Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Disusun Oleh :
Ani Rahmawati
072115021
Arwan Gunawan
072115023
Elga Lanniary
072115028
Miftahudin
072115041
BAB I
ALIRAN ESSENSIALISME
3. oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan,
maka menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut.
4. esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan,
sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori
yang lemah.
C.POLA DASAR PENDIDIKAN ESSENSIALISME
Uraian berikut ini akan memberikan penjelasan tentang pola dasar pendidikan aliran
esensialisme yang didasari oleh pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap
hidup yang mengarah kepada keduniaan, serba ilmiah dan materialistik.
Untuk mendapatkan pemahaman pola dasar yang lebih rinci kita harus mengenal dari
referensi pendidikan esensialisme. Imam Barnadib (1985)11) mengemukakan beberapa tokoh
terkemuka yang berperan dalam penyebaran aliran essensialisme dan sekaligus memberikan
pola dasar pemikiran mereka.
1.
Desidarius Erasmus,
permulaan abad ke 16, adalah tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yanag
berbijak pada dunia lain. Ia berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat
humanistis dan bersifat internasional, sehingga dapat diikuti oleh kaum tengahan
2.
dan aristokrat.
Johann Amos Comeniuc (1592-1670), tokoh Reinaissance yang pertama yang
berusaha mensistematiskan proses pengajaran. Ia memiliki pandangan realis yang
dogmatis, dan karena dunia ini dinamis dan bertujuan, maka tugas kewajiban
3.
4.
mengatakan bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat
alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuankemampuan wajarnya. Selain itu ia percaya kepada hal-hal yang transendental, dan
5.
sebagai makhluk yang berekspresi kreatif, dan tugas pendidikan adalah memimpin
6.
peserta didik kearah kesadaran diri sendiri yang murni, sesuai fitrah kejadiannya.
Johann Fiedrich Herbart (1776-1841), salah seorang murid Immanuel Kant yang
berpandangan kritis. Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan
jiwa seseorang dengan kebajikan dari Yang Mutlak, berarti penyesuaian dengan
hukum-hukum kesusilaan, dan ini pula yang disebut pengajaran yang mendidik
7.
ini. Dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari
alam fisik ini dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jelas khusus. Ini berarti
bahwa suatu kejadian yang sederhanapun dapat ditafsirkan menurut hukum alam,
seperti misalnya daya tarik bumi.
b. Idealisme obyektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis dibandingkan
dengan realisme obyektif. Yang dimaksud dengan ini adalah bahwa pandanganpandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu.
Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakikatnya
adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu
yang ada ini nyata. Ajaran-ajaran Hegel memperjelas pandangan tersebut diatas.
2.PANDANGAN MENGENAI NILAI
Nilai, seperti halnya pengetahuan berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber
obyektif. Sedangkan sifat-sifat nilai tergantung dari pandangan yang timbul dari realisme dan
idealisme. Kedua aliran ini menyangkutkan masalah nilai dengan semua aspek peri
kehidupan manusia yang berarti meliputi pendidikan. Pandangan dari dua aliran ini, yang
mengenai nilai pada umumnya dan nilai keindahan pada khususnya akan dipaparkan berikut
ini.
Untuk hal yang pertama, dapatlah ditunjukan bahwa nilai mempunyai pembawaan
atas dasar komposisi yang ada. Misalnya, kombinasi warna akan menimbulkan kesan baik,
bila penempatan dan fungsinya disesuaikan dengan pembawaan dari komponen-komponen
yang ada.
Untuk hal yang kedua, dapatlah diutarakan bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi
perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk.
3.PANDANGAN MENGENAI PENDIDIKAN
Pandangan mengenai pendidikan yang diutarakan disini bersifat umum, simplikatif
dan selektif, dengan maksud agar semata-mata dpat memberikangambaran mengenai bagianbagian utama dari esensialisme. Disamping itu karena tidak setiap filsuf idealis dan realis
mempunyai faham esensialistis yang sistematis, maka uraian ini bersifat eklektik.
