Você está na página 1de 13

SERUNE KALEE, ALAT MUSIK ACEH

Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh merupakan alat musik khas tradisional
Aceh yang mampu mengalunkan instrumen-instrumen luar biasa yang mengiringi lagu-lagu nan
syahdu maupun heroik yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh sejak
zaman Kerajaan-Kerajaan Aceh sampai sekarang.

Alat musik ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Biasanya alat
musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan,
tarian, penyambutan tamu kehormatan di masa raja diraja zaman keemasan kerajaan Aceh
Darussalam.
Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan
musik yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap
menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.
Serune Kalee merupakan salah satu alat musik tiup tradisional Aceh. Alat musik ini merupakan
salah satu jenis serunai atau clarinet yang tersebar dalam masyarakat Melayu.
1. Asal-usul
Kata Serune Kalee menunjuk pada dua hal yang berbeda. Kata yang pertama, Serune menunjuk
pada alat tiup tradisional Aceh yang sering dimainkan bersama rapai. Sedangkan Kalee adalah
sebutan sebuah nama desa di Laweung, Kabupaten Pidie. Sehingga, Serune Kalee mempunyai
arti serunai dari Kalee. Pemberian nama tersebut mungkin dikaitkan dengan pembuatan atau
pemunculannya.
Peralatan musik ini tidak hanya digunakan oleh masyarakat Aceh, namun juga masyarakat
Minangkabau, Agam, dan beberapa daerah lain di Sumatra Barat. Bahkan, persebaran
perlengkapan ini mencapai Thailand, Srilanka, dan Malaysia. Alat musik sejenis ini juga didapati
di daerah pesisir dan lain dari Provinsi Aceh, seperti Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh
Barat dengan sebutan serupa (Firdaus Burhan, ed. 1986: 81). Masing-masing daerah yang
menggunakan musik jenis ini memberi berbagai macam variasi pada peralatan tersebut, sehingga
bentuk dan namanya juga bermacam-macam. Namun, di antara beberapa variasi serune, terdapat
kesamaan dalam nuansa suara yang dimunculkan, laras nada, vibrasi, volume suara, dinamika
suaranya.

Peralatan ini berbentuk memanjang bulat lurus dan bulat. Bagian atas peralatan ini berbentuk
kecil, kemudian membesar hingga di ujung bagian bawah. Pada tubuhnya terdapat lubanglubang untuk jari dengan ukuran yang cukup besar. Bagian paling bawah peralatan ini membesar
seperti kelopak teratai. Untuk membawa peralatan ini cukup dimasukkan ke dalam kantong yang
diberi pengikat pada tampuk kain, kemudian disandang di bahu.
Berdasarkan data yang ada, peralatan ini sudah ada sejak masuknya Islam ke Aceh. Ada
sebagian yang mengatakan peralatan ini berasal dari Tiongkok (Z. H. Idris, 1993: 48-49).
Terlepas dari asumsi tersebut, pada kenyataannya memang Aceh pada zaman dahulu merupakan
kerajaan yang terbuka. Hal tersebut menjadikan Aceh cukup ramai dikunjungi oleh para
pedagang dari berbagai wilayah di luar negeri. Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636), Aceh mempunyai posisi penting. Pada masa ini kebudayaan di Aceh juga
berkembang dengan pesat, salah satunya adalah bidang kesenian, dengan corak Islam yang
kental.
Saat ini peralatan Serune Kalee masih memegang peranan penting dalam berbagai pertunjukan
kesenian, dalam berbagai upacara, serta acara-acara yang lain. Permainan musik Serune Kalee
menjadi hiburan bagi masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang.
2. Lintasan Sejarah Serunee Kalee
Abad VII M Islam sudah berkembang di Aceh, seorang ulama dari Persi, Syech
Abdullah membawa alat musik yaitu Serunee Kalee untuk mengajak para masyarakat belajar
ilmu agama islam.
Selanjutnya pada abad X seorang ulama besar : Syech Abdul Kadir Zaelani dari Arab / Iraq ke
Aceh untuk mendampingi Tuan Di Kandang Syech Bandar Darussalam yang
bernama Mahdum Abi Abdullah Syech Abdul Rauf Bagdadi untuk memperluas ilmu agama dan
ilmu pengetahuan di Aceh dengan membawa Seni RapaI dan Debus asal Persia.
Serunee Kalee berkembang menjadi alat untuk penyambutan dan memuliakan tamu kenegaraan
yang datang ke Kerajaan Bandar Aceh Darussalam. Serunee Kalee masih digunakan dalam acara
adat-adat pernikahan, penyambutan tamu dan berkesenian di tengah masyarakat Aceh hingga
saat ini.
3. Fungsi Serune Kalee

