Você está na página 1de 35

Bagian Ilmu Anastesiologi Dan Terapi Intensif Referat

RSU Bahteramas September 2016


Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo

STRATEGI KOAGULOPATI DAN TRANSFUSI PADA TRAUMA

Oleh :

Anggun Permata, S.Ked

K1A2 10 082

Pembimbing :

dr. Hj. Andi Hasnah Suaib, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016

1
STRATEGI KOAGULOPATI DAN TRANSFUSI PADA TRAUMA

Anggun Permata, Andi Hasnah Suaib

I. Pendahuluan

Sepuluh persen kematian di seluruh dunia disebabkan oleh trauma. Di Eropa

sendiri, hampir satu juta orang setiap tahun meninggal akibat trauma. Terlepas

dari cedera kepala, penyebab kematian yang paling sering dalam periode pasca

trauma akut adalah perdarahan yang tidak terkontrol. Dari pasien yang

meninggal pada fase akut setelah trauma, 30 sampai 40% berdarah sampai mati
1
. Luka trauma adalah penyebab umum dari koagulopati, terutama karena

kehilangan darah dan hemodilusi sekunder pada resusitasi cairan. Insiden

koagulopati secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan cedera trauma

otak, terutama mereka dengan trauma tembus dibandingkan dengan cedera pada
2
batang dan limbic otak . Faktor yang berkontribusi untuk terjadinya

koagulopati pada trauma juga mencakup asidosis berat, hipotensi, hipotermia,

transfusi masif serta cedera jaringan besar. Cedera kepala berat adalah salah satu

penyebab paling penting dari gangguan koagulasi terutama disebabkan

pelepasan tromboplastin jaringan. Penatalaksaan pada kasus koagulopati pasca

trauma yaitu pemberian plasma secara cepat. Tujuan pemberian plasma adalah

untuk menormalkan PT dan INR. 1,3.

2
II. Fisiologi Darah

Darah adalah cairan di dalam pembuluh darah yang mempunyai fungsi

sebagai transport dari tubuh yaitu menghantarkan bahan kimia, oksigen, dan

nutrient ke seluruh tubuh; mengangkut sisa metabolit ke organ pembuangan;

menghantarkan hormone-hormon ke organ sasaran; mengangkut enzim, zat

buffer, elektrolit ke seluruh tubuh; mengatur keseimbangan suhu. Volume darah

dalam tubuh berkisar 8% dari berat badan, rata-rata mendekati 5-6 liter. Darah

terdiri dari 2 komponen yaitu komponen padat yang terdiri dari sel darah (sel

darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), sel pembekuan darah

(trombosit)) dan komponen cair yaitu plasma darah. Bagian atas adalah plasma

yang merupakan komponen cair darah (55%), warna kuning dan mengandung

makanan dan antibody. Bagian bawah merupakan zat padat, warnanya merah tua

terbentuk dari komponen-komponen darah (hematocrit) 45% disebut bekuan

darah, terdiri dari sel-sel eritrosit, leukosit, dan trombosit. Jadi, darah terdiri dari

dua komponen yakni komponen cair dan komponen padat 9.

3
Gambar 1. Komponen darah

Peran penting darah adalah 9 :

1. Sebagai organ transportasi, khususnya O2, yang dibawa dari paru-paru dan

diedarkan ke seluruh tubuh dan kemudian mengangkut sisa pembakaran

(CO2) dari jaringan untuk dibuang keluar melalui paru-paru. Fungsi

pertukaran O2 dan CO2 ini dilakukan oleh hemoglobin (Hb), yang terkandung

dalam sel darah merah. Protein plasma ikut berfungsi sebagai sarana

transportasi dengan mengikat berbagai materi yang bebas dalam plasma,

untuk metabolisme organ-organ tubuh.

2. Sebagai organ pertahanan tubuh (imunologi), khususnya dalam menahan

invasi berbagai jenis mikroba patogen dan antigen asing. Tranfusi darah

4
adalah salah satu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam

sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan. Mekanisme pertahanan ini

dilakukan oleh leukosit (granulosit dan limfosit) serta protein plasma khusus

(immunoglobulin).

3. Peranan darah dalam menghentikan perdarahan (mekanisme homeostasis)

merupakan upaya untuk mempertahankan volume darah apabila terjadi

kerusakan pada pembuluh darah. Fungsi ini dilakukan oleh mekanisme

fibrinolisis, khususnya jika terjadi aktifitas homeostasis yang berlebihan.

III. Mekanisme Hemostasis Normal

Pemahaman tentang mekanisme hemostasis normal sangat penting untuk

memahami gangguan koagulasi pada pasien trauma. Sistem hemostasis adalah

aktifitas yang berlangsung seimbang antara pembentukan lokal hemostasis dan

pencegahan terjadinya trombosis menyeluruh. Kedua hal ini berlangsung sejalan

sehingga darah tetap berada di dalam pembuluh darah dan mengalir pada

pembuluh darah normal yang utuh dan perdarahan hanya terjadi di daerah

pembuluh darah yang cedera. Hemostasis normal tergantung interaksi yang

kompleks, seimbang dan baik antara pembuluh darah, platelet, protein koagulasi

plasma, inhibitor koagulasi dan sistem fibrinolisis. Saat pembuluh darah cedera

akibat trauma, plak hemostasis terbentuk dalam beberapa menit. Proses ini

melibatkan respon vaskular, adhesi platelet dan agregasi serta pengaktifan

mekanisme koagulasi darah 4. Kontraksi pembuluh darah yang mengandung otot

polos terjadi karena adanya spasme neurogenik dan kekakuan miogenik

5
pembuluh darah, sedangkan kontraksi mikrosirkulasi terjadi akibat lepasnya

substansi vasokonstriktif 2.

Sel endotel pembuluh darah menghasilkan faktor trombosis dan

antitrombosis, adanya keseimbangan aktifitas kedua hal tersebut berguna untuk

mempertahankan permukaan yang bersifat non trombosis. Faktor anti trombosis

sel endotel adalah thrombomodulin dan molekul mirip heparin, yang berfungsi

proteksi terhadap aksi trombin yang tidak terdeteksi 2. Koagulasi adalah proses

fisiologis yang kompleks dan melibatkan berbagai protein dan komponen darah

lainnya dalam serial reaksi yang bertujuan untuk membentuk fibrin dan agregasi

platelet. Pembentukan bekuan darah dimulai sebagai respon terhadap cedera.

Cedera vascular menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan lepasnya

kolagen, faktor Von Willebrand dan faktor jaringan dari sel endotel yang rusak.

