Você está na página 1de 5

Reaksi-reaksi kulit fotosensitif terjadi ketika kulit manusia bereaksi tidak normal dengan radiasi

ultraviolet atau sinar tampak. Bentuk-bentuk fotosensitifitas adalah fototoksisitas dan fotoalergi.
Gangguan-gangguan fototoksik memiliki tingkat kejadian yang tinggi, sedangkan reaksi-reaksi
fotoalergi jauh lebih jarang pada populasi manusia. Ada ratusan zat, bahan kimia, atau obat-obatan
yang bisa memicu reaksi fototoksik dan fotoalergi. Untuk menghindari reaksi-reaksi fotosensitif kita
perlu menentukn sifat-sifat fotosensitisasi dari zat-zat tersebut sebelum obat diberikan pada terapi
atau sebelum produk dijual di pasaran. Artikel kali ini mereview mekanisme-mekanisme
fotosensitisasi, menjelaskan perbedaan-perbedaan paling penting antara reaksi fototoksik dan
reaksi fotoalergi, merangkum fotosensitizer yang paling umum, dan menyajikan gambaran klinis
serta prosedur diagnostik dari reaksi fototoksik dan fotoalergi.

Sejarah
Reaksi-reaksi fotosensitif telah diketahui selama ribuan tahun. Pada masyarakat Mesir, India, dan
Yunani kuno, ekstrak-ekstrak tanaman yang mengandung psoralen digabungkan dengan cahaya
matahari untuk mengobati penyakit kulit.
Pada tahun 1897, laporan-laporan dermatitis setelah kontak dengan wortel parsnip dan/atau
angelica mulai muncul di Amerika Serikat dan Inggris, dan pada tahun 1916, E. Freund mengamati
karakteristik lesi-lesi berhyperpigmentasi yang dia kaitkan dengan eau de cologne yang
mengandung minyak bergamot. Sayangnya, tak satupun dari peneliti yang memberikan perhatian
terhadap pentingnya radiasi ultraviolet (UVR) utuk terjadinya reaksi ini.
Pada tahun 1938, H. Kuske menunjukkan bahwa senyawa furokumarin dari tanaman dapat
menyebabkan fotosensitisasi, dan tidak lama setelah itu, T. Jensen dan K. G. Hansen melaporkan
bahwa UVR antara gelombang 320 sampai 380 nm dapat menyebabkan reaksi maksimum. Pada
tahun 1967, beberapa peneliti Inggris menemukan bahwa minyak kayu cendana yang digunakan
dalam sunscreen dan kosmetik menyebabkan fotoalergi. Tidak lama kemudian, para ilmuwan
Perancis menunjukkan bahwa minyak bergamot dalam suscreen menyebabkan gangguan
fotosensitifitas, dan peneliti Jerman berhasil mengisolasi agen-agen fotoreaktif dari cologne, parfum,
dan kontrasepsi oral.
Para peneliti telah mempublikasikan daftar agen fotoreaktif yang ditemukan pada ratusan zat, bahan
kimia, dan obat-obatan. Untuk menghindari reaksi-reaksi fotosensitifitas, para ilmuwan mencoba
untuk menentukan sifat-sifat fotosensitisasi dari zat-zat ini sebelum obat dipergunakan dalam terapi
atau sebelum produk dipasarkan. Belakangan ini penelitian difokuskan pada pengidentifikasian agen
fotoreaktif yang dapat ditemukan dalam produk-produk dan bagaimana mencegah atau
mengendalikan masalah-masalah fotosensitifitas ini.
Reaksi Fotosensitifitas
Fotosensitifitas adalah sebuah reaksi kutaneous berbahya yang terjadi ketika zat kimia atau obat
tertentu diaplikasikan secara topikal atau sistemik pada saat yang bersamaan dengan keterpaparan
terhadap UVR atau sinar tampak. Reaksi-reaksi fotosensitifitas bisa dikelompokkan secara lebih
khusus sebagai reaksi fototoksik atau fotoalergi. Fototoksisitas jauh lebih umum dibanding

