Você está na página 1de 8

blogspot.

com
Google mendeteksi bahwa sambungan internet Anda lambat dan telah mengoptimalkan laman ini
untuk menghemat data hingga 80%.

Baru saja dioptimalkanLihat yang asli

VISIT BANDA ACEH - ACEH -


INDONESIA
Banda Aceh - Visit Aceh - a spiritual gateway blessed with natural beauty

Jun 10, 2011

SYEIKH ABDUL RAUF SINGKEL; SYEKH SYIAH


KUALA
SYEIKH ABDUL RAUF SINGKEL; SYEKH SYIAH KUALA

Syekh Abdur Rauf As-Singkili; Syekh Syiah


Kuala

SYEIKH ABDUL RAUF SINGKEL; SYEKH SYIAH


KUALA
Riwayat Hidup

Ada dua legenda yang dikaitkan dengan Abdul Rauf Singkel. Legenda pertama menyatakan
bahwa ia adalah mubaligh pertama yang mengislamkan Aceh (lihat Liaw Yock Fang, 1975:
198 dan Braginsky, 1998: 474). Legenda kedua menyatakan bahwa khotbah-khotbahnya
telah membawa para pelacur dari bordil, yang konon dibuka oleh Hamzah Fansuri di
ibukota Aceh, untuk kembali ke jalan yang benar (Snouck Hurgronje dalam Braginsky, 1998:
474). Braginsky (1998) menegaskan bahwa kedua legenda itu tentu saja tidak sesuai
dengan kebenaran sejarah.

Namun, tentang peranan Abdul Rauf sebagai mualim, ulama dan pendakwah yang
berpengaruh dalam kedua legenda tersebut, tentu saja tidak bisa disangkal. Arah
gagasannya selalu praktis. Sebagai seorang mualim ia selalu menaruh perhatian besar
pada murid-muridnya. Karya-karyanya selalu bertolak dari perhatiannya yang demikian itu,
yaitu untuk membantu mereka memahami Islam dengan lebih baik lagi, menasehati mereka
supaya tidak tertimpa musibah, memperteguh kesalehan mereka, dan menghindarkan
mereka dari tindakan salah dan tidak toleran (A. Johns dalam Braginsky, 1998: 474).
Abdul Rauf Singkel, yang bernama panjang Syeh Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-
Singkili, lahir di Fansur, lalu dibesarkan di Singkil pada awal abad ke-17 M. Ayahnya adalah
Syeh Ali Fansuri, yang masih bersaudara dengan Syeh Hamzah Fansuri. A. Rinkes
memperkirakan bahwa Abdul Rauf lahir pada tahun 1615 M. Ini didasarkan perhitungan,
ketika Abdul Rauf kembali dari Mekah, usianya antara 25 dan 30 tahun (lihat Abdul Hadi
WM, 2006: 241). Namun, Abdul Hadi WM (2006) menyatakan bahwa perkiraan itu bisa
meleset, karena Abdul Rauf berada di Mekah sekitar 19 tahun, dan kembali ke Aceh pada
1661. Bila dalam usia 30 tahun ia kembali dari Mekah, berarti ia dilahirkan pada 1630.

Selama sekitar 19 tahun menghimpun ilmu di Timur Tengah, Abdul Rauf tidak hanya belajar
di Mekah saja. Ia juga mempelajari ilmu keagamaan dan tasawuf di bawah bimbingan guru-
guru yang termasyhur di Madinah. Di kota ini, ia belajar kepada khalifah (pengganti) dari
tarekat Syattariyah, yaitu Ahmad Kusyasyi dan penggantinya, Mula Ibrahim Kurani
(Braginsky, 1998: 474). Dalam kata penutup salah satu karya tasawufnya, Abdul Rauf
menyebutkan guru-gurunya. Data yang cukup lengkap tentang pendidikan dan tradisi
pengajaran yang diwarisinya ini merupakan data pertama tentang pewarisan sufisme di
kalangan para sufi Melayu. Ia juga menyebutkan beberapa kota Yaman (Zabit, Moha, Bait
al-Fakih, dan lain-lain), Doha di Semenanjung Qatar, Madinah, Mekah, dan Lohor di India. Di
samping itu, ia juga menyebutkan daftar 11 tarekat sufi yang diamalkannya, antara lain
Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah (Braginsky, 1998:
474).