Spasme vaskular membantu migrasi platelet dari lumen pembuluh darah menuju

dinding pembuluh darah yang cedera. Agregasi platelet pada tempat cedera

menghasilkan plak yang tujuannya untuk mengurangi kehilangan darah. Hanya

saja, kekuatan plak dari platelet tidak adekuat untuk mempertahankan

hemostasis 4.

Untuk menarik platelet ke tempat cedera, faktor jaringan mempercepat

aktifnya faktor VII yang pada gilirannya akan mengaktifkan faktor IX. Kaskade

berlanjut dengan aktifnya faktor VIII dan X yang akhirnya mengawali konversi

prothrombin (II) menjadi trombin (IIa) membentuk 'trombin burst' di permukaan

platelet dan mengubah fibrinogen menjadi fibrin (Ia). Polimerase fibrin

menghasilkan matriks kuat yang menyelubungi plak platelet. Bekuan darah ini

6
menjadi stabil ketika fibrin berhubungan dengan faktor XIIIa. Pada kondisi

normal, aktifnya jalur fibrinolysis akan mempertahankan ukuran dan lokasi

bekuan darah, meminimalkan kejadian trombosis dan emboli. Mekanisme

umpan balik negatif ini dapat terganggu akibat trauma yang selanjutnya

mengeksaserbasi koagulopati 4.

Gambar 2. Skema hemostatic dan koagulasi

IV. Transfusi Darah

Transfusi darah adalah transfer darah atau komponen darah dari donor ke

resipien. Darah dikumpulkan dari donor yang telah sebelumnya disaring untuk

mengeliminasi setiap donor yang darahnya mungkin memiliki potensi merugikan

bagi pasien atau untuk mencegah kemungkinan bahaya yang menyumbangkan

unit darah mungkin dimiliki oleh donor. Di Inggris, hingga 450 mL darah diambil

maksimal tiga kali setahun. Setiap unit diuji untuk bukti infeksi hepatitis B,

hepatitis C, human immunodeficiency virus (HIV)-1, HIV-2 dan sifilis5.

7
Berdasarkan asal darah yang diberikan transfuse dikenal dengan homologous

transfuse (berasal dari orang lain) dan autologous (berasal dari darah sendiri) 11, 12 .

Gambar 1. Trasfusi Darah

V. Indikasi Transfuse Darah

Transfusi darah dan komponennya (PRC, trombosit, FFP, cryoprecipitate)

umumnya diberikan saat operasi untuk meningkatkan kapasitas pengangkutan O 2

dan volume intravaskular. Indikasi transfusi darah adalah5 :

1. Perdarahan akut hingga Hb < 8 g/dL

2. Pasien sehat dengan Ht < 30% membutuhkan transfusi darah perioperatif

3. Pasien anemia akut dengan Ht < 21% membutuhkan transfusi darah segera

4. Pasien anemia kronis yang tidak dapat menoleransi kadar Hb < 7 g/dL

5. Pada orang tua, pasien dengan kelainan paru, atau kelainan jantung, digunakan

batasan Hb < 10 g/dL

6. Pada bedah mayor dengan kehilangan darah > 20% dari volume total

Tabel 4. Klasifikasi Perdarahan Akut berdasarkan American College of Surgeon

8
Faktor Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan 750 750-1500 1500-2000 2000 atau lebih

darah (mL)
Kehilangan 15 15-30 30-40 40 atau lebih

darah (%)
Denyut nadi 100 100 120 140 atau lebih
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun

meningkat
Capillary refill Normal Positif Positif Positif

test
Laju 14-20 20-30 30-40 35

pernapasan
Keluaran urin 30 20-30 5-10 Sulit dihitung

(mL/jam)
Status mental Cemas (ringan) Cemas (sedang) Cemas, bingung Bingung, letargi
Penggantian Kristaloid Kristaloid Kristaloid+darah Kristaloid+darah

cairan
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini

mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume

vaskular dengan cara menggantikan kehilangan cairan ke dalam ruang interstitial

dan intraseluler9. Jenis-jenis cairan yang dipakai sebagai berikut:

a. Ringer Laktat atau NaCl 0,9%

Cairan ini mirip komposisinya dengan cairan ekstraselular. Cairan kristaloid

adalah larutan air dengan elektrolit dan tidak mengandung molekul besar.

Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular,

sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume

darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular 11-30 menit.

Ekspansi cairan dari ruang intravaskular ke interstitial berlangsung selama 30-60

menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urin. Secara umum

9
kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa

peningkatan volume intrasel.12

Keuntungan cairan kristaloid yaitu mudah tersedia, murah, mudah dipakai,

tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan pemberian

cairan kristaloid dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian

berlebih perlu dicegah.

Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik

dengan hiponatremia, hipokhloremia, atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah

larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan eksraseluler digunakan sebagai

cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensible.12

Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada

pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hepatis dan asidosis

laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit

berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.12

b. Plasma Expander

Cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik yang tinggi (dextran, gelatin,

HES) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih lama di

intravaskular. Namun deficit cairan ekstraselular tidak dapat dikoreksi oleh

plasma expander. Dari segi harga juga jauh lebih mahal dibandingkan dengan

Ringer Laktat. Reaksi anafilaktik dapat terjadi pada pemberian dextran atau

gelatin.12

c. Albumin

10
Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik

dari segi volume effect. Tetapi harganya sangat mahal dibandingkan dengan

Ringer Laktat untuk mendapatkan volume effect yang sama.10

Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah

pilihan kedua karena berpotensi menyebabkan terjadinya asidosis hiperkhloremik.

Kemungkinan ini bertambah besar jika fungsi ginjal kurang baik. Pada saat awal,

cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus. Dosis awal adalah 1-2

liter pada dewasa dan 20 ml/kg pada anak, diberikan dalam 30-60 menit pertama.

Jumlah cairan yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada awal

evaluasi penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volulme kristaloid yang

secara akut diperlukan adalah mengganti setiap milliliter darah yang hilang

dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan restitusi volume plasma

yang hilang ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Ini dikenal sebagai

hukum 3 untuk 1 (3 for 1 rule). Namun lebih penting untuk menilai respon

penderia kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ yang

memadai, misalnya keluar urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer.4

Kristaloid harus digunakan untuk memperbaiki syok dengan target rata-rata

tekanan arteri tidak lebih dari 65 mmHg pada pasien tanpa bukti cedera otak

traumatis. Target tekanan darah yang lebih tinggi membutuhkan volume besar

cairan yang dapat meningkatkan tekanan hidrostatik. Insiden koagulopati telah

ditemukan meningkat 40% pada pasien yang menerima 2 liter cairan dan sekitar

70% pada pasien yang menerima 4 liter cairan. Pada pasien dengan cedera otak

traumatis (TBI), tekanan darah sistolik lebih tinggi dari 100 mmHg dianjurkan

11
untuk menjaga tekanan perfusi serebral. Koloid harus digunakan dalam batas yang

ditentukan pada pasien yang hemodinamik tidak stabil sebagai solusi koloid

terutama solusi berbasis pati dapat memicu koagulopati dan gagal ginjal. Saline

hipertonik mungkin memiliki peran dalam cedera otak traumatis (TBI)11.

