuk menerapkan pendidikan karakter
dalam proses pembelajaran.Hal ini dirasakan mampu menjadi oase di tengah
keringnya pendidikan di Indonesia.Harapan untuk melihat sosok-sosok cerdas dan
bermoral baik bisa mengapung dengan adanya pendidikan karakter ini.Tidak
heran, mengapa sekarang begitu terdengar keras sampai ke pelosok negeri untuk
kembali menggiatkan pendidikan karakter.Bertolak dari uraian masalah di atas,
pendapat Kuntowijiyo dengan ISP nya (ilmu sosial profetik) diharapkan mampu
mengaplikasi semua filosofi dan nilai-nilai luhur bangsa dalam proses
pembelajaran.
PEMBAHASAN
Kegagalan Pendidikan
Pendidikan di Indonesia dewasa ini sedang berada di lorong gelap tanpa
pernah tau kapan akan menemui jalan keluar. Dikatakan sedang berada di lorong

69

gelap, karena banyak kejadian-kejadian yang tidak menggambarkan tujuan proses


pendidikan.Di sana-sini masih terjadi hal yang sangat miris dan tidak seharusnya
ada dalam dunia pendidikan.Selain itu, beban dari masyarakat yang memang
sudah mengakar pada setiap lulusan adalah tuntutan intelaktual yang
tinggi.Tuntutan tersebut dirasakan tidak dibarengi dengan nilai moral dan etika
dalam setiap perilaku lulusan, sehingga dengan mudah bisa dilihat di sana-sini
anak yang cerdas namun tidak bermoral dan beretika.Sangat miris ketika melihat
fakta yang terhampar nyata seperti itu.Pertanyaan besar mengapung ketika melihat
kondisi tersebut, apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia?
pemerintah, pengajar, atau siswa yang salah dalam proses pembelajaran?Atau
haruskah sekolah mengajarkan nilai?Tentunya ketiga pertanyaan tersebut bisa
diuraikan dalam satu permasalahan yang besar, yaitu dekadansi moral yang
sedang dialami Indonesia.
Paparan fakta yang sekarang terjadi adalah semakin menurunnya nilai moral
dari para siswa penerus bangsa.Banyak di sana-sini terjadi kejahatan yang
diakibatkan oleh rendahnya moral remaja sebagai pelaku terbesar dari kejahatan
tersebut (Lickona, 2013:3).Hal ini tidak terlepas dari segitiga emas yang ada
dalam kehidupan yaitu, keluarga, sekolah dan masyarakat.Rata-rata dekandansi
moral yang terjadi pada remaja berawal dari keluarga, kebanyakan keluarga
tersebut adalah keluarga yang brokenhome.Pola asuh yang buruk merupakan dasar
terjadinya dekadansi moral, alasan inilah yang memanggil sekolah sebagai salah
satu segitiga emas untuk bertindak.Tindakan dari sekolah yang tepat adalah turut
serta menanamkan nilai pada siswa dalam proses pembelajaran. Belum lepas
masalah moral, pendidikan juga masih harus dihadapkan dengan gelombang
keserakahan dan matrealisme.Uang semakin menjadi sesuatu yang mampu
menggerakkan budaya, sehingga membentuk nilai-nilai dan tujuan hidup kaum
remaja (Lickona, 2013:5). Segala cara dilakukan oleh remaja untuk mendapatkan
uang walaupun harus melanggar hukum.
Fakta di atas membuat sebagian warga negara Indonesia merasa berkecil hati
akan kehidupan di masa depan.Bisa dibayangkan, apabila semua aspek kehidupan
hanya menekankan pada proses intelektual saja tanpa adanya moral dan etika yang
baik di dalamnya. Kering,akan sangat kering melihat generasi penerus bangsa
dengan kondisi yang seperti itu. Sejenak mari melihat tujuan pendidikan nasional
yang tertuang dalam UU sistem pendidikan nasional, yaitu UU No. 20 Tahun 2003
yang berbunyi Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berkahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
mejadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. (Trianto,
2007:37). Dari tujuan tersebut sudah sangat jelas, bahwa pendidikan kita masih
belum mampu menghasilkan lulusan yang seperti bunyi UU No 20.Sebagai
elemen pendidikan, kita merasa tidak ada yang salah dengan tujuan pendidikan
tersebut.Sudah selayaknya semua eleman yang tertuang dalam segitiga emas,
mampu menjadi wadah yang mengaktualisasi remaja sebagai lulusan sekolah.
Nilai-nilai Luhur Bangsa Indonesia

