Você está na página 1de 9

WIWAHA/PERKAWINAN

Dalam masy. Hindu dikenal 4 jenjang kehidupan yang disebut


Catur Asrama
Definisi perkawinan (UNDANG-UNDANG No.1 Th 1974, pasal 1),
yaitu perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Perkawinan adalah adanya ikatan antara dua orang, pria dan


wanita secara lahir bathin, bertujuan membentuk rumah
tangga bahagia.
Perkawinan berhubungan erat dengan agama, Perkawinan
bukan hanya mempunyai unsur jasmani tapi juga rohani
Wiwaha identik dengan upacara yadnya menyebabkan hukum
hindu juga sebagai dasar persyaratan dalam pelaksanaan
perkawinan.
Legalnya upacara perkawinan harus ditandai dengan
pelaksanaan ritual, yaitu upacara wiwaha minimal upacara
byakala.

Perkawinan dianggap sah bila ada saksi.


Dalam Upacara wiwaha, terdapat tri upasaksi (tiga saksi), yaitu
Dewa Saksi, Manusa Saksi dan Butha Saksi.
Usai melaksanakan Upacara Byakala, Kedua pasangan resmi
sebagai Suami-Istri (Dampati)

Bulan Januari 1974 dikeluarkan Undang-Undang Perkawinan


yang disusun Mensegneg dan ditetapkan oleh Presiden dengan
sebutan Undang-Undang No.1 Th 1974

Tanggal 1 April 1975 keluar PERATURAN PEMERINTAH (PP)


tentang pelaksanaan UNDANG-UNDANG No 1 th 1974 tentang
Perkawinan, yaitu PERATURAN PEMERINTAH (PP) No.9 th 1975,
mulai berlaku efektif Tanggal 1 Oktober 1975, yang berkaitan
dengan pencatatan perkawinan secara hukum nasional yang
dilaksanakan di kantor Catatan Sipil.
Asas-asas UNDANG-UNDANG Perkawinan:

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan


kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
agama yang dianut, dan setiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku

3. Undang-undang perkawinan mengandung asas monogami

4. Calon suami-istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat


melangsungkan perkawinan

5. Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar


perceraian

6. Hak dan kedudukan suami-istri dalam kehidupan berumah tangga


dan masyarakat diatur dalam undang-undang ini.

Berdasarkan kitab manusmerti, perkawinan sifatnya religius


dan obligator, hal ini karena erat kaitannya dengan kewajiban
untuk mendapatkan keturunan dan melebur dosa-dosa orang
tua dengan melahirkan anak SUPUTRA.
Putra (bhs sanskerta) berarti ia yang menyeberangkan/
menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka
Dalam manawa DHARMA SASTRA dikatakan bahwa wiwaha
bersifat sakral dan hukumnya wajib.

TUJUAN WIWAHA
Tujuan utama wiwaha adalah: untuk memperoleh keturunan/
sentana terutama yang suputra, yaitu anak yang hormat
terhadap orang tua, cinta kasih terhadap sesama, dan berbakti
kepada Tuhan.
Dalam nitisastra disebutkan bahwa orang yang mampu
melahirkan anak yang suputra lebih tinggi keutamaannya dari
membuat 100 yadnya.
Dalam Manawa DHARMA SASTRA, Wiwaha disamakan dengan
Samskara.

Dalam manusa yadnya, Wiwaha Samskara merupakan


puncaknya upacara manusa yadnya. Wiwaha bertujuan untuk
membayar hutang kepada orang tua / leluhur
Wiwaha samskara dilaksanakan berdasarkan weda, karena
merupakan Sarira Saraskara (Penyucian diri melalui
perkawinan)

Kewajiban dalam hidup berumah tangga:


1. Melanjutkan keturunan

2. Membina rumah tangga

3. Bermasyarakat

4. Melaksanakan panca yadnya

HAKEKAT WIWAHA
Hakekat Perkawinan disamakan dengan yadnya, sehingga
orang yang memasuki ikatan perkawinan menuju grhasta
asrama adalah lembaga suci yang perlu dijaga keberadaannya
dan kemuliaannya.