Serune Kalee sebagai alat primer, berperan membawa lagu yang lebih cenderung instrumentalia.
Serune Kalee dimainkan dengan alunan suara yang terus-menerus dan tidak putus-putus. Suara
tersebut dihasilkan dari teknik meniup dengan mengambil napas dari mulut dan hidung serta
leher. Dengan suara Serune Kalee yang tajam musik akan terdengar dinamik, terkesan heroik,
dan mendatangkan semangat. Gaya musikal Serune Kalee yang khas tidak akan terganggu atau
mengganggu suara lain pada waktu ikut mengiringi alat tabuh semisal rapai (Z. H. Idris, 1993:
53).
Selain digelar dalam berbagai pertunjukan atau sebagai pelengkap alat musik yang lain, alat
musik tradisional ini juga berperan sebagai penunjang dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam
yang berhubungan antarmanusia. Misalnya, upacara perkawinan, melepaskan nazar,
penyambutan tamu, peresmian proyek, dan sebagainya (Z. H. Idris, 1993: 54).
Saat ini peran Serune Kalee bukan hanya berhubungan dengan dakwah Islam, namun juga dalam
berbagai kegiatan yang lain secara umum. Jenis alat musik serupa Serune Kalee juga banyak
tersebar di berbagai daerah, bahkan hingga ke mancanegara.
4. Bentuk Serune Kalee
Wujud dan bentuk peralatan ini seperti pentungan, bulat, dan lurus mulai dari batas atas
(mondstuk) hingga ke bagian bawah (bell). Bagian atas peralatan ini kecil dan membesar di
bagian bawahnya. Di bagian badan atau tubuh terdapat lubang-lubang sebagai tempat
memainkan nada yang diinginkan. Peralatan ini mempunyai warna dasar hitam, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh terlalu banyak dipegang atau memang warna dasar kayu yang
dibuat untuk peralatan ini berwarna hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik
tradisional Aceh.
Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Serune kalee yang terbuat
dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian
pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut
perise.Serune kalee ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis
kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan
bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian
tradisional.
Corak suara yang dihasilkan oleh peralatan ini adalah suara yang sengau (bindeng), serak (roco),
tajam, dinamis, dan mendatangkan semangat ketika mendengarnya. Suara alat ini bisa terdengar
hingga jauh tanpa menggunakan pengeras suara. Mungkin kerasnya suara yang dihasilkan oleh
peralatan dikarenakan bahan baku pembuat Serune yang tua, keras, dan ringan (Z. H. Idris,
1993: 51).
Pada peralatan ini tidak ada ornamen atau hiasan yang mencolok. Hanya berupa ukiran pada
badan Serune Kalee. Ukiran ini tergurat dalam bentuk lurus mengelilingi badan Serune Kalee
agar Serune Kalee tampak indah dan terkesan canggih. Pada bagian atas dekat mondstuck
terdapat sebuah ring yang berfungsi sebagai pengaman agar peralatan ini tidak mudah retak.
Selain itu, ring juga difungsikan sebagai hiasan. Bagian bell kadang dilapisi dengan plat perak
yang diberi sedikit ukiran. Tidak ada makna secara simbolis untuk ukiran ini. Bila peralatan ini
kita balik dengan bagian atas berada di bawah akan terlihat seperti sebuah pentungan atau
pemukul beduk.

