Você está na página 1de 62

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1

Identifikasi Pasien
Nama

: Tn. Suwarno Bin Basir

Usia

: 60 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Alamat

: Perum Griya Keramat Indah Blok F 1 RT 19 RW


03 Kenten Laut, Talang Kelapa, Kab. Banyuasin

1.2

Pendidikan

: SLTA

Pekerjaan

: Buruh

No. Med Rek

: 582270

MRS

: 10 Agustus 2016

Anamnesis
a. Keluhan Utama : Pasien dikonsulkan dari bagian penyakit dalam RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang untuk dilakukan pemeriksaan gigi
dan mulut untuk mengevaluasi dan tatalaksana adakah tanda-tanda fokal
infeksi
b. Keluhan Tambahan : Pasien mengeluh nyeri saat berbicara karena lidah
mengenai gigi yang rapuh.
c. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien dirawat di bagian penyakit dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang dengan diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan obesitas +
Polisitemia vera sekunder + hipertensi terkontrol. Os mengeluh giginya
rapuh sehingga menimbulkan sensasi nyeri pada lidah saat os berbicara,
sehingga dilakukan pemeriksaan terhadap gigi dan mulut untuk melihat ada
tidaknya fokal infeksi. Pasien tidak merasakan keluhan seperti sakit gigi
1

atau mulut terasa kering. Pasien selama ini tidak pernah memeriksaan gigi
ke dokter gigi.

a. Riwayat Penyakit atau Kelainan Sistemik


Penyakit atau Kelainan Sistemik
Alergi : debu, dingin
Penyakit Jantung
Penyakit Tekanan Darah Tinggi
Penyakit Diabetes Melitus
Penyakit Kelainan Darah
Penyakit Hepatitis A/B/C/D/E/F/G/H
Kelainan Hati Lainnya
HIV/ AIDS
Penyakit Pernafasan/paru
Kelainan Pencernaan
Penyakit Ginjal
Penyakit / Kelainan Kelenjar ludah
Epilepsi
b.

Ad

Disangkal

Riwayat Penyakit Gigi dan Mulut Sebelumnya


- Penderita tidak pernah melakukan tambal gigi
- Riwayat trauma (-)
- Riwayat membersihkan karang gigi (-)

c. Riwayat Kebiasaan Buruk


- Kebiasaan menggosok gigi: tidak teratur dan kadang sama sekali
-

tidak gosok gigi.


Riwayat perawatan/kontrol gigi tidak pernah.
Riwayat kebiasaan memakan coklat dan permen disangkal.
Riwayat kebiasaan makan pada sisi kanan.
Kebiasaan merokok (+)

1.3

Pemeriksaan Fisik
a. Status Umum Pasien
1.
Rujukan
2. Keadaan Umum Pasien
3. Berat Badan
4. Tinggi Badan
5. BMI
Vital Sign
a) Tekanan Darah
b) Nadi
c) RR
d) T
e) Pupil mata

: dari bagian Penyakit Dalam RSMH


: Kompos Mentis
: 110 kg
: 170 cm
: 38 Kelebihan BB tingkat Berat

: 100/70 mmHg
: 92 x/menit
: 20 x/menit
: 36,4C
: miosis, 3 mm/3 mm, refleks cahaya +/+

b. Pemeriksaan Ekstra Oral


- Wajah
- Bibir

: simetris kanan = kiri


: tidak ada kelainan
- KGB : tidak terdapat pembesaran
kelenjar getah bening
- TMJ : tidak ada kelainan

c. Pemeriksaan Intra Oral


- Debris
- Plak
- Kalkulus
- Perdarahan Papilla Interdental
- Gingiva
- Mukosa bukal
- Mukosa palatum
- Mukosa labial
- Palatum
- Lidah
- Dasar Mulut
- Hubungan Rahang
- Kelainan Gigi Geligi

: ada, di semua regio


: ada, di semua regio
: ada, di semua regio
: tidak ada
: tidak ada kelainan
: dalam batas normal
: dalam batas normal
: dalam batas normal
: tidak ada kelainan
: dalam batas normal
: tidak ada kelainan
: ortognatia
: lihat status lokalis

d. Status Lokalis
Gigi

Lesi

Sondase

CE

Perkusi

Palpasi

Diagnosis/
ICD

Terapi

12

Radix

Td

Td

Gangren Radix

28

Radix

Td

Td

Gangren Radix

Pro extraksi

46

Radix

Td

Td

Gangren Radix
Erosi +

Pro extraksi

25

Oklusal

Td

Td

Luksasi Grade
II

33

Email

Td

Td

Karies Email

34

Email

Td

Td

Karies Email

35

Email

Td

Td

Karies Email

36

Email

Td

Td

Karies Email

44

Email

Td

Td

Karies Email

45

Email

Td

Td

Karies Email

14

Dentin

Td

Td

Karies Dentin

43

Dentin

Td

Td

Karies Dentin

Td: Tidak dilakukan

Gambar 1. Tampak Depan

Pro extraksi

Pro
Konservatif
Pro
Konservatif
Pro
Konservatif
Pro
Konservatif
Pro
Konservatif
Pro
Konservatif
Pro
Konservatif
Pro
Konservatif
Pro
Konservatif

Gambar 2. Tampak Kalkulus Pada Regio Rahang Atas, Radix Pada 12, Missing
Teeth Pada 15, 16, 17

Gambar 3. Tampak Oral Higine Yang Buruk Dari Pasien

Gambar 4. Tampak Pada 25 Erosi Dan Luksasi Grade II, Missing Teeth 26, 27.

Gambar 5. Tampak Missing Teeth Pada 37, 38, 47, 48. Radix 46.
e. Odontogram
D5

IV

III

II

II

III

IV

IV

III

II

II

III

IV

D3

D3

D5

D3

D3

D2

f. Temuan Masalah
a. Calculus pada semua regio
b. Gangren Radix pada 12, 28, 46
c. Erosi + luksasi grade II pada 25
d. Karies Dentin pada 14, 43
e. Karies Email pada 33, 34, 35, 36, 44, 45
g.

Perencanaan Terapi
a. Calculus pada semua regio disarankan untuk scaling
b. Gangren Radix pada 12, 28, 46 Pro Extraksi
c. Erosi + luksasi grade II pada 25 Pro Konservatif

D2

d. Karies Dentin pada 14, 43 dan Karies Email pada 33, 34, 35, 36,
44, 45 Pro Konservatif
e. Dental Health Education

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi Gigi

2.1.1 Bagian Gigi


Gigi mempunyai beberapa bagian, yaitu:
a. Bagian akar gigi adalah bagian dari gigi yang tertanam di dalam tulang rahang
dikelilingi atau dilindungi oleh jaringan periodontal.
b. Mahkota gigi adalah bagian dari gigi yang dapat dilihat.
c. Cusp adalah tonjolan runcing atau tumpul yang terdapat pada mahkota.

Gambar 2.1 Bagian Gigi

2.1.2 Bentuk Gigi Permanen


Orang dewasa biasanya mempunyai 32 gigi permanen, 16 di tiap rahang. Di
tiap rahang terdapat:
a. Empat gigi depan (gigi insisivus). Bentuknya seperti sekop dengan tepi yang
lebar untuk menggigit, hanya mempunyai satu akar. Gigi insisivus atas lebih besar
daripada gigi yang bawah.
b. Dua gigi kaninus yang serupa di rahang atas dan rahang bawah. Gigi ini kuat
dan menonjol di sudut mulut. Hanya mempunyai satu akar.
c. Empat gigi pre-molar/gigi molar kecil. Mahkotanya bulat hampir seperti
bentuk kaleng tipis, mempunyai dua tonjolan, satu di sebelah pipi dan satu di
sebelah lidah. Kebanyakan gigi pre-molar mempunyai satu akar, bebrapa
mempunyai dua akar.
d. Enam gigi molar. Merupakan gigi-gigi besar di sebelah belakang di dalam
mulut
digunakan untuk menggiling makanan. Semua gigi molar mempunyai mahkota
persegi, seperti blok-blok bangunan. Ada yang mempunyai tiga, empat, atau lima
tonjolan. Gigi molar di rahang atas mempunyai tiga akar dan gigi molar di rahang
bawah mempunyai dua akar.

Gambar 2.2 Bentuk Gigi Permanen

Gambar 2.3 Gigi Primer dan Permanen


2.1.3 Permukaan-Permukaan Gigi
9

Nama-nama yang dipakai untuk menunjukkan permukaan gigi adalah:


1

Permukaan oklusal: permukaan pengunyahan gigi molar dan gigi

2
3

pre-molar.
Permukaan mesial: permukaan paling dekat garis tengah tubuh.
Permukaan lingual: permukaan paling dekat lidah di rahang bawah,

4
5
6

di rahang atas disebut permukaan palatal.


Permukaan distal: permukaan paling jauh dari garis tengah.
Permukaan bukal: permukaan paling dekat bibir dan pipi.
Tepi insisal: gigi-gigi insisivus dan gigi-gigi kaninus mempunyai tepi

potong sebagai pengganti permukaan oklusal.


Permukaan proksimal: permukaan-permukaan yang berdekatan
letaknya, misalnya: permukaan mesial gigi tertentu dapat menyentuh
permukaan distal gigi sampingnya. Kedua permukaan itu disebut
permukaan proksimal.

Gambar 2.4 Permukaan-Permukaan Gigi


2.1.4 Jaringan Gigi
Gigi terdiri dari beberapa jaringan, yaitu:
1

Enamel
Enamel merupakan bahan yang tidak ada selnya dan juga merupakan

satu-satunya komponen dalam tubuh manusia yang tidak mempunyai


10

kekuatan reparatif karena itu regenerasi enamel tidak mungkin terjadi.


Struktur enamel gigi merupakan susunan kimia kompleks, sebagian besar
terdiri dari 97% mineral (kalsium, fosfat, karbonat, dan fluor), air 1% dan
bahan organik 2%, yang terletak dalam suatu pola kristalin. Karena susunan
enamel yang demikian maka ion-ion dalam cairan rongga mulut dapat
masuk ke enamel bagian dalam dan hal ini memungkinkan terjadinya
transport ion-ion melalui permukaan dalam enamel ke permukaan luar
sehingga akan terjadi perubahan enamel.
2

Dentin
Seperti halnya enamel, dentin terdiri dari kalsium dan fospor tetapi

dengan proporsi protein yang lebih tinggi (terutama collagen). Dentin


adalah suatu jaringan vital yang tubulus dentinnya berisi perpanjangan
sitoplasma odontoblas. Sel-sel odontoblas mengelilingi ruang pulpa dan
kelangsungan hidupnya bergantung kepada penyediaan darah dan drainase
limfatik jaringan pulpa. Oleh karena itu dentin peka terhadap berbagai
macam rangsangan, misal: panas dan dingin serta kerusakan fisik termasuk
kerusakan yang disebabkan oleh bor gigi.
3

Cementum
Cementum adalah penutup luar tipis pada akar yang mirip strukturnya

dengan tulang.
4

Pulpa
Pulpa terdapat dalam gigi dan terbentuk dari jaringan ikat yang

berisikan urat-urat syaraf dan pembuluh-pembuluh darah yang mensuplai


dentin. Urat-urat syaraf ini mengirimkan rangsangan, seperti panas dan
dingin dari gigi ke otak, di mana hal ini dialami sebagai rasa sakit.
Rangsangan yang membangkitkan reaksi pertahanan adalah rangsangan dari
bakteri (pada karies), rangsangan mekanis (pada trauma, fraktur gigi,
preparasi kavitas, dan keausan gigi), serta bisa juga disebabkan oleh
rangsangan khemis misalnya asam dari makanan, bahan kedokteran gigi
yang toksik, atau dehidrasi dentin yang mungkin terjadi pada saat preparasi
kavitas/pengeboran gigi.
11

2.1.5 Persarafan Gigi


Nervus sensori pada rahang dan gigi berasal dari cabang nervus
kranial ke-V atau nervus trigeminal pada maksila dan mandibula. Persarafan
pada daerah orofasial, selain saraf trigeminal meliputi saraf kranial lainnya,
seperti saraf kranial ke-VII, ke-XI, ke-XII.

Nervus Maksila
Cabang maksila nervus trigeminus mempersarafi gigi-gigi pada maksila,
palatum, dan gingiva di maksila. Selanjutnya cabang maksila nervus trigeminus
ini akan bercabang lagi menjadi nervus alveolaris superior. Nervus alveolaris
superior ini kemudian akan bercabang lagi menjadi tiga, yaitu nervus alveolaris
superior anterior, nervus alveolaris superior medii, dan nervus alveolaris superior
posterior. Nervus alveolaris superior anterior mempersarafi gingiva dan gigi
anterior, nervus alveolaris superior medii mempersarafi gingiva dan gigi premolar
serta gigi molar I bagian mesial, nervus alveolaris superior posterior mempersarafi
gingiva dan gigi molar I bagian distal serta molar II dan molar III.
Nervus Mandibula
Cabang awal yang menuju ke mandibula adalah nervus alveolar inferior.
Nervus alveolaris inferior terus berjalan melalui rongga pada mandibula di bawah
akar gigi molar sampai ke tingkat foramen mental. Cabang pada gigi ini tidaklah
merupakan sebuah cabang besar, tapi merupakan dua atau tiga cabang yang lebih
besar yang membentuk plexus dimana cabang pada inferior ini memasuki tiap
akar gigi.
Selain cabang tersebut, ada juga cabang lain yang berkonstribusi pada
persarafan mandibula. Nervus buccal, meskipun distribusi utamanya pada
mukosa pipi, saraf ini juga memiliki cabang yang biasanya didistribusikan ke area
12

kecil pada gingiva buccal di area molar pertama. Namun, dalam beberapa kasus,
distribusi ini memanjang dari caninus sampai ke molar ketiga. Nervus lingualis,
karena terletak di dasar mulut, dan memiliki cabang mukosa pada beberapa area
mukosa lidah dan gingiva. Nervus mylohyoid, terkadang dapat melanjutkan
perjalanannya pada permukaan bawah otot mylohyoid dan memasuki mandibula
melalui foramen kecil pada kedua sisi midline. Pada beberapa individu, nervus ini
berkontribusi pada persarafan dari insisivus sentral dan ligamentum periodontal.
Cabang-cabang n. Trigeminus yang mensarafi bagian-bagian gingiva adalah :
1. N. Infraorbitalis, mensarafi gingiva pada sisi labial insisivus, kaninus dan
premolar rahang atas.
2. N. Alveolaris superior posterior, mensarafi gingiva pada sisi bukal gigi
molar rahang atas.
3. N. Palatinalis mayor, mensarafi gingiva pada sisi palatal semua gigi rahang
atas kecuali insisivus.
4. N. Spenopalatinus panjang, mensarafi gingiva pada sisi palatal insisivus
rahang atas.
5. N. Sublingualis, mensarafi gingiva pada sisi lingual rahang bawah.
6. N. Mentalis , mensarafi gingiva pada sisi labial insisivus dan kaninus
rahang bawah.
7. N. Bukalis, mensarafi gingiva pada sisi bukal molar rahang bawah.