3 usaha yang harus dilaksanakan pada masa Grehasta asrama:


1. Dharma yaitu, aturan-2 yang harus ditaati dengan kesadaran
berpedoman pada dharma agama dan dharma negara
2. Artha yaitu, segala kebutuhan hidup berumah tangga berupa material
dan pengetahuan
Kama, yaitu rasa kenikmatan yang dapat diwujudkan dalam berkeluarga
Pernikahan dalam Hindu

Pernikahan atau wiwaha dalam Agama Hindu merupakan yadnya dan perbuatan dharma.
Wiwaha (pernikahan) merupakan momentum awal dari Grahasta Ashram yaitu tahapan
kehidupan berumah tangga. Dalam adat Hindu di Bali merupakan upaya untuk mewujudkan
hidup Grhasta Asmara, tugas pokoknya menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan
suatu kehidupan yang disebut Yatha sakti Kayika Dharma yang artinya dengan
kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu
mandiri mewujudkan Dharma secara profesional haruslah dipersiapkan oleh seorang Hindu
yang ingin menempuh jenjang perkawinan. Grahasta Ashram secara sah dimulai pada saat
seorang lelaki dan seorang wanita mengangkat sumpah untuk hidup bersama dengan direstui
dan disaksikan oleh kedua orang tua/wali, diberkati dengan mantra suci Weda oleh pinandita,
dan dicatat oleh Parisadha Hindu Dharma.
Weda mengatakan bahwa pernikahan dalam Hindu adalah suatu perbuatan suci. Ada dua
maksud utama di dalamnya. Pertama, Tuhan memberkati lelaki dan perempuan untuk saling
mencintai sebagaimana Dewa Smara (sama seperti dengan Adam) dan Dewi Ratih (sama
seperti Hawa). Kedua, manusia diberi kesempatan untuk bereinkarnasi melalui keturunan
yang dihasilkan oleh sepasang lelaki dan perempuan. Itulah sebabnya mengapa melahirkan
keturunan masuk dalam prioritas pernikahan bagi masyarakat Hindu di Bali.

Pengertian Pawiwahan/Pernikahan dari berbagai sumber


Pawiwahan/pernikahan memiliki makna yang beragam. Apabila dilihat dari sudah
pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar wiwaha.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa
sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1997:1130). Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari
sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan.
Selain makna diatas Perkawinan/pernikahan juga memiliki arti yang beragam berdasarkan
sudut pandang yang beragam juga. Berdasarkan beberapa sumber yang ada, perkawinan
memiliki arti sebagai berikut:

1. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang Perkawinan No.
1 Tahun 1974 pasal 1).

2. Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan
untuk waktu yang lama (Buku Pokok Pokok Hukum Perdata)

3. Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita,
untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Wirjono Projodikoro).

4. Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan
yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk
menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan
dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu
adalah institution (Harry Elmer Barnes dari segi social kemasyarakatan)

5. Perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan


pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan Dengan terjadinya
perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang
akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum
Adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami
istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina
kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat
yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu
saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi
yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal
dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara
Adat mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka. (Ter Haar)
6. Perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal (satya alaki rabi) (Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV).

Tujuan pernikahan.
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial,
sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan
telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang
masing-masing telah menyadari perannya masing-masing. Telah menjadi kodratnya sebagai
mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan
saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini
diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi
umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah

Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah

Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan.
Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan
istrinya.
Adapun 3 tujuan pernikahan menurut ajaran Hindu menurut kitab Kitab
Manavadharmasastra yaitu:

1. Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang


meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yaja , sebab di
dalam grhastalah aktivitas Yaja dapat dilaksanakan secara sempurna.

2. Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat
dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yaja dan lahirnya putra yang suputra seorang
anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva
rna) dan kepada para guru (Rsi rna).

3. Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan


lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.