Jumlah produksi urin merupakan indicator yang cukup sensitif untuk perfusi

ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal

yang cukup, bila tidak dimodifikasi dengan pemberian obat diuretik. Sebab itu,

keluaran urin merupakan salah satu pemantau utama resusitasi dan respon

penderita4.

Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin

sekitar 0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anak dan 2 ml/kg/jam

pada bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang atau makin turunnya produksi

urin dengan berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak

cukup. Keadaan ini menuntut ditambah penggantian volume dan usaha

diagnostik.4

Bila telah jelas ada perbaikan hemodinamik (tekanan sistolik 100, nadi

100, perfusi hangat, urin 0,5 ml/kg/jam), infus harus dilambatkan dan biasanya

transfuse tidak diperlukan. Bahaya infus yang cepat adalah oedem paru, terutama

pasien geriatri.Perhatian harus ditunjukkan agar jangan sampai terjadi kelebihan

cairan. Namun jika hemodinamik memburuk, teruskan cairan (2-4x estimated

blood loss), jika membaik tetapi Hb < 8 gr, Ht < 25%, beri transfusi darah dan

koloid. Bila hemodinamik tetap buruk, segera diberikan transfusi.10

12
Pada kondisi perdarahan masif, yaitu perdarahan lebih dari 1/3 volume total

darah dalam waktu < 30 menit, dilakukan transfusi darah masif. Batasan transfusi

darah masif masih bervariasi, diantaranya transfusi darah sebanyak > 1-2x lipat

volume darah pasien dalam waktu > 24 jam. Selain itu ada pula yang

mendefinisikannya sebagai transfusi darah > 50% volume darah yang diberikan

dalam waktu singkat.5 Transfusi masif adalah transfusi sejumlah darah yang telah

disimpan, dengan volume darah yang lebih besar daripada volume darah resipien

dalam jangka waktu kurang dari 24 jam. Transfusi ini sering digunakan pada

keadaan perdarahan akut yang hebat, karena trauma, pembedahan, pencegahan

syok hipovolemik, serta koagulopati. Pemberian darah transfusi pada kasus ini

adalah dengan kecepatan tinggi sehingga dipergunakan infus bertekanan.

VI. Komponen Darah

Komponen darah adalah bagian darah yang dipisahkan dengan cara

fisik/mekanik misalnya dengan cara sentifugal. Fraksi plasma adalah derivate

plasma yang diperoleh dengan cara kimia/fraksinasi dengan menggunakan

sejumlah besar plasma yang diproduksi di pabrik. Sedangkan produk darah

adalah istilah umum yang mencakup kedua istilah komponen darah dan derivate

plasma 10.

Macam-macam komponen darah 10,15:

1. Whole blood (WB)

13
Mengandung komponen eritrosit, leukosit, trombosit, dan plasma.

Penggunaan WB untuk mengoptimalkan fungsi eritrosit sebagai pembawa

oksigen, protein plasma untuk koagulasi, dan platelet untuk trombositopenia

atau disfungsi platelet. Sebuah unit WB disimpan di citrate-phosphate-

dextrose-adenin 1 (CPDA-1) anticoagulant, seingga dapat bertahan 35 hari

dan volume sekitar 510 mL (450 mL darah ditambah 63 mL CPDA-1). Di

Indonesia WB terdiri dari 250 mL darah dan 37 mL antikoagulan, ada juga

yang 1 unit kantong mengandung 350 ml darah dan 49 ml antikoagulan. Suhu

disimpan antara 1-6 0C. menurut masa simpan ada 2 macam darah lengkap

yaitu darah segar yaitu darah yang disimpan dalam 48 jam dan darah baru

yaitu darah yang disimpan dalam 5 hari. Padah darah segar trombosit, factor

pembekuan labil (V, VIII) masih cukup untuk terjadinya pembekuan

sedangkan darah baru kadar 2,3 difosfogliserat suatu molekul untuk

mempermudah perlepasan oksigen dari hemoglobin mulai menurun.

Indikasi untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dalam volum

plasma dalam waktu yang bersamaan misalnya pada perdarahan aktif dengan

kehilangan darah >25-30% volume darah total. Kontra indikasi WB adalah

pasien anemia kronis normovolemik atau pada pasien yang hanya

membutuhkan sel darah merah saja. Satu unit WB meningkatkan Hb

sebanyak 1 g/dL atau hematokrit (Ht) sebanyak 3-4%. Pada anak-anak-anak 8

ml/kg akan meningkatkan Gb 1 g/dl. Pemberian WB maksimum 4 jam.

14
Gambar 3. Kantong

whoole blood

2. Packed red cell (PRC)

Mengandung eritrosit, trombosit, leukosit, dan sedikit plasma. Nilai

hematokritnya 60-70%. Satu kantong PRC (150-300 mL) terdiri dari eritrosit

sebanyak 100-200 mL. Penyimpanan pada suhu 1-6 0C. PRC adalah produk

pilihan untuk kapasitas pembawa oksigen yaitu pasien yang memiliki gejala

anemia yang membutuhkan penambahan sel darah merah saja, misalnya pada

pasien gagal ginjal atau anemia karena keganasan. Pemberian unit ini

disesuaikan dengan kondisi klinis pasien bukan pada nilai Hb atau Ht saja.

PRC dapat menyebabkan hypervolemia dalam jumlah banyak dalam wakttu

singkat. Setiap unit PRC akan menaikkan konsentrasi Hb kira-kira 1g/dL atau

kenaikan Ht sekitar 3-4%.

a. Sel darah merah pekat dengan sedikit leukosit (packed red blood cell

leukocytes reduced)

Setiap unit sel darah merah pekat mengandung 1-3 x 10 9 leukosit. American

Association of Blood Standard for Transfusion Services menetapkan bahwa

15
sel darah merah dengan sedikit leukosit jika mengandung leukosit kurang dari

5 x 106 leukosit/unit. Produk ini dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah

merah pada pasien yang mendapat/tergantung pada transfuse darah dan pada

mereka yang sering mendapat reaksi transfuse panas yang berulang dan reaksi

alergi yang disebabkan oleh protein plasma atau antibody leukosit.

b. Sel darah merah pekat cuci (packed red blood cell washed)

