Você está na página 1de 10

Apa Itu VCT ?

Voluntary Counseling and Testing 15.38 0 Comment

Apa Itu VCT ? - VCT atau Voluntary Counseling and Testing atau konseling dan test
sukarela adalah kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan oleh seorang
konselor VCT yang terlatih, yang dilakukan sebelum dan sesudah test darah untuk HIV di
laboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih dulu menandatangani inform consent
(surat persetujuan tindakan). Jadi, VCT atau Voluntary Counseling and Testing adalah tes
HIV yang dilakukan secara sukarela. Karena pada prinsipnya tes HIV tidak boleh dilakukan
dengan paksaan atau tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan.

Apakah VCT Penting?


VCT penting untuk dilakukan karena untuk dapat mengakses ke semua layanan yang
dibutuhkan terkait pencegahan dan pengobatan HIV, AIDS dan untuk memberikan dukungan
demi kebutuhan klien seperti perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV,
dan pemahaman yang benar dan faktual tentang HIV, AIDS.

Dimana Bisa Mendapatkan Layanan VCT ?


VCT bisa didapat di tempat layanan kesehatan atau klinik yang menyediakan layanan VCT,
puskesmas, dan Rumah Sakit.

Siapa Yang Membutuhkan VCT ?


VCT tidak hanya diperuntukkan bagi penderita HIV saja tapi semua manusia bisa
mendapatkan layanan VCT. Jadi VCT diperuntukkan untuk :

Mereka yang mau melakukan test HIV

Mereka yang pernah berperilaku berisiko terhadap penularan HIV di masa lalu dan
ingin merencanakan masa depannya

Para homo atau orang yang melakukan hubungan seksual berisiko. Hubungan berisiko
ini bukan hanya hubungan dengan pekerja seks, gigolo ataupun waria. Hubungan
seksual dengan orang yang tidak diketahui status HIV nya bisa juga dianggap
hubungan berisiko.

Orang yang pernah menerima transfusi darah.

Pengguna narkoba suntik.

Orang yang mengalami Infeksi Menular Seksual berulang.

Apa Saja Yang Dilakukan Pada Saat VCT ?


Ada beberapa tahapan dalam melakukan VCT yaitu tahapan pertama adalah pemberian
informasi tentang HIV dan AIDS, cara penularan, cara pencegahannya dan periode jendela.
Kemudian konselor dilaksanakan penilaian risiko klinis. Pada kegiatan ini, klien harus jujur
tentang hal-hal berikut :
1. Kapan terakhir kali melakukan aktivitas seksual

2. Apakah menggunakan narkoba suntik

3. Melakukan hal-hal yang berisiko pada pekerjaan misalnya dokter ataupun calon
dokter atau tenaga kesehatan lainnya

4. Apakah pernah menerima produk darah, organ atau sperma

Untuk konselor VCT biasanya terikat sumpah untuk merahasiakan status si klien. Jadi jangan
khawatir untuk menceritakan semua yang pernah anda lakukan. Apalagi pada saat melakukan
VCT, tempatnya tidak terbuka dan tertutup sehingga privacy klien akan tetap terjamin.
Namun, jika ada konseling yang menanyakan klinis tentang anda di muka umum, jangan
mau, anda harus menolaknya, kalau perlu dihajar! Karena ada saja konselor brengsek dan
kurang ajar yang mengejar target biar dapet duit, biasanya konslor seperti ini bisa ditemui di
puskesmas atau rumah sakit.

Jika tahapan pertama (pre konseling) sudah selesai, selanjutnya konselor akan menawarkan
kepada klien apakah bersedia untuk melakukan tes HIV. Jangan khawatir, kalau misalnya
ragu untuk melakukan tes dan tidak mau, juga tidak masalah. Konselor tidak akan memaksa
klien untuk melakukan tes HIV. Bisa kembali lagi kapan saja. Sekali lagi, jika anda konseling
yang melakukan pemaksaan, laporkan saja ke kepolisian dengan tuduhan perbuatan tidak
menyenangkan dan pemaksaan, biar kapok!

Dan jika klien mau melakukan tes HIV, konselor akan memberikan informed consent atau
izin/persetujuan/pernyataan dari klien untuk melakukan tes HIV, di surat pernyataan ini klien
menyatakan bahwa klien yang bersangkutan telah menerima informasi yang berhubungan
dengan tes VCT ini dan telah menjalani penilaian risiko klinis (seperti yang telah dijelaskan
diatas). Klien juga menyatakan kalau dirinya bersedia untuk dilakuan tes HIV.

