Você está na página 1de 13

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. DEFINISI DIABETES MELLITUS


Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya1

III.2. EPIDEMIOLOGI
Menurut data stastistik tahun 1995 dari WHO terdapat 135 juta penderita
Diabetes Mellitus di seluruh dunia. Tahun 2005 jumlah Diabetes Mellitus diperkirakan
akan meningkat mencapai sekitar 230 juta, dan diprediksi jumlah penderita Diabetes
Mellitus lebih dari 220 juta penderita di tahun 2010 dan lebih dari 300 juta di tahun
2025.3
Dari data WHO di tahun 2002 diperkirakan terdapat lebih dari 20 juta penderita
Diabetes Mellitus di tahun 2025. Pada tahun 2030 bisa mencapai 21 juta penderita. Saat
ini penyakit Diabetes Mellitus banyak dijumpai penduduk Indonesia. Bahkan WHO
menyebutkan, jumlah penderita Diabetes Mellitus di Indonesia menduduki ranking
empat setelah India, China, dan Amerika Serikat.3,4
Menurut Ketua Indonesian Diabetes Association (Persadia) Soegondo, Diabetes
Mellitus Tipe II merupakan yang terbanyak, yaitu sekitar 95% dari keseluruhan kasus
Diabetes Mellitus. Selain faktor genetik, juga bisa dipicu oleh lingkungan yang
menyebabkan perubahan gaya hidup tidak sehat,seperti makan berlebihan (berlemak
dan kurang serat), kurang aktivitas fisik, stress.4
Jumlah penderita diabetes di Indonesia hingga kini mencapai 14 juta orang. Rata-
rata 50% dari jumlah pasien diabetes baru menyadari mereka menderita sakit gula
setelah memeriksakan ke dokter. Selain itu, hanya 30% saja pasien diabetes yang
berobat.4

III.3. KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS


Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010 diabetes melitus dibagi
menjadi 4 berdasarkan etiologinya yakni; diabetes melitus tipe 1 (DMT1) karena
defisiensi insulin absolut, diabetes melitus tipe 2 (DMT2) karena resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin dan/atau
resistensi insulin, diabetes melitus gestasional pada saat kehamilan dan diabetes melitus
tipe lain yang disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit endokrin pankreas, endokrinopati, penggunaan obat atau zat kimia, infeksi
maupun kelainan imunologi.3

III.4. DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS


Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM
seperti dibawah ini :
- Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemas dan berat badan
yang menurun.
- Gejala lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata
kabur dan impotensia pada pasien pria serta pruritus vulvae pada pasien wanita.

Gambar 3.1 Algoritma diagnosis Diabetes Mellitus.

Kriteria diagnosis DM dapat melalui 3 cara:


1. Gejala Klasik DM + Glukosa Plasma Sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
*Glukosa plasma sewaktu adalah hasil pemeriksaan sesaat gula darah tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
Atau
2. Gejala Klasik DM + Glukosa Plasma Puasa > 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
*Glukosa plasma puasa adalah hasil pemeriksaan gula darah pada saat pasien
tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
Atau
3. Glukosa Plasma 2 jam pada TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) > 200 mg/dL
( 11,1 mmol/L)
*TTGO yang digunakan berdasarkan standart WHO menggunakan beban
glukosa 75 gr glukosa yang dilarutkan ke dalam air.

Cara pelaksanaan TTGO :


Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari dan tetap
melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
Diperiksa kadar glukosa darah puasa pada pagi harinya.
Diberikan glukosa 75 gr (orang dewasa), atau 1,75 gr/kgBB (anak-anak) yang telah
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.
Berpuasa kembali 2 jam setelah minum larutan glukosa kemudian segera setelah
itu ambil sampel darah untuk pemeriksaan.
Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.