5. Cara Pembuatan
Bahan utama untuk membuat Serune adalah kayu yang kuat dan keras, namun ringan.
Batang kayu yang akan dibuat Serune direndam terlebih dahulu selama tiga bulan. Kemudian
ditarah sehingga yang tersisa adalah hati kayunya saja. Setelah itu kayu dibor dan dibubut mulai
dari atas hingga ke bawah, sehingga membentuk lubang yang panjang lurus dengan garis tengah
2 cm. Selain membuat lubang pada kayu juga memerlukan bantuan korekan dengan pisau
panjang dan perataan lubang dengan besi panas. Kemudian membuat lubang sebanyak tujuh
buah, enam yang berada di atas atau bagian muka dan digunakan untuk interval nada, dan satu
lagi berada di bawah yang tidak mempunyai utama. Meski tidak mempunyai fungsi utama ketika
alat musik ini dimainkan, bila lubang bawah ini tidak ada, semua nada akan berubah dan alat
musik ini sulit dibunyikan.
Ratt dibuat dari daun lontar. Daun lontar untuk membuat bagian ini adalah daun lontar
yang baik dan tidak terlalu tebal. Setiap ritt terdiri dari dua helai daun lontar. Ritt tersebut
dihubungkan dengan lipai yang kemudian disambung dengan badan Serune Kalee. Pada bagian
ujung tempat meniup Serune Kalee terdapat penahan bibir yang disebut perise sebagai
penahan bibir pada waktu meniup. Bentuknya agak cembung ke depan menyesuaikan dengan
bentuk bibir sehingga angin yang dihembuskan melalui bibir tidak akan keluar. Bahan untuk
membuatnya adalah tempurung kelapa. Bagian ini juga diukir berbagai bentuk ornamen dengan
ukuran panjang 6-8 cm dan lebar bagian tengah sekitar 4 cm.
Proses pembuatan Serunee Kalee tidak didahului dengan upacara sebagaimana yang
biasanya dilakukan oleh masyarakat Aceh. Pembuatan alat musik ini juga tidak melibatkan
kekuatan gaib atau sihir. Saat ini, pembuat atau pengrajin alat musik tiup tradisional ini tinggal
beberapa orang. Selain hanya beberapa orang yang tersisa, jarang ada pemesanan pembuatan
Serune Kalee.
6.Cara Memainkan Serune Kalee
Alat musik tradisional ini ditiup dengan posisi vertikal. Pemain alat ini dapat meniupnya
sambil berdiri, duduk bersila di atas tikar, atau dapat juga dengan duduk di atas kursi. Dalam
acara pertunjukan atau acara resmi, pemain Serune Kalee mengenakan pakaian adat. Seorang
yang menjadi peniup Serune Kalee disyaratkan mempunyai gigi yang utuh dan pernapasan yang
kuat, karena harus melakukan pengambilan dan penyimpanan napas secara kontinyu (Z. H. Idris,
1993: 54).
Sementara itu, jari-jari kedua belah tangan berfungsi sebagai pengatur nada dengan
membuka dan menutup lubang nada. Jari tangan inilah yang akan mengatur tinggi dan
rendahnya nada. Komposisi pemain biasanya terdiri dari tiga orang, yaitu 1 orang peniup Serune
Kalee, 1 orang penabuh gendrang, seorang yang lain memainkan rapai. Tekanan melodi biasanya
jatuh pada ketok irama terakhir.
Permainan musik Serune Kalee biasanya bertempo 2/4 atau 4/4 yang dapat dimainkan
dalam irama andante, moderato, dan allegro. Formasi ideal dalam pertunjukan Serune Kalee
adalah 1 buah Bulon Perindu, 8 rapai, 2 genderang, 4 rapai pase. Kadangkala peralatan musik ini
digabungkan dengan berbagai jenis peralatan musik yang lain, seperti drum, gitar elektrik, bas,
clarinet, dan lain-lain.
7. Nilai-nilai
Serune Kalee merupakan peralatan musik yang banyak digunakan masyarakat Aceh.
Peralatan musik ini mengandung nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyararakat Aceh. Nilainilai tersebut adalah:

