Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PEMBAHASAN
2.1 Bagai mana bisa timbul reaksi alergi
,Reaksi hipersensitivitas atau anafilaksis atau alergi khusus
nya pada alergi type 1 yang lebih sering terjadi adalah reaksi
yang timbul segera sesudah badan terpajan dengan alergen.
Semula diduga bahwa tipe I ini berfungsi untuk melindungi badan
terhadap parasit tertentu terutama cacing. Istilah alergi pertama
kali diperkenalkan oleh Von Pirquet pada tahun 1906, yang
diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah. Pada reaksi ini
allergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon
imun dengan dibentuknya Ig E.
Urutan kejadian reaksi pada alergi adalah sebagai berikut :
1. Fase Sensitasi Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit
dan basofil.
2. Fase Aktivasi Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik,
mastosit melepas isinya
menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor Waktu
yang
terjadi
berisikan
respon
mastosit
granul
yang
yang
kompleks
dengan
aktivasi
farmakologik.
IgE yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah sedikit,
segera
diikat
oleh
mastosit/basofil.
IgE
yang
sudah
ada
Reaksi yang tejadi dapat berupa wheal and flare yaitu eritem
(kemerahan
oleh
karena
dilatasi
vaskular)
dan
edem
cGMP
dalam
sel
berpengaruh
terhadap
degranulasi.
Meskipun bahan alergen itu tidak sampai mengakibatkan kematian namun sangat
mengganggu produktivitas karena menyebabkan penderitanya tidak dapat bekerja maupun
sekolah. Oleh karena alergi menjadi masalah kesehatan yang cukup penting sehingga
patofisiologi yang ditimbulkan oleh IgE lebih diketahui daripada peran IgE pada
fisiologi yang normal. Istilah alergi awalnya berasal dari Clemen Von Pirquet yang artinya adalah
perubahan kemampuan tubuh dalam merespon substansi asing. Definisi ini memang cukup luas
karena mencakup seluruh reaksi imunologi. Alergi saat ini mempunyai definisi yang lebih sempit
yaitu penyakit yang terjadi akibat respon sistem imun terhadap antigen yang tidak berbahaya.
Alergi merupakan salah satu respon sistem imun yang disebut reaksi hipersensitif. Reaksi
hipersensitif merupakan salah satu respon system imun yang berbahaya karena dapat
menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit yang serius. Oleh Coobs dan Gell reaksi
hipersensitif dikelompokkan menjadi empat kelas. Alergi sering disamakan dengan hipersensitif
tipe I.
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan
oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE)
dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan
antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain
untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.
Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang
terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka
terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi
hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu
tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III
hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif
tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory
hipersensitivity.
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk
mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali
keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan
mekanisme yang lainnya.
Gambar 1. Reaksi hipersensitif dimediasi oleh kerja sistem imun dan dapat menimbulkan
kerusakan jaringan. Sejauh ini dikenal ada empat macam tipe hipersensitif. Tipe I-III dimediasi
oleh antibodi dan dibedakan satu sama lain dengan perbedaan antigen yang dikenali dan juga
kelas dari antibodi yang terlibat pada peristiwa tersebut. Hipersensitif tipe I dimediasi oleh IgE
yang menginduksi aktivasi sel mast. Hipersensitif tipe II dan III dimediasi oleh IgG yang
melibatkan reaksi komplemen dan juga sel-sel fagosit. Tingkat keterlibatan komplemen dan
fagosit tergantung pada subklas IgG dan sifat antigen yang terlibat. Hipersensitif tipe II tertuju
pada antigen yang terdapat pada permukan atau matrik sel, sedangkan hipersensitif tipe III
tertuju pada antigen terlarut,dan kerusakan jaringan disebabkan oleh adanya komplek imun. Pada
hipersensitif tipe II yang dimediasi antibodi IgG dimana antibodi berikatan dengan reseptor pada
permukaan sel akan mengganggu fungsi reseptor tersebut.
Gangguan pada reseptor dapat berupa aktivasi sel yang tak terkontrol maupun fungsi
reseptor hilang karena adanya bloking oleh antibodi itu. Hipersensitif tipe IV dimediasi oleh sel
T dan dapat dibagi menjadi tiga grup. Pada grup pertama, kerusakan jaringan disebabkan oleh
aktivasi makrofag
akibat rangsangan sel Th1. Pada mekanisme ini akan terjadi reaksi inflamasi.
Pada grup kedua, kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivasi sel TH2 akibat
adanya reaksi inflamasi. Pada mekanisme ini eosinofil mempunyai peranan
besar dalam menyumbangkan kerusakan jaringan itu. Pada grup ketiga,
kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivitas sel T sitotoksik, CD8.
sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I)
melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik
(tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai
pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE
pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel
mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi
ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada
penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi
serbuk bunga.
Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai
contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang
dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor
kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini
merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel
mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor).
Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel
mast yang berperan pada reaksi tipe I.
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat
biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan
dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast
dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator
farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas
tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang
menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi
tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan
sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel
mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.
Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan
dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan sitokin lainnya yang
akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain.
Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau
eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin,
oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang
pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan
teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain,
terutama eosinofil.
Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di atas bahwa mediator
dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran
sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam
granula sel mast (preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed
mediator). Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator
dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh
mediator primer (mediator sekunder).
Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of
anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).
1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada
dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah
kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji provokasi dengan
alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa
rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas
vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,
hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan
kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi
gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang
usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat
mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat
(anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan
alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu
timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan
ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam
keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga
histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2
diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.
tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada
basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).
Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang
terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit
alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A
dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.
3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)
NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru
manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit
dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya
urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan
cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan
pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di
tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.
Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor
aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur
siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang
berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).
1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan
satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta
tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya
membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat
mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa
bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).
Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat
bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan
kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali
PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin
menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan
pada alergi belum diketahui.
2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang
membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan
kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang
dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta
merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.
Slow reacting substance of anaphylaxis
Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama
dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua
jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari
histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari
histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi
mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat,
yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.
Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan
menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan
memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan
menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar
genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.
Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2.
Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNF, serta GM-CSF tetapi tidak
memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC)
yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian
memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata
sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga
mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan
dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast.
Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit
B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fc (FcRII) pada sel limfosit B.
Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor).
Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNF, tetapi dihambat oleh IFN, IFN,
TGF, PGE2, dan IL-I0
Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat
menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel
basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama pada sel
mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon
activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor)
yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi
pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat
Gambar 12-7).
Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi
eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan
komplemen C5a, LTB4 dan PAF.
Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan
pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta
SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit,
eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah
jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2,
IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan
eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi
hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP
(formil metionil leukosil fenilalanin).
Tipe I : Reaksi Anafilaksis
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang
terikat pada selmast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini
menimbulkan reaksi tipe cepat.
Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe
TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin
yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel B,
yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi
eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast
dan basofil; begitu sel mast dan basofil dipersenjatai, individu yang bersangkutan
diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen
yang sama mengakibatkanpertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade
sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons
awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.
Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi,kebocoran vaskular, dan spasme otot polos,
yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu alergan dan
menghilang setelah 60 menit;
Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa
hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan
kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan
dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa
Mediator Primer
Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting, menyebabkan meningkatnya
permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus.
Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan
menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator
lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya,
triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan
faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).
Mediator Sekunder
Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling
poten; pada
dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam
Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang
tersensitisasi akan muncul rasa gatal,urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,
diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat
dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat
terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,
menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Risiko seseorang terkena alergi berhubungan dengan riwayat alergi dari orang tuanya. Jika
tidak ada satupun orang tua yang mengalami alergi, kesempatan untuk menagalami alergi adalah
kira-kira 15%. Jika satu orang tua alergi, risikonya meningkat sampai 30% dan jika keduaduanya alergi, risikonya lebih besar dari 60%.
Walaupun seseorang mungkin mewarisi kecenderungan alergi, mungkin kenyataanya orang
tersebut tidak pernah mempunyai gejala-gejala. Seseorang juga bisa mewarisi alergi yang tidak
sama seperti orang tuanya. Masih belum jelas apa yang menentukan bahan-bahan yang memicu
reaksi pada orang yang alergi.
Hal lain yang mempengaruhi
tendensi genetik dan terpapar pada alergen sehingga dapat terkena alergi. Sebagai tambahan,
lebih hebat dan sering paparan terhadap alergen dan lebih awal terjadi didalam kehidupan, lebih
mungkin alergi akan berkembang. Ada pengaruh-pengaruh penting lainnya yang dapat
berkomplot untuk menyebabkan kondisi-kondisi alergi, di antaranya adalah merokok, polusi,
infeksi, dan hormon-hormon.
rhinitis alergi) ,
didalam rumah/ruangan,
seperti tungau (dust mites), bulu binatang, debu, atau jamur. Bisa juga disebabkan
oleh serbuk sari. Gejala-gejala yang muncul berasal dari peradangan dari jaringan
yang melapisi bagian dalam hidung (selaput-selaput lendir) setelah alergen dihirup.
Area-area yang berdekatan, seperti telinga, sinus, dan tenggorokan dapat juga
terlibat.
Gejala-gejala yang paling umum adalah:
Hidung meler
Hidung mampet
Bersin
Hidung gatal
Asma
Asma adalah gangguan pernapasan yang berasal dari peradangan dan
spasme dari saluran udara paru-paru (bronchial tubes). Peradangan menyebabkan
penyempitan dari saluran-saluran udara, yang dapat membatasi aliran udara
kedalam dan keluar dari paru-paru. Asma merupakan rekasi alergi yang paling
sering.
