Você está na página 1de 32

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

Allergic Respiratory Diseases

Disusun oleh :
Farissa Utami
G4A015117

Pembimbing :
dr. Dhian Endarwati, Sp. A.

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui referat dengan judul :

Allergic Respiratory Disease

Pada tanggal, Januari 2017

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :

Farissa Utami
G4A015117

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Dhian Endarwati, Sp.A

1
BAB I
PENDAHULUAN

Allergic respiratory diseases/penyakit alergi saluran pernapasan terdiri dari

rinitis alergi dan asma. Penyakit alergi merupakan hasil dari interaksi antara faktor

predisposisi genetik atopi dengan alergen lingkungan, infeksi dan polutan. Faktor

lingkungan mulai dari masa intrauterin sampai dewasa (Wahn, 2004).

Kondisi alergi umumnya rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi

mempunyai jalur imunopatologi yang sama. Perjalanan penyakit alergi merupakan

konsep yang memperlihatkan bahwa penyakit alergi saling berhubungan dan

tampilan penyakit alergi berubah menurut umur. Asma dan rinitis alergi

merupakan penyakit alergi yang saat ini masih menjadi problem kesehatan karena

pengaruhnya dalam menurunkan tingkat kualitas hidup dan dibutuhkan biaya

besar dalam penatalaksanaannya.

Prevalensi penyakit alergi terus meningkat di dunia, baik di negara maju

maupun negara berkembang, terlebih selama dua dekade terakhir. WHO

memperkirakan alergi terjadi pada 5-15% populasi anak di seluruh dunia.3 Pada

fase 3 dari studi yang dilakukan oleh International Study of Asthma and Allergy in

Childhood (ISAAC) pada tahun 2002-2003 dilaporkan bahwa prevalensi asma

bronkial, rhinitis alergi dan dermatitis atopik cenderung meningkat di sebagian

besar lembaga dibandingkan data 5 tahun sebelumnya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh

suatu mekanisme imunitas tertentu. Hipersensitivitas merupakan gejala atau

tanda berulang yang bersifat objektif dan diawali oleh pajanan tehadap suatu

stimulus tertentu pada dosis yang dapat ditoleransi individu normal (WHO,

2002).

Allergic respiratory diseases mencakup rinitis alergi dan asma. Rinitis

terjadi pada mukosa saluran napas bagian atas, sementara asma mulai dari

bronkus saluran napas bawah. Rhinitis Alergi ditandai dengan gejala klasik

seperti hidung gatal, bersin, rinore/pilek, dan obstruksi hidung.

Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi

kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori

dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk,

wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau

berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan

biasanya timbul jika ada pencetus (UKK Respirologi IDAI, 2015).

B. EPIDEMIOLOGI

Insiden penyakit alerg i(asma, rinitis alergik, dan dermatitis atopik)

semakin meningkat. Penelitian tentang prevalensi alergi telah banyak

dilakukan di berbagai negara dengan menggunakan kuesioner standar

internasional International Study Asthma and Allergies in Childhood

(ISAAC) (Paramita, 2011).

3
Penelitian di Hongkong menyebutkan bahwa prevalensi dermatitis

atopik pada anak 13-14 tahun sebanyak 3,3% dan anak usia 6-7 tahun sekitar

4,2%. Prevalensi asma di Inggris pada tahun 1999-2004 meningkat

dibandingkan 1992-1998 sebanyak >20% pada anak usia 6-7 tahun dan 25%

pada anak usia 13-14 tahun. Penelitian di Brazil, prevalensi alergi

berdasarkan kuesioner ISAAC yaitu usia 6-7 tahun adalah 17% dan usia 13-

14% adalah 25% (Paramita, 2011).

Berdasarkan hasil survey di Semarang dengan kuesioner ISAAC pada

anak sekolah dasar usia 6-7 tahun didapatkan jumlah kasus alergi berturut-

turut meliputi asma sebanyak 8,2% rinitis alergika sebanyak 11,5% dan

ecszema sebanyak 8,2% (Paramita, 2011).

4
C. FAKTOR RISIKO

Penyakit alergi pada bayi terjadi akibat interaksi dari faktor genetik,

lingkungan dan gaya hidup termasuk pola makanan dan hygiene. Beberapa

faktor risiko yang dianggap berkontribusi terhadap angka kejadian alergi pada

bayi yaitu paparan asap rokok, konsumsi alkohol pada masa kehamilan, pola

diet atau komponen makanan ibu ketika masa kehamilan dan menyusui,

penggunaan antibiotik, metode persalinan seksio sesarea, bayi lahir prematur,

bayi berat lahir rendah, nutrisi yang diperoleh bayi serta ada atau tidaknya

hewan peliharaan.

Gambar 1. Faktor Risiko Alergi

Atopi adalah kecenderungan genetik untuk membentuk

immunoglobulin E spesifik terhadap suatu alergen (Adkinson et al., 2009).

Penyakit alergi seperti dermatitis atopik, rhinitis alergika, asma dan urtikaria

adalah keadaan atopi yang cenderung terjadi pada kelompok keluarga dengan

5
kemampuan produksi IgE yang berlebihan terhadap rangsangan lingkungan

(Harsono, 2005).

Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam memulai

sensitisasi seseorang yang mempunyai bakat alergi. Proses sensitisasi

terhadap alergen merupakan proses yang berkelanjutan sejak masa awal

kehidupan dapat merupakan faktor lingkungan pranatal dan faktor lingkungan

pasca natal

Faktor lingkungan pranatal termasuk sitokin intra uterin, diet ibu

hamil, dan ibu perokok. Sitokin intra uteri membantu perkembangan janin

dan melindunginya terhadap penolakan respons sel T maternal. Sitokin

tersebut menggambarkan pola respons Th-1 (IL-2, IFN-, IL12), dan Th-2

(IL-4, IL-5, IL-13) yang saling mempengaruhi dan bekerja dalam satu

keseimbangan aktif. Pola respons Th-2 dihubungkan dengan reaksi inflamasi

alergi, sedangkan pola respons Th-1 dihubungkan dengan reaksi inflamasi

infeksi. Gangguan keseimbangan kearah Th-2 akan mempermudah proses

perkembangan alergi.

Penelitian mengenai diet ibu selama hamil masih kontroversial karena

beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan diet hipoalergen pada ibu

hamil trimester ketiga kehamilan tidak mencegah sensitisasi alergen makanan

pada fetus.

Rhinitis alergi berhubungan dengan berbagai komorbiditas, seperti

dermatitis atopik, gangguan tidur karena bernafas, konjungtivitis,

rinosinusitis, otitis media, asma, dan gangguan emosional. Rinitis alergi

sebagai faktor risiko berkembangnya asma.

6
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa rinitis alergi dan non artritis

alergi sebagai faktor-faktor risiko untuk asma yang baru dan asma persisten.

Dalam penelitian kohort dari 690 individual selama 23 tahun, diamati bahwa

insidensi asma terjadi pada 10,5% subjek penelitian dengan rinitis dan 3,6%

pada subjek tanpa rinitis. Sehingga, asma berkembang tiga kali lipat pada

pasien rinitis jika dibandingkan dengan pasien tanpa rinitis (Bianchi, 2016).

D. KLASIFIKASI
Klasifikasi Asma berdasarkan Kekerapaan Kambuh (UKK Respirologi,

2015):

Derajat Asma Uraian kekerapan gejala asma


Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar gejala 6
minggu
Persisten ringan Episode gejala asma > 1x/bulan, <1 x/minggu
Persisten Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap hari
sedang
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir tiap hari

Klasifikasi Asma berdasarkan Terkontrolnya Asma (UKK Respirologi, 2015):

Manifestasi Terkendali Terkendali Tidak


Klinis dengan/tanpa sebagian terkendali
obat pengendali (minimal satu
(Bila semua kriteria
kriteria terpenuhi)
terpenuhi)
Gejala siang Tidak pernah ( 2 >2 x/minggu 3 kriteria
hari x/minggu) terkendali
Aktivitas Tidak ada Ada sebagian
terbatas
Gejala malam Tidak ada Ada
hari
Pemakaian Tidak ada ( 2 >2 x/minggu
pereda x/minggu)

Klasifikasi Asma Saat Serangan (UKK Respirologi, 2015):

Asma Serangan Asma Serangan Berat Serangan Asma

7
Ringan Sedang dengan Ancaman
Henti Napas
Bicara dalam kalimat Bicara dalam kata Mengantuk

Lebih senang duduk Duduk bertopang lengan Letargi


daripada berbaring
Tidak gelisah Gelisah Suara napas tak
terdengar
Frekuensi napas Frekuensi napas
meningkat meningkat
Frekuensi nadi Frekuensi nadi
meningkat meningkat
Retraksi minimal Retraksi jelas
SpO2 (udara kamar): 90 SpO2 (udara kamar) <
95% 90%
PEF > 50% prediksi PEF < 50% prediksi
atau terbaik atau terbaik

Klasifikasi Rinitis Alergi (ARIA, 2007):

E. PATOFISIOLOGI

Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi seperti sel

mast, basofil, dan trombosit. Sel mast dan basofil mengandung mediator

kimia yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut

adalah histamin, newly synthesized mediator, ECF-A, PAF, dan heparin.

Mekanisme alergi terjadi akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap

alergen tertentu, yang berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast.

8
Reaksi alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat

pada sel mast atau basofil dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal

untuk mengaktifkan sistem nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP

terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan

menyebabkan pelepasan mediator lain (Adkinson Jr et al. 2009).

Mediator histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus

yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan

dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar

menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin

meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan

vaskular ini menyebabkan respon wheal-flare (triple respons dari Lewis) dan

bila terjadi sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria dan angioderma

(Adkinson Jr et a.l, 2009).

Newly synthesized mediator terdiri dari leukotrien, prostaglandin dan

tromboksan. Leukotrien dapat menimbulkan efek kontraksi otot polos,

peningkatan permeabilitas dan sekresi mukus. Prostaglandin A dan F

menyebabkan kontraksi otot polos dan juga meningkatkan permeabilitas

kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan

dilatasi otot polos bronkus. Eosinophyl chemotacting factor-anaphylazsis

(ECF-A) dilepaskan segera waktu degranlasi. ECF-A menarik eosinofil ke

daerah tempat reaksi alergi untuk memecah kompleks antigen-antibodi dan

menghalangi aksi newly synthesized mediator dan histamin. Plateletes

Activating Factor (PAF) menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan

9
permeabilitas pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII yang akan

menginduksi pembuatan bradikinin (Adkinson Jr et a.l, 2009).

