Você está na página 1de 28

I.

Karakteristik Daerah Tangkapan Air dan Subdas


Pada tugas besar mata kuliah Perancangan Infrastruktur Keairan ini kami
kelompok 1 mendapat tugas untuk mengamati aliran dari Sungai Citapen yang
terletak di Desa Citapen, Kecamatan Hantara, Kabupaten Kuningan, Jawa Tengah.
Pertama kali kami memperoleh data peta kontur beserta alirannya, kemudian
dari situ kami harus menemukan dimana letak sungai citapen di peta kontur tersebut,
setelah itu baru kemudian untuk menentukan point of origin. Point of origin adalah
titik acuan sungai untuk mengetahui debit air yang melewati titik tersebut dengan
menghitung curah hujan rata-rata dikali luas daerah delineasi. Terdapat beberapa
tempat yang biasa dijadikan point of origin yaitu subwatershed ukuran, batas
yuridiksi, penggunaan lahan yang homogeny, kolam/danau/waduk, ada stasiun
pemantauan, jalan penyebrangan, dll. Pada tugas besar yang kami buat kami
meletakkan lokasi point of origin pada jembatan di hulu Sungai Citapen.
Setelah ditentukan point of origin, maka tahapan selanjutnya adalah delineasi
daerah aliran sungai. Garis delineasi dibuat dengan mengikuti ketinggian tertentu
pada suatu daerah dan berpatokan pada sifat dasar air yaitu mengalir ke tempat
dengan elevasi yang lebih rendah. Dalam menentukan delineasi daerah aliran sungai,
ada beberapa hal yang harus diperhatikan, pertama penelusuran sungai citapen dan
anak sungai citapen dengan menelusuri aliran sungai dari hulu sampai hilir, karena
delineasi daerah aliran sungai tidak boleh memotong aliran sungai tersebut, kemudian
memperhatikan topografi dari kontur tersebut apakah ada punggung bukit di
sekitarnya dan memperhatikan perbedaan elevasi pada kontur dimana kontur yang
mempunyai elevasi tinggi dan elevasi rendah. Setelah itu menghubungkan titik-titik
elevasi tertinggi di sekitar Sungai Citapen yang bermula dari point of origin sehingga
terbentuk delineasi dari daerah aliran sungai citapen. Maka didapat DAS Sungai
Citapen sebagai berikut.

Gambar 1. Delineasi DAS Sungai Citapen


Luas DAS Sungai Citapen didapat dari perkiraan jumlah kotak pada peta
kontur yang didapat dimana satu kotak dari peta kontur tersebut mempunyai luas 1

km2. Didapat luas DAS Citapen sebesar 4,0098 kotak yang berarti 4,0098 km2.
Selanjutnya menghitung panjang alur sungai terpanjang pada DAS Citapen. Metode
pengukuran menggunakan benang untuk mengetahui panjang sungai terpanjang dari
DAS citapen, dengan acuan bahwa benang disamakan dengan sisi kotak yang
mempunyai panjang 1 km. Didapat alur sungai terpanjang DAS Citapen sebesar 4,3
km. Perlu diketahui juga beda ketinggian antara hulu dan hilir dari Sungai Citapen
yaitu sebesar 433 meter. Perhitungan terakhir yaitu menghitung slope DAS Sungai
Citapen yaitu dengan menghitung beda elevasi sungai terpanjang dibagi dengan
panjang sungai terpanjang DAS citapen. Didapat nilai slope DAS citapen yaitu
0,101.
Berikut adalah data luas, panjang alur terpanjang, beda ketinggian dan slope
dari tiap-tiap sub-DTA.
SubDTA
1
2
3
4
5
6
7

Luas
(km2)
0.5278
1.014
0.541
0.4356
0.2984
0.17
0.65625

Panjang alur
terpanjang (km)
0.78
0.859
2.156
1.031
0.783
0.718
1.32

Beda
ketinggian (m)
187
45
31
145
17
253
80

Slope
0.24
0.052
0.0144
0.14
0.03
0.35
0.06

Table 1. Tabel Slope tiap Subdas

Sedangkan, untuk sebaran tata guna lahan dapat diketahui dalam tabel berikut.

No.
1.

Subdas
Keseluruhan DAS

2.

Subdas 1

3.

Subdas 2

4.

Subdas 3

Sebaran Tata Guna Lahan


Sawah = 12,14 % (0,487
km2)
Ladang = 3,08 % (0,124
km2)
Hutan = 76,06 % (3,05 km2)
Kebun = 8,72 % (0,35 km2)
Hutan = 83,4 %
Ladang = 16,6 %
Sawah = 10 %
Hutan = 90 %
Sawah = 17 %
Kebun = 10 %
Hutan = 90 %

5.
6.

Subdas 4
Subdas 5

7.

Subdas 6

8.

Subdas 7

Hutan = 100 %
Sawah = 5 %
Hutan = 95 %
Sawah = 8 %
Hutan = 87 %
Ladang = 5 %
Sawah = 45 %
Kebun = 40 %
Hutan = 10 %
Ladang = 5 %

Table 2. Tabel Sebaran Tata Guna Lahan

II.

