Você está na página 1de 14

Di penghujung abad ke-20, dunia dilanda arus globalisasi, transparansi,

dan tuntutan hak azasi manusia. Tidak satupun negara yang luput dari gelombang
perubahan tersebut. Seluruh negara, terutama negara-negara berkembang,
menghadapi berbagai tantangan baru yang membawa konsekuensi pada perubahan
atau pembaharuan yang akan mempengaruhi kehidupan umat manusia, baik di
bidang ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Menghadapi perkembangan
dunia yang demikian pesat, dan seiring dengan derasnya aspirasi reformasi di
dalam negeri, maka peranan penyelenggaraan pemerintahan dan administrasi
publik yang baik menjadi semakin penting. Salah satu elemen yang penting dalam
tata pemerintahan yang baik adalah adanya akuntabilitas publik (Ardiansyah,
2010).
Akuntabilitas publik dapat diartikan sebagai kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan
seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki
hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban
(Deddy & Sherly, 2010). Di Indonesia akuntabilitas publik merupakan salah satu
bagian isu strategis karena perbaikan akuntabilitas publik berdampak pada upaya
terciptanya good governance. Menurut Santoso (2008), perbaikan akuntabilitas
publik berdampak luas pada bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang ekonomi,
akuntabilitas publik dapat mendorong kinerja instansi pemerintah dalam
perbaikan iklim investasi, sedangkan di bidang politik akuntabilitas publik dapat
mendorong kinerja instansi pemerintah dalam memperbaiki tingkat kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah.
Kinerja suatu instansi pemerintah dapat terlihat dari laporah hasil
pemeriksaan kinerja atau laporan audit kinerja. Dalam laporan audit kinerja

mencakup empat aspek pengelolaan yaitu: tugas pokok dan fungsi, kepegawaian,
keuangan, serta barang milik daerah. Empat aspek pengelolaan yang terkandung
dalam laporan audit kinerja tersebut, telah sesuai dengan kriteria-kriteria pada
perda/peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti undang-undang nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 08 tahun
2005 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Pemerintah, Peraturan Pemerintah
Nomor 39 tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah, Peraturan
Pemerintah nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang perubahan
kedua atas Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang
dan Jasa Instansi Pemerintah.
Saat ini, laporan audit kinerja cenderung diasumsikan sebagai informasi
yang ditujukan kepada konsumsi pihak intern suatu organisasi karena menelaah
secara sistematik kegiatan organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu.
Padahal laporan audit kinerja, bisa juga digunakan oleh pihak luar untuk
pengambilan keputusan karena jika mengandalkan laporan keuangan saja tidaklah
cukup. Dengan alasan tersebut, audit kinerja lebih banyak dilakukan oleh auditor
internal dan hasilnya dilaporkan kepada manajemen (Suhayati, 2011). Namun,
saat ini audit kinerja tidak hanya dilakukan oleh auditor internal tetapi juga
auditor eksternal. Dalam audit sektor pemerintahan, auditor eksternal adalah
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sedangkan untuk auditor internal adalah
Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (APIP), terdiri atas Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan

(BPKP),

Inspektur

Jenderal

(Irjen),

serta

Inspektorat

Provinsi

dan

Kabupaten/Kota.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) bertanggung jawab dalam
pelaksanaan audit kinerja, dimana dengan dilakukannya audit kinerja, auditor
dapat memperoleh dan mengevaluasi bukti untuk melakukan penilaian secara
independen atas aspek ekonomi, efisiensi, dan efektifitas dari kegiatan yang
dilakukan pemerintah. Dalam hal ini apakah pemerintah telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan peraturan, hukum, dan kebijakan yang berlaku, serta
apakah terdapat kesesuaian antara kinerja yang dicapai dengan kriteria yang telah
ditetapkan (Suratmi et all, 2014). Sehingga diharapkan dengan dilakukannya audit
kinerja mampu mengoptimalkan kinerja instansi pemerintah di setiap daerah.
Akan tetapi, pelaksanaan audit kinerja masih belum mampu untuk
mengoptimalkan kinerja instansi pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan
menurunnya kinerja instansi pemerintah di berbagai daerah, seperti yang terjadi
pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kota Mataram. Terdapat enam
SKPD di lingkungan pemerintah Kota Mataram yang memiliki kinerja keuangan
terendah diantaranya Dinas Pekerjaan Umum (PU), Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata (Disbudpar), Badan Ketahanan Pangan, Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil, Dinas Pendapatan dan Badan Kepegawaian Daerah. Rendahnya
kinerja keuangan SKPD Kota Mataram disebabkan oleh serapan anggaran yang
sangat rendah dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dalam
triwulan III serapan anggaran enam SKPD masih dibawah 45 persen. Dari enam
SKPD tersebut Dinas Pekerjaan Umum yang paling rendah dalam menyerap
anggaran yaitu sekitar 13 persen. Setelah itu, disusul Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata sebesar 33 persen, Badan Ketahanan Pangan 39 persen, Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil 42 persen, Dinas Pendapatan 43 persen serta


