Você está na página 1de 17

PRESENTASI KASUS

HERPES ZOSTER CERVICALIS SINISTRA

Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke P, Sp.KK

Disusun oleh :
Anggia Puspitasari
G4A013067

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN


PURWOKERTO
2015

HALAMAN PENGESAHAN

HERPES ZOSTER CERVICALIS SINISTRA

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu
prasyarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit
Kelamin RS Margono Soekarjo Purwokerto.

Disusun Oleh :
Anggia Puspitasari
G4A013067

Purwokerto, Mei 2015

Menyetujui

dr. Ismiralda Oke P, Sp.KK

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... i


I. PRESENTASI KASUS ......................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5
A. Definisi...................................................................................................... 5
B. Etiologi dan Epidemiologi..........................................................................5
C. Patogenesis................................................................................................. 5
D. Manifestasi Klinis.......................................................................................7
E. Pemeriksaan Kulit...................................................................................... 9
F. Gambaran Histopatologi............................................................................ 9
G. Diagnosis Banding................................................................................... 10
H. Penatalaksaan........................................................................................... 10
I. Komplikasi............................................................................................... 12
J. Prognosis..................................................................................................12
III.

PEMBAHASAN ........................................................................................... 13

IV.KESIMPULAN..................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 16

I. PRESENTASI KASUS
II.
A. IDENTITAS PASIEN
III.
Nama
IV.Jenis Kelamin

: Ny. SR
: Perempuan

V. Usia
VI.
VII.
VIII.

: 67 tahun
Alamat
: Sokaraja Wetan 02/02
Agama
: Islam
Tanggal pemeriksaan : 21 April 2015

IX.
B.

ANAMNESIS
X.
XI.

Keluhan Utama: gatal di daerah leher kiri, wajah bagian

kiri dan bahu sebelah kiri.


Riwayat Penyakit Sekarang:
XII.
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan gatal di

daerah leher kiri, wajah bagian kiri dan bahu sebelah kiri. Keluhan tersebut
muncul sejak kurang lebih 3 hari yang lalu, berupa plenting-plenting
kemerahan berisi air di daerah kepala bagian belakang sebelah kiri bawah.
Bila digaruk maka plenting-plenting tersebut mengeluarkan cairan berwarna
putih. Pasien merasakan nyeri senut-senut dan panas di daerah dimana
plenting-plenting muncul, pasien juga mengeluhkan demam serta mual sejak
6 hari yang lalu. Pasien sudah sebelumnya berobat ke Puskesmas dan diberi
obat salep, keluhan gatal berkurang namun plenting-plenting tidak hilang.
XIII.
XIV.
Riwayat Penyakit Dahulu
:
Riwayat
keluhan sama disangkal
XV.
XVI.
XVII.

Riwayat alergi disangkal


Riwayat cacar air diakui
Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat

XVIII.
XIX.

menderita keluhan sama disangkal


Riwayat alergi disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
:

Pasien

tinggal di panti jompo. Pasien adalah seorang


yang berkegiatan hanya di lingkungan panti.
Teman di panti tidak ada yang mengalami

C.

keluhan serupa.
XX.
PEMERIKSAAN FISIK
XXI.
STATUS GENERALIS
XXII.
Keadaaan umum
: Baik
XXIII.
Kesadaran
: Composmentis
XXIV.
Keadaan gizi
: Baik
XXV.
Vital Sign
: Tensi : 130/80
XXVI.
Nadi : 80 x/menit
XXVII.
RR
: 22x/menit
XXVIII.
Suhu : 36,4 C
2

XXIX.
XXX.

BB: 65 kg
Kepala : Normochepal, rambut hitam,

XXXI.

distribusimerata
Mata
: Konjunctiva anemis (-/-),

sklera ikterik (-/-)


XXXII.

Hidung

: Simetris, deviasi septum (-),

sekret (-)
XXXIII.

Telinga

: Bentuk daun telinga normal,

sekret (-)
XXXIV.

Mulut

: Mukosa bibir dan mulut

lembab, sianosis(-)
XXXV.
XXXVI.

Tenggorokan
: Tidak dilakukan
Thorax
: Jantung
: S1> S2 reg,

M(-), G(-)
XXXVII.

