Você está na página 1de 9

A.

Pendahuluan

Masa dewasa awal adalah salah satu tahapan perkembangan manusia yang memiliki masa
terpanjang sepanjang rentang kehidupan seseorang. Pada masa dewasa awal individu
dianggap telah siap menghadapi suatu perkawinan, seperti yang dikemukakan oleh Havigurst
bahwa lima dari tugas perkembangan dewasa awal merupakan kegiatan-kegiatan pokok yang
bersangkutan dengan kehidupan berkeluarga (Papalia and Olds, 1986).

Perkawinan bukanlah hal yang mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus
dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa dan pergantian status
dari lajang menjadi seorang istri yang menuntut adanya penyesuaian diri terus-menerus
sepanjang perkawinan (Hurlock, 1993). Individu yang memiliki kesiapan untuk menjalani
kehidupan perkawinan akan lebih mudah menerima dan menghadapi segala konsekuensi
persoalan yang timbul dalam perkawinan (Landis and Landis, 1963). Sebaliknya, individu
yang tidak memiliki kesiapan menuju kehidupan perkawinan belum dapat disebut layak
untuk melakukan perkawinan, sehingga mereka dianjurkan untuk melakukan penundaan atau
pendewasaan usia perkawinan.

Di Indonesia penundaan usia perkawinan banyak dijumpai di kota-kota besar terutama


mereka yang berkonsentrasi pada kemajuan prestasi dalam karir dan pendidikan. Dalam
laporan penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (BPS, 1986)
dikemukakan bahwa partisipasi dalam karir pekerjaan sebelum perkawinan dapat menunda
usia perkawinan. Pendidikan dikatakan sebagai alternatif lain (terutama bagi gadis) dari
melangsungkan perkawinan, sehingga sering digunakan alasan seseorang belum menikah
karena masih sekolah, walaupun usianya sudah mencapai bahkan melampaui rata-rata usia
perkawinan yang berlaku di masyarakat.

Penundaan usia perkawinan sampai pada usia dewasa dianggap banyak memberikan
keuntungan bagi seorang individu. Perkawinan di usia dewasa akan menjamin kesehatan
reproduksi ideal bagi wanita sehingga kematian ibu melahirkan dapat dihindari. Perkawinan
di usia dewasa juga akan memberikan keuntungan dalam hal kesiapan psikologis dan sosial
ekonomi. Hampir semua studi yang dilakukan berkaitan dengan hubungan antara usia
perkawinan dengan kebahagiaan perkawinan menunjukkan bahwa peluang kebahagiaan
dalam perkawinan lebih rendah tercapai jika pria menikah sebelum usia 20 tahun dan
wanitanya menikah sebelum usia 18 tahun (Landis, 1963). Dikatakan pula bahwa meskipun
usia tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya faktor yang bertanggung jawab dalam
proporsi kegagalan perkawinan, akan tetapi terdapat indikasi bahwa perkawinan belia cacat
sejak permulaan karena biasanya pasangan memasukinya dengan terburu-buru, setelah
perkenalan yang singkat, dan seringkali tanpa pertimbangan matang mengenai realitas yang
akan mereka hadapi setelah menikah. Oleh karena itu penundaan usia perkawinan banyak
dianjurkan pada mereka yang belum memiliki kesiapan menuju kehidupan perkawinan.

Terlebih lagi laporan dari Badan Survei Kesuburan Dunia dan Survei Demografi Kesehatan
Dunia menyebutkan bahwa rata-rata usia perkawinan pertama wanita Indonesia masih
termasuk dalam kategori usia kawin yang rendah yang sangat berpengaruh pada tingkat
fertilitas (Malhotra, 1997). Wanita yang menikah pada usia yang relatif muda (kurang dari 15
tahun) akan memiliki anak yang lebih banyak dari mereka yang menikah pada usia yang lebih
dewasa (Adiotomo, 1983). Bagi Negara Indonesia yang menempati urutan ke 5 penduduk
terpadat di dunia, tentu saja penundaan usia perkawinan menjadi masalah mendesak yang
perlu mendapatkan perhatian besar dari pemerintah untuk menghindari angka kelahiran yang
tidak terkendali.
Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji faktor-faktor yang
dianggap berpengaruh terhadap terjadinya penundaan usia perkawinan dengan menggunakan
teori tindakan beralasan ( Theory of Reason Action) yang dikembangkan oleh Ajzen dan
Fisbhein. Peneliti tertarik menggunakan teori tindakan beralasan dalam penelitian ini, karena
teori ini merupakan satu kerangka model yang dapat digunakan dalam menganalisis atau
memprediksi perilaku manusia yang kompleks.

Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan yang akan diteliti
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Adakah hubungan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi
penundaan usia perkawinan
2. Adakah hubungan antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan.

B. Kajian teori

Penelitian ini mengaplikasikan model tindakan beralasan yang dikemukakan oleh Fishbein
dan Ajzen dalam memahami intensi penundaan usia perkawinan (Ajzen, 1988). Berdasarkan
model teori tindakan beralasan dijelaskan bahwa untuk melakukan penundaan usia
perkawinan, ditentukan oleh adanya intensi individu untuk melakukan penundaan usia
perkawinan atau tidak.

Ada dua komponen yang menjadi antaseden atau penentu intensi penundaan usia perkawinan.
Kedua komponen tersebut adalah sikap individu terhadap penundaan usia perkawinan, dan
norma subyektif yang diyakini oleh individu.

Sikap terhadap penundaan usia perkawinan terbentuk oleh keyakinan akan penundaan usia
perkawinan, yang memuat dua aspek pokok, yaitu: (1) keyakinan akan hasil atau manfaat
yang diperoleh dari penundaan usia perkawinan, dan (2) evaluasi terhadap masing-masing
hasil yang diperoleh dari penundaan usia perkawinan. Keyakinan akan hasil atau manfaat dari
penundaan usia perkawinan meliputi empat aspek yaitu; aspek kesiapan biologis, kesiapan
psikologis, kesiapan sosial dan kesiapan ekonomi (Landis, 1963). Evaluasi terhadap hasil
perilaku adalah merupakan penilaian dari individu terhadap aspek kesiapan biologis, kesiapan
psikologis, kesiapan sosial dan kesiapan ekonomi sebagai hasil atan manfaat yang dapat
diperoleh apabila individu melakukan penundaan usia perkawinan. Evaluasi atau penilaian
bersifat menguntungkan atau tidak menguntungkan, menyenangkan atau tidak
menyenangkan, berharga atau merugikan, baik atau tidak baik. Semakin positif sikap individu
terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin kuat intensi individu tersebut untuk
melakukan penundaan usia perkawinan, sebaliknya semakin negatif sikap individu terhadap
penundaan usia perkawinan, maka semakin lemah intensi individu untuk melakukan
penundaan usia perkawinan.

Norma subyektif terbentuk dari keyakinan normatif yang terdiri dari dua aspek pokok, yaitu:
(1) keyakinan akan harapan normatif referen terhadap penundaan usia perkawinan, dan (2)
motivasi untuk mematuhi setiap harapan normatif referen tersebut. Keyakinan akan harapan
normatif referen mengacu pada seberapa besar harapan-harapan yang dipersepsi oleh individu
yang berkaitan dengan penundaan usia perkawinan, yang berasal dari orang-orang yang
dianggap berpengaruh dan mempengaruhi individu (referen significant others) untuk
melakukan penundaan usia perkawinan. Referen dalam hal ini adalah orang tua, saudara,
teman, tetangga, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Motivasi untuk patuh mengacu pada
seberapa besar motivasi dari individu untuk mematuhi harapan-harapan dari orang-orang
yang dianggap penting tersebut. Semakin positif atau mendukung norma subyektif yang
diyakini oleh individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin kuat intensi
individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan, sebaliknya semakin negatif norma
subyektif yang diyakini oleh individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka akan
semakin lemah intensi individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan.

Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, maka hipotesis penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut :

1. Ada hubungan positif antara sikap pada penundaan usia perkawinan dengan intensi
penundaan usia perkawinan.
2. Ada hubungan positif antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan.

