Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TINJAUAN TEORI
2. Etiologi
Menurut Bakta (1999), penyebab dasar dari sepsis dan syok septik
yang paling sering adalah infeksi bakteri. Pada era sebelum pemkaiain
antibiotik meluas, penyebab tersering adalah bakteri gram positif
terutama dari spesies streptokokus dan stafilokokus. Tetapi setelah
antibiotik poten (kuat) berspektrum luas mulai tersedia, maka sepsis
sering timbul sebagai akibat infeksi nosokomial oleh bakteri bakteri gram
negatif. Sekarang keadaanya kurang lebih seimbang antara gram positif
dan negatif.
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan
presentase 60 sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk
dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk
melepaskan mediator inflamasi. Produk yang dapat berperan penting
terhadap sepsis adalah lipoposikarida (LPS). LPS atau endutoksin
glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari
bakteri gram negatif LPS merangsang peradangan jaringan, demam, dan
syok pada penderita yang terinfeksi.
Faktor yang paling penting adalah LPS endotoksin gram negatif
dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat
langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat
menyebabkan perkembangan gejala septikemia. LPS sendiri tidak
memiliki sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi
yang bertanggung jawab terhadap sepsis.
Belakangan ini ditekankan fakta bahwa sepsis merupakan satu
contoh dari respons inflamasi sistemik yang dapat dicetuskan tidak
hanya oleh infeksi, tetapi juga oleh kelainan noninfeksi seperti misalnya
trauma dan pankreatitis. Kemajuan dibidang biologi molekuler memberi
jalan untuk menjelaskan keadaan patologi yang terjadi pada sepsis.
Banyak mediator belakngan ini ditemukan berperan dalam patogenesis
sepsis, termasuk TNF-a (Tumor Necrosis Factor Alpha).
3. Patofisiologi
Menurut Wheeler (2007), patofisiologi sepsis adalah sebagai
berikut. Sepsis merupakan hasil interaksi yang kompleks antara
organisme patogen dan tubuh manusia sebagai pejamu. Tinjauan
mengenai sepsis berhubungan dengan patofisiologi yang kompleks
untuk mengilustrasikan gambaran klinis akan suatu hipotensi yang berat
dan aliran darah yang terbendung akibat terbentuknya mikrotrombus di
dalam sistem kapiler. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi organ yang
kemudian dapat berkembang menjadi disfungsi dari beberapa organ dan
akhirnya kematian.
Proses molekuler dan seluler dari pejamu sebagai respon
terhadap sepsis adalah berbeda-beda tergantung dari jenis organisme
yang menginvasi (organisme Gram-positif, organisme Gram-negatif,
jamur, atau virus). Respon pejamu terhadap organisme Gram-negatif
dimulai dengan dikeluarkannya lipopolisakarida, yakni endotoksin dari
dalam dinding sel bakteri Gram-negatif, yang dikeluarkan saat proses
lisis. Organisme Gram-positif, jamur dan virus memulai respon pejamu
dengan mengeluarkan eksotoksin dan komponen-komponen antigen
seluler.
Kedua substansi tadi memicu terjadinya kaskade sepsis yakni
dimulai dengan pengeluaran mediator-mediator inflamasi .Mediator-
mediator inflamasi adalah substansi yang dikeluarkan dari sel sebagai
hasil dari aktivasi makrofag. Hasilnya adalah aktifnya sistem koagulasi
dan sistem komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi ini terjadi pada
endotel dan menyebabkan migrasi leukosit serta pembentukan
mikrotrombus. Akibat aktivasi endotelium, terjadi peningkatan jumlah
reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada
lesi tersebut. Lesi pada endotel berhubungan dengan proses fibrinolisis
yang terganggu. Hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah
reseptor pada permukaan sel yang diperlukan untuk sintesis dan
pemunculan molekul antitrombotik.
Gram negatif adalah komponen lipopolisakarida (endotoksin) dari
dinding sel gram negatif. Lipid A adalah bagian dari molekul endotoksin
yang sangat imunoreaktif dan berperan untuk kebanyakan efek toksik.