Sel darah merah yang dicuci oleh larutan garam isotonik memiliki Ht 70-

80% dengan volume 180 mL. Pencucian dengan salin membuang hampir

seluruh plasma (98%) dengan beberapa leukosit dan trombosit, menurunkan

konsentrasi leukosit, dan trombosit serta debris untuk (paling mungkin IgE)

mencegah reaksi alergi yang berat atau alergi yang berulang yang dapat

menyebabkan anafilaksis pada pasien defisiensi IgA, dapat pula digunakan

pada transfuse neonatal atau transfuse intrauterine, serta pada pasien paroximal

nocturnal hemoglobinuria.

c. Sel darah merah pekat beku (packed red blood cell frozen, packed red blood

cell deglycerolized)

Paket ini dibuat dengan penambahan gliserol suatu sediaan krioprotektif

terhadap darah yang usianya kurang dari 6 hari. Darah ini kemudian dibekukan

pada suhu minus 65 atau 100 0C (tergantung sediaan gliserol) dan dapat

disimpan dalam 10 tahun. Karena pada proses penyimpanan beku, pencairan

dan pencuciannya ada sel darah merah yang hilangnmaka kandungan sel darah

merah minimal 80% dari jumlah sel darah merah pekat asal, demikian pula Ht

16
kurang lebih 70-80%. Proses pencuciannya dapat menggunakan larutan

glukosa dan salin. Dapat dipakai untuk menyimpan darah langka.

Gambar 4. Kantong packed red cell

3. Thrombocyte concentrate (TC)

Mengandung trombosit, dengan sedikit leukosit, eritrosit, dan plasma. Satu

kantongnya yang berasal dari 450 mL darah lengkap berisi kira-kira 5,5-1010

trombosit dengan volume sekitar 50 mL dan dibutuhkan pada kasus-kasus

perdarahan akibat trombositopenia (<50.000/L) kongenital/didapat juga pada

operasi atau prosedur invasive dengan trombosit <50.000/L.. Transfusi TC

profilaksis dapat diberikan pada pasien dengan jumlah trombosit 5.000-

10.000/L yang berhubungan dengan hipolasia sumsum tulang akibat

kemoterapi, invasi tumor, atau aplasia primer sumsum tulang. Paket ini tidak

boleh diberikan pada pasien dengan destruksi trombosit yang cepat seperti ITP,

TTP, KID dan transfuse biasanya hanya pada perdarahan yang aktif.

Menggigil, panas dan reaksi aergi dapat terjadi pada transusi trombosit.

17
Antipiretik yang dipilih sebaiknya bukan golongan aspirin karena dapat

menghambat agregasi dan fungsi trombosit. Dosis yang biasanya digunakan

pada perdarahan karena trombositopenia 1 unit/10kgBB, biasanya diperlukan

5-7 unit pada orang deasa. 1 kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 ml

darah lengkap diperkirakan dapat menaikan jumlah trombosit sebanyak 9000-

11.000 /ul/m2 luas permukaan tubuh.

Trombosit dengan sedikit leukosit (platelets concentrate leukocytes

reduced). Trombosit berisi leukosit 0,5-1 x 108/ unit trombosit, sedangkan

trombosit dengan sedikit leukosit mengandung leukosit hanya 8,3 x 105/unit.

Digunakan untuk pencegahan terjadinya alloimunisasi HLA terutama pada

pasien yang harus menerima kemoterapi jangka panjang.

Gambar 5. Kantong thrombocyte concentrate

4. Granulosit

Diperoleh melalui leukofaresis, diindikasikan pada pasien neutropenia

dengan infeksi bakteri yang tidak responsif terhadap antibiotik. Transfusi

18
granulosit memiliki masa hidup yang pendek pada sirkulasi resipien. Meskipun

efektivitas klinisnya masih kontroversial, transfusi granulosit (neutrofil-sel

darah putih fagosit) dapat diindikasikan pada pasien dengan jaringan lunak

yang mengancam jiwa atau infeksi organ dengan bakteri atau jamur dan jumlah

neutrofil rendah dan neutropenia berkepanjangan setelah kemoterapi sitotoksik.

Ada dua komponen yang kaya granulosit utama yang tersedia yaitu mantel

buffy yang berasal dari donor darah utuh dan granulosit dikumpulkan oleh

apheresis dari donor individu. Karena mencemari sel darah merah, komponen

granulosit harus ABO dan RhD kompatibel serta telah di crossmatched dengan

penerima dan disinari sebelumnya untuk mencegah TA-GVHD. Transfusi

harian yang diberikan dilakukan dengan pemantauan respon, sampai pemulihan

fungsi sumsum tulang.

Gambar 6. Kantong granulosit

5. Fresh frozen plasma (FFP)

Plasma adalah kompartemen cairan darah dan terdiri dari 90% air, 7%

protein dan koloid, dan 2% sampai 3% nutrisi, kristaloid, hormone dan

vitamin. Fraksi protein juga mengandung faktor pembekuan. Transfusi FFP

diindikasikan pada pasien dengan defisiensi faktor pembekuan, koreksi

19
koagulopati, dan pengobatan terapi warfarin. Setiap unit FFP menaikkan setiap

faktor pembekuan sebanyak 2-3% pada pasien dewasa. Dosis FFP biasanya 10-

15 mL/kg. Plasma beku segera setelah koleksi untuk mempertahankan aktivitas

faktor pembekuan darah dapat disimpan hingga 36 bulan pada -25C atau di

bawah. Standar Inggris FFP dikeluarkan sebagai paket donor-tunggal yang

harus dicairkan sebelum digunakan, biasanya dalam tujuan-dirancang

waterbath. Unit yang dicairkan dari FFP dapat disimpan sampai 24 jam pada

suhu 4C sebelum transfusi. Tingkat faktor pembekuan bervariasi antara donor

sehat normal dan variabilitas ini tercermin dalam konsentrasi yang ditemukan

dalam kemasan individu FFP dan diindikasikan untuk pengobatan pasien

dengan perdarahan karena beberapa pasien kekurangan faktor pembekuan

seperti pada disseminated intravascular coagulation (DIC). Dapat juga

digunakan pada pasien dengan mewarisi kekurangan faktor pembekuan

(misalnya defisiensi faktor V) dimana konsentrat faktor pembekuan belum

tersedia. Dosis yang dianjurkan minimal empat unit dalam 70 kg dewasa dan

diberikan 10-20 mL/kgBB/jam. Dosis tambahan akan tergantung pada hasil

pemantauan koagulasi parameter. FFP dianjurkan bila PT atau APTT adalah 1,5

kali nilai normal. Namun dosis yang jauh lebih besar mungkin diperlukan

untuk menghasilkan tingkat terapi faktor koagulasi dan volume yang

berlebihan. FFP tidak lagi diindikasikan untuk pembalikan warfarin, sebagai

tertentu dan penangkal efektif tersedia (protrombin kompleks).