Sepeninggal Ahmad Kusyasyi, Abdul Rauf memperoleh izin dari Mula Ibrahim Kurani untuk
mendirikan sebuah sekolah di Aceh. Sejak 1661 hingga hampir 30 tahun berikutnya, Abdul
Rauf mengajar di Aceh. Liaw Yock Fang (1975) menyebutkan bahwa muridnya ramai sekali
dan datang dari seluruh penjuru Nusantara. Dan, karena pandangan-pandangan
keagamaannya sejalan dengan pandangan Sultan Taj al-Alam Safiatun Riayat Syah binti
Iskandar Muda (1645-1675), Abdul Rauf kemudian diangkat menjadi Syeikh Jamiah al-
Rahman dan mufti atau kadi dengan sebutan Malik al-Adil, menggantikan Syeh Saif al-Rijal
yang wafat tidak lama setelah ia kembali ke Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 241-242). Selain
itu, ia juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menolak berkuasanya seorang raja
perempuan (lihat Mat Piah et.al, 2002: 61).

Walaupun disibukkan oleh tugas mengajar dan pemerintahan, Abdul Rauf masih sempat
menulis berbagai karya intelektual dan juga karya sastra berbentuk syairbanyak di
antaranya yang masih tersimpan sampai sekarang.

Mulanya, ketika dititahkan oleh Sultanah untuk menulis Mirat al-Tullab pada 1672, ia tidak
bersedia karena merasa kurang menguasai bahasa Melayu setelah lama bermukim di
Haramayn (Arab Saudi). Tetapi setelah mempertimbangkan masak-masak perlunya kitab
semacam ini ditulis dalam bahasa Melayu, ia pun mengerjakannya, dengan dibantu oleh
dua orang sabahat (Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad dalam Abdul hadi WM, 2006: 243).
Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat bahwa karyanya tidak kurang
dari 36 kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Quran dan hadis.

Pengaruh Abdul Rauf juga mencapai umat Islam di Jawa. Braginsky (1998) menyebutkan
bahwa Abdul Rauf pernah berkunjung ke Banten. Sedangkan Liaw Yock Fang (1975)
menyebutkan bahwa salah satu karya Abdul Rauf dikutip dalam sebuah risalah sufi yang
terkenal di Jawa. Sementara itu, tarekat Syattariyah, yang juga banyak penganutnya di
Jawa, membubuhkan nama Abdul Rauf dalam silsilah para sufi besar penganut tarekat
tersebut. Sehingga, Abdul Rauf jelas dikenal oleh orang-orang Jawa yang menganutnya.

Barangkali yang paling diingat orang tentang Abdul Rauf adalah bahwa ia berpenting sekali
dalam menengahi silang pendapat antara Nuruddin al-Raniri dan Hamzah Fansuri tentang
aliran wujudiyyah. Braginsky (1998) telah menguraikan pendekatan Abdul Rauf yang lebih
sejuk dan damai terhadap aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri tersebut.

Ketika wafat pada tahun 1693, Abdul Rauf dimakamkan di muara sebuah sungai di Aceh, di
samping makam Teuku Anjong yang dikeramatkan oleh orang Aceh (Abdul Hadi WM, 2006:
246), sehingga ia dikenal juga sebagai Syeh Kuala atau Tengku di Kuala (Liaw Yock Fang,
1975: 198).