Paru

rh -/-, wh -/XXXVIII.Abdomen
NT (-)
XXXIX.

: SD ves +/+,

: supel, BU (+) N, timpani,


Kelenjar Getah Bening: Tidak teraba

pembesaran.
XL.
XLI.
XLII.
XLIII.

STATUS DERMATOLOGIS
Lokasi : leher bagian kiri, wajah bagian kiri dan bahu bagian

XLIV.

kiri.
Regio :

coli sinistra, facialis sinistra, dan cervicalis

sinistra.
Effloresensi

: Vesikel, bula sampai erosi di atas

XLV.

Ekstremitas

: Akral hangat, edema

dasar yang eritematosa dengan pola herpetiform (konfluens)


unilateral mengikuti dermatom di upper left quadrant coli
sinistra menjalar ke wajah dan bahu bagian kiri.

XLVI.
XLVII.

XLVIII.

Gambar 1.Gambaran efloresensi pada penderita

XLIX.
D.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
L. Tidak dilaksanakan pemeriksaan penunjang
LI.
E. RESUME
1. Anamnesis
a. Pasien datang ke IGD RSMS dan dengan keluhan gatal di leher,
wajah dan bahu sebelah kiri.
b. Keluhan dirasa sejak 6 hari yll, di sebelah kiri atas berupa plentingplenting yang berisikan cairan. Pasien mengeluhkan rasa panas,
nyeri senut-senut pada luka. Selain itu, pasien juga mengeluhkan
demam dan mual.

c. Pasien berobat ke Puskesmas 1 kali diberi obat salep. Keluhan


gatal berkurang namun plenting-plenting tidak hilang.
2. Pemeriksaan Fisik (Status Dermatologik)
LII.
LIII.
LIV.

Lokasi
Regio

: leher, wajah dan bahu sebelah kiri


: coli sinistra, facialis sinistra, dan cervicalis

sinistra
Effloresensi: Vesikel, bula, sampai erosi di atas dasar yang
eritematosa

dengan

pola

herpetiform

(konfluens)

unilateral mengikuti dermatom di upper left quadrant coli


sinistra menjalar ke wajah dan bahu bagian kiri.
LV.
F. DIAGNOSIS KERJA
LVI.
LVII.

Herpes Zoster Cervicalis Sinistra

G. DIAGNOSIS BANDING
LVIII.
Herpes simpleks
LIX.
Varisela
LX.
Impetigo vesikobulosa
LXI.
H. PENATALAKSANAAN
1. Non farmakologis.
a.
Edukasi pasien tentang penyakit, pengobatan dan
b.

kemungkinan relaps
Edukasi kepada keluarga tentang perawatan pasien agar

tidak ada keluarga yang tertular


c.
Istirahat yang cukup dan usahakan vesikel atau bula tidak
pecah
Farmakologis
Bedak salisil 2%
Asiklovir 5x800mg selama 7 hari
Asiklovir salep 5%
Parasetamol 3x500 mg
LXII.
I. PROGNOSIS
LXIII.
Quo ad vitam
: bonam
2.
a.
b.
c.
d.

Quo ad functionam
: bonam
LXIV.
Quo ad sanationam : malam
LXV.
LXVI. TINJAUAN PUSTAKA
LXVII.

