Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Selain itu, tegas Martiono, pemerintah harus paham dengan Pasal 169a UU
Minerba yang berbunyi,Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: (a) Kontrak
karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada
sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya kontrak/perjanjian.
Itu berarti, kata dia, perusahaan yang berjalan kontrak karyanya tidak perlu
membangun smelter atau tetap mengekspor barang tambang mentah sampai
masa kontrak karya selesai.
Menurut Martiono, sekarang ini ada 10.642 Izin Usaha Pertambangan, dan baru
sekitar 4.000 yang dinyatakan clear and clean secara administrasi oleh
Kementerian ESDM. Dan ini baru administratif.
Dan tidak ada ketentuan waktu soal IUP ini. Yang mengeluarkan IUP adalah
pemerintah daerah, kata dia.
Yang menjadi permasalahan, kata dia, adalah dari seluruh 4. 000 IUP ini, belum
tentu mereka sudah terdaftar di kantor pajak.
Rupanya mereka hanya terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, kata dia.
Sementara pemerhati kebijakan publik, Agus Pambagio, mengatakan, kalau
perintah UU Minerba tersebut dilaksanakan sekarang maka akan timbul banyak
kendala di lapangan.
Kendala-kendala tersebut, kata dia, sangat berpotensi menimbulkan kerugian
besar bagi negara. Beberapa kendala yang diperkirakan muncul, antara lain
adalah, pertama, pertambangan minerba akan mengurangi produksi, yang
berakibat besar bagi penyerapan tenaga kerja dan perekonomian nasional.
Daya serap industri smelter dalam negeri saat ini hanya sepertiga dari pasokan
yang ada. Sehingga apabila ekspor dilarang, maka tidak ada pilihan lain bagi
perusahaan pertambangan mineral, khususnya pemegang izin kontrak Karya
(KK), untuk mengurangi produksi bijih mentahnya (unprocessed ore) jika
larangan ekspor diberlakukan, kecuali ada penambahan smelter yang signifikan.
Sebagai contoh, satu-satunya smelter tembaga (Cu) yang sudah beroperasi saat
ini hanya PT Smelting Gresik, di Jawa Timur yang merupakan perusahaan
patungan antara beberapa perusahaan Jepang (75%) dengan PT Freeport
Indonesia (25%).
Pemasuk bijih mentah PT Smelting adalah 70%-80%, PT Freeport Indonesia dan
20%-30% PT Newmont Nusa Tenggara.
Hasil konsentrat tembaga yang berkadar 20%-30% dan bernilai 95% ini, hanya
sekitar 52% yang digunakan sebagai bahan baku berbagai industri di Indonesia.
Sisanya (48%) diekspor ke India (9%), Filipina(5%), China (5%), Korea Selatan
(5%) dan Jepang (11%).
Dampak pengurangan produksi bijih mentah otomatis akan menyebabkan
pengurangan tenaga kerja. PHK besar-besaran akan terjadi di sektor
pertambangan minerba, sehingga akan menimbulkan dampak sosial ekonomi
yang besar pula.
Pemerintah harus siap menghadapi gejolak social ekonomi yang akan terjadi.
Kedua, berkurangnya pendapatan Negara. Dengan larangan ekspor hasil
tambang mentah maka pajak ekspor dan Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) dari pertambangan minerba akan berkurang sangat besar dan
diperkirakan mencapai Rp 10 Triliun per tahun.
Sedangkan kompensasi pendapatan yang berasal dari pajak produksi dalam
negeri karena larangan ekspor minerba, masih perlu waktu lama untuk
memperolehnya. Di samping itu Neraca Perdagangan minerba akan terus
mengalami defisit.
Menurut Agus, penetapan batas waktu larangan ekspor konsentrat Minerba tidak
sejalan dengan kesiapan pengo lahan dan pemurnian di dalam negeri karena
keterbatasan smelter.
Pada saat larangan ekspor bijih mentah berlaku, perusahaan smelter belum
bertambah, hanya ada di Gresik, Jawa Timur yang beroperasi menggunakan
bahan baku dari PT Newmont dan PT Freeport Indonesia.
Masalahnya smelter di Gresik hanya mampu mengolah dan memurnikan
konsentrat dengan kadar 20%-30% atau sejumlah 30%-40% dari total produksi
Newmont dan Freeport.
Menurut Agus, investasi membangun smelter memerlukan biaya sekitar Rp 20
Triliun (dengan kurs 1 USD =12.000 IDR) dan kerugian operasi/produksi
mencapai sekitar Rp 2 triliun per tahun karena minimnya infrastruktur di
Indonesia.
Akibatnya, dapat dipastikan bahwa produk smelter di Indonesia akan sangat sulit
bersaing di pasar global terutama dengan produk Cina yang harganya super
murah.