III.5. PENATALAKSANAAN

Terdapat 4 pilar penatalaksanaan Diabetes Mellitus, yaitu :

1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan
tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.3
Edukasi perawatan kaki diabetik juga penting. Pemeriksaan kaki setiap hari mutlak
dilakukan untuk deteksi dini luka. Membersihkan kaki dengan air bersih dan keringkan
sela-sela jari kaki. Berikan pelembab pada kulit yang kering dan gunting kuku dengan
teknik yang benar. Periksa kaki rutin ke dokter terutama bila ada luka.

2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)


Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, ter
utama pada mereka yang menggunakan obat penurun glu kosa darah atau insulin.
Nutrisi yang baik membantu proses penyembuhan luka, menunjang fase
penyembuhan luka yang meliputi inflamasi, granulasi dan epitelisasi (remodelling).
Rekomendasi untuk pasien dengan luka adalah makan makanan yang sehat dan seimbang
dengan cukup energi dan protein.
Untuk mendapatkan perhitungan kebutuhan kalori basal, pada laki-laki, Berat Badan
Ideal dikalikan dengan 30kkal sedangkan pada wanita dikalikan 25kkal. Faktor koreksi
yang dipertimbangkan adalah usia, aktivitas, beratnya stres atau infeksi dan berat badan.
Selain jumlah kkal, perlu perhitungan khusus mengenai kebutuhan protein mengingat
defisiensi protein sangat berperan pada terganggunya proses penyembuhan luka.
Untuk proses penyembuhan luka diperlukan sekitar 1.5-2g protein/kgBB per hari.
Karbohidrat, dianjurkan sebanyak 45-65% dari kebutuhan kalori. Anjuran konsumsi
lemak untuk diabetes adalah 20-25% dari kebutuhan energi dan tidak boleh melebihi
30%. Mikronutrien seperti vitamin C, vitamin E, selenium, copper, zinc dan beta karoten
dapan meningkatkan respons kekebalan dengan jalan mengurangi beban radaikal
bebas.Vitamin B kompleks terlibat dalam penyembuhan luka, terutama pada penglepasan
energi dari karbohidrat. Vitamin C (1-6g/hari tergantung BB) berperan dalam sintess
kolagen, pembentukan jaringan parut, membantu penyerapan zat besi dan sebagai
antioksidan. Vitamin E (400-800 IU) dapat berasal dari biji bunga matahari, almond dan
yogurt. Vitamin K (1600-2000 RE) dalam penyembuhan luka berperan dalam
metabolisme kalsium dan faktor-faktor koagulasi darah. Vitamin A (5000 IU) membantu
sintesis kolagen dan regenerasi sel epitel. Zinc 30-200mg dan besi 20-30mg.

3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Latihan jasmani pada pasien kaki diabetik dapat berupa olahraga yang non weight
bearing seperti berenang (kalau ada luka tidak dilakukan) dan juga senam kaki. Senam
kaki bertujuan untuk memperkuat otot-otot di sekitar kaki maupun tungkai bawah serta
melenturkan sendi dan ligamen di sekitar kaki, disamping membantu melancarkan aliran
darah ke kedua kaki. Dengan makin kuat dan lenturnya kaki, penyandang diabetes tidak
mudah jatuh sehingga kemungkinan terjadinya cedera maupun luka pada kaki dapat
dihindari. Bila terjadi luka penyembuhan akan terjadi lebih cepat sebab aliran darah
kedua kaki cukup baik.

4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
a Obat hiperglikemik oral (OHO).
Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 4 golongan :

1 Pemicu sekresi insulin : sulfonilurea, glinid.


2 Peningkat sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion (TZD).
3 Penghambat glukosidase alfa : acarbose.
4 Penghambat DPP (Dipeptidyl Peptidase) IV : sitaglpintin, linagliptin.
5 Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2) : canagliflozin, dapaglifozin.
b Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :

1. Penurunan berat badan yang cepat.


HbA1c >9% dengan kondisi dekompensasi metabolik.
1 Hiperglikemia berat yang disertai ketoasidosis.
2 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal.
3 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
4 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
5 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.
c Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.
III.6. KRISIS HIPERTENSI
Krisis hipertensi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan kenaikan tekanan darah
yang sangat tinggi > 180/120 mmHg dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi
kelainan organ target.5,6 Menurut The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VIII) krisis hipertensi ini dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi emergensi (hipertensi gawat darurat) dan hipertensi
urgensi (hipertensi darurat).7