A. DEFINISI
LXVIII. Herpes zoster (nama lain: shingles atau cacar ular cacar api)
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus varicella-zoster. Setelah
seseorang menderita cacar air, virus varicella-zoster akan menetap dalam
kondisi dorman (tidak aktif atau laten) pada satu atau lebih ganglia (pusat
saraf) posterior. Apabila seseorang mengalami penurunan imunitas seluler
maka virus tersebut dapat aktif kembali dan menyebar melalui saraf tepi ke
kulit sehingga menimbulkan penyakit herpes zoster (Kimberlin, 2007).
LXIX.
A. ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI
LXX.
Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita
varisela sebelumnya karena varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus
yang sama yaitu varisela zoster. Varisela zoster merupakan kelompok virus
herpes termasuk virus sedang berukuran 140-200 m dan berinti DNA yang
termasuk subfamili alfa herpes viridae. Setelah sembuh dari varicela, virus
yang ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan tidak aktif dan akan
aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun. Insiden pada pria dan wanita
sama banyaknya. Biasanya terjadi pada usia dewasa, kadang juga pada anakanak. Tidak tergantung musim. (Siregar, 2004).
LXXI.
A. PATOGENESIS
LXXII. Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi
dan ganglion kranialis. Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang
setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Kadang-kadang virus
ini juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis sehingga
memberikan gejala-gejala gangguan motorik. Selama proses infeksi varicella,
VZV lewat dari luka di kulit dan permukaan mukosa ke akhiran saraf yang
berdekatan dan ditranspor secara sentripetal ke saraf sensoris ke ganglia
sensoris. Dalam ganglia, virus membentuk infeksi laten yang bertahan untuk
hidup (Sjamsoe, 2005; Timur FJ, 2009).
LXXIII. Herpes zoster terjadi paling sering pada dermatom di mana
ruam dari varisela mencapai densitas tertinggi yang pertama diinervasi oleh
(ophtalmic) divisi saraf trigeminal dan oleh spinal sensori ganglia dari T1 ke
L2.
Walaupun virus bersifat laten, ganglia mempertahankan potensi untuk

inefektivitas penuh, reaktifasi yang terjadi bersifat sporadis, jarang, dan


terkait dengan imunosupresi, radiasi dari columna vertebralis, tumor, trauma
lokal, manipulasi bedah tulang belakang dan sinusitis frontalis. VZV mungkin
juga mengaktifkan kembali tanpa menghasilkan penyakit yang nyata.
Walaupun asimtomatik reaktivasi VZV tidak terbukti pasti, kuantitas kecil
antigen virus yang dilepaskan selama reaktivasi diharapkan dapat merangsang
dan

mempertahankan

kekebalan

host

terhadap

VZV.

Ketika resistensi host jatuh di bawah tingkat kritis, virus berkembang biak
dan menyebar dalam ganglion, kemudian menyebabkan nekrosis neuron dan
peradangan hebat, sebuah proses yang sering disertai neuralgia berat
(Sjamsoe, 2005; Timur FJ, 2009).
LXXIV. Infeksi VZV kemudian menyebar ke saraf sensorik,
beresiko neuritis hebat, dan dilepaskan di sekitar ujung akhiran saraf sensorik
di kulit, di mana ia menghasilkan karakteristik kluster vesikula zoster.
Penyebaran infeksi ganglionik secara proksimal sepanjang radiks saraf
posterior menuju meningen dan corda menghasilkan leptomeningitis lokal,
cairan cerebrospinal pleocytosis, dan segmental myelitis. Infeksi motor
neuron di kornu anterior dan radang pada syaraf di bagian radiks anterior
dicatat untuk palsies lokal yang mungkin menyertai erupsi kutaneus, dan
perluasan infeksi di dalam sistem saraf pusat dapat dihasilkan pada
komplikasi jarang herpes zoster (misalnya, meningoensefalitis, transverse
myelitis) (Sjamsoe, 2005; Timur FJ, 2009).
LXXV.
LXXVI.
LXXVII.
LXXVIII.
LXXIX.
LXXX.
A. MANIFESTASI KLINIS
LXXXI.
Hari LXXXIII.
H LXXXIV.

LXXXII.
1

ari 2

Hari
5

LXXXV.

Hari 6

LXXXVI.

LXXXVII.

XC.
XCI.

LXXXVIII.

LXXXIX.