C. Metode Penelitian

Subyek penelitian adalah individu yang berada dalam tahap masa perkembangan dewasa
awal, usia 22-25 tahun, status mahasiswi, belum menikah dan belum bekerja. Pemenuhan
kriteria tersebut merupakan usaha untuk mengendalikan pengaruh variabel usia, tingkat
sosial, dan tingkat pendidikan terhadap variabel tergantung penelitian ini. Pengambilan
subyek penelitian menggunakan teknik purposive sampling. Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan analisis korelasi product-moment Pearson, analisis korelasi parsial dan
analisis regresi.

D. Hasil dan Pembahasan

Hasil uji deskriptif menunjukkan sebagian besar subyek penelitian memiliki sikap terhadap
penundaan usia perkawinan dalam kategori tinggi yakni sebesar 77,5%, norma subyektif
50,5% untuk kategori tinggi dan 22% untuk kategori sangat tinggi, intensi penundaan usia
perkawinan sebesar 48,5%, untuk kategori tinggi dan 24,5% untuk kategori sangat tinggi. Uji
hipotesis pertama dengan analisis product-moment menunjukkan nilai r= 0,666; p= 0,000.
Hal ini berarti ada hubungan positif dan sangat signifikan antara sikap pada penundaan usia
perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan. Hasil analisis korelasi parsial
menunjukkan nilai r sebesar 0,4904 dengan p= 0,000. Hal ini berarti ada hubungan positif
dan sangat signifikan antara sikap pada penundaan usia perkawinan, apabila norma subyektif
dikendalikan.
Uji hipotesis kedua dengan analisis product-moment menunjukkan hasil r= 0,685; p= 0,000.
Hal ini berarti ada hubungan positif dan sangat signifikan antara norma subyektif dengan
intensi penundaan usia perkawinan. Analisis korelasi parsial menunjukkan nilai r sebesar
0,5260; p= 0,000. Hal ini berarti ada hubungan positif dan sangat signifikan antara norma
subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan, apabila sikap pada penundaan usia
perkawinan dikendalikan. Hasil uji analisis regresi didapatkan nilai R Square sebesar 0,597.

Dari hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa, dengan menggunakan analisis korelasi
product moment dan korelasi parsial ternyata didapatkan hubungan yang positif dan sangat
signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia.
Sumbangan efektif sikap terhadap penundaan usia perkawinan terhadap intensi penundaan
usia perkawinan sebesar 12,8%, berarti sekitar 87,2% dipengaruhi oleh faktor lain. Hal ini
berarti hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini, yakni: ada hubungan positif
antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia
perkawinan, dapat diterima.

Dari analisis korelasi product moment dan korelasi parsial juga didapatkan adanya hubungan
yang positif dan sangat signifikan antara norma subyektif dan intensi penundaan usia
perkawinan, sumbangan efektif norma subyektif sebesar 47%, berarti sekitar 53%
dipengaruhi oleh faktor lain. Hal ini berarti hipotesis kedua yang berbunyi ada hubungan
positif antara norma subyektif dan intensi penundaan usia perkawinan, dapat diterima.

Sebagian besar subyek penelitian memiliki sikap yang positif terhadap penundaan usia
perkawinan (77,5%). Hal ini berarti mereka memiliki keyakinan yang tinggi bahwa
penundaan usia perkawinan akan memberikan keuntungan bagi mereka, baik keuntungan dari
segi biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Penundaan perkawinan akan memberikan
waktu lebih banyak bagi mereka untuk membentuk identitas pribadi sebagai individu yang
matang secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi.

Hal ini sesuai dengan pendapat Landis (1963) yang mengatakan bahwa penundaan atau
pendewasaan usia perkawinan akan mempengaruhi kesiapan individu terutama kesiapan
psikologis, sosial dan ekonomi, dalam memasuki kehidupan perkawinan yang berarti juga
akan meningkatkan stabilitas perkawinan sehingga kegagalan perkawinan dapat dihindari
(Landis, 1963). Semua bentuk kesiapan ini mendukung individu untuk dapat menjalankan
peran baru dalam keluarga yang akan dibentuknya agar perkawinan yang dijalani selaras,
stabil dan individu dapat merasakan kepuasan dalam perkawinannya kelak.