13

Gambar 2.5 Inervasi Gigi

Cabang Maxillaris Mempersarafi :


PALATUM
Membentuk atap mulut dan lantai cavum nasi, Terdiri dari :

Palatum durum (langit keras)


Palatum mole (langit lunak)
14

PALATUM DURUM
Terdapat tiga foramen:

foramen incisivum pada bidang median ke arah anterior


foramina palatina major di bagian posterior dan
foramina palatina minor ke arah posterior
Bagian depan palatum: N. Nasopalatinus (keluar dari foramen incisivum),

mempersarafi gigi anterior rahang atasBagian belakang palatum: N. Palatinus


Majus (keluar dari foramen palatina mayor), mempersarafi gigi premolar dan
molar rahang atas.
PALATUM MOLE
N. Palatinus Minus (keluardari foramen palatina minus), mempersarafi
seluruh palatina mole.

Gambar 2.6 Cabang Nervus Maksilaris


Persarafan Dentis Dan Gingiva Rahang Atas
a. Permukaan labia dan buccal : N. alveolaris superior posterior, medius dan
anterior
15

Nervus alveolaris superior anterior, mempersarfi gingiva dan gigi

anterior.
Nervus alveolaris superior media, mempersarafi gingiva dan gigi

premolar dan molar I bagian mesial.


Nervus alveolaris superior posterior, mempersarafi gingiva dan gigi

molar I bagian distal, molar II dan molar III.


b. Permukaan palatal : N. palatinus major dan nasopalatinus
Bagian depan palatum: N. Nasopalatinus (keluar dari foramen

incisivum), mempersarafi gingiva dan gigi anterior rahang atas.


Bagian belakang palatum: N. Palatinus Majus (keluar dari foramen
palatina mayor), mempersarafi gingiva dan gigi premolar dan molar
rahang atas.

CABANG MANDIBULARIS
Persarafan
mempersarafi

Dentis;
gigi

Dipersyarafi

anterior

dan

oleh

Nervus

posterior

gigi

Alveolaris
rahang

Inferior,
bawah

PERSARAFAN GINGIVA
a. Permukaan labia dan buccal :
N. Buccalis, mempersarafi bagian buccal gigi posterior rahang bawah
N. Mentalis, merupakan N.Alveolaris Inferior yang keluar dari
foramen Mentale
b. Permukaan lingual :
N. Lingualis, mempersarafi 2/3 anterior lidah, gingiva dan gigi
anterior dan posterior rahang bawah

16

Gambar 2.7 Nervus Mandibularis

2.2

Karies

2.2.1 Definisi Karies


Karies berasal dari bahasa Latin yaitu caries yang artinya kebusukan. Karies
gigi adalah suatu proses kronis regresif yang dimulai dengan larutnya mineral
email sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya
yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat sehingga timbul
destruksi komponen-komponen organik yang akhirnya terjadi kavitas. Dengan
perkataan lain, dimana prosesnya terjadi terus berjalan ke bagian yang lebih dalam
dari gigi sehingga membentuk lubang yang tidak dapat diperbaiki kembali oleh
tubuh melalui proses penyembuhan, pada proses ini terjadi demineralisasi yang
disebabkan oleh adanya interaksi kuman, karbohidrat yang sesuai pada permukaan
gigi, dan waktu.
2.2.2 Tanda Karies
Tanda-tanda karies gigi merupakan suatu keretakan pada email atau kavitas
pada gigi, dentin di dalam kavitas lebih lunak dari pada dentin di sekelilingnya,
dan merupakan suatu daerah pada email yang mempunyai warna yang berbeda
dengan email sekelilingnya. Karies yang berkembang cepat biasanya berwarna
agak terang, sedangkan karies yang berkembang lambat biasanya berwarna agak
17

gelap. Akan tetapi pit (lekukan pada email gigi) dan fisura (bentuk lekukan email
gigi pada gigi molar dan pre molar) kadang-kadang berwarna tua, bukan karena
karies gigi, tetapi karena noda akibat beberapa makanan
2.2.3 Klasifikasi Karies Gigi
2.2.3.1 Berdasarkan ICDAS
Kriteria lesi karies D1-D6 berdasarkan International Caries Detection and
Assessment

System

(ICDAS)s

International

Caries

Classification

and

Management System (ICCMS), yaitu:

D1: merupakan suatu lesi dini yang terlihat adanya lesi putih (white

spot) pada permukaan gigi pada saat gigi dalam keadaan kering.
D2: merupakan suatu lesi yang terlihat adanya lesi putih (white spot)

pada permukaan gigi pada saat gigi dalam keadaan basah.


D3: lesi minimal pada permukaan email gigi (karies email).
D4: lesi email lebih dalam dengan tampaknya bayangan gelap dentin
atau lesi sudah menyerang bagian dentino enamel junction

(DEJ)/karies dentin terbatas.


D5: lesi telah menyerang dentin/karies dentin luas.
D6: lesi sudah menyerang pulpa/karies pulpa.

18

Gambar 2.8 Lesi Karies ICDAS

Gambar 2.9 Lesi Karies D1-D6

19

Gambar 2.10 Klasifikasi Karies D1-D6

2.2.3.2 Berdasarkan Stadium Karies


1

Karies Superfisialis
Karies yang baru mengenai email, belum mengenai dentin.

Gambar 2.11 Karies Superfisial


2

Karies Media
Karies sudah mengenai dentin, tetapi belum melebihi setengah dentin.
20

Gambar 2.12 Karies Media


3

Karies Profunda
Karies sudah mengenai lebih dari setengah dentin dan kadang-kadang
sudah mengenai pulpa.

Gambar 2.13 Karies Profunda

2.2.4 Etiologi Karies


Etiologi karies terdiri atas multifaktorial. Ada empat faktor utama yang
memegang peranan dalam proses terjadinya karies, yaitu faktor host, agen atau
mikroorganisme, substrat atau diet, dan waktu sebagai empat lingkaran yang

21

tumpang tindih. Untuk terjadinya karies, maka kondisi setiap faktor tersebut harus
saling mendukung yaitu tuan rumah yang rentan, mikroorganisme yang
kariogenik, substrat yang sesuai, dan waktu yang lama.
2.2.4.1 Faktor Host (Tuan Rumah)
Ada beberapa hal yang dihubungkan dengan gigi sebagai tuan rumah
terhadap karies gigi (ukuran dan bentuk gigi), struktur enamel (email), faktor
kimia dan kristalografis, saliva. Kawasan-kawasan yang mudah diserang karies
adalah pit dan fisure pada permukaan oklusal dan premolar. Permukaan gigi yang
kasar juga dapat menyebabkan plak yang mudah melekat dan membantu
perkembangan karies gigi. Kepadatan kristal enamel sangat menentukan kelarutan
enamel. Semakin banyak enamel mengandung mineral maka kristal enamel
semakin padat dan enamel akan semakin resisten.
Gigi susu lebih mudah terserang karies dari pada gigi tetap, hal ini
dikarenakan gigi susu lebih banyak mengandung bahan organik dan air dari pada
mineral, dan secara kristalografis mineral dari gigi tetap lebih padat bila
dibandingkan dengan gigi susu. Alasan mengapa susunan kristal dan mineralisasi
gigi susu kurang adalah pembentukan maupun mineralisasi gigi susu terjadi dalam
kurun waktu 1 tahun sedangkan pembentukan dan mineralisasi gigi tetap 7-8
tahun.
Saliva mampu meremineralisasikan karies yang masih dini karena banyak
sekali mengandung ion kalsium dan fosfat. Kemampuan saliva dalam melakukan
remineralisasi meningkat jika ada ion fluor. Selain mempengaruhi komposisi
mikroorganisme di dalam plak, saliva juga mempengaruhi pH.

2.2.4.2 Faktor Agen (Mikroorganisme)


Plak gigi memegang peranan penting dalam menyebabkan terjadinya karies.
Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang
berkembang biak di atas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada
22

permukaan gigi yang tidak dibersihkan. Komposisi mikroorganisme dalam plak


berbeda-beda, pada awal pembentukan plak, kokus gram positif merupakan jenis
yang paling banyak dijumpai seperti Streptococcus mutans, Streptococcus
sanguis, Streptococcus mitis, Streptococcus salivarus, serta beberapa strain
lainnya, selain itu dijumpai juga Lactobacillus dan beberapa beberapa spesies
Actinomyces.
Plak bakteri ini dapat setebal beratus-ratus bakteri sehingga tampak sebagai
lapisan putih. Secara histometris plak terdiri dari 70% sel-sel bakteri dan 30%
materi interseluler yang pada pokoknya berasal dari bakteri.
2.2.4.3 Pengaruh Substrat atau Diet
Faktor subtrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena
membantu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada
permukaan enamel. Selain itu, dapat mempengaruhi metabolisme bakteri dalam
plak dengan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk memproduksi
asam serta bahan lain yang aktif yang menyababkan timbulnya karies. Dibutuhkan
waktu minimum tertentu bagi plak dan karbohidrat yang menempel pada gigi
untuk membentuk asam dan mampu mengakibatkan demineralisasi email.
Karbohidrat ini menyediakan substrat untuk pembuatan asam bagi bakteri
dan sintesa polisakarida ekstra sel. Orang yang banyak mengkonsumsi karbohidrat
terutama sukrosa cenderung mengalami kerusakan gigi, sebaliknya pada orang
dengan diet banyak mengandung lemak dan protein hanya sedikit atau sama sekali
tidak memliki karies gigi. Hal ini dikarenakan adanya pembentukan ekstraseluler
matriks (dekstran) yang dihasilkan karbohidrat dari pemecahan sukrosa menjadi
glukosa dan fruktosa.
Glukosa ini dengan bantuan Streptococcus mutans membentuk dekstran
yang merupakan matriks yang melekatkan bakteri pada enamel gigi. Oleh karena
itu sukrosa merupakan gula yang paling kariogenik (makanan yang dapat memicu
timbulnya kerusakan/karies gigi atau makanan yang kaya akan gula). Sukrosa

23

merupakan gula yang paling banyak dikonsumsi, maka sukrosa merupakan


penyebab karies yang utama.
Makanan dan minuman yang mengandung gula akan menurunkan pH plak
dengan cepat sampai pada level yang dapat menyebabkan demineralisasi email.
Plak akan tetap bersifat asam selama beberapa waktu. Untuk kembali ke pH
normal sekitar 7, dibutuhkan waktu 30-60 menit. Oleh karena itu, konsumsi gula
yang sering dan berulang-ulang akan tetap menahan pH plak di bawah normal dan
menyebabkan demineralisasi email.
2.2.4.4 Faktor Waktu
Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis pada manusia yang
berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun. Adanya kemampuan saliva
untuk mendepositkan kembali mineral selama berlangsungnya proses karies,
menandakan bahwa proses karies tersebut terdiri atas perusakan dan perbaikan
yang silih berganti.
Adanya saliva di dalam lingkungan gigi mengakibatkan karies tidak
menghancurkan gigi dalam hitungan hari atau minggu, melainkan dalam bulan
atau tahun. Lamanya waktu yang dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi
suatu kavitas cukup bervariasi, diperkirakan 6-48 bulan. Dengan demikian
sebenarnya terdapat kesempatan yang baik untuk menghentikan penyakit ini.
2.2.4.5 Kebiasaan Makan
Pada zaman modern ini, banyak kita jumpai jenis-jenis makanan yang
bersifat manis, lunak dan mudah melekat misalnya permen, coklat, bolu, biscuit
dan lain-lain. Di mana biasanya makanan ini sangat disukai oleh anak-anak.
Makanan ini karena sifatnya yang lunak maka tidak perlu pengunyahan sehingga
gampang melekat pada gigi dan bila tidak segera dibersihkan maka akan terjadi
proses kimia bersama dengan bakteri dan air ludah yang dapat merusak email gigi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan pada dasarnya adalah:
a. Faktor ekstrinsik (yang berasal dari luar manusia) seperti lingkungan alam,
lingkungan sosial, lingkungan budaya serta lingkungan ekonomi.
24

b. Faktor intrinsik (yang berasal dari dalam diri manusia), seperti: asosiasi
emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan yang sedang sakit serta penilaian yang
lebih terhadap mutu makanan juga merupakan faktor intrinsik.
Penelitian Nizel (1981) pada anak umur 6 tahun di Inggris yang dikutip oleh
Kosasih (2007) menguraikan bahwa makanan yang berbentuk lunak dan lengket
dapat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit karies gigi. Beliau juga
menguraikan tentang adanya hubungan antara zat gizi seperti vitamin dan mineral,
protein hewani dan nabati, serta karbohidrat yang terkandung dalam makanan
sehari-hari dapat mempengaruhi terjadinya penyakit karies gigi. Hal ini yang
perlu mendapat perhatian tidak hanya nutrisi saja, tetapi cara mengonsumsi jenis
makanan dan waktu pemberian, karena semua ini akan mempengaruhi kesehatan
gigi dan mulut.
Sukrosa adalah salah satu jenis karbohidrat yang terkandung dalam
makanan lainnya yang merupakan substrat untuk pertumbuhan bakteri yang pada
akhirnya akan meningkatkan proses terjadinya karies gigi.
Selain faktor langsung (etiologi), juga terdapat faktor-faktor tidak langsung
yang disebut sebagai faktor resiko luar, yang merupakan faktor predisposisis dan
faktor penghambat terjadinya karies yaitu umur, jenis kelamin, sosial ekonomi,
penggunaan fluor, jumlah bakteri, dan perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan gigi. Perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan mulut khususnya
karies tidak terlepas dari kebiasaan merokok/penggunaan tembakau, konsumsi
alkohol, kebersihan rongga mulut yang tidak baik dan diet makanan.