Gambar 2. Perkembangan ruam herpes zoster


Pada awal terinfeksi virus tersebut, pasien akan menderita

rasa sakit seperti terbakar dan kulit menjadi sensitif selama beberapa hari
hingga satu minggu. Penyebab terjadinya rasa sakit yang akut tersebut sulit
dideteksi apabila ruam (bintil merah pada kulit) belum muncul. Ruam
shingles mulai muncul dari lepuhan (blister) kecil di atas dasar kulit merah
dengan lepuhan lainnya terus muncul dalam 3-5 hari. Lepuhan atau bintil
merah akan timbul mengikuti saraf dari sumsum tulang belakang dan
membentuk pola seperti pita pada area kulit. Penyebaran bintil-bintil tersebut
menyerupai sinar (ray-like) yang disebut pola dermatomal. Bintil akan
muncul di seluruh atau hanya sebagian jalur saraf yang terkait. Biasanya,
hanya satu saraf yang terlibat, namun di beberapa kasus bisa jadi lebih dari
satu saraf ikut terlibat. Bintil atau lepuh akan pecah dan berair, kemudian
daerah sekitarnya akan mengeras dan mulai sembuh. Gejala tersebut akan
terjadi dalam selama 3-4 minggu. Pada sebagian kecil kasus, ruam tidak
muncul tetapi hanya ada rasa sakit (Urman, 2008).
XCII.
Tambahan gejala termasuk (Tyring, 2007) :
1. Nyeri perut
2. Kedinginan
3. Kesulitan menggerakkan beberapa otot di wajah
4. kelemahan kelopak mata (ptosis)
5. Demam
6. Lesi alat kelamin
7. Sakit kepala
8. Gangguan pendengaran
9. Nyeri sendi
10. Hilangnya gerakan mata (oftalmoplegia)
11. Pembengkakan kelenjar getah bening
12. Masalah pengecapan
13. Masalah penglihatan

XCIII.
XCIV. Gambar 3. Gambaran UKK herpes zoster
XCV.

Masa tunas dari penyakit ini adalah 7-12 hari. Masa aktif

penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap timbul berlangsung kira-kira 1-2
minggu. Daerah yang sering terkena adalah daerah thorakal, walaupun daerah
yang lain tidak jarang. Sebelum timbul gejala yang menunjukkan ujud
kelainan kulit, biasanya terdapat gejala prodormal yang muncul sebelum
terjadinya erupsi kulit.
XCVI.
Gejala prodormal
XCVII. Keluhan biasanya diawali dengan nyeri pada daerah
dermatom yang akan timbul lesi dalam jangka waktu bervariasi. Nyeri dapat
bersifat segmental dan dapat bersifat terus menerus atau sebagai serangan
yang hilang timbul. Keluhan bervariasi, mulai dari rasa gatal, kesemutan,
panas, pedih, nyeri tekan, hiperestesi sampai rasa seperti ditusuk-tusuk.
Gejala konstitusi juga dapat muncul berupa malaise, sefalgia, dan other flu
like symptoms yang biasanya akan menghilang setelah erupsi kulit timbul.
XCVIII.
XCIX.
Erupsi Kulit
C. Erupsi kulit yang muncul hampir selalu unilateral dan biasanya
terbatas pada daerah yang dipersarafi oleh satu gangglion sensorik. Erupsi
yang terjadi dapat menyerang seluruh tubuh, terutama yang tersering adalah
di daerah gangglio thorakalis. Lesi dimulai dengan gambaran makula

eritrosquamosa, kemudian terbentuk papul-papul dan dalam waktu 12-24 jam


lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari ke tiga akan berubah menjadi
pustul yang akan mengering menjadi krusta dalam 7-10 hari. Krusta dapat
bertahan sampai 2-3 minggu kemudian mengelupas. Pada saat ini, biasanya
nyeri segmental juga menghilang.
CI.Lesi baru pada penyakit ini dapat terus timbul sampai hari ketiga
dan kadang-kadang sampai hari ketujuh. Erupsi kulit yang berat dapat
meninggalkan makula hiperpigmentasi dan jaringan parut (pitted scar).
Erupsi kulit yang terjadi ini umumnya disertai dengan nyeri pada 60-90%
kasus (Urman, 2008).
CII.
A. PEMERIKSAAN KULIT
CIII.
Lokalisasi bisa di semua tempat, dan paling sering pada
servikal IV dan lumbal II. Efloresensi/ sifat- sifatnya, biasanya berupa
kelompok- kelompok vesikel sampai bula di atas daerah yang eritematosa.
Lesi yang khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai dengan letak
syaraf yang terinfeksi virus (Siregar, 2004).
CIV.
A. GAMBARAN HISTOPATOLOGI
1. Tampak vesikula bersifat unilokular, biasanya pada stratum granulosum,
kadang- kadang subepidermal. Yang penting adalah temuan sel balon
yaitu sel stratum spinosum yang mengalami degenerasi dan membesar,
juga

