Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
BELLS PALSY
Disusun oleh
Anis Purwanti
1410029026
Pembimbing
dr. Susilo Siswonoto, Sp.S
1
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena hanya atas berkah, rahmat
dan hidayah-Nyalah Referat Bells Palsy ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Referat
ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada program pendidikan profesi dokter di stase
Neurologi. Referat ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari belajar mandiri.
Referat ini secara menyeluruh membahas tentang bells palsy.
Dalam proses penyusunan referat ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
Akhirnya, tiada gading yang tak retak, tentunya referat ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, saran serta kritik yang membangun penuli harapkan demi tercapainya kesempurnaan
dari isi referat ini.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Bells palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering
mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer
yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis
fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles
Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia.
Insidensi Bells palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000
orang. Insiden Bells palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan
tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bells palsy. Usia
mempengaruhi probabilitas kontraksi Bells palsy. Insiden paling tinggi pada orang
dengan usia antara 15-45 tahun. Bells palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia
gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang
ditimbulkan Bells palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan
fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi
3
lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan
perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan
wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara
dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan individu tersebut
4
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui secara lebih dalam
Bells palsy.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
yang kuat pada seseorang. Kelumpuhan nervus facialis dapat disebabkan oleh bawaan
iatrogenik. Yang paling sering menyebabkan kelumpuhan unilateral pada wajah adalah
Bells palsy. Bells palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama Charles Bell.
Bells palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
6
d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot
mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang
mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anteriort lidah dan sensasi kulit dari
tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda
nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral
nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena
posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII
dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk
ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke
depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini
(genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan
genu.
7
Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum
superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius
yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui
foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima
venter posterior.
2.3. Epidemiologi
8
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial
akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.
Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes
mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai
laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang
sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur
15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan
2.4. Etiologi
Diperkirakan, penyebab Bells palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan
(kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini sampai saat ini masih
diperdebatkan. Dulu, paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau
menyetir mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu
Bells palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bells palsy,
karena telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa penelitian otopsi.
Murakami et all juga melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan
endoneural N.VII penderita Bells palsy berat yang menjalani pembedahan dan
menemukan HSV dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara
axonal dari saraf sensori dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan
terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan local pada myelin.
9
2.5. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada
saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal
melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada
pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan
daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan
asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena
itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut
cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut
akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi.
Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
10
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes
(HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus
herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes
zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan
pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut
tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan.
Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun.
Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus
11
fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut
dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di
dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik
ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi
kerusakan.
a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.
Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.
Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat
Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi
Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi
Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air liur
masih baik.
b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis fasialis).
Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan
gangguan salivasi.
c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis.
d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.
Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan gangguan
Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen
stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang sering
pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media perforata dan
mastoiditis.
12
2.7. Penegakan Diagnosis
Diagnosis Bells palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari
nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan
adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus
dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bells palsy lesinya bersifat LMN.
a. Anamnesis.
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa mereka
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga
saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.
13
Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang nervus facialis tidak
mengalami gangguan.
Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron dari
nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat. Nervus
sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang
diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang
diserang.
Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas
dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis. Musculus orbicularis,
normal.
14
Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak
Bells palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat
atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya
dengan Bells palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu.
tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom),
penyakit Lyme, AIDS, infeksi Tuberculosa pada mastoid ataupun telinga tengah, Guillen
Barre syndrome.
2.9. Penatalaksanaan
a. Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan
efektifitas obat-obat antivirus pada Bells palsy, hampir semua ahli percaya pada
digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bells palsy. Oleh karena itu,
15
zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan
dalam penatalaksanaan Bells palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3
Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang
bersifat nefrotoksik.
b. Kortikosteroid.
kerugian pemberian steroid pada Bells palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih
menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan
16
dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan
pasien.
17
c. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bells palsy. Sehingga pada
mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan
air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya adalah
dengan kornea.
d. Konsultasi.
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan yang ketat.
tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy, maka segera dirujuk.
Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran yang
lanjutan.
Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan
otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.
Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang dianjurkan
untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang buruk setelah
pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan
pembedahan.
18
2.10. Komplikasi
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami
deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak
regenerasi yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis semua atau beberapa
normal).
c. Reinervasi aberan dari nervus facialis.
Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai dengan
regenerasi dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil jalan
involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan gerakan
19
2.11. Prognosis
Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor
a.
Usia di atas 60 tahun.
b.
Paralisis komplit.
c.
Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
d.
Nyeri pada bagian belakang telinga.
e.
Berkurangnya air mata.
Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur
60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi
meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki
perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa.
Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23%
kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau
BAB III
KESIMPULAN
20
Bells palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang
akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bells palsy adalah
dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di
dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke
arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
Pengobatan pasien dengan Bells palsy adalah dengan kombinasi obat- obatan
pasien dengan Bells palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bells Palsy. Available from :
Ropper AH, Brown RH. Bells Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and Victors
Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 1181-1184.
Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5 th ed.
21
Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.
Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George Thieme
22