Você está na página 1de 3

PENYAKIT TINEA CORPORIS ET CRURIS

1. Definisi
Tinea corporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh baik lesi inflamasi maupun noninflamasi
pada glabrous skin (kulit tubuh yang tidak berambut) seperti: bagian muka, leher, badan, lengan, tungkai dan
gluteal.. Sinonim untuk penyakit ini adalah tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Fiechte, kurap, herpes
sircine trichophytique.1,2,3,4,5
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Sinonim untuk penyakit
ini adalah eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, dan ringworm of the groin.

2. Epidemiologi
Tinea corporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah dengan iklim yang panas dan lembab.
Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi yang hangat dan lembab membantu penyebaran infeksi ini. Oleh karena
itu, daerah tropis dan subtropis memiliki insien yang tinggi terhadap tinea corporis. Tinea corporis dapat terjadi
pada semua usia. Bisa didapatkan pada orang yang bekerja yang berhubungan dengan hewan-hewan.5,6
Maserasi dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang akan
memudahkan infeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi atau
tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya handuk, lantai kamar mandi, tempat tidur hotel
dan lain-lain.7
Pada tinea cruris, onsetnya biasanya pada orang dewasa, laki-laki lebih sering terjangkiti daripada wanita. Faktor
predisposisinya antara lain lingkungan yang hangat dan lembab, pakaian yang ketat, kegemukan dan
penggunaan obat glukokortikoid.

3. Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat
mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Walaupun semua dermatofita bisa menyebabkan tinea
corporis, penyebab yang paling umum adalah T. rubrum, T. mentagrophytes, T. canis dan T. tonsurans.1,2,3,5
Pada tinea cruris penyebabnya hampir sama dengan tinea corporis. Penyebab tinea cruris yang tersering yaitu:
T. rubrum, T. mentagrophytes, atau E. Floccosum.

4. Patofisiologi
Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama: perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel,
dan perkembangan respon host.
1. Perlekatan. Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin
diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh
keratinosit. Asam lemak yang diproduksi oleh glandula sebasea juga bersifat fungistatik
2. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum korneum pada
kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase
dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu
penetrasi jamur kejaringan. Fungal mannan didalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan
proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika begitu jamur mencapai lapisan terdalam dari epidermis.
3. Perkembangan respons host. Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang
terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat
penting dalam melawan dermatofita. Pada pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya, infeksi
primer menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin tes hasilnya negative.infeksi menghasilkan sedikit eritema
dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen dermatofita
diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Limfosit T
melakukan proliferasi dan bermigrasi ketempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-
tiba menjadi inflamasi, dan barier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi.
Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh.2,3,4

5. Gejala Klinis
Penderita merasa gatal, dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi kulit (polimorfi).
Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah. wujud lesi yang
beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi, menahun.1,2
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema,
skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul ditepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang, sementara
yang di tepi lebih aktif (tanda peradangan lebih jelas) yang sering disebut dengan sentral healing1,2
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Kelainan kulit juga dapat terlihat secara polisiklik,
karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberi gambaran yang tidak khas
terutama pada pasien imunodefisiensi.Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang mendadak biasanya
tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada
sela paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis.1,2
Pada tinea cruris kelainannya dapat bersifat akut dan menahun, bahkan seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas
tegas pada daerah genito-krural, atau meluas ke sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau
bagian tubuh lain. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada
tepi lebih nyata daripada didaerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan
sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi
dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Tinea cruris merupakan salah satu bentuk klinis yang sering
dilihat di Indonesia.5