terakhir Badan Kepegawaian Daerah 44 persen (Suara NTB, 08 Oktober 2014).
Rendahnya kinerja SKPD tersebut perlu mendapat perhatian khusus oleh
pemerintah untuk berbenah diri ke depannya. Sehingga dapat mengoptimalkan
kinerja SKPD, dalam mewujudkan akuntabilitas publik.
Selain audit kinerja, faktor lain yang mempengaruhi akuntabilitas publik
adalah pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional merupakan pengawasan
yang dilakukan oleh aparat yang diadakan khusus untuk membantu pimpinan
dalam menjalankan fungsi pengawasan di lingkungan organisasi yang menjadi
tanggung jawabnya dalam hal ini adalah Aparat Pengawasan Intern Pemerintah
(APIP). Inspektorat sebagai sebagai salah satu aparat pengawasan fungsional
mempunyai tugas pokok melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan
pemerintah di daerah dan pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan
pemerintah di daerah (Wulandari, 2013). Namun dalam melakukan pengawasan,
inspektorat menemukan beberapa kendala salah satunya yaitu minimya jumlah
tenaga pemeriksa. Seperti yang terjadi pada Inspektorat Kota Mataram jumlah
tenaga pemeriksa hanya berjumlah 21 orang. Berikut adalah data jumlah tenaga
pemeriksa yang ada di Inspektorat Kota Mataram.
No
1
2
3

No
1
2
3

Jabatan Fungsional Auditor


Auditor Pertama
Auditor Muda
Auditor Madya
JUMLAH

Pengawas Pemerintah
Pengawas Pemerintah Pertama
Pengawas Pemerintah Muda
Pengawas Pemerintah Madya
JUMLAH
Sumber: www.inspektorat.mataramkota.go.id

Jumlah
7
1
1
9
Jumlah
1
4
7
12

Minimya tenaga pemeriksa yang ada di Inspektorat Kota Mataram


berakibat pada lemahnya pengawasan yang di lakukan di setiap SKPD.
Faktor lain yang mempengaruhi akuntabilitas publik adalah aksesibilitas
laporan keuangan. Aksesibilitas laporan keuangan terkait dengan kemudahan dari
seseorang dalam memperoleh informasi berupa laporan keuangan. Dimana
masyarakat sebagai pihak yang memberikan amanah kepada pemerintah berhak
untuk memperoleh informasi keuangan sebagai bentuk akuntabilitas. Namun,
publikasi laporan keuangan oleh pemerintah daerah melalui surat kabar, internet,
atau cara lain belum menjadi hal umum bagi sebagian daerah (Suratmi et all,
2014). Seperti yang terjadi pada SKPD di Pemerintah Kota Mataram. Diketahui
informasi keuangan SKPD Pemerintah Kota Mataram belum disediakan secara
lengkap dan terbuka kepada publik. Padahal SKPD selaku pengguna anggaran
harus menyediakan informasi keuangan sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Sebagai konsekuensinya. penyajian informasi laporan keuangan yang tidak
lengkap dan tidak aksesibel dapat menurunkan kualitas dari transparansi dan
akuntabilitas publik (Sukhemi.).

lemahnya pengawasan juga menjadi alasan masih ditemukan penyimpanganpenyimpangan dalam pelaksanaan pengendalian intern dan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan yang
baik agar dapat mencegah penyimpangan dalam pengendalian intern pada
pemerintah daerah sehingga akan mewujudkan akuntabilitas publik.