70

Sejak pertama kali berdiri, bangsa Indonesia sudah memiliki nilai-nilai luhur
yang terkandung dalam Pancasila. Nilai-nilai luhur tersebut melikupikeagamaan,
kemanusiaan dan persamaan, persatuan dan kesatuan, kemerdekaan, demokrasi
dan kemandirian, serta keadilan dan kesejahteraan, yang telah menjadi kebiasaan
dalam kehidupan masyarakat (Sardiman, 2011:69).Bermodalkan nilai-nilai luhur
inilah selayaknya pembelajaran dalam kelas dilaksanakan, karena nilai-nilai luhur
ini merupakan cita-cita besar Indonesia.Nilai-nilai luhur inilah yang selayaknya
menjadi perpaduan dengan kompetensi guru dan nilai pendidikan karakter dalam
proses pembelajaran.
Nilai-nilai luhur bangsa ini juga seharusnya menjadi pondasi dalam segala
aspek kehidupan di lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat.Apabila ketiga
eleman ini sudah kental dengan nilai-nilai luhur bangsa, bisa dibayangkan
generasi penerus bangsa yang akan tercipta bukan hanya pintar tapi juga baik
secara moral dan perbuatan.Pendidikan nilai-nilai luhur bangsa sangat penting
untuk membentuk keberhasilan sebuah masyarakat yang demokratis.Alasan
demokratis inilah yang menjadi dasar setiap sekolah untuk menyelanggarakn
pendidikan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Kata demokratis mempunyai arti dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan arti seperti ini, rakyat seharusnya
mengetahui dan memahami terhadap pondasi-pondasi moral demokrasi, percaya
pada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati hak-hak individu, mematuhi
hukum,berpartisipasi secara sukarela dalam kehidupan publik, dan peduli terhadap
kesejahteraan bersama (Lickona, 2013:7). Arti inilah yang diharapkan mampu
untuk diimplementasikan ke dalam proses pembelajar, sehingga mampu
menciptakan siswa/remaja yang bukan hanya pintar tetapi juga baik dan bermoral.
Dorongan keyakinan inilah yang membuat pentingnya pendidikan karakter
untuk diterapkan di sekolah.Pendidikan karakter tersebut bisa dilakukan sekolah
melalui disiplin, contoh-contoh baik dari guru, dan kurikulum.Kondisi yang
seperti ini diyakini mampu mengajarkan nilai-nilai ketuhanan, patriotisme, kerja
keras, kejujuran, hemat, kedermawanan, dan keberanian pada anak-anak.Modal
inilah yang nantinya diharapkan mampu mengikis kegagalan pendidikan yang
selama dialami Indonesia.Selain itu, dengan modal tersebut siswa diharapkan
tidak lagi mendeskriminasikan suku, ras, agama, etnik, dan jenis kelamin.
Harapan seperti ini selayaknya membuat setiap elemen yang ada dalam dunia
pendidikan dan pembelajaran memahaminya, sehingga mereka mampu tergerak
untuk menciptakan siswa yang cerdas dan baik serta menjadi gambaran manusia
indonesia yang seutuhnya.
Pendidikan Karakter Profetik untuk Membentuk InsanKamil
Pendidikan yang ada selama ini dirasakan belum mampu menghasilkan
lulusan/remaja yang benar-benar memadukan antara intelaktual dengan moral
yang baik.Selain itu, pendidikan selama ini lebih bersifat pragmatis dan
memicingkan mata dengan ranah afektif dan psikomotor, sehingga semakin
memperparah kondisi pendidikan di Indonesia.Kondisi tersebut ternyata mulai
dirasakan oleh pemerintah sebagai sebuah kemunduran dalam rangka
pembangunan negeri.Berbagai upaya pun mulai diformulasikan oleh pemerintah
untuk menciptakan generasi yang cerdas dan bermoral baik.Salah satunya adalah