Esensialisme timbul karena adanya tantangan mengenai perlunya usaha emansipasi
diri sendiri, sebagaimana dijalankan oleh para filsuf pada umumnya ditinjau dari sudut abad
pertengahan. Usaha ini diisi dengan pandangan-pandangan yang bersifat menanggapi hidup
yang mengarah kepada keduniaan, ilmiah dan teknologi, yang ciri-cirinya telah ada sejak
zaman Renaisans.
Tokoh yang perlu dibicarakan dalam rangka menyingkap sejarah esensialisme ini
adalah William T. Harris (1835-1909). Sebagai tokoh Amerika Serikat yang dipengaruhi oleh
Hegel ini berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidikan umum. Menurut Harris,
tugas pendidikan adalah mengijinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang tidak
terelakan (pasti) bersendikan kesatuan spiritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara
nilai-nilai yang telah turun-menurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang kepada
masyarakat.
Oleh karena terasaskan adanya saingan dari progresivisme, maka pada sekitar tahun
1930 timbul organisasi yang bernama Esentialist Comittee for the Advancement of
Education. Dengan timbulnya Komite ini pandangan-pandangan esensialisme (menurut
tafsiran abad xx), mulai diketengahkan dalam dunia pendidikan.
4.PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN
Pada kacamata realisme masalah pengetahuan ini, manusia adalah sasaran pandangan
sebagai makhluk yang padanya berlaku hukum yang mekanistis evolusionistis. Sedangkan
menurut idealisme, pandangan mengenai pengetahuan bersendikan pada pengertian bahwa
manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari
hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
5. PANDANGAN MENGENAI BELAJAR
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individual
dengan menitikberatkan pada aku, menurut idealisme, seseorang belajar pada taraf permulaan
adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif.
Dari mikrokosmos menuju kemakrokosmos.
Sebagai contoh, dengan landasan pandangan diatas, dapatlah dikemukakan pandangan
Immanuel Kant (1724-1804). Dijelaskan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh
manusia lewat indera memerlukan unsur a priori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih
dahulu.
6.PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM
BAB II
ALIRAN PERENNSIALISME
Asas yang dianut perennialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang berkiblat
dua, yaitu:
1. Perennialisme yang theologis, bernaung di bawah supremasi gereja katolik, dengan
orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinasa.
2. Perennialisme sekuler berpegang pada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendidikan menurut filsafat ini mesti membangun sejumlah mata pelajaran yang
umum bukan spesialis, liberal bukan vokasional, yang humanistik bukan teknikal. Dengan
cara inilah pendidikan akan memenuhi fungsinya humanistiknya yang mesti dimiliki
manusia. Ada empat prinsip dari aliran ini :
1.
2.
3.
4.
Kebenaran bersifat universal dan tidak tergantung pada tempat, waktu, dan orang;
Pendidikan yang baik melibatkan pencarian pemahaman atas kebenaran;
Kebenaran dapat ditemukan dalam karya-karya agung; dan
pendidikan adalah kegiatan liberal untuk mengembangkan nalar.
pendidikan
perennialisme
tersaebut
perkembangannya
telah
BAB III
ALIRAN REKONSTRUKSIONISME
eksis. Untuk membantu mencegah kegagapan masa depan yang akan datang, kita harus
menciptakan sebuah sistem pendidikan superindustrial. Maka dari itu, kita harus mencari
tujuan-tujuan pendidikan dan metode-metode dimasa akan datang, bukan justru dimasa lalu .
Jadi intinya, prinsip aliran rekonstruksi adalah menciptakan suatu sistem pendidikan
dimana pendidikan itu mengarah kepada masa depan bukan berjalan lambat dan sistem
pendidikan yang dapat merespon permasalahan yang muncul yang akan datang.
2. Hakikat Rekonstruksionisme
a. Ontologi
Pandangan ontologi menjelaskan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu.
