Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TINJAUAN PUSTAKA
III.2. EPIDEMIOLOGI
Menurut data stastistik tahun 1995 dari WHO terdapat 135 juta penderita
Diabetes Mellitus di seluruh dunia. Tahun 2005 jumlah Diabetes Mellitus diperkirakan
akan meningkat mencapai sekitar 230 juta, dan diprediksi jumlah penderita Diabetes
Mellitus lebih dari 220 juta penderita di tahun 2010 dan lebih dari 300 juta di tahun
2025.3
Dari data WHO di tahun 2002 diperkirakan terdapat lebih dari 20 juta penderita
Diabetes Mellitus di tahun 2025. Pada tahun 2030 bisa mencapai 21 juta penderita. Saat
ini penyakit Diabetes Mellitus banyak dijumpai penduduk Indonesia. Bahkan WHO
menyebutkan, jumlah penderita Diabetes Mellitus di Indonesia menduduki ranking
empat setelah India, China, dan Amerika Serikat.3,4
Menurut Ketua Indonesian Diabetes Association (Persadia) Soegondo, Diabetes
Mellitus Tipe II merupakan yang terbanyak, yaitu sekitar 95% dari keseluruhan kasus
Diabetes Mellitus. Selain faktor genetik, juga bisa dipicu oleh lingkungan yang
menyebabkan perubahan gaya hidup tidak sehat,seperti makan berlebihan (berlemak
dan kurang serat), kurang aktivitas fisik, stress.4
Jumlah penderita diabetes di Indonesia hingga kini mencapai 14 juta orang. Rata-
rata 50% dari jumlah pasien diabetes baru menyadari mereka menderita sakit gula
setelah memeriksakan ke dokter. Selain itu, hanya 30% saja pasien diabetes yang
berobat.4
III.5. PENATALAKSANAAN
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan
tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.3
Edukasi perawatan kaki diabetik juga penting. Pemeriksaan kaki setiap hari mutlak
dilakukan untuk deteksi dini luka. Membersihkan kaki dengan air bersih dan keringkan
sela-sela jari kaki. Berikan pelembab pada kulit yang kering dan gunting kuku dengan
teknik yang benar. Periksa kaki rutin ke dokter terutama bila ada luka.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Latihan jasmani pada pasien kaki diabetik dapat berupa olahraga yang non weight
bearing seperti berenang (kalau ada luka tidak dilakukan) dan juga senam kaki. Senam
kaki bertujuan untuk memperkuat otot-otot di sekitar kaki maupun tungkai bawah serta
melenturkan sendi dan ligamen di sekitar kaki, disamping membantu melancarkan aliran
darah ke kedua kaki. Dengan makin kuat dan lenturnya kaki, penyandang diabetes tidak
mudah jatuh sehingga kemungkinan terjadinya cedera maupun luka pada kaki dapat
dihindari. Bila terjadi luka penyembuhan akan terjadi lebih cepat sebab aliran darah
kedua kaki cukup baik.
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
a Obat hiperglikemik oral (OHO).
Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 4 golongan :
III.7 ETIOLOGI
Pada individu yang sebelumnya normotensi atau hipertensi ringan/sedang, pemakaian
obat kokain, phencyclidine, amfetamin, kontrasepsi oral, linezolid, AINS, monoamine
oxidase (MAO) inhibitor dapat meningkatkan risiko krisis hipertensi. Gejala withdrawal
putus minum alkohol juga memicu krisis hipertensi. Berikut bermacam-macam penyebab
sekunder dari hipertensi yang dapat menyebabkan krisis hipertensi:5,
III.8 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang mendasari terjadinya krisis hipertensi belum sepenuhnya
diketahui. Transisi dari hipertensi ringan atau normotensi menuju ke kejadian krisis
hipertensi disebabkan oleh peningkatan tekanan darah yang mendadak. Hal tersebut
dikaitkan dengan penghentian obat antihipertensi, konsumsi obat-obat terlarang, serta
beberapa sindrom klinis. Tekanan darah ditentukan oleh produk dari curah jantung dan
resistensi vaskular sistemik (BP = CO SVR). Dalam kebanyakan krisis hipertensi,
kenaikan awal tekanan darah disebabkan peningkatan resistensi vaskuler sistemik.
Kenaikan resistensi vaskuler sistemik diyakini disebabkan oleh vasokonstriktor
humoral. Dengan peningkatan tekanan darah, stres mekanik pada dinding arteriol
berakibat pada kerusakan endotel dan nekrosis fibrinoid dari arteriol. Dengan gangguan
integritas endotel pembuluh darah mengakibatkan lesi mikrovaskular difus
berkembang. Nekrosis fibrinoid arteriol terlihat pada organ yang rentan dan dianggap
sebagai ciri histologis krisis hipertensi. Kerusakan vaskular tersebut menyebabkan
hilangnya mekanisme autoregulator, iskemia, dan kerusakan organ akut, yang
selanjutnya memicu terjadinya vasokonstriktor dan dimulai lagi mekanisme dari aal.7,
Gambar 1. Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi
B. KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi
tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah
dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi.8
1. Anamnesa
Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting
ditanyakan:8
a. Riwayat hipertensi: lama dan beratnya.
b. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
c. Usia: sering pada usia 40 60 tahun.
d. Gejala sistem saraf: sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas.
e. Gejala sistem ginjal: gross hematuri, jumlah urin berkurang.
f. Gejala sistem kardiovaskular: adanya payah jantung, kongestif dan oedem
paru, nyeri dada.
g. Riwayat penyakit: glomerulonefritis, pyelonefritis.
h. Riwayat kehamilan: tanda eklampsia.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan tanda vital, khususnya
pengukuran tekanan darah dan mencari kerusakan organ sasaran, seperti
retinopati, gangguan neurologi, payah jantung kongestif, altadiseksi. Perlu
dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun
payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain
seperti penyakit jantung koroner.8
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara, yaitu:9
a. Pemeriksaan yang segera seperti :
Darah: rutin, BUN, creatinin, elektrolik, KGD.