Endotoksin pertama dihubungkan dengan protein plasma yang disebut
protein pengikat-lipopolisakarida. Kompleks ini lalu menuju ke reseptor
spesifik (CD14) di permukaan makrofag, lalu mengaktifkannya dan
menyebabkan pelepasan mediator inflamasi. Sepsis melibatkan interaksi
yang kompleks dari proinflamatori (seperti, tumor necrosis factor [TNF
], interleukin [IL]1, IL-6) dan mediator anti inflamasi (seperti antagonis
IL-1, IL-4, dan IL-10). IL-8,
TNF-merupakan mediator sepsis yang terutama di samping
beberapa sitokin dan sel-sel lain yang juga terlibat. Mula-mula, makrofag
teraktivasi dan memproduksi sejajaran mediator-mediator proinflamasi,
termasuk TNF-, Interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-8, platelet activating factor
(PAF), leukotrien, dan thromboxane-A2. Mediator-mediator proinflamasi
ini mengaktifkan banyak jenis sel, menginisiasi kaskade sepsis, dan
menghasilkan kerusakan endotel. Ketika terluka, sel-sel endotel dapat
dilalui oleh granulosit dan unsur-unsur plasma menuju jaringan yang
mengalami inflamasi, yang mana dapat berujung pada kerusakan organ.
Inflamasi sel-sel endotelial menyebabkan vasodilatasi melalui aksi nitric
oxide pada pembuluh darah otot polos. Hipotensi yang berat dihasilkan
dari produksi nitric oxide yang berlebihan, sehingga melepaskan peptida-
peptida vasoaktif seperti bradikinin dan serotonin, dan dengan kerusakan
sel endotel ini, terjadilah ekstravasasi cairan ke jaringan interstisial.
Aktivasi IL-8 dapat menyebabkan disfungsi paru-paru melalui aktivasi
netrofil yang berada di paru-paru. Kerusakan kapiler menyebabkan
peningkatan permeabilitas di paru-paru, serta dapat menyebabkan
oedem paru non kardiogenik. Syok adalah komplikasi paling hebat yang
dihubungkan dengan sepsis gram negatif. Komplikasi penting lainnya
adalah disseminated intravascular coagulation (DIC) dan acute
respiratory distress syndrome (ARDS). Efek hemodinamik dari sepsis
pada keadaan hiperdinamik dicirikan dengan tingginya curah jantung dan
kelainan rendahnya tahanan vaskular sistemik. Sepsis menyebabkan
syok yang menyebar yang dicirikan dengan peningkatan aliran darah
yang tidak sesuai ke jaringan tertentu, dengan kebutuhan oksigen
independen.
4. Pathway
Pelepasan dari
febrinopeptida dan asam
amino
Vasokontriksi Venokonstriksi paru
Kerusakan endothelial dan sistematis
epitelium
Perubahan volume
Peningkatan permeabilitas
darah menuju paru
kapiler paru
Sepsis
Peningkatan tekanan hidrostatik
Edema paru
6. Pemeriksaan Diagnostik
Bila sindrom klinis mengarah ke sepsis, perlu dilakukan evaluasi sepsis
secara menyeluruh. Hal ini termasuk biakan darah, pungsi lumbal,
analisis dan kultur urin, serta foto dada. Diagnosis sepsis ditegakkan
dengan ditemukannya kuman pada biakan darah. Pada pemeriksaan
darah tepi dapat ditemukan neutropenia dengan pergeseran ke kiri
(imatur:total seri granulosit>0,2). Selain itu dapat dijumpai pula
trombositopenia. Adanya peningkatan reaktans fase akut seperti C-
reactive protein (CPR) memperkuat dugaan sepsis. Diagnosis sebelum
terapi diberikan (sebelum hasil kultur positif) adalah tersangka sepsis
(Mansjoer,2000).