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa relaita itu universal (noor syam). Untuk
mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju kearah yang khusus
menampilkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan dapat
ditangkap oleh indera manusia dan akal pikiran.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk
dualisme, yang menurut Bakhrie aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung
dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan rohani
b. Epistemologi
Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan
suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses
pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu
gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indera maupun rasio sama-sama berfungsi
membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam
yang sesungguh sungguhnya. Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran
dapat dibuktikan dengan self-evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan
eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada didalam
pengetahuan ilmu itu sendiri. Contoh adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti bukti
lain atas eksistensi Tuhan. Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode
yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran
penalaran memiliki hukum hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan
definisi atau pengertian yang logis .
c. Aksiologi
Menurut Imam Barbadib, aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai
berdasarkan asas asas supernatural yakni menerima nilai natural dan universal, yang abadi
berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi yang potensial dari dan
dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat
diketahuinya. Kemudian manusia sebagai subjek telah memiliki potensi potensi kebaikan dan
keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak
dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan
B. ESENSI PENDIDIKAN DALAM ALIRAN FILSAFAT REKONSTRUKSIONISE
Hidup, khususnya pendidikan, telah diselenggarakan dengan cara dan pemikiran yang
salah. Oleh karenanya, makin hari hidup dan kehidupan bukannya bertambah baik, justru
malah bertambah buruk. Dunia bahkan mengalami sesuatu yang mereka sebut dalam situasi
krisis dan sakarat. Satu satunya solusi untuk keluar dari semua itu menurut aliran ini tidak
lain adalah dengan mengubah praktek pendidikan yang ada ke dalam konstruksi konstruksi
baru .
Kalau dulu pendidikan dianggap sebagai menjauhkan dari masyarakat karena
pendidikan zaman dahulu mengabaikan masalah masalah yang hidup atau yang ada dalam
masyarakat, namun pemikiran ini berkeinginan bahwa pendidikan harus dapat memecahkan
persoalan persoalan yang hidup dalam masyarakat sehingga pendidikan tidak dianggap
memisahkan dari masyarakat.
1. Teori pendidikan rekonstruksionisme yang dikemukakan oleh Brameld terdiri atas 6 tesis ,
yaitu:
a. Pendidikan harus dilaksanakan disini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata
sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang
mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern. Sekarang
peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus
mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Pendidikan harus
menjadi alat utama untuk menjawab atau menyelesaikan persoalan yang tengah
dihadapi, pelaksanaan pendidikan sesegera mungkin dilaksanakan, kalau pendidikan
tidak segera dilaksanakan maka infrastruktur yang lain akan cepat hancur, maka dari
itu pendidikan adalah kunci utama untuk membangun tatanan kehidupan sosial,
karena pendidikan dapat mempengaruhi bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosial
dan budaya.
b. Anak, sekolah dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan
sosial. Menurut rekonstruksionalisme, hidup beradab adalah hidup berkelompok,
sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting di sekolah. Untuk
menghasilkan pembelajaran yang harmonis di dalam kelas antara guru, peserta didik
minimal
pendidik
mampu
mendampingi
peserta
didik
dalam
mengembangkan kemampuannya.
c. Evaluasi. Dalam kegiatan evaluasi para siswa dilibatkan terutama dalam memilih
dan menyusun dan menilai bahan yang akan diujikan. Yang dimaksud disini ialah
peserta didik membantu dalam hal memilih bahan atau materi yang telah dipelajari
dan layak untuk dijadikan tes atau evaluasi.
C. IMPLIKASI FILSAFAT REKONSTRUKSIONISME DALAM PENDIDIKAN
Adanya filsafat pendidikan rekonstruksionisme diharapkan pendidikan di Indonesia
sekarang ini dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi tatanan sosial, pendidikan adalah
alat utama untuk menentukan masa depan bangsa, maka dari itu masalah pendidikan
dipandang sangat penting, aliran ini berharap pendidikan dapat mengubah tatanan sosial
Jika pendidikan formal adalah bagian tak terpisahkan dari solusi sosial dalam krisis
dunia sekarang, maka ia harus secara aktif mengajarkan perubahan sosial. Seperti telah
dibahas di atas bahwa pendidikan harus mampu memberi kontribusi kepada masyarakat
dengan cara merespon permasalahan yang sedang timbul di masyarakat, baik itu masalah
ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya, pendidik yang baik adalah pendidik yang
mampu mengajak peserta didiknya berfikir dan peka terhadap permasalahan yang sekarang
masyarakat hadapi, sebaliknya pendidik yang tidak rekonstruksionis adalah pendidik yang
takut atau tidak berani mengajak peserta didiknya dalam menghadapi permasalahan yang
sedang hangat dibicarakan, dengan begitu peserta didik akan semakin dekat dengan
permasalahan yang ada dalam masyarakat.
