Você está na página 1de 16

ANEMIA

A. Fisiologi Eritrosit
Eritrosit adalah sel datar berbentuk piringan yang mencekung di bagian
tengah di kedua sisi, bikonkaf dengan diameter 8m, ketebalan 2 m di tepi
luar, dan ketebalan 1 m di bagian tengah. Bentuk bikonkaf menghasilkan
luas permukan yang lebih besar untuk difusi O 2 menembus membran
dibandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume sama. Tipisnya sel
memungkinkan O2 cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan
eksterior sel (Sherwood, 2011).
Sel darah merah juga mempunyai membran yang sangat lentur dan
mampu mengalami deformitas ketika melewati kapiler yang diameternya 3
m, hal ini mempermudah fungsi sel darah merah melewati kapiler yang
sempit berkelok-kelok tanpa pecah untuk transpor O2 di tingkat jaringan.
Hemoglobin merupakan molekul penting yang memungkinkan eritrosit dapat
mengangkut O2. Hemoglobin memiliki dua bagian, yaitu bagian globin dan
gugus hem. Globin adalah suatu protein yang terbentuk dari empat rantai
polipeptid, sedangkan gugus hem merupakan empat gugus nonprotein yang
mengandung besi yang masing-masing terikat ke salah satu polipeptid
tersebut. Masing-masing atom besi dapat berikatan dengan oksigen secara
reversibel, untuk memaksimalkan kandungan hemoglobinnya, satu eritrosit
dipenuhi oleh lebih dari 250 juta molekul hemoglobin. Eritrosit tidak
mengandung nukleus, organel, atau ribosom (Sherwood, 2011).
Proses eritropoiesis (Martini et al., 2012).

Eritropoesis merupakan suatu proses menghasilkan sel darah merah


baru di sumsum tulang. Selain eritrosit, sumsum tulang juga mampu
memproduksi leukosit dan trombosit. Di sumsum tulang terdapat stem cell/sel
punca pluripoten. Prekursor eritroid berasal dari sumsum tulang yang
biasanya ditentukan oleh kebutuhan untuk kecukupan Hb yang ada di
sirkulasi untuk oksigenasi jaringan secara adekuat. Prekursor eritroid
berdiferensiasi mulai dari stem cells/sel punca menjadi sel progenitor menjadi
eritroblas hingga menjadi normoblas, dalam prosesnya membutuhkan growth
factor dan sitokin. Proses diferensiasi ini butuh waktu beberapa hari.
Normalnya, prekursor eritroid dilepaskan ke sirkulasi sebagai retikulosit.
Retikulosit tetap di sirkulasi sekitar 1 hari sebelum mature menjadi eritrosit,
setelah dicerna oleh RNA oleh sel-sel retikuloendotelial. Eritrosit mature
terdapat di sirkulasi sekitar 120 hari sebelum ditelan dan dihancurkan oleh
sel-sel fagosit di sistem retikuloendotelial (Makaaron, 2016).
Eritropoeiesis distimulasi secara langsung oleh hormon peptida
eritropoietin dan secara tidak langsung oleh beberapa hormon, termasuk
tiroksin, androgen, dan hormon pertumbuhan. Eritropoietin merupakan
glikoprotein yang berasal dari ginjal dan hepar. Eritropoietin distimulasi oleh
keadaan (1) anemia (2) ketika aliran darah ke ginjal menurun (3) ketika kadar
oksigen udara di paru menurun karena penyakit atau ketinggian, dan (4)
ketika permukaan paru rusak. Ketika berada di sirkulasi eritropoietin menuju
sumsum tulang merah. Eritropoieitin mempunyai dua efek, yaitu (1).
Menstimulasi pembelahan sel pada eritroblas dan pada sel punca/stem yang
memproduksi eritroblas (2). Meningkatkan kematangan eritrosit, terutama
mempercepat sintesis Hemoglobin. Ketika stimulasi eritropoietin maksimum,
sumsum tulang dapat meningkatkan pembentukan eritrosit 10 kali lipat,
sekitar 30 juta sel per detik (Martini et al., 2012).
Eritropoietin merangsang sel-sel induk untuk memulai proliferasi dan
maturasi sel-sel darah merah. Pada proses eritropoiesis yang normal, sumsum
tulang merah harus menerima asupan asam amino, besi, dan vitamin-vitamin
(B12, B6, dan asam folat) yang cukup untuk sintesis protein. Vitamin B12
berasal dari daging dan produk peternakan lainnya.Jika vitamin B12 tidak
diperoleh dari diet, pembelahan sel punca yang normal tidak terjadi dan
terjadi anemia pernisiosa (Martini et al., 2012).
Proses eritropoiesis (Martini et al., 2012).

