Você está na página 1de 33

CASE

KEHAMILAN SEROTINUS

Disusun Oleh:
Ines Damayanti Octaviani
030.08.126
Pembimbing :
dr. R . Irawan Sumrah, Sp.OG
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN
KANDUNGAN
RSUD KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 10 JUNI 18 AGUSTUS 2013
BEKASI

STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KANDUNGAN DAN KEBIDANAN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI


Nama Mahasiswa

: Ines Damayanti O

Dokter Pembimbing : dr. Irawan

: 030.08.126

Tanda tangan

Sumrah, Sp.OG
NIM

IDENTITAS PASIEN

Nama
Jenis Kelamin
Umur
Pekerjaan
Agama
Suku/bangsa
Alamat

Tgl Masuk

I.

:
:
:
:
:
:
:
:

Ny. E
Perempuan
31 tahun
Ibu Rumah Tangga
Islam
Jawa / Indonesia
Kp. Poncol Jaya RT 004/019 Jakasampurna
28-07-2013

SUBJEKTIF
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 29 Juli 2013
pukul 12.00 WIB
KELUHAN UTAMA
Rencana operasi tanggal 29/07/13 atas indikasi hamil post term dan
giant baby
KELUHAN TAMBAHAN
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien G2P1A0 datang ke poli pada tanggal 27/07/13 untuk kontrol
kehamilan. Pasien direncanakan operasi pada tanggal 29/07/13 karena
hasil USG menunjukkan kehamilan lewat waktu (43 minggu) dengan

giant baby (4500 gram). Pasien datang ke VK pada tanggal 28/07/13


sore untuk persiapan operasi keesokan harinya
HPHT: 01/10/13, taksiran partus: 08/07/13
Pasien tidak mulas, tidak keluar air air dari vagina, tidak keluar
darah, hanya keluar lendir sedikit. Tidak pernah mengalami penyakit
selama kehamilan, Kehamilan sebelumnya tidak pernah mengalami
hal seperti ini. Pergerakan janin lebih dari 10x/24 jam.

ANC

kehamilan saat ini di bidan, kehamilan sebelumnya lahir hidup, BBL


3100 gram, kehamilan 9 bulan, anak perempuan, 4 tahun yang lalu

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat hipertensi, DM, asma, alergi disangkal
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Riwayat hipertensi, DM, asma, alergi disangkal
RIWAYAT MENSTRUASI
Menarche: 13 tahun.
Siklus : Teratur, Lamanya: 7 hari
Jumlah : 2- 3 x pembalut/hari
Dismenore : kadang-kadang
HPHT : 1 Oktober 2012
RIWAYAT PERNIKAHAN
Pasien sudah menikah 1 x dengan suami sekarang usia 18 th.
RIWAYAT OBSTETRI
1.

, 4 tahun, Spontan oleh bidan,3100 gr

RIWAYAT KELUARGA BERENCANA


Pasien mengakui menggunakan pil KB selama 4 tahun
RIWAYAT OPERASI
Pasien tidak pernah dioperasi sebelumnya
II.

PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS

Kesadaran: compos mentis


Tekanan darah : 120/80 mmHg
Laju jantung : 80x/menit, reguler
Pernapasan : 20x/menit
Suhu
: 36,5C (Axilla)

Mata : CA-/-,SI -/ Thoraks : suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/Bunyi jantung I II reguler, murmur (-), gallop (-)
Ekstremitas : akral +/+/+/+ ,oedem -/-/-/STATUS OBSTETRI
Abdomen
Inspeksi

Membesar dengan arah memanjang

Linea nigra (+)

Luka operasi (-)


Palpasi

TFU 37 cm

L1: bokong

L2: puki

L3: kepala

L4: 5/5

Auskultasi

DJJ: 144x/m
Anogenital
Inspeksi : vulva/ urethra tampak tenang, perdarahan (-)
VT : portio tebal, lunak, pembukaan satu jari