Perhitungan Hujan Rencana


Untuk menentukan hujan rencana pada DTA Citapen, sebelumnya
perlu dianalisa pengaruh stasiun hujan di sekitar DTA terhadap hujan di
wilayah tersebut.

Metode Polygon Thiessen


Penentuan pengaruh stasiun hujan dilakukan dengan menggunakan Metode

Polygon Thiessen, seperti pada gambar berikut.

Gambar 2. Metode Polygon Thiessen

Metode Gumbel
Metode Gumbel dalam makalah ini digunakan untuk menentukan hujan

rencana periode ulang 50 tahun dan menentukan persamaan hujan rencana untuk
membuat lengkung Intensity Duration Frequency (IDF) untuk menentukan intensitas
hujan. Persamaan Gumbel yang digunakan adalah sebagai berikut :

Tahun
2008
2009
2010
2011
2012

Stasiun garang wangi


65
73
141
146
165
Table 3. Hujan rencana 50-tahunan (R50)
Sumber: Analisis Penulis 2016

TR

YTR

5
1.4999

10
2.2502

15
2.6844

20
2.9700

25
3.1985

50
3.9019

100
4.6002

Table 4. Nilai YTR


Sumber: Modul Satuan Analisis dan Hujan Wilayah Teknik Sipil UI
n
10

0
0.49

1
0.499

2
0.503

3
0.507

4
0.510

5
0.512

6
0.515

7
0.518

8
0.520

9
0.522

20

52
0.52

6
0.525

5
0.526

0
0.528

0
0.529

8
0.530

7
0.532

1
0.533

2
0.534

0
0.535

36

Table 5. Nilai Yn
Sumber: Modul Satuan Analisis dan Hujan Wilayah Teknik Sipil UI
n
1

0
0.949

1
0.967

2
0.983

3
0.997

4
1.009

5
1.020

6
1.031

7
1.041

8
1.049

9
1.056

0
2

6
1.062

6
1.069

3
1.075

1
1.081

5
1.086

6
1.091

6
1.096

1
1.100

3
1.104

5
1.108

Table 6. Nilai Sn
Sumber: Modul Satuan Analisis dan Hujan Wilayah Teknik Sipil UI
Berikut perhitungan untuk menentukan hujan rencana DTA Citapen dengan periode ulang 50
tahunan.
n

X ratarata=

Sx=

K TR =

1
Xi=118 mm
n i=1

( XiX ratarata)2
i=1

=45.705 mm

n1

Y TRY n 39.0190.473
=
=3.9886
Sn
0.8596

X TR =X rata rata+ K TR x S x =300.31 mm

Nama Stasiun
N
X rerata (mm)
Sx (mm)
YTr

Stasiun garang wangi


5
118
45.705
39.019

Yn
Sn
KTr (mm)

0.473
0.8596
39.886

X50 (mm)

300.31

Table 7. Hasil Perhitungan Hujan Rencana DTA Citapen


Sumber: Analisis Penulis 2016

III.

Hubungan Hujan Dan Limpasan Permukaan dengan Menggunakan RRSIM


Secara alamiah sebagian air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan
meresap ke dalam tanah dan selebihnya akan mengalir menjadi limpasan permukaan.
Karakteristik daerah yang berpengaruh terhadap bagian air hujan antara lain adalah
topografi, jenis tanah, dan penggunaan lahan atau penutup lahan. Hal ini berarti
bahwa karakteristik lingkungan fisik mempunyai pengaruh terhadap respon hidrologi.
Limpasan permukaan adalah aliran air yang mengalir di atas permukaan
karena penuhnya kapasitas infiltrasi tanah. Apabila intensitas hujan yang jatuh di
suatu DAS melebihi kapasitas infiltrasi tanah dan laju infiltrasi terpenuhi, maka air
akan mengisi cekungancekungan pada permukaan tanah. Setelah cekungan
cekungan tersebut penuh, selanjutnya air akan mengalir (melimpas) diatas permukaan
tanah.
Limpasan permukaan merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir di atas
permukaan tanah. Jumlah air yang menjadi limpasan sangat bergantung kepada
jumlah air hujan per satuan waktu (intensitas), keadaan penutupan tanah, topografi
(terutama kemiringan lereng), jenis tanah, dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi
sebelumnya (kadar air tanah sebelum terjadinya hujan). Sedangkan jumlah dan
kecepatan

limpasan

permukaan

bergantung

kepada

luas

areal

tangkapan,

koefisien run off dan intensitas hujan maksimum.


