Você está na página 1de 13

MAKALAH PENYULUHAN

ALERGI PADA ANAK

Disusun Oleh :
Kiki Fernando Tua Siahaan (120100138)
Supervisor:
dr. Sri Sofyani, M.Ked(Ped), SpA(K)
dr. Azwan Hakmi, M.Kes, SpA
dr. Lily Rahmawati, SpA, IBCLC
dr. Monalisa Elizabeth, M.Ked(Ped), SpA
dr. Ika Citra Dewi, M.Ked(Ped), SpA

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP H. ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
1

DAFTAR ISI
SAMPUL....................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB 1

PENDAHULUAN......................................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 2


2.1. Alergi
2.1.1. Definisi.............................................................................. 2
2.1.2. Patofisiologi...................................................................... 2
2.1.3. Manifestasi Klinis............................................................. 3
2.1.4. Diagnosis........................................................................... 4
2.1.5. Pencegahan dan Tatalaksana............................................. 7
BAB 3 KESIMPULAN............................................................................... 10
REFERENSI

11

BAB 1
PENDAHULUAN

Alergi merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak dijumpai di


masyarakat. Umumnya masyarakat menganggap bahwa penyakit alergi hanya
terbatas pada gatal-gatal di kulit. Alergi sebenarnya dapat terjadi pada semua
bagian tubuh, tergantung pada tempat terjadinya reaksi alergi tersebut. Alergi
merupakan manifestasi hiperresponsif dari organ yang terkena seperti kulit,
hidung, telinga, paru, atau saluran pencernaan. Pada hidung gejala alergi yang
timbul berupa pilek; pada paru-paru berupa asma; pada kulit berupa
urtikaria/biduran, eksema, serta dermatitis atopik; sedangkan pada mata berupa
konjungtivitis1.
Gejala hiperresponsif pada alergi dapat terjadi karena timbulnya respon
imun dengan atau tanpa diperantarai oleh IgE. Manifestasi alergi dapat
mengancam hidup seperti asma parah dan reaksi anafilaksis. Pada studi populasi,
penyakit alergi dapat timbul pada usia yang berbeda-beda, seperti alergi makanan
dan eksim terutama pada anak-anak, asma didapatkan pada anak dan dewasa, dan
rinitis alergika didapatkan pada dekade kedua dan ketiga1.
Penyakit

alergi

akan

timbul

pada

individu

yang

mempunyai

kecenderungan yang didasari faktor genetik, yang biasanya diwariskan dari kedua
orangtua. Bila kedua orangtua menderita alergi kemungkinan anak menunjukkan
gejala alergi sekitar 50%, namun bila hanya salah satu yang menderita alergi
kemungkinannya hanya 25%2.
Di berbagai daerah di Indonesia, angka kejadian alergi bervariasi mulai
3% hingga 60%. Alergi susu sapi pada kejadian dermatitis atopik ditemukan
bahkan hingga 60%. Alergi susu sapi dan dermatitis atopik adalah salah satu
manifestasi klinis alergi yang paling banyak ditemukan pada tahun pertama
kehidupan dan dapat meningkatkan risiko terjadinya manifestasi alergi lain pada
masa selanjutnya3.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Alergi
2.1.1. Definisi
Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh mekanisme
imunologi4. Definisi ini menghindarkan penggunaan istilah alergi untuk gangguan
yang tidak menunjukkan adanya mekanisme imunologis, misalnya reaksi
merugikan setelah menelan makanan atau obat yang pada beberapa orang
menyerupai reaksi alergi tanpa bukti adanya dasar imunologis5.
Alergen adalah antigen yang dapat menyebabkan reaksi alergi. Atopi
merupakan kecenderungan pribadi dan/atau keluarga, biasanya pada anak-anak
atau remaja, untuk menjadi peka dan menghasilkan antibodi IgE dalam
menanggapi paparan biasa terhadap allergen4.
2.1.2. Patofisiologi
Gejala alergi timbul apabila IgE yang melekat pada permukaan mastosit
atau basophil bereaksi dengan alergen yang sesuai. Interaksi antara alergen
dengan IgE yang menyebabkan ikat-silang antara 2 reseptor-Fc mengakibatkan
degranulasi sel dan pelepasan substansi-substansi tertentu misalnya histamin,
vasoactive amine, prostaglandin, tromboksan, bradikinin. Degranulasi dapat
terjadi kalau terbentuk ikat-silang akibat reaksi antara IgE pada permukaan sel
dengan anti-IgE.
Histamin melebarkan dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta
merangsang kontraksi otot polos dan kelenjar eksokrin. Di saluran nafas, histamin
merangsang kontraksi otot polos sehingga menyebabkan penyempitan saluran
nafas dan menyebabkan membran saluran nafas membengkak serta merangsang
ekskresi lendir pekat secara berlebihan. Hal ini mengakibatkan saluran nafas
tersumbat, sehingga terjadi asma, sedangkan pada kulit, histamin menimbulkan

benjolan (urtikaria) yang berwarna merah (eritema) dan gatal karena peningkatan
permeabilitas pembuluh darah dan pelebaran pembuluh darah.