7. Penatalaksanaan
Menurut Duraira (2008) penatalaksanaan sepsis diantaranya:
a. Terapi Antimikroba
1) Terapi antimikroba agresif dan diberikan secepatnya sangat
penting pada
2) Jika dicurigai adanya sepsis yang serius, ,penggunaan
kombinasi antimikroba biasanya dianjurkan untuk memberikan
efek sinergis atau aditif, untuk memperluas cakupan, dan
mengurangi kemungkinan resistensi. Antibiotik yang bisa
digunakan untuk perawatan empirik sepsis
3) Jika dicurigai adanya P. aeruginosa, regimen ganda dengan
penicillin antipseudomonal atau cephalosporin generasi ketiga
atau keempat dan aminoglikosida dianjurkan penggunaannya.
4) Jika aminoglikosida digunakan, dosis harian tunggal lebih
disukai untuk mencapai konsentrasi puncak lebih awal pada
perawatan. Pemberian dosis tunggal harian sebaiknya tidak
diberikan pada pasien anak, pasien luka bakar, pasien hamil,
pasien dengan disfungsi renal, atau pasien yang membutuhkan
aminoglikosida untuk efek sinergis terhadap patogen gram
positif.
5) Vancomycin sebaiknya ditambahkan ketika resiko adanya
staphylococci yang resisten-methicillin signifikan.
b. Sokongan hemodinamik
1) Oksigenasi jaringan yang cukup dan penjagaannya penting
dalam penanganan sepsis dan tergantung pada perfusi yang
cukup serta oksigenasi darah yang cukup.
2) Resusitasi cairan dengan cepat sangat penting untuk
mengatasi hipotensi pada sepsis. Targetnya adalah
mengembalikan perfusi jaringan dengan memaksimalkan curah
jantung dengan peningkatan preload ventrikular kiri.
3) Pemberian cairan sebaiknya dititrasi sampai ke titik akhir klinik
seperti denyut jantung, volume urin, dan tekanan darah. Ada
kontroversi menganai tipe cairan yang digunakan (kristaloid vs
koloid). Kristaloid isotoni, seperti 0,9% NaCl atau lactated
Ringer, umum digunakan.
4) Larutan koloid iso-oncotic (plasma dan fraksi protein plasma),
seperti albumin 5% dan hetastarch 6%, memberikan
keuntungan yaitu pemulihan volume intrvaskular lebih cepat
dengan lebih sedikit volume yang diinfuskan, tapi tidak ada
kelebihan klinik yang signifikan
c. Dukungan obat inotrope dan vasoaktif
Jika resusitasi cairan tidak cukup untuk menjaga perfusi jaringan,
penggunaan obat inotrope dan vasoaktif diperlukan. Pemilihan dan
dosis berdasar pada sifat farmakologi berbagai katekolamin dan
bagaimana pengaruhnya ke parameter hemodinamik.Protokol
Penggunaan Obat Inotrope dan Vasoaktif yang Dianjurkan
1) Dopamine banyak digunakan dalam dosis rendah (1-5 g/kg per
menit) untuk meningkatkan perfusi renal dan mesenteric.
Dopamine dosis sedang (10-20g/kg per menit) bisa digunakan
untuk menyokong tekanan darah.
2) Dobutamine (dosis 2-20 g/kg per menit) adalah agen inotropi
adrenergik yang penggunaannya disukai untuk meningkatkan
curah jantung dan penyaluran oksigen. Dobutamine bisa
dipertimbangkan penggunaannya pada pasien sepsis parah
dengan tekanan pengisian dan tekanan darah yang cukup tapi
cardiac index rendah.
3) Norepinephrine adalah agen adrenergik poten (0,01-3 g/kg
per menit) yang berguna pada syok septik untuk vasokontriksi
perifer. Phenylephrine juga bisa berguna pada pasien dengan
hipotensi yang bertahan.
4) Epinephrine 0,1-0,5 g/kg per menit, meningkatkan curah
jantung dan menyebabkan vasokontriksi perifer. Penggunaannya
disimpan untuk pasien yang gagal merespon terapi standar.
5) Sebelum pemberian agen vasoaktif, sebaiknya dilakukan
resusitasi cairan agresif. Agen vasoaktif sebaiknya tidak
digunakan untuk alternatif resusitasi volume.
d. Terapi tambahan
1) Glukokortikoid bisa berguna untuk pasien dengan ARDS dan
penyakti fibrotic ketika digunakan 5-7 hari setelah onset ARDS.