B. Pemikiran

1. Tasawuf

Dalam banyak tulisannya, Abdul Rauf Singkel menekankan tentang transendensi Tuhan di
atas makhluk ciptaan-Nya. Ia menyanggah pandangan wujudiyyah yang menekankan
imanensi Tuhan dalam makhluk ciptaan-Nya. Dalam karyanya yang berjudul Kifayat al-
Muhtajin, Abdul Rauf berpendapat bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam semesta, Dia
menciptakan Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad inilah Tuhan kemudian menciptakan
permanent archetypes (al-ayan al-kharijiyyah), yaitu alam semesta yang potensial, yang
menjadi sumber bagi exterior archetypes (al-ayan al-kharijiyyah), bentuk konkret makluk
ciptaan. Selanjutnya, Abdul Rauf menyimpulkan bahwa walaupun ayan al-kharijiyyah adalah
emanasi (pancaran) dari Wujud Yang Mutlak, ia tetap berbeda dari Tuhan. Abdul Rauf
mengumpamakan perbedaan ini dengan tangan dan bayangannya. Walaupun tangan
sangat sukar untuk dipisahkan dari banyangannya, tetapi bayangan itu bukanlah tangan
yang sebenarnya (lihat Azyumardi Azra dalam Osman, 1997: 174).

Secara umum, Abdul Rauf ingin mengajarkan harmoni antara syariat dan sufisme. Dalam
karya-karyanya ia menyatakan bahwa tasawuf harus bekerjasama dengan syariat. Hanya
dengan kepatuhan yang total terhadap syariat-lah maka seorang pencari di jalan sufi dapat
memperoleh pengalaman hakikat yang sejati. Pendekatannya ini tentu saja berbeda dari
pendekatan Nuruddin al-Raniri yang tanpa kompromi. Abdul Rauf cenderung memilih jalan
yang lebih damai dan sejuk dalam berinteraksi dengan aliran wujudiyyah. Maka, walaupun ia
menentang aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri itu, ia tidak menyatakannya secara
terbuka. Lagipula, ia juga tidak setuju dengan cara-cara radikal yang ditempuh oleh
Nuruddin (lihat Azyumardi Azra dalam Osman, 1997: 174).

Menariknya, dalam karya-karyanya ia tidak menyebut Nuruddin al-Raniri, yang karya-


karyanya mungkin sekali telah dikenalinya, tetapi seolah-olah mengisyaratkan peristiwa
tragis yang pernah terjadi, melalui kutipan sebuah hadis: Jangan sampai terjadi seorang
muslim menyebut muslim lain sebagai kafir. Karena jika ia berbuat demikian, dan memang
demikianlah kenyataannya, lalu apakah manfaatnya. Sedangkan jika ia salah menuduh,
maka tuduhan ini akan dibalikkan melawan ia sendiri (Johns dalam Braginsky, 1998: 476).

Dengan caranya yang lebih damai ini, ia dapat menahan berkembangnya heterodoksi dalam
Islam yang disebabkan oleh tafsir yang kurang tepat terhadap ajaran Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin as-Sumatrani (Abdul Hadi WM, 2006: 241).

Penekanannya tentang pentingnya syariat dalam tasawuf muncul dalam Umdat al-Muhtajin
ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf). Di
dalam kitab ini, Abdul Rauf menguraikan masalah zikir. Zikir adalah dasar dari tasawuf dan
karena itu merupakan metode yang penting dalam disiplin kerohanian sufi. Abdul Rauf
membagi zikir menjadi dua, yaitu zikr hasanah dan zikir darajat. Zikir yang pertama tidak
mengikuti aturan tertentu, sedangkan zikir yang kedua terikat aturan yang ketat (Abdul Hadi
WM, 2006: 241).

Zikir darajat dilakukan setelah seseorang bertobat, kemudian menjalani upacara tertentu
seperti duduk bersila menyilangkan dua kaki dan berpakaian bersih, menghadap kiblat,
memilih tempat yang gelap agar dapat berkonsentrasi dan memejamkan mata. Setelah itu ia
mulai berzikir, mengucapkan kalimat la ilaha Illa Allah. Kalimat ini dibaca dengan irama
tertentu sambil menggoyang-goyangkan kepala. Zikir dilakukan dengan nafas teratur, lidah
menyentuh langit-langit bagian belakang, sembari mengucapkan kalimat la ilaha Illa Allah
dengan pikiran. Biasanya 24 kalimat itu diucapkan baru nafas dihela (Abdul Hadi WM, 2006:
244).