Pada saat melakukan tes HIV, darah kita akan diambil secukupnya. Dan pemeriksaan darah
ini bisa memakan waktu antara setengah jam sampai satu minggu tergantung jenis tes HIV
yang dipakai Biasanya klien disuruh pulang dan kembali lagi mengambil hasil tes beberapa
hari setelahnya.

Kalau klien berubah pikiran dan tidak mau ngambil hasil tes terserah dan tidak masalah yang
penting sebagai konselor, telah melakukan sesuai standart kerja. Tapi kalau klien
memutuskanuntuk mengambil hasil tes, klien akan menjalani tahapan post konseling.
Pada tahapan ini (post konseling), konselor akan memberitahukan hasil tes. Kalau hasil
tesnya negatif, balik lagi ke penilaian risiko klinis -inilah pentingnya bagi kita untuk
menjawab dengan jujur- Kalau dari penilaian risiko klinis, klien masih dalam masa periode
jendela periode jendela adalah periode di mana orang yang bersangkutan sudah tertular
HIV tapi antibodinya belum membentuk sistem kekebalan terhadap HIV dan hasil tes HIV
nya masih negatif, meski belum terdeteksi tapi sudah bisa menularkan klien akan
dianjurkan untuk melakukan tes kembali tiga bulan setelahnya. Selain itu, bersama-sama
dengan klien konselor akan membantu klien untuk merencanakan program perubahan
perilaku. Pada tahapan terakhir ini diharap klien sudah mengerti tentang semua yang
berhubungan denga HIV AIDS, jika disuatu saat klien tidak berubah, sebagai konselor yang
baik, maka harus tetap membimbing klien, menuju jalan yang benar,, selain mendapat pahala
karena telah ikhlas dalam bekerja dan membantu orang lain, Konselor juga akan dikenal
banyak orang,,, heheee

Bagaiaman Jika Hasil Tes Positif ?


Kalau hasil tes positif, klien bebas untuk mendiskusikan perasaannya dengan konselor.
Konselor juga akan menginformasikan fasilitas untuk tindak lanjut dan dukungan. Misalnya,
jika klien membutuhkan terapi ARV ataupun dukungan dari kelompok orang-orang senasib
sebaya. Selain itu, konselor juga akan memberikan informasi tentang cara hidup sehat dan
bagaimana cara agar tidak menularkan ke orang lain.

Catatan Penting

Hasil tes HIV adalah rahasia yang seharusnya hanya diketahui oleh konselor dan
klien saja. Klien dapat menuntut apabila ternyata hasil HIV bocor ke orang lain yang
tidak berwenang. Kalaupun klien dirujuk dan artinya informasi tentang status HIV
klien harus diberitahukan ke orang lain, harus dengan persetujuan klien

Proses VCT yang benar memegang teguh privacy dan juga memastikan kalau klien
melakukan VCT dengan sukarela. Kalau anda dipaksa untuk melakukan tes HIV tanpa
konseling, jangan mau. Anda dapat menuntut pihak yang memaksa anda untuk
melakukan tes VCT

Jadi, VCT atau Voluntary Counseling and Testing atau konseling dan test sukarela
sangat bermanfaat untuk kita semua, tidak perlu malu untuk memeriksakan kesehatan kita
karena mencegah lebih baik dari pada mengobati.

PEDOMAN PELAYANAN KONSELING DAN TESTING HIV/AIDS SECARA SUKARELA


(VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING)

I PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Dengan meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok
penggunaan napsa suntik (penasun/IDU = Injecting Drug User), pekerja seks
(Seks Worker) dan pasangan, serta waria di beberapa propinsi di Indonesia pada
saat ini, maka kemungkinan terjadinya risiko penyebaran infeksi HIV ke
masyarakat umum tidak dapat diabaikan. Kebanyakan dari mereka yang berisiko
tertular HIV tidak mengetahui akan status HIV mereka, apakah sudah terinfeksi
atau belum.
Estimasi yang dilakukan pada tahun 2003 diperkirakan di Indonesia terdapat
sekitar 90.000-130.000 orang terinfeksi HIV, sedangkan data yang tercatat oleh
Departemen Kesehatan RI sampai dengan maret 2005 tercatat 6.789 orang
hidup dengan HIV/AIDS.
Melihat tingginya prevalensi di atas maka masalah HIV/AIDS saai ini bukan hanya
masalah kesehatan dari penyakit menular semata, tetapi sesudah menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang sangat luas. Oleh karena itu penanganan
tidak hanya dari segi medis tetapi juga dari psikososial dengan berdasarkan
pendekatan kesehatan masyarakat melalui upaya pencegahan primer, sekunder,
dan tertier. Salah satu upaya tersebut adalah deteksi dini untuk mengetahui
status seseorang sudah terinfeksi HIV/AIDS atau belum melalui konseling dan
testing HIV/AIDS sukarela, bukan dipaksa atau diwajibkan. Mengetahui status HIV
lebih dini memungkinkan pemanfaatan layanan-layanan terkait dengan
pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan sehingga konseling dan
testing HIV/AIDS secara sukarela merupakan pintu masuk semua layanan
tersebut di atas.
Perubahan perilaku seseorang dari berisiko menjadi kurang berisiko terhadap
kemungkinan tertularnya HIV memerlukan bantuan perubahan emosional dan
pengetahuan dalam suatu proses yang mendorong nurani dan logika. Proses
mendorong ini sangat unik dan membutuhkan pendekatan individual. Konseling
merupakan salah satu pendekatan yang perlu dikembangkan untuk mengelola
kejiwaan dan proses menggunakan pikiran secara mandiri.
Layanan konseling dan testing HIV/AIDS sukarela dapat dilakukan di sarana
kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, yang dapat diselenggarakan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat. Layanan konseling dan testing HIV/AIDS
sukarela ini harus berlandaskan pada pedoman konseling dan testing HIV/AIDS
sukarela, agar mutu layanan dapat dipertanggungjawabkan.

B Tujuan
1. Tujuan Umum adalah menurunkan angka kesakitan HIV/AIDS melalui
peningkatan mutu pelayanan kenseling dan testing HIV/AIDS sukarela dan
perlindungan bagi petugas layanan VCT dan klien.
2. Tujuan Khusus :
Sebagai pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS.
Menjaga mutu layanan melalui penyediaan sumber daya dan managemen
yang sesuai.
Memberi perlindungan dan konfidensialitas dalam pelayanan konseling dan
testing HIV/AIDS.
C Sasaran
Pedoman ini digunakan bagi sarana kesehatan maupun sarana kesehatan
lainnya yang menyelenggarakan layanan konseling dan testing HIV/AIDS.