III.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
LAB DARAH (27/07/13)

Hematologi

Darah Lengkap

LED

84

Mm

0-15

Leukosit

6.8

Ribu
/uL

5-10

Basofil

<1

Eosinofil

13

Batang

2-6

Hitung Jenis

Segmen

68

52 70

Limfosit

25

20 40

Monosit

28

Eritrosit

4.84

Juta/
uL

45

Hemoglobin

12.6

g/dL

12 14

Hematokrit

39.3

37 47

Index eritrosit

MCV

81.1

Fl

82 92

MCH

26.0

Pg

27 32

MCHC

32.1

32 37

trombosit

253

Ribu
/uL

150 400

HEMOSTASIS

PT

PT

12.7

deti
k

11 17

PT control

14.6

Deti
k

12.4
17.9

APTT

24.9

Deti
k

20 40

PTT control

37.1

Deti
k

27.5
39.5

IMUNOSEROLOGI

Anti HIV

Tahap I

Non
reakti
f

Non
reaktif

HbsAg
(Elisa)

Non
reakti
f

Non
reaktif

KIMIA KLINIK

Fungsi hati

SGOT

21

U/L

< 37

SGPT

21

U/L

< 41

Cardiotocography

USG
Interpretasi:
BPD
HC
AC
FL

Sesuai kehamilan 39
minggu

IV.

DIAGNOSA KERJA

G2P1A0 hamil 43 minggu dengan giant baby

Janin tunggal hidup

V.

PROGNOSA
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia

VI.

TATALAKSANA
-

VII.

Rencana sectio caesarea

LAPORAN OPERASI

Nama ahli bedah: dr. Bayu, Sp.OG


Jenis anestesi: spinal anestesi
Jenis operasi: SCTPP
Tanggal operasi: 29 Juli 2013
Diagnosis pre-operasi: G2P1A0 hamil 43 minggu dengan giant baby
Diagnosis post-operasi: P2A0 post SC atas indikasi hamil post-term
dengfan giant baby
1.
Dibuat irisan pfanenstiel
2.
SBU diinsisi secara semilunar
3.
Bayi lahir laki laki, BBL 3900 gram, PBL 53 cm, A/S 8/9,
pukul 09:10, ketuban hijau
4.
Plasenta dilahirkan
5.
SBR + bloody angle dijahit
6.
Eksplorasi sampai yakin tidak ada perdarahan, abdomen ditutup
lapis demi lapis
7.
Operasi selesai

VIII. INSTRUKSI POST OPERASI

Diagnosis post operasi: P2A0 post SC a/i hamil post term

dengan giant baby

Terapi post operasi: Anbacim 3x1, Gentamicin 80 mg 2x1


IX.

LABORATORIUM POST OPERASI

Hematologi

Darah Rutin DHF

X.

Leukosit

16,1

Ribu/uL

5 - 10

Hemoglobin

12,1

g/dL

12 14

Hematokrit

36,8

37 47

Trombosit

236

Ribu/uL

150 400

FOLLOW UP

30 Juli 2013

S: nyeri sekitar bekas jahitan


operasi

31 Juli 2013

S: nyeri sekitar bekas jahitan


operasi

O:

TD: 130/90 mmHg

O:

TD: 120/90 mmHg

HR: 80x/m

HR: 80x/m

RR: 20x/m

RR: 20x/m

S: 36,3 C

S: 36,3 C

Mata: CA -/-, SI -/-

Mata: CA -/-, SI -/-

Thoraks: dbn

Thoraks: dbn

Ekstremitas

Ekstremitas

Akral +/+/+/+ Edema -/-/-/-

Akral +/+/+/+ Edema -/-/-/-

Status puerpuralis

Status puerpuralis

- mammae:

- mammae:

ASI (-)

ASI (-)

retraksi papil (-)

retraksi papil (-)

nyeri (-)

nyeri (-)

massa (-)

massa (-)

