Você está na página 1de 7

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca,
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya
miliki sangat kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.
Pontianak, 01 November 2014

Penyusun

Daftar Isi

BAB 13
ORIENTASI SYARIAT ISLAM
Perbincangan seputar kebangkitan (ummat) Islam selalu menjadi agenda
penting dalam puluhan pendapat, ratusan seminar dan sekian banyak
simposium yang telah dilaksanakan seiring dengan momentum globalisasireformasi dan era millenium III. Namun, pada kenyataannya ummat Islam
dewasa ini masih terbelakang dalam hampir setiap aspek kehidupan. Kenyataan
pahit ini senantiasa dibayang-bayangi oleh opini umum yang notabene
mendiskreditkan dunia Islam dan ummatnya, melalui HAM, feminisme,
demokratisasi, serta slogan hegemoni lainnya. Sehingga jadilah Islam sebagai
pihak tertuduh, yang dengan susah payah harus membela aqidah dan syariatnya
agar bisa diterima dunia internasional.
Banyak usaha ummat Islam dalam menangkis berbagai tuduhan Barat
terhadap Islam, dengan merelakan syariat Islam sebagai objek tuduhan yang
harus dibenahi, terbuka dan tidak terpaku pada tradisi masa lalu (baca : masa
Rasulullah SAW), sebagaimana pendapat DR. Ismael Serageldin, wakil Presiden
Bank Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan. Masih dalam upaya menangkis
tuduhan. Pusat Studi Islam Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia (PSILPUII) Yogyakarta mengadakan simposium tiga hari guna merombak bab-bab fiqh
wanita yang dianggap kuno dan diskriminatif. Hasil simposium ini antara lain
reinterprestasi terhadap surat Annur:31 tentang aurat wanita yaitu perlunya
penyesuaian dengan konteks sosio-lokal dimana wanita itu tinggal, (Gatra, 23
Desember 1995). Sedangkan Dr, Hasan Turaby dalam suatu wawancara dengan
sebuah majalah terbitan Jerman mengatakan bahwa Syariat Islam telah
mengalami evolusi sewaktu menjawab tentang hukum potong tangan bagi
pencuri dan qital bagi orang-orang yang murtad, yang hal tersebut tidak
diterapkan di Sudan. Hukum-hukum Huhud hanya berlaku pada masa lalu saja
dan dengan evolusinya syariat Islam dan perubahan zaman, maka sudah tidak
berlaku lagi.
Lalu bagaimanakah sebenarnya kemampuan syariat Islam dalam
menghadapi zaman modern ini? Perlukah ia berevolusi mengikuti perkembangan
zaman? Dan akan bangkitkah ummat Islam apabila berpegang teguh pada
syariat Islam atau justru akan terpuruk?
SYARIAT & KEIMANAN
Dalam pandangan Islam, setiap amal perbuatan manusia tidak memiliki
status hukum (wajib, sunah, mubah, makruh atau haram), sebelum datangnya
persyaratan syara. Allah SWT berfirman :
Dan Kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul,(QS Al
Israa:15)
Berdasarkan ayat tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa Allah
SWT, memberikan jaminan kepada hamba-Nya bahwa tidak akan datang azab
kepada hamba-Nya sebelum diutus Rasul-Nya. Jadi, mereka tidak akan dimintai

