Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB)
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi
secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf
perifer, radiks, dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi
antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun
Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7
per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 5074 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Pada pasien yang mengalami
miastenia gravis akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat
berbahaya bagi penderitanya, misalnya: kegagalan jantung, kegagalan pernapasan,
infeksi dan sepsis, trombosis vena, serta emboli paru, oleh karena itu perlu adanya
penanganan yang serius terhadap kasus ini.
I. 2. Permasalahan
Permasalahan yang timbul sehingga disusunnya asuhan keperawatan
ini
I. 4. Manfaat
Manfaat dari penyusunan asuhan keperawatan ini, yaitu:
1. Kegunaan Ilmiah
a. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa
b. Sebagai salah satu tugas akademik
2. Kegunaan Praktis
Bermanfaat bagi tenaga perawat dalam penerapan asuhan keperawatan
pada klien dengan Guillan Barrre Sindrome (GBS).
BAB II
KONSEP MEDIS
II. 1. Pengertian
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) adalah
proses peradangan akut dengan karakteristik kelemahan motorik dan paralisis yang
disebabkan karena demylin pada sarat perifer. Sindrom penyakit ini berupa paralisis
flaccid asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya mengikuti infeksi
virus. Pada kondisi ini peran perawat adalah memberikan perawatan proses
rehabilitasim mencegah komplikasi, memenuhi kebutuhan ADL dan support
emosional.
Sedangkan
menurut
Parry
mengatakan
bahwa,
GBS
adalah
suatu
polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai
3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma
klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan
dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis.
Guillan Barre Syndrome (GBS) mempunyai banyak sinonim (istilah lain), antara lain :
1. Polineuritis akut pasca infeksi
2. Polineuritis akut toksik
3. Polineuritis febril
4. Poliradikulopati,dan
5. Acute ascending paralysis.
II. 2. Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali
menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis
diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB
dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl
menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan
serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut
sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan
Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan
diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya
kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat
perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.
II. 3. Epidemiologi (Insidensi)
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling
dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur
dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun
didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan
dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan
Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic
melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun.
Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan
adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya.
Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7%
kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,
III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir
sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki
dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April
s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
II. 4. Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fishers syndrome
6. Acute pandysautonomia
II. 5. Etiologi
Secara pasti penyebab GBS tidak diketahui, namun diduga berkaitan dengan :
1. Penyakit akut, trauma, pembedahan dan imunisasi 1-4 minggu sebelum tanda dan gejala GBS
(15% dari kasus)
2. Di dahului Infeksi saluran pernapasan akut, penyakit gastrointestinal (50% dari kasus)
3. Reaksi immunologi
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow)
steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan
peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan
pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)
antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen
tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut
akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena
aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel
endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel
limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat
merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
4. Kehamilan atau dalam masa nifas
5. Dahulu diduga penyakit ini disebabkan oleh virus tetapi tidak ditemui pada pemeriksaan
patologis. Teori sekarang ini mengatakan bahwa SGB disebabkan oleh kelainan
immunobiologik.
Mekanisme
bagaimana
infeksi,
vaksinasi,
trauma,
atau
faktor
lain
yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini
adalah melalui mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas
saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah
saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering
adalah infeksi virus.
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf
tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa
edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan
iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke
sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas.
Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada
hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi
sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan
ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang
menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus
membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
II. 6. Patofisiologi
Kerusakan myelin diantara Node of Ranvier ditemukan pada sebagian besar
kasus GBS, sehinga konduksi impuls akan lambat dan terganggu. Myelin berfungsi
menghantarkan impuls yang pada respon motorik berasal dari otak. Keadaan ini
mengakibatkan kelemahan/paralisi pada ekstermitas bawah kemudian berjalan ke
tubuh bagian atas. Bila terjadi kompresi dan demyelin pada saraf bagian interkosta
dan diafragma maka berpotensi terhadap gangguan pernapasan.
Kerusakan myelin menurut beberapa teori disebabkan karena infiltrasi virus
ke spinal dan terkadang pada akar-akar saraf kranial, yang kemudian menimbulkan
respon peradangan. Pada tanda awal terjadi edema, kompresi akar saraf sampai
terjadi kerusakan myelin. Teori lain mengatakan bahwa kerusakan myelin karena
respon autoimun dari tubuh yang disebabkan oleh toksin atau agen infeksi.
Fase Sindroma Guillain Barre.