- abdomen:

- abdomen:

I: Tampak datar, terdapat jahitan di


perut bawah

I: Tampak datar, terdapat jahitan


di perut bawah

P: Supel, NT (+)

P: Supel, NT (+)

P: timpani, NK (+)

P: timpani, NK (+)

A: BU (+)

A: BU (+)

- genitalia

- genitalia

Lukia rubra (+)

Lukia rubra (+)

A: P2A0 post SC a/i hamil post


term dengan giant baby H+1

A: P2A0 post SC a/i hamil post


term dengan giant baby H+2

P: Anbacim 3x1

P: amoxicillin 3x1, Metronidazole


3x1, Asam mefenamat 3x1, SF
2x1

Gentamicin 80 mg 2x1

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kehamilan Postterm


Kehamilan postterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu,
kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy, postdate/ post
datisme atau pascamaturitas.
Menurut WHO 1977 kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung
lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid
terakhir (HPHT) menurut rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari.
Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians
and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang
berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama
siklus haid terakhir (HPHT). 1
Masalah yang sering terjadi dalam menegakkan diagnosisi kehamilan postterm
adalah penentuan usia kehamilan berdasarkan HPHT seringkali tidaklah mudah,
karena ibu tidak ingat kapan tanggal HPHT yang pasti, selain itu penentuan saat
ovulasi yang pasti juga tidak mudah, terdapat pula faktor-faktor yang
mempengaruhi perhitungan: variasi siklus haid, kesalahn perhitungan oleh ibu dan
sebagainya. Dengan adanya pemeriksaan USG terutama pada trisemester I, usia
kehamilan dapat ditentukan lebih tepat , dengan penyimpanagn hanya lebih atau
kurang satu minggu.3
B. Insiden Kehamilan Postterm
Angka kejadian kehamilan lewat waktu bervariasi antara 4%-14% dengan
rata-rata sebesar 10%. Hal ini sangat tergantung kepada kriteria yang digunakan
untuk mendiagnosis (Bakketeig and Bergasjo, 1991).2

Gambar di bawah ini menyatakan bahwa 8% dari 4 juta bayi yang dilahirkan
di Amerika Serikat sepanjang tahun 1997, diperkirakan dilahirkan pada usia
gestasi 42 minggu sedangkan yang dilahirkan preterm (usia gestasi 36
minggu) hanya sebesar 11%.2

Usia Gestasi
2000000
1800000
1600000
1400000
1200000
1000000
800000
600000
400000
200000
0

36

37-39

40

41

42

Adapted from Ventura and Colleagues, 1999


Gambar: Tabel Distribusi Usia Gestasi
Sedangkan kepustakaan lainnya menyatakan bahwa perbedaan yang lebar juga
disebabkan oleh karena adanya perbedaan dalam menentukan usia kehamilan.
Sebanyak 10% ibu lupa tanggal haid terakhirnya sehingga terjadi kesukaran dalam
menentukan secara tepat saat ovulasi.1,4,6
Menurut Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi (POGI), insidens
kehamilan lewat waktu sangat bervariasi antara lain :8

Insidens kehamilan 42 minggu lengkap : 4 14 %, 43 minggu lengkap 2

7 %.

Insidens kehamilan post-term

pendidikan masyarakat,

frekuensi

tergantung pada beberapa faktor : tingkat


kelahiran pre-term, frekuensi induksi

persalinan, frekuensi seksio sesaria elektif, pemakaian USG untuk menentuka usia
kehamilan.