Gejala-gejala asma seperti:
Sesak Napas
Batuk
Sesak Dada
Terjadi pembengkakan
Alergi Gatal
Hives (urtikaria) adalah reaksi kulit yang timbul berupa pembengkakkan
yang gatal dan dapat terjadi pada bagian tubuh mana saja. Hives dapat disebabkan
oleh reaksi alergi, seperti pada makanan atau obat-obatan, namun dapat juga terjadi
pada orang-orang yang tidak alergi. Gejala-gejala hives yang khas adalah:
Kulit kemerahan
Allergic Shock
Allergic shock (anaphylactic shock) adalah reaksi alergi yang mengancam
nyawa yang dapat mempengaruhi fungsi beberapa organ pada waktu yang
bersamaan. Reaksi ini secara khas terjadi ketika alergen dimakan (contohnya obat)
atau disuntikakan (contohnya obat injeksi). Beberapa atau seluruh dari gejalagejala berikut dapat terjadi:
Hidung mampet
Tungau
Spora-spora jamur
diare, atau kram perut. Kesulitan bernapas dengan hidung atau reaksi-reaksi kulit
mungkin juga dapat terjadi. Dua kelompok utama alergen yang dicerna adalah:
Kain
Tumbuh-tumbuhan
Zat pewarna
Bahan-bahan kimia
Logam
Kosmetik
Allergic contact dermatitis tidak melibatkan antibodi IgE, namun melibatkan selsel dari sistem imun yang diprogram untuk bereaksi ketika dipicu oleh alergen.
Menyentuh atau menggosok unsur/bahan yang pernah membuat anda sensitif
sebelumnya dapat memicu rash kulit (skin rash).
Yang Disuntikkan Kedalam Tubuh
Reaksi yang paling berat dapat terjadi ketika alergen disuntikan kedalam
tubuh dan mendapat akses langsung ke dalam aliran darah. Akses ini membawa
risiko dari reaksi umum, seperti anaphylaxis, yang dapat membahayakan nyawa.
Berikut adalah alergen yang paling umum disuntikan yang dapat menyebabkan
reaksi alergi yang berat:
Racun serangga
Obat-obatan
Vaksin-vaksin
Untuk mengetahui seseorang apakah menderita penyakit alergi dapat kita periksa
kadar Ig E dalam darah, maka nilainya lebih besar dari nilai normal (0,1-0,4 ug/ml
dalam serum) atau ambang batas tinggi. Lalu pasien tersebut harus melakukan tes
alergi untuk mengetahui bahan/zat apa yang menyebabkan penyakit alergi
(alergen). Untuk mengetahui alergen penyebab alergi, kita bisa melakukan tes
alergi.
ataupun
bertumpuknya
kamar
debu
tidur
sebagai
yang
dapat
rangsangan
menjadi
sarang
timbulnya
reaksi
membutuhkan
perawatan
yang
berbeda-beda
pada
imunoterapi
untuk
menurunkan
kepekaan
anda
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes harus benar, dan cara
melakukan tes harus tepat dan benar.
diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tandatanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi
jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas
parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas
dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong
dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau
a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang
penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
1. Segera berikan adrenalin 0.30.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0.01
mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15
menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus
kontinyu adrenalin 24 ug/menit.
2. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons,
dapat ditambahkan aminofilin 56 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4
0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
3. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 510
mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik
atau syok yang membandel.
4. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama
dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkantekanan
darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara
larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan
kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 34 kali dari
perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 2040% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan
koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume
plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran
juga bisa melepaskan histamin.
5. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan
fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu
dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
6. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah
mendapat terapi adrenalin lebih dari 23 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit
semalam untuk observasi.
Pencegahan Syok Anafilaktik
Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat, tetapi
ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara
lain:
1. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat
alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan
terjadinya syok anafilaktik.
3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat mentoleransi
pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami
reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif
mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 13% dibandingkan dengan kemungkinan
terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
4. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu
resusitasi kegawatan.
Mempertahankan Suhu Tubuh
Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah
kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita
karena akan sangat berbahaya.
Pemberian Cairan
1. Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah, atau
kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
2. Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius dan yang
mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3. Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi kontra.
Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau muntah.
4. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume
interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk
meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
5. Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah
cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan
yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti
dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti
dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid
memerlukan volume 34 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan
larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang.
Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan
ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.
6. Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang
berlebihan.
7. Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan yang
akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk
menghilangkan nyeri.
8. Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada syok
septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ Disfunction).
Diperlukan pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, Swan Ganz kateter, dan
pemeriksaan analisa gas darah.