BAB IV
ALIRAN PROGRESIVISME
hal inilah yang mengantar William James terkenal sebagai ahli filsafat Pragmatisme dan
Empirisme radikal.
2. John Dewey (1859 - 1952)
John Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan Columbia (Amerika).
Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekankan pada anak didik
dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered
Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini
dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya
"My Pedagogical Creed", bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan
persiapan masa yang akan datang. Dewey mengembangkan pragmatisme dalam bentuknya
yang orisinil, tapi meskipun demikian, namanya sering pula dihubungkan terutama sekali
dengan versi pemikiran yang disebut instrumentalisme. Adapun ide filsafatnya yang utama,
berkisar dalam hubungan dengan problema pendidikan yang konkret, baik teori maupun
praktik. reputasi (nama baik) internasionalnya terletak dalam sumbangan pikirannya terhadap
filsafat pendidikan Progressivisme Amerika. Dewey tidak hanya berpengaruh dalam kalangan
ahli filsafat profesional, akan tetapi juga karena perkembangan idenya yang fundamental
dalam bidang ekonomi, hukum, antropologi, teori politik dan ilmu jiwa. Dia adalah juru
bicara yang sangat terkenal di Amerika Serikat dari cara-cara kehidupan demokratis. Diantara
karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience,
The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925),
dan yang paling fenomenal adalah Democracy and Education(1916).
3.Hans Vaihinger (1852-1933)
Hans Vaihinger berpendapat bahwa tahu itu hanya mempunyai arti praktis.
Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir
ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di
dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata; jika pengertian itu berguna.
untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini
tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.
4. Georges Santayana
Georges digolongkan pada penganut pragmatisme ini. Tapi amat sukar untuk
memberikan sifat bagi hasil pemikirannya, karena amat banyak pengaruh yang bertentangan
dengan ap ayang dialaminya.
C. FILSAFAT PENDUKUNG ATAU YANG MELANDASI PROGRESIVISME
Progresivisme didukung atau dilandasi oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey
(1859-1952). Apabila ditelusuri, konsep-konsep filsafat yang melandasi progresivisme
bahkan berasal dari para filosof yang hidup pada jaman Yunani kono dan para filosof lainnya
yang hidup kemudian, seperti: Heraklitos (536-470 SM), Socrates (470-399 SM), Protagoras
(480-410 SM), W. James (1842-1910), Francis Bacon (1561-1626), Jean Jacques Rousseau
(1712-1778), Immanuel Kant (1724-1804), Hegel (1770-1804). Selain itu, tokoh-tokoh
bangsa Amerika seperti Benjamin Franklin, Thomas Paine, dan Thomas Jafferson pun telah
mempengaruhi perkembangan progresivisme.
D. PANDANGAN PROGESIVISME TERHADAP BIDANG PENDIDIKAN
Bagi progresivisme, gagasan atau kenyataan yang menunjukkan adanya dinding
pemisah antara sekolah dan masyarakat ditentang oleh progresivisme. Menurut
progresivisme, sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk kecil,
sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat perlu
dilakukan secara teratur sebagaimana halnya dalam lingkungan sekolah. Sekolah hendaknya
merupakan suatu mikrokosmos dari masyarakat yang lebih luas.
1. Definisi Pendidikan
Menurut progresivisme, pendidikan selalu dalam proses perkembangan dan sebagai
suatu rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus. Progresivisme menekankan enam prinsip
mengenai pendidikan dan belajar, yaitu: (1) Pendidikan seharusnya adalah hidup itu sendiri,
bukan persiapan untuk kehidupan; (2) Belajar harus langsung berhubungan dengan minat
anak; (3) Belajar melalui pemecahan masalah hendaknya diutamakan daripada pemberian
bahan pelajaran; (4) Guru berperan sebagai pemberi advise, bukan untuk mengarahkan; (5)
Sekolah harus menggerakkan kerjasama daripada kompetensi; dan (6) Demokrasilah satusatunya yang memberi tempat dan menggerakkan pribadi-pribadi saling tukar menukar ide
secara bebas, yang diperlukan untuk pertumbuhan sesungguhnya.
