Você está na página 1de 11

SYNDROM (SJS)

Ditulis pada 23 Oktober 2013

Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai kompleks


imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema multiformis. SJS dikenal pula sebagai
eritem multiformis mayor. SJS umumnya melibatkan kulit dan membran mukosa. Ketika bentuk
minor terjadi, keterlibatan yang signifikan dari mulut, hidung, mata, vagina, uretra, saluran
pencernaan, dan membran mukosa saluran pernafasan bawah dapat berkembang menjadi suatu
penyakit. Keterlibatan saluran pencernaan dan saluran pernafasan dapat berlanjut menjadi
nekrosis. SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat potensial menjadi penyakit yang
sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap
sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis
mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang diajukan
tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem
multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun
morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular,
biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan
prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan
proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat
klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
A. Issue
Hingga kini tidak ada bukti yang cukup bahwa ada terapi khusus menangani Stevens-Johnson
syndrome atau toxic epidermal necrolysis. Demikian yang disimpulkan oleh sebuah studi yang
mengevaluasi penggunaan dua obat yang selama ini digunakan untuk mengatasi gangguan
tersebut, yakni intravenous immunoglobulin (IVIG) dan kortikosteoid.
Menurut hasil studi, dilaporkan dalam edisi Januari Journal of the American Academy of

Dermatology, pemberian IVIG tampak tidak begitu bermanfaat untuk Stevens-Johnson syndrome
atau toxic epidermal necrolysis. Sementara kortikosteroid dipertimbangkan masih memberikan
manfaat untuk gangguan ini.
Stevens-Johnson syndrome atau toxic epidermal necrolysis merupakan penyakit yang jarang
muncul dengan penyebab yang jelas, yakni akibat penggunaan obat berisiko tinggi. Reaksi alergi
yang terjadi biasanya ditandai dengan peyobekan epidermis mati dan erosi membran mukosa.
Dan, hingga kini belum ada pengobatan standar untuk mengatasi penyakit ini.
Pada studi tersebut, peneliti mengevaluasi efek berbagai pengobatan terhadap kematian 281
pasien dari Jerman dan Perancis terkait dengan Stevens-Johnson syndrome dan toxic epidermal
necrolysis. Pasien menerima satu dari beberapa pengobatan berikut: perawatan suportif saja,
IVIG saja, IVIG plus kortisteroid, dan kortikosteroid saja. Ketiga grup terakhir juga menerima
perawatan suportif.
Hasil studi menunjukkan, tak satu pun baik kortikosterod maupun IVIG memiliki dampak
signifikan terhadap kematian dibandingkan hanya dengan perawatan saja. Peran atau nilai
kortikosteroid untuk Stevens-Johnson syndrome dan toxic epidermal necrolysis perlu
dieksplorasi lebih jauh, karena memperlihatkan sedikit perbaikan
B. Sindrom Steven Johnson

Pengertian
Sindrom Steven Jhonson atau dalam bahasa inggris Stevens-Johnson sindrom (SJS) adalah suatu
kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit
vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara
lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform
bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Selain nama sindrom Steven
Johnson, ada TEN (Toksic Epidermal Necrolisys) dimana ketika lesi kulit kurang dari 10% total
dati tubuh disebut SSJ, 10-30% kerusakan kulitdisebut transisi, sementara jika lebih dari 30%
disebut TEN
Insidensi
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan studi observasi, insidensi TEN sekitar 1-1.4 kasus per juta
orang per tahun. Sementara insidensi SSJ mungkin hampir sama, yaitu sekitar 1-3 kasus per juta
orang per tahun
Etiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada
umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab

timbulnya SSJ diantaranya :


Infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit )
Obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif )
Makanan (coklat)
Fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X)
Lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan)
Prognosis
SSJ adalah penyakit yang sebenarnya mempunyai tingkat mordibitas yang tinggi. Dimana tingkat
kematian sekitar 5%, dibandingkan TEN yaitu 30-35%. Lesi kulit yang terjadi pada pasien sama
seperti beberapa kasus terbakar, ada kehilangan cairan yang banyak dan terjadi
ketidakseimbangan elektrolit. Infeksi hebat, ketidakefektifan thermoregulasi, ketidaknormalan
hematologi juga biasanya merupakan komplikasi sistemik.
Gejala
Gejala bervariasi ringan sampai berat. Pada yang berat penderita dapat mengalami koma.
Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi 39-40 C, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorok. Dengan segera gejala tersebut dapat menjadi
berat. Stomatitis (radang mulut) merupakan gejala awal dan paling mudah terlihat Pada sindrom
ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri atas eritema ( kemerahan pada kulit ), vesikel (gelembung
berisi cairan) dan bula (seperti vesikel namun ukurannya lebih besar). Vesikel dan bula kemudian
pecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk
yang berat kelainan terjadi di seluruh tubuh.