fotoalergi.
Reaksi-reaksi fotosensitifitas sangat sulit diprediksi. Reaksi-reaksi ini bisa terjadi pada orang usia
berapapun meski lebih umum pada orang dewasa dibanding pada anak-anak, kemungkinan karena
orang dewasa biasanya terpapar terhadap lebih banyak pengobatan dan agen-agen topikal.
Besarnya fotosensitifitas berbeda-beda untuk setiap orang; meski memiliki imbas yang sama tidak
setiap orang akan mengalami fotoreaksi. Seseorang yang mengalami fotoreaksi setelah satu kali
keterpaparan terhadap sebuah agen mungkin tidak akan bereaksi pada agen yang sama setelah
keterpaparan berulang; disisi lain, orang yang alergi terhadap salah satu zat kimia bisa mengalami
fotosensitifitas yang terkait dengan bahan kimia.
Beberapa faktor, seperti kuantitas dan lokasi bahan-kimia atau obat pada/dalam kulit; kuantitas,
spektrum, dan penetrasi radiasi pengaktivasi; ketebalan lapisan horny; besarnya pigmentsi melanin;
status imunologi orang yang terkena, bisa mempengaruhi gambaran reaksi fotosensitifitas. Status
imunologi seseorang sangat penting karena reaksi-reaksi fotosensitifitas sering ditemukan pada
pasien-pasien yang terinfeksi AIDS (HIV). Jika pasien menunjukkan masalah kulit berkenaan
dengan cahaya yang tidak diketahui asal usulnya, maka kemungkinan infeksi HIV patut dicurigai.
Fototoksisitas adalah sebuah bentuk fotosensitifitas yang tidak tergantung pada respon imunologi.
Reaksi-reaksi fototoksik tergantung pada dosis dan akan terjadi pada hampir setiap orang yang
menggunakan atau mengaplikasikan banyak agen pemicu dan UVR, tetapi dosis yang diperlukan
untuk menimbulkan reaksi ini berbeda-beda pada setiap orang. Reaksi-reaksi fototoksik bisa muncul
pada keterpaparan pertama terhadap agen dan menunjukkan tidak ada sensitifitas-silang terhadap
agen-agen yang terkait secara kimiawi.
Fotoalergi adalah sebuah bentuk fotosensitifitas yang dimediasi oleh sistem kekebalan. Reaksi
fotoalergi terjadi hanya pada orang yang tersensitisasi dan tidak tergantung dosis, walaupun orang
yang tersensitisasi kemungkinan mengalami reaksi ynag lebih kuat jika dosis lebih besar. Agen-agen
kimia melalui sensitifitas-silang atau alerginisias-silang dapat menyebabkan erupsi-erupsi. Pada
reaksi-silang seperti ini, fotosensitifitas terhadap salah satu bahan kimia meningkatkan
kecenderungan seseorang untuk fotosensitifitas terhadap agen kimia selanjutnya.
Fotosensitizer
Agen-agen fotoreaktif atau fotosensitizer adalah zat-zat kimia yang dapat menimbulkan fotoreaksi.
Bahan kimia bisa berupa obat terapeutik, kosmetik, bahan industri, atau bahan pertanian. Reaksireaksi fotosensitifitas bisa diakibatkan oleh fotosensitizer kimia yang diaplikasikan secara topikal,
oral, atau suntik. Pada kebanyakan kasus, mekanisme yang digunakan adalah mekanisme
fototoksisitas, meski beberapa agen menyebabkan fotoalergi, dan untuk beberapa agen
mekanismenya masih belum pasti, atau kedua mekanisme bisa terlibat bersama-saama.
Kebanyakan reaksi fototoksik terjadi akibat pemberian agen secara sistemik; reaksi-reaksi fotoalergi
bisa diakibatkan baik oleh pemberian agen secara topikal maupun sistemik.
Bahan-bahan yang digunakan setiap hari seperti parfum, sabun, deodorant, losion, minyak rambut
dan krim kosmetik, pemanis buatan, produk-produk petroleum, tattoo, dan makanan tertentu bisa
mengandung agen-agen fotoreaktif.