Urin: urinalisa dan kultur urin.
EKG: 12 Lead, melihat tanda iskemi.
Foto thoraks: apakah ada oedem paru (dapat ditunggu setelah
pengobatan terlaksana).
b. Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan
yang pertama):
Sangkalan kelainan renal: IVP, renal angiography (kasus tertentu),
biopsi renal (kasus tertentu).
Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi: spinal tab,
CT Scan.
Bila disangsikan feokhromositoma: urin 24 jam untuk katekolamin,
metamefrin, venumandelic acid (VMA).
Dari anamnese dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dibedakan
hipertensi emergensi atau urgensi dan faktor-faktor yang mempresipitasi krisis
hipertensi. Kondisi klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis hipertensi, antara
lain:9
a. Kenaikan tekanan darah tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis esensial
(tersering).
b. Hipertensi renovaskular.
c. Glomerulonefritis akut.
d. Sindroma withdrawal anti hipertensi.
e. Cedera kepala dan ruda paksa susunan saraf pusat.
f. Renin-secretin tumors.
g. Pemakaian prekusor katekolamin pada pasien yang mendapat MAO inhibitor.
h. Penyakit parenkim ginjal.
i. Pengaruh obat: kontrasepsi oral, anti depressant trisiklik, MAO inhibitor,
simpatomimetik (pil diet, sejenis amfetamin), kortikosteroid, NSAID, ergot alk.
j. Luka bakar.
k. Progresif sistematik sklerosis, SLE.
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi
seperti:9
a. Hipertensi berat
b. Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
c. Ansietas dengan hipertensi labil.
d. Oedema paru dengan payah jantung kiri.
Selanjutnya perlu dibedakan krisis hipertensi tersebut mengarah ke hipertensi
emergensi (hipertensi gawat darurat) atau hipertensi urgensi (hipertensi darurat).
Hipertensi emergensi (hipertensi gawat darurat) ditandai dengan tekanan darah >
200/130 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu
atau lebih penyakit/kondisi akut. Keterlambatan pengobatan akan menyebebabkan
timbulnya sequele atau kematian. Tekanan darah harus diturunkan sampai batas tertentu
dalam satu sampai beberapa jam. Tekanan darah harus diturunkan paling lambat 2 jam,
maksimal 25%. Kondisi-kondisi yang termasuk hipertensi emergensi adalah hipertensi
berat dengan disertai adanya:8
a. Ensefalopati.
b. Perdarahan intrakranial.
c. Unstable angina pectoris, infark miokard akut.
d. Disecting aortic aneurysm.
e. Eklamsia.
f. Gagal ginjal progresif.
g. Trauma kepala.
h. Luka bakar yang luas.
Hipertensi urgensi (hipertensi darurat) yaitu tekanan darah > 180/120 mmHg dan
dengan tanpa kerusakan atau komplikasi minimum dari organ sasaran. Tekanan darah
harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral.
Kondisi-kondisi yang termasuk hipertensi urgensi adalah hipertensi berat dengan
disertai adanya:9
a. Hipertensi derajat 3 accelerated hypertension (KW III).
b. Hipertensi berat perioperatif (memerlukan cito operasi).
c. Feokromositoma dan withdrowal syndrom akibat penghentian obat hipertensi
mendadak.
C. PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi emergensi (hipertensi gawat darurat)
Pada prinsipnya pengelolaan hipertensi emergensi adalah:9,10
a. Tekanan darah biasanya > 200/130 mmHg.
b. Penurunan tekanan darah sekitar 25%, paling lama 2 jam, usahakan tekanan
darah tidak menjadi kurang dari 160/100 mmHg.
c. Pedoman tekanan darah tidak mutlak tergantung pula pertimbangan klinis.
d. Penurunan tekanan darah secara cepat (kurang dari 2 jam) dapat
menyelamatkan target organ (otak, jantung, ginjal).
e. Penderita gawat darurat hipertensi harus dikelola di rumah sakit.
f. Bila ada keraguan harap menghubungi dokter jaga atau konsultan.
g. Tekanan darah setelah diturunkan dijaga supaya tetap stabil paling sedikit
selama 24 jam (tensi paling lama diukur tiap 3 jam).
h. Terapi hipertensi emergensi:
Furosemid 20-40 mg iv (1-2 ampul) kalau perlu tiap 6 jam.
Diberikan drip obat-obat anti hipertensi parenteral pilihannya:
o Nikardipin injeksi 1 ampul diencerkan 50 cc diberikan 5 cc per
jam, dinaikkan bertahap sesuai respon.
DAFTAR PUSTAKA