Nilai budaya
Peralatan musik ini merupakan satu satu bagian dari kebudayaan masyarakat Aceh. Pertunjukan
dan pengembangan peralatan musik ini merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya. Selain
itu, bentuk-bentuk pelestarian itu merupakan bentuk pengembangan kebudayaan lokal untuk
dikenal oleh masyarakat secara luas. Hingga saat ini peralatan Serune Kalee masih digunakan,
baik dalam berbagai pertunjukan yang bersifat seremonial perayaan maupun upacara adat.
Nilai seni
Serune Kalee mengandung nilai seni yang tinggi. Peralatan ini dibuat dari bahan dan peralatan
yang mudah didapatkan di sekitar tempat tinggal penduduk. Suara khas yang dihasilkan oleh
Serune Kalee juga menjadi tanda bahwa peralatan ini mengandung keindahan tertentu. Serune
Kalee merupakan peralatan yang cukup fleksibel, artinya dapat digabungkan dengan peralatan
lain pada waktu digunakan. Kekhasan nada dan suara yang muncul dari peralatan ini, membuat
musik yang dihasilkan ketika alat ini dipadukan dengan alat lain menjadi lebih dinamis.
Nilai tradisi
Masyarakat Melayu terkenal dengan kekayaan tradisinya. Salah satu tradisi tersebut adalah
pertunjukan musik Serune Kalee, baik yang dimainkan secara tunggal maupun dipadukan
dengan peralatan lain. Lebih dari itu, Serune Kalee sebenarnya hanya merupakan salah satu
varian dari alat serunai yang banyak tersebar dan menjadi peralatan musik masyarakat Melayu di
berbagai daerah. Pertunjukan Serune Kalee dalam berbagai perhelatan merupakan salah satu
wujud pelestarian tradisi yang ada di dalam masyarakat Melayu.
Nilai kearifan local
Setiap masyarakat, setiap daerah mempunyai pandangan sendiri-sendiri baik mengenai, diri,
orang lain, sejarah, dan kebudayaan mereka. Terdapat kearifan tertentu dalam setiap tradisi dan
budaya yang senantiasa dihidupi oleh masyarakat tersebut. Tidak berbeda halnya dengan
peralatan Serune Kalee.
8. Penutup
Serune Kalee merupakan salah satu peralatan musik tradisional masyarakat Aceh yang hingga
saat ini masih dipelihara dalam berbagai pertunjukan. Hal ini dapat menjadi salah satu tolok
ukur bahwa sebagian kebudayaan dan tradisi masih terpelihara dengan baik di masyarakat Aceh.
Hal ini dapat menjadi contoh bagi masyarakat di daerah lain dalam melestarikan dan
mengembangkan kebudayaan dan tradisi merreka.