2.2.5 Proses Terbentuknya Karies


Proses terjadinya karies gigi dimulai dengan adanya plaque di permukaan
gigi, sukrosa (gula) dari sisa makanan dan bakteri berproses menempel pada
waktu tertentu yang berubah menjadi asam laktat yang akan menurunkan pH
mulut menjadi kritis (5,5) dan akan menyebabkan demineralisasi email berlanjut
25

menjadi karies gigi. Secara perlahan-lahan demineralisasi interna berjalan ke arah


dentin melalui lubang fokus tetapi belum sampai kavitasi (pembentukan lubang).
Lesi email awal di dapat saat level PH pada permukaan gigi lebih rendah sehingga
tidak dapat diimbangi dengan remineralisasi, tetapi tidak cukup rendah untuk
menghambat proses remineralisasi pada daerah permukaan email. Ion asam
berpenetrasi dalam menuju porus lapisan prisma yang dapat menyebabkan
demineralisasi subpermukaan. Permukaan gigi dapat tetap utuh karena adanya
remineralisasi di permukaan yang disebabkan peningkatan level ion fluoride, ion
Ca2+ dan HPO 42+, dan juga saliva.
Yang termasuk karakteristik klinis lesi email awal adalah kehilangan
translusensi normal dari email yang memberikan penampakan putih kapur,
terlebih lagi pada saat dehidrasi, selain itu juga terdapat lapisan permukaan yang
rentan rusak pada saat probing, khusunya pada pit dan fissura. Termasuk pula
didalamnya, adanya peningkatan porusitas, khususnya pada subpermukaan
sehingga terdapat peningkatan potensial terjadinya noda dan adanya penurunan
densitas pada bagian sub permukaan, yang dapat di deteksi dengan radiograf atau
dengan transluminasi. Ukuran lesi sub permukaan dapat berkembang sehingga
dentin

dibawahnya

terlibat

dan

terdemineralisasi

lalu

kemudian

lesi

interproksimal dapat terdeteksi oleh radiograf. Walau begitu, selagi permukaan


gigi menyatu, lesi masih dapat dikatakan reversible.
Dalam mengatasi lesi email dini, secara idealnya adalah berusaha
mengembalikan densitas email, tetapi pada realitanya hanya terdapat sebagian
perbaikan pada densitas permukaan. Walaupun demikian, remineralisasi sebagian
pada lesi awal menjadikan email tersebut lebih resisten terhadap demineralisasi
asam daripada email normal dan secara fisik lebih kuat. Sehingga lebih bauk bagi
pasien untuk tetap menjada oral hygiene daripada langsung memperbaiki gigi dan
mengabaikan usaha remineralisasi. Jika ketidakseimbangan remineralisasi atau
demineralisasi berlanjut, maka permukaan lesi awal akan runtuh dengan adanya
pelarutan apatit atau fraktur kristal yang lemah, sehingga menghasilkan kavitas.
Bakteri plak akan memenuhi kavitas dan membuat proses remineralisasi semakin
sulit dan kurang efektif sehingga kompleks dentin-pulpa akan menjadi aktif. Pulpa
26

akan menghasilkan respon segera terhadap invasi asam pada tubuli paling luar.
Akan terdapat mineralisasi pada kanal lateral yang menggabungan tubuli dentin
sehingga menghasilkan lapisan translusen.
Hal ini tidak terlihat secara klinis tetapi dapat diungkapkan secara radiograf
dan dapat dilihat apabila seluruh dentin yang terdemineralisasi diangkat pada saat
preparasi kavitas. Hal ini sebenarnya adalah suatu reaksi pertahanan dari pulpa
yang membuktikan pulpa dan dentin merupakan satu kesatuan organ dan memiliki
kemampuan yang sama dalam proses penyembuhan. Sekali demineralisasi
berlanjut dari email menuju dentin dan bakteri menjadi permanen didalam kavitas,
mereka akan menerobos ke dalam dentin yang lebih dalam dengan sendirinya.
Demineralisasi masih dapat dikontrol dengan diet substrat tetapi bakteri juga akan
memproduksi asam untuk melarutkan hidroksapatit pada dentin yang lebih dalam.
Tekstur dan warna dentin akan berubah seiring perkembangan lesi. Tekstur akan
berubah karena demineralisasi dan warna akan bertambah gelap akibat produk
bakteri atau noda dari makanan dan minuman. Pada lesi kronik, perubahan warna
akan lebih terlihat dan tekstur dasar kavitas akan lebih lunak.
Proses karies akan terus berlanjut, mencapai pulpa dan menimbulkan infeksi
pulpa sehingga terjadi kematian pulpa atau nekrosis dan selanjutnya menjadi
abses. Secara radiografis, gambaran abses gigi permanen akan tampak disekitar
periapikal sedangkan pada gigi susu, abses kronik berupa kerusakan interradikular, terutama terlihat di daerah bifurkasi. Secara klinis infeksi telah
menyebar ke jaringan lunak didaerah bukal berupa parulis atau abses ginggival
berupa eksudat, yang akan pecah dan meninggalkan saluran fistel. Infeksi kronis
yang terjadi pada gigi susu pada saat pembentukan aktif dari mahkota gigi
permanen erupsi dengan efek hipoplasia atau hipokalsifikasi email. Hal ini sering
dijumpai pada gigi premolar.
Kesimpulan Tahapan Proses Karies
1. Small Pit
Mikroorganisme mulai menyerang bagian gigi yang rentan, yaitu pit.
2. Bluish White Area

27

Dentin lebih lunak email sehingga mikroorganisme akan menyerang dentino


enamel junction yang akan menimbulkan warna keputihan pada email.
3. Open Cavity
Jika penyerangan mikroorganisme terus berlanjut, maka akan terlihat
kavitas besar warna coklat muda.
4. Pulpitis
Pulpa mulai diserang sehingga menimbulakan infeksi.
5. Apical abscess
Pulpa sudah mati dan pulpitis mulai merambah ke ligament periodontal.

Gambar 2.14 Tahapan Karies Gigi Sampai Menjadi Periodontitis


2.2.6 Pencegahan
2.2.6.1 Pencegahan Primer
Hal ini ditandai dengan:
a. Upaya meningkatkan kesehatan (health promotion)
Upaya promosi kesehatan meliputi pengajaran tentang cara menyingkirkan
plak yang efektif atau cara menyikat gigi dengan pasta gigi yang mengandung
fluor dan menggunakan benang gigi (dental floss).
b. Memberikan perlindungan khusus (spesific protection)

28

Upaya perlindungan khusus yaitu untuk melindungi host dari serangan


penyakit dengan membangun penghalang untuk melawan mikroorganisme.
Aplikasi pit dan fisur silen merupakan upaya perlindungan khusus untuk
mencegah karies.
2.2.6.2 Pencegahan Sekunder
Yaitu untuk menghambat atau mencegah penyakit agar tidak berkembang
atau kambuh lagi. Kegiatannya ditujukan pada diagnosa dini dan pengobatan yang
tepat. Sebagai contoh melakukan penambalan pada gigi dengan lesi karies yang
kecil dapat mencegah kehilangan struktur gigi yang luas.
a. Diagnosa Dini
Penegakan diagnosis lesi karies secara dini makin menjadi hal yang sangat
penting sejak disadari bahwa karies bukan hanya suatu proses demineralisasi saja
melainkan proses destruksi dan reparasi yang silih berganti. Penegakan diagnosis
karies gigi memerlukan pencahayaan yang baik dan obyek (gigi) yang kering dan
bersih. Jika terdapat banyak kalkulus atau plak, maka semuanya harus dibersihkan
terlebih dahulu sebelum mencoba menegakkan diagnosis dengan tepat. Setelah
gigi sudah kering maka tiap kuadran gigi diisolasi dengan gulungan kapas agar
pembasahan oleh saliva dapat dicegah. Gigi harus betul-betul kering dan
pengeringannya biasanya dengan udara yang disemprotkan perlahan-lahan.
Untuk menentukan tanda awal karies diperlukan penglihatan tajam.
Biasanya pemeriksaan tanda awal karies diperlukan sonde yang tajam sampai
terasa menyangkut. Sebaiknya hal ini jangan dilakukan pada lesi karies yang
masih baru mulai karena sonde tajam akan merusak lesi karies yang masih baru
mulai dan sonde akan membawa bakteri ke dalam karies sehingga penyebaran
karies akan semakin cepat.
b. Tindakan
Penambalan

29

Harus diketahui bahwa gigi yang sakit atau berlubang tidak dapat
disembuhkan dengan sendirinya, dengan pemberian obat-obatan. Gigi tersebut
hanya dapat diobati dan dikembalikan ke fungsi pengunyahan semula dengan
melakukan pemboran, yang pada akhirnya gigi tersebut akan ditambal.
Dalam proses penambalan, hal yang pertama sekali dilakukan adalah
pembersihan gigi yang karies yaitu dengan membuang jaringan gigi yang rusak
dan jaringan gigi yang sehat di sekelilingnya, karena biasanya bakteri-bakteri
penyebab karies telah masuk ke bagian-bagian gigi yang lebih dalam. Hal ini
dilakukan sebagai upaya untuk meniadakan kemungkinan terjadinya infeksi
ulang. Tambalan terbuat dari berbagai bahan yang dimasukkan ke dalam gigi atau
di sekeliling gigi. Umumnya bahan-bahan tambalan yang digunakan adalah perak
amalgam, resin komposit, semen ionomer kaca, emas tuang, porselen.
Perak amalgam merupakan tambalan yang paling banyak digunakan untuk
gigi belakang, karena sangat kuat dan warnanya tidak terlihat dari luar. Perak
amalgam relatif tidak mahal dan bertahan sampai 14 tahun. Tambalan emas lebih
mahal tetapi lebih kuat dan bisa digunakan pada karies yang sangat besar.
Campuran damar dan porselen digunakan untuk gigi depan, karena warnanya
mendekati warna gigi, sehingga tidak terlalu tampak dari luar. Bahan ini lebih
mahal dari pada perak amalgam dan tidak tahan lama, terutama pada gigi
belakang yang digunakan untuk mengunyah. Kaca ionomer merupakan tambalan
dengan warna yang sama dengan gigi. Bahan ini diformulasikan untuk
melepaskan fluor, yang memberi keuntungan lebih pada orang-orang yang
cenderung mengalami pembusukan pada garis gusi. Kaca ionomer juga digunakan
untuk menggantikan daerah yang rusak karena penggosokan gigi yang berlebihan

Pencabutan
Keadaan gigi yang sudah sedemikian rusak sehingga untuk penambalan
sudah sukar dilakukan, maka tidak ada cara lain selain mencabut gigi yang telah
rusak tersebut. Dalam proses pencabutan maka pasien akan dibius, di mana
30

biasanya pembiusan dilakukan lokal yaitu hanya pada gigi yang dibius saja yang
mati rasa dan pembiusan pada setengah rahang. Pembiusan ini membuat pasien
tidak merasakan sakit pada saat pencabutan dilakukan.
2.2.6.3 Pencegahan Tersier
Adalah pelayanan yang ditujukan terhadap akhir dari patogenesis penyakit
yang dilakukan untuk mencegah kehilangan fungsi, yang meliputi:
a. Pembatasan Cacat (Disability Limitation), merupakan tindakan pengobatan
yang parah, misalnya pulp capping, pengobatan urat syaraf (perawatan saluran
akar), pencabutan gigi dan sebagainya.
b. Rehabilitasi (Rehabilitation), merupakan upaya pemulihan atau pengembalian
fungsi dan bentuk sesuai dengan aslinya, misalnya pembuatan gigi tiruan
(protesa).
2.3

Gangren Radix (Lix et al, 2000; Peterson, 2009; Sonis, 1995)

2.3.1 Definisi
Gangren radiks adalah tertinggalnya sebagian akar gigi. Jaringan akar gigi
yang tertinggal merupakan jaringan mati yang merupakan tempat subur bagi
perkembangbiakan bakteri.
2.3.2 Etiologi
Gangren radiks dapat disebabkan oleh karies, trauma, atau ekstraksi yang
tidak sempurna.