Bradikinin dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular

secara lambat, lama dan hebat. Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast

manusia tetapi dalam trombosit dan dilepaskan waktu agregasi trombosit

yang juga akan menyebabkan kontraksi otot bronkus tapi hanya sebentar

(Adkinson Jr et a.l, 2009).

Pada fase sensitisasi, alergen memasuki tubuh manusia melalui

berbagai rute diantaranya kulit, saluran nafas, dan saluran pencernaan. Ketika

masuk, alergen akan dijamu serta diproses oleh Antigen Presenting Cells

(APCs) di dalam endosom. Kemudian APC akan mempresentasikan Major

Histocompatibility Complex (MHC) kelas II kepada sel limfosit T helper

(Th0) di dalam limfe sekunder. Sel Th0 akan mengeluarkan Interleukin-4 (IL-

4) yang merubah proliferasi sel Th menjadi Th2.

Sel Th2 akan menginduksi sel limfosit B (sel B) untuk memproduksi

Imunoglobulin (Ig). Pada orang dengan alergi, Th1 tidak cukup kuat

menghasilkan interferon gamma (IFN-) untuk mengimbangi aktivitas Th2,

sehingga Th2 akan lebih aktif memproduksi IL-4. Hal ini menyebabkan sel B

menukar produksi antibodi IgM menjadi IgE. IgE akan menempel pada

reseptor IgE berafinitas tinggi (FcRI) pada sel mast, basofil dan eosinofil.

Beberapa menit setelah paparan ulang alergen, sel mast akan mengalami

degranulasi yaitu suatu proses pengeluaran isi granul ke lingkungan ekstrasel

yang berupa histamin, prostaglandin, serta sitokin-sitokin yang menimbulkan

gejala klinis.

10
Beberapa kemungkinan mekanisme penyebab yang dapat

menerangkan hubungan antara asma dengan rinitis alergi dan sinusitis

umumnya hampir sama, yaitu refleks nasobronkial/rinosinobronkial,

kegagalan fungsi hidung, sekresi post nasal, absorbsi sistemik mediator

inflamasi, dan konsep united airways disease (Bianchi et al., 2016).

Refleks nasobronkial terjadi karena iritasi pada hidung, alergen atau

rangsangan dingin yang dapat menyebabkan spasme bronkus yang terjadi

melalui refleks saraf akibat iritasi atau stimulasi ganglion hidung. Sinusitis

kronik juga dapat menginduksi hiperrespons bronkial melalui refleks

bronkofaringeal. Reaktivitas jalan napas sangat berhubungan dengan lamanya

sinusitis, meningkatnya eosinofil pada cairan hidung dan meningkatnya

densitas saraf submukosa faring. Sinusitis kronik dapat menimbulkan

inflamasi sekunder faring karena terdapatnya peningkatan densitas saraf.

Iritan saluran napas dapat mengaktivasi refleks yang berasal dari faring dan

menimbulkan spasme bronkus. Refleks rinosinobronkial secara umum

dipercaya merangsang reseptor di hidung, nasofaring, dan mungkin sinus

menimbulkan spasme bronkus (Bianchi et al., 2016).

Inhalasi melalui mulut meningkat pada sinusitis dan rinitis alergi

karena sumbatan hidung. Fungsi hidung dalam hal membersihkan,

menghangatkan, dan melembabkan udara yang masuk gagal sebagian atau

keseluruhannya. Kegagalan ini akan menyebabkan spasme bronkus karena

bronkus lebih responsif (Bianchi et al., 2016).

Sekret post nasal yang terdapat pada sinusitis dan rinitis mengandung

banyak mediator inflamasi akan merangsang terjadinya batuk dan mengi.

11
Percobaan pada binatang memperlihatkan bahwa sekresi dari belakang

hidung membawa sitokin dan mediator dari nasofaring ke jalan napas bawah

menyebabkan inflamasi dan bronkokonstriksi. Absorbsi sistemik mediator

inflamasi atau faktor kemotaktik yang dilepaskan mastosit atau eosinofil

seperti histamin, leukotrin, dan platelet activating factor (PAF) dapat

meningkatkan hiperreaktivitas bronkus (Bianchi et al., 2016).

Konsep united airway diseases menyatakan bahwa proses inflamasi

akan melibatkan saluran napas atas dan bawah (Bianchi et al., 2016).

Gambar 2. Hubungan antara Rhinitis dan Asma (Bianchi et al., 2016).

Saluran napas atas dan bawah memiliki unit morfologi dan fungsional

yang sama, dan hubungannya telah diteliti beberapa tahun. Hidung terletak di

pintu awal saluran nafas dan melindungi saluran nafas bawah dari efek

12
berbahaya dari udara yang terhirup berperan sebagai pelembab udara yang

efisien. Hidung menghangatkan, menyaring, dan melembabkan udara masuk

sehingga udara bersih yang tersaturasi dengan air menguap pada temperatur

37C sampai ke paru. Selama bernafas, mayoritas partikel dengan

aerodynamic equivalent diameter (AED) >15 m mengndap di saluran nafas

atas. Partikel dengan AED >2.5 m terdeposit di trakea dan bronkus,

sementara partikel yang lebih kecil penetrasi ke daerah pertukaran udara di

paru. Namun, fungsi saluran nafas atas dan interaksinya dengan saluran nafas

bawah lebih luas dari sekedar air-conditioning (Bianchi et al., 2016).

