Você está na página 1de 28

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Disusun Oleh :
Ani Rahmawati

072115021

Arwan Gunawan

072115023

Elga Lanniary

072115028

Miftahudin

072115041

JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PAKUAN
2015

BAB I
ALIRAN ESSENSIALISME

A. PENGERTIAN ALIRAN ESENSIALISME DAN SEJARAHNYA


Aliran Filsafat Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang menginginkan agar
manusia kembali kepada kebudayaan lama. Mereka beranggapan bahwa kebudayaan lama itu
telah banyak memperbuat kebaikan-kebaikan untuk umat manusia. Yang mereka maksud
dengan kebudayaan lama itu adalah yang telah ada semenjak peradaban manusia yang
pertama-tama dahulu. Akan tetapi yang paling mereka pedomani adalah peradaban semenjak
zaman Renaissance, yaitu yang tumbuh dan berkembang disekitar abad 11, 12, 13 dan ke 14
Masehi. Didalam zaman Renaissance itu telah berkembang dengan megahnya usaha-usaha
untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan purbakala,
terutama dizaman Yunani dan Romawi purbakala. Renaissance itu merupaka reaksi terhadapa
tradisi dan sebagai puncak timbulnya individualisme dalam berpikir dan bertindak dalam
semua cabang dari aktivitas manusia. Sumber utama dari kebudayaan itu terletak dalam
ajaran para ahli filsafat, ahli-ahli pengetahuan yang telah mewariskan kepada umat manusia
segala macam ilmu pengetahuan yang telah mampu menembus lipatan qurun dan waktu dan
yang telah banyak menimbulkan kreasi-kreasi bermanfaat sepanjang sejarah umat manusia.
Esensialisme modern dalam pendidikan adalah gerakan pendidikan yang memprotes
terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan progrevisme terhadap nilai-nilai yang tertanam
dalam warisan budaya/ sosial. Menurut Esensialisme, nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk
secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama beratus-ratus
tahun, dan didalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji dalam
perjalanan waktu.
Bagi aliran ini Education as Cultural Conservation, Pendidikan Sebagai Pemelihara
Kebudayaan. Karena ini maka aliran Esensialisme dianggap para ahli Conservative Road to
Culture yakni aliran ini ingin kembali kekebudayaan lama, warisan sejarah yang telah
membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia. Esensialisme percaya bahwa
pendidikan itu harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal
peradaban umat manusia.
Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai
yang memiliki kejelasan dan tahan lama sehinga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.

B.CIRI-CIRI UTAMA ALIRAN ESENSIALISME


Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan yang
berbeda dengan progressivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan. Jika progressivisme
menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang,
maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar
pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan
yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil.
Karenanya pendidikan haruslah diatas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan
telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi
Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat
yang korelatif, selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman Renaisans,
sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan Esensialistis awal. Puncak refleksi dari
gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas.
Idealisme dan Realisme adalah aliran-aliran filsafat yang membentuk corak
Esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik, artinya
dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi
satu. Berarti, tidak melepaskan sifat-sifat utama masing-masing.
Realisme modern yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat
tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik; sedangkan idealisme modern sebagai
eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi
gagasan-gagasan(ide-ide). Di balik duni fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu
Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir
berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji menyelidiki ide-ide serta
gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah
Tuhan sendiri.
Sedangkan, ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C.
Bagley adalah sebagai berikut :
1. minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal
yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
2. pengawasan pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam
masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies
manusia.

3. oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan,
maka menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut.
4. esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan,
sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori
yang lemah.
C.POLA DASAR PENDIDIKAN ESSENSIALISME
Uraian berikut ini akan memberikan penjelasan tentang pola dasar pendidikan aliran
esensialisme yang didasari oleh pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap
hidup yang mengarah kepada keduniaan, serba ilmiah dan materialistik.
Untuk mendapatkan pemahaman pola dasar yang lebih rinci kita harus mengenal dari
referensi pendidikan esensialisme. Imam Barnadib (1985)11) mengemukakan beberapa tokoh
terkemuka yang berperan dalam penyebaran aliran essensialisme dan sekaligus memberikan
pola dasar pemikiran mereka.
1.

Desidarius Erasmus,

humanis Belanda yang hidup pada akhir abad ke15 dan

permulaan abad ke 16, adalah tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yanag
berbijak pada dunia lain. Ia berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat
humanistis dan bersifat internasional, sehingga dapat diikuti oleh kaum tengahan
2.

dan aristokrat.
Johann Amos Comeniuc (1592-1670), tokoh Reinaissance yang pertama yang
berusaha mensistematiskan proses pengajaran. Ia memiliki pandangan realis yang
dogmatis, dan karena dunia ini dinamis dan bertujuan, maka tugas kewajiban

3.

pendidikaan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan.


John Lock (1632-1704), tokoh dari inggris dan populer sebagai pemikir dunia

4.

mengatakan bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat
alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuankemampuan wajarnya. Selain itu ia percaya kepada hal-hal yang transendental, dan

5.

manusia mempunyai hubungan transendental langsung dengan Tuhan.


Johann Frederich Frobel (1782-1852), seorang tokoh transendental pula yang corak
pandangannya bersifat kosmissintetis, dan manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan
yang merupakan bagian dari alam ini. Oleh karena itu ia tunduk dan mengikuti
ketentuan dari hukum-hukum alam. Terhadap pendidikan ia memandang anak

sebagai makhluk yang berekspresi kreatif, dan tugas pendidikan adalah memimpin
6.

peserta didik kearah kesadaran diri sendiri yang murni, sesuai fitrah kejadiannya.
Johann Fiedrich Herbart (1776-1841), salah seorang murid Immanuel Kant yang
berpandangan kritis. Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan
jiwa seseorang dengan kebajikan dari Yang Mutlak, berarti penyesuaian dengan
hukum-hukum kesusilaan, dan ini pula yang disebut pengajaran yang mendidik

7.

dalam proses pencapaian pendidikan.