badan

inklusi

(lipscuhtz)

yang

tersebar

dalam

inti

sel

epidermis,dalam jaringan ikat dan endotel pembuluh darah. Dermis


mengalami dilatasi pembuluh darah dan sebukan lmfosit.
2. Jika menyerang wajah, daerah yang dipersarafi N V cabang atas disebut
herpes zoster frontalis. Jika menyerang cabang oftalmikus N V disebut
herpes zoster oftalmik.
3. Jika menyerang saraf interkostal disebut herpes zoster torakalis.
4. Jika menyerang daerah lumbal disebut herpes zoster abdominalis atau
lumbalis.
CV.
A. DIAGNOSIS BANDING
1. Herpes Simpleks : hanya dapat dibedakan dengan mencari virus herpes
simpleks dalam embrio ayam, kelinci, tikus
2. Varisela : biasanya lesi menyebar sentrifugal, selalu disertai demam

10

3. Impetigo vesikobulosa : lebih sering pada anak-anak, dengan gambaran


vesikel dan bula yang cepat pecah dan menjadi krusta (Siregar, 2004).
4. Dermatitis herpetiform
CVI.
A. PENATALAKSANAAN
CVII.
Terapi sistemik umumnya bersifat sistematik, untuk
nyerinya diberikan analgetik. Jika disertai infeksi sekunder diberikan
antibiotik. Obat yang biasa digunakan adalan asiklovir dan modifikasinya,
misalnya valasiklovir. Obat yang lebih baru adalah famsiklovir dan
pensiklovir yang mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih lama sehingga
cukup diberikan 3x250 mg sehari (Handoko, 2007).
CVIII.
Dosis asiklovir yang dianjurkan adalah 5 x 800 mg sehari
dan biasanya diberikan selama 7 hari, sedangkan valasiklovir cukup 3 x 1000
mg sehari karena konsentrasi dalam plasma lebih tinggi. Jika lesi baru masih
tetap timbul obat-obat tersebut masih dapat diteruskan dan dihentikan sesudah
2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi (Handoko, 2007).
CIX.
Pengobatan spesifik belum ada.

Beberapa

penulis

menganjurkan vitamin B1, antibiotik spektrum luas misalnya kloramfenikol,


tetrasiklin untuk mengurangi infeksi sekunder. Untuk mengurangi neuralgia
pascaherpetika dapat diberikan kortikosteroid seperti prednison dan
deksametason (Siregar, 2004).
CX.
Dalam penatalaksanaan herpes zoster ini dikenal dengan
strategi 6 A, yaitu :
1. Attract patient early
CXI. Dalam hal ini pasien harus mendapatkan pertolongan sedininmungkin
setidaknya dalam 72 jam setelah timbulnya erupsi kulit, dokter juga
diharapkan mampu mendiagnosis herpes zoster secara tepat
2. Asses pasient fully
CXII. Memperhatikan kondisi khusus pasien, misalnya pasien dengan resiko
komplikasi nyeri pasca herpetik, usia lanjut, immunokompromise, sindrom
ramsay hunt, dan lain sebagainya
3. Antiviral therapy
CXIII.
Pengobatan ini biasanya diberikan jika erupsi yang timbul < 3 hari,
jika sudah lebih dari 3 hari, maka tidak ada artinya. Antiviral diberikan tanpe
melihat waktu timbulnya lesi pada :
a) Pasien dengan usia > 50 tahun
b) Dengan resiko terjadinya HNP

11

c) Herpes zoster oftalmika, sindrom Ramsay Hunt, herpes zoster


servikalis, herpes zoster sakralis
d) Immunokompromise, diseminata/generalisata/dengan komplikasi
e) Anak-anak, usia < 50 tahun, dan perempuan hamil diberikan antiviral
dila diserta resiko : terjadinya sindrom NPH, HZO/Ramsay Hunt,
imunokompromise, diseminata/generalisata dengan komplikasi.
CXIV.