Peralihan fungsi suatu kawasan yang mampu menyerap air (pervious) menjadi
kawasan yang kedap air (impervious) akan mengakibatkan ketidakseimbangan
hidrologi dan berpengaruh negatif pada kondisi daerah aliran sungai. Perubahan
penutup vegetasi suatu kawasan ini akan memberikan pengaruh terhadap waktu serta
volume aliran. Peningkatan volume limpasan aliran ini mengakibatkan masalah banjir
di hilir daerah aliran sungai. Pemahaman mengenai proses dan besarnya limpasan
yang terjadi serta faktorfaktor yang mempengaruhinya sangat diperlukan sebagai
acuan untuk pelaksanaan manajemen air dan tata guna lahan yang lebih efektif. Oleh
karena itu dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya air, limpasan merupakan
masalah yang seharusnya diatasi terlebih dahulu sebelum upaya berikutnya dilakukan,

terlebih lagi perubahan tata guna lahan yang terjadi sekarang ini tentunya sangat
mempengaruhi besarnya laju infiltrasi dan limpasan permukaan yang terjadi.
1. Analisa Pengaruh Tinggi Hujan dan Durasi Hujan Terhadap Limpasan Permukaan

Gambar 3. Gambar Grid DTA Eksisting

Gambar 4. Gambar perbandingan 1 DT 1 satuan; 5 DT 2 satuan, 1 satuan, variasi


satuan; menerus 1 satuan

Dengan melihat gambar perbandingan diatas, dapat diketahui bahwa


banyaknya satuan hujan mempengaruhi limpasan permukaan, yang mana semakin
banyak satuan hujan, maka akan terjadi limpasan permukaan atau debit aliran
permukaan yang besar saat terjadinya hujan. Demikian pula durasi hujan, yang mana
turut mempengaruhi debit aliran permukaan. Semakin lama durasi hujan makan akan
terjadi limpasan yang besar.

2. Analisa Pengaruh Tata Guna Lahan Terhadap Limpasan Permukaan (5 DT, R = 1)

Gambar 5. Gambar Grid DTA (kiri ke kanan) Eksisting, 100 % Hutan, dan 100%
Pemukiman

Gambar 6. Gambar Perbandingan Simulasi Hujan-Aliran DTA Kondisi Eksisting,


100 % Hutan, dan 100 % Pemukiman

Dengan melihat gambar perbandingan di atas, dapat diketahui bahwa tata guna
lahan sangat berpengaruh terhadap terjadinya limpasan permukaan. Dapat dilihat
bahwa vegetasi mempengaruhi limpasan permukaan, dengan banyaknya vegetasi
(dalam perbandingan di sini yaitu kondisi 100 % hutan) maka limpasan permukaan
yang terjadi akan kecil dan dengan sedikitnya vegetasi atau bahkan tidak adanya
vegetasi (dalam perbandingan di sini yaitu kondisi 100 % pemukiman) maka limpasan
permukaan yang terjadi besar. Dengan vegetasi, maka air hujan dapat menyerap ke
dalam tanah terlebih dahulu sebelum menjadi aliran. Demikian sebaliknya, jika
kondisi dengan vegetasi yang sedikit atau bahkan tidak ada (100 % pemukiman) maka
semua air hujan akan menjadi limpasan (aliran) permukaan karena tidak adanya
penyerapan air hujan ke dalam tanah.

3. Analisa Pengaruh Bentuk DTA Terhadap Limpasan Permukaan (5 DT, R = 1)

Gambar 7. Gambar Grid DTA Eksisting dan Setelah Rotasi 90

Gambar 8. Gambar Perbandingan Simulasi Hujan-Aliran DTA Eksisting dan Setelah


Rotasi

Setelah dilakukannya simulasi hujan-aliran bentuk DTA eksisting bentuk DTA


setelah rotasi 90, terlihat bahwa bentuk DTA mempengaruhi limpasan permukaan.
Hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari hubungan luasan antara daerah hulu dengan
daerah hilir, yang mana telah dietahui sebelumnya bahwa saat mengubah DTA-kasus
dalam bentuk grid sedemikian rupa sehingga POI berada tepat menyinggung batas
grid sebelah kanan.
IV.

Banjir Rencana
Dalam menghitung debit banjir rencana dapat digunakan metode rasional. Datadata yang diperlukan antara lain :
Xtr = 90,0864 + 20,7798 Ytr
Banjir rencana tahunan (Ytr)
Banjir rencana 50 tahunan,,
X25 = 90,0864 + 20,7798 Y25
Berdasarkan tabel Ytr,
X25 = 90,0864 + 20,7798 Y25
maka didapat nilai Y25 sebesar 3,9019
X25 = 90,0864 + 20,7798 x 3,9019
X25 = 288,2723
Selanjutnya, mencari Intensitas hujan dalam menit dalam waktu 24 jam,
It =

R 24
24

24 3
x ( t )

dengan mensubstitusikan nilai t variasi mulai dari 5 menit sampai 100 menit dengan
interval 5 menit, maka akan didapatkan tabel Intensitas hujan tiap 5 menit dalam waktu 24
jam sebagai berikut :

Td (menit)
Intensitas
Td (menit)
Intensitas

5,0
523,8
55,0
105,9

10,0
330,0
60,0
99,9

15,0
251,8
65,0
94,7

20,0 25,0
207,9 179,1
70,0 75,0
90,2 86,1

30,0
158,6
80,0
82,5

35,0 40,0
143,1 131,0
85,0 90,0
79,2 76,3

45,0
121,1
95,0
73,6

Table 8. Tabel Intensitas Hujan

Dengan perhitungan sebelumnya, didapat panjang alur sungai (L) adalah sebesar 4300
m dan slope sebesar 0.101, kemudian dicari nilai tc menggunakan rumus :
L0,77 . s0,385

tc = 0.0195 .

tc = 0.0195 . 4300

0,77

0,385

. 0.101

tc = 29,58977

Setelah didapatkan grafik tersebut, maka dibuat grafik Intensitas vs Durasi.

