Você está na página 1de 3

Kimigayo ( ), dalam Bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai "Semoga

kekuasaan Yang Mulia berlanjut selamanya", adalah lagu kebangsaan Jepang. Ini
adalah salah satu lagu kebangsaan yang terpendek di dunia, dengan panjang hanya 11
bar dan terdiri dari 32 karakter huruf saja. Lagu ini ditulis dalam sebuah metrum Jepang
Waka, sedangkan liriknya ditulis dalam zaman Heian (794-1185) dan melodinya ditulis
pada akhir zaman Meiji. Melodi yang ada saat ini dipilih pada tahun 1880, dan
menggantikan melodi sebelumnya yang tidak populer, yang digubah sebelas tahun
sebelumnya.
Lirik (kata-kata) dari lagu kebangsaan Jepang, "Kimigayo", berasal dari sebuah puisi
bersuku-kata 31, yang disebut waka, digubah pada abad ke-10.
"Kimigayo" menjadi bentuknya yang sekarang pada paruh akhir abad ke-19 ketika
ditambahkan melodinya. Kata-kata lagu ini merupakan doa bagi perdamaian dan
kemakmuran abadi di Jepang.
Sebenarnya teks dalam lagu ini merupakan sebuah puisi kuno dan iramanya diciptakan oleh Yoshiisa Oku dan
Akimori Hayashi. Lirik lagu ini pertama kali muncul dalam sebuah antologi puisi bernama Kokin Wakashu, sebagai
sebuah puisi yang anonim. Meskipun sebuah puisi anonim bukanlah tidak lazim pada waktu itu, identitas pengarang
yang sebenarnya mungkin saja sudah diketahui, tetapi namanya mungkin sengaja tidak disebutkan karena berasal
dari kelas sosial yang lebih rendah. Puisi ini dicantumkan dalam berbagai antologi, dan dalam periode selanjutnya
digunakan sebagai lagu perayaan oleh orang-orang dari semua lapisan sosial. Tidak seperti bentuknya yang
digunakan untuk lagu kebangsaan saat ini, puisi ini awalnya dimulai dengan Wa ga Kimi wa (Engkau, Yang Mulia)
dan bukannya Kimi ga Yo wa (Kekuasaan Yang Mulia). Perubahan lirik terjadi pada zaman Kamakura. Pemerintah
Jepang pun mengutus seorang Jerman bernama Franz Von Eckert untuk mengharmonisasikan nadanya.
Lirik lagu ini pertama kali muncul dalam sebuah antologi puisi bernama Kokin Wakash, sebagai sebuah puisi yang
anonim. Meskipun sebuah puisi anonim bukanlah tidak lazim pada waktu itu, identitas pengarang yang sebenarnya
mungkin saja sudah diketahui, tetapi namanya mungkin sengaja tidak disebutkan karena berasal dari kelas sosial
yang lebih rendah. Puisi ini dicantumkan dalam berbagai antologi, dan dalam periode selanjutnya digunakan sebagai
lagu perayaan oleh orang-orang dari semua lapisan sosial. Tidak seperti bentuknya yang digunakan untuk lagu
kebangsaan saat ini, puisi ini awalnya dimulai dengan "Wa ga Kimi wa" (Engkau, Yang Mulia) dan bukannya "Kimi ga
Yo wa" (Kekuasaan Yang Mulia). Perubahan lirik terjadi pada zaman Kamakura.
Pada tahun 1869 di awal zaman Meiji, seorang pemimpin band militer Irlandia bernama John William Fenton yang
sedang berkunjung ke Jepang menyadari bahwa Jepang tidak memiliki lagu kebangsaan nasional. Ia menyarankan
kepada Iwao yama, seorang perwira dari Klan Satsuma, agar menciptakan lagu kebangsaan tersebut. yama
setuju, dan memilihkan liriknya Lirik yang terpilih memiliki kemiripan dengan lagu kebangsaan Inggris, kemungkinan
karena adanya pengaruh dari Fenton. Setelah yama memilih lirik lagu kebangsaan, ia kemudian meminta Fenton
untuk menciptakan melodinya. Setelah diberikan hanya tiga minggu untuk menggubah lagu dan hanya beberapa hari
untuk berlatih, Fenton menampilkan pertama kalinya lagu kebangsaan itu di depan Kaisar Jepang pada tahun 1870.
Ini adalah versi pertama Kimigayo, yang disingkirkan karena melodinya dianggap "kurang khidmat". Namun, versi ini
masih tetap diperdengarkan setiap tahun di Kuil Mykji di Yokohama, tempat Fenton pernah menjabat sebagai
pemimpin band militer. Mykji berperan sebagai tempat peringatan bagi Fenton.
Pada tahun 1880, Biro Rumah Tangga Kekaisaran menyetujui suatu melodi baru yang ditulis oleh Yoshiisa Oku dan
Akimori Hayashi. Komposer versi ini sering tertulis sebagai Hiromori Hayashi, yang sesungguhnya adalah ayah dan
sekaligus atasan dari Akimori. Akimori juga merupakan salah satu murid Fenton. Meskipun melodi ini dibuat
berdasarkan pada bentuk tradisional musik istana Jepang, namun ia digubah dalam gaya campuran yang
terpengaruhi oleh himne Barat, dan menggunakan beberapa elemen dari aransemen Fenton. Musisi Jerman Franz
Eckert kemudian menerapkan harmoni melodi gaya Barat (mode Gregorian), sehingga menciptakan versi Kimigayo
yang dipakai sekarang. Pada 1893, berkat usaha Departemen Pendidikan, Kimigayo masuk dalam perayaanperayaan di sekolah umum. Kimigayo dimainkan di nada C mayor, menurut harian The Japan Times.

Sejak akhir perang dunia ke 2 telah muncul kritik terhadap lagu kebangsaan, karena hubungannya terhadap paham
militerisme dan makna kiasan penyembahan kaisar sebagai dewa, yang menurut sebagian orang tidak sesuai
dengan adab masyarakat yang demokratis. Keberatan yang sama juga diberikan terhadap versi bendera nasional
Jepang yang sekarang (Hinomaru), dan terkadang terjadi demonstrasi yang ditujukan terhadap keduanya.

Pada tahun 1999, pemerintah Jepang menyetujui UU mengenai bendera dan lagu kebangsaan, memang untuk
masalah hal itu Jepang cukup tertinggal dalam menyikapinya daripada negara-negara lainnya termasuk Indonesia.
UU tersebut menetapkan Kimigayo sebagai lagu kebangsaan dan Hinomaru sebagai bendera nasional. Pemerintah
menyatakan pada saat persetujuan undang-undang tersebut bahwa lirik lagu kebangsaan adalah harapan atas
Jepang yang damai dengan kaisar sebagai lambang persatuannya.

Text in Hiragana :

Text in Romanji :
Kimigayo wa
Chiyo ni yachiyo ni
Sazare-ishi no
Iwao to narite
Koke no musu made

Artinya dalam Bahasa Indonesia :


Semoga kekuasaan Yang Mulia
Berlanjut selama seribu, delapan ribu generasi
Sampai kerikil
Berubah menjadi batu karang
Hingga diselimuti lumut.

Você também pode gostar