Banyak pengobatan yang umum digunakan terkait dengan reaksi-reaksi fotosensitifitas, tetapi
frekuensi yang digunakan masing-masing obat untuk memicu respon ini sedikit bervariasi pada
populasi manusia. Pengobatan yang lebih umum digunakan, yang mengandung agen-agen
fotoreaktif antara lain antibiotik (tetrasiklin, fluoroqiunolon, sulfonamida, dll), NSAID, obat-obat
kardiovaskular, diuretik, obat-obat antidiabetes, antipsikotik, antihistamin, agen-agen kulit, dan lainlain. Beberapa obat yang umum dan mekanismenya ditunjukkan pada Tabel.
Fotosensitizer yang diaplikasikan secara topikal, salisilailida terhalogenasi, benzokai dalam sabun
dan produk-produk rumah-tangga lainnya, atau musk ambrette dalam losion cukur; dan stilbenes
pada pemutih adalah penyebab erupsi fotoalergi yang paling sering.
Efek berbahaya yang umum dari beberapa agen anti-infeksi dan turunannya adalah reaksi-reaksi
fotosensitifitas. Kebanyakan diantaranya adalah hidrokarbon siklik dan trisiklik, seringkali
mengandung sebuah isopren berikatan-rangkap alternatif atau nukleus nafthyridin. Fluoroquinolon,
agen-agen antibakteri, juga diketahui menyebabkan fotosensitifitas sebagai sebuah efek berbahaya,
dan reaktifitas-silangya telah ditemukan secara klinis. Penelitian-penelitian empiris menunjukkan
bahwa pefloxacin dan flreroxacin adalah fotosensitizer paling potensial sedangkan enoxacin,
norfloxacin, dan ofloxacin kurang potensial. Tetrasiklin adalah contoh bahaya fototoksin dari
antibiotik. Dianaranya, turunan-turunan klorin paling sering menyebabkan fototoksisitas.
Obat-obatan yang dibuat dari sulfat (antibakteri sulfonamida, hypoglikemik, diuretik) telah diketahui
sebagai penyebab reaksi-reaksi fotosesitifitas sejak tahun 1939 ketika S. Epstein perama kali
melaporkan dermatitis kontak fotoalergi setelah injeksi sulfanilamida intradermal.
Sunscreen membantu mengurangi efek UVR, tetapi beberapa sunscreen mengandung komponenkomponen yang menyebabkan fotosensitifitas itu sendiri. Diantaranya, asam para-amino benzoat
(PABA) paling sering menyebabkan reaksi fotosensitifitas; benzofenon berada pada urutan kedua
dalam menyebabkan reaksi-reaksi kulit.
Penggunaan produk-produk yang mengandung agen-agen fotoreaktif bisa memperburuk penyakitpenyakit kulit yang telah ada (eczem, herpes, dll) dan juga memicu atau memperburuk penyakitpenyakit autoimun (lupus erythematosus, rheumatoid arthritis).
Mekanisme fototoksisitas dan fotoalergi
Cahaya matahari memegang peranan peting dalam proses fotobiologis. Akan tetapi, cahaya
matahari yang memberi kita hidup juga bisa menyebabkan morbiditas signifikan dalam bentuk lukabakar matahari, reaksi obat, penyakit fotosensitif, dan fotoaging. Episode-episode fototrauma yag
rekuren selama masa hidup dapat menyebabkanterjadinya kanker kulit.
Transformasi H menjadi He pada interior matahari melepaskan banyak energi yang mencapai
permukaan bumi dalam bentuk radiasi elektromagnetik (EMR); sinar-x, sinar kosmis, gelombang
listrik, gelombang radio, infrared, sinar tampak, dan UVR. Reaksi-reaksi fotosensitifitas bisa
ditimbulkan oleh range spektrum EMR yang terbatas, mencakup UVR (200 400 nm) dan siar
tampak (400 800 nm). Spektrum UVR dibagi menjadi UVB=290-320 nm, UVA=320-400 nm (UVA