Eritrosit bermuatan negatif pada permukaannya, sehingga dapat menghalau


fagositosis. Karena eritrosit tidak mempunyai nukleus, maka sel tersebut tidak
bisa melakukan siklus Krebs dan bergantung pada glikolisis melalui Embden-
Meyerhof dan jalur pentose untuk energi. Enzim-enzim yang dibutuhkan untuk
aerob dan jalur glikolisis anaerob menurun jumlahnya di dalam sel sesuai
umurnya eritrosit. Sebagai tambahan, sel-sel yang menua mengalami penurunan
konsentrasi kalium dan peningkatan konsentrasi natrium. Faktor-faktor ini
berkontribusi untuk musnahnya eritrosit pada akhir 120 hari siklus hidup
(Makaaron, 2016).
Seiring dengan eritrosit yang semakin tua, sel tersebut menjadi kaku dan
fragile, akhirnya pecah. Hemoglobin terutama difagosit di dalam limpa, hati, dan
sumsum tulang serta direduksi menjadi globin dan heme. Globin masuk kembali
ke dalam kumpulan asam amino. Besi dibebaskan dari heme, dan bagian yang
lebih besar diangkut oleh protein plasma transferin ke sumsum tulang untuk
produksi eritrosit. Sisa besi disimpan di hati dan jaringan tubuh lain dalam bentuk
feritin dan hemosiderin untuk digunakan di kemudian hari. Sisa bagian heme
direduksi menjadi karbon monoksida (CO) dan bliverdin. CO diangkut dalam
bentuk karboksihemoglobin, dikeluarkan melalui paru. Biliverdin direduksi
menjadi bilirubin bebas yang kemudian perlahan lahan dilepas ke dalam plasma,
tempat bilirubin bergabung dengan albumin plasma kemudian ke dalam sel-sel
hati untuk diekskresi ke dalam kanalikuli empedu. Perubahan massa eritrosit
menimbulkan dua keadaan yang berbeda. Jika jumlah eritrosit kurang, maka
timbul anemia. Sebaliknya, keadaan yang jumlah eritrositnya terlalu banyak
disebut polisitemia (Martini et al., 2012).

B. Penegakan Diagnosis
Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan
terjadinya anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih
ringan pada anemia yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi
mekanisme homeostatik untuk menyesuaikan dengan berkurangnya
kemampuan darah membawa oksigen (Oehadian, 2012). Dua faktor penyebab
terjadinya gejala pada anemia adalah:
- Berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan
- Adanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif)
1) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu (Bakta,
2009):
a. Gejala umum anemia
Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin,
sesak nafas dan dispepsia.
b. Gejala khas masing-masing anemia
- Anemia defisiensi besi: disfagi, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok (koilonychia)
- Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada
defisiensi vitamin B12
- Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali
- Anemia apastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi

c. Gejala penyakit dasar


Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan
anemia sangat bervariasi. Misalnya gejala akibat infeksi cacing
tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada
telapak tangan. Pada kasus tertentu gejala penyakit dasar sering lebih
dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh
karena artritis reumatoid.
Tujuan utama pemeriksaan fisik pada anemia adalah menemukan
tanda keterlibatan organ atau multisistem dan untuk menilai beratnya
kondisi penderita (Oehadian, 2012).
Menurut Oehadian (2012), pemeriksaan fisik anemia perlu
memperhatikan:
a. Adanya takikardia, dispnea, hipotensi postural
b. Pucat: sensitivitas dan spesifisitas untuk pucat pada telapak tangan,
kuku, wajah atau konjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasi
antara 19-70% dan 70-100%.
c. Ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Ikterus
sering sulit dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu artifisial
d. Penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies rodent/chipmunk)
pada talasemia.
e. Lidah licin (atrofi papil) pada anemia defisiensi Fe.
f. Limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di
sternum); nyeri tulang dapat disebabkan oleh adanya ekspansi karena
penyakit infiltratif (seperti pada leukemia mielositik kronik), lesi litik
(pada mieloma multipel atau metastasis kanker).
g. Petekhie, ekimosis, dan perdarahan lain.
h. Kuku rapuh, cekung (spoon nail) pada anemia defisiensi Fe. Ulkus
rekuren di kaki (penyakit sickle cell, sferositosis herediter, anemia
sideroblastik familial).
i. Infeksi rekuren karena neutropenia atau defisiensi imun.

Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting


pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada
umumnya diagnosis anemia memerlukan pameriksaan laboratorium
(Bakta, 2009).
2) Pemeriksaan penunjang
Pendekatan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok
dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari : 1) Pemeriksaan
penyaring (screening test): 2) Pemeriksaan darah seri anemia; 3)
Pemeriksaan sumsum tulang; 4) Pemeriksaan khusus (Bakta, 2009).
Kadar hemoglobin untuk mendiagnosis anemia pada (WHO,
2011).
*satuan dalam g/dl.
Non Anemia
Populasi
anemia Ringan Sedang Berat
Anak 6-59 bulan 11 10-10.9 7-9.9 <7
11.5 11-11.4 8-10.9 <8
Anak 12-14 tahun 12.0 11-11.9 8-10.9 <8
Wanita tidak hamil 12.0 11-11.9 8-10.9 <8
(15 tahun)
Wanita hamil 11 10-10.9 7-9.9 <7
Laki-laki (15 tahun) 13 11-12.9 8-10.9 <8
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktik dokter) di
Indonesia dan negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit
dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan
secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik
atau dirawat di Rumah Sakit akan memerlukan pemeriksaan work up
anemia lebih lanjut. Oleh karena itu beberapa peneliti di Indonesia
mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin kurang
dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai
angka 10-11 g/dl (Bakta, 2009).
Klasifikasi untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran
morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi.
Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan : Anemia
hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg, Anemia
normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg,
Anemia makrositer bila MVC > 95 fl (Bakta, 2009).

a. Pemeriksaan Penyaring/ screening test


Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari
pegukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit, dan hapusan darah
tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik
anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis
lebih lanjut (Bakta, 2009).
Complete Blood Count (CBC) terdiri dari pemeriksaan
hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, ukuran eritrosit, dan hitung
jumlah leukosit. Pada beberapa laboratorium, pemeriksaan
trombosit, hitung jenis, dan retikulosit harus ditambahkan dalam
permintaan pemeriksaan (tidak rutin diperiksa). Pada banyak
automated blood counter, didapatkan parameter RDW yang
menggambarkan variasi ukuran sel (Oehadian, 2012).
Apusan darah tepi harus dievaluasi dengan baik. Beberapa
kelainan darah tidak dapat dideteksi dengan automated blood
counter. Pada keadaan normal, sel darah merah berinti (normoblas)
tidak ditemukan dalam sirkulasi. Normoblas dapat ditemukan pada
penderita dengan kelainan hematologis (penyakit sickle cell,
talasemia, anemia hemolitik lain) atau merupakan bagian dari
gambaran lekoeritroblastik pada penderita dengan bone marrow
replacement. Pada penderita tanpa kelainan hematologis
sebelumnya, adanya normoblas dapat menunjukkan adanya penyakit
yang mengancam jiwa, seperti sepsis atau gagal jantung berat
(Oehadian, 2012).
b. Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit,
trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah
banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat
memberikan presisi hasil yang lebih baik (Bakta, 2009).
c. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang
sangat berharga mengenai keadaan sistem hemapoesis. Pemeriksaan
ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia.
Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis
anemia aplastik, anemia megaloblastik serta pada kelainan
hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid (Bakta, 2009).
d. Pemeriksaan Khusus
Menurut Bakta (2009), pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas
indikasi khusus, misalnya pada
- Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC (total iron biding
capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit,feritin serum,
reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang
(Perls stain).
- Anemia Megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes
supresi deoksirudin, dan tes Schiling.
- Anemia Hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis
hemoglobin dan lain lain.
- Anemia Aplastik : biopsi Sumsum tulang
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti
nisalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid.