2.3.3 Patogenesis
Karies dapat terjadi akibat pertumbuhan bakteri di dalam mulut yang
mengubah karbohidrat yang menempel pada gigi menjadi suatu zat bersifat asam
yang mengakibatkan demineralisasi email. Umumnya, proses remineralisasi dapat

31

dilakukan oleh air liur, namun jika terjadi ketidakseimbangan antara


demineralisasi dan remineralisasi, maka akan terbentuk karies (lubang) pada gigi.
Karies kemudian dapat meluas dan menembus lapisan dentin. Pada tahap ini, jika
tidak ada perawatan, dapat mengenai daerah pulpa gigi yang banyak berisi
pembuluh darah, limfe dan syaraf. Pada akhirnya, akan terjadi nekrosis pulpa,
meninggalkan jaringan mati dan gigi akan keropos perlahan hingga tertinggal sisa
akar gigi.
Mahkota gigi dapat patah akibat trauma pada gigi, seperti terbentur benda
keras saat terjatuh, berkelahi, atau sebab lainnya. Seringkali mahkota gigi yang
patah menyisakan akar gigi yang masih tertanam dalam gusi, dengan pulpa gigi
yang telah mati.
Pencabutan tidak sempurna juga sering menyebabkan gangren radiks. Hal
ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain struktur gigi yang rapuh, akar gigi
yang bengkok, akar gigi yang menyebar, kalsifikasi gigi, aplikasi forceps yang
kurang tepat dan tekanan yang berlebihan pada waktu tindakan pencabutan.
Sisa akar gigi atau gangren radiks yang hanya dibiarkan saja dapat muncul
keluar gusi setelah beberapa waktu, hilang sendiri karena teresorbsi oleh tubuh,
atau dapat berkembang menjadi abses, kista dan neoplasma. Setiap sisa akar gigi
juga berpotensi untuk mencetuskan infeksi pada akar gigi dan jaringan penyangga
gigi. Infeksi ini menimbulkan rasa sakit dari ringan sampai hebat, terjadi
pernanahan, pembengkak pada gusi atau wajah hingga sukar membuka mulut
(trismus). Pasien terkadang menjadi lemas karena susah makan. Pembengkakan
yang terjadi di bawah rahang dapat menginfeksi kulit, menyebabkan selulitis atau
flegmon, dengan kulit memerah, teraba keras bagaikan kayu, lidah terangkat ke
atas dan rasa sakit yang menghebat. Perluasan infeksi ini sangat berbahaya,
bahkan penanganan yang terlambat dapat merenggut jiwa, seperti pada angina
Ludwig.
Infeksi

pada

akar

gigi

maupun

jaringan

penyangga

gigi

dapat

mengakibatkan migrasinya bakteri ke organ yang lain melalui pembuluh darah.


Teori ini dikenal dengan fokal infeksi. Keluhan seperti nyeri, bengkak dan
pembentukan pus (nanah) adalah reaksi tubuh terhadap infeksi gigi. Bakteri yang
32

berasal dari infeksi gigi dapat meluas ke jaringan sekitar rongga mulut, kulit,
mata, saraf, atau organ berjauhan seperti otot jantung, ginjal, lambung,
persendian, dan lain sebagainya.
Gigi atau sisa akar seperti ini sebaiknya segera dicabut (ekstraksi), namun
antibiotik umumnya diberikan beberapa hari sebelumnya untuk menekan infeksi
yang telah terjadi. Pencabutan tidak dapat dilakukan dalam keadaan gigi yang
sedang sakit, karena pembiusan lokal (anestesi lokal) seringkali tidak maksimal.
Sisa akar gigi yang tertinggal ukurannya bervariasi mulai dari kurang dari 1/3 akar
gigi sampai sebatas permukaan gusi.
Gigi yang tinggal sisa akar tidak dapat digunakan untuk proses
pengunyahan

yang

sempurna.

Gangguan

pengunyahan

menjadi

alasan

masyararakat untuk membuat gigi tiruan. Masalahnya, sampai sekarang banyak


yang masih membuat gigi tiruan di atas sisa akar gigi. Keadaan ini bisa memicu
infeksi lebih berat.
2.3.4 Tatalaksana
Infeksi

pada

akar

gigi

maupun

jaringan

penyangga

gigi

dapat

mengakibatkan migrasinya bakteri ke organ yang lain melalui pembuluh darah.


Teori ini dikenal dengan fokal infeksi. Keluhan seperti nyeri, bengkak dan
pembentukan pus (nanah) adalah reaksi tubuh terhadap infeksi gigi. Bakteri yang
berasal dari infeksi gigi dapat meluas ke jaringan sekitar rongga mulut, kulit,
mata, saraf, atau organ berjauhan seperti otot jantung, ginjal, lambung,
persendian, dan lain sebagainya.
Gigi atau sisa akar seperti ini sebaiknya segera dicabut (ekstraksi), namun
antibiotik umumnya diberikan beberapa hari sebelumnya untuk menekan infeksi
yang telah terjadi. Pencabutan tidak dapat dilakukan dalam keadaan gigi yang
sedang sakit, karena pembiusan lokal (anestesi lokal) seringkali tidak maksimal.
Sisa akar gigi yang tertinggal ukurannya bervariasi mulai dari kurang dari 1/3 akar
gigi sampai sebatas permukaan gusi.
Gigi yang tinggal sisa akar tidak dapat digunakan untuk proses
pengunyahan

yang

sempurna.

Gangguan
33

pengunyahan

menjadi

alasan

masyararakat untuk membuat gigi tiruan. Masalahnya, sampai sekarang banyak


yang masih membuat gigi tiruan di atas sisa akar gigi. Keadaan ini bisa memicu
infeksi lebih berat.
2.4

Mekanisme Fokal Infeksi


Penyebaran infeksi dari fokus primer ke tempat lain dapat berlangsung

melalui beberapa cara, yaitu transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen),


transmisi melalui aliran limfatik (limfogen), perluasan infeksi dalam jaringan, dan
penyebaran dari traktus gastrointestinal dan pernapasan akibat tertelannya atau
teraspirasinya materi infektif.
2.4.1 Transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen)
Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di sekitarnya
merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini meningkatkan
kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke
dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi juga akan semakin
meningkatkan aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya
organisme dan toksin masuk ke dalam pembuluh darah. Vena-vena yang berasal
dari rongga mulut dan sekitarnya mengalir ke pleksus vena pterigoid yang
menghubungkan sinus kavernosus dengan pleksus vena faringeal dan vena
maksilaris interna melalui vena emisaria. Karena perubahan tekanan dan edema
menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak
berkatup, maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah,
memungkinkan penyebaran infeksi langsung dari fokus di dalam mulut ke kepala
atau faring sebelum tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap
infeksi tersebut. Material septik (infektif) yang mengalir melalui vena jugularis
internal dan eksternal dan kemudian ke jantung dapat membuat sedikit kerusakan.
Namun, saat berada di dalam darah, organisme yang mampu bertahan dapat
menyerang organ manapun yang kurang resisten akibat faktor-faktor predisposisi
tertentu.
2.4.2 Transmisi melalui aliran limfatik (limfogen)
34

Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada mulut kaya
dengan aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat dengan mudah
menjalar ke kelenjar limfe regional. Pada rahang bawah, terdapat anastomosis
pembuluh darah dari kedua sisi melalui pembuluh limfe bibir. Akan tetapi
anastomosis tersebut tidak ditemukan pada rahang bawah.
Kelenjar getah bening regional yang terkena adalah sebagai berikut:
Sumber infeksi
Gingiva bawah
Jaringan subkutan bibir bawah

Submaksila
Submaksila,

KGB regional

Jaringan submukosa bibir atas

profunda
Submaksila

dan bawah
Gingiva dan palatum atas
Pipi bagian anterior
Pipi bagian posterior

Servikal profunda
Parotis
Submaksila, fasial

submental,

servikal

Banyaknya hubungan antara berbagai kelenjar getah bening memfasilitasi


penyebaran infeksi sepanjang rute ini dan infeksi dapat mengenai kepala atau
leher atau melalui duktus torasikus dan vena subklavia ke bagian tubuh lainnya
2.4.3 Peluasan langsung infeksi dalam jaringan
Perluasan langsung infeksi terjadi melalui tiga cara, yaitu:
a.
Perluasan di dalam tulang tanpa pointing
Area yang terkena terbatas hanya di dalam tulang, menyebabkan
osteomyelitis. Kondisi ini terjadi pada rahang atas atau yang lebih sering
pada rahang bawah. DI rahang atas, letak yang saling berdekatan antara
sinus maksila dan dasar hidung menyebabkan mudahnya ketelibatan
mereka dalam penyebaran infeksi melalui tulang.
b.

Perluasan di dalam tulang dengan pointing


Ini merupakan tipe infeksi yang serupa dengan tipe di atas, tetapi
perluasan tidak terlokalisis melainkan melewati tulang menuju jaringan
lunak dan kemudian membentuk abses. Di rahang atas proses ini
35

membentuk abses bukal, palatal, atau infraorbital. Selanjutnya, abses


infraorbital dapat mengenai mata dan menyebabkan edema di mata. Di
rahag bawah, pointing dari infeksi menyebabkan abses bukal. Apabila
pointing terarah menuju lingual, dasar mulut dapat ikut terlibat atau pusa
terdorong ke posterior sehingga membentuk abses retromolar atau
peritonsilar.
c.

Perluasan sepanjang bidang fasial


Menurut HJ Burman, fasia memegang peranan penting karena fungsinya
yang membungkus berbagai otot, kelenjar, pembuluh darah, dan saraf,
serta karena adanya ruang interfasial yang terisi oleh jaringan ikat
longgar, sehingga infeksi dapat menurun. Di bawah ini adalah beberapa
fasia dan area yang penting, sesuai dengan klasifikasi dari Burman:

a) Lapisan superfisial dari fasia servikal profunda


b) Regio submandibula
c) Ruang (space) sublingual
d) Ruang submaksila
e) Ruang parafaringeal

2.4.4 Penyebaran ke traktus gastrointestinal dan pernapasan


Bakteri yang tertelan dan produk-produk septik yang tertelan dapat
menimbulkan tonsilitis, faringitis, dan berbagai kelainan pada lambung. Aspirasi
produk septik dapat menimbulkan laringitis, trakeitis, bronkitis, atau pneumonia.
Infeksi oral dapat menimbulkan sensitisasi membran mukosa saluiran napas
atas dan menyebabkan berbagai gangguan, misalnya asma. Infeksi oral juga dapat
memperburuk kelainan sistemik yang sudah ada, misalnya tuberkulosis dan
diabetes mellitus. Infeksi gigi dapat terjadi pada seseorang tanpa kerusakan yang
jelas walaupun pasien memiliki sistem imun yang normal. Juga telah ditunjukkan
bahwa tuberkel basil dapat memasuki tubuh melalui oral, yaitu pocket periodontal
36

danflap gingiva yang terinfeksi yang meliputi molar ketiga. Infeksi oral, selain
dapat memperburuk TB paru yang sudah ada, juga dapat menambah systemic
load, yang menghambat respon tubuh dalam melawan efek kaheksia dari penyakit
TB tersebut. Mendel telah menunjukkan perjalanan tuberkel basilus dari gigi
melalui limfe, KGB submaksila dan servikal tanpa didahului ulserasi primer.
Tertelannya material septik dapat menyebabkan gangguan lambung dan usus,
seperti konstipasi dan ulserasi.
Penyakit Periodontal ; Penyakit yang disebabkan oleh Fokal Infeksi
Secara nyata penyakit periodontal merupakan predisposisi dari penyakit
kardiovaskuler, dengan terdapatnya jumlah besar dari spesies bakteri gram(-),
peningkatan sitokin proinflamasi, peningkatan fibrinogen perifer dan jumlah sel
darah putih.
Terdapat beberapa mekanisme dimana penyakit periodontal dapat memicu
terjadinya penyakit kardiovaskular baik efek secara langsung atau tidak langsung
dari bakteri oral. Pertama, bakteri oral seperti Streptococcussanguis dan
Porphyromonas gingivalis menginduksi agregasi platelet, yang akan menjadi
pembentukan thrombus. Hal tersebut di mungkinkan, karena terdapat antibodi
reaktif organisme periodontal di otot jantung dan memicu aktivasi komplemen
serta sel T yang sensitif.
Faktor kedua pada proses ini selain factor agregasi yang menunjukan respon
dari host yaitu peningkatan mediator pro inflamasi seperti PGE 2, TNF- , dan IL-1
. Mediator yang terkait berbeda antarindividual dalam hal sel T repertoire dan
kapasitas sekresi sel monosit.pada orang tersebut lebih banyak mensekresi
mediator inflamsi lebih banyak dari orang normal.
Mekanisme ketiga yaitu hubungan antara bakeri, produk inflamasi
periodontitis dan penyakit kardiovaskular, Lipopolisakarida (LPS) yang berasal
dari organisme masuk kedalam serum yang mengakibatkan bakteriemia dengan
efek secara langsung pada sel endotel yang mengakibatkan atherosclerosis. LPS
juga dapat mengurangi pemasukan sel2 inflamasi ke pembuluh darah, dan

37

memicu proliferasi otot polos vascular, degenerasi lipid vascular, koagulasi


intravaskular, dan gangguan fungsi platelet.
Akhirnya, infeksi oral tidak hanya dapat mengakibatkan kehilangan gigi,
tetapi dapat juga mengakibatkan pennyakit kardiovaskular yang didukung oleh
factor resiko lainnya seperti genetic dan lingkungan.