Abdul Rauf mengajarkan dua metode zikir, yaitu zikir keras (jabr) dan zikir pelan (sirr). Zikir
keras dimulai dengan zikir nafiy (pengingkaran) dan isbat (penegasan), yaitu mengucap la
ilaha Illa Allah berulangkali. Zikir ini mengandung penegasan untuk mengingkari selain
Tuhan dan peneguhan bahwa satu-satunya Tuhan adalah Allah Taala. Ini dapat dibaca juga
dalam Syair Perahu. Di samping itu terdapat zikir gaib dengan mengucap Hu Allah dan zikir
penyaksian (al-syahadah) dengan mengucapkan Allah, Allah. Zikir pelan dilakukan dengan
nafas teratur, dengan membayangkan kalimat la ilaha saat menghela nafas dan illa Allah
saat menarik nafas ke dalam hati. Tujuan zikir ini adalah pemusatan diri, bukan untuk
membayangkan kehadiran gambar Tuhan seperti dalam praktik Yoga Pranayama (Abdul
Hadi WM, 2006: 244-245).

Semua ajaran tasawuf didasarkan pada gagasan sentral Islam yang sama, yaitu tauhid,
tetapi para sufi mempunyai beragam cara dalam menafsirkannya. Dasar pandangan Abdul
Rauf tentang tauhid antara lain tertera dalam kitab Tanbih al-Masyi. Ia mengajarkan agar
murid-muridnya senantiasa mengesakan al-Haq (Yang Maha Benar) dan menyucikan-Nya
dari hal-hal yang tidak layak baginya, yaitu dengan mengucap la ilaha Illa Allah. Kalimat ini
mengandung empat tingkatan tauhid. Pertama, penegasan penghilangan sifat dan
perbuatan pada diri yang tidak layak disandang Allah. Tiga tingkatan tauhid berikutnya
adalah uluhiya, yaitu mengesakan ketuhanan Allah, sifat, yaitu mengesakan sifat-sifat Allah,
dan zat, mengesakan Zat Tuhan (Othman Mohd. Isa dalam Abdul Hadi WM, 2006: 245-246).

Menurut Abdul Rauf, Salah satu bukti keesaan Allah SWT adalah tidak rusaknya alam. Allah
berfirman, Sekiranya di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah
keduanya itu telah rusak dan binasa. Berangkat dari pengetahuan inilah kemudian ia
membicarakan hubungan ontologis atau kewujudan antara Pencipta dan ciptaan-ciptaan-
Nya, antara Yang Satu dan yang banyak, antara al-wujud dan al-maujudat. Alam adalah
wujud yang terikat pada sifat-sifat mumkinat atau serba mungkin. Oleh karena itu alam
disebut sebagai sesuatu selain al-Haq (Oman Fathurrahman dalam Abdul Hadi WM, 2006:
246).

2. Syariat

Abdul Rauf Singkel juga menulis kitab dalam bidang syariat. Yang terpenting adalah Mirat al-
Turab fi Tashil Marifah al-Ahkam al-Syariyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut
Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara dari Tuhan, bahasa Melayu). Kitab ini
merupakan kitab Melayu terlengkap yang membicarakan syariat. Sejak terbit, kitab ini
menjadi rujukan para kadi atau hakim di wilayah Kesultanan Aceh. Dalam kitabnya ini, Abdul
Rauf tidak membicarakan fikih ibadat, melainkan tiga cabang ilmu hukum Islam dari mazhab
Syafii, yaitu hukum mengenai perdagangan dan undang-undang sipil atau
kewarganegaraan, hukum perkawinan, dan hukum tentang jinayat atau kejahatan (Ali
Hasmy dalam Abdul Hadi WM, 2006: 243).