Tokoh terakhir dari Amerika Serikat, William T. Harris (1835-1909)-pengikut
Hegel, berusaha menerapkan Idealisme Obyektif pada pendidikan umum. Menurut
dia bahwa tugas pendidikan adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan
susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Keberhasilan sekolah adalah
sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi
penuntun penyesuaian diri setiap orang kepada masyarakat

D. BEBERAPA PANDANGAN DALAM ESENSIALISME


Sebagai reaksi dalam tuntutan zaman yang ditandai oleh suasana hidup yang menjurus
kepada keduniaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mulai terasa sejak
abad ke15, realisme dan idealisme perlu menyusun pandangan-pandangan yang modern.
Untuk itu perlu disusun kepercayaan yang dapat menjadi penuntun bagi manusia agar dapat
jadi penuntun bagi manusia agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan itu.
Kepercayaan yang dimaksud diusahakan tahan lama, kaya akan isinya dan mempunyai dasardasar yang kuat.
Dasar-dasar yang telah diketemukan, yang akhirnya dirangkum menjadi konsep
filsafat pendidikan esensialisme ini, tamapk manifestasinya dalam sejarah dari zaman
Renaisans sampai timbulnya Progresivisme.
1. PANDANGAN MENGENAI REALITA
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia ini
dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula,
ini berarti bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan
dengan tata tersebut. Dibawah ini adalah uraian mengenai penjabarannya menurut realisme
dan idealisme.
a. Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme obyektif karena mempunyai
pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat manusia didalamnya.
Terutama sekali ada dua golongan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi realisme

ini. Dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari
alam fisik ini dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jelas khusus. Ini berarti
bahwa suatu kejadian yang sederhanapun dapat ditafsirkan menurut hukum alam,
seperti misalnya daya tarik bumi.
b. Idealisme obyektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis dibandingkan
dengan realisme obyektif. Yang dimaksud dengan ini adalah bahwa pandanganpandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu.
Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakikatnya
adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu
yang ada ini nyata. Ajaran-ajaran Hegel memperjelas pandangan tersebut diatas.
2.PANDANGAN MENGENAI NILAI
Nilai, seperti halnya pengetahuan berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber
obyektif. Sedangkan sifat-sifat nilai tergantung dari pandangan yang timbul dari realisme dan
idealisme. Kedua aliran ini menyangkutkan masalah nilai dengan semua aspek peri
kehidupan manusia yang berarti meliputi pendidikan. Pandangan dari dua aliran ini, yang
mengenai nilai pada umumnya dan nilai keindahan pada khususnya akan dipaparkan berikut
ini.
Untuk hal yang pertama, dapatlah ditunjukan bahwa nilai mempunyai pembawaan
atas dasar komposisi yang ada. Misalnya, kombinasi warna akan menimbulkan kesan baik,
bila penempatan dan fungsinya disesuaikan dengan pembawaan dari komponen-komponen
yang ada.
Untuk hal yang kedua, dapatlah diutarakan bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi
perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk.
3.PANDANGAN MENGENAI PENDIDIKAN
Pandangan mengenai pendidikan yang diutarakan disini bersifat umum, simplikatif
dan selektif, dengan maksud agar semata-mata dpat memberikangambaran mengenai bagianbagian utama dari esensialisme. Disamping itu karena tidak setiap filsuf idealis dan realis
mempunyai faham esensialistis yang sistematis, maka uraian ini bersifat eklektik.
Esensialisme timbul karena adanya tantangan mengenai perlunya usaha emansipasi
diri sendiri, sebagaimana dijalankan oleh para filsuf pada umumnya ditinjau dari sudut abad
pertengahan. Usaha ini diisi dengan pandangan-pandangan yang bersifat menanggapi hidup

yang mengarah kepada keduniaan, ilmiah dan teknologi, yang ciri-cirinya telah ada sejak
zaman Renaisans.
Tokoh yang perlu dibicarakan dalam rangka menyingkap sejarah esensialisme ini
adalah William T. Harris (1835-1909). Sebagai tokoh Amerika Serikat yang dipengaruhi oleh
Hegel ini berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidikan umum. Menurut Harris,
tugas pendidikan adalah mengijinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang tidak
terelakan (pasti) bersendikan kesatuan spiritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara
nilai-nilai yang telah turun-menurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang kepada
masyarakat.
Oleh karena terasaskan adanya saingan dari progresivisme, maka pada sekitar tahun
1930 timbul organisasi yang bernama Esentialist Comittee for the Advancement of
Education. Dengan timbulnya Komite ini pandangan-pandangan esensialisme (menurut
tafsiran abad xx), mulai diketengahkan dalam dunia pendidikan.
4.PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN
Pada kacamata realisme masalah pengetahuan ini, manusia adalah sasaran pandangan
sebagai makhluk yang padanya berlaku hukum yang mekanistis evolusionistis. Sedangkan
menurut idealisme, pandangan mengenai pengetahuan bersendikan pada pengertian bahwa
manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari
hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
5. PANDANGAN MENGENAI BELAJAR
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individual
dengan menitikberatkan pada aku, menurut idealisme, seseorang belajar pada taraf permulaan
adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif.
Dari mikrokosmos menuju kemakrokosmos.
Sebagai contoh, dengan landasan pandangan diatas, dapatlah dikemukakan pandangan
Immanuel Kant (1724-1804). Dijelaskan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh
manusia lewat indera memerlukan unsur a priori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih
dahulu.
6.PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM

Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal


pada landasan ideal dan organisasi yang kuat. Bersumber atas pandangan ini, kegiatankegiatan pendidikan dilakukan. Pandangan dari dua tokoh dipaparkan dibawah ini.
Herman Harrell Horne menulis dalam bukunya yang berjudul This New Education
mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan atas fundamental tunggal, yaitu
watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan
perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik tersebut. Atas dasar ketentuan ini
berarti bahwa kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan
fundamen-fundamen itu.
Bogoslousky, dalam bukunya The Ideal School, mengutarakan hal-hal yang lebih jelas
dari Horne. Disamping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan
mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah
rumah yang mempunyai empat bagian, ialah :
a. Universum. Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala manifestasi
hidup manusia, diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal-usul tata
surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat
yang diperluas.
b. Sivilisasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan
sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya,
mengejar kebutuhan, hidup aman dan sejahtera.
c. Kebudayaan. Karya manusia yang mencakup diantaranya filsafat, kesenian,
kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
d. Kepribadian. Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang
tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal.
Jadi, tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia didunia dan
akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu
menggerakan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam
miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan.
Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola
kurikulum, seperti pola idealisme, realisme dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam
menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan
sosial yang ada dimasyarakat.