Secara spesifik, insidens kehamilan post-term akan rendah jika frekuensi

kelahiran pre-term tinggi, bila angka induksi persalinan dan seksio sesaria elektif
tinggi, dan bila USG dipakai lebih sering untuk menentukan usia kehamilan.
Peningkatan mortalitas dan morbiditas secara signifikan berhubungan dengan
distosia akibat makrosomia. Sekitar 10-25% janin yang lahir lewat waktu
memiliki berat badan lebih dari 4000 gram dan 1,5% janin dengan berat badan
sekitar 4500 gram. Insidens distosia bahu pada kehamilan lewat waktu adalah
sebesar 2%. Resiko mengalami distosia akibat makrosomia adalah 3 kali lipat dan
peningkatan insiden distosia bahu sebesar 2 kali lipat pada kehamilan lewat waktu
dibandingkan dengan wanita yang melahirkan bayi pada kehamilan 40 minggu. 2,9

C.Etiologi Kehamilan Postterm


Penyebab pasti dan poses terjadinya kehamilan postterm sampai saat ini masih
belum diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk
menerangkan penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:2
1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya kehamilan
postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron melewati
waktu yang semestinya.
2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil
pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab terjadinya
kehamilan postterm.
3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga
produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen. Proses ini
selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada
kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau
hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan menyebabkan
kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan berlangsung lewat
bulan.

4. Teori saraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi pada
keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus
Frankenhauser yang membangkitkan kontraksi uterus, seperti pada keadaan
kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah janin.
5. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm telah
dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007) menyatakan
dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah mengami kehamilan
postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan postterm
pada kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan kemungkinan
bahwa kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh faktor genetik. 5 Mogren (1999)
menyatakan bahwa bilamana seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat
melahirkan anak perempuan, maka besar kemungkinan anak perempuannya akan
mengalami kehamilan postterm.

D. Patofisiologi Kehamilan Postterm


Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion,
plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan tersebut
dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.
1. Perubahan pada Plasenta.
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada
kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta
mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun
terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan
peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 2-4 kali lebih tinggi. Penurunan
fungsi plasenta dapat dibuktikan dengan penurunan kadar estriol dan plasenta
laktogen. Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut.
Penimbunan kalsium. Peningkatan penimbunan kalsium pada plasenta sesuai
dengan progresivitas degenerasi plasenta. Proses degenerasi jaringan plasenta

yang terjadi seperti edema, timbunan fibrinoid, fibrosis, trombosis intervilli,


spasme arteri spiralis dan infark villi. Selapot vaskulosinsial menjadi tambah tebal
dan jumlahnya berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan metabolisme transport
plasenta. Transport kalsium tudak terganggu tetapi aliran natrium, kalium,
glukosa, asam amino, lemak dan gamma globulin mengalami gangguan sehingga
janin akan mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat janin. 1
2. Oligohidramnion
Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan
amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu,
yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar 800 ml pada usia kehamilan
40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar
480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu. 1
Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan
dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan
pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm terjadi peningkatan
hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat
menyebabkan penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya menimbulkan
oligohidramnion.

(Oz, et al., 2002)

Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada

kasus kehamilan postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa


kematian perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan
kompresi tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan
keadaan gawat janin saat intra partum. 2
Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion
sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik
kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah badan lamellar dari paruparu janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap Sfingomielin
menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran mekonium akan
mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko
terjadinya aspirasi mekonium. 1

Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah
satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter vertikal dari
kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil
penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan
anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau
kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion. 1
3. Perubahan pada janin
Berat janin. Bila terjadi perubahan anatomik yang besar pada plasenta, maka
terjadi penurunan berat janin. Namun, seringkali pula plasenta masih

dapat

berfungsi dengan baik sehingga berat janin bertmbah terus sesuai bertambahnya
umur kehamilan. Risiko persalinan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram pada
kehamilan postterm meningkat 2-4 kali lebih besar.
Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada kehamilan
postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai dengan gangguan
pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan sindrom postmaturitas.
Perubahan-perubahan tersebut antara lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus,
kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa dan lanugo. Keadaan ini
menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan
lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau
kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh neonatus
kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta.
Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda postmaturitas pada
kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3 stadium: 2
a. Stadium 1 :

Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa


kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.

b. Stadium 2 :

Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada kulit.

c. Stadium 3 :

Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat.