Beberapa penelitian terdahulu juga membuktikan bahwa akuntabilitas


publik dapat terwujud dengan adanya pelaksanaan pengawasan fungsional yang
efektif. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2013) yang
menyimpulkan bahwa pengawasan fungsional mempunyai pengaruh yang positif
dan signifikan terhadap akuntabilitas publik. Penelitian lain yang mendukung
penelitian ini adalah Amasi (2014) dan Rahayu (2011). Sementara Penelitian yang
dilakukan oleh Handayani (2014) menunjukkan pengawasan fungsional tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap akuntabilitas publik.
Selain variabel pengawasan fungsional, variabel audit kinerja juga dapat
mempengaruhi akuntabilitas. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Deddy
dan Sherly (2010), menyimpulkan bahwa audit kinerja sektor publik memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap akuntabilitas publik pada pemerintahan Kota
Bandung. Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Suratmi, et all (2014) dan Rahayu (2011) yang menemukan hubungan yang kuat
antara audit kinerja terhadap akuntabilitas publik. Penelitian ini merujuk dari
penelitian Rahayu (2011). Hanya saja penelitian ini menambahkan 1 variabel
independen lagi dari penelitian terdahulu yaitu aksesibilitas laporan keuangan.
Alasan ditambahkannya aksesibilitas laporan keuangan menjadi variabel
independen karena aksesibilitas laporan keuangan dianggap berpengaruh terhadap

akuntabilitas publik. Perbedaan penelititan ini dengan penelitian terdahulu yaitu


perbedaan dimensi waktu dan lokasi.
Berdasarkan fenomena dan penelitian terdahulu, maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Pengawasan Fungsional,
Audit Kinerja dan Aksesibilitas Laporan Keuangan Terhadap Akuntabilitas
Publik Pada Pemerintah Kota Mataram.

Di penghujung abad ke-20, dunia dilanda arus globalisasi, transparansi,


dan tuntutan hak azasi manusia. Tidak satupun negara yang luput dari gelombang
perubahan tersebut. Seluruh negara, terutama negara-negara berkembang,
menghadapi berbagai tantangan baru yang membawa konsekuensi pada perubahan
atau pembaharuan yang akan mempengaruhi kehidupan umat manusia, baik di
bidang ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Menghadapi perkembangan
dunia yang demikian pesat, dan seiring dengan derasnya aspirasi reformasi di
dalam negeri, maka peranan penyelenggaraan pemerintahan dan administrasi
publik yang baik menjadi semakin penting. Salah satu elemen yang penting dalam
tata pemerintahan yang baik adalah adanya akuntabilitas publik (Ardiansyah,
2010).
Akuntabilitas publik dapat diartikan sebagai kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan
seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki
hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban
(Deddy & Sherly, 2010). Di Indonesia akuntabilitas publik merupakan salah satu
bagian isu strategis karena perbaikan akuntabilitas publik berdampak pada upaya
terciptanya good governance. Menurut Santoso (2008), perbaikan akuntabilitas
publik berdampak luas pada bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang ekonomi,
akuntabilitas publik dapat mendorong kinerja instansi pemerintah dalam
perbaikan iklim investasi, sedangkan di bidang politik akuntabilitas publik dapat