BAB II

ALIRAN PERENNSIALISME

A. PENGERTIAN DAN SEJARAN PERENNIALISME


Perennialisme diambil dari kata Perennial, yang dalam Oxford Advanced Learners
Dictionary of Current English diartikan sebagai Continuing throughout the whole year atau
Lasting for a very long time abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu
aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan
norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perennial berarti everlasting, tahan lama atau abadi. Aliran ini mengikuti paham
realisme, yang sejalan dengan pemikrian Aristoteles bahwa manusia itu rasional. Sekolah
adalah lembaga yang didesain untuk menumbuhkan kecerdasan. Siswa seyogyianya diajari
gagasan besar agar mencintainya, sehingga mereka menjadi intelektual sejati. Akar filsafat ini
datang dari gagasan besar Plato, Aristoteles dan kemudian dari St. Thomas Aquinas yang
sangat berpengaruh pada model-model sekolah Katolik.
Kaum perrenialis mendasarkan teorinya pada pandangan universal bahwa semua
manusia memiliki sifat esensial sebagai mahluk rasional, jadi tidaklah baik menggiring dan
mencocok hidung mereka ke penguasaan keterampilan vokasional. Berbeda dari esensialis,
eksperimen saintifik dianggap mengurangi pentingnya kapasitas manusia untuk berpikir.
Pelajaran filsafat dengan demikian menjadi penting, agar siswa mampu berpikir mendalam,
analitik, fleksibel, dan penuh imajinatif.
Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah
menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi
krisis ini perennialisme memeberikan jalan keluar berupa kembali kepada kebudayaan masa
lampau regressive road to cultural.[6] Oleh karena itu perennialisme memandang penting
peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini
kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan yang telah terpuji
ketangguhannya. Sikap kembali kepada masa lampau bukan berarti nostalgia, sikap yang
membanggakan kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada nilai-nilai asasi abad silam
yang juga diperlukan dalam kehidupan abad modern.
Perennialisme adalah gerakan pendidikan yang mempertahankan bahwa nilai-nilai
universal itu ada, dan bahwa pendidikan hendaknya merupakan suatu pencarian, penanaman
kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai tersebut.

Asas yang dianut perennialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang berkiblat
dua, yaitu:
1. Perennialisme yang theologis, bernaung di bawah supremasi gereja katolik, dengan
orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinasa.
2. Perennialisme sekuler berpegang pada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendidikan menurut filsafat ini mesti membangun sejumlah mata pelajaran yang
umum bukan spesialis, liberal bukan vokasional, yang humanistik bukan teknikal. Dengan
cara inilah pendidikan akan memenuhi fungsinya humanistiknya yang mesti dimiliki
manusia. Ada empat prinsip dari aliran ini :
1.
2.
3.
4.

Kebenaran bersifat universal dan tidak tergantung pada tempat, waktu, dan orang;
Pendidikan yang baik melibatkan pencarian pemahaman atas kebenaran;
Kebenaran dapat ditemukan dalam karya-karya agung; dan
pendidikan adalah kegiatan liberal untuk mengembangkan nalar.

B. PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN PERENNIALISME


Di bidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya: Plato,
Arietoteles, dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok pemikiran Plato tentang ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari hukum universal yang abadi dan
sempurna, yakni ideal sehingga ketertiban social hanya akan mungkin bila ide itu menjadi
ukuran, asas normative dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah:
membina pemimpin yang sadar dan mempraktikkan asas-asas normative itu dalam semua
aspek kehidupan.
Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan,
dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar
kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi.
Prinsip-prinsip

pendidikan

perennialisme

tersaebut

perkembangannya

telah

mempengaruhi system pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah


dasar, menengah, perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.

BAB III

ALIRAN REKONSTRUKSIONISME

A. LATAR BELAKANG ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONISME


Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun kembali.
Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang
bercorak modern .
Aliran ini timbul karena pada tahun 1930an dunia telah mengalami krisis, sampaisampai di negara bagian Eropa dan Asia mengalami totalitarianisme yaitu hilangnya nila-nilai
kemanusiaan dalam sosial. Dunia pada saat itu mengalami kebangkrutan yang sangat besar,
mulai dari maraknya terorisme, kesenjangan global, nasionalisme sempit, banyaknya manusia
yang berperilaku amoral, dan masih banyak lagi.
Aliran ini dipelopori oleh George S. Count dan Harold Rugg. Count menawarkan
pidato-pidato provokatifnya yang intinya bahwa sekolah harus membangun sebuah tatanan
sosial baru, Count mengatakan bahwa sekolah atau lebih sempitnya para pendidik untuk
mengorganisasi diri dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi.
Karena pemikiran tersebut maka bermunculan sebuah kebalikan dari peran tradisional
sekolah menuju peran sebagai agen reformasi kemasyarakatan yang bersifat aktif. Aliran
rekonstruksionis bertujuan untuk menjadikan masyarakat sebagai agen perubahan sosial
melalui pendidikan, karena pada zaman dahulu mereka menganggap bahwa pendidikan telah
menjauhkan mereka dari masyarakat, maka dari itu, aliran ini ingin mengubah pandangan
tersebut dan melalui pendidikan maka kita akan dekat dengan masyarakat.
1. Prinsip Rekonstruksionisme
Artikel yang berjudul future shock (kejutan masa depan) karya Alvin Toffler telah
membuka mata dunia bahwa manusia telah mengalami tekanan yang hebat jika dibebani
perubahan dalam waktu yang sangat singkat. Dalam artikel tersebut ia menjelaskan bahwa
apa yang dialami sekolah atau pendidikan saat ini adalah sebuah hal yang sangat sia-sia dan
tanpa harapan, karena pendidikan saat itu sangat lambat bergerak, ibarat pendidikan berjalan
menjadi serangkaian praktik dan asumsi yang dikembangkan hanya melayani era industri,
sedangkan situasi sosial telah memasuki periode superindustri.
Sekolah kita lebih sibuk mengurusi sistem yang mati daripada menangani masyarakat
baru yang sedang tumbuh. Energi besarnya dipergunakan untuk mencetak manusia industrial,
yaitu manusia yang disiapkan untuk bisa hidup dalam sistem yang akan mati sebelum mereka

eksis. Untuk membantu mencegah kegagapan masa depan yang akan datang, kita harus
menciptakan sebuah sistem pendidikan superindustrial. Maka dari itu, kita harus mencari
tujuan-tujuan pendidikan dan metode-metode dimasa akan datang, bukan justru dimasa lalu .
Jadi intinya, prinsip aliran rekonstruksi adalah menciptakan suatu sistem pendidikan
dimana pendidikan itu mengarah kepada masa depan bukan berjalan lambat dan sistem
pendidikan yang dapat merespon permasalahan yang muncul yang akan datang.
2. Hakikat Rekonstruksionisme
a. Ontologi
Pandangan ontologi menjelaskan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu.
Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa relaita itu universal (noor syam). Untuk
mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju kearah yang khusus
menampilkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan dapat
ditangkap oleh indera manusia dan akal pikiran.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk
dualisme, yang menurut Bakhrie aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung
dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan rohani
b. Epistemologi
Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan
suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses
pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu
gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indera maupun rasio sama-sama berfungsi
membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam
yang sesungguh sungguhnya. Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran
dapat dibuktikan dengan self-evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan
eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada didalam
pengetahuan ilmu itu sendiri. Contoh adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti bukti
lain atas eksistensi Tuhan. Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode
yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran
penalaran memiliki hukum hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan
definisi atau pengertian yang logis .
c. Aksiologi
Menurut Imam Barbadib, aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai
berdasarkan asas asas supernatural yakni menerima nilai natural dan universal, yang abadi
berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi yang potensial dari dan

dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat
diketahuinya. Kemudian manusia sebagai subjek telah memiliki potensi potensi kebaikan dan
keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak
dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan
B. ESENSI PENDIDIKAN DALAM ALIRAN FILSAFAT REKONSTRUKSIONISE
Hidup, khususnya pendidikan, telah diselenggarakan dengan cara dan pemikiran yang
salah. Oleh karenanya, makin hari hidup dan kehidupan bukannya bertambah baik, justru
malah bertambah buruk. Dunia bahkan mengalami sesuatu yang mereka sebut dalam situasi
krisis dan sakarat. Satu satunya solusi untuk keluar dari semua itu menurut aliran ini tidak
lain adalah dengan mengubah praktek pendidikan yang ada ke dalam konstruksi konstruksi
baru .
Kalau dulu pendidikan dianggap sebagai menjauhkan dari masyarakat karena
pendidikan zaman dahulu mengabaikan masalah masalah yang hidup atau yang ada dalam
masyarakat, namun pemikiran ini berkeinginan bahwa pendidikan harus dapat memecahkan
persoalan persoalan yang hidup dalam masyarakat sehingga pendidikan tidak dianggap
memisahkan dari masyarakat.
1. Teori pendidikan rekonstruksionisme yang dikemukakan oleh Brameld terdiri atas 6 tesis ,
yaitu:
a. Pendidikan harus dilaksanakan disini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata
sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang
mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern. Sekarang
peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus
mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Pendidikan harus
menjadi alat utama untuk menjawab atau menyelesaikan persoalan yang tengah
dihadapi, pelaksanaan pendidikan sesegera mungkin dilaksanakan, kalau pendidikan
tidak segera dilaksanakan maka infrastruktur yang lain akan cepat hancur, maka dari
itu pendidikan adalah kunci utama untuk membangun tatanan kehidupan sosial,
karena pendidikan dapat mempengaruhi bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosial
dan budaya.
b. Anak, sekolah dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan
sosial. Menurut rekonstruksionalisme, hidup beradab adalah hidup berkelompok,
sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting di sekolah. Untuk
menghasilkan pembelajaran yang harmonis di dalam kelas antara guru, peserta didik

dan subjek-subjek pendidikan lainnya maka mereka harus memahami kebudayaan


mereka masing-masing, sehingga mereka akan saling menghargai.
c. Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana
dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis. Seorang guru atau pendidik
harus memiliki sikap percaya diri dan merasa bahwa ia mampu untuk membimbing
peserta didiknya, dengan begitu seorang peserta didik akan berhasil dalam
membimbing peserta didiknya dan ia tidak akan diremehkan oleh peserta didik.
d. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah seluruhnya dengan tujuan untuk
menemukan kebutuhan kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini,
dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Tujuan pendidikan haruslah
disesuaikan dengan peserta didiknya. Selain itu juga harus disesuaikan dengan
kondisi masyarakatnya agar pendidikan mampu menjawab problem-problem
dimasyarakat.
e. Kita harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang
dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.
Menurut Sukmadinata (1997: 93) kurikulum rekonstruksi sosial memiliki komponenkomponen yang sama dengan model kurikulum lain tetapi isi dan bentuk-bentuknya berbeda :
a. Tujuan dan isi kurikulum, Tujuan program pendidikan setiap tahun berubah.
b. Metode, dalam pengajaran rekonstruksi sosial para pengembang kurikulum berusaha
mencari keselarasan antara tujuan-tujuan nasional dengan tujuan siswa. Guru-guru
berusaha membantu para siswa menemukan minat dan kebutuhannya. Setiap siswa
memiliki kemampuan yang berbeda serta bakat minat yang berbeda maka dari itu
tugas pendidik adalah membimbing masing-masing peserta didik untuk menemukan
minatnya,

minimal

pendidik

mampu

mendampingi

peserta

didik

dalam

mengembangkan kemampuannya.
c. Evaluasi. Dalam kegiatan evaluasi para siswa dilibatkan terutama dalam memilih
dan menyusun dan menilai bahan yang akan diujikan. Yang dimaksud disini ialah
peserta didik membantu dalam hal memilih bahan atau materi yang telah dipelajari
dan layak untuk dijadikan tes atau evaluasi.
C. IMPLIKASI FILSAFAT REKONSTRUKSIONISME DALAM PENDIDIKAN
Adanya filsafat pendidikan rekonstruksionisme diharapkan pendidikan di Indonesia
sekarang ini dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi tatanan sosial, pendidikan adalah
alat utama untuk menentukan masa depan bangsa, maka dari itu masalah pendidikan
dipandang sangat penting, aliran ini berharap pendidikan dapat mengubah tatanan sosial

masyarakat, pendidikan dapat mengubah perekonomian masyarakat, pendidikan dapat


mengubah segala bentuk apapun yang ada dalam masyarakat. Maka dari itu pendidikan
diharap mampu untuk menjadi agen perubahan sosial, walaupun pada kenyataanya sekarang
pendidikan belum nampak memberikan kontribusi yang luas dalam masyarakat, justru malah
orang-orang dari pendidikan yang merusak negara ini, seperti halnya korupsi yang makin
populer di negara ini, bukankah mereka yang korupsi adalah kaum terdidik? Mustahil orang
yang korupsi itu lulusan SD. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan pada
saat ini belum mampu mengubah tatanan sosial, justru malah merusak tatanan sosial.
Pendidikan di Indonesia belum berhasil, dalam artian belum berhasil dalam menanamkan
karakter dan kepribadian manusia yang berakhlak baik.
Metode-metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang
bertumpu pada kecerdasan asal jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi
yang paling valid bagi persoalan-persoalan umat manusia. Maksud yang terkandung adalah
bahwa dalam proses pembelajaran di kelas, seorang pendidik harus mampu menggunakan
metode yang bisa membuat peserta didik atau merangsang peserta didik untuk berfikir dan
berani mengeluarkan pendapat sehingga pembelajaran tidak hanya terpusat pada guru tetapi
murid atau peserta didiklah yang harus menjadi objek dari pembelajaran, contoh media atau
metode yang digunakan adalah metode diskusi, dengan metode diskusi maka peserta didik
dapat berlatih untuk mengemukakan pendapatnya, dengan begitu maka pembelajaran akan
efektif dan peserta didik dapat aktif dalam belajar, sehingga tidak hanya guru yang menjadi
sumber ilmu, namun peserta didik pun mampu menyumbang pemikiran, dalam berdiskusi
sebaiknya masalah yang diangkat adalah isu-isu aktual yang sedang hangat di masyarakat
sehingga secara tidak langsung peserta didik akan merespon permasalahan yang telah tumbuh
dalam masyarakat, dengan begitu tidak lagi dikatakan bahwa pendidikan telah menjauhkan
dari masyarakat, justru pendidikan mendekatkan peserta didik dengan masyarakat dan
memberikan sumbangan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam memecahkan permasalahan
yang ada. Dengan begitu pendidikan akan benar-benar berguna bagi masyarakat. Namun pada
kenyataannya di dalam proses pembelajaran masih ada pendidik melakukan metode tanpa
variasi yaitu metode ceramah secara terus menerus tanpa memperdulikan peserta didik,
peserta didik di suruh mendengarkan ceramah dari guru tanpa diminta kontribusinya atau
tanpa diminta menanggapi, sedangkan permasalahan yang dibahas adalah permasalahan yang
basi yang sudah tidak layak dibahas lagi, dengan begitu peserta didik serasa tidak
mendapatkan hasil apa-apa dan pendidikan hanya sebagai simbol belaka tanpa guna,
pendidikan justru mencetak generasi-generasi yang takut berbicara atau generasi pasif.