Hidung dan bronkus memiliki struktur yang sama, yaitu epitel bersilia,

membran basal, lamina propria, kalenjar, dan sel-sel goblet, sehingga disebut

united airway. Namun, ada juga perbedaan dari saluran napas atas dan bawah.

Mukosa nasal, yang terikat ke tulang, kaya akan pembuluh darah, sementara

mukosa bronkus, yang berdekatan dengan kartilago, kaya akan sel otot polos.

Sehingga, penyebab utama obstruksi jalan napas, khususnya fase awal respon

alergi, berbeda: obstruksi saluran napas atas disebaban oleh vasodilatasi dan

edema, sementara obstruksi saluran napas bawah terjadi karena konstriksi

otot polos.

Asma sering bersamaan dengan rinitis didukung oleh beberapa faktor

seperti karakteristik epidemiologi, patologi, dan pendekatan terapi umum

untuk rinitis dan asma. Teori adesi rinovirus menyatakan kemungkinan

hubungan antara inflamasi alergi hidung dengan asma adalah ekspresi

intracellular adhesion molecul (ICAM-I) di mukosa hidung yang meningkat

melalui pajanan alergen dan juga diekspresikan walaupun pada pasien RA

13
tanpa gejala. Dengan meningkatnya ekspresi ICAM-I maka kemungkinan

infeksi saluran napas atas oleh rhinovirus akan lebih sering karena ICAM-I

merupakan reseptor untuk rhinovirus. Infeksi Rhinovirus penting dalam

presipitasi eksaserbasi asma. Konsep ini belum sepenuhnya diterima, tetapi

terminologi rinobronkitis alergi telah diterima sebagai hubungan asma dan

rinitis (Paramita, 2011).

F. MANIFESTASI KLINIS

Diagnosis asma pada anak tidak selalu mudah untuk ditegakkan.

Beberapa kriteria diagnosis untuk itu selalu mempunyai berbagai kelemahan,

tetapi umumnya disepakati bahwa hiperreaktivitas bronkus tetap merupakan

bukti objektif yang perlu untuk diagnosis asma, termasuk untuk asma pada

anak. Gejala klinis utama asma anak pada umumnya adalah mengi berulang

dan sesak napas, tetapi pada anak tidak jarang batuk kronik dapat merupakan

satu-satunya gejala klinis yang ditemukan. Biasanya batuk kronik itu

berhubungan dengan infeksi saluran napas atas. Selain itu harus dipikirkan

pula kemungkinan asma pada anak bila terdapat penurunan toleransi terhadap

aktivitas fisik atau gejala batuk malam hari.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa manifestasi klinis asma dapat

berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik

dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini

hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus (UKK Respirologi, 2015).

Sebagian besar manifestasi akan muncul sebelum usia 6 tahun dan

kebanyakan gejala awal sudah ditemukan pada masa bayi, berupa mengi

berulang atau tanpa batuk yang berhubungan dengan infeksi virus. Hubungan

14
antara mengi semasa bayi dengan kejadian asma pada masa kehidupan

selanjutnya telah banyak dibahas, para peneliti umumnya melaporkan bahwa

hanya sebagian kecil saja (3-10%) dari kelompok bayi mengi yang

berhubungan dengan infeksi virus tersebut akan memperlihatkan progresivitas

klinis menjadi asma bronkial. Infeksi virus semasa bayi yang menimbulkan

bronkiolitis dengan gejala mengi terutama disebabkan oleh virus sinsitial

respiratori (RSV), virus parainfluenza, dan adenovirus. Kecenderungan bayi

mengi untuk menjadi asma sangat ditentukan oleh faktor genetik atopi.

Sebagian besar bayi tersebut jelas mempunyai riwayat keluarga atopi serta

menunjukkan positivitas lgE anti-RSV serum, dibandingkan dengan bayi

mengi yang tidak menjadi asma.

Kemampuan bayi untuk membentuk lgE anti RSV ini diyakini sebagai

status sensitisasi terhadap alergen secara umum. Jadi bayi mengi dengan ibu

atopi yang mengandung lgE anti-RSV tersebut sudah dalam keadaan

tersensitisasi, dan hal ini merupakan faktor risiko terjadinya asma. Sejalan

dengan hal itu maka banyak peneliti telah melaporkan positivitas lgE spesifik

terhadap berbagai alergen (susu, kacang, makanan laut, debu rumah, serbuk

sari bunga) pada bayi merupakan faktor risiko dan prediktor untuk terjadinya

asma.

Rhinitis Alergi ditandai dengan gejala klasik seperti hidung gatal,

bersin, rinore/pilek, dan obstruksi hidung.