pertanggung jawaban atas perbuatan yang mereka lakukan, sebab mereka


belum terbebani suatu hukum apapun. Namun, tatkala Allah SWT mengutus
seseorang rasul kepada mereka, maka terikatlah mereka dengan risalah yang
dibawa oleh rasul tersebut. Allah SWT berfirman:
Mereka selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
rasul-rasul itu. (QS An Nissa 165)
Dengan demikian, siapapun yang tidak beriman kepada Rasul tersebut,
pasti ia akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak, tentang
ketidakimanannya dan ketidakterikatannya terhadap aturan-aturan yang dibawa
rasul tersebut, begitu pula bagi yang beriman kepada Rasul dan mengikatkan
pada hukum yang dibawanya, ia pun akan dimintai pertanggung jawaban
tentang penyelewengan terhadap sebagian hukum dari hukum-hukum yang
dibawa rasul tersebut.
Untuk itu seluruh kaum muslimin diperintahkan melakukan amal
perbuatannya sesuai dengan hukum Islam, karena kewajiban atas mereka untuk
menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah
SWT. Allah SWT berfirman :
....apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanah... (QS Al Hasyr : 7)
Tidak berarti dikatakan disini, barangsiapa yang tidak datang kepadanya
suatu perintah atau larangan dari rasul secara langsung (karena masa Rasul
SAW. Telah berlalu) maka ia tidak termasuk mukallaf (orang yang terbebani
hukum). Sebab beban hukum menurut syra adalah aam (bersifat umum)
sebagaimana umumnya risalah untuk seluruh manusia. Sebagaimana firman
Allah:
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah
untuk kaum semuanya. (QS Al Araf : 158)
Dengan demikian, setiap muslim yang hendak melakukan suatu perbuatan
untuk memenuhi kebutuhannya atau mencari suatu kemaslahatan, maka wajib
baginya secara syari mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut
sebelum ia melakukannya sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum
syara.
Sesungguhnya Islam tegak diatas pilar yang kokoh dan mendasar yaitu AlQuran yang mulia dan as Sunnah yang penuh hikmah. Islam akan memberikan
kemuliaan kepada siapa saja yang penuh keimanan kepada aqidah Islam dan
menjadikan syariat Islam sebagai penuntun dalam mengarungi samudera
kehidupan. Bahkan Islam telah menjadikan ummatnya sebagai ummat yang
harus memberikan kebenaran ini kepada manusia yang lain seluruhnya
sebagaimana firman Allah SWT :

Dan diantara orang-orang yang kami ciptakan ada ummat yang memberi
petunjuk dengan hak dan dengan yang hak itu mereka menjalankan keadilan
(QS Al Araf : 81)
Dengan demikian syariat Islam yang berarti seruan Syaari (pembuat
hukum yaitu Allah SWT) yang berkenaan dengan seluruh aspek kegiatan hambaNya (manusia) adalah sebuah konsekuensi setelah seseorang itu beriman kepada
Allah SWT sebagai Al-Khaliq (Sang Pencipta dan Rabbnya). Karena seluruh
syariat ini telah tercantum dalam Al-Quran dan telah dibawa oleh Rasulullah
SAW. Yang telah diimaninya terlebih dahulu, maka apabila seseorang
mengingkari hukum-hukum syara secara keseluruhan atau sebagian darinya
dapat menyebabkan ia kufur. Baik hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadah,
muamalah, uquba (sanksi) maupun math umat (makanan) (Kitab Syakhshiyah,
juz I Hal 126) . Maka kufur kepada ayat,
Dirikanlah shalat.... (QS Al Baqarah : 43)
Sebenarnya sama saja dengan kufur terhadap ayat :
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan
keduanya (QS Al Maidah : 38)
Dengan demikian, iman terhadap pengalaman syariat Islam menghendaki
penyerahan mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana
firman Allah SWT :
Maka demi Rabbmu mereka itu pada hakikatnya tidak beriman sebelum mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus hukum) terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati
mereka suatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka
menerima dengan sepenuhnya. (QS An Nisa : 65)
KEISTIMEWAAN SYARIAT ISLAM
Keterbelakangan ummat Islam dan cengkeraman pemikiran-pemikiran
asing membuat kaum muslimin beranggapan (sekaligus meyakini) bahwa Islam
itu bersifat elastis, fleksibel dan berjalan sesuai dengan perkembangan sosial
ekonomi atau politik pada setiap waktu dan tempat dengan berpegang pada
kaidah yang berbunyi : Tidak tertolak adanya perubahan hukum karena adanya
perubahan zaman. Kaidah ini keliru dan tidak pernah dikenal oleh kaum
Muslimin sebelumnya (baca : Masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya).
Berdasarkan kaidah yang keliru inilah kaum muslimin kemudian beraktivitas
berlandaskan realita yang ada. Mereka selalu bertindak untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan. Apabila mereka diingatkan dengan syariat Islam mereka
mengatakan bahwa hukum-hukum itu hanya berlaku khusus untuk waktu
tertentu, sedangkan Islam mengharuskan ummatnya untuk terus menyesuaikan
dengan zaman dan tempat. Disinilah pangkal kekeliruannya, syariat Islam
seharusnya dipahami oleh kaum muslimin sebagai standar. Islam memang
agama perubahan (dienul taghyir) yaitu merubah segala sesuatu yang tidak
Islami menjadi Islami. Islam bersikap tegas terhadap kondisi masyarakat jahiliyah