2. Tujuan pendidikan
4. Metode
Metode pendidikan yang diutamakan progresivisme adalah metode pemecahan
masalah (poblem solving method), serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiry and
discovery method).
5. Peranan pendidik dan peserta didik
Dalam aliran progresivisme, guru harusnya berperan untuk memimpin dan
membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan
peserta didik, sedangkan peserta didik berperan sebagai organisme yang rumit yang
mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh.
BAB V
ALIRAN EKSISTENSIALISME
BAB VI
ALIRAN PEDAGOGI KRITIS
Secara bahasa pedagogi berasal dari bahasa yunani kuno terdiri dari dua kata yaitu
Pais yang berarti anak (child) dan Agi yang berarti memimpin (lead), jadi pedagogi berarti
lead the child atau memimpin anak. Dalam perkembangannya pedagogi sering dimaknai
sebagai pendidikan/ilmu mendidik (ilmu mendidik anak yang belum dewasa), sedangkan
mendidik/ilmu mendidik orang dewasa disebut andragogi. Meskipun demikian penggunaan
istilah pedagogi sering dimaksudkan sebagai pendidikan dalam arti umum/luas (Education)
tanpa membedakan tingkatan usia kematangan seseorang.
Pedagogi kritis (critical pedagogy) merupakan pendekatan pembelajaran yang
berupaya membantu murid mempertanyakan dan menantang dominasi serta keyakinan dan
praktek-praktek yang mendominasi (wikipedia). Pedagogi kritis (critical pedagogy) dapat
dimaknai sebagai pendidikan kritis yaitu pendidikan yang selalu mempertanyakan
mengkritisi pendidikan itu sendiri dalam hal-hal fundamental tentang pendidikan baik dalam
tataran filosofis, teori, sistem, kebijakan maupun implementasi implementasi.
Pedagogi kritis mempunyai akar/dimensi ideologi politik dalam konteks perjuangan
sosial/tranformasi kondisi sosial politik dari kekuasaan yang opresif untuk mencapai tatanan
sosial politik yang adil dan egaliter, dimensi filosofis berkaitan dengan makna dan tujuan
pendidikan terkait dengan pendidikan sebagai praktek pembebasan dan dimensi praktis
pemberdayaan manusia/individu/peserta didik melalui konsep Conscientization (pewujudan
kesadaran kritis/the coming to critical consciousness). konsentisasi akan membawa pada
pendidikan yang membebaskan yang berfokus pada pengembangan kesadaran kritis melalui
pemahaman hubungan antara masalah individu dan pengalaman dengan konteks sosial
dimana individu itu berada, untuk itu langkah praxis penting untuk dilakukan sebagai
pendekatan reflektif atas tindakan yang melibatkan siklus teori, aplikasi, evaluasi, refleksi
dan kemudian kembali lagi pada teori. Siklus tersebut akan mendorong kesadaran kritis
manusia akan diri dan lingkungannya.
Dalam tataran praktek pendidikan/pembelajaran terdapat beberapa konsep penting
yang menjadi bagian dari pedagogi kritis antara lain Constructivisme, Banking concept of
edecation, Problem posing education, Dialogical method. Meskipun Konsep-konsep tersebut
terkait dengan seluruh dimensi dari pedagogi kritis, namun dalam implementasinya dapat
terjadi meskipun mengacu pada kepentingan praktis pragmatis tanpa mengaitkannya dengan
dimensi ideologi politis, sehingga pelaksanaan tersebut dapat dipandang sebagai bagian yang
menyerap pedagogi kritis, baik karena kesadaran ideologis, maupun kesadaran akan
pentingnya hal tersebut dalam meningkatkan mutu pendidikan guna mempu dalam
menghadapi tantangan perubahan yang cepat.