mendorong kinerja instansi pemerintah dalam memperbaiki tingkat kepercayaan


masyarakat kepada pemerintah.
Fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa kinerja instansi
pemerintah banyak mengalami sorotan dari masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan
menurunnya kinerja instansi pemerintah di berbagai daerah, seperti yang terjadi
pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kota Mataram. Terdapat enam
SKPD di lingkungan pemerintah Kota Mataram yang memiliki kinerja keuangan
terendah diantaranya Dinas Pekerjaan Umum (PU), Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata (Disbudpar), Badan Ketahanan Pangan, Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil, Dinas Pendapatan dan Badan Kepegawaian Daerah. Rendahnya
kinerja keuangan SKPD Kota Mataram disebabkan oleh serapan anggaran yang
sangat rendah dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dalam
triwulan III serapan anggaran enam SKPD masih dibawah 45 persen. Dari enam
SKPD tersebut Dinas Pekerjaan Umum yang paling rendah dalam menyerap
anggaran yaitu sekitar 13 persen. Setelah itu, disusul Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata sebesar 33 persen, Badan Ketahanan Pangan 39 persen, Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil 42 persen, Dinas Pendapatan 43 persen serta
terakhir Badan Kepegawaian Daerah 44 persen (Suara NTB, 08 Oktober 2014).
Selain itu, masih ditemukan kelemahan dalam pelayanan publik pada
SKPD Kota Mataram. Berdasarkan hasil penelitian Ombudsman, disebutkan
sebanyak delapan SKPD/Dinas masuk ke dalam kategori zona merah. SKPD
tersebut meliputi Dinas Kebersihan, Dinas Pendapatan Daerah, Badan
Lingkungan Hidup, Badan Kepegawaian Daerah, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Badan Kesatuan Bangsa
dan Politik dalam negeri, dan Dinas Kesehatan. SKPD yang masuk kategori zona

merah berarti unit layanan di SKPD tersebut belum menjalankan kewajibannya


untuk memenuhi komponen standar pelayanan publik yang tertuang pada undangundang nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik sehingga bisa dikatakan
rendah dalam tingkat kepatuhan dalam pelaksanaan undang-undang nomor 25
tahun 2009 tentang pelayanan publik (Antarabengkulu, 14 Desember 2013). Dari
fenomena-fenomena

tersebut

menggambarkan

buruknya

kinerja

instansi

pemerintah. Untuk itu hal ini perlu menjadi catatan dan perhatian khusus
pemerintah untuk berbenah diri ke depannya, sehingga dapat mengoptimalkan
kinerja SKPD.
Kinerja suatu instansi pemerintah dapat terlihat dari laporah hasil
pemeriksaan kinerja atau laporan audit kinerja. Dalam laporan audit kinerja
mencakup empat aspek pengelolaan yaitu: tugas pokok dan fungsi, kepegawaian,
keuangan, serta barang milik daerah. Empat aspek pengelolaan yang terkandung
dalam laporan audit kinerja tersebut, telah sesuai dengan kriteria-kriteria pada
perda/peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti undang-undang nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 08 tahun
2005 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Pemerintah, Peraturan Pemerintah
Nomor 39 tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah, Peraturan
Pemerintah nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang perubahan
kedua atas Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang
dan Jasa Instansi Pemerintah.
Saat ini, laporan audit kinerja cenderung diasumsikan sebagai informasi
yang ditujukan kepada konsumsi pihak intern suatu organisasi karena menelaah

secara sistematik kegiatan organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu.


Padahal laporan audit kinerja, bisa juga digunakan oleh pihak luar untuk
pengambilan keputusan karena jika mengandalkan laporan keuangan saja tidaklah
cukup. Dengan alasan tersebut, audit kinerja lebih banyak dilakukan oleh auditor
internal dan hasilnya dilaporkan kepada manajemen (Suhayati, 2011). Namun,
saat ini audit kinerja tidak hanya dilakukan oleh auditor internal tetapi juga
auditor eksternal. Dalam audit sektor pemerintahan, auditor eksternal adalah
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sedangkan untuk auditor internal adalah
Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (APIP), terdiri atas Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP),

Inspektur

Jenderal

(Irjen),

serta

Inspektorat

Provinsi

dan

Kabupaten/Kota.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) bertanggung jawab dalam
pelaksanaan audit kinerja, dimana dengan dilakukannya audit kinerja, auditor
dapat memperoleh dan mengevaluasi bukti untuk melakukan penilaian secara
independen atas aspek ekonomi, efisiensi, dan efektifitas dari kegiatan yang
dilakukan pemerintah. Dalam hal ini apakah pemerintah telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan peraturan, hukum, dan kebijakan yang berlaku, serta
apakah terdapat kesesuaian antara kinerja yang dicapai dengan kriteria yang telah
ditetapkan (Suratmi et all, 2014). Sehingga diharapkan dengan dilakukannya audit
kinerja mampu mengoptimalkan kinerja instansi pemerintah di setiap daerah.
Selain audit kinerja, faktor lain yang mempengaruhi akuntabilitas publik
adalah pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional merupakan pengawasan
yang dilakukan oleh aparat yang diadakan khusus untuk membantu pimpinan
dalam menjalankan fungsi pengawasan di lingkungan organisasi yang menjadi