1. Fase Progresif
Fase ini dimulai dari terjangkit penyakit. Selama fase ini kelumpuhan
bertambah berat sampai mencapai maksimal, berlangsung beberapa hari sampai 4
minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
2. Fase Plateau
Fase ini telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini biasanya hanya 2
hari samapi 3 minggu.
3. FaseRekonvalesen(perbaikan)
Fase ini ditandai dengan terjadi perbaikan kelumpuhan ekstremitas yang
berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalan penyakit Sindroma Guillain
Barre ini biasanya berlangsung dalam kurun 6 bulan.
II. 7. Manifestai Klinik
1. Kelumpuhan
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang
II. 8. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein
dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan
otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan
otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya
setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian
pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam
cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada
beberapa
penderita
yang
disebabkan
oleh
SIADH
(Sindroma
Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
2. Pemeriksaan elektromyography (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :
a. Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
b. Distal motor retensi memanjang
c. Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada
segmen proksimal dan radiks saraf.
d. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga
berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi
menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna
.
3. Test Fungsi Paru
Menurunnya kapasitas vital, perubahan nilai AGD (penurunan PaO 2,
meningkatnya PaCO2 atau peningkatan pH).
II. 9. Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dilakukan pada pasien dengan kasus guillan barre
syndrom, yaitu:
1. Perawatan pernapasan seperti antispasi kegagalan pernapasan, persiapan ventilator
dan pemeriksaan AGD
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
III. 1. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kejadian/gejala
b. Riwayat ISPA, pembedahan dan imunisasi
c. Riwayat hepatitis dan influenza
2. Pemeriksaan fungsi tubuh
a. Fungsi motorik
1) Kelemahan otot yang menjalar ke atas
2) Paresthesia, atropi otot
b. Saraf cranial
Kelemahan saraf fasial (VII), glossopharegeal (IX), vagus (X) menyebabkan
kelemahan otot wajah, disphagia, distrimia dan gangguan jantung.
c. Refleks
Tidak adanya reflek tendon dalam
d. Fungsi pernapasan
Bunyi napas berkurang, ekspansi paru berkuran.
e. Fungsi jantung
Sinus takhikardia, bradikardia, distrimia.
3. Pemeriksaan psikososial
a. Rasa kecemasan, ketakutan dan panic
b. Intonasi bicara lambat
c. Penampilan fisik
d. Kemampuan kognitig
III. 2 . Diagnosa
Kemungkina diagnosa yan akan timbul pada pasien dengan Guillan Barre
Sidrome, yaitu:
1. Tidak efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis,
berkurangnya refleks batuk, immobilisasi.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
a. Pasien mengatakan kesulitan bernapas.
b. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami penurunan kesadaran.
Data Objektif (DO):
a. Pasien terlihat kesulitan bernapas.
b. Berkurangnya bunyi napas.
c. Perubahan nilai AGD.
d. Perubahan warna kulit (pucat)
e. Penurunan kesadaran.
f. Perubahan frekuensi pernapasan, napas pendek.
g. Penumpukan sekret.
III. 2. Intervensi
Intervensi yang direncanakan pada pasien dengan kasus Guillan Barre
Sindrome, yaitu:
1. Tidak efektifnya pola napas, tidak efektifnya bersihan jalan napas, kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan atau paralisis,
berkurangnya refleks batuk, immobilisasi.
Kriteria Hasil:
a. Pernapasan optimal.
b. Bunyi napas normal.
c. Jalan napas paten.
d. Nilai AGD dalam batas normal.
Intervensi:
a. Monitor jumlah pernapasan, irama dan kedalamannya setiap 1-4 jam.
R/: Paralisis pernapasan dapat terjadi 48 jam.
b. Auskultasi bunyi napas setiap setiap 4 jam.
R/: bunyi napas indkasi adekuatnya ventilasi.
c. Pertahankan kepatenan jalan napas, suction dan bersihkan mulut.
R/: Jalan napas paten.
d. Bantu pasien untuk batuk efektif.
R/: Meningkatkan kepatenan jalan napas.
Kriteria Hasil:
a. Pola BAB teratur.
b. Konsistensi feses lembek.
c. Bising usus normal.
Intervensi:
a. Kaji pola BAB pasien.
R/: Menentukan perubahan pola eliminasi.
b. Kaji bising usus, frekuensi, intensitas.
R/: Bising usus yang lemah dan lambat memungkinkan terjadi konstipasi.
c. Berikan diet tinggi serat.
R/: Meningkatkan residu makanan danmemperlancar BAB.
d. Berikan banyak minum sesuai batas toleransi.