Kesiapan biologis menjadi salah satu pertimbangan penting subyek penelitian dalam
menunda perkawinan. Kesiapan biologis mengacu kepada kematangan seksual yang dimilki
individu sehingga mampu mendapatkan keturunan dan siap menerima konsekuensi sebagai
orang tua (hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak).

Kesiapan psikologis menjadi alasan kedua subyek penelitian untuk menunda perkawinan.
Kesiapan psikologis diartikan sebagai kesiapan individu dalam menjalankan peran sebagai
suami atau istri, meliputi pengetahuan akan tugasnya masing-masing dalam rumah tangga,
dan tidak memilki kecemasan yang berlebihan terhadap perkawinan, akan tetapi menganggap
perkawinan sebagai sesuatu yang wajar untuk dijalani. Hal ini sesuai dengan pendapat Landis
bahwa individu yang siap secara psikologis untuk menikah akan bersikap flexibel dan adaptif
dalam menjalin hubungan dengan orang lain, memandang pernikahan sebagai sebuah fase
dalam kehidupan yang akan dapat mendatangkan berbagai persoalan baru yang tentunya
memerlukan tanggung jawab lebih besar (Landis, 1963).
Perkawinan bukan hanya hubungan antara dua pribadi, akan tetapi juga merupakan suatu
lembaga sosial yang diatur oleh masyarakat yang beradab untuk menjaga dan memberi
perlindungan bagi anak-anak yang akan dilahirkan dalam masyarakat tersebut, serta untuk
menjamin stabilitas dan kelangsungan kelompok masyarakat itu sendiri. Banyaknya
peraturan-peraturan dan larangan-larangan sosial bagi sebuah perkawinan membuktikan
adanya perhatian yang besar dari masyarakat untuk sebuah perkawinan yang akan terjadi.
Keuntungan dari perkawinan yang dilakukan oleh individu yang siap secara psikologis adalah
mereka akan menyadari implikasi dari sebuah perkawinan dan menyadari arti dari
perkawinan bagi kehidupannya. Oleh karena itu kesiapan psikologis sangat diperlukan dalam
memasuki kehidupan perkawinan agar individu siap dan mampu menghadapi berbagai
masalah yang timbul dengan cara yang bijak, tidak mudah bimbang dan putus asa.

Kesiapan secara sosial juga merupakan pertimbangan penting bagi penetapan waktu
perkawinan. Subyek penelitian berkeyakinan bahwa menunda perkawinan akan memberi
manfaat dalam meningkatkan kesiapan individu dalam menjalankan status baru dalam
masyarakat sebagai suami atau istri dengan segala konsekuensinya, serta bersedia untuk
bersosialisasi dengan masyarakat dan budaya yang berlainan.

Kartono (1987) mengatakan kesiapan secara sosial diperlukan karena akan membawa
seseorang dari masa yang kekanak-kanakan penuh egosentrisme kepada akseptuasi
sepenuhnya dari pertanggungjawaban sebagai manusia dewasa ditengah masyarakat,
sehingga mampu melakukan adaptasi sosial, dan mampu mengintegrasikan diri di tengah
masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa integrasi sosial perlu dipelajari oleh setiap
individu, karena sangat esensial bagi setiap bentuk hubungan dan interrelasi diri di tengah
masyarakat, khususnya untuk interrelasi yang sangat intim dalam bentuk perkawinan.