Jika pendidikan formal adalah bagian tak terpisahkan dari solusi sosial dalam krisis
dunia sekarang, maka ia harus secara aktif mengajarkan perubahan sosial. Seperti telah
dibahas di atas bahwa pendidikan harus mampu memberi kontribusi kepada masyarakat
dengan cara merespon permasalahan yang sedang timbul di masyarakat, baik itu masalah
ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya, pendidik yang baik adalah pendidik yang
mampu mengajak peserta didiknya berfikir dan peka terhadap permasalahan yang sekarang
masyarakat hadapi, sebaliknya pendidik yang tidak rekonstruksionis adalah pendidik yang
takut atau tidak berani mengajak peserta didiknya dalam menghadapi permasalahan yang
sedang hangat dibicarakan, dengan begitu peserta didik akan semakin dekat dengan
permasalahan yang ada dalam masyarakat.

BAB IV
ALIRAN PROGRESIVISME

A. KONSEP DAN ESSENSI ALIRAN PROGRESIVISME


Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun
1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak
benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada
guru atau bidang muatan. Gerakan Progresivisme ini sangat berpengaruh dalam pendidikan
bangsa Amerika pada permulaan abad ke-20.
Progresivisme memberikan perlawanan terhadap formalisme yang berlebihan dan
membosankan dari sekolah atau pendidikan yang tradisional. Contoh: Progresivisme menolak
pendidikan yang bersifat otoriter, menolak penekanan atas disiplin yang keras, menolak caracara belajar yang bersifat pasif, menolak konsep dan cara-cara pendidikan yang hanya
berperan untuk mentransfer kebudayaan mastarakat kepada generasi muda, dan berbagai hal
lainnya yang dipandang tidak berarti.
Progresivisme melancarkan suatu gerakan untuk perubahan sosial dan budaya dengan
penekanan pada perkembangan individual, dan mencakup cita-cita seperti: cooperation yaitu
kerjasama dalam berbagai aspek kehidupan, sharing yaitu berbagai peran dan turut ambil
bagian dalam berbagai kegiatan, dan adjusment yaitu fleksibel untuk dapat menyesuaikan diri
dengan berbagai perubahan yang terjadi.
B. TOKOH-TOKOH PROGRESIVISME
Filsafat pendidikan Progresivisme dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti:
1. William James (11 Januari 1842 26 Agustus 1910)
William James seorang psychologist dan seorang filosuf Amerika yang sangat
terkenal. Paham dan ajarannya demikian pula kepribadiannya sangat berpengaruh diberbagai
negara Eropa dan Amerika. Meskipun demikian dia sangat penceramah dibidang filsafat, juga
terkenal sebagai pendiri Pragmatisme. James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti
juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan
hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari
mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan
ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku. Buku
karangannya yang berjudul Principles of Psychology yang terbit tahun 1890 yang membahas
dan mengembangkan ide-ide tersebut, dengan cepat menjadi buku klasik dalam bidang itu,

hal inilah yang mengantar William James terkenal sebagai ahli filsafat Pragmatisme dan
Empirisme radikal.
2. John Dewey (1859 - 1952)
John Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan Columbia (Amerika).
Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekankan pada anak didik
dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered
Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini
dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya
"My Pedagogical Creed", bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan
persiapan masa yang akan datang. Dewey mengembangkan pragmatisme dalam bentuknya
yang orisinil, tapi meskipun demikian, namanya sering pula dihubungkan terutama sekali
dengan versi pemikiran yang disebut instrumentalisme. Adapun ide filsafatnya yang utama,
berkisar dalam hubungan dengan problema pendidikan yang konkret, baik teori maupun
praktik. reputasi (nama baik) internasionalnya terletak dalam sumbangan pikirannya terhadap
filsafat pendidikan Progressivisme Amerika. Dewey tidak hanya berpengaruh dalam kalangan
ahli filsafat profesional, akan tetapi juga karena perkembangan idenya yang fundamental
dalam bidang ekonomi, hukum, antropologi, teori politik dan ilmu jiwa. Dia adalah juru
bicara yang sangat terkenal di Amerika Serikat dari cara-cara kehidupan demokratis. Diantara
karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience,
The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925),
dan yang paling fenomenal adalah Democracy and Education(1916).
3.Hans Vaihinger (1852-1933)
Hans Vaihinger berpendapat bahwa tahu itu hanya mempunyai arti praktis.
Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir
ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di
dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata; jika pengertian itu berguna.
untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini
tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.

4. Georges Santayana

Georges digolongkan pada penganut pragmatisme ini. Tapi amat sukar untuk
memberikan sifat bagi hasil pemikirannya, karena amat banyak pengaruh yang bertentangan
dengan ap ayang dialaminya.
C. FILSAFAT PENDUKUNG ATAU YANG MELANDASI PROGRESIVISME
Progresivisme didukung atau dilandasi oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey
(1859-1952). Apabila ditelusuri, konsep-konsep filsafat yang melandasi progresivisme
bahkan berasal dari para filosof yang hidup pada jaman Yunani kono dan para filosof lainnya
yang hidup kemudian, seperti: Heraklitos (536-470 SM), Socrates (470-399 SM), Protagoras
(480-410 SM), W. James (1842-1910), Francis Bacon (1561-1626), Jean Jacques Rousseau
(1712-1778), Immanuel Kant (1724-1804), Hegel (1770-1804). Selain itu, tokoh-tokoh
bangsa Amerika seperti Benjamin Franklin, Thomas Paine, dan Thomas Jafferson pun telah
mempengaruhi perkembangan progresivisme.
D. PANDANGAN PROGESIVISME TERHADAP BIDANG PENDIDIKAN
Bagi progresivisme, gagasan atau kenyataan yang menunjukkan adanya dinding
pemisah antara sekolah dan masyarakat ditentang oleh progresivisme. Menurut
progresivisme, sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk kecil,
sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat perlu
dilakukan secara teratur sebagaimana halnya dalam lingkungan sekolah. Sekolah hendaknya
merupakan suatu mikrokosmos dari masyarakat yang lebih luas.
1. Definisi Pendidikan
Menurut progresivisme, pendidikan selalu dalam proses perkembangan dan sebagai
suatu rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus. Progresivisme menekankan enam prinsip
mengenai pendidikan dan belajar, yaitu: (1) Pendidikan seharusnya adalah hidup itu sendiri,
bukan persiapan untuk kehidupan; (2) Belajar harus langsung berhubungan dengan minat
anak; (3) Belajar melalui pemecahan masalah hendaknya diutamakan daripada pemberian
bahan pelajaran; (4) Guru berperan sebagai pemberi advise, bukan untuk mengarahkan; (5)
Sekolah harus menggerakkan kerjasama daripada kompetensi; dan (6) Demokrasilah satusatunya yang memberi tempat dan menggerakkan pribadi-pribadi saling tukar menukar ide
secara bebas, yang diperlukan untuk pertumbuhan sesungguhnya.