R/: Melancarkan atau melembekkan feses.
e. Lakukan ROM, tingkatkan aktivitas.
R/: Meningkatkan pergerakan untuk melancarakan BAB.
f. Jaga privasi pasien dalam BAB.
R/: Meningkatkan keinginan BAB.
g. Berikan obat pelembek feses: laksadin, sipposituria, laxative dan enema dan kaji
efektivitasnya.
R/: Melembekkan feses dan memudahkan pengeluaran feses.
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisi saraf kranial VII,
trakeostomi.
Kriteria Hasil:
a. Pasien dapat mengekspresikan diri secara verbal dan nonverbal.
b. Mengkomunikasikan keinginan dan kebutuhan kepada staf atau pengunjung.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan komunikasi pasien verbal dan non verbal.
R/: Identifikasi kemampuan komunikasi pasien.
b. Gunakan pertanyaan tertutup dengan jawaban ya atau tidak.
R/: Memudahkan pasien untuk menjawab.
c. Bicara pelan dan terjadi kontak mata.
R/: Komunikasi mudah dipahami.
d. Gunakan bahasa isyarat.
R/: Membantu memudahkan komunikasi.
e. Konsultasikan dengan speeck terapi dalam latihan bicara.
R/: Penanganan lebih lanjut.
f. Komunikasikan kepada keluarga dan staf perawat tentang gangguan komunikasi.
R/: Keluarga tidak memaksakan untuk berkomunikasi secara verbal sehingga tidak
mengakibatkan rasa frustasi pada pasien.
7. Tidak efektifnya koping pasien berhubungan dengan keadaan penyakitnya.
Kriteria Hasil:
a. Pasien dapat mendemonstrasikan koping yang efektif.
b. Pasien dapat memandang secara realistik tentang penyakitnya.
dengan
penyakit,
keperawatan
yang
dilakukan
berdasarkan
intervensi
yang
pasien.
Kurangnya
pengetahuan
pasien/keluarga
berhubungan
dengan
penyakit,
III. 5. Evaluasi
Hasil evaluasi yang diharapkan setelah dilakukan implementasi dari intervensi
yang direncanakan, yaitu:
1. Mencapai fungsi pernapasan adekuat
a. Menunjukan frekuensi pernapasan dan kedalaman pernapasan normal dan optimal
serta kekuatan otot normal.
b. Mentaati jadwal medikasi yang ditetapkan.
c. Menunjukkan bunyi napas yang normal.
d. Menunjukkan jalan napas yang paten.
e. Menunjukkan nilai AGD dalam batas normal.
2. Beradaptasi pada gangguan mobilitas
a. Menetapkan program istirahat dan latihan yang seimbang.
b. Menunjukkan partisipasi dalam perawatan.
c. Menunjukkan mobilisasi yang aktif.
d. Menetapkan maantaati jadwal medikasi yang memaksimalkan kekuatan otot.
e. Tidak adanya komplikasi berhubungan dengan immobilitas yang dialami.
3. Tidak mengalami integritas kulit (dekubitus)
a. Menunjukkan kulit tetap kering dan utuh.
b. Pasien bebas dari dekubitus akibat immobilitas aktivitas.
c. Menetapkan jadwal alih posisi sehingga tidak terjadi dekubitus.
4. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
a. Menunjukkan tanda-tanda nutrisi yang terpenuhi.
b. Mentaati program medikasi
c. Menunjukkan intake makanan yang baik.
5. Kebutuhan eliminasi baik
a. Menunjukkan pola BAB yang teratur.
b. Menunjukkan konsistensi feses yang lembek.
c. Bising usus normal.
BAB IV
PENUTUP
IV. 1. Kesimpulan
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB)
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi
secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf
perifer, radiks, dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi
antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun
Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7
per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 5074 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Pada pasien yang mengalami
miastenia gravis akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat
berbahaya bagi penderitanya, misalnya: kegagalan jantung, kegagalan pernapasan,
infeksi dan sepsis, trombosis vena, serta emboli paru. Sindrom ini dapat
menyebabkan tidak efektifnya pola napas, gangguan mobilitas fisik, resiko integritas
kulit, nutrisi kurang dari kebutuhan, gangguan eliminasi serta gangguan komunikasi
verbal.
IV. 2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta
Guyton. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi. EGC: Jakarta.
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi I. Yogyakarta : Gajah Mada University
Press.
Jukarnain. 2011. Keperawatan Medikal Bedah gangguan Sistem Persarafan.
Long, Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit Volume 1
Edisi 6. EGC: Jakarta.