Selain kesiapan secara sosial, kesiapan ekonomi juga dianggap merupakan manfaat yang
akan diperoleh subyek penelitian dari menunda perkawinan. Kesiapan ekonomi berarti
individu mampu untuk mandiri, memiliki mata pencaharian yang mantap sehingga mampu
memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, dan tidak lagi bergantung pada orang tua.
Kesiapan ekonomi juga berarti adanya kemampuan merencanakan dan mengelola keuangan
dengan baik.
Individu yang menikah pada usia muda akan cenderung bergantung pada orangtua secara
finansial maupun emosional. Perkawinan yang dilaksanakan pada usia dewasa akan membuat
orangtua yakin bahwa anak-anak mereka cukup mampu bertanggung jawab pada
perkawinannnya dan tidak akan terlalu ikut campur pada permasalahan yang mungkin saja
terjadi dalam kehidupan perkawinan mereka. Hal ini juga dapat mengurangi friksi yang
mungkin terjadi dengan keluarga pasangan (Laswell, 1987).

Norma subyektif yang diyakini oleh sebagian besar subyek penelitian berada dalam kategori
tinggi (50,5%) dan sangat tinggi (22%). Hal ini berarti subyek penelitian memiliki keyakinan
bahwa orang-orang penting dalam kehidupan mereka (significant others) menyarankan untuk
menunda usia perkawinan, dan subyek penelitian memiliki motivasi yang besar untuk
mematuhinya.

Perkawinan pada masyarakat Indonesia tidak hanya berhubungan atau melibatkan pasangan
yang akan melakukan perkawinan, akan tetapi sekaligus juga merupakan perkawinan dua
keluarga. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Malhotra (1997) yang
menunjukkan bahwa keterlibatan orangtua dalam keputusan penetapan waktu perkawinan
anak-anaknya tetap berlangsung, meskipun mereka bebas memilih pasangannya sendiri
seperti yang terjadi di Indonesia, Srilangka, China ,Taiwan dan Jepang. Dukungan significant
others yang tinggi pada penundaan usia perkawinan disebabkan karena mereka menyadari
bahwa persiapan yang lebih matang terutama dari segi kesiapan psikologis, sosial dan
ekonomi diperlukan untuk menjamin kelangsungan masa depan sebuah perkawinan. Sarwono
(1997) mengatakan bahwa penundaan usia perkawinan dapat disebabkan karena norma sosial
semakin lama menuntut persyaratan yang semakin tinggi untuk dilangsungkannya sebuah
perkawinan, yakni pendidikan, pekerjaan, kesiapan mental dan lain-lain (Sarwono, 1997).

Secara teoritis norma sosial terhadap perkawinan merupakan perwujudan sikap anggota
masyarakat terhadap sesuatu yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Otani (1991)
mengelompokkan tiga jenis sikap masyarakat terhadap perkawinan sebagai berikut:

1. Sikap masyarakat yang menganggap bahwa perkawinan merupakan suatu masa yang
mutlak harus dilakukan dan sedapat mungkin dilakukan sebelum mencapai umur tertentu.
Masyarakat yang memiliki sikap demikian, pada umumnya menerima perkawinan yang
diatur oleh orangtua.

2. Sikap masyarakat yang mengaggap bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang penting
dan jika diperbolehkan akan dilakukan sebelum mencapai umur tertentu. Golongan
masyarakat ini cenderung menunda perkawinan sampai dirasa mantap untuk memasuki
kehidupan perkawinan.

3. Sikap masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan lebih penting daripada perkawinan.
Masyarakat pada golongan ini cenderung untuk melakukan perkawinan terlambat, bahkan
sebagian besar memilih untuk tidak melakukan perkawinan (Ontani, 1991: 475-487).
Berdasarkan penggolongan sikap masyarakat di atas terlihat bahwa referen atau orang-orang
yang dianggap penting oleh subyek penelitian termasuk dalam golongan kedua. Hal ini sesuai
dengan pendapat Otani yang mengatakan bahwa, masyarakat Indonesia yang tinggal di
perkotaan dan dengan status sosial menengah keatas termasuk dalam golongan kedua.