Grafik Intensitas vs Durasi


350
300
250

Intensitas vs Durasi

200

Intensitas

Durasi, T (menit)

150

Intensitas, I (mm/jam)

100
50
0

50

100

150

Durasi

Berdasarkan nilai tc, maka diplot dari sumbu horizontal menyinggung kurva dan
dalam persinggungannya ditarik garis ke sumbu vertikal dan didapatlah Intensitas pada tiap

50,0
112,9
100,0
71,1

Sub DAS. Nilai yang didapat adalah sebesar 160,10526 mm/jam dan dikonversi menjadi m/s
menjadi 0.00004474 m/s.
Setelah didapat nilai I, maka mencari Q masing-masing subdas dimana Q adalah C .
I . A, kami menggunakan tabel dalam excel sebagai berikut :
C
DAS
Sub Das
1
Sub Das
2
Sub Das
3
Sub Das
4
Sub Das
5
Sub Das
6
Sub Das
7

I
0,49
0,51
0,48
0,48
0,48
0,48
0,48
0,50

0,000044
474
0,000044
474
0,000044
474
0,000044
474
0,000044
474
0,000044
474
0,000044
474
0,000044
474

A
Q
40098 86,668
00
66
52780 11,971
0
34
10140 21,781
00
52
54100 11,572
0
99
43000 9,1793
0
68
67100 14,383
0
77
17000 3,6509
0
78
65600 14,558
0
19
40098 87,098
00
15

Table 9. Tabel Nilai Debit

V.

Perancangan Saluran Terbuka dan Gorong-Gorong

Dalam sistem pengelolaan air yang ada di DAS Citapen, diperlukan suatu
infrastruktur keairan untuk mengelolanya. Infrastruktur keairan yang dimaksud adalah
saluran dan gorong-gorong, dalam hal ini saluran dengan jenis saluran terbuka. Fungsi
saluran untuk drainase permukaan menurut Petunjuk Desain Drainase Permukaa Jalan No.
008/t/bnkt/1990 Direktorat Jendral Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan Kota, adalah
sebagai berikut:
1. Mengalirkan air hujan/air secepat mungkin keluar dari permukaan jalan dan selanjutnya
dialirkan lewat saluran samping, menuju saluran pembuangan akhir.
2. Mencegah aliran air yang berasal dari daerah pengaliran disekitar jalan masuk ke daerah
perkerasan jalan

3. Mencegah kerusakan lingkungan di sekitar jalan akibat aliran air.


Sehingga, dalam hal ini diperlukan tahapan terstruktur untuk merencanakan saluran
tersebut agar sesuai dengan karakteristik DAS Citapen yang dianalisis.
Dalam perencanaan saluran, penting untuk mengidentifikasi data awal yang
dibutuhkan yaitu data hidrologi, data fisik saluran dan data penunjang lainnya. Kebutuhan
akan data tersebut dapat dirangkum dalam skema berikut,

Gambar 9. Skema Perancangan Saluran


(Sumber: Zulkarnain F. Makalah Perancangan Infrastruktur keairan 1)
Berdasarkan data yang dibutuhkan, data hidrologi berupa curah hujan harian
maksimum dan debit rencana sudah dihitung sebelumnya dan dapat dirangkum sesuai kondisi
DAS dan juga sub-DAS-nya sebagai berikut.

DAS atau
SUBDAS
DAS
1
2

Koefisien
Aliran
Limpasan

Intensitas
Hujan
Rencana

Luas DTA(m2)

Debit Rencana (m3/s)

(m/s)

0.49

0.000044474

4009800

86.66866

0.51

0.000044474

527800

11.97134

0.48

0.000044474

1014000

21.78152

3
4
5
6
7

0.48

0.000044474

541000

11.57299

0.48

0.000044474

430000

9.179368

0.48

0.000044474

671000

14.38377

0.48

0.000044474

170000

3.650978

0.50

0.000044474

656000

14.55819

Table 10. Rangkuman Data Hidrologi DAS Citapen

Setelah data tersebut sudah didapat, maka dilanjutkan untuk perencanaan geometrik
salurannya.
A. Perancangan Geometrik Saluran
Pada perencanaan geometrik saluran, terdapat banyak macam penampang
yang bisa digunakan. Dalam perencanaan saluran terbuka DAS Citapen bentuk
yang diambil adalah bentuk persegi panjang/rectangular. Berikut adalah ilustrasi
penampang dan unsur geometriknya.