Gambar 7. Kantong fresh frozen plasma

20
6. Cryoprecipitate

Dibuat oleh pencairan donor FFP pada 4C, menghasilkan cryoglobulin

kaya fibrinogen, faktor VIII dan faktor von Willebrand. Dikembangkan sebagai

pengobatan untuk hemofilia tetapi penggunaan ini sekarang telah digantikan

oleh faktor VIII konsentrat. Cryoprecipitate terutama digunakan sebagai

volume terkonsentrasi tinggi sehingga lebih rendah untuk infus dan sumber

fibrinogen dari FFP. Ini tersedia dari layanan darah sebagai paket donor-

tunggal. Direkomendasikan dosis terapi dewasa adalah lima kantong unit (atau

satu unit per 5-10 kg berat badan), yang biasanya akan menaikkan fibrinogen

plasma sekitar 1 g/L. Lama pemberian adalah 1020 mL/kgBB/jam (3060

menit/lima kantong unit). Cryoprecipitate yang dihasilkan dari impor MB-FFP

sekarang telah tersedia.

21
Gambar 8. Kantong cryoprecipitate

7. Konsentrat factor VIII


Konsentrat factor VIII dapat dibuat dari plasma manusia atau diproduksi

melalui teknologi rekombinan. Sediaan ini memiliki volume yang sedikit.

Produk yang tersedia dapat diklasifikasikan atas sediaan konsentrat f VIII

dengan kemurnian menengah, kemurnian tinggi atau bebas imunoafinitas.

Konsentrat factor VIII dengan kemurnian menengah memiliki 1-10% dari total

protein terdiri dari fibrinogen dan beberapa protein lainnya. Konsentrat F VIII

diindikasikan untuk pengobatan atau pencegahan perdarahan pada Hemofilia A

dengan defisiensi F VIII sedang sampai berat atau pasien dengan inhibitor F

VIII titer rendah yang kadarnya tidak lebih 5-10 bethesda units/ml.
8. Konsentrat factor IX
Kompleks F IX merupakan sediaan yang mengandung selain F IX juga

sejumlah F II, VII, X dan beberapa protein. Kira-kira 20-30% dari produk ini

adalah F IX dimana sediaan ini mengandung 50 da 200 IU F IX/mg protein. F

IX ini digunakan untuk mengobati pasien dengan defisiensi F IX yang dikenal

sebagai hemophilia B. 1 unit F IX setara dengan 1 ml plasma manusia. Dosis

yang diberikan tergantung gejala klinis dan kebutuhan pasien. Setiap unit F IX

yang diinfuskan per kgBB akan meningkatkan 1% F IX.

22
9. Albumin dan fraksi protein plasma
Albumin adalah derivate plasma yang diperoleh dari darah lengkap atau

plasmaferesis, terdiri dari 96% albumin dan 4% globulin dan beberapa protein

lain. Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan albumin hanya

dalam pemurniannya lebih kurang dibandingkan dengan albumin dalam proses

fraksinasi. Fraksi protein plasma ini mengandung 83% albumin dan 17%

globulin. Albumin yang tersedia adalah larutan 25% dan 5%, sementara fraksi

protein plasma yang tersedia adalah larutan 5%. Tiap sediaan mengandung

natrium 145 mmol/L. larutan albumin 5%, osmotic dan onkotiknya sama

dengan plasma sedangkan larutan albumin 25% osmotic dan onkotiknya 5 kali

lebih besar dari plasma. Albumin digunakan untuk meningkatkan volume

sirkulasi/resusitasi misalnya pada pasien luka bakar, pasien pada keadaan

hypovolemia dan hipoproteinemia misalnya syok, sindrom nefrotik atau untuk

meningkatkan protein plasma. Albumin 25% tidak boleh diberikan pada pasien

dehidrasi dan hanya dapat diencerkan dengan salin normal dan dextrose 5%.

Dosis 500 ml (10-20 mL/kg pada anak-anak) diberikan secara cepat untuk

mengatasi syok. Pada pasien luka bakar dosis albumin atau fraksi protein

plasma diberikan dalam dosis tertentu untuk mempertahankan kadar protein

plasma 5,2 g/dl atau lebih tinggi


10. Immunoglobulin (Immune Globulin)
Immunoglobulin berisi immunoglobulin G (igG) dengan sedikit IgA dan

IgM. Terdapat 2 sediaan yakni intramuscular (IMIG) dan intravena (IVIG).

Pada sediaan IM produk ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu pada

pemberiannya dibutuhkan waktu 4-7 hari untuk mencapai kadar puncak dalam

plasma., dosis maksimum yang dapat diberikan dibatasi oleh massa otot dan

23
pada pemberiannya menyebabkan nyeri. Sediaan ini diberikan hanya untuk

profilaksis. Sediaan ini merupakan larutan steril dengan konsentrasi protein

kurang lebih 16,5 g/dL. Sediaan IV meminimalisasi dari sediaan IM, produk ini

dapat mencapai puncak plasma begitu diinfuskan. Waktu paruh dari IMIG dan

IVIG bervariasi antara 18-32 hari.


Preparat Imunoglubulin dapat digunakan untuk profilaksis antibody secara

pasif pada orang yang rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu dan sebagai

terapi pengganti pada orang dengan imunodefisiensi primer (misalnya Sindrom

Wiskott Aldrich). IVIG dapat digunakan sebagai imunomodulator pada pasien-

pasien dengan kelainan autoimun misalnya ITP akut dan kronik pada anak-

anak dan dewasa. Dapat pula digunakan pada trombositopenia pada HIV,

purpura pasca transfuse dan Sindrom Guillan Bare. Juga dapat mengobati

infeksi serta profilaksis GVHD pada pasien penerima cangkok sumsum tulang.

Pada orang yang memiliki riwayat defisiensi Ig A (dengan anti Ig A) atau

terjadinya reaksi anafilaksis berat terhadap plasma sebaiknya jangan diberikan

sediaan ini. Sediaan IM jangan diberikan melalui IV karena mengandung

agregat Ig yang dapat mengaktifkan system komplemen serta kinin yang dapat

mengaktifkan reaksi anafilaksis. Reaksi lainnya yang tidak diinginkan dari

pemberian IG adalah nyeri kepala, menggigil, kepala terasa ringan, demam,

nyeri punggung, terasa panas, dan mual.