71

melalui revisi Undang-Undang tentang pendidikan, serta sebuah gebrakan yang


sangat luar bisa.Ya, gerakan kekinian yang disuarakan oleh pemerintah adalah
pendidikan berbasis nilai-nilai karakter.Mulai dari nilai-nilai adat istiadat sampai
kembali ke nilai-nilai agama Islam diwajibkan selalu ada dalam proses
pembelajaran.Dengan jalan seperti ini pemerintah menaruh harapan yang lebih
kepada proses pembelajaran, sehingga mampu melahirkan kembali tokoh
kahrismatik yang pernah dimiliki Indonesia. Ya, kerinduan akan sosok seperti
Seokarno dan M. Hatta yang cerdas dan visioner, namun tak melupakan
hakikatnya sebagai hamba yang harus menghamba dengan baik kepada Tuhannya.
Berangkat dari uraian di atas, maka memang sudah seharusnya pendidikan di
Indonesia berbenah untuk menciptakan sosok yang nasionalis dan
agamis.Pendidikan karakter yang sudah berjalan selama kurang lebih 4 tahun
masih harus terus berbenah, agar benar-benar mampu menciptakan insankamil
atau manusia Indonesia seutuhnya.Isu kekinian yang dihembuskan adalah kembali
kepada pendidikan karakter yang bernafaskan Islami, kondisi ini berangkat dari
sifat insan kamil yang dimiliki oleh panutan seluruh alam semesta, Muhammad
SAW.Isu ini mengarahkan kepada pendidikan karakter profetik sebagai bekal bagi
peserta didik nantinya. Pendidikan karakter profetik ini berlandaskan pada 4 nilai
teladan dari Nabi Muhammad saw yaitu, tabligh, amanah, sidik, fathonah. Selain
itu, pendidikan karakter profetik berdasarkan pada kesadaran tauhid yang meliputi
(1) nilai profetik sebagai nilai arahan, (2) nilai-nilai profetik bersifat universal
(syamil), dan (3) nilai-nilai profetik bersifat humanis (insaniyah) (Kuntowijoyo,
2006: 36).Gagasan tersebut juga memilikikaitandengan surah Al-Imron ayat 110,
yang di dalamnya memuat: (1) humanisasi, pendidikan harus memanusiakan
manusia, (2) liberasi, membebaskan manusia kemiskinan structural dan
keangkuhan teknologi, dan (3) transendensi, menguatkan dengan nilai-nilai
ilahiah. Dasar pemikiran inilah yang coba ditangkap oleh pemerintah dan
diterapkan dalam proses pembelajaran. Dalampendidikan karakter profetik siswa
didorong untuk mengembangkan dirinya melalui proses pembelajaran tanpa henti
(long life education).
Dalam proses pembelajaran di dalam kelas guru sebagai ujung pena yang
melaksanakan rangkaian kurikulum dari pusat, harus mampu mengakomodir
semua elemen yang ada di dalam kelas.Jika semua elemen tersebut mampu
diramu dengan baik oleh seorang guru, maka proses pembelajaran akan
terintegrasi, komperhensif, intergral, dan kondusif. Kondisi yang seperti ini akan
menyentuh semua ranah yang dimiliki siswa kognitif, afektif, dan psikomotor,
sehingga harapan utuk mewujudkan pendidikan yang mengembangkan misi
moral-etis, untuk menciptakankepribadian yang integral.Proses pendidikan
karakter profetik di dalam kelas bisa dilaksanakan melalui (1) metode belajar
partisipatoris, (2) menciptakan iklim belajar yang kondusif, (3) memerhatikan
keunikan siswa, (4) guru harus menjadi teladan (model), dan (5) kultur terbuka,
(6) lingkungan sekolah yang aman dan nyaman, (7) implementasi nilai-nilai
prioritas, (8) melibatkan seluruh warga sekolah, (9) melibatkan siswa dalam
wacana moral, dan (10) program yang jelas dari sekolah tentang pembentukan
karakter (Djamarah dan Zain, 2010:87).Selain itu, profesionalisme seorang guru
juga menjadi dasar utama sebagai kunci sukses untuk melaksanakan pendidikan