D Pengertian-pengertian
1. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu gejala
berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya
virus HIV ke dalam tubuh seseorang.
2. Ante Natal Care (ANC) adalah suatu perawatan perempuan selama
kehamilannya. Biasanya dilakukan di KIA (Klinik Ibu dan Anak), dokter kebidanan
atau bidan.
3. Anti Retroviral Therapy (ART) adalah sejenis obat untuk menghambat
kecepatan replikasi virus dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Obat ini
diberikan pada ODHA yang memerlukan berdasarkan beberapa kriteria klinis,
juga dalam rangka Prevention of Mother To Child Transmission (PMTCT).
4. Humman Immuno-deficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan
AIDS.
5. Integrasi adalah pendekatan pelayanan yang membuat petugas kesehatan
menangani klien secara utuh, menilai kedatangan klien berkunjung ke fasilitas
kesehatan atas dasar kebutuhan klien, dan disalurkan kepada layanan yang
dibutuhkannya ke fasilitas rujukan jika diperlukan.
6. Klien adalah seseorang yang mencari atau mendapatkan pelayanan konseling
dan atau testing HIV/AIDS.
7. Konselor adalah pemberi pelayanan konseling yang telah dilatih ketrampilan
konseling HIV dan dinyatakan mampu.
8. Konseling pasangan adalah konseling yang dilakukan terhadap pasangan
seksual calon pasangan seksual dari klien.
9. Konseling pasca tes adalah diskusi antara konselor dengan klien, bertujuan
menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien beradaptasi dengan hasil tes.
Materi diskusi adalah menyampaikan hasil secara jelas, menilai pemahaman
mental emosional klien, membuat rencana menyertakan orang lain yang
bermakna dalam kehidupan klien, menjawab respon emosional yang tiba-tiba
mencuat, menyusun rencana tentang kehidupan yang mesti dijalani dengan
menurunkan perilaku berisiko dan perawatan, membuat perencanaan dukungan.
10. Konseling pra tes adalah diskusi antaraklien dan konselor, bertujuan
menyiapkan klien untuk testing HIV/AIDS. Isi diskusi adalah klarifikasi
pengetahuan klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan
pengelolaan diri setelah menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapai hari
depan, membantu klien memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan
inform consent, dan konseling seks yang aman.
11. Konseling pra tes kelompok adalah diskusi antara konselor dengan beberapa
klien, biasanya tak lebih dari lima orang, bertujuan untuk menyiapkan mereka
untuk testing HIV/AIDS. Sebelum melakukannya, ditanyakan kepada para klien
tersebut apakah mereka setuju untuk berproses bersama.
12. Orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang yang tubuhnya
telah terinfeksi virus HIV/AIDS.
13. Perawatan dan dukungan adalah layanan komprehensif yang disediakan
untuk ODHA dan keluarganya. Termasuk di dalamnya konseling lanjutan,
perawatan, diagnosis, terapi, dan pencegahan infeksi oportunistik, dukungan
sosioekonomi dan perawatan di rumah.
14. Periode jendela adalah suatu peride atau masa sejak orang terifeksi HIV
sampai badan orang tersebut membentuk antibodi melawan HIV yang cukup
untuk dapat dideteksi dengan pemeriksaan rutin tes HIV.
15. Persetujuan layanan adalah persetujuan yang dibuat secara sukarela oleh
seseorang untuk mendapatkan layanan.
16. Inform consent (persetujuan tindakan medis) adalah persetujuan yang
diberikan oleh orang dewasa ynag secara kognisi dapat mengambil keputusan
dengan sadar untuk melaksanakan prosedur (tes HIV, operasi, tindakan medik
lainnya) bagi dirinya atau atas spesimen yang berasal dari dirinya. Juga
termasuk persetujuan memberikan informasi tentang dirinya untuk suatu
keperluan penelitian.
17. Prevention of mother To Child Transmission (PMTCT) adalah pencegahan
penularan HIV dari ibu kepada anak yang akan atau sedang atau sudah
dilahirkannya. Layanan PMTCT bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu
kepada anak.
18. Sistem Rujukan adalah pengaturan dari institusi pemberi layanan yang
memungkinkan petugasnya mengirimkan klien, sampel darah atau informasi,
memberi petunjuk kepada institusi lain atas dasar kebutuhan klien untuk
mendapatkan layanan yang lebih memadai. Pengiriman ini senantiasa dilakukan
dengan surat pengantar, bergantung pada jenis layanan yang dibutuhkan.
Pengaturannya didasarkan atas peraturan yang berlaku, atau persetujuan para
pemberian layanan, dan disertai umpan balik dari proses atau hasil layanan.
19. Tuberculosa (TB) adalah penyakit infeksi oleh bakteri tuberkulosa. TB
seringkali merupakan infeksi yang menumpang pada mereka yang telah
terinfeksi virus virus HIV.
20. Konseling dan Testing (Counselling and Testing) adalah konseling dan testing
HIV/AIDS sukarela, suatu prosedur diskusi pembelajaran antara konselor dan
klien untuk memahami HIV/AIDS berserta risiko dan konsekuensi terhadap diri,
pasangan dan keluarga serta orang disekitarnya. Tujuan utamanya adalah
perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman.

II KONSELING DAN TESTING HIV/AIDS SUKARELA (VCT)


A Definisi Konseling dalam VCT
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan
psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV,
mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV
dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS.

B Peran Konseling dan Testing Sukarela (VCT)


sumber : WHO, adaptasi

Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and
Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai
pintu masuk ke dalam seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan.
1. Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien
mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini
dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif atau negatif. Layanan ini
termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi
oportunistik, dan ART.
2. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh
intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih,
menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi
HIV/AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk
menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penuebaran infeksi kepada orang
lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.
3. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksan dan tekanan, segera
setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi, dan risiko.

C Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT)


1. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV.
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan,
dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak ditangan klien.
Kecuali testing HIV pada donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ
tubuh dan sel. Testing VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan
untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, IDU,
rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia, dan asueransi kesehatan.
2. Saling mempercayai dan terjaminya konfidensialitas.
Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien.
Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh
konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar
konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat
yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan
kasus klien selanjutnya dengan seijin klien, informasi kasus dari klien dapat
diketahui.
3. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien efektif.
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti
pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku berisiko. Dalam
VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing
dan tahapan penerimaan hasil testing positif.
4. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT
WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat
digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa
diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor
lainnya yng disetujui oleh klien.