Ada beberapa masalah utama pendidikan kita saat ini yang perlu dicermati, yaitu
rendahnya kualitas SDM pendidikan dan sistem pendidikan yang kita pakai. Banyaknya
pelajar Indonesia masih belajar dalam taraf menghafal saja. Dimana hanya berbekal hafalan
tidak
membuat
tambahnya
suatu
kecerdasan
maupun
tambahnya
kedewasaan
seseorang.Untuk mengatasi masalah itu, perlu usaha keras dari pelajar, pangajar, dan
pemerintah sebagai pemegang berwenang dan mengelola dana. Bagaimana agar pelajar dapat
mengembangkan potensi yang dimiliki para anak didik melalui kendali dan kontrol dari guru.
Sedangkan pemerintah sebagai penyedia sarana dan prasarana ada upaya agar tercukupi.
Dengan buruknya sarana dan prasarana pendidikan dan kurikulum yang kurang efektif.
Semua itu berasal dari hal yang terpisah-pisah, yaitu sistem pendidikan dan taraf kemampuan
SDM pendidikan.Untuk meningkatkan alokasi dana pendidikan yang memadai dengan
meletakkan pembangunan pendidikan sebagai perioritas pertama.
Prof. Mochtar Buchori dalam tulisannya Memuliakan kehidupan bangsa (2010),
memberikan ajakan utuk mengedepankan masalah bangsa sebagai salah satu tujuan
pendidikan. Hasil refleksi mendalam tentang carut-marut masalah yang sedang menimpa
bangsa Indonesia tersebut dari masalah korupsi, makelar kasus, kesewenang-wenangan
dimulai dengan alenia berikut ini:
Menurut sebuah aliran pedagogik, mendidik adalah upaya membimbing peserta didik
untuk dapat menjalani dan memahami kehidupan. Dalam kerangka ini, ada tiga tujuan yang
harus dicapai para anak didik: kemampuan untuk dapat menghidupi diri sendiri, kemampuan
untuk dapat hidup secara bermakna, dan kemampuan untuk dapat turut memuliakan
kehidupan.
Aliran pedagogik yang dimaksud tidak lain adalah aliran pedagogik kritis. Karenanya
dapat disimpulkan bahwa pedagogik kritis secara umum menjawab relevansi pendidikan bagi
berbagai permasalahan masyarakat dunia, terutama dalam upayanya untuk menggugat
keadilan sosial bagi masyarakat yng tersingkirkan oleh sistem.
Kedua, data statiska berikut ini memperkuat alasan mengapa pedagogik kitis sangat
relevan bagi Indonesia. Sekitar 40 juta, atau 17,75% dari total penduduk Indonesiaberada di
bawah garis kemiskinan; dan sekitar 100 juta, atau 42% dari total penduduk Indonesia berada
pada atau di bawah garis kemiskinan. Hanya 55% dari siswa-siswi yang berasal dari keluarga
tidak mampu menyelesaikan pendidikan menengah pertama. Sementara dari 28 juta
penduduk Indonesia berusia 19-24 tahun, hanya 17,2% yang mengenyam pendidikan tinggi,
dengan hanya 3,3% di antara mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Data statistik ini
dengan gamblang memaparkan bahwa siswa-siswi yang berasal dari keluarga tidak mampu
yang melanjutkan ke pendidikan tinggi jumlahnya sangat tidak proporsional dengan
presentase jumlah penduduk miskin di Indonesia. Ini adalah sebagai satu dari terlalu sedikit
pedagogik secara langsung menggugat keterkaitan antar pendidikan dan keadilan sosial
pedagogik kritis merupakan pilihan pedagogik yang relevan bagi Indonesia.
Ketiga, perjalanan sejarah pendidikan formal di Indonesia merupakan gambaran
pendidikan yang digunakan secara struktural untuk mengkondisikan generasi demi generasi
yang tidak lebih berdaya untuk menikmati kelangsungan hidup yang lebih baik generasi
sebelumnya. Pada zaman penjajahan Belanda, pendidikan formal untuk masyarakat Indonesia
ditujukan secara spesifik untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia dengan
ketrampilan terbatas, sesuai dengan kepentingan pemerintah Belanda. Selain itu, sebagai
bagian dari praktik penjajahan devide et impera, akses ke pendidikan dibedakan berdasarkan
latar belakang sosial ekonomi (selain juga ras dan agama).
