Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
KHILAFIYAH
Disusun oleh:
2015
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat
yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena
perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang
sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam
masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar
penetapan hukum dan berlainan tempat. Sebagaimana diketahui, bahwa ketika
agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi
yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara yang baru tersebut.
Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah
memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini
adalah sebagai berikut :
Begitu pula ikhtilaf Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab terhadap seorang
pemuda yang sedang bertaubat yang meninggal dalam perjalanan menuju ke
negeri yang baik, apakah diputuskan berdasarkan amalan zhahirnya, ataukah
berdasarkan niyatnya.
Ummat Islam memang harus bersatu itu iya, tetapi persatuan tersebut
bukanlah dengan cara menyatukan pendapat dalam masalah ushul, furu,
ataupun siyasah. Melainkan dengan berusaha sekuat mungkin agar ummat
Islam bisa saling menghargai perbedaan di antara kalangan setauhid, agar
ummat Islam bersatu padu dalam satu cita-cita yang yakni menegakkan dan
menyebarluaskan agama Allah di muka bumi ini.
Ada banyak sekali ikhtilaf dalam Islam, namun yang macam-macam secara
umum bisa dibagi menjadi dua golongan besar:
Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah aqidah
yang prinsip. Masalah yang prinsip atau pokok itu seperti aqidah yang paling
dasar, tauhid yang esensial serta konsep ketuhanan yang fundamental, tidak
pernah terjadi perbedaan pendapat. Ikhtilaf sebenarnya sedikit menyentuh
masalah kerangka dasar ibadah. Namun, ketika para fuqoha mulai memasuki
teknis dan operational yang tidak prinsipilikhtilaf tidak bisa dibendung
kemunculannya.
Ikhtilaf yang bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah furu dan dalam
masalah itiqod yang tidak prinsip, seperti masalah membaca Basmalah
Fatihah Shalat Jahar, masalah Qunut Shubuh, amaliyah kalangan
tradisionalis seperti Tahlil, dan lain sebagainya.
Ikhtilaf dalam masalah furu adalah boleh. Rasulullah SAW telah bersabda:
Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, maka
janganlah kamu melanggarnya, telah mewajibkan sejumlah kewajiban, maka
janganlah kamu abaikan, telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah
kamu melanggarnya, telah mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagi
kamu bukan karena lupa maka janganlah kamu mencari (kesulitan) di
dalamnya. (HR Imam Daruquthni)
Mari kita cermati baik-baik hadist di atas. Di sana jelas sekali tersirat bahwa
Allah tidak lupa ketika membiarkan masalah-masalah yang muncul tanpa
diiringi dengan aturan atau ketetapan yang jelas. Allah mendiamkannya dan
menetapkan masalah yang didiamkan itu sebagai rahmat bagi kita. Dan
karenanya ketika kita mencoba mencari jawaban atas apa yang tidak
diterangkan secara rinci dalam kitab suci maka tak boleh kita mencari
kesulitan. Artinya, tidaklah kita perlu memaksakan penyatuan pendapat atas
masalah-malasah furu tersebut.
Betapa seringkali kita menemukan suatu masalah yang tidak kita temukan
jawabannya secara rinci di dalam al-Quran maupun hadist. Ini kemudian
mengharuskan dilakukannya suatu ijtihad. Ijtihad adalah bersungguh-
sungguh dalam menggali hukum agama setelah memperhatikan sekalian ayat
Al-Quran dan Hadits Nabi SAW. Ijtihad merupakan perkara yang
dibenarkan dalam Islam. Sebuah hadis berikut ini memberikan penjelasan
kapan dan bagaimana semestinya ijtihad dilakukan:
Jadi, ijtihad sudah dilakukan sejak Rasulullah masih hidup. Dan Rasulullah
sendirilah yang menyuruh ummatnya untuk berijtihad. Dalam sabdanya yang
lain, Nabi menyuruh Amr ibn Nash untuk memutuskan suatu perkara.
Namun Amr Ibn Nashmenolak karena ada Nabi di hadapannya. Kemudian
Nabi menjawab, Ya, Berijtihadlah, apabila hakim hendak memutuskan
perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua
pahala dan apabila hakim hendak memutuskan perkara, kemudian ia
berijtihad dan ijtihadnya salah maka mendapat satu pahala.
Wilayah dan masalah khilafiyah fiqh.
Masalah khilafiyah biasanya ini terjadi pada masalah furu tidak pada
masalah pokok yang perinsip. Misalnya masalah-masalah fiqh berikut.