2. Tujuan pendidikan

Bagi penganut progresivisme, pendidikan bertujuan agar peserta didik memilki


kemampuan memecahkan berbagai masalah baru dalam kehidupan pribadi maupun
kehidupan sosial, atau dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang berada dalam
proses perubahan. Selain itu, pendidikan juga bertujuan membantu peserta didik untuk
menjadi warga negara yang demokratis.
3. Kurikulum
Menurut Progresivisme, Kurikulum hendaknya:

Tidak universal melainkan berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang ada;


Disesuaikan dengan sifat-sifat peserta didik (minat, bakat, dan kebutuhan setiap

peserta didik) atau chil centered;


Berbasis pada masyarakat;.
Bersifat fleksibel dan dapat berubah atau direvisi.

4. Metode
Metode pendidikan yang diutamakan progresivisme adalah metode pemecahan
masalah (poblem solving method), serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiry and
discovery method).
5. Peranan pendidik dan peserta didik
Dalam aliran progresivisme, guru harusnya berperan untuk memimpin dan
membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan
peserta didik, sedangkan peserta didik berperan sebagai organisme yang rumit yang
mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh.

BAB V
ALIRAN EKSISTENSIALISME

A. SEJARAH KEMUNCULAN ALIRAN FILSAFAT EKSISTENSIALISME


Eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena latar belakang
ketidakpuasan beberapa filusuf yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani ketika itu
seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang
manusia. Intinya adalah Penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap
kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas
terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal dan primitif yang sangat dari akademik.
Salah satu latar belakang dan alasan lahirnya aliran ini juga karena sadarnya beberapa
golongan filusuf yang menyadari bahwa manusia mulai terbelenggu dengan aktifitas
teknologi yang membuat mereka kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia atau mahluk
yang bereksistensi dengan alam dan lingkungan sekitar bukan hanya dengan semua serba
instant.
B. PENGERTIAN SEDERHANA ALIRAN EKSISTENSIALISME
Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata eks yang berarti diluar dan
sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan
sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Adapun eksistensialisme
menurut pengertian terminologinya adalah suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan
segala sesuatu terhadap manusia dan segala sesuatu yang mengiringinya, dan dimana manusia
dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi atau aktif dengan sesuatu yang ada
disekelilingnya, serta mengkaji cara kerja manusia ketika berada di alam dunia ini dengan
kesadaran.
Disini dapat disimpulkan bahwa pusat renungan atau kajian dari eksistensialisme
adalah manusia konkret. Selanjutnya adalah ciri-ciri dari aliran eksistensialisme yang terdiri
dari 2 ciri, yaitu yang pertama adalah selalu melihat cara manusia berada dan eksistensi
sendiri disini diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, dan yang kedua adalah manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai serta
didasari dari pengalaman yang konkret atau empiris yang kita kenal.

C. TOKOH-TOKOH ALIRAN FILSAFAT EKSISTENSIALISME


1. Karl Jaspers Eksistensialismenya

Ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta


mengatasi pengetahuan obyektif sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri dan
memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada jatidirinya kembali. Ada dua
fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
2. Soren Aabye Kiekeegaard
Mengedepankan teori bahwa eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang kaku dan
statis tetapi senantiasa terbentuk, manusia juga senantiasa melakukan upaya dari sebuah hal
yang sifatnya hanya sebagai spekulasi menuju suatu yang nyata dan pasti, seperti upaya
mereka untuk menggapai cita-citanya pada masa depan. 3. Jean Paul Sartre Manusia yang
bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri
sendiri. Itu adalah salah satu statement dan mungkin bernilai teori yang terkenal darinya.
4. Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang teruji adalah manusia yang cenderung melalui jalan yang
terjal dalam hidupnya dan definisi dari aliran eksistensialisme menurutnya adalah manusia
yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia
harus menjadi manusia super dan yang mempunyai mental majikan bukan mental budak
supaya manusia tidak diam dengan kenyamanan saja.
5. Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah memusatkan semua hal kepada manusia dan mengembalikan
semua masalah apapun ujung-ujungnya adalah manusia sebagai subjek atau objek dari
masalah tersebut.

BAB VI
ALIRAN PEDAGOGI KRITIS

Secara bahasa pedagogi berasal dari bahasa yunani kuno terdiri dari dua kata yaitu
Pais yang berarti anak (child) dan Agi yang berarti memimpin (lead), jadi pedagogi berarti
lead the child atau memimpin anak. Dalam perkembangannya pedagogi sering dimaknai
sebagai pendidikan/ilmu mendidik (ilmu mendidik anak yang belum dewasa), sedangkan
mendidik/ilmu mendidik orang dewasa disebut andragogi. Meskipun demikian penggunaan
istilah pedagogi sering dimaksudkan sebagai pendidikan dalam arti umum/luas (Education)
tanpa membedakan tingkatan usia kematangan seseorang.
Pedagogi kritis (critical pedagogy) merupakan pendekatan pembelajaran yang
berupaya membantu murid mempertanyakan dan menantang dominasi serta keyakinan dan
praktek-praktek yang mendominasi (wikipedia). Pedagogi kritis (critical pedagogy) dapat
dimaknai sebagai pendidikan kritis yaitu pendidikan yang selalu mempertanyakan
mengkritisi pendidikan itu sendiri dalam hal-hal fundamental tentang pendidikan baik dalam
tataran filosofis, teori, sistem, kebijakan maupun implementasi implementasi.
Pedagogi kritis mempunyai akar/dimensi ideologi politik dalam konteks perjuangan
sosial/tranformasi kondisi sosial politik dari kekuasaan yang opresif untuk mencapai tatanan
sosial politik yang adil dan egaliter, dimensi filosofis berkaitan dengan makna dan tujuan
pendidikan terkait dengan pendidikan sebagai praktek pembebasan dan dimensi praktis
pemberdayaan manusia/individu/peserta didik melalui konsep Conscientization (pewujudan
kesadaran kritis/the coming to critical consciousness). konsentisasi akan membawa pada
pendidikan yang membebaskan yang berfokus pada pengembangan kesadaran kritis melalui
pemahaman hubungan antara masalah individu dan pengalaman dengan konteks sosial
dimana individu itu berada, untuk itu langkah praxis penting untuk dilakukan sebagai
pendekatan reflektif atas tindakan yang melibatkan siklus teori, aplikasi, evaluasi, refleksi
dan kemudian kembali lagi pada teori. Siklus tersebut akan mendorong kesadaran kritis
manusia akan diri dan lingkungannya.
Dalam tataran praktek pendidikan/pembelajaran terdapat beberapa konsep penting
yang menjadi bagian dari pedagogi kritis antara lain Constructivisme, Banking concept of
edecation, Problem posing education, Dialogical method. Meskipun Konsep-konsep tersebut
terkait dengan seluruh dimensi dari pedagogi kritis, namun dalam implementasinya dapat
terjadi meskipun mengacu pada kepentingan praktis pragmatis tanpa mengaitkannya dengan
dimensi ideologi politis, sehingga pelaksanaan tersebut dapat dipandang sebagai bagian yang
menyerap pedagogi kritis, baik karena kesadaran ideologis, maupun kesadaran akan