15
G. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Kriteria Diagnosis Asma pada anak > 5 tahun (UKK Respirologi, 2015):

Gejala Karakteristik
Wheezing, batuk , sesak napas, Biasanya lebih dari 1 gejala
dada tertekan, produksi sputum respiratori
Gejala berfluktuasi intensitasnya
seiring waktu
Gejala memberat pada malam
atau dini hari
Gejala timbul bila ada pencetus
Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi
Gambaran obstruksi saluran FEV1 rendah (<80% nilai
respiratori prediksi)
FEV1 / FVC 90%
Uji reversibilitas Peningkatan FEV1 >12%
(pascabronkodilator)
Variabilitas Perbedaan PEFR harian >13%
Uji Provokasi Penurunan FEV1 >20%, atau
PEFR >15

Tiga indikator asma balita (<5 tahun):


1. Pola gejala: wheezing, batuk, dispneu, gangguan tidur
2. Faktor risiko untuk berkembangnya asma (Asthma Predictive Index)
3. Respon terhadap terapi kontroler

Kriteria Diagnosis Asma pada anak < 5 tahun (UKK Respirologi, 2015):

H. PENATALAKSANAAN
Terapi untuk penyakit alergi dapat diberikan secara farmakologi dan

immunotherapy. Untuk terapi farmakologi dengan obat anti inflamasi non

16
steroid, anti histamin, steroid, teofilin atau epinefrin. Sedangkan

immunotherapy atau yang juga dikenal dengan suntikan alergi, pasien

diberikan suntikan berulang dari alergen untuk mengurangi IgE pada sel mast

dan menghasilkan IgG.


1. Asma

Berikut ini tatalaksana pasien dengan serangan asma (UKK

Respirologi, 2015):

a. Anak dengan episode pertama wheezing tanpa distress pernapasan,

bisa dirawat di rumah hanya dengan terapi penunjang. Tidak perlu

diberi bronkodilator
b. Anak dengan distres pernapasan atau mengalami wheezing berulang,

beri salbutamol dengan nebulisasi atau MDI (metered dose inhaler).

Jika salbutamol tidak tersedia, beri suntikan epinefrin/adrenalin

subkutan. Periksa kembali anak setelah 20 menit untuk menentukan

terapi selanjutnya:

17
o Jika distres pernapasan sudah membaik dan tidak ada napas cepat,

nasihati ibu untuk merawat di rumah dengan salbutamol hirup atau

bila tidak tersedia, beri salbutamol sirup per oral atau tablet.

o Jika distres pernapasan menetap, pasien dirawat di rumah sakit dan

beri terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain seperti

yang diterangkan di bawah.

c. Jika anak mengalami sianosis sentral atau tidak bisa minum, rawat dan

beri terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain yang

diterangkan di bawah.
d. Jika anak dirawat di rumah sakit, beri oksigen, bronkodilator kerja-

cepat dan dosis pertama steroid dengan segera.


e. Respons positif (distres pernapasan berkurang, udara masuk terdengar

lebih baik saat auskultasi) harus terlihat dalam waktu 20 menit. Bila

tidak terjadi, beri bronkodilator kerja cepat dengan interval 20 menit.


f. Jika tidak ada respons setelah 3 dosis bronkodilator kerja-cepat, beri

aminofilin IV.

g. Oksigen

Berikan oksigen pada semua anak dengan asma yang terlihat

sianosis atau mengalami kesulitan bernapas yang mengganggu

berbicara, makan atau menyusu (serangan sedang-berat).

h. Bronkodilator kerja-cepat

Beri anak bronkodilator kerja-cepat dengan salah satu dari tiga

cara berikut: nebulisasi salbutamol, salbutamol dengan MDI dengan

18
alat spacer, atau suntikan epinefrin/adrenalin subkutan, seperti yang

diterangkan di bawah.

1) Salbutamol Nebulisasi

Alat nebulisasi harus dapat menghasilkan aliran udara

minimal 6-10 L/ menit. Alat yang direkomendasikan adalah jet-

nebulizer (kompresor udara) atau silinder oksigen. Dosis

salbutamol adalah 2.5 mg/kali nebulisasi; bisa diberikan setiap 4

jam, kemudian dikurangi sampai setiap 6-8 jam bila kondisi anak

membaik. Bila diperlukan, yaitu pada kasus yang berat, bisa

diberikan setiap jam untuk waktu singkat.

2) Salbutamol MDI dengan alat spacer

Alat spacer dengan berbagai volume tersedia secara

komersial. Penggunaannya mohon lihat buku Pedoman Nasional

Asma Anak. Pada anak dan bayi biasanya lebih baik jika

memakai masker wajah yang menempel pada spacer

dibandingkan memakai mouthpiece. Jika spacer tidak tersedia,

spacer bisa dibuat menggunakan gelas plastik atau botol plastik 1

liter. Dengan alat ini diperlukan 3-4 puff salbutamol dan anak

harus bernapas dari alat selama 30 detik.

3) Epinefrin (adrenalin) subkutan

Jika kedua cara untuk pemberian salbutamol tidak tersedia,

beri suntikan epinefrin (adrenalin) subkutan dosis 0.01 ml/kg

dalam larutan 1:1 000 (dosis maksimum: 0.3 ml), menggunakan

semprit 1 ml (untuk teknik injeksi lihat halaman 331). Jika tidak

19
ada perbaikan setelah 20 menit, ulangi dosis dua kali lagi dengan

interval dan dosis yang sama. Bila gagal, dirawat sebagai

serangan berat dan diberikan steroid dan aminofilin.