Penggunaan rutin glukokortikoid pada pasien dengan sepsis atau
syok tidak dianjurkan.
2) Heparinisasi untuk penanganan DIC telah dianjurkan karena
perdarahan paradoksikal disebabkan oleh kondisi hiperkoagulasi;
tetapi, hanya ada sedikit bukti klinik yang menyebutkan heparin
bisa meningkatkan keselamatan pasien.
3) Nutrisi enteral sebaiknya diberikan secepatnya pada pasien
dengan sepsis parah atau syok sepsis.
4) Pendekatan terkini dimana diberikan protein C aktif (drotrecogin)
untuk memacu fibrinolisis dan dihubungkan dengan mekanisme
anti inflamasi. Agen ini menurunkan mortalitas pada sepsis parah
2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung b/d respon fisiologis otot jantung,
peningkatan frekuensi, dilatasi, hipertrofi atau peningkatan isi
sekuncup
b. Pola nafas tidak efektif b/d penurunan volume paru
c. Perfusi jaringan tidak efektif b/d menurunnya curah jantung,
hipoksemia jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau
emboli
d. Gangguan pertukaran gas b/d kongesti paru, hipertensi pulmonal,
penurunan perifer yang mengakibatkan asidosis laktat dan
penurunan curah jantung.
e. Kelebihan volume cairan b/d berkurangnya curah jantung, retensi
cairan dan natrium oleh ginjal, hipoperfusi ke jaringan perifer dan
hipertensi pulmonal
f. Cemas b/d penyakit kritis, takut kematian atau kecacatan, perubahan
peran dalam lingkungan social atau ketidakmampuan yang
permanen.
g. Kurang pengetahuan b/d keterbatasan pengetahuan penyakitnya,
tindakan yang dilakukan, obat obatan yang diberikan, komplikasi
yang mungkin muncul dan perubahan gaya hidup
3. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas NOC : NIC :
Respiratory status : Ventilation Airway Management
Definisi: ketidakmampuan untuk Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw
membersihkan sekresi atau obstruksi dari Respiratory status : Airway thrust bila perlu
saluran napas untuk mempertahankan patency
bersihan jalan Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Vital sign Status
Batasan karakteristik Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan
Tidak ada batuk Kriteria Hasil : nafas buatan
Mendemonstrasikan batuk
Suara napas tambahan efektif dan suara nafas yang Pasang mayo bila perlu
bersih, tidak ada sianosis dan
Perubahan frekuensi napas dyspneu (mampu Lakukan fisioterapi dada jika perlu
mengeluarkan sputum,
Sianosis mampu bernafas dengan Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
mudah, tidak ada pursed lips)
Perubahan irama napas Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
Kesulitan berbicara/mengeluarkan Menunjukkan jalan nafas yang tambahan
suara Pernurunn bunyi napas paten (klien tidak merasa
tercekik, irama nafas, Lakukan suction pada mayo
Dispnea frekuensi pernafasan dalam
rentang normal, tidak ada Berikan bronkodilator bila perlu
Sputum dalam jumlah yang berlebihan suara nafas abnormal
Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
Tanda Tanda vital dalam
Batuk yang tidak efektif rentang normal (tekanan
darah, nadi, pernafasan) Lembab
Ortopnea
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
Gelisah keseimbangan.
Materi asing dalam jalan napas Monitor adanya kecemasan pasien terhadap
oksigenasi
Adanya jalan napas buatan
Vital sign Monitoring
Sekresi yang tertahan/sisa sekresi Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
Sekresi dalam bronki
Fisiologis Catat adanya fluktuasi tekanan darah
Jalan napas alergik
Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau
Asma berdiri
Penyakit paru obstruksi kronis Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
Hiperplasia dinding bronkial Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah
aktivitas
Infeksi
Monitor kualitas dari nadi
Disfungsi neuromuskular
Monitor frekuensi dan irama pernapasan
Sudoyo, Aru W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV.
Jakarta: Depatemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Wheeler, A.2007. Recent developments inthe diagnosisandmanagementofsevere
sepsis. Chest.132;19671976.