RAPAI, Alat Musik Aceh

RAPAI adalah alat musik perkusi tradisional Aceh yang termasuk dalam keluarga frame
drum, yang dimainkan dengan cara dipukul dengan tangan tanpa menggunakan
stick. RAPAI sering digunakan pada upacara-upacara adat di Aceh seperti upacara perkawinan,
sunat rasul, pasar malam, mengiringi tarian, hari peringatan, ulang tahun dan
sebagainya, dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh baik
secara filosofs atau kultural. Rapai berperan mengatur tempo, ritmik, tingkahan, gemerincing
serta membuat suasana menjadi lebih hidup dan meriah. Alat itu mendukung chorus
(melodi) dari Serune Kalee atau buloh merindu (alat tiup berinterval nada diatonis).
Ada pameo yang sering terdengar berisikan peunajoh timphan, piasan rapai yang
artinya makanan khas orang Aceh adalah timpan (sejenis kue dari bahan tepung beras di
dalamnya berisi kelapa dan gula aren, atau berisi sarikaya/aso kaya telur, dibungkus dengan
daun pisang muda dan dikukus), kemudian piasan rapai yang diartikan sebagai alat musik
hiburan adalah rapai.

Asal Mula
Berdasarkan naskah syair yang dinyanyikan bersama RAPAI, alat musik pukul ini berasal
dari Syeh Abdul Kadir Jailani, ulama besar fiqih dari Persia yang hidup di Baghdad dari tahun
1077 hingga 1166 Masehi ( 470-560 Hijriah). Syair itu menyebut (dalam bahasa Indonesia):
Dilangit tinggi bintang bersinar
Cahaya bak lilin memancar kebumi
Asal rapai dari Syeh Abdul Kadir
Inilan yang sah penciptanya lahir kebumi.
Rapai dibawa oleh seorang penyiar Islam dari Baghdad bernama Syeh Rapi (ada yang
menyebut Syeh Rifai) dan dimainkan untuk pertama kali di Ibukota Kerajaan Aceh, Banda
Khalifak (sekarang Gampong Pandee, Banda Aceh) sekitar abad ke-11.
Rapai dimainkan secara ensemble yang terdiri dari 8 sampai 12 orang pemain yang disebut awak
rapai dan disandingkan dengan instrumen lain seperti serune kalee atau buloh merindu.
Permainan dari ensemble Rapai tersebut dapat menjangkau pendengaran dari jarak jauh akibat
gema yang dipantulkannya dan tidak memerlukan microphone untuk setiap penampilannya
bahkan pada malam hari di daerah pedesaan bisa mencapai pendengaran dari jarak 5-10 km.

Macam-macam jenis RAPAI:


1. Rapai Daboih
2. Rapai Gerimpheng
3. Rapai Pulot
4. Rapai Pase
5. Rapai Anak/tingkah
6. Rapai Kisah/hajat

Bantuk RAPAI
Bentuk rapai bulat dan mirip tempayan dan berdinding rendah, mempunyai giring-giring (jingle)
pada dindingnya dengan berbagai macam ukuran.

Frame body atau dalam bahasa Aceh disebut polah/bolah rapai dibuat dari bahan kayu nangka,
kayu merbau atau kayu meudang/ara yang telah cukup tua. Bentuknya seperti tempayan atau
panci dengan berbagai macam ukuran, diatasnya ditutupi/diberi kulit. Sedangkan
bahagian bawah
kosong,
dengan
pinggiran
atau
dinding
yang
dinamakan
buloh atau paloh. Rapai dahulu tidak dicat. Warna coklat tua yang muncul diakibatkan oleh
bahan kayu yang digunakan sudah berumur cukup tua bahkan ratusan tahun telah keluar
minyaknya. Sekarang susah mendapatkan rapai yang kayunya cukup tua, sehingga digunakanlah
pelitur untuk menghias dinding Rapai.
Selaput atau membran dibuat dari kulit kambing atau kulit himbe (sejenis kera, tapi sekarang
tidak digunakan lagi). Sedangkan untuk rapai ukuran besar seperti rapai pase, dibuat dari kulit
sapi yang telah diolah/ditipiskan dan dilicinkan dengan buloh (bambu).
Rapai menggunakan rotan (awe) untuk mengencangkan atau meninggikan suara. Untuk
menghasilkan suara gemerincing dan crisp, digunakanlah lempengan logam pada samping baloh
seperti halnya jingle pada tamburin.
Hiasan hampir tidak ada, hanya berupa ukiran-ukiran streamline lurus melingkari bolah dan
2 atau 3 buah garis memanjang membuat beberapa tekuk-tekuk yang diperindah benda tersebut.
Hiasan tersebut tidak memiliki makna secara simbolis.