Diposkan oleh SUKARDJO di 21.15

Apa Pedoman ART Itu?


Pedoman nasional terapi antiretroviral (ART) diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI
(Kemenkes) sebagai standar untuk para dokter mengenai cara menatalaksanakan ART di
Indonesia. Pedoman dirancang berdasarkan usulan dari WHO dengan kesepakatan antara
beberapa pakar di Indonesia.

Karena pengetahuan dan pengalaman mengenai ART berkembang terus-menerus, seharusnya


pedoman sering diperbarui. Oleh karena itu, pedoman yang berlaku saat ini (Pedoman
Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa 2011)
diperbarui berdasarkan pedoman WHO 2010 (Antiretroviral therapy for HIV infection in
adults and adolescents: recommendations for a public health approach 2010). Namun pada
Juni 2013, WHO mengeluarkan pedoman baru (Consolidated guidelines on the use of
antiretroviral drugs for treating and preventing HIV infection: recommendations for a public
health approach). Pedoman WHO terbaru ini mengusulkan beberapa perubahan. Diharapkan
Kemenkes sedang mengkaji perubahan ini dan segera akan juga mengeluarkan versi pedoman
ART nasional yang baru.
Berbeda dengan pedoman sebelumnya, pedoman baru ini memberi pengarahan mengenai
penanganan masalah kesehatan Odha, dari konseling dan tes HIV, melalui penanganan infeksi
oportunistik tertentu sampai penanganan ART.

Harus ditekankan bahwa pedoman ini tidak memberi panduan untuk menatalaksana ART
untuk anak. Hal ini masih diatur oleh Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral Pada Anak Di Indonesia yang dikeluarkan oleh Kemenkes pada 2008
berdasarkan pedoman WHO 2006. Walau dicetak ulang pada 2010, pedoman ini belum
diperbarui, meskipun ada banyak perkembangan dan perubahan pada pengobatan untuk anak
dengan HIV sejak 2006. Untuk informasi lebih lanjut mengenai ART untuk anak, lihat
Lembaran Informasi (LI) 619. Catatan: Pedoman WHO 2013 yang baru menggabungkan
semua pedoman sebelumnya, termasuk untuk anak dan untuk pencegahan penularan HIV dari
ibu-ke-anak.

Apa Isi Pedoman ART?


Pedoman ART terutama mengatur:

kapan ART boleh dimulai

rejimen yang dipakai sebagai lini pertama

ART pada populasi khusus

pemantauan ART

masalah toksisitas dan interaksi ARV

kegagalan ART

pilihan rejimen lini kedua

Stadium Klinis
WHO menetapkan empat stadium klinis HIV, sebagaimana berikut:

Stadium 1: Tanpa gejala

Stadium 2: Penyakit ringan

Stadium 3: Penyakit lanjut

Stadium 4: Penyakit berat

Lihat pedoman atau situs web Spiritia untuk definisi masing-masing stadium klinis.

Kapan Mulai ART


Berdasarkan Pedoman ART 2011, Odha dewasa dan remaja memenuhi kriteria untuk mulai
ART bila:
Penyakit stadium 3 atau 4, tanpa memandang jumlah CD4; atau

Jumlah CD4 di bawah 350, tanpa memandang gejala klinis.

Harus ditekankan bahwa pedoman tidak mengharuskan tes CD4 sebelum mulai ART. Bila
kita mengalami penyakit stadium 3 atau 4, kita boleh mulai ART walau tidak diketahui
jumlah CD4. Bila kita mengalami penyakit stadium 3, kita boleh mulai dengan jumlah CD4
apa pun. Namun, kalau kita tidak mempunyai gejala, kita baru boleh mulai setelah jumlah
CD4 kita turun di bawah 350.

Tambahan, bab mengenai ART pada populasi khusus menyarankan agar kita mulai lebih dini
dalam keadaan tertentu. Misalnya, semua perempuan hamil yang terinfeksi HIV diusulkan
memulai ART, apa pun stadium klinisnya atau berapa pun jumlah CD4-nya. Orang koinfeksi
HIV dan hepatitis B (HBV), bila membutuhkan terapi untuk HBV-nya harus sekaligus
memulai ART.

Karena TB aktif pada Odha adalah salah satu tanda stadium 3 (TB paru) atau stadium 4 (TB
di luar paru), Odha dengan TB aktif harus mulai ART dengan jumlah CD4 berapa pun.
Diusulkan ART dimulai sesegera mungkin setelah memulai obat anti-TB (OAT) selama 2-8
minggu atau setelah OAT dapat ditahan dan stabil.