72

karakter profetik. Selain itu, keterlibatan keluarga dan masyarakat yang berdiri di
luar sekolahjuga perlu dirancang untuk mampu menciptakan suasana kondusif,
sehingga proses pendidikan karakter profetik tidak hanya dibebankan seutuhnya
pada sekolah.Kombinasi ketiganya merupakan unsur yang tidak dapat dispisapisahkan sebagai garda terdepan dalam menciptakan lulusan yang insankamil.
Konsep uraian di atas menggambarkan betapa besar harapan dan keinginan
pemerintah untuk menghasilkan manusia yang insan kamil.Harapan dan keinginan
ini sebagai suatu oase di tengah suramnya dunia pendidikan di Indonesia,
sehingga keinginan untuk melihat Indonesia menjadi negara maju akan terwujud.
Keinginan tersebut bukan hanya dirasakan oleh Indonesia, tetapi dirasakan oleh
hampir seluruh negara yang ada di dunia.Berangkat dari kondisi ini, UNESCO
merumuskan bagaimana pembelajaran yang baik meliputi, (1) learning to be,
(2)learning to do, (3) learning to know, dan (4) learning to life togather.Rumusan
elemen ini juga tidak jauh dari konsep nilai profetik yang digagas oleh
Kuntowijoyo, sehingga bisa dikatakan sebetulnya konsep UNESCO sudah
digagas oleh Kuntowijoyo terlebih dahulu.Berdasarkan kondisi dan kenyataan
tersebut, sebagai negara yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila dan
kombinasi dengan nilai profetik, maka besar harapan mampu melahirkan lulusan
yang insankamildan menjadi manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan cita-cita
bangsa.
Strategi Pembentukan Karakter
Pendidikan karakter yang sudah digagas oleh pemerintah tidak serta merta
berjalan dengan sendirinya.Perlu adanya strategi untuk membentuk dan
menanamkan karakter pada peserta didik.Berbagai strategi bisa digunakan oleh
guru, orang tua, dan masyarakat agar mampu membentuk insan kamil.Strategi
tersebut meliputi (1)pengarahan, sebagai segitiga emas dalam pembentukan
generasi penerus bangsa, selayaknya sekolah, orang tua, dan masyarakat saling
berkolaborasi untuk memberikan pengarahan kepada setiap remaja sebagai
generasi bangsa.Arahan yang diberikan bisa beragam caranya mulai dari lisan
sampai tertulis. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab dari setiap elemen tersebut
sebagai warga negara, sehingga kelak apa yng sudah mereka arahkan bisa menuai
hasil dan tidak mengecewakan.(2) habituasi, tindak lanjut dari pengarahan adalah
habit atau kebiasaan. Harapannya arahan baik yang sudah diberikan mampu
dijadikan sebagai kebiasaan dalam mejalani kehidupan sehari-hari, sehingga
nantinya mampu menjadi ideologi yang dijadikan pedoman hidup individu sampai
bangsa (Trianto, 2007:56).Seperti yang sudah diketahui oleh semua pihak bahwa
kebiasan adalah faktor utama untuk menentukan maju tidaknya individu atau
negara. Semakin baik kebiasaan yang dimiliki oleh setiap individu, maka akan
semakin maju individu dan negara tersebut. Begitu pun sebaliknya, semakin jelek
kebiasaan dari individu, maka akan semakin tertinggal individu dan negara
tersebut.Berangkat dari fakta tersebut, selayaknya habit atau kebiasaan ini
menjadi tonggak penting menciptakan generasi yang pandai, bermoral-etis, dan
berkarakter.Orang tua, sekolah, dan masyarakat bisa menamankan kebiasaan baik
pada setiap generasi penerus bangsa. Misalnya melalui cara penanaman kebiasan
baik sebelum pergi beraktivitas untuk berdoa. Kebiasaan ini secara tidak langsung