Pengobatan Antivirus, tujuan : menghentikan replikasi dari

virus
a) Asiklovir dewasa : 5 x 800 mg/hari selama 7-10 hari
b) Asiklovir intra vena 3x10mg/kgBB/hari
c) Famsiklovir untuk dewasa 3 x 250 mg/hari selama 7 hari.
CXV.

Pengobatan

Antivirus

pada

pasien

dengan

immunokompromise :
a) Asiklovir, dewasa : 4-5 x 800 mg/hari
b) Asikovir IV 3 x 10 mg/kgBB/hari pada highly imunocompromais,
multisegmental/diseminata
c) Valasiklovir untuk dewasa 3x1 gram/hari
d) Famsiklovir, dewasa : 3 x 500mg/hari
CXVI.

Dosis Asiklovir untuk anak

a) < 12 tahun : 30 mg/kgBB/7 hari


b) > 12 tahun : 60mg/kgBB 7 hari
4. Analgetik
a) Nyeri ringan : parasetamol / NSAID
b) Nyeri sedang sampai berat : kombinasi opioid ringan (tramadol,
kodein)
5. Antidepresant/antikonvulsant
6. Allay-anxietas/counselling
CXVII.
Mengedukasi pasien mengenai penyakit herpes
zoster untuk mengurangi kecemasan serta ketidakpahaman pasien tentang
penyakitnya
CXVIII.
A. KOMPLIKASI
CXIX.
Komplikasi yang paling sering dari herpes zoster adalah
keadaan yang disebut neuralgia pascaherpetik. Penderita herpes zoster dengan
neuralgia pascaherpetik akan merasakan nyeri yang sangat hebat di daerah
munculnya herpes, walaupun plenting-plenting sudah hilang. Neuralgia
pascaherpetik dapat timbul pada umur di atas 40%, sekitar 10-15%. Makin
tua penderita makin tinggi persentasenya.

12

Pada penderita dengan status

imunitas yang rendah (seperti infeksi HIV, tumor ganas, atau berusia lanjut)
plenting-plenting herpes dapat menjadi ulkus dengan jaringan yang mati
(Handoko, 2007; Cohen, 2013).
CXX.
Komplikasi yang lain di antaranya perubahan warna kulit
dan bekas luka, infeksi sekunder dari luka herpes, hipersensitivitas kulit (510%) , dan komplikasi serius pada mata yang terjadi pada herpes zoster
oftalmikus (10-20%). Komplikasi yang jarang yaitu pneumonia, gangguan
pendengaraan, kebutaan, radang otak (encephalitis) (National Centre for
Immunisation Research & Surveillance, 2014; CDC, 2014).
CXXI.
A. PROGNOSIS
CXXII.

Pada orang muda dan anak-anak baik (Siregar, 2004).


CXXIII.

CXXIV.

CXXV.

III. PEMBAHASAN

Herpes zoster adalah infeksi virus yang terjadi

setelah terpapar infeksi primernya, yaitu virus varisela. Pada pasien ini
dari anamnesis yang meunjang pada ditegakkannya diagnosis herpes
zoster adalah pasien sudah pernah terkena vasisela sebelumnya. Hal ini
menunjukkan telah terjadinya infeksi primer dan virus varisela menjadi
laten di gangglion saraf sensoris pasien. Dan reakstivasi dari virus ini
ditunjukkan dengan adanya manifestasi klinis yang timbul pada kulit
berupa timbulnya vesikel yang berkelompok pada dasar yang eritem yang
letaknya unilateral dan sesuai dengan dermatom saraf yang terkena. Pada
pasien ini lesi yang timbul adalah di bagian cervical bagian sinistra. Lesi
yang letaknya seperti ini apabila dilihat secara lebih lanjut, maka letak lesi
ini menunjukkan dermatom yang sama, yaitu dermatom yang diinervasi
oleh saraf cervicalis.
CXXVI.