E. Diagnosis Kehamilan Postterm


Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari
seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena
kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. Oleh sebab itu, pada penegakkan
diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan
menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin berada di
dalam uterus maka semakin besar pula risiko bagi janin dan neonatus untuk
mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun sebaliknya, pemberian
intervensi/terminasi secara terburu-buru juga bisa memberikan dampak yang
merugikan bagi ibu maupun janin.
1. Riwayat haid
Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan
apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm
berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan oleh
American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan
yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari
pertama siklus haid terakhir (HPHT). 1
Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak
bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan riwayat haid,
diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan hanya 30 persen.
Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu
harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak
minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir. 2
Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia kehamilan yang
ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai
kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi
yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada
asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari
pertama siklus haid yang terakhir.

(Cunningham, et al., 2010)

Pendekatan ini berpotensi

menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal


HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi.
Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena adanya variasi
durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada
ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah
hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan
yang seharusnya dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi.
(Bennett, et al., 2004)

Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika

berdasarkan HPHT adalah 1,37 minggu. 6


2. Riwayat pemeriksaan antenatal
Tes kehamilan. Bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sesudah
terlambat haid 2 minggu, maka dapat diperkirakan keamilan telah berlangsung 6
minggu.
Gerak janin. Gerak janin pada umumnya dirasakan ibu pada umur kehamilan
18-20 minggu. Pada primigravida dirasakan sekitar umur kehamilan 18 minggu,
sedangkan pada multigravida pada 16 minggu. Keadaan klinis yang ditemukan
ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara subyektif kurang dari 7 kali/20
menit, atau secara obyektif dengan CTG kurang dari 10 kali/20 menit.
Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop Laennec DJJ dapat didengar
mulai umur kehamilan 18-20 minggu, sedangakn dengan Doppler dapat terdengar
pada usia kehamilan 10-12 minggu.
Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan sebagai
kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan
sebagai berikut:
a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif
b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler
d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan
stetoskop Laennec.

3. Tinggi Fundus Uteri


Dalam trisemester pertama pemeriksaan tinggi fundus uteri serial dalam
sentimeter (cm) dapat bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara berulang
setiap bulan. Lebih dari 20 minggu, tinggi fundus uteri dapat menentukan umur
kehamilan secara kasar. 7
4. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah
banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan
postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan usia
kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih
tinggi dibanding dengan metode HPHT.
Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang
didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa
kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal
perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump
length) adalah 4 hari dari taksiran persalinan. (Cohn, et al., 2010) Pada usia kehamilan
antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal diameter/BPD) dan
panjang femur (femur length/FL) memberikan ketepatan 7 hari dari taksiran
persalinan.2
Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut
hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah
dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Pemeriksaan sesaat
setelah trisemester III dapat dipakai untuk menentukan berat janin, keadaan air
ketuban ataupun keadaan plasenta yang berkaitan dengan kehamilan postterm,
tetapi sukar untuk menentukan usia kehamilan. Ukuran-ukuran biometri janin
pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat
kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat
kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan
USG trimester III bahkan bisa mencapai 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan

usia kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban.

5. Pemeriksaan laboratorium
a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak
dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10%,
maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan apabila jumlahnya
mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu atau lebih.
b. Tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu berhasil
membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan darah.
Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada usia
kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada usia
kehamilan >42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila didapatkan ACTA
antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah postterm.
c. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S pada usia
kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan 32
minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap bulan menjadi
2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan postterm
tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk
dilahirkan.
d. Sitologi vagina. Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariopiknotik > 20%)
mempunyai sensitivitas 755. Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak dapat
dipakai untuk menentukan usia gestasi.2
F. Komplikasi Kehamilan Postterm
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu seperti korioamnionitis, laserasi
perineum, perdarahan post partum, endomiometritis dan penyakit tromboemboli.
Komplikasi terjadi pada bayi seperti hipoksia, hipovolemia, asidosis, sindrom
gawat nafas, hipoglikemia, hipofungsi adrenal.3

G. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm


Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak
perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan
postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan tidak selalu
dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana
yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42 minggu, pada
70% penderita didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan skor
Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Oleh karena
itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan, permasalahan yang harus
dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan
induksi ataukah sebaliknya dilakukan pengelolaan secara ekspektatif dengan
pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun biokimia
sampai persalinan berlangsung dengan spontan atau timbul indikasi untuk
mengakhiri kehamilan. 2 Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan
keputusan tindakan adalah kepastian usia kehamilan, pemeriksaan serviks,
perkiraan berat janin, keinginan pasien dan riwayat obstetrik dahulu.
1. Pemantanauan kesejahteraan janin
Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5 variabel
biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini
memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel
saja. Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel
yang digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (nonstress test/NST), (b) gerak nafas janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan (e)
volume cairan amnion. Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0
bila abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada
pemeriksaan profil biofisiknya. (Cunningham, et al., 2010)
a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)
Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai
akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang impulsnya berasal

dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada dalam
keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan mengalami akselerasi
sementara sebagai respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini
dipegaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat
akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan
peningkatan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010)
Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban kontraksi
(contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara sederhana, NST adalah
tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan untuk menilai
fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama yang paling sering
digunakan untuk menilai kesejahteraan janin. (Cunningham, et al., 2010)

b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)


Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah gerakan
dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall movement). Pada janin,
ketika proses inspirasi, dinding dada secara paradoks mengempis sedangkan
dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses inspirasi yang
terjadi pada neonatus dan orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan
kemungkinan adanya gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion
yang menyerupai gerakan pada saat batuk. (Cunningham, et al., 2010)
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya
keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG dengan proses
evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi secara
episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan gerakan nafas
menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk (1980) melakukan penelitian observasi
selama 24 jam menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan
gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu terakhir kehamilan.
Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa saja tidak ditemukan
gerakan nafas bahkan sampai 122 menit lamanya. Penelitian ini mengindikasikan

bahwa

untuk

dapat

mendiagnosis

tidak

ditemukannya

gerakan

nafas

membutuhkan waktu observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai
kesejahteraan janin, pemeriksaan gerakan nafas sering digabungkan dengan
pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut jantung janin. (Cunningham, et al., 2010)
c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)
Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak
minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada akhir
kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak
pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil
baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20
minggu. Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat
dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus. (Cunningham, et al., 2010)
Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi lebih
teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat-aktivitas. Pada trimester
ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat
sikap tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin. (Cunningham, et al., 2010)
Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur
kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per
12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32
kehamilan, yaitu 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan menjadi
kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin tumbuh dan volume cairan
amnion berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas
pada kehamilan aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur
janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini merupakan hal yang
terjadi secara fisiologis pada trimester ke- tiga. (Cunningham, et al., 2010)
d. Pemeriksaan tonus janin
Tonus janin dengan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi

ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ke posisi
fleksi. Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat gerakan jari-jari tangan yang
membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam keadaan normal,
gerakan tersebut terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus
janin juga dianggap normal apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama
30 menit pemeriksaan.
e. Pemeriksaan volume cairan amnion
Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari pemeriksaan
antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian janin. Pelaksanaan tes
ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta akan
menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin janin, dan pada
akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al., 2002; Cunningham, et al., 2010)
Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG
dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid index/AFI). Penilaian
dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran kedalaman dari
setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah
turun

hingga

cm

atau

kurang,

maka

merupakan

indikasi

adanya

oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)


Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan amnion
vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut pemeriksaan ini, volume
cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong 2 cm.
(Cunningham, et al., 2010)

Gambar: Amniotic Fluid Index (Cunningham, et al., 2010)


Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di atas, maka
didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai kesejahteraanya. Skor
profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan maksimal 10.
Tabel: Penilaian Skor Profil Biofisik (Cunningham, et al., 2010)

Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa


penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil melakukan
pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran keadaan asfiksia, maka
penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan.