tanggung jawabnya dalam hal ini adalah Aparat Pengawasan Intern Pemerintah
(APIP). Inspektorat sebagai sebagai salah satu aparat pengawasan fungsional
mempunyai tugas pokok melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan
pemerintah di daerah dan pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan
pemerintah di daerah (Wulandari, 2013). Namun dalam melakukan pengawasan,
inspektorat menemukan beberapa kendala yaitu (1) kurangya kualitas sumber
daya manusia di instansi pemerintahan, (2) kurangnya koordinasi antara sesama
aparat pengawasan fungsional, serta (3) masih lemahnya mental dan budaya
aparat pengawasan fungsional (Ardiansyah, 2010).
Faktor lain yang mempengaruhi akuntabilitas publik adalah aksesibilitas
laporan keuangan. Aksesibilitas laporan keuangan terkait dengan kemudahan dari
seseorang dalam memperoleh informasi berupa laporan keuangan. Dimana
masyarakat sebagai pihak yang memberikan amanah kepada pemerintah berhak
untuk memperoleh informasi keuangan sebagai bentuk akuntabilitas. Namun,
publikasi laporan keuangan oleh pemerintah daerah melalui surat kabar, internet,
atau cara lain belum menjadi hal umum bagi sebagian daerah (Suratmi et all,
2014). Berdasarkan uji akses yang di lakukan oleh Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA) NTB di 9 SKPD Kota Mataram, membuktikan
SKPD tersebut tidak mempublikasikan informasi laporan keuangannya tiap tahun.
Padahal SKPD selaku pengguna anggaran harus menyediakan informasi keuangan
sebagai bentuk tanggung jawabnya. Adapun SKPD yang dimaksud adalah
Sekretariat Daerah, Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Kebersihan, Dinas
Pendidikan dan Olahraga, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum Dinas Sosial
(Lombokkita, 04 Agustus 2015). Sebagai konsekuensinya. penyajian informasi

laporan keuangan yang tidak lengkap dan tidak aksesibel dapat menurunkan
kualitas dari transparansi dan akuntabilitas publik (Sukhemi.).
Audit kinerja, pengawasan fungsional dan aksesibilitas laporan keuangan
jika saling bersinergi dan melaksanakan peranannya masing-masing maka akan
dapat mewujudkan akuntabilitas publik. Sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan oleh Wulandari (2013) yang menyimpulkan bahwa pengawasan
fungsional mempunyai

pengaruh yang

positif dan

signifikan terhadap

akuntabilitas publik. Penelitian lain yang mendukung penelitian ini adalah Amasi
(2014) dan Rahayu (2011). Sementara Penelitian yang dilakukan oleh Handayani
(2014) menunjukkan pengawasan fungsional tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap akuntabilitas publik.
Selain variabel pengawasan fungsional, variabel audit kinerja juga dapat
mempengaruhi akuntabilitas. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Deddy
dan Sherly (2010), menyimpulkan bahwa audit kinerja sektor publik memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap akuntabilitas publik pada pemerintahan Kota
Bandung. Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Suratmi, et all (2014) dan Rahayu (2011) yang menemukan hubungan yang kuat
antara audit kinerja terhadap akuntabilitas publik. Penelitian ini merujuk dari
penelitian Rahayu (2011). Hanya saja penelitian ini menambahkan 1 variabel
independen lagi dari penelitian terdahulu yaitu aksesibilitas laporan keuangan.
Alasan ditambahkannya aksesibilitas laporan keuangan menjadi variabel
independen karena aksesibilitas laporan keuangan dianggap berpengaruh terhadap
akuntabilitas publik. Perbedaan penelititan ini dengan penelitian terdahulu yaitu
perbedaan dimensi waktu dan lokasi.

Berdasarkan fenomena dan penelitian terdahulu, maka peneliti tertarik


untuk melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Audit Kinerja,
Pengawasan Fungsional dan Aksesibilitas Laporan Keuangan Terhadap
Akuntabilitas Publik Pada Pemerintah Kota Mataram.

Você também pode gostar