Gambar 10. Geometri Penampang Rectangular


Unsur Geometrik
Lebar dasar
Lebar puncak
Kedalaman air
Luas penampang basah
Keliling basah penampang
Jari-jari hidraulik
penampang
Kedalaman hidraulik

Rumus
b
B=b
H
A =b.h
P = b+2h
R = A/P

Satuan
(m)
(m)
(m)
(m2)
(m)
(m)

D = A/B

(m)

Table 11.Unsur Geometrik Penampang Rectangular

1. Kecepatan Aliran Saluran


Untuk menghitung kecepatan aliran saluran, dapat digunakan
persamaan

yang

bersifat

empiris

yaitu

Persamaan

Manning

untuk

mensimulasikan aliran air dalam saluran yang memiliki tekanan atmosferik


(terbuka terhadap udara) dengan asumsi aliran yaitu uniform steady state flow.
Berikut adalah Persamaan Manning yang dimaksud,
2

R 3 S f2
V=
n
Dimana:
V = Kecepatan (m/s)
R = Jari-jari hidrolik (m)
S = Kemiringan dasar saluran
N = Koefisien kekasaran Manning
Nilai koefisien kekasaran Manning dapat dilihat dalam tabel berikut,

Table 12.

Tabel Koefisien Kekasaran Manning

(Sumber: Manning dalam Chow, 1959)

Berdasarkan kondisi DAS Citapen, koefisien kekasaran Manning yang dipilih


adalah bahan bersih, aliran berkelok sehingga memiliki nilai n = 0.04. hal ini
dikarenakan kondisi DAS yang memiliki kontur yang bervariasi cukup besar dengan
mayoritas adalah tata guna lahan hutan. Pemilihan nilai koefisien bahan yang sesuai
dengan kondisi DAS ini sangat berpengaruh terhadap kecepatan aliran saluran
nantinya, sehingga dalam hal ini diputuskan untuk menjadikan kecepatan aliran
saluran maksimum sebagai control terhadap desain geometri saluran nantinya. Untuk
itu, perlu dicari nilai maksimum kecepatan aliran saluran yang sesuai dengan bahan
saluran yang digunakan. Nilai maksimum kecepatan aliran saluran tersebut dapat
diidentifikais menurut tabel berikut.

Table 13. Kecepatan Aliran Saluran Maksimum


(Sumber: Natural Modified from Fortier and Scobey 1926)

Berdasarkan tabel tersebut, saluran yang memiliki bahan alami (dan sesuai
kondisi tata lahan DAS yang didominasi hutan, maka dipilih tanah yang tidak terlalu
erosif) memiliki nilai kecepatan aliran saluran maksimal adalah 5 fps atau 1.524 m/s.
sehingga pada penentuan dimensi penampang saluran akan dikontrol berdasarkan
debit rencana dan kecepatan aliran saluran
2. Pengukuran Dimensi Saluran dan Pengecekan Debit Aliran Saluran
pengukuran dimensi saluran digunakan dengan rumus berikut,
A V =Q
Dimana,
Q : debit aliran (m3/s)
A : luas penampang basah saluran (m2)
V : kecepatan aliran (m/s)
Luas penampang basah saluran (A) menggunakan penampang rectangular
yang sudah ditentukan di awal. Dimensi saluran ditentukan dengan Q rencana sudah
diketahui dan V harus lebih kecil dari 1.524 m/s.
Berikut adalah contoh perhitungannya pada subdas 1:

Dengan syarat awal b=2h,


Nilai Slope=0.24
N=0.04
Pada saat mencoba dimensi b=5m dan h=2.5 m, didapat
V= Q/A
=11.97 m3/s / (52.5)m2
=0.9577 m/s<1.5 m/s
Sehingga memenuhi syarat Kecepatan Aliran maksimum.
Hasil dari perhitungan dimensi dan debit desain saluran disajikan melalui tabel

berikut,

Subda
s

Qr
(m3/s)

Slope

b
(m)

h
(m)

11.97

0.04

0.24

2.5

21.78

0.052

11.57

0.04

0.014
4

9.18

0.04

14.38

6
7

A (m2)

v (m/s)

12.5

0.95770697
9

18

1.21008446

2.5

12.5

0.92583891
6

0.14

1.14742104

0.04

0.03

2.5

12.5

1.15070141
9

3.65

0.04

0.35

1.5

4.5

14.56

0.04

0.06

2.5

12.5

0.04

0.811328471
1.16465548
2

Table 14. Hasil Perhitungan Dimensi dan Debit Aliran Saluran

Karena hasil perhitungan tersebut sudah memenuhi syarat, maka perancangan


saluran dilanjutkan ke gorong-gorong.