Diagnosis lebih tegak lagi ketika rasa panas, nyeri

senut-senut dirasakan oleh pasien. Ini dapat menunjukkan bahwa adanya


gejala neuralgia, selain itu, gejala prodormal yang muncul sebelum lesi
timbul yaang dialami oleh pasien, yaitu malaise. Walaupun pemeriksaan
penunjang tidak dilakukan, diagnosis secara klinis dapat ditegakkan pada
pasien ini. Varisela yang menjadi diagnosis banding dapat disingkirkan
13

karena lesi unilateral (pada satu sisi tubuh). Diagnosis banding yang lain,
yaitu dermatitis herpetiform juga bisa disingkirkan, hal ini mengingat
proses penyakit yang terjadi pada pasien cenderung bersifat akut, dan
pasien baru pertama kali mengalami penyakit yang seperti ini, selain lesi
yang ditimbulkan bersifat unilateral. Pada dermatitis herpetiform karena
merupakan proses imunologi, maka penyakit ini cenderung berjalan kronis
dan kumat-kumatan, selain itu, lesi yang ditimbulkan juga akan bersifat
bilateral.
CXXVII.

Pengobatan pada pasien ini meliputi antiviral berupa

asiklovir oral dan salep, analgetik untuk mengurangi nyeri, dan bedak
salisil untuk mengupayakan agar lesi kering dan vesikel tidak mudah
pecah. Apabila diagnosis yang kita tegakkan belum yakin, maka
pemeriksaan penunjang berupa Tzank smear dari kerokan lesi dapat
dilakukan untuk melihat apakah terdapat virus dari famili herpes atau
tidak, atau pemeriksaan yang lain seperti kultur virus ataupun pemeriksaan
antibodi.
IV. KESIMPULAN
CXXVIII.
1. Pasien mempunyai diagnosis herpes zoster cervicalis sinistra
2. Herpes Zooster disebabkan oleh reaktivasi dari Virus Varisela Zooster
yang oleh penderita varisela
3. Herpes Zooster ini ditandai dengan lesi unilateral terlokalisasi yang mirip
dengan cacar air dan terdistribusi pada syaraf sensoris. Biasanya lebih dari
satu syaraf yang terkena dan pada beberapa pasien dengan penyebaran
hematogen, terjadi lesi menyeluruh yang timbul setelah erupsi lokal.
4. Herpes Zoster biasanya terjadi pada pasien dengan immunocompromised,
penyakit ini juga umum pada orang dewasa daripada anak-anak. Pada
dewasa lebih sering diikuti nyeri pada kulit.
CXXIX.
CXXX.
CXXXI.
CXXXII.
CXXXIII.
CXXXIV.
CXXXV.
14

CXXXVI.
CXXXVII.
CXXXVIII.
CXXXIX.
CXL.
CXLI.
CXLII.
CXLIII.
CXLIV.
CXLV.
CXLVI.
CXLVII.
CXLVIII.
CXLIX.
CL.
CLI. DAFTAR PUSTAKA
CLII.
CLIII. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2014. Shingles (Herpes
Zoster). Available at URL http://www.cdc.gov/shingles/index.html

CLIV. Cohen, Jeffrey I. 2013. Herpes Zoster. Clinical Practice. The New England Jornal
of Medicine. Vol 369: 3. Page 255-62.
CLV. Handoko, Ronny P. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI. Penyakit VirusHerpes Zoster. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

CLVI. Kimberlin DW, Whitley RJ. 2007. Varicella-zoster vaccine for the
prevention of herpes zoster. N Engl J Med. 356(13): 1338-43.
CLVII. National Centre for Immunisation Research & Surveillance. 2014. Herpes Zoster.
Available at URL http://www.ncirs.edu.au/immunisation/fact-sheets/herpes-zostervaccine-fact-sheet.pdf

CLVIII.

Siregar, R.S. 2004. Penyakit Virus. Dalam : Atlas Berwarna

Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC.


E.S ., medical multimedia Indonesia., 2005. Penyakit kulit yang

CLIX. Sjamsoe

umum di Indonesia.Pt-mmi@medical-e-book.com
CLX. Timur FJ., Herpes Zoster., 2009. www.e-medicine.com
CLXI. Tyring SK. 2007. Management of herpes zoster and postherpetic
neuralgia. J Am Acad Dermatol. 57(6 Suppl): S136-42.
CLXII.Urman CO, Gottlieb AB. 2008. New viral vaccines for dermatologic
disease. J Am Acad Dermatol. 58 (3): 361-70.
CLXIII.
CLXIV.

15

Você também pode gostar