4) Bronkodilator Oral

Ketika anak jelas membaik untuk bisa dipulangkan, bila

tidak tersedia atau tidak mampu membeli salbutamol hirup,

berikan salbutamol oral (dalam sirup atau tablet). Dosis

salbutamol: 0.05-0.1 mg/kgBB/kali setiap 6-8 jam

5) Steroid

Jika anak mengalami serangan wheezing akut berat berikan

kortikosteroid sistemik metilprednisolon 0.3 mg/kgBB/kali tiga

kali sehari pemberian oral atau deksametason 0.3 mg/kgBB/kali

IV/oral tiga kali sehari pemberian selama 3-5 hari.

6) Aminofilin

Jika anak tidak membaik setelah 3 dosis bronkodilator kerja

cepat, beri aminofilin IV dengan dosis awal (bolus) 6-8 mg/kgBB

dalam 20 menit. Bila 8 jam sebelumnya telah mendapatkan

aminofilin, beri dosis setengahnya. Diikuti dosis rumatan 0.5-1

mg/kgBB/jam. Pemberian aminofilin harus hati-hati, sebab

margin of safety aminofilin amat sempit.

Hentikan pemberian aminofilin IV segera bila anak mulai

muntah, denyut nadi >180 x/menit, sakit kepala, hipotensi, atau

kejang.

20
Jika aminofilin IV tidak tersedia, aminofilin supositoria bisa

menjadi alternatif.

7) Antibiotik

Antibiotik tidak diberikan secara rutin untuk asma atau anak

asma yang bernapas cepat tanpa disertai demam. Antibiotik

diindikasikan bila terdapat tanda infeksi bakteri.

2. Rinitis Alergi
Berikut ini merupakan alur tatalaksana rinitis alergi (ARIA, 2007):

a. Antihistamin
Antihistamin generasi kedua merupakan pilihan utama. Pada dosis

terapi, efek sedasi cetirizine lebih besar daripada loratadin atau

fexofenadine, dan penelitian pada anak sekolah chlorpheniramine vs

cetirizine tidak berbeda (Mann et al., 2000).


Berikut ini merupakan antihistamin yang direkomendasikan oleh

ARIA:

21
Pendidikan dan penjelasan tentang asma pada pasien dan keluarga

merupakan unsur penting penatalaksanaan asma pada anak. Begitupun rinitis

alergi. Perlu penjelasan sederhana tentang proses penyakit, faktor risiko,

penghindaran pencetus, manfaat dan cara kontrol lingkungan, cara mengatasi

serangan akut, pemakaian obat dengan benar, serta hal lain yang semuanyafd

22
bertujuan untuk meminimalkan morbiditas fisis dan psikis serta mencegah

disabilitas.
I. PENCEGAHAN
Pencegahan alergi merupakan upaya pencegahan manifestasi alergi,

terdiri dari pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer

adalah pencegahan terjadinya sensitisasi alergi. Pencegahan sekunder adalah

pencegahan terjadinya sensitisasi selanjutnya. Pencegahan tersier

(pencegahan memberatnya manifestasi klinis atau kekerapan kambuh).

1. Penentuan risiko alergi


Risiko alergi pada seorang anak ditentukan berdasarkan riwayat

penyakit atopik dalam keluarga seperti dermatitis atopik, asma, dan atau

rinitis alergi, baik pada orangtua maupun saudara kandung. Penentuan

risiko alergi berdasarkan riwayat penyakit atopik dalam keluarga

memiliki sensitifitas 61% dan spesifisitas 83%. Kartu deteksi dini UKK

Alergi Imunologi IDAI memuat nilai risiko keluarga pada ayah, ibu dan

saudara kandung. Kartu deteksi dini alergi dapat digunakan untuk

menentukan risiko alergi pada anak. Hal ini drekomendasikan oleh IDAI

tahun 2015.
2. Nutrisi ibu selama hamil dan menyusui
Restriksi diet pada ibu hamil dan menyusui untuk mencegah

terjadinya penyakit alergi pada anak tidak diperlukan


3. Pemberian minyak ikan pada ibu hamil dan menyusui
Suplementasi minyak ikan pada ibu hamil dan menyusui untuk

mencegah terjadinya penyakit alergi pada anak belum cukup bukti untuk

direkomendasikan
4. Nutrisi Bayi
a. ASI
ASI memiliki peran besar dalam menjaga kesehatan ibu dan

bayi, merupakan makanan yang paling alamiah dan memiliki efek

23
psikologis pada ibu dan bayi. Namun demikian, penelitian

pemberian ASI dalam pencegahan alergi masih terbatas pada desain

observasional karena berbenturan dengan masalah etika dan tidak

dimungkinkannya randomisasi serta blinding pada subjek penelitian.

American Academy of Pediatrics (AAP) dan Australasian Society of

Clinical Immunology and Allergy (ASCIA) merekomendasikan

pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan perlu, sedangkan European

Academy of Allergology and Clinical Immunology dan komite

Eropa menyarankan pemberian ASI hingga usia setidaknya 4-6 bulan

untuk pencegahan primer alergi (Matheson et al., 2012)


Adanya komponen imunomodulator pada ASI, seperti sIgA

dan lactoferrin berperan dalam modulasi mikrobiota dalam usus

yang telah diketahui berperan dalam menghambat munculnya alergi.