Untuk dosis dan cara pemberian tergantung pada indikasi, karakter serta

sediaan yang digunakan (IM, IV). ITP dan penyakit autoimun lainnya (IV 400

mg/kg/hr selama 2-5 hari atau 0,8-1,0 g/kg/hr selama 1-2 hr), defisiensi Ig

kongental (IM: 0,7 mL/kg/bulan, IV: 200-800 mg/kg/bulan), profilaksis

24
hepatitis A (IM 0,02-0,04 mL/kg), hepatitis B ( 0,06 mL/kg IM diulang 1

bulan), varicella zoster ( 1 vial 2,5 mL/10 kg maksimum 5 vial, IM diberikan

dalam 72 jam pasca paparan), virus citomegalo (profilaksis 100-150 mg/kg,

pengobatan infeksi 200 mg/kg IV).


11. RH Immuno Globulin
RHIG dibuat dari plasma yang dikumpulkan dan mengandung IgG anti D.

terdapat 2 sediaan IM dan IV. Sediaan IV dosis 120 ug dan 300 ug telah

disetujui oleh FDA untuk supresi imun terhadap antigen D dan untuk

pengobatan ITP. Sediaan IM yang tersedia adalah dosis 300 ug dan 50 ug.

Dosis 300 ug RhIG baik IV maupun IM akan melindungi efek imun lebih dari

15 ml darah dengan D positif. Semua sediaan ini aman dari transmisi penyakit

infeksi dan virus dan diapakai untuk mencegah terjadinya penyakit hemolitik

pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh antigen Rh (D).


Indikasi dan dosis RhIG yaitu sebelum persalinan, untuk perempuan dengan

Rh D negative, 50 ug IM RhIG dapat melindung terjadinya aborsi atau

terminasi kehamilan ektopik yang terjadi dalam 12 minggu kehamilan. Setelah

12 minggu kehamilan, dosis penuh IM RhIG dapat diberikan. Dosis penuh juga

dianjurkan setelah dilakukan amniosentesis. Pasca persalinan, semua

perempuan dengan Rh D negative yang melahirkan bayi dengan D positif

diberi 300 ug RhIG secara IM atau 120 ug secara IV. Pemberian hendaknya

dilakukan dalam 72 jam setelah melahirkan.

VII. Gangguan Koagulasi Pasca Traumatik

Ada 4 faktor utama penyebab terjadinya gangguan koagulasi pada trauma, (1)

hipotermia/asidosis, (2) faktor dilusi, (3) trauma berat, (4) syok hemoragik.

25
Kurang dari 9% pasien trauma datang dengan hipotermia. Suhu inti tubuh di

bawah 34oC meningkatkan morbiditas dan mortalitas meski jarang terjadi.

Hipotermia yang terjadi di rumah sakit dapat menggangu proses koagulasi. Baju

yang dilepas saat pemeriksaan, relaksasi otot, cairan infus dingin saat resusitasi

dan pemeriksaan berulang dengan membuka penghangat menyebabkan

hilangnya panas tubuh dengan cepat. Sedikitnya 65% pasien mengalami

hipotermia secara radiasi karena perbedaan suhu tubuh dengan suhu lingkungan.

Hipotermia menyebabkan perubahan fisiologis, diantaranya mengganggu

pembentukan platelet oleh hepar, mengubah fungsi dan morfologi platelet, dan

mengurangi enzim kinetik fibrin. Efek klinisnya bekuan darah terbentuk dengan

lambat dan rapuh sehingga tidak adekuat saat mengambat perdarahan 4. Asidosis

sering menyertai cedera masif dan hipotermia. Asidosis tunggal tidak

menganggu koagulasi. Saat terjadi hipotermia, asidosis secara potensial

menyebabkan trias kematian, yaitu asidosis, hipotermia dan koagulopati.

Asidosis diyakini mengganggu koagulasi protease dan secara klinis bermakna

bila pH di bawah 7,1. Pemberian natrium bikarbonat untuk mengkoreksi asidosis

masih belum efektif untuk meningkatkan fungsi koagulasi 4.

Cedera akibat trauma seringkali memerlukan resusitasi masif untuk

mengganti volume darah dan meningkatkan perfusi. Panduan Advance

Traumatic Life Support (ATLS) saat ini adalah dengan pemberian cairan

kristaloid sebanyak 2 L untuk resusitasi segera dan transfusi Packed Red Cell

(PRC) untuk mengatasi perdarahan lebih dari 100 ml/menit. Tapi ATLS tidak

memberikan panduan yang jelas mengenai pemberian produk prokoagulan

26
seperti fresh frozen plasma (FFP), kriopresipitat dan platelet. Pemberian

kristaloid diyakini mendilusi faktor koagulasi, meningkatkan tekanan

hidrostatik, mengurangi pembentukan dan kualitas bekuan darah 4.

Penelitian yang dilakukan oleh Brohi dkk menggambarkan peran hipoperfusi

dan syok hemoragik pada trauma yang menginduksi koagulopati. Syok

hemoragik mengaktifkan jalur protein antikoagulan (APC), menyebabkan

koagulopati massal. Serin protease yang tergantung vitamin K, APC yang

menghambat faktor V dan VIII memiliki efek fibrinolisis. Meski mekanismenya

belum jelas, perdarahan dalam jumlah besar akan menstimulasi APC dan

mengurangi fungsi kaskade koagulasi 4. Pasien dengan trauma teruma cedera

otak traumati (COT) memiliki risiko terjadinya abnormalitas baik koagulasi dan

fibrinolisis. Sifat abnormal koagulasi berbeda antara pasien dengan cedera otak

tunggal dan pasien dengan banyak cedera. Ada bukti yang menyatakan luasnya

cedera jaringan otak memegang peranan penting terjadinya gangguan koagulasi

pasca COT dibanding syok traumatik atau hipoksia 5. Cedera otak traumatik

menyebabkan lepasnya faktor jaringan dari bagian otak yang cedera,

mengaktifkan jalur protein C dan memicu lepasnya mediator antikoagulan 4.

Pada manusia, otak merupakan organ yang kaya faktor jaringan. Penyelidikan

tentang aktifitas koagulasi dan fibrinolisis di otak mengkonfirmasi adanya

aktifitas yang tinggi faktor jaringan di otak dan aktifitas fibrinolisis di bagian

otak yang kaya pembuluh darah seperti pleksus koroideus dan meningen. Lokasi

faktor jaringan di otak adalah pada substansia grisea. Sumber utama penghasil

faktor jaringan adalah astrosit. Tissue plasminogen activator (tPA) ditemukan

27
di bagian otak yang kaya kapiler dan menandai adanya aktifitas fibrinolisis di

otak 6.

Mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadinya koagulopati pada COT

tunggal bersifat multifaktorial dan masih menjadi perdebatan. Cedera otak

tunggal diperkirakan menjadi penyebab lepasnya faktor jaringan secara massif

ke sirkulasi sistemik dan memicu terjadinya koagulasi abnormal intravaskular.