2. Kelainan selaput lendir di orifisium Yang tersering adalah di selaput lendir mulut (100%)
kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%), di lubang hidung dan anus jarang.
Vesikel dan bula yang pecah menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat
membentuk pseudomembran. Kelainan yang tampak di bibir adalah krusta berwarna hitam yang
tebal. Kelainan dapat juga menyerang saluran pencernaan bagian atas (faring dan esofagus) dan
saluran nafas atas. Keadaan ini dapat menyebabkan penderita sukar/tidak dapat menelan dan juga
sukar bernafas.

3. Kelainan mata Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering adalah
konjungtivitis kataralis (radang konjungtiva). Dan yang terparah menyebabkan kebutaan.
Disamping kelainan tersebut terdapat juga kelainan lain seperti radang ginjal, dan kelainan pada
kuku.

Komplikasi
Tidak jarang terjadi komplikasi berupa kelainan pada paru yaitu bronkopneumonia. Komplikasi

lain yaitu kehilangan cairan dan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Dapat
pula terjadi kebutaan.
Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh
kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan.
Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga
sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi
tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi
sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target
organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang
(Djuanda, 2000: 147).
1. Reaksi Hipersensitif tipe III. Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang
bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.
Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.
Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya
kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan
degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi
tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak
sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan
siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T
penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu
14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

Penatalaksanaan
Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg
sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan
cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena
dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera
dirawat dan diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara
cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena
diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya
dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat
tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.

Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl).
Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500
mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon.
Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa(dosis untuk anak tergantung berat
badan).Antibiotik Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum
luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
Infus dan tranfusi darah Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena
pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi
tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc
selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus
dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena
sehari dan hemostatik.
Topikal : Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit
yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang diberikan
biasanya adalah :
Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari
sediaan lesi kulit dan darah.
Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari
0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang
mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan
yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid
menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat
diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis,
diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun :

2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta
pemberian antibiotik topikal.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas,
bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16
mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.klindamisin

Farmakologi
Penggunaan kortikosteroid sangat diperdebatkan. Obat ini menjadi andalan di beberapa unit,
peneliti bur lain mempertimbangkan kortikosteroid sistemik untuk memprovokasi penyembuhan
luka lama, peningkatan risiko infeksi, menutupi tanda-tanda awal sepsis, perdarahan
gastrointestinal berat dan kematian meningkat.Sebuah tinjauan literatur menunjukkan hanya seri
pasien dan tidak ada uji klinis acak.Beberapa artikel melaporkan manfaat kortikosteroid:
Tegelberg digunakan 400 atau 200 mg prednison / hari, secara bertahap berkurang selama 4
sampai 6 minggu, dan mengamati kematian tunggal di antara delapan pasien. Lain mengklaim
seri juga hasil yang sangat baik tetapi diagnosis SJS-TEN itu diperdebatkan untuk sebagian besar
kasus. Dalam dua studi retrospektif, ada perbedaan dalam angka kematian atau komplikasi
infeksi tercatat pada pasien yang menerima steroid sebelum atau setelah rujukan.Sebaliknya,
penelitian lain mengklaim bahwa penggunaan kortikosteroid adalah merugikan. Tiga puluh
pasien dengan SJS atau TEN dilibatkan dalam studi prospektif terkontrol. 15 pertama pasien
menerima kortikosteroid dan tingkat mortalitas adalah 66%. Oleh karena itu, 15 selanjutnya
pasien diobati tanpa corticoids dan tingkat kematian adalah 33%. Kedua kelompok adalah serupa
dalam aspek-aspek lainnya dijelaskan.. Namun, 11 dari 15 pasien tanpa kortikosteroid telah
menerima kortikosteroid sebelum rujukan. Jadi tidak ada kesimpulan dapat dibuat tentang
administrasi awal eksklusif kortikosteroid. Dalam sebuah penelitian retrospektif, analisis
multivariat faktor prognostik menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid merupakan faktor
independen untuk kematian meningkat seri lain memberikan kesimpulan yang sama.
Selain itu, banyak TEN kasus terjadi selama pengobatan dengan kortikosteroid dosis tinggi untuk
penyakit yang sudah ada sebelumnya.
Kesimpulannya, hari ini, menurut sebagian besar penulis, kortikosteroid sistemik manfaat
terbukti dalam bentuk awal dan jelas merusak dalam bentuk maju TEN / SJS.
Imunoglobulin intravena (IVIG)
Satu uji klinis terkontrol menunjuk usefullness mungkin IVIG. Hal ini didasarkan pada dalam
demonstrasi imunoglobulin intravena in vitro yang dapat menghambat Fas-Fas ligan apoptosis
dimediasi. Sepuluh pasien berturut-turut dengan TEN keparahan moderat diobati dengan dosis
berbeda dari IVIG (0.2 hingga 0,75 g / kg berat badan per hari selama empat hari berturut-turut);
semua selamat. Namun, tidak ada uji klinis acak dipublikasikan di ini, dan penulis lainnya belum
memperoleh hasil yang sama. Evaluasi rasional dari manfaat pengobatan ini saat ini tidak dapat
dilakukan.
Agen imunomodulasi Beberapa laporan kasus menyatakan manfaat dari plasmaferesis untuk
pengobatan TEN / SJS. Namun, menurut sebuah sidang terbuka (8 pasien berturut-turut dengan
kontrol historis), pertukaran plasma tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam

mortalitas, lama tinggal di rumah sakit, atau waktu untuk re-epitelisasi Siklofosfamid itu. Juga
diusulkan. Delapan pasien dengan TEN dirawat oleh hanya (dosis awal: 300 mg per hari)
siklofosfamid; semua selamat seri lain tidak ditafsirkan, pada rekening terapi bersamaan dengan
cyclophosphamide dan kortikosteroid.. Anekdot, beberapa kasus yang diinduksi siklofosfamid
TEN dilaporkan, satu termasuk tes rechallenge positif.
Dalam sebuah studi komparatif retrospektif, siklosporin aman dan dikaitkan dengan tingkat reepitelisasi lebih cepat dan tingkat kematian yang lebih rendah (0 / 11 vs 3 / 6) dibandingkan
pengobatan dengan cyclophosphamide dan kortikosteroid.Siklosporin juga telah menerima
perhatian sebagai obat yang berguna untuk pengobatan TEN, bagaimanapun, penyelidikan lebih
lanjut diperlukan untuk mengevaluasi nilai riil siklosporin.N-acetylcysteine NAC meningkatkan
pembersihan beberapa obat dan metabolitnya dan in vitro menghambat produksi TNF-oc dan ILaku P. Kami tidak menemukan bukti efektivitas klinis di TEN. Sebuah uji coba secara acak telah
menunjukkan kurangnya efektivitas NAC dalam pencegahan reaksi hipersensitivitas terhadap
trimetoprim-sulfametoksazol pada pasien dengan infeksi HIV. Selain itu, dosis tinggi dapat
menonaktifkan NAC bukan hanya obat pelakunya, tetapi juga obat lain, berpotensi berguna
untuk pasien.
Thalidomide

Thalidomide telah diusulkan sebagai pengobatan TEN karena merupakan inhibitor poten TNF-
tindakan. Obat ini diuji dalam uji klinis acak-satunya yang pernah diterbitkan di TEN. Ini adalah
double-blind, acak, studi plasebo-terkontrol, rejimen ini kursus 5-hari thalidomide 400 mg
sehari. Penelitian ini dihentikan setelah masuknya hanya 22 pasien karena ada kelebihan
signifikan dijelaskan kematian pada kelompok thalidomide (10 dari 12 pasien meninggal,
dibandingkan dengan 3 dari 10 di kelompok plasebo). Berdasarkan percobaan yang unik,
thalidomide tampaknya merugikan dalam TEN.
Gizi
Untuk gizi pasien SSJ sebaiknya diberikan makanan tinggi kalori dan protein. Dalam hal ini jika

pasien mengalami kesulitan menelan maka bisa diberikan nutrisi parenteral.

Analisis
Kami mendapatkan bahwa banyak pendapat yang mengatakan tidak setuju untuk penggunaan
kortikostreroid dan IGIV terhadap pasien SSJ. Karena penggunaan kortikostreoid yang berfungsi
sebagai antiinflamasi bisa mengakibatkan sepsis pada pasien. Padahal integritas kulit pasien
rusak sehingga patogen lebih mudah untuk masuk ke dalam tubuh. Akibatnya banyak pasien
mengalami infeksi selama proses penyembuhan. Untuk IGIV kami belum menemukan teori
untuk penggunaan IGIV, memang IGIV menghambat proses kematian sel, akan tetapi IGIV ini
diperoleh dari donor yang kemungkinan IG dari setiap orang berbeda sehingga menyebabkan
reaksi inflamasi lagi. Sebagai perawat, sebaiknya kita lebih mengutamakan perawatan pasien
dari pada pengobatannya. Karena pasien mengalami kerusakan integritas kulit sehingga kita
harus mengutamakan prinsip steril dalam perawatannya. Untuk itu perawat juga harus tetap
mendukung pasien karena pasien bisa mengalami harga diri rendah akibat gangguan citra diri.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Kamus kedokteran Dorland_EGC,
Kamus kedokteran _penerbitdjambatan,
Ilmu penyakit kulit kelamin_FK UI, saripati penyakit kulit_EGC

Você também pode gostar