Sementara daya serap pasar dalam negeri sangat rendah, lalu kemana
konsentrat produk smelter Indonesia akan diserap? Ini yang harus dijawab oleh
Menko Perekonomian dan Menteri ESDM, kata dia.
Minimnya infrastruktur di Indonesia berlaku di seluruh sektor kehidupan, bukan
hanya persoalan smelter. Persoalan ini tentunya tidak dapat diselesaikan dalam
waktu singkat, sebelum tanggal 12 Januari 2014.
Walaupun saat ini dikabarkan ada rencana pembangunan 12 pabrik smelter
(sumber : kementerian ESDM), pada tahun 2014 dan baru selesai serta dapat
beroperasi pada tahun 2017.
Namun jika pembangunan smelter tanpa nilai keekonomian yang feasible tentu
tidak dapat menjadi insentif bagi investor smelter.
Agus mengatakan, UU Minerba disusun untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP)
namun dipaksakan untuk diberlakukan pula pada pertambangan berdasarkan
Kontrak Karya (KK).
Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan melalui UU No. 4/2009 adalah
untuk Izin Usaha Pertambangan-Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUP-IUPK),
baik IUPK-operasi produksi maupun IUPK eksplorasi.
UU ini tidak mengatur secara jelas Kontrak Karya (KK) pertambangan mineral
yang telah ada sebelum UU ini di sahkan. Sedangkan untuk KK Perusahaan
Pertambangan Batubara tiba-tiba muncul diatur dalam Ketentuan Peralihan di
Bab XXV Pasal 169 dan 170.
Usaha pertambangan dengan IUP dan IUPK pada dasarnya berbeda kondisinya
dengan KK, sehingga menurut kajian publik ini tidak serta merta peraturan
perundang-undangan yang ditujukan untuk IUP dan IUPK dapat diberlakukan juga
untuk KK.
Selain itu, tegas Agus, besarnya dana investasi yang diperlukan untuk
membangun Smelter hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan besar, dan
umumnya perusahaan asing atau perusahaan nasional milik penguasa atau kroni
penguasa.
Selain itu juga terkendala dengan sempitnya waktu pembangunan dengan waktu
larangan ekspor.
Saat ini tercatat sedang dalam proses membangun smelter hanya beberapa
perusahaan, antara lain Glencore, XTrata Pty, PT Nusantara Smelting, PT
Indosmelt, PT Indovasi Mineral dan beberapa lainnya.
Sekalipun dimungkinkan adanya gabungan perusahaan pertambangan untuk
membangun smelter sendiri, namun hal itu diragukan karena besarnya investasi
serta teknologi yang digunakan.
Ditambah lagi faktor bahwa larangan ekspor bijih mentah telah diberlakukan
sebelum pabrik-pabrik smelter tersebut dapat beroperasi.
kompetisi yang adil di dalam pembangunan smelter yang sesuai untuk keperluan
pemegang IUP/K dan KK minerba.
Hindari izin diberikan pada rentenir yang hanya mempunyai surat penunjukan
dan surat kuasa dari pengusaha Negara tetapi sebenarnya mereka tidak
mempunyai modal.
Keempat, jangan mengarahkan pada pemegang IUP dan KK untuk berkolaborasi
membangun smelter hanya dengan perusahaan tertentu yang dimiliki oleh
sekelompok rentenir karena pada akhirnya cost structure nya tinggi
menyebabkan harga jual konsentrat produk smelter local tidak kompetitif di
pasar global.
Kelima, pemerintah harus mendorong tumbuhnya industri hilir pengguna
kondensat hasil smelter dalam negeri melalui pembuatan Road Map Pasar
Konsentrat, sehingga konsentrat produk smelter local feasible dan produknya
dapat diserap oleh pasar.
Keenam, dari sisi peraturan perundang-undangan dalam UU 4 / 2009 tidak ada
Pasal atau ayat yang mencantumkan kadar konsentrat yang harus dipenuhi oleh
industri pertambangan.
Besaran kadar kondensat sebesar 99,99% dengan nilai 100% baru muncul di
Permen ESDM No. 7 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral
melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
Namun karena permen ESDM ini sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA)
melalui Keputusan MA No. 13/P.HUM/2013, ketentuan besaran kadar dan nilai
tidak lagi berlaku dan tidak boleh menjadi acuan kebijakan.
Ketujuh, peruntukan UU ini lebih banyak ke batubara bukan mineral. Ini terlihat
dari uraian pasal per pasalnya. Jadi jangan heran kalau PP dan Permen selalu
berubah-ubah karena secara legal drafting, UU ini sudah amburadul.
Oleh karena itu, buat peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau
amandemen UU 4 / 2009 dan ini harus segera dilakukan dengan melibatkan
publik selain perusahaan pertambangan dan pemerintah.
Konsultasi publik, sebelum disahkannya amandemen UU Minerba ini, menjadi
suatu keharusan. [SP/Siprianus Edi Hardum]