Gambar 2.1. Patofisiologi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1)


2.1.3. Manifestasi Klinis
Gejala alergi tergantung pada substansi yang terlibat dan dapat melibatkan saluran
udara, sinus dan hidung, kulit, dan sistem pencernaan. Reaksi alergi dapat berkisar
dari ringan sampai berat. Dalam beberapa kasus yang parah, alergi dapat memicu
reaksi yang mengancam jiwa dikenal sebagai anafilaksis6.

Rhinitis alergi memiliki gejala: bersin, rasa gatal pada hidung, mata, dan
langit langit mulut. hidung berair dan tersumbat, mata merah, bengkak,

dan berair (konjungtivitis).


Asma memiliki gejala: sesak napas dan napas berbunyi
Alergi makanan memiliki gejala: pembengkakan pada bibir, lidah, atau

tenggorokan.
Gigitan serangga memiliki gejala: bengkak dan kemerahan pada tempat

gigitan, rasa gatal pada tempat gigitan dan bahkan seluruh tubuh.
Alergi obat memiliki gejala: kulit kemerahan dan gatal, adanya ruam,
wajah bengkak, sesak napas dan napas berbunyi.
3

Dermatitis atopic memiliki gejala kulit kemerahan dan gatal, adanya ruam

dan kulit terkelupas.


Sebuah reaksi anafilaksis memiliki gejala penurunan kesadaran, penurunan
tekanan darah, sesak napas berat, ruam kulit, denyut nadi cepat dan lemah,
mual dan muntah6.

2.1.4. Diagnosis
Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala yang dialami
dan kemungkinan alergen penyebab, pemeriksaan fisik untuk melihat gejala alergi
yang tampak, dan apabila masih terdapat keraguan harus dilakukan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat dilakukan secara in vivo
ataupun in vitro7.
Pemeriksaan in vitro

Hitung eosinofil total


Eosinofilia apabila dijumpai jumlah eosinofil darah lebih dari 450
eosinofil/L. Eosinofilia sedang (15%-40%) didapatkan pada penyakit
alergi, infeksi parasit, pajanan obat, keganasan, dan defisiensi imun,
sedangkan eosinofilia yang berlebihan (50%-90%) ditemukan pada

migrasi larva.
Hitung eosinofil dalam sekret
Kadar serum IgE total
Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi
sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi.
Meskipun rerata kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih tinggi
dibandingkan pasien non-alergi, namun adanya tumpang tindih kadar IgE
pada populasi alergi dan non-alergi menyebabkan nilai diagnostik IgE total

rendah.
Kadar serum IgE spesifik
Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat
dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan
metode RAST (Radio Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-linked

Immunosorbent Assay), atau RAST enzim. Kelebihan metode RAST


dibanding uji kulit adalah keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh
obat maupun kelainan kulit.
Pemeriksaan in vivo

Uji kulit
Histamin merupakan mediator utama dalam timbulnya reaksi wheal, gatal,
dan kemerahan pada kulit (hasil uji kulit positif). Reaksi kemerahan kulit
ini terjadi segera, mencapai puncak dalam waktu 20 menit dan mereda
setelah 20-30 menit. Beberapa pasien menunjukkan edema yang lebih
lugas dengan batas yang tidak terlalu jelas dan dasar kemerahan selama 612 jam dan berakhir setelah 24 jam (fase lambat).
Terdapat 3 cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji tusuk
(skin prick test/SPT), dan uji gores (scratch test).
o Uji kulit intradermal: 0,01-0,02 ml ekstrak alergen disuntikkan ke
dalam lapisan dermis sehingga timbul gelembung berdiameter 3
mm. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan
reaksi, lalu ditingkatkan berangsur dengan konsentrasi 10 kali lipat
hingga berindurasi 5-15 mm. Teknik uji kulit intradermal lebih
sensitif

dibanding

direkomendasikan

skin
untuk

prick
alergen

test

(SPT),

makanan

namun

tidak

karena

dapat

mencetuskan reaksi anafilaksis.