Pandangan itu ekuivokal dengan apa yang dikatakan Andre Gorz:
Mengatakan bahwa kontradisi mungkin tidak atau tak akan dirasakan sangat berbeda
denagn mengatakan bahwa kontradiksi itu tak akan bisa dipahami. Jika ada kontradiksi itu
merasuk ke dalam level tertentu dalam alam pengalaman masa. Yang menjadi problem
kemudian adalah bagaimana membuat yang tak merasa dipahami.
Konsekuensinya, karena cuek pada realitas objektif, cita-cita kebebasan, dan
otonomi yang digembar-gemborkan postmois tampak utopi. Tepatnya, mereka hanya
gembar-gembor, tetapi tidak mau berbuat. Dikarenakan realitas kehidupan yang menjadi
sumber dari ketidakbebasan dan penindasan itu pada dasarnya tertotalitaskan secara material
dan penjelasannya juga harus universal dan cara mengubahnya juga membutuhkan suatu
kekuatan yang bersifat menyatukan karena penindasan dapat bertahan jstru karena tidak
terjadinya penyatuan sejati dalam kenyataan riilnya. Penindasan ditimbulkan oleh disharmoni
suatu totalitas material.
Postmodernisme seakan tidak memahami pentingnya kedekatan manusia dengan
dunianya, realitas dengan objektivitas dan totalitasnya. Padahal, hanya dengan hidup secara
total dengan realitas, anak-anak didik akan mampu mempercepat pemahamannya akan
berbagai persoalan yang ada di dunia. Semakin ia dekat dengan realitas, semakin objektif
pandangannya terhadap suatu masalah yang berakar pada realitas, maka kian dewasalah cara
berpikirnya. Filsuf Jerman, Goethe, pernah mengatakan, Manusia mengetahui dirinya
sebanyak pengetahuannya tentang dunia; manusia mengetahui dunia hanya dalam dirinya
sendiri dan dia menyadari dirinya sendiri dalam dunia ini. Setiap objek yang benar-benar baru
dikenal membuka sebuah organ baru dalam diri kita.
Dengan melakukan gugatan terhadap cita-cita pedagogis dan mengenali lebih jauh
suatu filsafat humanis yang membut manusia sadar akan realitasnya. Itulah tujuan proses
pendidikan untuk pembebasan yang dicita-citakan Marx(isme). Konsep manusia Karl Marx,
yang awalnya banyak dipengaruh Hegel, bertugas untuk membedakan yang esensial dari
proses realitas yang tampak, dan untuk menangkap hubungan antara keduanya. Lebih jauh
Hegel pernah mengatakan:
Dunia ini adalah dunia yang asing dan keliru jika manusia tidak menghancurkan
objektivitas yang tumpul dan kehidupannya di balik bentuk dan benda-benda serta hukumhukum yang tetap. Ketika manusia akhirnya memenangkan kesadaran diri ini, berarti dia
sedang menuju bukan hanya pada kebenaran diri sendiri, melainkan juga pada kebenaran
dunia. Dengan pengenalan ini, proses tersebut berjalan terus. Manusia akan menaruh
kebenaran ini pada tindakannya, dan membuat dunia menjadi apa yang secara esensial
merupakan pemenuhan kesadaran-dirinya.
Berbeda dengan dialektika historis, filsfat postmoderni tidak hanya abstrak, tetapi
mbulet, bermain pada wilayah permainan bahasa, dan tidak realistik. Paradoks dari filsafat
bahasa ala postmodernis seperti Jacques Derrida, misalnya, disebabkan oleh filsafat bahasa
yang anti-realistik yang menyangkal kemungkinan kita untuk mengetahui realitas yang
independen dari diskursus denagn praktik-praktik sosial, entah praktik-praktik ini
melestarikan ataupun menentang dominasai yang ada. Secara kontras pos-strukturalisme
duniawi ala Michel Foucault dan Deleuze memberikan ati penting yang sentral terhadap
relasi ini. Keduanya mencoba mengkontekstualisasikan diskursus tersebut. Foucault
mengatakan:
Saya percaya bahwa titik rujukan orang itu bukanlah model agung bahasa dan tandatanda, namun model agung perang dan pertempuran. Sejarah yang mengusung dan
membentuk diri kita lebih berbentuk perang ketimbang berbentuk bahasa: SEJARAH
ADALAH RELASI-RELASI KUASA, BUKAN RELASI-RELASI MAKNA.