ASI kaya akan berbagai macam sel dalam system imun yang

dipandang dapat memberi kompensasi bagi bayi sebelum maturnya

system imun. ASI juga kaya akan sitokin tolerogenik seperti IL-10

dan TGF (Matheson et al., 2012).


Sebuah penelitian potong lintang di Qatar menunjukkan

menyusui lebih dari 6 bulan bersifat protektif terhadap munculnya

penyakit alergi dibandingkan kurang dari 6 bulan. Penelitian lain di

Jepang menunjukkan pemberian ASI eksklusif selama 4 bulan atau

lebih bersifat preventif terhadap asma pada masa anak-anak

(Ehlayel, 2008; Tanaka, 2010).


Sehingga didapatkan kesimpulan dari IDAI bahwa pemberian

ASI eksklusif hingga 6 bulan bermanfaat untuk pencegahan penyakit

alergi (UKK Alergi Imunologi, 2015).

24
b. Formula hidrolisat dan parsial
Formula hidrolisat ekstensif/extensively hydrolyzed formula

(eHF) adalah formula bayi berbahan dasar susu sapi dengan protein

yang sudah didegradasi secara enzimatik sehingga berat molekulnya

menjadi kurang dari 1500D serta berkurang alergenisitasnya. Peptide

dengan berat molekul lebih dari 1500D masih terdapat pada formula

ini, namun jumlahnya kurang dari 1% (Rubino, 1995).


Formula hidrolisat parsial/partially hydrolyzed formula(pHF)

adalah formula bayi berbahan dasar susu sapi dengan protein yang

sudah didegradasi namun tidak secara ekstensif dan pada formula ini

terdapat lebih dari 15% peptide dengan berat molekul lebih dari

1500D (Rubino, 1995).


Pada bayi yang tidak memungkinkan diberi ASI, pemberian

formula hidrolisat parsial atau ekstensif sampai usia 4 6 bulan dapat

memberikan efek pencegahan terhadap dermatitis atopik, tetapi

bukan asma. Bagaimanapun, formula hidrolisat tidak dapat

menggantikan kedudukan ASI sebagai pilihan nutrisi pertama pada

bayi (UKK Alergi Imunologi, 2015).


c. Susu Kedelai
Formula susu kedelai tidak memberikan keuntungan dalam

pencegahan penyakit alergi. Beberapa penelitian prospektif lain

melaporkan bahwa formula susu kedelai memiliki risiko alergi yang

sama dengan formula susu sapi, sehingga formula susu kedelai tidak

direkomendasikan untuk pencegahan alergi makanan pada anak yang

berisiko tinggi (Osborn, 2009).


d. Prebiotik, probiotik, sinbiotik

25
Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang memiliki

manfaat bagi kesehatan manusia dengan efek imunomodulator yang

khas untuk setiap strain dan berperan dalam perkembangan system

imun sistemik dan mukosa terutama toleransi oral. Prebiotik adalah

oligosakarida yang merupakan makanan probiotik, sinbiotik adalah

campuran probiotik dan prebiotik (Grimshaw, 2012).


Sebuah metaanalisis dari uji coba klinis menyimpulkan bahwa

probiotik yang diberikan sebagai suplemen saat kehamilan atau bayi

dapat mengurangi risiko eczema atopik pada bayi (Pelucchi et al.,

2012). Namun, ada beberapa penelitian yang meragukan peran

probiotik dalam pencegahan eczema dan penyakit alergi lainnya.


Mikroba intestinal dipengaruhi oleh kematangan imunologis

pada bayi. Flora fecal telah ditemukan berbeda diantara bayi yang

nantinya mempunyai penyakit alergi dan yang tidak. Komposisi dari

mikroba ditentukan oleh paparan inokulum vagina saat melahirkan,

diet, dan lain-lain. Manipulasi mikroba intestinal pada bayi dapat

digunakan sebagai pencegahan penyakit alergi


Pada sebuah penelitian kohort berbasis populasi, konsumsi

probiotik produk susu berhubungan terhadap penurunan insidensi

atopic eczema dan rinokonjungtivitis, tapi tidak terlihat adanya

hubungan langsung terhadap insidensi asma hingga umur 36 bulan

(Bertelsen et al., 2014).


e. Makanan padat
Pemberian makanan padat Pengenalan makanan padat lebih

dini sebelum usia 4 6 bulan dan penundaan pengenalan makanan

padat dapat meningkatkan risiko penyakit alergi. Setelah bayi

mendapat makanan padat, penghindaran terhadap makanan yang

26
berpotensi menjadi alergen akan meningkatkan risiko alergi terhadap

makanan tersebut
Makanan padat dapat mulai diberikan pada anak usia 4 6

bulan secara bertahap sesuai usia. Restriksi diet terhadap makanan

tertentu tidak diperlukan untuk pencegahan penyakit alergi (UKK

Alergi Imunologi, 2015).