Gangguan keseimbangan antara pembentukan bekuan darah dan hiperfibrinolisis

sebagai akibat hipoperfusi sistemik dan antikoagulasi selanjutnya menyebabkan

terjadinya konsumtif koagulopati dan gangguan perdarahan. Hipoperfusi

memunculkan ekspresi trombomodulin endotel yang berikatan dengan trombin,

dimana hal ini akan menghambat perubahan fibrinogen menjadi fibrin.

selanjutnya kompleks trombomodulintrombin mengaktifkan protein C, yang

akan menghambat plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1) dan faktor

koagulasi Va dan VIIIa. Secara simultan, tPA endotel dilepas untuk mengawali

terjadinya fibrinolisis. Sebagai tambahan, pasien COT seringkali mengalami

hipotermia dan asidosis dimana keduanya akan mengganggu hemostasis dan

memperburuk luaran 7.

Di awal tahun tujuh puluhan, lepasnya faktor jaringan, yang sebelumnya

disebut tromboplastin atau trombokinase, dari otak yang cedera dianggap

sebagai penyebab terjadinya gangguan koagulasi. Faktor jaringan adalah protein

yang terdapat pada sel endotel, platelet dan leukosit dan diperlukan untuk

mengawali kaskade koagulasi yang selanjutnya membentuk thrombin dari

protrombin zymogen. Faktor jaringan adalah inisiator fisiologis utama koagulasi

28
dan pelepasan faktor jaringan dapat mengaktifkan sistem koagulasi secara

berlebihan pada pasien cedera otak. Aktifitas ini dikatakan tergantung pada

jumlah faktor jaringan yang dilepaskan oleh bagian otak yang rusak 5. Paparan

dini faktor jaringan terhadap faktor VII dan VIIa menghasilkan FVIIa/kompleks

faktor jaringan. Bentuk kompleks ini menghasilkan sejumlah kecil faktor Xa dan

IXa. Faktor Xa bekerjasama dengan permukaan membran mengubah sejumlah

kecil protrombin menjadi trombin. Adanya trombin akan mengaktifkan platelet,

faktor V dan VIII, yang selanjutnya akan membentuk permukaan yang cocok

untuk pembentukan kompleks protrombinase. Selanjutnya trombin dibentuk

semakin banyak untuk mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Pengaktifan

koagulasi secara independen oleh faktor jaringan yang awalnya disebut jalur

ekstrinsik menyebabkan terjadinya mikro dan makrovaskular fibrin trombi 5.

Mekanisme kontrol meliputi jalur inhibitor faktor jaringan (TFPI), sistem

protein C, antitrombin dan glikosaminoglikan menjadi aktif untuk menghambat

pembentukan fibrin dan melokalisasi pembentukan fibrin pada tempat cedera.

Meski hal ini sering sekali tidak mencukupi akibat lepasnya faktor jaringan

secara berlebihan. Disseminated intravascular coagulation (DIC) yang

dicetuskan oleh kerja faktor jaringan, menghambat mekanisme antitrombotik ini

melalui peningkatan pelepasan sitokin, sehingga jalur antikoagulasi fisiologis

menjadi tidak efektif. Hal ini menyebabkan terjadinya nekrosis dan perdarahan

di banyak organ hingga terjadi kegagalan multi organ (MOF)5 . Baru-baru ini,

International Society of Thrombosis and Haemostasis (ISTH) menyederhanakan

diagnosis DIC berdasarkan perhitungan skor DIC, yaitu: jumlah platelet,

29
peningkatan penanda fibrin, memanjangnya PT dan kadar fibrinogen 5. Cedera

otak traumatik dapat menyebabkan kontusi otak dan kerusakan langsung

jaringan otak. Akut subdural dan epidural hematom merupakan akibat adanya

kerusakan pembuluh darah otak dan menyebabkan penekanan otak sehingga

terjadi iskemik fokal dan kerusakan otak. Turunnya PT, fibrinogen dan aktifitas

pembekuan darah, dan pemendekan aPTT telah diwaspadai pada COT.

Meningkatnya produk fibrin degradasi (FDP) atau Ddimer adalah fenomena

umum yang terjadi pasca COT dan berkorelasi dengan terapi dan prognosis.

Penurunan antitrombin III (ATIII) dan alfa 2 antiplasmin (alfa2 AP) dan

meningkatnya penanda trombosis yang sensitive fibrinopeptida A, trombin-

antitrombin III (TAT) dan protrombin F1+2 telah ditandai pada COT 6.

Disseminated intravascular coagulation (DIC) banyak terjadi pada pasien

dengan subdural hematom akut dan kontusio parenkim otak. Kerja aktif

hemostasis lebih dominan pada pembuluh darah otak dibanding pembuluh darah

perifer. Koagulasi lokal intravaskular otak dipastikan dengan adanya spesimen

otak manusia yang mengalami kontusio dan kontusia otak pada tikus dan babi.

Hiperkoagulabilitas pasca cedera paling sering didapatkan pada 24 jam pertama

dan lebih sering ditemukan pada wanita. Anak-anak dengan GCS <14 pasca

COT berisiko tinggi terkena koagulopati, dan risiko ini bahkan semakin

meningkat dengan semakin turunnya GCS. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa kadar fibrin degradation product (FDP) berkorelasi positif dengan derajat

kerusakan otak 5.

VIII. Pemeriksaan Penujang

30
Parameter laboratorium yang digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan

koagulasi adalah activated partial thromboplastin time (aPTT), prothrombin time

(PT), the international normalized ratio (INR) pada PT, kadar fibrinogen, dan

hitung platelet. Perubahan ringan pada aPTT (>34 detik) dan hitung platelet

(<150.000) dapat menjadi indikasi awal koagulopati pada trauma. Selanjutnya

dilaporkan nilai aPTT dan PT antara 3460 detik dan 1318 detik dengan INR

>1,11,5 dan hitung platelet 100.000150.000/mm3 sebagai definisi koagulopati

pada trauma tunggal 7.

IX. Penatalaksanaan Koagulopati Pasca Trauma

Penatalaksaan pada kasus koagulopati pasca trauma yaitu pemberian plasma

secara cepat. Tujuan pemberian plasma adalah untuk menormalkan PT dan INR.

Kebutuhan akan jumlah plasma yang diberikan untuk memulihkan pasien dengan

trauma yang menginduksi koagulopati tidak bisa diprediksi (kadang diperlukan

plasma dalam jumlah besar untuk mengurangi perdarahan dan menormalkan

bekuan darah), karena itu dianjurkan pemberian plasma segera bahkan sebelum

ada hasil pemeriksaan nilai PT atau INR. Pemberian plasma dapat memakan

waktu sehingga memperlambatintervensi pembedahan. Dalam sebuah penelitian

menyelidiki bahwa pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) menurunkan 50 kali

lipat dari kematian 8. Pedoman manajemen Australia dan New Selandia pasien

dengan koagulopati pasca trauma disarankan transfuse RBC:FFP:trombosit yaitu

dengan rasio 2: 1: 1 13.