II=320-340 nm dan UVAA I=340-400 nm), dan UVC=200-290 nm. Hanya UVA dan UVB yang terlibat
dalam reaksi-reaksi fotosensitiftas karena UVC dihambat oleh lapisan ozon pada atmosfer.
Gelombang spektrum sunburn, UVB, adalah faktor utama dalam fotoaging dan fotokarsinogenesis;
UVA utamanya bertanggungjawab untuk reaksi-reaksi fotosensitifitas karena penetrasinya yang
lebih dalam kedalam kulit dan memberikan kontribusi bagi fototrauma. UVB hanya menembus
kedalam epidermis dan dermis papillary, sedangkan UVA menembus kedalam dermis retikular. Sinar
UVB tidak menembus kaca jendela, sedangkan sinar UVA dan sinar tampak dapat menembusnya.
Sinar-sinar UVA tidak berbeda intensiasnya seiring waktu dalam hari atau musim jika dibandingkan
dengan UVB.
Reaksir-reaksi fotosensitifitas bisa terjadi pada keterpaparan terhadap baik UVA maupun UVB, tetapi
lebih besar kemungkinanya terjadi pada range UVA.
EMR merambat dalam bentuk gelombang yang mengandung foton. Absorpsi foton sangat penting
bagi fototoksisitas dan fotoalergi. Absorpsi menginduksi perpindahan sebuah elektron ke kulit
elektron terluar yang kosong dan menyebabkan sebuah kondisi yang dikenal sebagai keadaan
tereksitasi. Setelah ini, satu dari dua jenis reaksi terjadi.
Pada reaksi fototoksik, bahan kimia yang terfotoaktivasi menyebabkan kerusakan sel secara
langsung; tidak ada periode sensitisasi yang diperlukan, dan mekanisme ini tidak terkait dengan
imunologi, sehingga bisa dimanifesasikan selama keterpaparan awal. Reaksi ini tergantung pada
jumlah senyawa, kadar radiasi pengaktivasi, dan kuantitas kromofor lain dalam kulit.
Absorpsi UVR menghasilkan bahan kimia atau metabolit dalam keadaan tereksitasi, yang pada
giliranya bisa mengikuti salah satu dari dua jaur yang menyebabkan fotosensitisasi. Jalur pertama
terjadi melalui pembentukan sebuah radikal bebas dan jalur kedua melalui pembentukan oksigen
singlet, yang pada gilirannya menghasilkan oksidasi biomolekul, merusak komponen sel yang
penting dan memicu pelepasan mediator eritrogenik.
Reaksi fotoalergi bisa tidak terprediksi. Reaksi ini dimediasi oleh sistem imun dan ditentukan oleh
baik respon hypersensitifitas lambat maupun reaksi hypersensitifitas cepat sebagai akibat dari
respon IgE terhadap UVR. Masa inkubasi untuk memori imunologi untuk berkembang setelah
kontak pertama dengan fotosensitizer diperlukan, sehingga tidak ada reaksi pada keterpaparan
pertama. Pada keterpaparan selanjunya, timbulnya respon lebih singkat.
Bukti paling pertama tentang jalur fotosensitifitas yang dimediasi sistem imun diperoleh dari
penelitian degan 3,3'4',5-tetraklorosalisilailida, sebuah agen fotosensitisasi kontak alergik. Tipe
fotoalergi tertunda sedikit mirip dengan dermatitis alergi: fotoantigen (hapten) dipresenasikan oleh
sel-sel Langerhans pideral pada limfosit-limfosit T dengan semua ciri selanjutnya dari respon
hypersensitifitas kulit tertunda dari ifiltrasi limfosit, pelepasan limfokin, aktivasi sel-sel mast, dan
kenampakan sitokin yang meningkat.
Akan bermanfaat untuk menentukan mekanisme pasti dari reaksi-reaksi fotosensitifitas karena
fototoksisitas tergantung dosis, dan pengurangan dosis atau jumlah radiasi juga bisa membantu
meminimalisir reaksi. Reaksi-reaksi fotoalergi tidak secara signifikan berubah dengan perubahan

parameter-parameter ini. Sayangnya, beberapa agen memiliki mekanisme fototoksik dan fotoalergik,
dan terkadang sulit secara klinis untuk membedaka antara kedua tipe reaksi ini.

Você também pode gostar