Tabel: Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik


(Cunningham, et al., 2010)

Pengeloloaan secara ekpetatif dipertahankan selama 1 minggu dengan


pemantauan secara berkala. Apabila timbul suatu masalah seperti kegawatan janin
dapat dilakukan pengelolaan aktif.
2. Induksi persalinan
Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi indikasi
untuk pelaksanaan induksi persalinan dengan pertimbangan kondisi bayi yang
cukup baik atau optimal. Induksi persalinan menjadi salah satu prosedur medis
yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat dengan proporsi yang meningkat
dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di tahun 1998. (Heimstad, 2007)
Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum
inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang timbulnya
kontraksi uterus. Pematangan serviks adalah tindakan farmakologik atau cara lain
untuk memperlunak atau meningkatkan dilatasi serviks dengan tujuan untuk
meningkatkan keberhasilan induksi persalinan. Tindakan induksi persalinan ini
adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan
terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan
janin tetap ada. (Heimstad, 2007)
Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh beberapa
keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari kematangan serviks

(favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat dilakukan dengan


menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan lima faktor yang
didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan untuk memperkirakan
keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang diperiksa adalah (1) dilatasi
serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi
serviks, dan (5) station dari bagian terbawah janin.
Tabel :Pelviks skor menurut Bishop. (Cunningham, et al., 2010)

Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi persalinan


yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop 4 biasanya menunjukkan keadaan
serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga membutuhkan pematangan
serviks yang bisa dilakukan secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida)
ataupun teknik (kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping). (Cunningham, et al.,
2010)

Pada kehamilan postterm, harus diperhatikan nilai oematangan serviks (Skor


Bishop) karena akan mempengaruhi tindakan induksi. Apabila skor bishop > 5
maka di induksi dengan infus oksitosin,tetapi bila skor bishop 5 maka diberikan
misoprostol 25 g per vaginam. Dievaluasi 6 jam kemudian, apabila skor bishop
sudah >5 maka dilanjutkan infus oksitosin, namun apabila setelah 6 jam masih
sama atau 5 maka dilanjutkan misoprostol dengan cara pemberian yang sama.
Bila dalam 6 jam kemudian belum inpartu maka dilanjutkan infus oksitosin.
Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi persalinan
dalam bidang obstetri. (Heimstad, 2007) Oksitosin mempunyai efek yang poten terhadap
otot polos uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan terhadap oksitosin meningkat

pada saat persalinan. Induksi persalinan dengan oksitosin yang diberikan melalui
infus secara titrasi ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya
dilakukan dengan cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU)
yang dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan
menghasilkan kadar oksitosin 10-20 mU/mL. (Cunningham, et al., 2010) Terdapat berbagai
macam metode induksi dengan menggunakan drip oksitosin, baik yang
menggunakan dosis rendah maupun dosis tinggi.
Tabel :Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al., 2010)

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20


mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih
tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi dilanjutkan.
Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin
dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik
atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga
zmeningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau
didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10 menit
dengan kekuatan sekitar 40 mmHg atau lebih (200 Montevidio). (Cunningham, et al., 2010)
3. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion
Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan postterm tergantung
pada situasi klinik pasien yang bersangkutan. Pada tahap awal, harus dilakukan
evaluasi terhadap anomali janin dan gangguan pertumbuhan. Pada kehamilan
postterm yang diperberat dengan komplikasi oligohidramnion harus dilakukan
pengawasan ketat karena tingginya risiko morbiditas janin. (Heimstad, 2007)

Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum menurut beberapa


penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda. Chauhan dkk (1999) yang dikutip
dari (Cunningham, et al., 2010), melakukan penelitian terhadap lebih dari 10.500
ibu hamil yang memiliki nilai AFI intrapartum <5 cm dibandingkan dengan
kontrol yang memiliki nilai AFI >5 cm. Menurut hasil penelitian didapatkan
bahwa risiko seksio sesarea atas indikasi gawat janin pada kelompok
oligohidramnion lebih tinggi 2 kali lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor
APGAR 5 menit dibawah 7 pada kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil
penelitian Divon dkk (1995) yang dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga
menyatakan bahwa hanya ibu paturien postterm yang memiliki nilai AFI 5 cm
yang mengalami deselerasi denyut jantung janin dan aspirasi mekonium. (Cunningham,
et al., 2010)

Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et al., (2010)
melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai AFI 5 cm tidak
berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga dengan Magann
dkk (1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko komplikasi intrapartum
pada kondisi oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin
postterm sehingga setiap persalinan postterm harus dilakukan pengawasan ketat
dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit dengan pelayanan operatif dan
neonatal yang memadai.
Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada kehamilan
postterm mencakup:
a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan janin.
Pemakaian alat monitor janin secara kontinu sangat bermanfaat.
b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.
c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-waktu terjadi
kegawatan janin

d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah neonatus dan
penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan resusitasi sesuai
prosedur pada janin dengan cairan ketuban bercampur mekonium.
e. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas

Gambar: Skema penatalaksanaan kehamilan postterm. (Cunningham, et


al., 20

DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F.G., et al. 2001. Postterm Pregnancy, Antepartum Assessment, In : Williams
Obstetrics. Edisi 21. Mc Graw Hill. New York: 729 742. 1095-1108.
2. Wiknjosastro. H., Ilmu Kebidanan, edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Kehamilan Lewat Waktu, Jakarta, 2002 hal: 317-320.
3. Rustam, Mochtar. 1998 Sinopsis Obstetri (Obstetri Fisiologi Obstertri Patologi). Edisi 2. EGC.
Jakarta.
4. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. 1982.
Obstetri Patologi,. Penerbit : Elstar Offset. Bandung
5. Hacker NF and Moore George, Essensial of Obstetrics and Gynecology, 2nd edition, W.B.
Sauders company,1992, page 316-318
6. Shaver D.C. et al, Clinical Manual Of Obstetrics, 2 nd Edition, Mc Graw International Editions,
1993 page 313-321.
7. Decherney A, Nathan L, Goodwin T,Leufer N, Current Diagnosis and Treatment Obstetrics &
Gynacology 10th edition; McGraw-Hill, 2007 page 187-189
8. Pengurus besar POGI, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi, bagian 1, Balai
penerbit FKUI, 2003, hal 70-71.
9. Rosa C. 2001. Postdate Pregnancy in: Obstetrics and Gyecology Principles for Practice,
McGraw-Hill. New York, America: 388-395
10. Asrat T.,Quilligan E.J., 2000. Postterm Pregnancy in: Current Therapy in Obstetrics and
Gynecology, edisi 5. WB. Saunders Company. Philadelphia America:321-322
11. Spellacy W.N., 1999.Postdate Pregnancy in:Danforths Obstetrics and Gynecology. Edisi 8.
Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia:287-291.
12. Puder K.S., Sokol R.J., 1995. Clinical use of Antepartum Fetal monitoring techniques in:John
J.Sciarra Gynecology and Obstetrics vol 2.edisi revisi. Lippincott Williams and Wilkins.
Philadelphia
13. Briscoe D., et al. 2005. Management of Pregnancy Beyond 40 Weeks Gestation in:
www.aafp.org/afp
14. Singal P., et al. 2001. Fetomaternal Outcome Following Postdate Pregnancy-A Prospective
Study in: www.journal-obgyn-india.com/articles/issue_sep_oct2001/o_papers_89.asp

Você também pode gostar