B. Perencanaan Gorong-Gorong
Salah satu infrastruktur keairan yang mendukung pengelolaan air adalah goronggorong. Fungsi gorong-gorong adalah untuk mengalirkan air melalui bagian bawah jalan atau
saluran pembuangan dalam. Dalam hal ini, gorong-gorong harus direncanakan dengan baik
agar dapat terhubung dengan baik dengan saluran terbuka dan dapat berfungsi maksimal.
Ilustrasi penampang memanjang gorong-gorong disajikan dalam gambar berikut,

Gambar 11. Penampang memanjang Gorong-Gorong


(Sumber: Novak et al, 2006)

Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan agar gorong-gorong dapat berfungsi
dengan baik, antara lain;
1. Gorong-gorong sebaiknya berada di bawah permukaan air hulu
2. Kemiringan dan ukuran panjang serta lebar gorong-gorong harus diperhitungkan
dengan baik karena akan berpengaruh kepada kedalaman permukaan gorong-gorong
3. Pada pembuatan gorong-gorong harus digunakan kecepatan maksimal dan setinggi
mungkin dengan syarat kehilangan energi maksimum yang diperbolehkan. Kecepatan yang
dapat digunakan pada perhitungan atau perencanaan bergantung pada jumlah energi dan juga
geometri lubang inlet dan outlet.
Gorong-gorong juga harus ditempatkan pada lokasi yang memotong air, daerah
cekungan air dan tempat yang memiliki kemiringan jalan yang curam. (Dikutip dari Makalah
Perancangan Infrastruktur keairan 1, Faris Zulkarnain)
1. Geometri dan Perhitungan Desain Gorong-gorong
Dalam perencanaan gorong-gorong bentuk geometri yang dipilih adalah circle. Untuk
memulai desain gorong-gorong, maka diperlukan data b(lebar saluran) dari saluran terbuka.
Pada gorong-gorong akan digunakan barel yang jumlahnya dan ukurannya harus lebih kecil
dari b saluran terbuka. Setelah didapat nilai D (diamater) barel yang memenuhi syarat
tersebut, kemudian dapat dicari dimensi Hw(headwater depth) dengan menggunakan
nomograf hubungan D(dalam satuan inci), discharge(dalam satuan cfs) dan Hw/D. Dengan
didapatnya nilai Hw/d dan diketahui nilai D-nya, maka nilai Hw dapat dihitung. Setelah itu,
jagaan dari gorong-gorong juga dapat didesain dimensinya. Contoh perhitungan desain
gorong-gorong dijelaskan sebagai berikut.
Dari Subdas 1, dari saluran terbuka didapat data sebagai berikut:

Q = 11.97m3/s

b = 5 m = 196.85 inchi
Diameter barel yang digunakan = 90 inchi dengan 2 barel. Total lebar barel dari
dua barel adalah sebesar :
90x2=180 inchi, sehingga masih lebih kecil dari nilai lebar saluran terbuka, maka
desain ini dapat digunakan untuk perhitungan selanjutnya.
Dengan nilai Q setiap barel adalah 11.97m3/s / 2 = 5.99 m3/s lalu diubah ke satuan
cfs menjadi 211.38 cfs, maka diplot kedalam nomograf sebagai berikut,
Gambar 12. Nomograf Hubungan diameter, discharge dan Hw/d

Dari garis-garis yang telah diplot pada nomograf, terlihay bahwa nilai Hw/D yang
didapat adalah sebesar 0.71. Maka, nilai Hw adalah,
Hw=0.71x90inchi = 63.9 inchi atau sama dengan 1.62 m.
Setelah itu, dapat dihitung tinggi jagaan dari gorong-gorong yaitu dengan cara
berikut,
Tinggi Jagaan = (Hsaluran terbuka+1/3Hsaluran Terbuka)-Hw
= 3.33-1.62
=1.71 m
Hasil desain saluran dari DAS dan SubDAS Citapen ditunjukkan dalam tabel
berikut.
Subdas

B (in)

Q (m3/s)

Jumla
h Barel

196.85

11.97

Qbarel
(cfs)

D
(in)

211.38

90.00

Total

Hw/

Lebar (in)

180.00

0.71

Hw (m)

Jagaan
(m)

1.62

1.71

2
3
4
5
6
7

236.22

21.78

196.85

11.57

157.48

9.18

196.85

14.38

118.11

3.65

196.85

14.56

2
2
2
2

384.61

108.0
0

216.00

0.76

2.08

1.92

204.35

96.00

192.00

0.63

1.52

1.81

162.08

72.00

144.00

0.85

1.55

1.11

253.98

96.00

192.00

0.70

1.71

1.63

64.47

54.00

108.00

0.74

1.01

0.99

257.06

96.00

192.00

0.63

1.54

1.80

2
2

Table 15. Tabel Perhitungan Gorong-Gorong

VI.

Hujan Andalan

A. Perhitungan Hujan Andalan


Data curah hujan DAS ini didapatkan dari stasiun hujan garang wangi dari
tahun 2008-2012, dari data yang didapat diambil jumlah curah hujan tiap bulan.
Sehingga didapat tabel berikut ini.

Jumlah Curah Hujan (m


Tahun
2008
2009
2010
2011
2012

Januari
333
343
393
353
503

Feb
212
380
291
222
377

Mar
345
276
396
208
422

Apr
454
300
426
319
380

Mei
193
359
403
244
38

Juni
27
114
185
96
0

Table 16. Data Curah Hujan per Bulan

Dari sini dijumlahkan curah tiap bulan menjadi tahunan. Kemudian diurutkan
berdasarkan jumlah curah hujan, dimana yang paling besar menjadi peringkat satu dan
seterusnya. Kemudian mencari nilai probabilitas tiap tahun dengan menggunakan rumus
berikut:

Juli
0
0
226
24
0

Sehingga didapat tabel berikut ini.