Mereka memiliki keyakinan bahwa perkawinan merupakan sebuah fenomena yang universal,
artinya secara cepat atau lambat seseorang akan melangsungkan perkawinan, hanya saja
penetapan waktu perkawinan menuntut persyaratan yang semakin tinggi, terutama kesiapan
psikologis dan sosial ekonomi. Sebagian besar subyek penelitian memiliki intensi penundaan
usia perkawinan dalam kategori tinggi (48,%5) dan sangat tinggi (24,5%) disebabkan oleh
beberapa hal antara lain:

1. Seluruh subyek penelitian masih berstatus mahasiswa sehingga masalah perkawinan belum
menjadi masalah yang mendesak untuk dipikirkan. Prioritas utama subyek penelitian adalah
menyelesaikan kuliah dan meraih prestasi sebaik-baiknya. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Manning dan Singarimbun (2000) yang menunjukkan bahwa pendidikan
memang memberi andil yang cukup besar terhadap penundaan usia perkawinan. Semakin
tinggi pendidikan yang diraih seorang individu, maka semakin tinggi pula usia kawin
individu tersebut. Individu yang memiliki pendidikan tinggi akan mengalokasikan waktu
yang lebih panjang untuk mengenyam pendidikan.
2. Seluruh subyek penelitian belum bekerja, sehingga mereka belum memiliki kemandirian
secara ekonomis untuk menuju kehidupan perkawinan. Perkawinan mensyaratkan adanya
kemandirian secara ekonomis dari pasangan, sehingga ketergantungan secara ekonomis pada
orang lain merupakan sesuatu hal yang tabu dan sedapat mungkin harus dihindari.
3. Usia subyek penelitian juga merupakan faktor yang menyebabkan tingginya intensi untuk
melakukan penundaan usia perkawinan. Usia yang muda saat memasuki perkawinan biasanya
berkaitan dengan ketidaksiapan secara sosial, psikologis, dan ekonomis. Lebih muda usia
kawin berarti besar peluang untuk tidak stabilnya sebuah perkawinan, sehingga penundaan
atau pendewasaan usia perkawinan merupakan sebuah hal yang wajar dan biasa untuk
dilakukan. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sikap terhadap penundaan usia
perkawinan, norma subyektif dan intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian
berada dalam kategori tinggi. Pada model perilaku beralasan dijelaskan, jika sikap terhadap
perilaku dan norma subyektif tinggi, maka intensi untuk menampilkan perilaku juga akan
tinggi. Hal ini terbukti dengan dihasilkannya hubungan yang positif dan sangat signifikan
antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Becker (Openheirmen,
1988) yang mengatakan bahwa penundaan perkawinan akan terjadi pada pria dan wanita, jika
terdapat utility yang lebih besar yang akan diperoleh pria dan wanita tersebut daripada jika
mereka tidak melakukan penundaan perkawinan. Hubungan yang positif dan sangat
signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia
perkawinan, menandakan subyek penelitian meyakini bahwa mereka akan mendapatkan
utility yang lebih besar jika melakukan penundaan usia perkawinan.
Hubungan yang positif dan sangat signifikan juga diperoleh antara norma subyektif dengan
intensi penundaan usia perkawinan, yang menujukkan koefesien korelasi sebesar 0,685. Hal
ini berarti norma subyektif yang diyakini oleh subyek penelitian berpengaruh secara positif
terhadap intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Seperti telah dijelaskan pada
dasar teori, bahwa pembagian fase kehidupan seorang individu kebanyakan mempunyai sifat
normatif (Monk, 1999). Walaupun tidak selalu mutlak demikian, namun masih sering dipakai
sebagai standar tingkah laku bagi individu. Hal ini sesuai dengan kecenderungan masyarakat
untuk selalu berusaha memperoleh standar tingkah laku. Tingginya dukungan normatif untuk
melakukan penundaan usia perkawinan yang diyakini oleh subyek penelitian, menyebabkan
intensi untuk melakukan penundaan usia perkawinan menjadi tinggi. Dalam masyarakat
maju, usia memang tidak selalu menjadi standar tingkah laku, terutama pada masa sesudah
remaja, namun fenomena social oclock belum sepenuhnya hilang. Masyarakat masih
menaruh pengharapan tertentu mengenai tingkah laku yang sesuai untuk usia-usia tertentu.
Pengharapan masyarakat ini kemudian diinternalisasikan oleh individu, dan mempengaruhi
keputusannya dalam berperilaku tertentu.