yang bertuhan banyak (musyrik) dengan meng-Tauhid-kan Allah SWT semata (QS
Al Kafirun, QS Al Ikhlash). Syariat Islam dengan tegas pula mengubah kondisi
masyarakat yang berekonomi jahiliyah-dengan praktik penipuan, penimbunan
harta, riba dan sejenisnya-kepada sistem Islam yang khas (QS Al Muthafifin 1-6,
QS Al Baqarah 278-279)
Islam memerintahkan kaum muslimin untuk memiliki istilah kiblat dan
keyakinan tersendiri yang berbeda dengan keyakinan dan istilah orang-orang
jahiliyah pada saat itu. Dan Islam tidak memerintahkan kaum Muslimin untuk
mengikuti istilah-istilah atau opini umum yang terjadi pada masa itu tetapi
sebaliknya memberikan opini yang sesuai dengan syariat Islam. Inilah hakikat
perubahan dalam Islam.
Adapun keraguan terhadap syariat islam dalam mengantisipasi zaman yang
terus berubah adalah kekhawatiran yang jelas tidak beralasan. Hal ini mengingat
kekhasan syariat Islam yang tidak akan pernah dimiliki aturan lain dikarenakan
aturan Islam merupakan tuntunan yang berasal dari Al Khaliq. Keistimewaan itu
antara lain, (Lihat kitab Dirosat Fikrul Islam, karangan M. Husein Abdullah) :
1. Syariat Islam bersifat menyeluruh. Artinya bahwa syariat Islam mengatur
seluruh asoek kehidupan manusia, baik hubungannya dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun hubungan manusia
dengan sesamanya. Apalagi dengan telah diturunkannya surat An Nahl
ayat 89 dan Al Maidah ayat 3, maka tidak boleh lagi bagi kaum muslimin
yang mengatakan tidak ada hukumnya perbuatan tertentu atau fakta
tertentu.
2. Syariat Islam bersifat luas dan subur bagi pengembangan dan
pengeluaran hukum-hukum baru. Hal ini dikarenakan syariat Islam datang
dengan uslub yang memungkinkan untuk digali ratusan bahkan ribuan
hukum darinya (Al-Qur-an dan Al Hadits). Jadi masalah-masalah
kontemporer seperti transplantasi organ tubuh, cuthanasia, naik kapal
terbang, naik kapal selam, PT, CV dan lain sebagainya akan dapat diberi
status hukumnya oleh syariat Islam dan ini bukan karena syariat Islam
berevolusi-menyesuaikan dirinya dengan zaman yang ada melainkan
karena tabiat syariat Islam yang memang telah Allah SWT, ciptakan
mampu digali dan diistimbatkan bagi berbagai kondisi-perbuatan tertentudengan jalan ijtihad. Adapun kewenangan melakukan ijtihad itu harus
bersandar pada syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Allah dan rasulNya dan para ulama salaf artinya seseorang yang akan berijtihad harus
berkompeten dan memenuhi syarat-syarat seorang mujtahid yaitu fakih
dalam syariat Islam, fakih dalam memahami fakta, serta menguasai
bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran dan Al-Hadist. Dan hal penting
lainnya dalam masalah ijtihad ini adalah bahwa ia berijtihad dalam
masalah yang Islam memang membolehkannya yaitu bidang syariat yang
nash-nashnya masih dzanny (memungkinkan terjadinya beberapa
penafsiran). Adapun untuk nash yang telah qathi, seperti aqidah dan
syariat dalam masalah hudud-misalnya-maka tidak diperkenankan.
HIKMAH SYARIAT ISLAM

Keterikatan terhadap syariat Islam akan mewujudkan kedaulatan bagi


syara dan menentukan syara sebagai standar perbuatan dalam kehidupan.
Dan dengan terealisasikannya kedaulatan hukum syara maka ketentraman
kehidupan, hak-hak dan kemaslahatan ummat manusia akan terjamin,
sebagaimana firman-Nya ;
Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari
Tuhan-mu sebagai petunjuk dan rahmat. (QS Al Anam : 157)
Adapun maksud dari petunjuk dan rahmat dalam ayat tersebut adalah
dengan membawa manfaat bagi manusia atau menjauhkan kemadlaratan
dari dirinya. Inilah yang disebut maslahat yaitu membawa kemanfaat dan
mencegah kerusakan. (Lihat Kitab Fikrul Islam, karangan Ustadz Muhammad
Ismail).

Você também pode gostar