5. Faktor Lingkungan
a. Asap Rokok

Pajanan asap rokok, baik saat kehamilan, sesudah kelahiran, masa

anak dan remaja berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit

alergi, meningkatkan prevalensi dan kejadian wheezing dan asma

pada anak (UKK Imunologi Alergi, 2015).

b. Tungau debu rumah

Lingkungan dalam rumah dengan kelembaban relatif yang

tinggi dapat meningkatkan konsentrasi tungau debu rumah dan jamur

serta meningkatkan risiko asma dan rinitis alergi. Namun demikian

saat ini belum cukup bukti untuk memberikan rekomendasi bahwa

upaya penghindaran tungau debu rumah bermanfaat untuk

menurunkan risiko penyakit alergi dan asma pada anak (UKK

Imunologi Alergi, 2015).

c. Hewan peliharaan

Tidak cukup bukti bahwa menghindari hewan peliharaan dari

dalam rumah dapat mencegah penyakit alergi pada anak (UKK

Imunologi Alergi, 2015).

J. PROGNOSIS

27
Bila ditangani dengan baik maka pasien asma dan rinitis alergi dapat

memperoleh kualitas hidup yang sangat mendekati anak normal, dengan

fungsi respirasi normal pada usia dewasa kelak walaupun tetap menunjukkan

saluran napas yang hiperresponsif.

28
BAB III
KESIMPULAN

1. Allergic respiratory disease mencakup rinitis alergika dan asma. Rinitis

alergi merupakan suatu penyakit alergi pada saluran napas atas, sedangkan

asma pada saluran napas bawah.


2. Insidensi penyakit alergi meningkat selama beberapa dekade ini
3. Faktor risiko dari Allergic respiratory disease yaitu kombinasi faktor

genetik dan lingkungan. Riwayat atopik keluarga merupakan faktor risiko

yang mempengaruhi terjadinya suatu penyakit alergi.


4. Manifestasi klinis rinitis alergi dan asma biasanya muncul setelah anak

berusia >5-6 tahun.


5. Penatalaksanaan allergic respiratory disease meliputi antiinflamasi

(kortikosteroid) serta brokodilator pada asma. Sedangkan pada rinitis

alergi menggunakan antihistamin dan dekongestan jika perlu.

29
DAFTAR PUSTAKA

Adkinson Jr et al. 2009. Middletons Allergy principles and practice 7th edition.
Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA). 2007. ARIA At-A-Glance
Pocket Reference 1st Edition.

Bertelsen, R.J., Brantseter, A.L., Magnus, M.C., Margaretha H., Myher, R.,
Jacbson, Bo., et al. 2014. Probiotic milk consumption in pregnancy and
infancy and subsequent childhood allergic disease. J Allergy Clin
Immunol; 133: 165-171.
Bianchi, P.G., Aun, M.V., Takejima, P., Kalil, J., Agondi, R.C. 2016. United
airway disease: current perspectives. Journal of Asthma and Allergy, 9:
93100.
Ehlayel MS, Bener A. 2008. Duration of breastfeeding and the risk of childhood
allergyin developing country. Allergy Asthma Proc 29:386 391.
Gonzalez-Barcalaa, F.J., Pertegab, S., Sampedroc, M., Lastresd, J.S., Gonzalezc,
MASJ., Bamondec, L et al. 2013. Impact of parental smoking on
childhood asthma. J Pediatr (Rio J). 89:294-299.
Grimshaw, K. 2012. Food allergy prevention. Current Allergy & Clinical
Immunology.25:1;18-23
Johansson, S.G.O., Haahtela, T. 2004. WAO guideline for prevention of allergy
and allergic asthma. Allergy Clin Immunol Int J World Allergy;16:176
185
Mann RD, Pearce GL, Dunn N, Shakir S. 2000. Sedation with nonsedating
antihistamines: four prescription-event monitoring studies in general
practice. BMJ; 320: 84-1187
Matheson MC, AllenKJ, Tang MLK. 2012. Understanding the evidence for and
against the role of breastfeeding in allergy prevention.Clinical &
Experimental Allergy (42): 827851.
Osborn, D.A., Sinn, J.K.H. 2009. Soy formula for prevention of allergy and food
intolerance in infant (review). the Cochrane Collaboration.
Paramita, O.D. 2011. Hubungan Asma, Rinitis Alergik, Dermatitis Atopik dengan
IgE Spesifik pada Anak Usia 6-7 tahun. Tesis. Semarang: Universitas
Diponegoro.
Pelucchi, C., Chatenoud L., Turati, F., Galcone C., Moja L., Bach J,F., et al. 2012.
Probioctics supplementation during pregnancy or infancy for the
prevention of atopic dermatitis: a meta-analysisis. Epidemiology; 23:
402-414.

30
Rubino A, Capano G, De Curtis M, Guarino A, Pisacane A. 1995. Advances in
infant nutrition. Ann 1st super sanita;3:407.
Tanaka K, Miyake Y, Arakawa M, Sasaki S, Ohya Y. 2007. Prevalence of Asthma
and Wheeze in Relation to Passive Smoking in Japanese Children . Ann
Epidemiol;17:10041010.
Tanaka K, Miyake Y, Sasaki S. 2010. Association between Breastfeeding and
Allergic Disorders In Japanese Children. Int J Tuberc Lung Dis;14:513
518.
UKK Alergi Imunologi. 2015. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Pencegahan Primer Alergi. IDAI.
UKK Respirologi. 2015. Pedoman Nasional Asma Anak Edisi ke-2. IDAI.
WHO/WAO meeting on prevention of allergy and allergic asthma, Geneva 2002

31

Você também pode gostar