Tahun

Jumlah
Curah
Hujan
5845
4962
9490
6316
4780

2008
2009
2010
2011
2012

Ranking

Probabilita
s

3
4
1
2
5

50
66.6666667
16.6666667
33.3333333
83.3333333

Table 17.Tabel Probabilitas

Tahun yang diambil adalah yang memiliki probabilitas di sekitar 80%.


Karena kami hanya memiliki data 5 tahun saja , maka kami memutuskaan untuk
memilih 3 tahun saja, yaitu 2008, 2009, dan 2012. Kemudian dicari curah hujan ratarata pada masing-masing bulan. Dari sini dapat ditentukan curah hujan andalan adalah
curah hujan yang paling dekat dengan curah hujan rata-rata. Berikut ini tabel
pengolahan datanya.
Tahun

Ja
n
2008
33
3
2009
34
3
2012
50
3
R
rata- 39
rata
3
Randalan
34
(mm)
3
Randalan
0.3
(m)
43

Fe
b
21
2
38
0
37
7
32
3
37
7
0.3
77

Mar
345
276
422
348
345
0.34
5

Ap
r
45
4
30
0
38
0
37
8
38
0
0.3
8

Mei

Juni

Ag
s
21

Sep

27

Jul
i
0

35

Ok
t
147

No
v
534

De
s
373

193
359

114

179

172

204

38

26

96

358

197

47

12

117

267

312

193

27

147

172

358

0.1
47

0.1
72

0.3
58

0.19 0.02
3
7

Table 18. Tabel Perhitungan R andalan

Hujan Andalan
400
350
300
250
hujan (mm) 200
150
100
50
0

9 10 11 12

bulan

Kemudian dapat digambar


grafik hujan andalan tiap bulan. Dari grafik ini terlihat bahwa pada pertengahan tahun curah
hujan sangat menurun dan bahkan nol. Hal ini mengindikasikan pertengahan tahun adalah
musim kemarau yang jarang terjadi hujan.

B. RTRW
RTRW adalah rencana tata ruang dan wilayah. Merupakan pedoman dan
batasan-batasan dalam pengembangan tata guna lahan dan wilayah pada daerah
tersebut sampai tahun 2031. DAS kami berada pada kabupaten kuningan. Kemudian
dapat dianalisis tata guna lahan pada DAS pada 2031. Yaitu Kebun Raya kuningan
sebesar 35%, Kawasan Hutan produksi terbatas sebesar 55%, dan Pemukiman sebesar
10%. Kemudian didapat nilai koefisien tata guna lahan sebesar 0,397.
Setelah itu, kita daapat mencari ketersediaan air tiap bulan menggunakan persamaan debit,
Q=C . I . A

Dimana, C adalah koefisien tata guna lahan, I adalah curah hujan andalan
dan A adalah luas permukaan DAS. Berikut ini disajikan tabel pengoahan
datanya.

Bulan
C Proyeksi
dari RTRW
I andalan
(m)
A
(m2)
Q
non-

Das

Jan
0.5
2
0.3
43
400
980
0
715
188

Fe
b
0.5
2
0.3
77
400
980
0
786
081

Ma
r
0.5
2
0.3
45
400
980
0
719
358

Apr
0.5
2
0.3
8
400
980
0
792
336

Me
i
0.5
2
0.1
93
400
980
0
402
424

Jun
i
0.5
2
0.0
27
400
980
0
562
98

Juli
0.5
2

Agt
0.5
2

Se
pt
0.5
2

0
400
980
0
0

0
400
980
0
0

0
400
980
0
0

Okt
0.5
2
0.1
47
400
980
0
306
509

No
v
0.5
2
0.1
72
400
980
0
358
637

De
s
0.5
2
0.3
58
400
980
0
746
464

kumulatif
(m3/bln)
Q
kumulatif
(m3/bulan
)

715
188

150
126
9

222
062
7

301
296
4

341
538
7

347
168
5

347
168
5

347
168
5

347
168
5

377
819
4

413
683
0

488
329
5

Table 19. Tabel Ketersediaan Air

VII.

Neraca Air
Dalam menetapkan dimensi tampungan waduk/kolam retensi, diperlukan

analisis mengenai kebutuhan dan ketersediaan air. Ketersediaan air diperoleh dari
perhitungan hujan andalan. Sedangkan, kebutuhan air yang dalam kasus ini terdiri
dari kebutuhan air domestik dapat dihitung dengan mengetahui kepadatan penduduk
di daerah DTA, luas pemukiman, persamaan kebutuhan air, jumlah hari dalam bulan,
dan kebutuhan air domestik sehingga diperoleh kebutuhan air kumulatif.
Neraca air merupakan selisih dari ketersediaan air kumulatif dengan kebutuhan air di DTA
yang bersangkutan. Neraca air dapat digunakan untuk mengetahui volume kapasitas waduk
sehingga dimensi tampungan waduk dapat ditentukan.
Kebutuhan air pada makalah ini dihitung dengan persamaan kebutuhan air yang diperoleh di
kelas, yaitu :