2.5

Manifestasi Oral pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2


Diabetes mellitus adalah kelainan yang termasuk dalam kelompok

heterogenus yang dicirikan dengan peningkatan kadar glukosa.1 Diabetes tipe 1


terjadi akibat adanya defisiensi absolute dari insulin yang paling sering
diakibatkan oleh autoimun, kerusakan dari produksi insulin oleh sel B pankreas,
bisa juga disebabkan oleh faktor lain yaitu diabetes mellitus tipe 2. Otot, sel
lemak dan sel lainnya menjadi kebal terhadap insulin. Ini merupakan mekanisme
kompensasi yang mempengaruhi sel B untuk memproduksi insulin secara
berlebihan. Diabetes mellitus tipe 2 terjadi ketika kompensasi tersebut tidak cukup
untuk mempertahankan kadar glukosa diambang normal.2-3 Tahun 2025, 300ribu
orang di seluruh dunia diperkirakan terjangkit diabetes mellitus dengan prevalensi
6.4%.4-5
Negara dengan penduduk terbanyak terjangkit diabetes mellitus di tahun
2025 diperkirakan adalah India, Cina, Amerika Serikat. 5-10% dari kasus diabetes
mellitus di seluruh dunia6 adalah diabetes mellitus dan 80% atau lebih adalah
diabetes mellitus tipe 2 di kalangan anak muda >20 tahun di seluruh dunia. 7
Perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan terjangkit diabetes
mellitus tipe 1 di populasi anak muda.8 Dilaporkan secara luas 90% kasus diabetes
mellitus adalah diabetes mellitus tipe 2. Kelainan ini diangkkap akibat adanya
kelainan metabolic pada kalangan dewasa. Meskipun di kalangan muda, remaja,
dan anak-anak juga sering terjadi.9
PATOFISIOLOGI DIABETES MELLITUS
Diabetes mellitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan
kerusakan produksi insulin sel B pancreas.10 Diabetes mellitus tipe 1 terjadi akibat
38

perombakan sistem imun sehingga terjadi aktivasi dari sel T CD4 dan CD8 dan
produksi auto antibody limposit B dan aktivasi dari system imun lainnya yang
berkolaborasi menghambat produksi sel B.11 pada percobaan binatang, sel dendrite
CD11c+ dan makrofag ER-MP 23+ adalah sel pertama yang menginfiltasi pankrean
pada tikus non obes selama kira-kira 3 minggu. Pada waktu yang sama, patogenik
sel T

terdeteksi, menghasilkan peri-insulitis. Faktor genetic dan lingkungan

diduga ikut berperan dalam perkembangan diabetes mellitus tipe 1.13


Diabetes mellitus tipe 2 adalah kelainan metabolic dengan ciri hiperglikemi
dan perubahan metabolisme lemak, yang disebabkan oleh ketidakmampuan sel B
untuk memproduksi insulin yang adekuat dalam mengatasi bermacam-macam
resistensi insulin akibat kelebihan nutrisi/obesitas. Kerusakan metabolic
berkontribusi dalam diabetes mellitus tipe 2 termasuk ketidakmampuan sel B
untuk mengkompensasi tingginya kadar glukosa yeng berhubungan dengan intake
makanan, peningkatan produksi glucagon dan penurunan respon inkretin.
Perluasan subkutan jaringan lemak, hipoadiponektinemia, inflamasi jaringan
adipose, peningkatan produksi glukosa endogen dan pengembangan resistensi
insulin perifer.14 Kelebihan kalori yang kronis merupakan peristiwa pathogen awal
yang memicu perkembangan diabetes mellitus tipe 2 dalam gen dan epigen
individu yang rentan.15-16

PERUBAHAN PATOGEN DIABETES MELLITUS TIPE 1 DAN 2


Hiperglikemi
Hiperglikemia merupakan akibat gangguan sekresi insulin pada diabetes
mellitus tipe 1 dan resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2. Kerusakan sek
B pada diabetes mellitus tipe 1 dan tidak adekuatnya second messanger glukosa
pada diabetes mellitus tipe 2 diduga ikut berperan dalam terjadinya hiperglikemi. 17
banyak jalur diduga menghambat peningkatan aktivitas hiperglikemik dan
berperan dalam proses stress oksidatif melalui jalur polyol, 18 jalur heksosamin,19-21
dan aktivasi dari C protein kinase..22 Hiperglikemi juga mendorong memperbesar
aktivasi dari faktor transkripsi pro inflamasi, faktor kappa B nuclear (NF-kb) oleh
39

protein C kinase secara in vitro.19 Hiperglikemia juga dihasilkan akibat proses


oksidasi sorbitol oleh NAD+ sehingga meningkatnya perbandingan sistolik
NADH:NAD+ dan otomatis akan menghambat pengaktivan gliseraldehid-3-pospat
dehidroginase.
AGEs
AGEs terbentuk dari reaksi non enzim dari glukosa dan komponen
glikatins lainnya yang berasal dari glukosa dan peningkatan oksidasi asam lemak.
Hiperglikemi intraseluler merupakan inisiasi pertama dalam intra maupun
ekstraseluler AGEs formasi.23 AGE adalah derivat auto oksida glukosa intraseluler
menjadi glioksal,24 dekomposisi dan produk Amadori (adisi glukosa-derivedamino-1-deoksifutosa lisin) dan dihidroksiaceton pospat menjadi metilglioksal.25
Reaktivasi

intraseluler

dikarbonil

ini

(glioksal,

metilglioksal,

dan

3-

deoksiglukosan) berekasi dengan kelompok amino intraseluler dan protein


ekstraseluler untuk membentuk AGEs. Protein intraseluler yang dimodifikasi oleh
AGE menghambat fungsi komponen matriks ekstraseluler yang dimodifikasi oleh
prekusor AGE berinteraksi secara abnormal dengan protein matriks lainnya dan
reseptor didalam sel. Beberapa reseptor AGE saling berhubungan untuk
meningkatkan inflamasi, termasuk reseptor untuk AGE (RAGE). Protein dapat
bermodifikasi secara structural oleh glikosilasi, sehingga mempengaruhi
fungsinya. Secara alternative, ikatan AGE menjadi reseptor AGE dapat
menyebabkan produksi oksigen reaktif. Produksi dari sitokin inflamasi seperti
TNF alfa dan NF-kb.26
Lipotoksisitas
Akibat adanya rantai panjang asam lemak bebas dalam

plasma,

lipotoksisitas ini sering meningkatkan resistensi insulin, sehingga memperburuk


fungsi sekresi sel B27-28 dan berperan dalam apoptosis sel B29-30 dan resistensi
insulin.31 Sel otot dan hepatoksitas tidak berhasil dipengaruhi oleh banyaknya
asam lemak yang akan menyebabkan peningkatan akumulasi keramit, aktivasi
jalur inflamasi dan meningkatnya pelepasan ROS dan tingginya apoptosis.32
40

Stress oksidatif
Stress oksidatif adalah pusat pengembangan resistensi insulin dan
merupakan komplikasi diabetic.33-34 Stres oksidatif bermain kritis dalam
komplikasi diabetic. Hiperglikemik mengakibatkan produksi berlebihan dari
superoksida dalam mitokondria. Hal ini meningkatkan produksi superoksida
dalam mengaktifkan beberapa jalur yang berperan dalam komplikasi diabetic
termasuk aliran jalur polyol meningkatkan formasi AGE dan ekspresi RAGE dan
aktivasi C protein kinase dan jalur heksosamin.18Inflamasi terstimulus oleh
meningkatnya intraseluler, ROS juga berperan dalam komplikasi diabetic. 35
Setelah ROS tercipta , mereka akan memakan sel anti oksidan menyumbang sel
yang telah terpengaruh dan jaringan yang rentan rusak.36 Ini terlihat dari ROS
yang tidak hanya berperan dalam perusakan sel dan jaringan tetapi juga berfungsi
sebagai second messanger intraseluler yang neregulasi signal transduksi dan
ekpresi gen. Stress oksidatif juga berperan dalam aktivasi perbanyakan serin
kinase dan penghantaran glukosa, NK-kb, p38 MAPK dan jalur JNK/SAPK yang
rentan terhadap stress oksidatif, yang berhubungan dalam proses kerusakan kerja
insulin dan perkembangan komplikasi diabetik jangka panjang.33

Respon imun
Neutropil berperan dalam beberapa penyakit autoimun seperti lupus dan
rematik athtritis. Beberapa penetlitian menyebutkan keterlibatan neutropil pada
diabetes mellitus tipe 1, reduksi ringan dari neutropil dengan diabetes mellitus tipe
1.37-38 Meskipun kadar neutropil pada pasien diabetes mellitus tipe 2 itu normal. 37
Reduksi dalam pengedaran neutropil pada diabetes mellitus tipe 1 kemungkinan
akibat kerusakan diferensiasi neutropil dan merupakan output dari sumsul tulang,
peningkatan apoptosis neutropil atau antibody anti neutropil yang spesifik dan
peningkatan perekrutan menjadi jaringan.39 Perubahan fungsi fagosit mononuclear
juga dilporkan dalam diabetic termasuk perubahan produksi superoksida (0 2-)
41

rusaknya kemotaksis dan fagositosis.40 Penelitian menyebutkan penyusunan


monosit dalam diabetes mellitus tipe 1 secara spontan mengahsilkan sitokin pro
inflamasi yang diketahui mempengaruhi dan memperluas sel th17. 41 Fakta
menyebutkan bahwa pengaktivan makrofag secara sederhana menginfiltrasi
insulin dan kematian sel B pada diabetes mellitus tipe 1 dan berperan dalam
resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2 dengan cara memicu respon
inflamasi. Sebaliknya, aktivasi makrofag memperlihatkan efek proteksi pada
diabetes mellitus dengan cara menurunkan reaksi inflamasi jaringan.42
Faktor-faktor pro inflamasi
Jaringan adiposa merupakan tempat utama produksi mediator inflamasi
sebagai hasil dari persilangan antara sel adipose makrofag dan sel imun lainnya
yang menginfiltrasi perluasan jaringan adipose.43 Mediator inflamasi mungkin
memegang peranan pada diabetes mellitus tipe 2, berkonr=tribusi dalam stimulasi
hiperglikemia resistensi insulin dan komplikasi diabetic. 44 Faktor inflamasi seperti
TNF alfa, IL-iB, IL6 dan IL8 dilaporkaan meningkat pada diabetes mellitus dan
berkontribusi pada resistensi insulin melalui jalur JNK dan IKKB/NF-kb.45-46
Peningkatan produksi dari jalur sitokin inflamasi diperkirakan berperan dalam
resistensi insulin dan kerusakan sel beta pancreas dan merupakan faktor utama
dari komplikasi diabetic.47-48
Faktor inflamasi
Peran sitokin pro inflamasi dalam kerusakan sel B pancreas dan
perkembangan diabetes mellitus tipe 2 sudah diselidiki. Meskipun ilmu
pengetahuan masi terbatas dan ketidakseimbangan antara pro dan sitokin pro
inflamasi mungkin dibutuhkan pada diabetes mellitus.49-50 Antagonis respon IL1
secara alami terjadi pada antagonis anti inflamasi dari IL1 dan sitokin pro
inflamasi.51 Faktanya menunjukkan bahwa bloking signal IL-1B mengurangi
perluasan dari sitokin inflamasi, dan reseptor antagonis IL1 meningkatkan control
glikemin dan menetralkan kerusakan sel B52 yang berperan sebagai hormone
dengan anti inflamasi yang sensitif terhadap insulin, adiponektin dilaporkan
42

berhubungan dengan penurunan resiko diabetes mellitus tipe 2.53 Meskipun


naiknya level sirkulasi adiponektin ditemukan pada pasien diabetes mellitus tipe
1, mungkin juga tergantung dengan resistensi insulin.50
KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS
Diabetes mellitus tipe 1 dan 2 memiliki banyak komplikasi jangka
panjang. Penelitian epidemiologi mengindikasikan keparahan komplikasi diabetes
mellitus berbanding lurus dengan tingkat hiperglikemik.54
Komplikasi Makrovaskular
Efek bahaya diabetes dalam system vascular dibagi menjadi komplikasi
makrovaskular dan mikrovaskular.55 Bukti menyebutkan bahwa pasien diabetes
mellitus 3x lebih besar untuk terjadinya kelainan kardiovaskular dibandingkan
kelompok non-diabetes56. Penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama
kematian pada pasien diabetes57. Mekanisme patologis utama dalam kelainan
makrovaskular adalah aterosklerosis. Aterosklerosis terbentuk akibat inflamasi
kronis dinding arteri dalam sistem pembuluh darah koroner atau perifer. Salah
satu mekanismenya adalah stimulasi oksidasi lipid dari low-density lipoprotein
pada diabetes mellitus yang terakumulasi pada dinding endotel arteri.

Komplikasi Mikrovaskular
Kadar glukosa serum yang tinggi mempengaruhi sel-sel endotelial yang
melapisi pembuluh-pembuluh darah dan menyebabkan penebalan dan kurang
efektifnya

membran

dasar

pembuluh

darah58.

Komplikasi-komplikasi

mikrovaskular adalah bagian yang penting untuk terjadinya retinopati, nefropati,


dan neuropati diabetikum59. Diabetes meningkatkan TNF dan menimbulkan
pelepasan sel-sel endotelial mikrovaskular dan perisit melalui aktivasi faktor
transkripsi FOXO 160-61.
Retinopati

43

Retinopati diabetikum secara klinis diklasifikasikan menjadi stadium


proliferatif dan non-proliferatif. Hanya perubahan pada mikrovaskular retina yang
terjadi pada retinopati diabetikum non-proliferative, dimana pembuluh darah baru
terbentuk pada retina atau pada optic disk pada retinopati diabetikum
proliferative62.