pentingnya hal tersebut dalam meningkatkan mutu pendidikan guna mempu dalam
menghadapi tantangan perubahan yang cepat.
Ada beberapa masalah utama pendidikan kita saat ini yang perlu dicermati, yaitu
rendahnya kualitas SDM pendidikan dan sistem pendidikan yang kita pakai. Banyaknya
pelajar Indonesia masih belajar dalam taraf menghafal saja. Dimana hanya berbekal hafalan
tidak

membuat

tambahnya

suatu

kecerdasan

maupun

tambahnya

kedewasaan

seseorang.Untuk mengatasi masalah itu, perlu usaha keras dari pelajar, pangajar, dan
pemerintah sebagai pemegang berwenang dan mengelola dana. Bagaimana agar pelajar dapat
mengembangkan potensi yang dimiliki para anak didik melalui kendali dan kontrol dari guru.
Sedangkan pemerintah sebagai penyedia sarana dan prasarana ada upaya agar tercukupi.
Dengan buruknya sarana dan prasarana pendidikan dan kurikulum yang kurang efektif.
Semua itu berasal dari hal yang terpisah-pisah, yaitu sistem pendidikan dan taraf kemampuan
SDM pendidikan.Untuk meningkatkan alokasi dana pendidikan yang memadai dengan
meletakkan pembangunan pendidikan sebagai perioritas pertama.
Prof. Mochtar Buchori dalam tulisannya Memuliakan kehidupan bangsa (2010),
memberikan ajakan utuk mengedepankan masalah bangsa sebagai salah satu tujuan
pendidikan. Hasil refleksi mendalam tentang carut-marut masalah yang sedang menimpa
bangsa Indonesia tersebut dari masalah korupsi, makelar kasus, kesewenang-wenangan
dimulai dengan alenia berikut ini:
Menurut sebuah aliran pedagogik, mendidik adalah upaya membimbing peserta didik
untuk dapat menjalani dan memahami kehidupan. Dalam kerangka ini, ada tiga tujuan yang
harus dicapai para anak didik: kemampuan untuk dapat menghidupi diri sendiri, kemampuan
untuk dapat hidup secara bermakna, dan kemampuan untuk dapat turut memuliakan
kehidupan.
Aliran pedagogik yang dimaksud tidak lain adalah aliran pedagogik kritis. Karenanya
dapat disimpulkan bahwa pedagogik kritis secara umum menjawab relevansi pendidikan bagi
berbagai permasalahan masyarakat dunia, terutama dalam upayanya untuk menggugat
keadilan sosial bagi masyarakat yng tersingkirkan oleh sistem.
Kedua, data statiska berikut ini memperkuat alasan mengapa pedagogik kitis sangat
relevan bagi Indonesia. Sekitar 40 juta, atau 17,75% dari total penduduk Indonesiaberada di
bawah garis kemiskinan; dan sekitar 100 juta, atau 42% dari total penduduk Indonesia berada
pada atau di bawah garis kemiskinan. Hanya 55% dari siswa-siswi yang berasal dari keluarga
tidak mampu menyelesaikan pendidikan menengah pertama. Sementara dari 28 juta
penduduk Indonesia berusia 19-24 tahun, hanya 17,2% yang mengenyam pendidikan tinggi,

dengan hanya 3,3% di antara mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Data statistik ini
dengan gamblang memaparkan bahwa siswa-siswi yang berasal dari keluarga tidak mampu
yang melanjutkan ke pendidikan tinggi jumlahnya sangat tidak proporsional dengan
presentase jumlah penduduk miskin di Indonesia. Ini adalah sebagai satu dari terlalu sedikit
pedagogik secara langsung menggugat keterkaitan antar pendidikan dan keadilan sosial
pedagogik kritis merupakan pilihan pedagogik yang relevan bagi Indonesia.
Ketiga, perjalanan sejarah pendidikan formal di Indonesia merupakan gambaran
pendidikan yang digunakan secara struktural untuk mengkondisikan generasi demi generasi
yang tidak lebih berdaya untuk menikmati kelangsungan hidup yang lebih baik generasi
sebelumnya. Pada zaman penjajahan Belanda, pendidikan formal untuk masyarakat Indonesia
ditujukan secara spesifik untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia dengan
ketrampilan terbatas, sesuai dengan kepentingan pemerintah Belanda. Selain itu, sebagai
bagian dari praktik penjajahan devide et impera, akses ke pendidikan dibedakan berdasarkan
latar belakang sosial ekonomi (selain juga ras dan agama).
Pandangan itu ekuivokal dengan apa yang dikatakan Andre Gorz:
Mengatakan bahwa kontradisi mungkin tidak atau tak akan dirasakan sangat berbeda
denagn mengatakan bahwa kontradiksi itu tak akan bisa dipahami. Jika ada kontradiksi itu
merasuk ke dalam level tertentu dalam alam pengalaman masa. Yang menjadi problem
kemudian adalah bagaimana membuat yang tak merasa dipahami.
Konsekuensinya, karena cuek pada realitas objektif, cita-cita kebebasan, dan
otonomi yang digembar-gemborkan postmois tampak utopi. Tepatnya, mereka hanya
gembar-gembor, tetapi tidak mau berbuat. Dikarenakan realitas kehidupan yang menjadi
sumber dari ketidakbebasan dan penindasan itu pada dasarnya tertotalitaskan secara material
dan penjelasannya juga harus universal dan cara mengubahnya juga membutuhkan suatu
kekuatan yang bersifat menyatukan karena penindasan dapat bertahan jstru karena tidak
terjadinya penyatuan sejati dalam kenyataan riilnya. Penindasan ditimbulkan oleh disharmoni
suatu totalitas material.
Postmodernisme seakan tidak memahami pentingnya kedekatan manusia dengan
dunianya, realitas dengan objektivitas dan totalitasnya. Padahal, hanya dengan hidup secara
total dengan realitas, anak-anak didik akan mampu mempercepat pemahamannya akan
berbagai persoalan yang ada di dunia. Semakin ia dekat dengan realitas, semakin objektif
pandangannya terhadap suatu masalah yang berakar pada realitas, maka kian dewasalah cara
berpikirnya. Filsuf Jerman, Goethe, pernah mengatakan, Manusia mengetahui dirinya
sebanyak pengetahuannya tentang dunia; manusia mengetahui dunia hanya dalam dirinya