Bidang pertama termasuk fikih muamalah dan mencakup urusan jual beli, hukum riba,
kemitraan dalam berdagang, perdagangan buah-buahan, sayuran, utang-piutang, hak milik
atau harta anak kecil, sewa menyewa, wakaf, hukum barang hilang, dan lain-lain. Bidang
yang berkaitan dengan perkawinan mencakup soal nikah, wali, upacara perkawinan, hukum
talak, rujuk, fasah, nafkah, dan lain-lain. Sedangkan jinayat mencakup hukuman
pemberontakan, perampokan, pencurian, perbuatan zinah, hukum membunuh, dan lain-lain
(Ali Hasmy dalam Abdul Hadi WM, 2006: 243).

3. Tafsir

Dalam bidang tafsir, Abdul Rauf menghasilkan karya berjudul Tarjuman al-Mustafid. Pada
hakikatnya, karya ini merupakan terjemahan Melayu dari kitab tafsir yang lain, yaitu tafsir al-
Jalalain. Karya ini diselesaikan oleh muridnya, Daud Rumi, dan beberapa pengarang
belakangan lainnya, dengan mengambil agak banyak bagian dari tafsir al-Baidawi dan al-
Kazin (Riddel dalam Braginsky, 1998: 275). Walaupun kitab ini tergolong sebagai tafsir,
tetapi Braginsky (1998) menganggapnya sebagai terjemahan lengkap Al-Quran dalam
bahasa Melayu yang pertama, yang seperti lazimnya berbentuk sebagai tafsir dan bukan
karangan eksegesis yang rinci.

4. Sastra

Walaupun kuatrin terpisah-pisah, yang tidak lain merupakan bait-bait syair, terkadang
terdapat dalam Bustan as-Salatin karya Nuruddin al-Raniri, tetapi penerus tradisi penulisan
syair religius-mistik adalah Abdul Rauf Singkel. Braginsky (1998: 491-484) telah
membahas syair-syair tesebut dan menyimpulkan bahwa dalam syair-syairnya, Abdul Rauf
Singkel menegaskan tentang Sifat Kekekalan (Kadim) Tuhan di satu pihak, dan sifat
kemakhlukan (muhadas) manusia di pihak lain, yang menyebabkan adanya perbedaan
mutlak di antara keduanya. Jadi, karya sastra Abdul Rauf yang berupa syair ini masih
memiliki hubungan yang sangat erat dengan keyakinan tasawufnya.

Dalam sebuah naskah yang disalin di Bukit Tinggi pada 1859, diberitakan bahwa Abdul
Rauf-lah yang telah mengarang Syair Makrifat. Dalam syair ini, dibahas tentang empat
komponen agama Islam, yaitu iman, Islam, tauhid, dan makrifat, dan tentang makrifat
sebagai pengenalan sufi yang memahkotai keempat komponen itu. Syair ini juga
menegaskan bahwa hanya orang yang paham akan makna semuanya yang layak disebut
sebagai orang yang telah menganut agama yang sempurna.

C. Karya

Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat tidak kurang dari 36 kitab
berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Quran dan hadis, di antaranya
adalah:

1.Dakaik al-Huruf (Kehalusan-kehalusan Huruf), dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-
nabi, risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa.

2.Tafsir Baidhawi (terjemahan, 1884, diterbitkan di Istambul).

3.Mirat al-Turab fi Tashil Marifah al-Ahkam al-Syariyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para
Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara dari Tuhan, bahasa Melayu).

4.Umdat al-muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bai Orang-orang yang Menempuh
Jalan Tasawuf).

5.Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi (Pedoman bagi Penempuh Tarekat al-
Qusyasyi, bahasa Arab).

6.Bayan al-Arkan (Penjelasan tentang Rukun-rukun Islam, bahasa Melayu).

7.Bidayah al-Baligah (Permulaan yang Sempurna, bahasa Melayu).

8.Sullam al-Mustafiddin (Tangga Setiap Orang yang Mencari Faedah, bahasa Melayu).

9.Piagam tentang Zikir (bahasa Melayu).