Transfusi trombosit dianjurkan bila trombosit jumlah <50.109/L. Jumlah

trombosit harus dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi dalam kasus

31
traumatik cedera otak, yaitu, 100.109/L. Fibrinogen adalah senyawa wajib dalam

jalur koagulasi, dan tingkat fibrinogen plasma harus diperbaiki untuk

mengantisipasi pembekuan. Ambang batas untuk pengobatan dengan konsentrat

fibrinogen atau kriopresipitat selama perdarahan akut ditingkatkan ke tingkat

fibrinogen plasma kurang dari 1,5 ke 2,0 g / L. Namun, penggunaan FFP gagal

memperbaiki hipofibrinogenemia. Misalnya, Chowdary et al. melaporkan bahwa

resusitasi dengan 10 sampai 15 mL/kg-dari FFP hanya meningkatkan fibrinogen

tingkat plasma 0,4/gL. Lebih dari 30 mL/kg dari FPP harus diperlukan untuk

meningkatkan tingkat fibrinogen plasma untuk 1 g/L 13.

Asam traneksamat. Baru-baru ini, percobaan terkontrol yang termasuk pasien

trauma menunjukkan bahwa pemberian rutin asam traneksamat (dosis 1 g lebih

dari 10 menit, kemudian infus 1 g lebih dari 8 jam) pada pasien dengan syok

hemoragik dikaitkan dengan penurunan angka kematian tanpa peningkatan

komplikasi tromboemboli. Dengan demikian, asam traneksamat harus

dimasukkan dalam manajemen saat pasien dengan trauma syok hemoragik. Efek

optimal obat ini diamati dalam 3 jam pertama penggunaan 13.

Karena itu beberapa penelitian menyarankan pemberian segera Faktor VIIa

rekombinan (fFVIIa) pada kasus trauma yang terkait koagulopati untuk

menghindari perdarahan selanjutnya dan sekuele. Diyakini bahwa rFVIIa bekerja

dengan cara meningkatkan pembentukan trombin pada platelet yang bekerja di

dekat pembuluh darah yang cedera sebaik faktor X pada kondisi tidak adanya

faktor jaringan. Meski masih kontroversi, penggunaan rFVIIa pada beberapa

penelitian memperlihatkan pengurangan 80% pemberian produk darah,

32
mempercepat waktu intervensi pembedahan, dan menurunkan angka masuk ke

unit terapi intensif pada pasien trauma 4,5.

X. Kesimpulan

Gangguan koagulasi pasca trauma sering terjadi dan dikaitkan dengan luaran

yang buruk. Gangguan koagulasi yang terjadi dapat berupa hiperkoagulasi atau

fibrinolisis. DIC merupakan bentuk umum gangguan koagulasi pasca trauma.

Parameter laboratoris yang digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan

koagulasi adalah nilai aPTT, PT, INR, hitung platelet. Risiko kematian pasien

trauma dengan koagulopati sekitar 10 kali lebih tinggi dari pasien trauma tanpa

koagulopati.

Terapi komponen darah masih menjadi andalan untuk perdarahan yang

terkait dengan koagulopati. Agen hemostatik yang dapat mengontrol perdarahan

secara efektif dan mengurangi jumlah transfuse sel darah merah yang dibutuhkan,

dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada pasien trauma, tetapi

tidak mungkin mengganti transfuse darah sepenuhnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Maegele M, Thomas P, Bertil B. Acute Traumatic Coagulopathy in Severe

Injury Incidence, Risk Stratification, and Treatment Options. Dtsch Arztebl Int

2011; 108(49): 82735. DOI: 10.3238/arztebl.2011.0827

33
2. ,Traumatic Brain Injury-Associated Coagulopathy. J Neurotrauma. 2012 Nov

20; 29(17): 25972605.


3. Rangarajan K, Arulselvi S, Jatin SG, Namit S, Vijay S, Kamran F. Coagulation

studies in patients with orthopedic trauma. J Emerg Trauma Shock. 2010 Jan-

Mar; 3(1): 48.


4. D'angelo MR. Management of traumainduced coagulopathy: trends and

practice. AANA journal. 2010; 78 (1): 3540.


5. Harhangi BS, Kompanje EJO, Leebeek FWG, Maas AIR. Coagulation

disorders after traumatic brain injury. Acta Neurochirurgica (Wien). 2008; 150:

16575.
6. Antovic J, Bakic M, Ignjatovic G, Milenkovich Z, Djuric S, Tasic J, et al.

Blood coagulation and fibrinolysis parameter changes after various types of

brain damage. Medicine and Biology. 1998; 5(1): 449.


7. Greuters SG, van den Berg A, Franschman G, Viersen VA, Beishuizen A, et al.

Acute and delayed mild coagulopathy are related to outcome in patients with

isolated traumatic brain injury. Critical care. 2011; 15: 17


8. Poole D. Coagulopathy and transfusion strategies in trauma. Overwhelmed by

literature, supported by weak evidence. Blood Transfus 2016; 14: 3-7 DOI

10.2450/2015.0244-15
9. Syaifuddin. Sistem Darah Unit 7 Dalam: Anatomi Fisiologi: Kurikulum

Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan dan Kebidanan. Jakarta: EGC. 2011.

Hal. 290-311.

10. Welsby IJ, Halthaway JA. Blood and Component Therapy. Dalam: Brown

DE, Newman MF, Zapol W. Anes. Anesthesiology. Secpnd Edition. 2012.

11. Williamns N, Bulstrode Cjk, Oconnell Pr. Bailey & Loves Short Practice

Of Surgery. Hodder Education, an Hachette UK company. 2008

34
12. Sudarmanto B, Mudrik T, Sumantri. Transfusi Darah dan Transplantasi.

Dalam: Permono B, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti E, Abdulsalam M. Buku

Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: IDAI. 2010. Hal. 217-223


13. Bougl A, Anatole H, Jacques D. Resuscitative strategies in traumatic

hemorrhagic Shock. Bougl et al. Annals of Intensive Care 2013, 3:1

14. Gaol HL, Tanto C, Pryambodho. Transfusi Darah dalam Kapita Selekta

Kedokteran. Edisi IV Jilid II. Media Aesculapius : Jakarta. 2014 ; h.565-7

15. Zubairi D. Dasar-Dasar Transfusi Darah. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo

AW, Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid III. Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam;

2014. Hal 2841-2851.

35

Você também pode gostar