Retinopati

proliferatif

dikarakteristikkan

dengan

beberapa

gambaran unik dan umum, antara lain penebalan dari membran pembuluh darah,
perisit dan kematian sel endotelial, mikroaneurisma, oklusi pembuluh darah, dan
neovaskularisasi patologis, yang dapat berkembang menjadi perdarahan retina,
ablatio retina, dan kebutaan63. TNF dalam hal ini berperan penting untuk stimulasi
awal terjadinya retinopati diabetikum60.
Neuropati
Neuropati diabetikum dikarakteristikkan dengan hilangnya persarafan
progresif, demielinisasi, dan regenerasi saraf terganggu serta disfungsi serat
saraf62. Neuropati diabetikum dapat mengganggu saraf sensoris, motoris dan serat
saraf otonom di berbagai bagian tubuh 64. Meskipun neuropati diabetikum telah
dipelajari selama lebih dari 20 tahun, patogenesis penyakit ini masih belum jelas,
diabetik neuropati merupakan akibat dari kerusakan mikrovaskular diabetik pada
pembuluh darah kecil yang memperdarahi saraf-saraf, selain juga kerusakan
oksidatif, AGEs dan defisiensi insulin65.
Nefropati
Hipergllikemia dapat menimbulkan perubahan seluler pada berbagai jenis
sel di ginjal. Nefropati adalah suatu penyakit ginjal progresif yang disebabkan
angiopati kapiler-kapiler pada glomeruli ginjal dan dikarakteristikkan dengan
hipertrofi glomerular, penebalan membran, tubular, dan akumulasi matrix
ekstraselular pada membran-membran ini; perubahan ini akhirnya menimbulkan
fibrosis dan sklerosis glomerular dan tubulointerstitial 66. AGEs, hiperglikemia,
dan inflamasi vaskular dalam hal ini dianggap sebagai penyebab perubahan
patologis67-68.

44

PENYAKIT TULANG BERKAITAN DENGAN DIABETES


Sebagai tambahan dari komplikasi diatas, diabetes dapat mempengaruhi
metabolisme tulang. Sejumlah bukti yang telah dikumpulkan menunjukkan
perubahan endokrin dan metabolisme akibat diabetes menimbulkan pengaruh
pada kualitas dan kuantitas tulang selama beberapa dekade kehidupan69.
Peningkatan resiko patah tulang/fraktur
T1DM dan T2DM berkaitan dengan peningkatan risiko patah tulang.
Sebuah penelitian besar yang dilakukan di Denmark melaporkan risiko relatif
fraktur berbagai lokasi tulang pada pasien diabetes sebesar 1,9 70. Risiko relatif
dari fraktur panggul diperkirakan sebesar 6,9 pada pasien-pasien T1DM dan 1,38
pada pasien-pasien T2DM71. Wanita dengan T2DM memiliki risiko fraktur
vertebra lebih besar dibandingkan wanita tanpa T2DM 72. Pada penelitian
mengenai kesehatan wanita didapatkan risiko untuk patah humerus proksimal,
kaki, dan pergelangan kaki meningkat pada wanita dengan diabetes tipe 2
dibandingkan kelompok kontrol yang sehat73.
Perubahan masa jenis mineral tulang
Bone mineral density (BMD) / masa jenis mineral tulang didapatkan
berkurang pada T1DM72,74. Penurunan BMD dan komplikasi vaskular diabetik
berkaitan dengan peningkatan risiko fraktur. Pada T2DM, BMD setara atau lebih
tinggi dibandingkan orang non-diabetes berdasarkan meta-analisis71, tetapi risiko
fraktur meningkat meskipun peningkatan BMD ini75. Hal ini kemungkinan
diakibatkan dari suatu peningkatan risiko untuk pasien terjatuh 76. Sebagai
tambahan, penurunan bentukan tulang dengan penurunan kulaitas tulang juga ikut
berkontribusi untuk peningkatan risiko fraktur pada T2DM. Penelitian pada tikus
juga mendukung hipotesis bahwa tulang pada diabetes memiliki kekuatan
mekanis yang menurun, tanpa dipengaruhi densitas tulang77.
Penurunan tingkat remodellng tulang

45

Penurunan remodelling tulang dapat dijelaskan sebagai peningkatan


kerapuhan tulang pada pasien-pasien dengan diabetes. Tulang yang lebih tua tidak
diganti dengan tulang yang baru pada penurunan remodelling ini, sehingga
kekuatan mekanik tulang menurun. Pada suatu penelitian didapatkan pasienpasien diabetes memiliki aktivitas osteoblas yang menurun78. Penurunan
remodelling tulang ini juga diikuti penurunan kandungan mineral yang ditemukan
pada T1DM79. Penurunan reseptor leptin pada tikus didapatkan pada penelitian
yang dilakukan pada T2DM juga menurunkan remodelling tulang 80-81. Dampak
dari diabetes pada resopsi tulang telah menjadi penemuan yang kontradiksi
dengan beberapa penelitian yan menunjukkan peningkatan aktivitas osteoklas
pada pertrubasi82-83.
Penyembuhan fraktur terlambat
Penyembuhan fraktur terjadi secara lambat pada pasien-pasien diabetes.
Suatu penelitian pada 5.966 kasus fraktur panggul dengan diabetes dilaporkan
bahwa pasien-pasien ini butuh perawatan rumah sakit yang lebih lama 84. Lebih
lanjut, pasien-pasien diabetes yang mengikuti prosedur penyatuan pergelangan
kaki menunjukkan peningkatan terjadinya kegagalan penyatuan (27-38%)85. Pada
tikus yang diabetes yang diberi makan dengan makanan tinggi lemak, fraktur
kalus secara signifikan lebih kecil dan menunjukkan peningkatan lemak86. Pada
tikus diabetes yang diinduksi dengan streptozotocin, fraktur kalus menurunkan
formasi tulang yang berkaitan dengan resopsi kartilago prematur87.
MEKANISME POTENSIAL PENGARUH DIABETES PADA TULANG
Pembentukan dan resopsi tulang mempengaruhi tulang, dan diabetes
mellitus mempengaruhi baik pembentukan dan resopsi tulang.
Pengaruh Diabetes Pada Osteoblas
Diabetes memiliki pengaruh yang signifikan pada osteoblas. Secara
konsisten telah diketahui bahwa diabetes menimbulkan suatu penurunan dari selsel pembentukan tulang88. Suatu mekanisme dimana diabetes mempengaruhi
osteoblas adalah peningkatan apoptosis. Sebagai contoh, AGEs menginduksi
46

apoptosis osteoblas melalui jalur MAP kinase89. Diabetes juga mempengaruhi


pembentukan tulang dengan menurunkan ekspresi faktor-faktor transkripsi yang
mengatur diferensiasi osteoblas90. Pada tikus dengan T1DM dan T2DM,
didapatkan osteoblas menurunkan aktivitas fosfatase alkaline dan pembentukan
matriks termineralisasi91-92. Ketika AGEs diberikan pada luka binatang yang
normal, tingkat kesembuhan menurunan setengahnya, diperkirakan bahwa AGEs
yang tinggi pada pasien diabetes berkontribusi untuk ganggguan penyembuhan
tulang93. Sebagai tambahan, reseptor untuk AGEs, RAGE, didapatkan meningkat
pada osteoblas pasien diabetes, selain juga binatang dengan diabetes lebih sensitif
terhadap pengaruh AGEs.93
Inflamasi juga memiliki pengaruh signifikan pada tulang 94. Peningkatan
kadar mediator-mediator inflamasi, salah satunya TNF, adalah gambaran dari
diabetes95. Binatang dengan diabetes memiliki kadar TNF yang lebih tinggi dalam
tulangnya, dan peningkatan ini berkaitan dengan penurunan penyembuhan
tulang96. Lebih lanjut, diabetes menyebabkan induksi dua kali lipat dari 70 gen
yang secara langsung maupun tidak langsung meregulasi apoptosis selama luka
pada tulang menginduksi inflamasi dan secara signifikan meningkatkan aktivitas
capcase-8-9 dan-397. Suatu pengaruh signifikan pada tulang yang diinduksi oleh
sel mati pada binatang dengan diabetes tampak pada tikus yang diobati dengan
pancaspase-inhibitor. Terapi dengan inhibitor ini meningkatkan jumlah sel-sel
lapisan tulang dan meningkatkan bentukan tulang baru97.
Profil ekspresi m-RNA selama fraktur diabetes mengindikasikan susunan
gen yang berkaitan dengan apoptosis gen yang berhubungan dengan peningkatan
kadarTNF-, peningkatan apoptosis kondrosit, dan peningkatan aktivitas faktor
transkripsi proapoptotik, FOXO 1. Inhibisi TNF secara signifikan menurunkan
setiap pengaruh-pengaruh ini pada penyembuhan fraktur diabetes tetapi memiliki
pengaruh yang kecil pada tikus yang normoglikemik98.
Sel bakal mesenkimal menunjukkan sekelompok osteoblas yang merupakan
sel-sel pembentuk tulang. Inflamasi yang meningkat pada penyembuhan tulang
diabetes, memiliki dampak yang signifikan pada penurunan diferensiasi
mesenchymal stem cell (MSC) 99. Inflamasi mempengaruhi MSC melalui induksi
47

aktivasi NF-kB . Peningkatan aktivitas NF-kB dipengaruhi dengan diferensiasi


wnt terstimulasi MSC melalui peningkatan degradasi beta-catenin 100. Lebih lanjut,
TNF menekan aktivasi Osx promoter101 yang mengganggu diferensiasi MSCs
menjadi osteoblas karena osterix yang diperlukan pada tahap awal diferensiasi.
AGEs juga menghambat diferensiasi MSC102-103. Satu mekanisme dimana hal ini
terjadi mengikuti regulasi dari ROS oleh AGEs dalam MSC, menimbulkan
penurunan diferensiasi MSC. Pada sel-sel bakal mesenchymal manusia dan sel-sel
ST2 stromal tikus, AGEs menekan diferensiasi osteogenik kedua tipe sel dengan
peningkatan ekspresi TGF-104.
Pada tikus T2DM percobaan , tikus diabetes memiliki kadar MSCs lebih
sedikit, dan MSCa ini memiliki kekurangan dalam mencapai target lokasi luka 105.
Pada tikus T1DM percobaan, sel-sel apoptosis lebih banyak dibandingkan pada
sum-sum tulang hiperglikemik, dan ukuran dari kelompok osteoprogenitor secara
signifikan telah berkurang96. Oleh karena itu, peningkatan kadar TNF dan
pengaruh AGEs dapat mempengaruhi produksi osteoblas yang dibentuk melalui
diferensiasi MSC menjadi osteoblas.
Pengaruh Diabetes Dan Osteoklas
Penelitian manusia mengenai diabetes melitus secara umum menunjukkan adanya
peningkatan osteoklastogenesis. Manusia dengan T2DM memiliki kadar asam
resisten tartar fosfatase yang tersirkulasi meningkat yang mengindikasikan
peningkatan aktivitas osteoklas82. Pada pasien dengan T1DM atau T2DM, kontrol
glikemik yang rendah menimbulkan peningkatan resopsi tulang dan kehilangan
tulang. Pada pasien dengan T2DM, kadar penanda resopsi tulang asam resistentartrate fosfatase meningkat dalam serum, mengindikasikan peningkatan fungsi
osteoklastik yang diakibatkan jalur polyol diabetik106. Namun demikian, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa penanda resopsi tulang menurun pada individu
dengan T2DM107.
Penelitian pada binatang secara umum menunjukkan peningkatan aktivitas
osteoklas pada pasien diabetes108-109. Pada tikus T1DM yang diinduksi
streptozotocin, ekspresi cathepsin K meningkat jika dibandingkan kelompok
48

kontrol dan mengindikasikan peningkatan aktivitas osteoklas110. Pada tikus


T2DM, resopsi tulang osteoklastik meningkat jika dibandingkan kelompok
kontrol dengan normoglikemik111. Pada tikus diabetes, TNF-, faktor stimulasi
koloni makrofag, aktivator reseptor dari nuclear factor kappa-B ligand (RANKL)
dan faktor pertumbuhan endotel vaskular-A mengalami peningkatan regulasi.
Peningkatan ini secara langsung

meningkatkan aktivasi dan diferensiasi

osteoklas87,112. Pasien dengan T2DM memiliki kadar mitokondrial ROS yang


meningkat yang meningkatkan RANKL dan memediasi diferensiasi dan fungsi
osteoklas113. Peningkatan kadar asam lemak yang meningkat pada pasien dengan
diabetes melitus dapat menginduksi osteoklastogenesis dengan TNF-114.
Pada tikus T2DM, pembentukan osteoklas meningkat sebagai respon
terhadap M-CSF dan RANKL82. Hasileneitian invitro memperkirakan

bahwa

pasien dengan predisposisi hiperglikemia menimbulkan peningkatan pembentukan


osteoklas115. AGEs juga berperan dalam peningkatan aktivitas osteoklas 116. Tikus
yang kekurangan reseptor AGE, RAGE, memiliki masa tulang yang tinggi dan
jumlah osteoklas yang lebih rendah jika dibandingkan tikus liar lain117, hal ini
mendukung konsep bahwa AGEs berkontribusi pada pembentukan osteoklas pada
pasien diabetes.