o Uji gores (scratch test): sudah banyak ditinggalkan karena kurang
akurat.
o Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan pada
alergen hirup, alergen di tempat kerja, dan alergen makanan.
Lokasi terbaik adalah daerah volar lengan bawah dengan jarak
minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes
ekstrak alergen dalam gliserin diletakkan pada permukaan kulit.
Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke atas dengan
jarum khusus untuk uji tusuk. Hasil positif bila wheal yang
terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin, efedrin/epinefrin,

kortikosteroid dan -agonis dapat mengurangi reaktivitas kulit,


sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. Uji kulit paling baik
dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun. Sensitivitas SPT
terhadap alergen makanan lebih rendah dibanding alergen hirup.
Dibanding uji intradermal, SPT memiliki sensitivitas yang lebih
rendah namun spesifisitasnya lebih tinggi dan memiliki korelasi

yang lebih baik dengan gejala yang timbul.


Uji provokasi
o Uji provokasi bronkial
o Uji provokasi makanan
o Uji provokasi sekum (colonoscopic allergen provocationlCOLAP),
dilakukan melalui kolonoskopi dengan menyuntikkan ekstrak
alergen ke dalam mukosa sekum. Hasil positif berupa pembentukan
wheal dan kemerahan pada mukosa.
o Uji tempel (patch test), pada umumnya digunakan pada kasus
dermatitis kontak. Alergen yang dicurigai diletakkan pada kulit dan
hasil positif berupa reaksi eksatema dalam 48-72 jam7.

2.1.5. Pencegahan dan Tatalaksana


Bila terdapat riwayat keluarga baik saudara kandung, orangtua, kakek,
nenek atau saudara dekat lainnya yang alergi atau asma, dan bila anak sudah
terdapat ciri-ciri

alergi sejak lahir atau bahkan bila mungkin deteksi sejak

kehamilan maka harus dilakukan pencegahan sejak dini3.


Pencegahan alergi makanan terbagi menjadi 3 tahap, yaitu pencegahan
primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer bertujuan menghambat sesitisasi
imunologi oleh makanan terutama mencegah terbentuknya Imunoglobulin E
(IgE). Pencegahan ini dilakukan sebelum terjadi sensitisasi atau terpapar dengan
penyebab alergi. Hal ini dapat dilakukan sejak saat kehamilan3,8.
Pencegahan sekunder, bertujuan untuk mensupresi (menekan) timbulnya
penyakit setelah sensitisasi. Pencegahan ini dilakukan setelah terjadi sensitisasi

tetapi manifestasi penyakit alergi belum muncul. Keadaan sensitisasi diketahui


dengan cara pemeriksaan IgE spesifik dalam serum darah, darah tali pusat atau uji
kulit. Saat tindakan yang optimal adalah usia 0 hingga 3 tahun8.
Pencegahan tersier, bertujuan untuk mencegah dampak lanjutan setelah
timbulnya alergi. Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan
menunjukkan manifestasi penyakit yang masih dini tetapi belum menunjukkan
gejala penyakit alergi yang lebih berat. Saat tindakan yang optimal adalah usia 6
bulan hingga 4 tahun8.
Kontak dengan antigen harus dihindari selama periode rentan pada bulanbulan awal kehidupan, saat limfosit T belum matang dan mukosa usus kecil dapat
ditembus oleh protein makanan. Ada beberapa upaya pencegahan yang perlu
diperhatikan supaya anak terhindar dari keluhan alergi yang lebih berat dan
berkepanjangan dikemudian hari:

Pemberian makanan padat dini dapat meningkatkan resiko timbulnya


alergi. Bayi yang mendapat makanan pada usia 6 bulan mempunyai angka
kejadian dermatitis alergi yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi

yang mulai mendapat makanan tambahan pada usia 3 bulan.


Hindari paparan debu di lingkungan seperti pemakaian karpet, korden
tebal, kasur kapuk, tumpukan baju atau buku. Hindari pencetus binatang

(bulu binatang piaraan kucing dsb, kecoak, tungau pada kasur kapuk).
Tunda pemberian makanan penyebab alergi, seperti ayam di atas 1 tahun,

telor, kacang tanah di atas usia 2 tahun dan ikan laut di atas usia 3 tahun.
Bila membeli makanan dibiasakan untuk mengetahui komposisi makanan

atau membaca label komposisi di produk makanan tersebut.


Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah resiko alergi
pada bayi. Bila bayi minum ASI, ibu juga hindari makanan penyebab
alergi. Makanan yang dikonsumsi oleh ibu dapat masuk ke bayi melalui
ASI. Terutama kacang-kacangan, dan dipertimbangkan menunda telur,
susu sapi dan ikan. Meskipun masih terdapat beberapa penelitian yang
bertolak belakang tentang hal ini.