Ukuran garis lurus dari bulatan rapai panjangnya antara 3850 cm, tinggi paloh (dinding
frame) 812 cm, lembar paloh dilihat dari posisi belakang 4 6 cm, dan untuk ukuran
induk rapai pase garis tengah bulatan 1 meter atau lebih.

Cara Pembuatan
Sebuah gelondongan kayu yang besar diambil bahagian bawahnya yang dekat dengan akar,
lalu direndam di dalam lumpur selama beberapa bulan untuk pengawetan, baru kemudian
dikorek bahagian dalamnya seperti sebuah lubang bulatan besar yang menggeronggong dan
kemudian tinggal membentuk pinggiran saja menurut ukuran yang diinginkan. Kayu yang
digunakan adalah jenis kayu keras seperti merbau, meudang-ara, atau batang nangka, yang
sekarang sudah sulit untuk didapatkan.
Pinggiran tadi merupakan kelawang atau body yang perlu dihaluskan serta diberi ukiran
pahatan berupa tekuk-tekuk garis lurus. Ditengah pinggiran frame dipahat dan diberi lobang
memanjang 6 cm, lebar 2 cm untuk penempatan 1 cm lempengan tembaga. Pada bahagian
atas diberi kulit kambing yang telah diolah sedemikian rupa sehingga nalus, tipis dan
kemudian disepit.
Tidak diketahui apakah pembuatannya itu mempunyai suatu standar konstruksi, dimana
ukurannya seragam untuk setiap pembuatan, ataukah besok akan berubah ukuran baik
bulatan, lebar atau tingginya.
Dari rapai-rapai yang masih dijumpai memang ternyata merupakan suatu ciptaan akal
budaya yang mengandung nilai artistik. Baik jenis kayu yang dipergunakan, berat bendanya,
tekuk garis ukirannya yang lurus membulat, keliling body serta pemasangan atau penempelan
lempengan tambaga yang kukuh dan jarang yang lepas atau bengkok, serta bulatan kayu
bodynya yang jarang retak atau pecah walaupun telah berusia lebih dari ratusan tahun.
Keadaan pengrajinnya sendiri mungkin saja masih ada yang hidup, walaupun sudah lanjut
umurnya.

Cara Memainkan
Rapai dimainkan dalam posisi duduk melingkar atau duduk berbanjar. Tangan kiri
memegang paloh atau palong (body) rapai, tangan kanan memukul kulit rapai dan bila dipukul
ditengah-tengah membran akan menghasilkan suara dengungan atau gema yang besar, tetapi
tidak tajam suaranya (low).
Bila dipukul pada pinggirnya akan mendapatkan suara tajam dan nyaring atau dapat disamakan
dengan permainan drum yang dipukul dengan stick pada rimshot.