Ada satu persyaratan lagi: kita harus siap mulai. Pedoman ART 2011 mewajibkan petugas
kesehatan untuk menelaah kesiapan pasien untuk ART, dengan membahas 13 topik bersama
dengan pasien. Dan kepatuhan terhadap ART wajib dinilai, dengan dikuatkan oleh konseling
kepatuhan, pada setiap kunjungan pasien ke klinik. Lihat Lembaran Informasi 405 mengenai
kepatuhan terhadap ART.

Mulai dengan Rejimen Apa?


Kita mulai dengan rejimen lini pertama. Rejimen lini pertama umumnya dibentuk dengan dua
NRTI dan satu NNRTI (lihat LI 403), dengan tiga dari enam obat: (AZT atau TDF) + (3TC
atau FTC) + (nevirapine atau efavirenz). Pilihan yang baku adalah AZT + 3TC + nevirapine.
AZT + 3TC sering disediakan dalam satu pil yang mengandung kedua obat. Juga FTC
umumnya dipakai bersamaan dengan TDF, karena kedua obat ini disediakan dalam satu pil.

Catatan: dahulu d4T sering dianjurkan untuk mengganti AZT bila timbul anemia sebagai efek
samping AZT. Namun d4T dapat mengakibatkan efek samping yang cukup berat hingga
gawat. Dalam pedoman baru ini, Kemenkes menganjurkan agar penggunaan d4T
dikurangi/dihentikan dan tidak dipakai lebih dari enam bulan. Sekarang TDF diusulkan
sebagai pengganti kalau AZT mengakibatkan anemia.

Pemantauan ART
Menurut pedoman, ada beberapa tes laboratorium yang seharusnya dilakukan sebelum
dan/atau setelah kita mulai ART. Tes utama yang dibutuhkan adalah tes Hb (untuk anemia,
lihat LI 552) sebelum kita mulai dan secara berkala dalam beberapa bulan setelah kita mulai
bila kita memakai AZT. Tes lain yang diusulkan termasuk tes untuk infeksi HBV, serta tes
kreatinin (enzim ginjal; lihat LI 136) sebelum kita mulai memakai TDF. Tes ini harus diulang
setiap tiga bulan untuk satu tahun pertama untuk pengguna TDF, dan kemudian jika stabil
dilakukan setiap enam bulan.

Selain itu, perempuan harus melakukan tes kehamilan sebelum mulai rejimen yang
mengandung efavirenz. Hal ini diatur karena efavirenz dapat menyebabkan cacat janin,
terutama bila dipakai pada trimester pertama kehamilan.

Pedoman mengusulkan dilakukan tes CD4 sebelum mulai ART dan setiap 6 bulan setelah
mulai untuk memantau keberhasilan. Namun tes ini tidak diharuskan.

Pedoman ART di Indonesia tidak menganjurkan dilakukan tes viral load atau tes resistansi
sebagai persyaratan sebelum mulai atau sebagai tes pemantauan ART.

Alasan untuk Mengganti ART


Ada dua alasan untuk mengganti ART: efek samping yang tidak tertahan; dan kegagalan
terapi. Kalau kita mengalami efek samping, mungkin kita harus mengganti satu obat dalam
rejimen lini pertama dengan obat lain, disebut sebagai substitusi. Dalam keadaan yang luar
biasa, kita mungkin harus mengganti obat dari rejimen lini pertama dengan obat yang
umumnya dipakai sebagai lini kedua; walau begitu, rejimen tetap dianggap lini pertama.

Bila dokter menentukan bahwa terapi kita gagal, ditunjukkan antara lain oleh viral load di
atas 5.000 setelah menjadi tidak terdeteksi, jumlah CD4 menurun, atau kita mengalami
infeksi oportunistik, kita akan dialihkan pada rejimen lini kedua, yang disebut sebagai
switch.

Pilihan Rejimen Lini Kedua


Rejimen lini kedua harus mengganti sedikitnya dua dari tiga ARV dalam rejimen lini pertama
dengan ARV lain. Saat ini, rejimen lini kedua umumnya terdiri dari TDF atau AZT
(tergantung yang mana dipakai pada lini pertama), 3TC atau FTC, dan Kaletra/Aluvia.

Você também pode gostar