6. Diagnosis1,5,8
Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan ruam yang diderita pasien. Dari gambaran klinis
didapatkan lesi di leher, lengan, tungkai, dada, perut atau punggung. Infeksi dapat terjadi setelah kontak dengan
orang yang terinfeksi atau hewan atau objek yang baru terinfeksi. Pasien mungkin mengalami gatal-gatal, nyeri
atau pasien dapat merasa sensasi terbakar.1,5
Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan dengan lampu Wood, yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan
gelombang 3650 Ao, yang jika didekatkan pada lesi akan timbul warna kehijauan. Pemeriksaan sediaan
langsung dengan KOH 10-20% bila positif memperlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora.
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas bahan alas (objek glass), kemudian ditambah 1-2 tetes
larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah
sediaan dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk
mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemnasan sediaan basah diatas api kecil. Pada saat mulai
keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan dihentikan. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal
KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat
ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchroom blue black.1
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk
menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan.
Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Biakan memberikan hasil
lebih cukup lengkap, akan tetapi lebih sulit dikerjakan, lebih mahal biayanya, hasil diperoleh dalam waktu lebih
lama dan sensitivitasnya kurang ( 60%) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan langsung.8

7. Diagnosa Banding
Tidaklah begitu sukar untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada umumnya, namun ada beberapa penyakit
kulit yang dapat mericuhkan diagnosis itu, misalnya dermatitis seboroika, psoriasis, dan pitiriasis rosea.1,5
Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya dapat terlihat pada
tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah
nasolabial, dan sebagainya.. Kulit kepala berambut juga sering terkena penyakit ini. Gambaran klinis yang khas
dari dermatitis seboroika adalah skuamanya yang berminyak dan kekuningan. 1
Psoriasis pada stadium penyembuhan menunjukkan gambaran eritema pada bagian pinggir sehingga
menyerupai tinea. Perbedaannya ialah pada psoriasis terdapat tanda-tanda khas yakni skuama kasar,
transparan serta berlapis-lapis, fenomena tetes lilin, dan fenomena auspitz. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan
kulit pada tempat predileksi, yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku, dan punggung. 1
Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian proksimal anggota
badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan
tinea korporis. Perbedaannya pada pitiriasis rosea gatalnya tidak begitu berat seperti pada tinea korporis,
skuamanya halus sedangkan pada tinea korporis kasar. Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan
diagnosisnya. 1,5

8. Penatalaksanaan
Terapi yang dapat diberikan pada pasien bervariasi tergantung derajat lesi yang ada. Prinsip pengobatan pada
tinea kruris lebih kurang sama dengan prinsip pengobatan tinea korporis

8.1 Terapi topikal


Terapi ini direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya hidup pada jaringan. Pada masa kini
selain obat-obat topical konvensional, misalnya asam salisil 2-4%, asam benzoate 6-12%, sulphur 4-6%, vioform
3%, asam undesilenat 2-5% dan zat warna (hijau brilian dalam cat Castellani) dikenal banyak obat topical baru.
Obat-obat baru ini diantaranya tolnaftat 2%; tolsiklat, haloprogin, berbagai macam preparat imidazol dan alilamin
tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semua obat-obat baru ini memberikan keberhasilan terapi (70-100%).
Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan
allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi.Berikut obat yang sering digunakan :
1. Topical azol terdiri atas: Econazol 1 %, Ketoconazol 2 %, Clotrimazol 1%, Miconazol 2% dll. Derivat imidazol
bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur.
2. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase sehingga skualen
menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur, yaitu naftifine 1%, butenafin 1%. Terbinafin
1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari
berturut-turut.
3. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat masuknya bahan esensial selular dan
pada konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang bersifat fungisidal dan
fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta berspektrum luas. 1.2,4,9,10

8.2 Terapi sistemik


Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ)
sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas,
infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal.
1. Griseofulvin. Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25 mg/kgBB sehari. Lama
pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu, diberikan bila lesi luas atau bila dengan
pengobatan topikal tidak ada perbaikan.
2. Ketokonazol. Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik, termasuk golongan
imidazol. Dosisnya 200 mg per hari selama 10 hari 2 minggu pada pagi hari setelah makan
3. Flukonazol. Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun absorbsi tidak dipengaruhi
oleh makanan atau kadar asam lambung.
4. Itrakonazol. Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat fungistatik dan efektif
untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat
diminum bersama dengan makanan.
5. Amfoterisin B. Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh Streptomyces nodosus. Bersifat
fungistatik, pada konsentrasi rendah akan menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan
sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan
preparat azol

Você também pode gostar