Sementara Deleuze dan Guttari berpolemik menentang imperalisme penanda
(imperalism of the signifier) dan berusaha untuk mengembangkan teori bahasa yang
pragmatik yang bermula dari karakter sosial yang paling mendasar dari ucapan (utterance).
Sifat pragmatik ini sendiri telah termuat dalam gagasan Foucault mengenai pengetahuankuasa, Tak ada relasi kuasa tanpa ada pembentukan sebuah medan pengetahuan yang
berkolerasi dengannya dan juga saat yang bersamaan tak ada pengetahuan tanpa
mengandaikan dan pada saat yang bersamaan membentuk relasi-relasi kuasa.
Ini menunjukkan bahwa pertarungan kuasa yang paling nyata terjadi bukan pada aras
bahasa atau makna, melainkan dalam wilayah yang lebih konkret dan nyata, yaitu ekonomi
atau kekuatan-kekuatan produktif sebagaimana dipahami filsafat historis-dialektis.
Sebagian situasi dan masalah cenderung membutuhkan pemikiran bercabang dan
sebagian yang lain membutuhkan pemikiran terpusat. Dan sebagian individu memiliki
kecenderungan untuk memberikan solusi terpusat dan sebagian yang lain solusi bercabang
terlepas dari masalah apapun yang sedang dihadapi. Mengingat intruksi lebih menghargai
pemecahan masalah secara terpusat. Dalam sudut lain, kreatifitas sangat diperlukan
kemampuannya untuk menghasilkan sebuah pokok pikiran yang akan membuat peserta didik
dapat lebih berpikir kritis dalam menanggapi problematika yang terjadi di masa kini. Juga,
pemikiran bercabang mampu menghasilkan solusi terbaik bagi anak-anak didik.
Pedagogik kritis sebenarnya adalah proses penyadaran terhadap diri dan masalahmasalah yang mempengaruhi keberadaan dan kondisi diri dalam masyarakat. Kata
conscientizacao yang diperkenalkan oleh Freire adalah sebuah proses pembelajaran yang
berupaya untuk melawan kenyataan yang membelenggu. Pemikiran kritis yang dimaksud
oleh Freire adalah pemikiran yang bertujuan untuk membawa seseorang untuk berdialog
dengan masa lalu, menyadari keberadaan dunia-dunia lain diluar yang dialaminya, dan
membayangkan masa depan yang tidak semata-mata mereproduksi kondisi saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
S.Ardiwinata, Jajat dan Achmad Hufad. 2007. Sosiologi Antropologi Pendidikan. Bandung:
UPI Press.
Syaripudin, Tatang dan Kurniasih. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Percikan
Ilmu.
H.W, Gandhi Teguh Wangsa. Filsafat Pendidikan Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan.
Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. 2011
Indar, M. Djumberansjah. Filsafat pendidikan. Surabaya : Abditama. 1994
Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan).
Jakarta : Gaya Media Pratama. 1997
Knight, George. Issue and Alternative in Educational Philoshopy Terjemahan Mahmud Arif.
Yogyakarta : Gama Media. 2007
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta. 2006
Bakry, Hasbullah, Sitematik Filsafat (Widjaya, Yogyakarta, 1970).
Idris, H. Sahara dan Jamal, H Lisman, Pengantar Pendidikan (Grasindo, 1992)
Sumitro, Dkk, Pengantar Ilmu Pendidikan, IKIP Yogyakarta
Murtiningsih, Siti, Pendidikan Alat Perlawanan, Resist Book, 2004
Sadullah, Uyah. Drs, Pengantar Filsafat Pendidikan (Alfabet, Yogyakarta 2004)