sendiri dan dia menyadari dirinya sendiri dalam dunia ini. Setiap objek yang benar-benar baru
dikenal membuka sebuah organ baru dalam diri kita.
Dengan melakukan gugatan terhadap cita-cita pedagogis dan mengenali lebih jauh
suatu filsafat humanis yang membut manusia sadar akan realitasnya. Itulah tujuan proses
pendidikan untuk pembebasan yang dicita-citakan Marx(isme). Konsep manusia Karl Marx,
yang awalnya banyak dipengaruh Hegel, bertugas untuk membedakan yang esensial dari
proses realitas yang tampak, dan untuk menangkap hubungan antara keduanya. Lebih jauh
Hegel pernah mengatakan:
Dunia ini adalah dunia yang asing dan keliru jika manusia tidak menghancurkan
objektivitas yang tumpul dan kehidupannya di balik bentuk dan benda-benda serta hukumhukum yang tetap. Ketika manusia akhirnya memenangkan kesadaran diri ini, berarti dia
sedang menuju bukan hanya pada kebenaran diri sendiri, melainkan juga pada kebenaran
dunia. Dengan pengenalan ini, proses tersebut berjalan terus. Manusia akan menaruh
kebenaran ini pada tindakannya, dan membuat dunia menjadi apa yang secara esensial
merupakan pemenuhan kesadaran-dirinya.
Berbeda dengan dialektika historis, filsfat postmoderni tidak hanya abstrak, tetapi
mbulet, bermain pada wilayah permainan bahasa, dan tidak realistik. Paradoks dari filsafat
bahasa ala postmodernis seperti Jacques Derrida, misalnya, disebabkan oleh filsafat bahasa
yang anti-realistik yang menyangkal kemungkinan kita untuk mengetahui realitas yang
independen dari diskursus denagn praktik-praktik sosial, entah praktik-praktik ini
melestarikan ataupun menentang dominasai yang ada. Secara kontras pos-strukturalisme
duniawi ala Michel Foucault dan Deleuze memberikan ati penting yang sentral terhadap
relasi ini. Keduanya mencoba mengkontekstualisasikan diskursus tersebut. Foucault
mengatakan:
Saya percaya bahwa titik rujukan orang itu bukanlah model agung bahasa dan tandatanda, namun model agung perang dan pertempuran. Sejarah yang mengusung dan
membentuk diri kita lebih berbentuk perang ketimbang berbentuk bahasa: SEJARAH
ADALAH RELASI-RELASI KUASA, BUKAN RELASI-RELASI MAKNA.
Sementara Deleuze dan Guttari berpolemik menentang imperalisme penanda
(imperalism of the signifier) dan berusaha untuk mengembangkan teori bahasa yang
pragmatik yang bermula dari karakter sosial yang paling mendasar dari ucapan (utterance).
Sifat pragmatik ini sendiri telah termuat dalam gagasan Foucault mengenai pengetahuankuasa, Tak ada relasi kuasa tanpa ada pembentukan sebuah medan pengetahuan yang

berkolerasi dengannya dan juga saat yang bersamaan tak ada pengetahuan tanpa
mengandaikan dan pada saat yang bersamaan membentuk relasi-relasi kuasa.
Ini menunjukkan bahwa pertarungan kuasa yang paling nyata terjadi bukan pada aras
bahasa atau makna, melainkan dalam wilayah yang lebih konkret dan nyata, yaitu ekonomi
atau kekuatan-kekuatan produktif sebagaimana dipahami filsafat historis-dialektis.
Sebagian situasi dan masalah cenderung membutuhkan pemikiran bercabang dan
sebagian yang lain membutuhkan pemikiran terpusat. Dan sebagian individu memiliki
kecenderungan untuk memberikan solusi terpusat dan sebagian yang lain solusi bercabang
terlepas dari masalah apapun yang sedang dihadapi. Mengingat intruksi lebih menghargai
pemecahan masalah secara terpusat. Dalam sudut lain, kreatifitas sangat diperlukan
kemampuannya untuk menghasilkan sebuah pokok pikiran yang akan membuat peserta didik
dapat lebih berpikir kritis dalam menanggapi problematika yang terjadi di masa kini. Juga,
pemikiran bercabang mampu menghasilkan solusi terbaik bagi anak-anak didik.
Pedagogik kritis sebenarnya adalah proses penyadaran terhadap diri dan masalahmasalah yang mempengaruhi keberadaan dan kondisi diri dalam masyarakat. Kata
conscientizacao yang diperkenalkan oleh Freire adalah sebuah proses pembelajaran yang
berupaya untuk melawan kenyataan yang membelenggu. Pemikiran kritis yang dimaksud
oleh Freire adalah pemikiran yang bertujuan untuk membawa seseorang untuk berdialog
dengan masa lalu, menyadari keberadaan dunia-dunia lain diluar yang dialaminya, dan
membayangkan masa depan yang tidak semata-mata mereproduksi kondisi saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

S.Ardiwinata, Jajat dan Achmad Hufad. 2007. Sosiologi Antropologi Pendidikan. Bandung:
UPI Press.
Syaripudin, Tatang dan Kurniasih. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Percikan
Ilmu.
H.W, Gandhi Teguh Wangsa. Filsafat Pendidikan Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan.
Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. 2011
Indar, M. Djumberansjah. Filsafat pendidikan. Surabaya : Abditama. 1994
Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan).
Jakarta : Gaya Media Pratama. 1997
Knight, George. Issue and Alternative in Educational Philoshopy Terjemahan Mahmud Arif.
Yogyakarta : Gama Media. 2007
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta. 2006
Bakry, Hasbullah, Sitematik Filsafat (Widjaya, Yogyakarta, 1970).
Idris, H. Sahara dan Jamal, H Lisman, Pengantar Pendidikan (Grasindo, 1992)
Sumitro, Dkk, Pengantar Ilmu Pendidikan, IKIP Yogyakarta
Murtiningsih, Siti, Pendidikan Alat Perlawanan, Resist Book, 2004
Sadullah, Uyah. Drs, Pengantar Filsafat Pendidikan (Alfabet, Yogyakarta 2004)

Você também pode gostar