Bila ASI tidak memungkinkan atau kurang, gunakan susu hipoalergenik


formula untuk pencegahan terutama usia di bawah 6 bulan.Bila dicurigai
alergi terhadap susu sapi bisa menggunakan susu protein hidrolisat.
Penggunaan susu soya harus tetap diwaspadai karena 30 50% bayi masih

mengalami alergi terhadap soya8.


Bila timbul gejala alergi, identifikasi pencetusnya dan hindari.
Pemberian ASI atau susu protein hidrolisa selama bulan pertamaterbukti
sangat kuat secara ilmiah. Sedangkan yang terbukti kuat lainnya adalah
eliminasi tungau debu rumah pada awal kehidupan, eliminasi penyebab
alergi pada usia > 4 6 bulan dan pemakaian prebiotik. Pencegahan
dengan menunda makanan padat masih belum banyak penelitian yang
mengungkapkan. Sedangkan pencegahan dengan Penambahan PUFA
omega 3, penambahan nutrisi lain (Zn, Ca, Fe, nukleotida) dan
imunoterapi masih diragukan dan perlu penelitian lebih jauh. Pemberian
obat-obatan antihistamin dan ketotifen dengan efek antiinflamasi sebagai
pencegahan tidak terbukti secara klinis dan sudah mulai ditinggalkan
sebagai upaya pencegahan3.

Penatalaksanaan

Hindari alergen
Obat obatan5
o Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin (contoh:
epinefrin) dan nonkatelomin (efedrin, albuterol, metaproterenol,
salmeterol, terbutalin, fenoterol).
o Antihistamin
Obat dengan struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada
reseptor di berbagai jaringan.
o Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah

garam

disodium

1,3-bis-2-

hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang


mempunyai sifat merelaksasikan otot polos.
o Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk


pengobatan alergi. Efek prednison nyata dalam 2 jam sesudah
pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta
limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal
langsung yang meliputi berkurangnya inflamasi, edema, produksi
mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
o Imunoterapi
Imunoterapi merupakan pemberian berulang alergen spesifik yang
sudah diketahui, pada keadaan atau penyakit yang diperantarai
imunoglobulin E, yang bertujuan sebagai pencegahan dan
perlindungan dari gejala alergi dan reaksi inflamasi yang
berhubungan dengan pajanan alergen5.

BAB 3
KESIMPULAN
Alergi merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak dijumpai di masyarakat,
termasuk anak anak. Manifestasi klinis alergi dapat terjadi pada semua bagian
tubuh, tergantung pada tempat terjadinya reaksi alergi tersebut. Manifestasi alergi
bahkan dapat mengancam jiwa seperti asma parah dan reaksi anafilaksis. Oleh
karena itu, masyarakat sebaiknya mampu mengenali gejala alergi sehingga tidak
berakibat pada terjadinya reaksi anafilaksis yang mengancam jiwa. Pencegahan
dapat dimulai sejak dini yaitu sebelum anak menderita alergi. Apabila anak sudah
menderita alergi maka diperlukan pencegahan dengan menghindari pencetus
alergi. Selain itu, penatalaksanaan terhadap reaksi alergi tersebut dengan obat
obatan juga diperlukan.

REFERENSI
1. Abidin, AD, & Mahdi, Penatalaksanaan Penyakit Alergi (1 ed.), Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003.
2. Paramita, OD, Hubungan Asma, Rinitis Alergik, Dermatitis Atopik dengan IgE
Spesifik pada Anak Usia 6 7 Tahun, Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro, 2011.
3. Sumadiono et al. Pencegahan Primer Alergi. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Alergi Imunologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2015.
4. WAO/EAACI Allergy Definition. World Allergy Organization, 2016. Diambil
dari:
http://www.worldallergy.org/professional/allergic_diseases_center/nomenclature/e
nglish.php [Diakses 02 Oktober 2016]
5. Leung, DYM, Allergic Disorders. Nelson Textbook of Pediatric. 19 th Ed.
Philadelphia: Elsevier/Saunders; 2011.

10

6.

Allergies

symptoms,

Mayo

Clinic,

2014.

Diambil

dari:

http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/allergies/basics/symptoms/con20034030 [Diakses 02 Oktober 2016]


7. Sudewi NP, et al. Berbagai Teknik Pemeriksaan untuk Menegakkan Diagnosis
Penyakit Alergi. Sari Pediatri 2009; 11(3):174-8.
8. Siregar, SP. Pentingnya Pencegahan Dini dan Tata laksana Alergi Susu Sapi.
Sari Pediatri, Vol. 7, No. 4, Maret 2006: 237 243

11

Você também pode gostar