III.7 ETIOLOGI
Pada individu yang sebelumnya normotensi atau hipertensi ringan/sedang, pemakaian
obat kokain, phencyclidine, amfetamin, kontrasepsi oral, linezolid, AINS, monoamine
oxidase (MAO) inhibitor dapat meningkatkan risiko krisis hipertensi. Gejala withdrawal
putus minum alkohol juga memicu krisis hipertensi. Berikut bermacam-macam penyebab
sekunder dari hipertensi yang dapat menyebabkan krisis hipertensi:5,

III.8 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang mendasari terjadinya krisis hipertensi belum sepenuhnya
diketahui. Transisi dari hipertensi ringan atau normotensi menuju ke kejadian krisis
hipertensi disebabkan oleh peningkatan tekanan darah yang mendadak. Hal tersebut
dikaitkan dengan penghentian obat antihipertensi, konsumsi obat-obat terlarang, serta
beberapa sindrom klinis. Tekanan darah ditentukan oleh produk dari curah jantung dan
resistensi vaskular sistemik (BP = CO SVR). Dalam kebanyakan krisis hipertensi,
kenaikan awal tekanan darah disebabkan peningkatan resistensi vaskuler sistemik.
Kenaikan resistensi vaskuler sistemik diyakini disebabkan oleh vasokonstriktor
humoral. Dengan peningkatan tekanan darah, stres mekanik pada dinding arteriol
berakibat pada kerusakan endotel dan nekrosis fibrinoid dari arteriol. Dengan gangguan
integritas endotel pembuluh darah mengakibatkan lesi mikrovaskular difus
berkembang. Nekrosis fibrinoid arteriol terlihat pada organ yang rentan dan dianggap
sebagai ciri histologis krisis hipertensi. Kerusakan vaskular tersebut menyebabkan
hilangnya mekanisme autoregulator, iskemia, dan kerusakan organ akut, yang
selanjutnya memicu terjadinya vasokonstriktor dan dimulai lagi mekanisme dari aal.7,
Gambar 1. Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi

Tidak jelas apakah hipertensi saja menyebabkan pengembangan krisis hipertensi


atau apakah terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh. Sebagai contoh, peningkatan
resistensi pembuluh darah perifer hasil sebagian dari aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron. Bukti menunjukkan angiotensin II dapat langsung melukai dinding
pembuluh darah oleh aktivasi sitokin proinflamasi (interleukin 6) dan juga faktor nuklir
kB. Kondisi lain yang dapat menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah
perifer, adalah hiperviskositas, faktor imunologi, dan hormon lain seperti katekolamin,
vasopressin, dan endotelin.7,8,9

A. GEJALA DAN TANDA KLINIS


Gejala dan tanda klinis krisis hipertensi merupakan gambaran kerusakan akut
endotel pembuluh darah yang menyebabkan kerusakan iskemik atau perdarahan.
Temuan klinis krisis hipertensi dapat terlihat melalui pemeriksaan fisik umum berupa
pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan khusus yang mencakup berbagai fungsi
organ seperti otak, mata, jantung, dan ginjal. Oleh karena itu, evaluasi riwayat klinis
dan pemeriksaan fisik harus mencakup sistem organ tersebut.7
Gejala dan tanda klinis umum pada krisis hipertensi:6
1. Otak
a. Sakit kepala
b. Perubahan visual
c. Perubahan status mental
d. Kejang
e. Mual
f. Lateralisasi
2. Mata
a. Penurunan visus
b. Perdarahan pada konjungtiva
3. Kardiovaskular
a. Nyeri dada
b. Nyeri punggung
c. Dyspneu
d. Diseksi aorta
e. Aritmia
4. Ginjal
a. Oliguria
b. Anuria
c. Proteinuria
d. Hematuria
e. Silinder
f. Gangguan elektrolit

B. KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi
tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah
dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi.8
1. Anamnesa
Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting
ditanyakan:8
a. Riwayat hipertensi: lama dan beratnya.
b. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
c. Usia: sering pada usia 40 60 tahun.
d. Gejala sistem saraf: sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas.
e. Gejala sistem ginjal: gross hematuri, jumlah urin berkurang.
f. Gejala sistem kardiovaskular: adanya payah jantung, kongestif dan oedem
paru, nyeri dada.
g. Riwayat penyakit: glomerulonefritis, pyelonefritis.
h. Riwayat kehamilan: tanda eklampsia.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tanda vital, khususnya
pengukuran tekanan darah dan mencari kerusakan organ sasaran, seperti
retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif, altadiseksi. Perlu
dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun
payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain
seperti penyakit jantung koroner.8
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara, yaitu:9
a. Pemeriksaan yang segera seperti :
Darah: rutin, BUN, creatinin, elektrolik, KGD.
Urin: urinalisa dan kultur urin.
EKG: 12 Lead, melihat tanda iskemi.
Foto thoraks: apakah ada oedem paru (dapat ditunggu setelah
pengobatan terlaksana).
b. Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan
yang pertama):
Sangkalan kelainan renal: IVP, renal angiography (kasus tertentu),
biopsi renal (kasus tertentu).
Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi: spinal tab,
CT Scan.
Bila disangsikan feokhromositoma: urin 24 jam untuk katekolamin,
metamefrin, venumandelic acid (VMA).
Dari anamnese dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dibedakan
hipertensi emergensi atau urgensi dan faktor-faktor yang mempresipitasi krisis
hipertensi. Kondisi klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis hipertensi, antara
lain:9
a. Kenaikan tekanan darah tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis esensial
(tersering).
b. Hipertensi renovaskular.
c. Glomerulonefritis akut.
d. Sindroma withdrawal anti hipertensi.
e. Cedera kepala dan ruda paksa susunan saraf pusat.
f. Renin-secretin tumors.
g. Pemakaian prekusor katekolamin pada pasien yang mendapat MAO inhibitor.
h. Penyakit parenkim ginjal.
i. Pengaruh obat: kontrasepsi oral, anti depressant trisiklik, MAO inhibitor,
simpatomimetik (pil diet, sejenis amfetamin), kortikosteroid, NSAID, ergot alk.
j. Luka bakar.
k. Progresif sistematik sklerosis, SLE.
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi
seperti:9
a. Hipertensi berat
b. Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
c. Ansietas dengan hipertensi labil.
d. Oedema paru dengan payah jantung kiri.
Selanjutnya perlu dibedakan krisis hipertensi tersebut mengarah ke hipertensi
emergensi (hipertensi gawat darurat) atau hipertensi urgensi (hipertensi darurat).
Hipertensi emergensi (hipertensi gawat darurat) ditandai dengan tekanan darah >
200/130 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu
atau lebih penyakit/kondisi akut. Keterlambatan pengobatan akan menyebebabkan
timbulnya sequele atau kematian. Tekanan darah harus diturunkan sampai batas tertentu
dalam satu sampai beberapa jam. Tekanan darah harus diturunkan paling lambat 2 jam,
maksimal 25%. Kondisi-kondisi yang termasuk hipertensi emergensi adalah hipertensi
berat dengan disertai adanya:8
a. Ensefalopati.
b. Perdarahan intrakranial.
c. Unstable angina pectoris, infark miokard akut.
d. Disecting aortic aneurysm.
e. Eklamsia.
f. Gagal ginjal progresif.
g. Trauma kepala.
h. Luka bakar yang luas.
Hipertensi urgensi (hipertensi darurat) yaitu tekanan darah > 180/120 mmHg dan
dengan tanpa kerusakan atau komplikasi minimum dari organ sasaran. Tekanan darah
harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral.
Kondisi-kondisi yang termasuk hipertensi urgensi adalah hipertensi berat dengan
disertai adanya:9
a. Hipertensi derajat 3 accelerated hypertension (KW III).
b. Hipertensi berat perioperatif (memerlukan cito operasi).
c. Feokromositoma dan withdrowal syndrom akibat penghentian obat hipertensi
mendadak.

C. PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi emergensi (hipertensi gawat darurat)
Pada prinsipnya pengelolaan hipertensi emergensi adalah:9,10
a. Tekanan darah biasanya > 200/130 mmHg.
b. Penurunan tekanan darah sekitar 25%, paling lama 2 jam, usahakan tekanan
darah tidak menjadi kurang dari 160/100 mmHg.
c. Pedoman tekanan darah tidak mutlak tergantung pula pertimbangan klinis.
d. Penurunan tekanan darah secara cepat (kurang dari 2 jam) dapat
menyelamatkan target organ (otak, jantung, ginjal).
e. Penderita gawat darurat hipertensi harus dikelola di rumah sakit.
f. Bila ada keraguan harap menghubungi dokter jaga atau konsultan.
g. Tekanan darah setelah diturunkan dijaga supaya tetap stabil paling sedikit
selama 24 jam (tensi paling lama diukur tiap 3 jam).
h. Terapi hipertensi emergensi:
Furosemid 20-40 mg iv (1-2 ampul) kalau perlu tiap 6 jam.
Diberikan drip obat-obat anti hipertensi parenteral pilihannya:
o Nikardipin injeksi 1 ampul diencerkan 50 cc diberikan 5 cc per
jam, dinaikkan bertahap sesuai respon.

o Diltiazem injeksi dengan dosis (5-15 g/kgBB/menit)

o Klonidin 0,150 mg (1 ampul) diencerkan dengan D5% sampai


10 cc, iv pelan-pelan (5-10 menit). Tekanan darah diukur tiap 10
menit (mencegah terlalu rendah). Bila selama 40 menit tekanan
darah diastol masih diatas 120 mmHg, pemberian klonidin
dapat diulang.
2. Hipertensi urgensi (hipertensi darurat)
Pada prinsipnya pengelolaan hipertensi urgensi antara lain:
a. Pengelolaan harus terkendali (diastol 110 mmHg) dalam waktu 24 jam.
b. Obat oral cukup kuat, namun bila perlu dapat dipakai furosemid 20 mg iv
sebagai terapi awal.
c. Terapi hipertensi urgensi:
Nifedipin 10 mg. Kalau perlu dapat diulang tiap 3 jam.
Captopril 25-50 mg, dapat diulang tiap 6 jam dan dapat diberikan
dengan digerus sub lingual.
Klonidin 0,150 mg dapat diberikan tiap jam sampai 3 kali.

DAFTAR PUSTAKA

1. PERKENI, 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di


Indonesia. Jakarta, PB PERKENI.

2. Sibbuea, W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI, 2007.

3. PERKENI, 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di


Indonesia. Jakarta, PB PERKENI.
4. Roesma J. Krisis hipertensi. Dalam: Sudoyono AW, Setiyohadi B, Alwi I, K Simadibrata
M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publising.
2010. pp: 1103-1104.
5. Hebert CJ, Vidt DG. Hypertensive crises. Elsevier, volume 35. 2008. 3: 475-487.
6. Peterson ED. JNC-8 New Guideline: Finally let the controversies begin. Duke clinical
research institute. http://www.dcri.duke.edu/research/coi.jsp. Feb 2014.
7. Chuda RR, Castillo SM, Poddutoori P. Hypertensive crises hospital medicine clinics
checklist. Elsevier, volume 3. 2014. 1: 111-127.
8. Majid A. Klinis hipertensi aspek klinis pengobatan. USU Digital Library. 2004.
9. Vincent JL, Abraham E, Moore FA, Kochanek PM, Fink MP. Textbook of critical care. 6 th
edition. Elsevier Inc. 2011. pp: 644-671.
10. Hermawan AG, Arifin, Diding HP. Protap penatalaksanaan kegawatan HCU-Interna.
Surakarta: UNS Press. 2010. pp: 27-29.

Você também pode gostar