Karena rapai dibuat dari bahan kayu dengan kualitas baik, pasti akan berat serta kukuh
buatannya. Bila ditegakan ketika bermain tanpa dibantu/dipegang oleh sebelah tangan, pasti
tidak bisa dimainkan dengan sempurna.
Dalamsebuah permainan rapai, biasanya ada seorang syehnya (pemimpin), dibantu oleh
beberapa awak/pemukul lainnya. Dalam memainkan sebuah irama lagu, biasanya beberapa buah
rapai memukul dengan tempo konstan, sedangkan yang lain dengan tingkahan-tingkahan
(syncopate) dan suara dinamik.
Suara phring dari lempengan tembaga yang gemerincing secara satu-satu atau beruntun,
kadang-kadang dibarengi pula chorus secara ensemble atau sahut-sahutan mengulang
(canon) yang gegap gempita. Sehingga memberikan warna yang betul-betul meriah pada suatu
upacara pertunjukan yang diadakan.
Posisi rapai tatkala duduk, tetap dipegang dalam keadaan ditegakkan diatas ujung kaki,
sedangkan pemainnya ikut bergoyang/bergerak bahkan kepala ikut pula terangguk-angguk,
sesuai menurut irama yang dimainkan saat itu.
Pada umumnya suatu pertunjukkan biasanya diawali dengan tempo lambat (andante), kemudian
sedang (moderate) selanjutnya cepat (allegro) dan pada klimaknya lebih cepat lagi
(allegretto) dan tekanan (accent) biasanya jatuh pada tokoh terakhir setiap birama.
Untuk membuat suara rapai nyaring, maka pada bagian bawah pinggiran kulit, diselip suatu
rotan yang bertumpang pada pinggiran body rapai tersebut dan bila selesai pertunjukkan rotan
tersebut dicabut kembali, lalu disimpan.

Instrumen Sejenis
1.
Deyereh (doyra, dojra, dajre, doira, dajreja), dari Iran (Persia), Negara Balkan, Tajikistan,
Uzbekistan dan Afghanistan.
2.
Daf, dari Timur Tengah, Kurdistan, Iran, Armenia, Afghanistan, Turkey, Tajikistan dan
Azerbaijan.
3.
Bendir, dari Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya dan Mesir.
4.
Duff, daff, daffli, dari India
5.
Bodhrn, dari Irlandia
6.
Buben, dari Russia
7.
Rebana, dari Indonesia, Malaysia
8.
Mazhar, dari Mesir
9.
Kanjira, dari India Selatan
10. Dll
Nilai-nilai
Rapai bukan sekadar alat musik yang dapat dinikmati pada waktu pertunjukan, tapi rapai
juga mengandung nilai-nilai yang berkaitan dengan pesan moral bagi masyarakat. Berikut adalah
penjabaran mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam rapai :
a. Nilai Tradisi

Pertunjukan rapai merupakan warisan tradisi yang perlu dilestarikan. Pertunjukan rapai
masih digelar hingga saat ini dalam berbagai acara. Baik acara yang bersifat seremonial
maupun acara yang bersifat perayaan. Hal tersebut menjadi bukti bahwa masyarakat Aceh, di
tengah perkembangan ke arah modenitas, masih tetap berusaha untuk mempertahankan
tradisi mereka.
b. Nilai Budaya
Masyarakat Aceh mempunyai kekayaan kebudayaan yang beragam. Mulai dari sastra hingga
seni musik. Rapai merupakan salah satu kebudayaan yang dilestarikan oleh masyarakat Aceh
hingga kini. Pertunjukan rapai menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat luar Aceh.
c. Nilai Kekompakan
Memainkan musik rapai selalu menuntut kekompakan. Hal tersebut secara tidak langsung
berpengaruh pada karakter para pemain di mana mereka akan mempunyai keterikatan yang
kuat satu sama lain. Secara luas hal kekompakan yang muncul dalam permainan musik rapai
diharapkan mempengaruhi masyarakat. Sehingga dengan musik rapai, terbentuk solidaritas
di dalam masyarakat.
d. Nilai Keindahan
Permainan rapai, baik sebagai musik pertunjukan maupun sebagai musik pengiring, selalu
menyimpan keindahannya sebagai sebuah karya seni. Keindahan ini menjadikan pertunjukan
rapai sebagai media refreshing atau hiburan bagi masyarakat. Tentunya hiburan dalam rapai
dimaknai bukan sekadar hurahura atau perayaan belaka, namun juga bentuk penyadaran
kepada masyarakat bahwa kesenian tradisional juga dapat dijadikan media untuk
bersenangsenang dalam arti yang luas.