PENYAKIT PERIODONTAL
Periodontitis merupakan salah satu penyakit oral yang paling luas dan
dikarakteristikkan dengan hilangnya jaringan ikat dalam periodontium dan
kerusakan tulang penyangga alveolar118-119. Periodontitis yang berat dapat terjadi
akibat hilangnya gigi, ditemukan dalam 5-20% kebanyakan populasi dewasa
diseluruh dunia. Data terakhir tahun 2009 dan 2010 dari National Health and
Nutrition Examination Survey memperkirakan lebih dari 47% dewasa amerika
memiliki periodontitis120.
Penelitian epidemiologi menunjukkan hampir 25% dewasa Australia usia
35-54 tahun memiliki periodontitis sedang atau berat, dan 34% dari dewasa usia
49

30-39 tahun yang tinggal di pomerania memiliki periodontitis 121. Anak-anak dan
dewasa dapat memiliki beragam bentuk dari periodontitis, seperti periodontitis
agresif, periodontitis kronis dan periodontitis sebagai akibat dari penyakit
sistemik122. Meskipun demikian, diperkirakan prevalensi secara global dari
periodontitis ini berbeda tergantung distribusi dari penyakit dan methodologi
untuk menilainya123.
MEKANISME PATOGENIK DARI PENYAKIT PERIODONTAL
Mikroorganisme
Kondisi inflamasi kronis dari perodontitis terjadi akibat biofilm patogenik
atau plak gigi, yang terakumulasi pada permukaan gigi. Lebih dari 500 jenis
spesies bakteri terdeteksi dalam plak periodontal; meskipun demikian, spesies
bakteri penyebabnya masih diperdebatkan123-126. Bakteri gram negatif Komplek
Merah, termasuk Porphyromonas ginggivalis, Tannerella forsythia dan treponema
denticola, telah diperkirakan sebagai agen penyebab utama dari periodontitis127.
Penelitian terbaru telah mengidentifikasi Filifactoralocis dan banyak spesien
Spirochetes yang berkaitan erat dengan periodontitis128. Sebagai karakter terbaik
dari periopatogen, P. Ginggivalis adalah konsitituen minor dari total mikrobiota
tetapi dapat memicu perubahan jumlah dan komposisi mikrobiota komensal mulut
dan dapat mengganggu homeostasis dan menimbulkan hilangnya tulang
periodontal yang inflamasi129. Bakteri gram positif dan bakteri komensal mulut
dapat juga memegang peranan penting dalam terbentuknya periodontitis128,130-131.
Melalui teknik modern menunjukkan profil mikrobial subginggiva pada
pasien periodontitis yang dibedakan berdasarkan usia, kedalaman pocket, jenis
kelamin, dan ras128,132-133. Ditemukan terdapat perbedaan komunitas bakteri yang
muncul pada peningkatan riwayat periodontitis yang merubah proses infeksi
kebanyakan bakteri dan secara umum berkaitan dengan penurunan keragaman128.
Respon Host
Walaupun bakteri seharusnya ada pada penyakit periodontal, kerentanan
host juga menjadi salah satu faktor.123 Proses inflamasi yang terjadi pada
50

periodontitis ditandai oleh infiltrasi leukosit, yang membatasi jumlah invasi


bakteri dan dapat saja membahayakan jaringan periodontal. 134 Kerusakan ligamen
peridontal dan tulang diduga disebabkan oleh terganggunya keseimbangan
homeostasis antara respon host dan bakteri, yang menyebabkan inflamasi pada
tulang.

129,134-135

Proses ini diduga melibatkan respon imun host terhadap infeksi

bakteri melalui stimulasi produksi faktor osteoklastogenik oleh sel-sel imun, yang
pada akhirnya menyebabkan kerusakan tulang terkait periodontitis.
Pada pemeriksaan laboratorium menunjukan bahwa produksi faktor
osteoblas dan osteosit juga memiliki pengaruh dalam pembentukan osteoklas dan
penyakit periodontal (data tidak dipublikasi). Bukti bahwa respon host memiliki
peran penting juga ditunjukkan pada penelitian dimana

tatalaksana dengan

pemberian prostaglandin inhibitor akan mengurangi kerusakan tulang terkait


periodontitis136 dan beberapa penelitian yang melibatkan inhibibisi sitokin-sitokin
inflamasi , seperti IL-1 dan TNF.137-138 Dengan dimikian, periodontitis adalah
penyakit kompleks dimana berbagai penyebab faktor resiko memiliki peran secara
simultan dan interaktif; faktor resiko yang dimaksud adalah status imun-inflamasi
dan riwayat genetik dari pasien, serta adanya stresor lingkungan dan atau
penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes.139-141

Pengaruh Diabetes Pada Periodontitis


Diabetes dan periodontitis kronik adalah penyakit kronik yang telah lama
diketahui saling berhubungan secara biologis. Faktanya, diabetes

merupakan

salah satu faktor resiko utama pada penyakit periodontitis. Penelitian crosssectional dan longitudinal mengidentifikasi bahwa resiko terjadinya periodontitis
3-4 kali lebih tinggi pada orang dengan diabetes dibandingkan dengan orang tanpa
diabetes. 144
Periodontitis ditemukan pada 57,9% pasien T1DM dan 15% kontrol tanpa
diabetes.146 Penelitian lain tentang status periodontal pada anak-anak dan remaja
yang menderita T1DM, menunjukkan prevalensi 20,8% gingivitis dan 5,9%

51

periodontitis.147 Pasien

dengan T2DM

juga

memiliki

resiko

menderita

periodontitis berat dibandingkan dengan orang tanpa diabetes.148


Sebuah penelitian di Afrika Amerika menemukan bahwa 70,6% pasien
T2DM menderita periodontitis sedang, dan 28,5% menderita periodontitis berat;
hasil ini secara signifikan lebih besar dari pevalensi kontrol tanpa diabetes, yaitu
10,6%.149 Terdapat hubungan secara langsung antara nilai kadar glukosa dan
tingkat keparahan peridontitis146,150 Odd rasio dari T2DM dengan kerusakan
periodontal dibandingkan dengan penderita tanpa diabetes adalah 1,97, 2,10, dan
2,42 masing-masing pada penderita diabetes dengan kontrol kadar gula yang baik,
sedang, dan jelek.151
PENGARUH DIABETES PADA JARINGAN PERIODONTAL
Gingiva/gingivitis
Periodontitis didahului oleh berbagai tingkat inflamasi gingiva, yang
dikenal sebagai gingivitis. Prevalensi gingivitis pada anak-anak dan remaja yang
menderita T1DM adalah sekitar dua kali dibanding yang tidak menderita
diabetes.152 Bukti menunjukkan bahwa indeks gingiva 1,54 pada kelompok anak
diabetes usia 5-9 tahun dan 1,14 pada kelompok kontrol; akan tetapi, pada
koresponding kelompok anak usia 10-14 tahun, indeks gingiva adalah 1,98 pada
kelompok diabetes dan 1,17 pada kelompok kontrol.158 Lebih jauh lagi, indeks
perdarahan gingiva secara signifikan berkorelasi dengan usia dan kadar gula
darah.154 Sama halnya dengan tingkat inflamasi gingiva pada orang dewasa
dengan T2DM yang lebih tinggi daripada orang dewasa tanpa diabetes. Hampir
64% pasien T2DM menderita gingivitis; akan tetapi, hanya 50% orang tanpa
diabetes yang menderita gingivitis.152 Derajat kontrol metabolisme pada penderita
diabetes merupakan faktor penting dalam perkembangan dan progres gingivitis;
kontrol yang bagus secara signifikan akan mengurangi prevalensi gingivitis. 155-156
Pada percobaan hewan, diabetes menuju ke terjadinya peningkatan produksi TNF
di epitel dan jaringan ikat.157
Infeksi periodontal menyebabkan peningkatan apoptosis fibroblas pada sel
epitel dan jaringan ikat yang secara signifikan diperparah oleh adanya diabetes
lewat mekanisme caspase-3-dependent.157 Apoptosis dan adanya diabetes yang
52

memperparah inflamasi mempengaruhi gingiva dengan menyababkan hilangnya


fungsi pelindung epitel danterhambatnya proses penyembuhan. 158-159 Penelitian
pada hewan menunjukkan bahwa kadar TNF- yang tinggi dapat menstimulasi
ekspresi gen pro-apoptotic, yang merangsang terjadinya apoptosis.

96,160

Penelitian

secara in vivo telah menunjukkan bahwa menghambat TNF- dapat mengurangi


apoptosis sel pada jaringan ikat.161
Ligamen periodontal / hilangnya kemampuan untuk melekat
Periodontitis melibatkan hilangnya struktur penyokong gigi berupa
jaringan ikat dan tulang. Hubungan signifikan antara diabetes dan hilangnya
kemampuan perlekatan serta pengontrolan kadar gula secara statistik diteliti.146,162
Odd rasio pasien T1DM dengan hilangnya kemampuan perlekatan adalah 3,84
jika dibandingkan dengan orang tanpa diabetes.163 Sebagai tambahan, lebih dari
25% pasien T1DM dengan kontrol kadar gula yang jelek menunjukkan gejala
hilangnya perlekatan gigi 5 mm, sedangkan 10% pada pasien dengan kontrol
gula yang baik.152 Pasien T2DM secara signifikan juga memperlihatkan gejala
hilangnya kemampuan perlekatan 3 mm. Lebih jauh lagi, prevalensi hilangnya
kemampuan perlekatan sedang sampai berat proporsional terhadap lamanya
menderita diabetes150,164
Tulang Alveolar/ Hilangnya Kepadatan Tulang
Diabetes berpotensi menyebabkan periodontitis dengan berbagai tingkat
keparahan serta mempercepat resorpsi tulang. Persentase hilangnya kepadatan
tulang pada pasien T1DM dengan kontrol gula yang jelek adalah 44% jika
dibandingkan dengan kontrol gula yang jelek dan orang tanpa diabetes, yaitu 28%
dan 24%.

165

Penelitian pada hewan juga menunjukkan bahwa tikus yang diberi

STZ untuk menginduksi T1DM dengan periodontitis menderita kehilangan


kepadatan tulang alveolar

tiga kali lebih tinggi daripada tikus normal.

166-167

Derajat kehilangan kepadatan tulang alveolar secara positif berkorelasi dengan


buruknya kontrol metabolisme.168-169

53

MEKANISME

DIABETES

MEMPERPARAH

KEHILANGAN

KEPADATAN TULANG PERIODONTAL


Proses remodeling tulang dimulai dari resorpsi tulang oleh osteoklas,
diikuti pembentukan tulang baru oleh osteoblas di daerah lakuna resopsi. Dibawah
kondisi fisiologis, aktivitas osteoblas dan osteoklas saling berpasangan, akan
tetapi tidak pada kondisi patologis.118,134 Diabetes mempengaruhi osteoblas dan
osteoklas di periodontium dalam berbagai cara, seperti meningkatkan ekspresi
mediator inflamasi dan rasio RANKL/osteoprotegrin (OPG) serta meningkatkan
kadar AGEs dan ROS (Gambar 1).

Gambar 1 Mekanisme potensial diabetes-terkait kerusakan tulang


alveolar pada penyakit periodontitis. Diabetes meningkatkan rasio
RANKL/OPG dan ekspresi AGEs, ROS serta mediator inflamasi, yang
menginduksi

osteoklastogenesis

dan

apoptosis

osteoblas.

Hal

ini

menyebabkan peningkatan resorpsi tulang dan penurunan formasi dan


reparasi tulang sehingga terjadi kerusakan hebat tulang alveolar pada
penyakit periodontal yang disebabkan patogen bakteri. AGE, advanced
glycation end product; IL, interleukin; OPG, osteoprotegerin; PDL,
periodontal ligament; RANKL, receptor activator on nuclear factor kappa-B
ligand; ROS, reactive oxygen species; TNF, tumor necrosis factor.

54

Pengaruh diabetes tehadap osteoklas pada periodontitis


Diabetes berperan dalam peningkatan formasi osteoklas di area inflamasi.
Tikus dengan T2DM jika dibandingkan dengan kelompok kontrol menunjukkan 2
sampai 4 kali peningkatan jumlah osteoklas setelah infeksi bakteri secara oral
lewat patogen periodontal yang menginduksi periodontitis.111,157,170 Tikus dengan
T1DM dan periodontitis juga memperlihatkan peningkatan jumlah osteoklas 2
sampai 4 kali lebih banyak dibandingkan tikus periodontitis tanpa diabetes.171
Derajat inflamasi yang tinggi dan respon inflamasi yang berkepanjangan
serta adanya periodontitis dilaporkan terdapat pada tikus dengan T1DM dan
T2DM sebagai respon masuknya patogen periodontal. 172-173 Diabetes mengganggu
proses resolusi inflamasi periodontal. Pentingnya resolusi dalam inflamasi
ditunjukkan

dengan

pemberian

resolvin

pada

hewan

yang

menderita

periodontitis174 atau dengan terapi diabetes menggunakan TNF inhibitor.160,170


Diabetes akibat TNF mencegah downregulasi gen-gen yang berhubungan
dengan

pertahanan

host,

apoptosis,

aktivitas

dan

signal

sel,

serta

koagulasi/homeostasis/komplement.175 Pasien dengan periodontitis dan diabetes


secara signifikan mempunyai mediator inflamasi yang tinggi sepert IL-1, TNF-
dan prostaglandin E2 sehingga menyebabkan aktivitas dan pembentukan osteoklas
secara terus-menerus.176 Peningkatan IL-17 dan IL-23 pada pasien periodontitis
dengan T1DM serta ekspresi yang berlebihan dari IL-1 dan IL-6 pada dengan
T2DM telah dilaporkan; dan hal ini menyebabkan osteoklastogenesis dan respon
inflamasi yang memanjang.177-178 Pasien dengan T2DM dan penyakit periodontal
memperlihatkan peningkatan jumlah TNF- dan IL-6, yang juga berhubungan
dengan peningkatan dislipidemia dan lipid peroksida. 179 Hasil ini menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang penting antara T2DM, dislipidemia dan tingkat
keparahan respon inflamasi lokal terhadap infeksi bakteri.179
Interaksi RANKL dengan reseptor (RANK) pada lapisan permukaan
osteoklas adalah salah satu stimulator kuat untuk aktivitas dan pembentukan
osteoklas, dan OPG menghambat formasi osteoklas dengan cara berikatan dengan
RANK dan mencegah akitvitas RANKL.169-170,180 Beberapa penelitian yang
55