Tujuan lain dari pernikahan menurut ajaran Hindu adalah membentuk keluarga ( rumah
tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam
kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali
dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-
102 sebagai berikut:
Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,

Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah

Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus
dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri.

Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,


Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram

Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan
dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar
kesetiaan antara satu dengan yang lain

Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,

Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam

Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri
terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal
Tujuan dari sebuah pernikahan adalah untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia.
Keluarga yang berbahagia kekal abadi dapat dicapai bilamana di dalam rumah tangga terjadi
keharmonisan serta keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, masing-masing
dengan swadharma mereka. Keduanya (suami-istri) haruslah saling isi mengisi, bahu
membahu membina rumah tangganya serta mempertahankan keutuhan cintanya dengan
berbagai seni berumah tangga, antara lain saling menyayangi, saling tenggang rasa, dan
saling memperhatikan kehendak masing-masing. Mempersatukan dua pribadi yang berbeda
tidaklah gampang, namun jika didasari oleh cinta kasih yang tulus, itu akan mudah dapat
dilaksanakan.

Tugas dan Kewajiban suami


Dalam Atharvaveda XIV.1.52 disebutkan bahwa :

Mameyam astu posyaa, mahyam tvaadaad brhaspatih, mayaa patyaa prajaavati, sam jiiva
saradah satam

Engkau istriku, yang dianugrahkan Hyang Widhi kepadaku, aku akan mendukung dan
melindungimu. Semoga engkau hidup berbahagia bersamaku dan anak keturunan kita
sepanjang masa.
Suami hendaknya berusaha tanpa henti untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran
bagi keluarganya, menafkahi istri secara lahir dan batin, merencanakan jumlah keluarga,
menjadi pelindung keluarga dan figur yang dihormati dan ditauladani oleh istri dan anak-
anaknya.

Tugas dan Kewajiban Istri


Dalam Rgveda X.85.46 disebutkan bahwa :

Samraajni svasure bhava, samraajni svasrvam bhava, nanandari samraajni bhava,


samraajni adhi devrsu

Wahai mempelai wanita, jadilah nyonya rumah tangga yang sesungguhnya, dampingilah
(dengan baik) ayah ibu mertuamu, dampingilah (dengan baik) saudara saudari iparmu.

Dalam Yajurveda XIV.22 disebutkan bahwa:

Yantri raad yantri asi yamani, dhruvaa asi dharitrii


Wahai wanita jadilah pengawas keluarga yang cemerlang, tegakkanlah aturan keluarga, dan
jadilah penopang keluarga.

Dalam Regveda X.85.43 disebutkan bahwa:

Viirasuup devakaamaa syonaa, sam no bhava dvipade, sam catuspade

Wahai wanita, lahirkanlah keturunan yang cerdas, gagah, dan berani, pujalah selalu Hyang
Widhi, jadilah insan yang ramah dan menyenangkan kepada semua orang, dan peliharalah
dengan baik hewan peliharaan keluarga.
Seorang istri hendaknya selalu setia kepada suami, rajin dan taat dalam menjalankan puja
bhakti kepada Hyang Widhi, melahirkan dan memelihara anak-anak agar cerdas gagah dan
berani, selalu menopang keluarga dan menjalankan aturan dengan baik, berbicara dengan
lemah lembut kepada semua orang, menghormati keluarga mertua, menjaga dan mengatur
harta keluarga, tanaman, dan hewan peliharaan milik keluarga dengan baik. Bila demikian,
niscaya keluarganya akan bahagia dan sejahtera selalu.
Om Awignam Astu, Sam Jaaspatyam Suyaman Astu Devah

Ya Hyang Widhi Semoga Kehidupan Perkawinan Kami Berbahagia dan Tenteran ( Rg


Veda X.85-23)

Lelaki dan wanita adalah belahan jiwa, yang melalui ikatan pernikahan dipersatukan
kembali agar menjadi manusi yang seutuhnya karena diantara keduanya dapat saling
mengisi dan melengkapi. Semoga ikatan pernikahan kami langgeng, setia dan tidak
terpisahkan.

Você também pode gostar