Dalam penelitian ini norma subyektif memiliki korelasi yang lebih besar dari pada sikap
terhadap penundaan usia perkawinan. Hal ini disebabkan karena penundaan usia perkawinan
merupakan perilaku yang secara langsung ataupun tidak, berhubungan dengan pihak-pihak
lain terutama pihak yang dianggap penting oleh subyek penelitian. Alasan ini sesuai dengan
gagasan yang dikemukakan oleh Merseliust (2002), yang mengaplikasikan model perilaku
terencana dalam memahami intensi pengemudi untuk mematuhi aturan-aturan mengemudi.
Parker (2002) mengatakan bahwa ketika seseorang membentuk intensi berperilaku tertentu
yang membawa akibat-akibat atau berhubungan dengan pihak lain, maka variabel norma
subyektif yang memuat keyakinan akan pandangan pihak yang dianggap penting (significant
others) dan motivasi untuk memenuhi harapan referen, akan berpengaruh lebih besar daripada
variabel sikap yang memuat keyakinan akan hasil perilaku dan evaluasi terhadap hasil
perilaku. Sebaliknya, ketika individu membentuk intensi berperilaku yang bersifat pribadi
dan tidak berhubungan dengan pihak lain, maka intensi berperilaku tersebut akan lebih
banyak dipengaruhi oleh variabel sikap dari pada variabel norma subyektif.

E. Penutup

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada korelasi positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia
perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti bahwa semakin positif
sikap subyek penelitian terhadap penundaan usia perkawinan, maka akan semakin kuat
intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sebaliknya, semakin rendah sikap
subyek penelitian terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin lemah intensi
penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sumbangan efektif sikap terhadap penundaan
usia perkawinan sebesar 12,8% terhadap intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti
sikap terhadap penundaan usia perkawinan memiliki mempunyai peran yang cukup besar
terhadap penundaan usia perkawinan.
2. Ada korelasi positif dan sangat signifikan antara norma subyektif dengan intensi
penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti semakin positif norma subyektif, maka semakin
kuat intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sebaliknya, semakin negatif
norma subyektif, maka semakin lemah pula intensi penundaan usia perkawinan subyek
penelitian. Sumbangan efektif norma subyektif sebesar 47% terhadap intensi penundaan usia
perkawinan. Hal ini berarti norma subyektif berperan besar terhadap peningkatan intensi
penundaan usia perkawinan.

Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas, beberapa saran yang dapat dikemukakan
adalah sebagai berikut:
1. Mengingat besarnya peran dari norma subyektif terhadap intensi penundaan usia
perkawinan, maka bagi instansi yang memiliki program pendewasaan usia perkawinan
hendaknya memberikan perhatian utama terhadap opini dari referen subyek yang dijadikan
target program pendewasaan usia perkawinan.
2. Sosialisasi pendewasaan usia perkawinan pada subyek yang menjadi target program
pendewasaan usia perkawinan, hendaknya difokuskan pada pengubahan sikap yang lebih
favorable terhadap penundaan usia perkawinan
3. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik meneliti penundaan usia perkawinan, hendaknya
mempertimbangkan faktor lain dari pemilihan subyek, misalnya; jenis kelamin (pria dan
wanita), tempat tinggal (desa dan kota) dan status (menikah dan belum menikah) untuk
memperoleh informasi yang lebih mendalam tentang penundaan usia perkawinan.

Daftar Pustaka

Ajzen, I. 1988. Attitude, Personality, and Behavior. Milton Keynes, England: Open
University Press.
Biro Pusat Satistik, 1986. Pola Umur Perkawinan. Jakarta
Fishbein, M. & Ajzen, I. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to
Theory and Reseach. Sydney: Addison-Wesley Publishing Company.
Hurlock, Elizabeth.B. 1993. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kartono, Kartini, 1987. Psikologi Wanita. Jakarta: Gramedia.
Landis, Judson dkk. 1963. Building a Succsessfull Marriage. Fourth Edition. Berkeley:
Prentice Hall, Inc.

Você também pode gostar