Y =a+ 1 x 1+ 2 x 2+ 3 x3 +

Keterangan :

a,

1, 2, 3
x1 , x2 , x3

= konstanta
= variabel bebas

x1

= jumlah pemakai total (orang)

x2

= penghasilan (juta Rp)

x3

2
= luas tempat tinggal ( m )

= pengguna air total per rumah tangga


= kesalahan acak

Pada DTA yang bersangkutan, tidak ditemukan pemukiman. Oleh sebab itu, pemukiman
dimisalkan berada di sekitar DTA dalam jumlah sedikit. Data jumlah pemakai total yaitu
penduduk Desa Citapen, Kecamatan Hantara diperoleh dari sensus Kabupaten Kuningan
tahun 2015 dan diprediksi ke tahun 2032 dengan cara mengkalikannya dengan angka
pertumbuhan. Diperoleh jumlah penduduk di DTA sebesar 312 orang. Dengan
mengasumsikan satu keluarga memiliki satu anggota keluarga yang berpenghasilan dan
penghasilan rata-rata sebesar Rp 1.300.000, dan luas tempat tinggal merupakan luas DTA,
maka diperoleh kebutuhan air domestik sebesar :

Y =a+ 1 x 1+ 2 x 2+ 3 x3 +
Y= 280.0855+75.22X1 + 4.36X2 + 2.609X3
Y = 112,3 liter/orang/hari

Dari perhitungan di atas, diperoleh kebutuhan air sebesar 112,3 liter/orang/hari. Dari
perhitungan di atas dapat dihitung jumlah kebutuhan air kumulatif. Perhitungan dilakukan di
dalam tabel berikut.

Bulan

Jan Feb Mar Apr Mei Jun

Jumlah Orang 312

312

312

312

312

312

Jul

Agt Sep Okt Nov Des

312

312

312 312

312

312

Kebutuhan
air domestik 112.3 112.3 112.3 112.3 112.3 112.3 112.3 112.3 112.3 112.3 112.3 112.3
(L/org/hari)
Kebutuhan
air domestik
(m3/hari)
Jumlah hari

35.03 35.03 35.03 35.03 35.03 35.03 35.03 35.03 35.03 35.03 35.03 35.03
76

76

76

76

76

76

76

76

76

76

76

76

31

28

31

30

31

30

31

31

30

31

30

31

Kebutuhan
air domestik 1086. 981.0 1086. 1051. 1086. 1051. 1086. 1086. 1051. 1086. 1051. 1086.
non kumulatif 1656 528 1656 128 1656 128 1656 1656 128 1656 128 1656
(m3/bulan)
Kebutuhan

1065
air kumulatif 1086. 2067. 3153. 4204. 5290. 6341. 7427. 8514. 9565. 1.430 11702 1278
1656 2184 384 512 6776 8056 9712 1368 2648
.5584 8.724
4
(m3)
Table 20. Tabel Kebutuhan Air Kumulatif

Karena tidak ada sawah pada prediksi tata guna lahan pada tahun 2032, maka kebutuhan air
irigasi tidak dihitung. Neraca air diperoleh dari nilai ketersediaan air kumulatif dan nilai
kebutuhan air kumulatif. Neraca air dapat dilihat dalam tabel dan grafik kumulatif berikut.

Table 21. Tabel Neraca Air

Neraca Kumulatif
4000000
3000000
2000000
Debit Kumulatif (m3)
1000000
0

Ketersediaan
Kebutuhan air

Bulan

Dari neraca kumulatif di atas, dapat diketahui volume yang diperoleh dari akumulasi defisit
bulan Juli, Agustus, dan September. Dengan mengasumsikan tinggi waduk sebesar 5 meter,
maka diperoleh nilai dimensi waduk sebesar
A=

V
H

2643069 m3

5m
= 526813,9756 m2
Dengan mengakarkan nilai area maka diketahui dimensi waduk yaitu 720 meter x 720 meter.

Referensi :
http://www.kuningankab.go.id/sosial-kemasyarakatan/kependudukan

Keith Beven, Robert E. Horton's perceptual model of infiltration processes, Hydrological


Processes, Wiley Intersciences DOI 10:1002 hyp 5740 (2004)
http://www.unhas.ac.id/lkpp/tani/5%20Limpasan.pdf
Chow, V.T. (1959) Open-channel Hydraulics. New York: McGraw-Hill
Chow, V.T., Maidment, D.R., & Mays, L.W. (1988) Applied Hydrology (McGraw-Hill Series
in water resources and environmental engineering. New York: McGraw-Hill
Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan No. 008/t/bnkt/1990 Direktorat Jendral Bina
Marga Direktorat Pembinaan Jalan Kota
United States Department of Transportation. (2012). Hydraulic Design of Highway Culverts,
Third Edition. Publication No. FHWA-HIF-12-026.
Colorado Floodplain and Stormwater Criteria Manual.

Você também pode gostar