memfokuskan pada faktor yang mempengaruhi osteklastogenesis melaporkan


terjadi ekspresi RANKL dan TNF yang berlebihan pada penderita diabetes yang
berkaitan dengan jaringan periodontal.180 Penelitian terhadap hewan menyatakan
bahwa rasio RANK-RANKL/OPG dan jumlah sitokin inflamasi yang lain, seperti
TNF adalah mediator penting dalam teradinya peningkatan osteoklastogenesis
pada penderita diabetes dengan penyakit periodontal.170-171,181 Jumlah rasio TNF
dan RANKL/OPG pada manusia penderita periodontitis tidak terbukti dipengaruhi
oleh kontrol kadar gula yang jelek pada penderita diabetes179,182
Diabetes meningkatkan formasi AGEs di periodontium dan ekspresi
RAGE.183 Gingiva AGEs meningkat baik pada T1DM dan T2DM yang berkaitan
dengan perodontitis; akan tetapi terdapat bukti bahwa subjek dengan T1DM
secara signifikan mempelihatkan persentase sel AGE-positif yang tinggi di epitel
dan

fibroblas

dibandingkan

dengan

T2DM.184

Sel

seperti

osteoklas

mengekspresikan RAGE, yang merupakan faktor positif dalam meregulasi


formasi osteoklas.117 Akumulasi AGE dan interaksi AGEs dengan RAGE
mempengaruhi osteoklastogenesis lewat peningkatan ekspresi aktivator reseptor
RANKL dan downregulasi OPG.185 Telah dibuktikan bahwa interaksi AGE-Rage
pada monosit mengaktivasi transkripsi faktor NF-kB, yang merubah fenotip
monosit/makrofag dan sebagai hasilnya terjadi peningkatan produksi sitokin proinflamasi.186
ROS dikenal sebagai salau satu penyebab diabetes terkait periodontitis.
Invasi bakteri merangsang pelepasan sitokin inflamasi, kemudian meningkatkan
jumlah dan aktivitas neutrofil dan pada akhirnya melepaskan ROS pada
periodontitis.187 Saat resorbsi tulang terjadi, osteoklas yang mengandung NADPHoksidase aktif meproduksi superoksid daripada neutrofil pada subjek normal. 26
Ketidakseimbangan antara produksi ROS dan pertahanan antioksidan akan
menyebabkan peningkatan stres oksidatif.189 Sebagai tambahan, formasi AGEs
juga meningkatkan stres oksidatif di jaringan periodontium. Telah dibuktikan
bahwa ROS tertentu (seperti superoksid dan hidrogen periksida) mengaktivasi
osteoklas dan merangsang pembentukan osteoklas.190 Proses yang sama terjadi

56

pada lipid peroksida yang berhubungan dengan peningkatan penyakit periodontalT2DM dan respon inflamasi yang hebat di jaringan periodontal manusia.179,191
Pengaruh Diabetes terhadap Osteblas pada Periodontitis
Bukti-bukti menyatakan bahwa baik diabetes dan infeksi bakteri pada
periodontitis menyebabkan peningkatan apoptosis sel-sel osteoblas, dengan
demikian mengurangi osseus coupling.

161,192

Baik respon imun bawaan maupun

adaptif yang diinduksi oleh infeksi bakteri penyebabkan kerusakan sel


osteoblas.96,193 Diabetes juga meningkatkan rusaknya sel-sel ligamen periodontal
yang diinduksi oleh infeksi periodontal dengan cara peningkatan apoptosis sel-sel
ini.111,194 Kerusakan ini secara signifikan disebabkan karena ligamen periodontal
mengandung banyak sel yang mampu berdiferensiasi menjadi osteoblas.
Penelitian pada hewan diabetes mengindikasikan bahwa diabetes menyebabkan 2
kali lebih tinggi terjadinya induksi gen-gen yang meregulasi apoptosis osteoblas
dan fibroblas, sedangkan menjadi 5 kali lebih tinggi jika ditambah dengan adanya
infeksi bakteri.97,195
Apoptosis osteoblas adalah komponen kegagalan pembentukan tulang baru
pada hewan diabetes setelah diinduksi dengan penyakit periodontal, yang secara
signifikan ditunjukkan dengan peningkatan formasi tulang ketika hewan diabetes
ditatalaksana dengan bloker-apoptosis spesifik.161
Diabetes mengarah ke upregulasi dari faktor pro-apoptosis osteoblas,
termasuk TNF-, AGEs dan pembentukan ROS, dimana setiap komponen ini
memiliki kontribusi untuk terjadinya apoptosis.163 Hewan dengan T1DM dan
T2DM menunjukkan kadar TNF- yang tinggi sebagai respon infeksi bakteri
dibandingkan dengan kelompok kontrol normo-glikemik.

170,184

Peningkatan TNF-

secara langsung berhubungan dengan perubahan selular pada penderita diabetes


terkait peridontitis.

196

TNF- merusak fungsi osteoblas dengan cara menghambat

diferensiasi osteoblas ketika terjadi inflamasi. Lebih jauh lagi, TNF- dapat
menginduksi apaptosis dengan cara berikatan dengan TNF reseptor-1 yang
merangsang awal mula terjadinya apoptosis.158
Telah dibuktikan bahwa kerusakan tulang alveolar akibat induksi infeksi
bakteri pada penderita diabetes diikuti dengan peningkatan ekspresi RAGE dan
57

inflamasi AGEs di jaringan gingiva.197 AGEs diduga turut mengganggu


diferensiasi osteoblas dan menginduksi apoptosis osteoblas pada penderita
diabetes lewat jalur aktivasi-mitogen protein kinase dan apoptosis sitosolik. 89
Peningkatan kadar AGEs juga ditemukan di periodontium penderita diabetes, dan
interaksi AGE-RAGE menyebabkan peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi
serta menginduksi apoptosis osteoblas.186,198-199 CML-kolagen, suatu AGE yang
ditemukan pada tulang dan serum, menstimulasi apoptotis sel tulang in vivo dan
kultur dari beberapa sel osteoblas, yang dimediasi oleh RAGE.200
Produksi ROS adalah mekanisme lain yang menyebabkan apoptosis pada
penderita diabetes. Inflamasi yang berkepanjangan dan hiperglikemia mengarah
ke akumulasi ROS selular, yang dihubungkan dengan komplikasi diabetes. 199,201
Lebih lanjut lagi, peningkatan stres oksidatif pada jaringan periodontal akan
menginduksi apoptosis osteoblas.202 Telah dibuktikan bahwa ROS menyebabkan
aktivasi kaspase-3,203 yang memediasi apoptosis osteoblas.

BAB III
ANALISIS MASALAH
Tn. Suwarno Bin Basir, 60 tahun, laki-laki, dirawat di bagian penyakit
dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang dengan diagnosis Diabetes
Mellitus Tipe 2 dan Obesitas + Polisitemia Vera Sekunder + Hipertensi
Terkontrol. Os mengeluh giginya rapuh sehingga menimbulkan sensasi nyeri
pada lidah saat os berbicara, sehingga dilakukan pemeriksaan terhadap gigi dan
mulut untuk melihat ada tidaknya fokal infeksi. Pasien tidak merasakan keluhan
seperti sakit gigi atau mulut terasa kering. Pasien selama ini tidak pernah
memeriksaan gigi ke dokter gigi.
58

Riwayat tambal gigi (-) menandakan pasien tidak pernah melakukan


perawatan gigi. Riwayat trauma (-) menandakan bukan etiologi dari gangren
radix. Diabetes mellitus tipe 2 adalah kelainan metabolic dengan ciri hiperglikemi
dan perubahan metabolisme lemak, yang disebabkan oleh ketidakmampuan sel B
untuk memproduksi insulin yang adekuat dalam mengatasi bermacam-macam
resistensi insulin akibat kelebihan nutrisi atau obesitas. Pada pasien ini termasuk
dalam kondisi kelebihan berat badan tingkat berat, berdasarkan indeks masa tubuh
Depkes RI.
Dari riwayat kebiasaan, adanya kebiasaan oral hygne pasien yang buruk
berupa menggosok gigi tidak teratur dan kadang sama sekali tidak pernah, pasien
juga tidak pernah melakukan perawatan/kontrol, dan juga adanya kebiasaaan
mengunyah makanan pada satu sisi yaitu sisi sebelah kanan. Kebiasaan-kebiasaan
ini merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya karies.
Saat dikonsulkan ke bagian Gigi dan Mulut, keadaan umum pasien tampak
kompos mentis, nadi 84 x/m, pernafasan 20 x/m, suhu 36.40 C dan tekanan darah
110/70 mmHg. Menurut index IMT berdasarkan Depkes RI menyatakan keadaan
gizi pasien adalah kelebihan berat badan tingkat berat.
Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan
intra oral bagian mukosa bukal labial dan palatum dalam batas normal namun,
ditemukan debris dan plak di semua regio dan hubungan rahang ortognatia. Debris
disebabkan oleh sisa makanan yang menempel dan indikasi kurangnya
perlindungan kesehatan gigi dan mulut (oral hygiene) pasien. Hal ini menjadi
faktor resiko terjadinya infeksi karena apabila oral hygiene yang buruk jumlah
bakteri yang berkolonisasi di gigi meningkat 2-10 kali lipat dan memungkinkan
lebih banyak bakteri melewati jaringan dan masuk ke pembuluh darah,
menimbulkan peningkatan prevalensi dan besarnya bakteremia.
Pada status lokalis, ditemukan adanya karies dentin pada 14 dan 43, karies
email pada 33, 34, 35, 36, 44, 45. Karies dentin menandakan bahwa kedalaman
karies telah mengenai dentin (D4). Rasa ngilu tidak ada karena belum mengenai
tubuli dentin yang terbuka. Karies email hanya terbatas pada bagian enamel gigi

59

pasien. Adanya gangren radiks gigi 12, 28 dan 46 yang berati terdapat sisa akar
pada gigi 12, 28 dan 46 yang merupakan tempat subur bagi perkembangbiakan
bakteri. Kemungkinan terjadinya gangren radix pada pasien ini adalah akibat dari
karies yang tidak ditatalaksana lanjut.
Pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 dan 2 memiliki banyak
komplikasi jangka panjang. Penelitian epidemiologi mengindikasikan keparahan
komplikasi diabetes mellitus berbanding lurus dengan tingkat hiperglikemik.
Sebagai tambahan dari komplikasi diatas, diabetes dapat mempengaruhi
metabolisme tulang. Penelitian manusia mengenai diabetes melitus secara umum
menunjukkan adanya peningkatan osteoklastogenesis. Manusia dengan T2DM
memiliki kadar asam resisten tartar fosfatase sirkulasi yang meningkat sehingga
mengindikasikan peningkatan aktivitas osteoklas.
Penelitian cross-sectional dan longitudinal mengidentifikasi bahwa resiko
terjadinya periodontitis 3-4 kali lebih tinggi pada orang dengan diabetes
dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. Periodontitis melibatkan hilangnya
struktur penyokong gigi berupa jaringan ikat dan tulang. Diabetes meningkatkan
rasio RANKL/OPG dan ekspresi AGEs, ROS serta mediator inflamasi, yang
menginduksi osteoklastogenesis dan apoptosis osteoblas. Hal ini menyebabkan
peningkatan resorpsi tulang dan penurunan formasi dan reparasi tulang sehingga
terjadi kerusakan hebat tulang alveolar pada penyakit periodontal yang disebabkan
patogen bakteri.
Rencana terapi yang diberikan pada pasien ini adalah scaling untuk
membersihkan calculus pada semua regio, pro ekstraksi gangren radiks kemudian
dilakukan pro konservatif untuk membersihkan karies dan erosi dan luksasi grade
II pada gigi 25. Selain dilakukan beberapa rencana tindakan juga dilakukan
perawatan dengan menjaga oral hygiene pasien. Mengedukasikan kepada pasien
mengenai oral hygiene untuk mengatasi adanya komplikasi yang lebih lanjut.
Edukasi juga dilakukan pada pasien dalam pemilihan makanan seperti
menghindari makanan yang keras, terlalu panas dan yang mengandung banyak
gula seperti yang dikonsumsi dalam intensitas sering dan jumlah yang banyak, hal
tersebut diharapkan dapat mengontrol gula darah didalam tubuh pasien tetap
60

dalam batasan terkontrol. Pasien juga diajarkan cara menyikat gigi yang benar dan
teratur serta pentingnya memberitahu kepada pasien mengenai kunjungan ke
dokter gigi setiap 6 bulan.

DAFTAR PUSTAKA
1

Kaul K, Tarr JM, Ahmad SI et al. Introduction to diabetes mellitus. Adv

Exp Med Biol 2012; 771: 111.


Padgett LE, Broniowska KA, Hansen PA et al. The role of reactive
oxygen species and proinflammatory cytokines in type 1 diabetes

pathogenesis. Ann N Y Acad Sci 2013;1281: 1635.


Vanbelle TL, Coppieters KT, von Herrath MG. Type 1 diabetes: etiology,

immunology, and therapeutic strategies. Physiol Rev 2011; 91(1): 79118.


Nolan CJ, Damm P, Prentki M. Type 2 diabetes across generations: from
pathophysiology to prevention and management. Lancet 2011; 378(9786):

169181.
Giacco F, Brownlee M. Oxidative stress and diabetic complications. Circ
Res 2010; 107(9): 10581070.

61

Brownlee M. Biochemistry and molecular cell biology of diabetic

complications. Nature 2001; 414(6865): 813820.


Ding Y, Kantarci A, Hasturk H et al. Activation of RAGE induces
elevated O2- generation by mononuclear phagocytes in diabetes. J Leukoc

Biol 2007; 81(2): 520527.


Lix, Kolltveit, Tronstad L, Olsen I. Systemic diseases caused by oral

infection. Clinical Microbiology Reviews 2000 Oct; 547-58.


Sonis ST, Fazio RC, Fang L. Principles and practice of oral medicine. 2nd
ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1995. p.399-415.

62

Você também pode gostar