Algoritme pendekatan diagnosis anemia (Bakta, 2009).

ANEMIA

Hapusan darah tepi dan indeks


eritrosit (MCV, MCH, MCHC)

Anemia Anemia Anemia


hipokromik normokromik makrositer
mikrositer normositer
Algoritme Pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik
mikrositer (Bakta, 2009).

ANEMIA HIPOKROMIK
MIKROSITER

Besi serum

menurun normal

Feritin normal
TIBC TIBC

FERITIN FERITIN
Elektroforesis Ring sideroblast
dalam sumsum
Besi sumsum tulang Besi sumsum tulang Hb tulang
negatif positif

Hb A2

HbF

Anemia akibat
Anemia defisiensi Thalasemia beta Anemia
penyakit kronik
besi sideroblastik
Gambaran eritrosit pada anemia hipokromik mikrositer
Algoritme Diagnosis Anemia normokromik normositer

ANEMIA NORMOKROMIK
NORMOSITER

Retikulosit

Meningkat Normal/menurun

Tanda Riwayat Sumsum Tulang


hemolisis Perdarahan
positif Akut

Tes coomb
Hipoplastik displastik infiltrasi Normal

negatif positif Faal hati


Tumor Limfoma
ganas kanker Faal ginjal
hematologi
Riwayat (leukimia,mi Faal tiroid
keluarga eloma)
positif Penyakit
kronik

Anemia Anemia pada Anemia


aplastik leukimia mieloptisik
Enzimopati,
akut/mieloma
Anemia
Membranopati AIHA pada GGK
Hemaglobinop Penyakit
ati Hati Kronik
Hipotiroid
peny.kronik
Anemia pada
A.mikroangio Anemia sindrom
pasca mielodisplastik
pati
obat/parasit perdarahan
akut
Gambaran eritrosit di bawah mikroskop pada anemia normokromik normositer
Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer

ANEMIA MAKROSITER

Retikulosit

Meningkat Normal/Menurun

Riwayat Sumsum tulang


Perdarahan
akut

Megaloblastik Non
Megaloblastik

Anemia Pasca B12 serum Asam folat


Perdarahan rendah rendah
akut

Anemia Anemia
Defisiensi Defisiensi
besi asam folat
Faal Tiroid
Anemia pada
Hipotiroidisme
Faal hati

Anemia pada
Anemia Defisiensi penyakit hati
Besi/asam folat Displastik
dalam terapi
Sindrom
mielodisplastik
Gambaran eritrosit pada anemia makrositer

DAFTAR PUSTAKA

Bakta. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi,


B., Alwi, I. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta:
Interna Publishing.
Maakaron, J.E. 2016. Anemia. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/198475-overview#a4 (diakses
tanggal 28 Juli 2016).
Martini, F.H., Nath, J.L., Bartholomew, E.F. 2012. Fundamentals of anatomy &
physiology. Ninth Edition. USA: Pearson.
Oehadian, A. 2012. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. CDK. Vol. 39(6):
407-412.

Sherwod, L. 2011. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Edisi 6. Jakarta: EGC.

WHO. 2011. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and


assessment of severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information
System. Geneva: World Health Organization. Available at:
http://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin.pdf (diakses tangal 28
Juli 2016).

Você também pode gostar