Arbab alat musik tradisional Aceh

Alat musik arbab ini merupakan salah satu dari alat musk tradisional aceh yang terbuat dari
alam. bahan yang digunakan adalah kayu, dawai, kulit kambing dan tempurung kelapa.

Arbab merupakan salah satu alat musik yang berasal dari provisi Aceh yang berada dalam
Daerah Indonesia baigan bat. Instrumen ini terdiri dari 2 bagian yaitu Arbabnya sendiri
(instrumen induknya) dan penggeseknya (stryk stock) dalam bahasa daerah disebut : Go Arab.
Instrumen ini memakai bahan : tempurung kelapa, kulit kambing, kayu dan dawai. Musik
Arbab pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh Barat. Arbab ini
dipertunjukkan pada acara-acara keramaian rakyat, seperti hiburan rakyat, pasar malam dsb.
Sekarang ini tidak pernah dijumpai kesenian ini, diperkirakan sudah mulai punah. Terakhir
kesenian ini dapat dilihat pada zaman pemerintahan Belanda dan pendudukan Jepang.
Arbab menggunakan busur dan dimainkan layaknya biola. Namun, ada perbedaan yang
besar pada sikap pemain saat memainkannya. Kalau biola diletakkan di bahu dam lengan, Arbab
dimainkan dengan meletakkannya pada posisi bersender 45 derajat, dan kaki pemain menahan
Arbab. Dengan demikian si pemain harus duduk di lantai. Pada umumnya Arbab dimainkan
dalam ensambel musik kecil yang dilengkapi tiga musisi lain yang memainkan husapi (sejenis
alat musik dawai) dan Odap (gendang kecil) serta piring yang berfungsi sebagai perkusi;
sekaligus sebagai metronom bagi permainan Arbab. Arbab juga merupakan alat musik
tradisional yang penggunaannya masuk dalam area ritual, yang menuntut konsentrasi penuh dan
penghayatan dalam permainannya.

Sedangkan bahan untuk menggesek berbentuk busur ini terbuat dari serat tumbuhan, rotan
serta kayu. Penggeseknya di sebut Go arbab dan instrumen induknya di sebut arbab. Aceh juga
memiliki karya kerajinan tangan.
Di Aceh besar dan aceh Barat juga Pidie alat arbab ini pernah berkembang dan
diperkirakan ada sejak jaman Belanda. Alat musik ini digunakan untuk mengiringi lagu
tradisional dan alat musik tradisional lainya. Arbab ini sebagai pembawa lagu utama secara
musikal. Musik arbab biasanya untuk hiburan rakyat.

Kegunaan lat musik Arbab dalam Kebudayaan.


Alat musik Arbab pada zamannya biasa dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu
tradisional, bersama Geundrang/Rapai dan sejumlah alat musik trandisional lainnya, di mana
Arbab berperan sebagai instrumen utama pembawa lagu. Dalam tradisinya, musik Arbab biasa
dimainkan dalam acara-acara keramaian rakyat, seperti hiburan rakyat dan pasar malam. Musik
Arbab disajikan ke tengah penontonnya oleh dua kelompok, yakni pemusik dan penyanyi.
Kelompok penyanyi terdiri dari dua orang lelaki, di mana salah seorang di antara mereka
memerankan tokoh wanita, lengkap dengan busana dan dandanan seperti wanita. Penyanyi yang
memerankan perempuan tersebut dikenal dengan sebutan Fatimah Abi. Pada umumnya, mereka
membawakan lagu-lagu hikayat dan lagu-lagu yang mengandung muatan humor. Di antara lagulagu hikayat yang pernah dibawakan dalam pertunjukan musik Arbab, tercatat salah satunya
berjudul Hikayat Indra Bangsawan. Beberapa literature menyebutkan bahwa alat musik Arbab
pernah hidup dan berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh Barat. Dewasa ini,
kesenian Arbab sangat jarang dijumpai, dan diperkirakan mulai kehilangan tempatnya.

Você também pode gostar