73

menyadarkan bahwa manusia hanya sebagai seorang hamba dan tidak bisa berbuat
apapun tanpa bantuan Allah SWT.Harapannya kebiasaan-kebiasaan seperti ini bisa
terus ditularkan dalam setiap aspek kehidupan, sehingga benar-benar terbentuk
generasi penerus bangsa yang sesuai dengan keinginan bangsa.(3) keteladanan,
sosok teladan yang selama ini diwakili oleh Nabi Muhammad perlahan mulai
ditinggalkan, banyak generasi muda yang meneladani sosok yang tidak patut
diteladani. Kondisi itu berdampak sampai dengan era sekarang, utamanya di
Indonesia, sosok seperti Seoekarna dan Hatta sudah semakin sulit untuk
ditemukan.Generasi muda Indonesia yang sekarang sudah terjebak pada budaya
konsumerisme, hedonis, matrealistis, pragmatis, dan instan.Hal ini membuat
mental dan kebiasaan para gensrasi muda Indonesia semakin dangkal dan tak
terasah.Mereka lebih sering mengeluh ketika menghadapi masalah dan mudah
menyerah dalam setiap peristiwa.Kondisi ini selayaknya menjadi cambuk bagi
pemerintah untuk mengubah pendidikan di Indonesia,salah satunya adalah melalui
pendidikan karakter profetik. Salah satu cara yang terbaik dalah menghadirkan
sosok teladan di dalam proses pembelajaran. Sosok tersebut tidak terlepas dari
seorang guru yang memeiliki karakter dan kepribadian yang mantab (Rusman,
2011:45).Secara tidak langsung guru merupakan sosok teladan yang sangat
diidolakan oleh siswanya.Dengan menghadirkan sosok guru yang memiliki
kepribadian yang mantab dan penuh dedikasi, maka bisa diharapkan generasi
muda Indonesia tidak kehilangan suri tauladan yang baik. Apabila ini bisa
dimaksimalkan dengan baik oleh pemerintah, bisa dibayangkan akan kemunculan
sosok seperti Sukarno dan Hatta di era yang akan datang. (4) penguatan, langkah
selanjutnya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pendidikan karakter profetik
adalah penguatan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberikan penguatan dan
rewardkepada apa yang sudah dilakukan oleh peserta didik. Penguatan ini bisa
dikatakan sebagai salah satu cara untuk menanamkan kebiasaan baim pada diri
peserta didik. Dengan penguatan yang baik dari setiap elemen yang terlibat di
dalamnya, bisa dipastikan generasi penerus yang berdab dan bermoral akan
ditemui kembali. (5) indoktrinasi, langkah terakhir adalah indoktrinasi. Langkah
ini dirasakan sebagai cara yang sangat baik untuk membentuk karakter peserta
didik menjadi karakter yang baik. Doktrin-doktrin yang baik juga akan
membentuk kebiasaan yang akan terbawa dalam kehidupan sehari-hari dari
peserta didik. Doktrin ini juga bisa dilakukan oleh semua elemen yang terlibat di
dalamnya.Kelima langkah ini bisa menjadi strategi yang sangat efektif untuk
membentuk karakter peserta didik dalam proses pembelajaran.
PENUTUP
Uraian penting mengenai pendidikan karakter profetik merupakan isu
kekinian yang tengah hangat dibicarakan di Indonesia.Hal ini muncul seiring
dengan kemerosotan moral anak bangsa dewasa ini.Berbagai diagnosa dilakukan
untuk mencari penyebab kemerosotan moral anak bangsa.Mulai dari tayangan
televisi yang tidak mendidik, pengaruh globalisasi, gagalnya sistem pendidikan,
dan semakin sulitnya mencari suri tauludan yang bisa dijadikan panutan hidup.
Faktor-faktor tersebut menegaskan betapa keringnya moral anak bangsa dewasa
ini dan tidak heran di berbagai daerah sering terjadi pelanggaran norma hokum

74

dan adat istiadat. Belum lagi kegagalan sistem pendidikan yang masih belum bisa
menghasilkan peserta didik yang memiliki kombinasi kecerdasan dan moraletis.Hal ini digadang-gadang sebagai sebagai penyumbang tersbesar dalam
kemerostan moral anak bangsa.Masalah ini disadari betul oleh pemerintah dan
perlu untuk segera dibenahi agar tidak semakin memburuk.Langkah tepat diambil
oleh pemerintah dengan menyisipkan pendidik karakter dalam proses
pembelajaran dan juga kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter profetik yang
dicanangkan oleh pemerintah tidak jauh berbeda dengan keinginan negara selama
ini.Pendidikan karakter tersebut diharapkan mampumenciptakan manusia
Indonesia seutuhnya/insan kamil.Pendidikan karakter profetik tersebut
mengombinasikan nilai-nilai luhur bangsa dengan nilai profetik, sehingga
terjalinlah hubungan yang sangat berkesinambungan dan sesuai dengan tujuan
bangsa.Pendidikan karakter profetik tersebut diaplikasikan ke dalam proses
pembelajaran dengan harapan akan menjadi kebiasaan yang terbawa pada
kehidupan sehari-hari.Dalam aplikasinya pendidikan karakter profetik juga
memerlukan peran penting orang tua, sekolah, dan masyarakat sebagai alat
kontrol keberhasilan penerapannya.Harapan besar tentunya dibebankan
pemerintah kepada pendidikan karakter ini sebagai jalan keluar dari bobroknya
moral bangsa, sehingga nantinya generasi muda bisa menjadi tulang punggung
negara dalam melanjutkan perjalanan dan perkembangan Indonesia.Berdasarkan
kenyataan ini wajar apabila Indonesia merindukan sosok anak bangsa yang
memiliki kecerdasan intelektual dan moral.
DAFTAR PUSTAKA
Djamarah, S.B dan Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lickona, Thomas. 2013. Pendidikan Karakter Panduan Lengkap Mendidik Siswa
menjadi Pintar dan Baik. Bandung: Nusa Media.
Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme
Guru. Jakarta: Raja Grafindo.
Sardiman. 2012. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sukardjo, M. dan Ukim Komarudin. 2012. Landasan Pendidikan, Konsep dan
Aplikasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek.Jakarta:
Prestasi Pustaka.

75

Você também pode gostar