10.Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawy.

11.Syarh Latif Ala Arba Hadisan li al-Imam al-Nawawiy (Penjelasan Terperinci atas Kitab
empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, bahasa Melayu).

12.Al-Mawaiz al-Badiah (Petuah-petuah Berharga, bahasa Melayu).

13.Kifayat al-Muhtajin.

14.Bayan Tajilli (Penjelasan tentang Konsep Manifestasi Tuhan).

15.Syair Makrifat.

16.Al-Tareqat al-Syattariyah (Untuk Memahami jalan Syattariyah).

17.Majmu al-Masail (Himpunan Petranyaan).

18.Syam al-Marifat (Matahari Penciptaan).

D. Pengaruh
Syeh Abdul Rauf Singkel memiliki banyak murid yang tersebar di kepulauan Nusantara. Dua
muridnya juga masyhur, yaitu Syeh Jamaluddin al-Tursani dan Syeh Yusuf al-Makasari.
Jamaluddin al-Tursani adalah seorang ahli hukum ketatanegaraan terkenal dan pernah
menjadi Kadi Malik al-Adil di istana Aceh pada awal abad ke-18 M. Ia terkenal berkat karya
hukum ketatanegaraannya yang komprehensif, Syafinat al Hukam (Bahtera Para Hakim),
yang merupakan perluasan baik terhadap Taj al-Salatin maupun Bustan al-Salatin.
Sedangkan Syeh Yusuf al-Makasari adalah seorang ulama dari Makassar. Ulama inilah yang
mendampingi Sultan Ageng Tirtayasa dalam perjuangannya melawan kolonialisme Belanda
(Abdul Hadi WM, 2006: 246).

Pada saat Abdul Rauf menjadi mufti, Aceh adalah kesultanan yang sangat penting di dunia
Melayu karena menjadi tempat persinggahan para jemaah haji. Orang dari Jawa dan daerah
lain di Indonesia yang pergi naik haji, harus singgah di Aceh. Sewaktu di Aceh, tidak sedikit
pula dari jemaah haji belajar agama dan ilmu tasawuf kepada Abdul Rauf (A.H. Johns dalam
Liaw Yock Fang, 1975: 197). Mungkin inilah sebabnya tarekat Syattariyah agak populer di
Jawa dan nama Abdul Rauf sering disebut dalam silsilah tarekat tersebut. Sebuah karangan
Abdul Rauf, yaitu Dakaiik al-Huruf, dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi, sebuah
risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa (Liaw Yock Fang, 1975: 197).

Bersama dengan Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf Singkel menunjukkan bahwa Islam,
sebagaimana yang dipraktekkan di Asia Tenggara, adalah bagian dari pasang surut gagasan
dan praktek religius dan mistisisme di dunia. Gagasan dan praktek ini berakar pada Al-
Quran dan kehidupan komunitas Islam awal, tetapi kemudian berkembang ke berbagai arah
yang berbeda-beda. Perdebatan yang terjadi di Aceh, dan juga di dunia Melayu pada
umumnya, tidak bersifat unik bagi daerah ini saja, karena telah muncul juga di berbagai
belahan dunia Islam lainnya. Menurut Piah dkk (2002), Aceh menangkap gagasan dan
praktek-praktek ini dan mengeskpresikannya dengan cara yang rumit dan menantang bagi
kaum Muslim yang memahami keimanan mereka melalui medium bahasa Melayu.

Sumber : http://melayuonline.com/ind/personage/dig/348/abdul-rauf-singkel

at 10:30 PM

Share

No comments:
Post a Comment
Links to this post

Create a Link



Home

View web version


'; (function() { var dsq = document.createElement('script'); dsq.type = 'text/javascript'; dsq.async
= true; dsq.src = '//' + disqus_shortname + '.disqus.com/embed.js';
(document.getElementsByTagName('head')[0] || document.getElementsByTagName('body')
[0]).appendChild(dsq); })();

Powered by Blogger.

Você também pode gostar