4) Dzikir wirid dan doa secara berjamaah pada selesai shalat berjemaah.
Sebab sebab mengapa suatu perkara bisa menjadi masalah yang tidak
disepakati hukumnya antara lain:
Adanya ayat yang berbeda satu dengan lainnya secara zhahirnya. Sehingga
membutuhkan jalan keluar yang bisa cocok untuk keduanya. Di titik inilah
para ulama terkadang berbeda dalam mengambil jalan keluar.
C. Contoh-Contoh Khilafiah
Secara etimologis qunut berarti berdiri, diam, taat, berdo'a, dan rendah hati.
Dalam ilmu fiqh, yang dimaksurl dengan qunut adalah do'a yang dibaca
ketika berdiri tegak (setelah i'tidal) pada rakaat terakhir setiap salat yang
dilaksanakan, terlebih lagi bila situasi dalam keadaan genting atau perihatin
(Depag RI, 1996/1997: 50).
Qunut sunat dilaksanakan pada setiap salat fardhu apabila ada terjadi bala
bencana yang menimpa umat Islam, mendo'akan seseorang atau suatu kaum
untuk kebaikan atau keburukan. Sabda Nabi Saw.
Anas bin Malik pernah ditanya demikian : "apakah Nabi saw. berqunut
salam shalat subuh ? Ia menjawab: "Ya" Ditanya pula: "sebelum ruku' atau
sesudahnya ?" Ia menjawab : "sesudah ruku" (Al-Bukhary, t.th.:177).
Selain hadits di atas juga berdasar hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Badzar, Daru Quthni, Baihaqi dan Hakim yang menganggapnya shahih, dari
Anas katanya: "Rasulullah saw. itu selalu berqunut dalam shalat subuh
hingga beliau wafat" (Sabiq, 1993: 44).
Seiring dengan pendapat dari Imam Syafi'i itu ada pula yang menyatakan
bahwa : "qunut yang tertentu pada sembah yang subuh itu tidak disunnatkan,
hadits Anas tersebut menurut penyelidikan mereka hadits dha'if, hanya yang
disyariatkan qunut nazilah (qunut karena bahaya, bala, yang menimpa akan
masyarakat Islam) seperti musim penyakit ta'un, kolera, zaman rusuh, musim
kemarau, qunut nazilah disunnatkan pada sekalian shalat lima waktu"
(Rasyid, 1976:102). Persi kedua ini didasari pula oleh hadits berikut:
Dari Anas, sesungguhnya Nabi saw. telah membaca qunut satu bulan
lamanya, beliau mendo'akan atas segolongan masyarakat Arab, kemudian
beliau hentikan (Riwayat Ahmad, Muslim,-Nasai dan Ibnu Majah) (Muslim,
1992:302).
Mengenai jumlah rakaat dan teknik pelaksanaan shalat tarawih ada terdapat
khilafiyah seiring dengan perbedaan riwayat yang diperpegangi. Satu persi
melakukan sebanyak dua puluh rakaat dan tiga rakaat shalat witir dengan
dua rakaat satu kali salam. Pelaksanaan ini berdasarkan riwayat oleh Imam
Malik ra. yang diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi.
Pelaksanaan ini merupakan ijma shahabat masa itu yang diperakarsai oleh
khalifah Umar sendiri. Hal ini beliau maksudkan untuk penyeragaman dan
tertibnya pelaksanaan shalat tarawih itu sendiri. Imam Bukhari, Ibn
Khuzaimah dan Al Baihaqi dari 'Umar (dalam Bukhary,t.th.: 342)
meriwayatkan sebagai berikut :
Persi kedua melaksanakan shalat tarawih sebanyak delapan rakaat dan tiga
rakaat witir, dikasanakan empat rakaat satu kali salam dan witir tiga rakaat
satu kali salam. Ini berdasar kepada beberapa riwayat berikut :
Dari 'Aisyah ra. menerangkan: Bahwa Nabi saw. tidak pernah menambah
shalat sunnatnya pada waktu malam baik dalam bulan Ramadhan maupun
lainnya lebih dari sebelas rapkaat (HR. Jama' ah) (Bukhary, t.th.: 343).
Ibnu Khuzaimah dan Ibn Hibban meriwayatkan dalam kedua shahihnya dari
Jabir (dalam Sabiq, 1993:62) "Sesungguhnya Rasulullah saw. bershalat
dengan orang banyak delapan rakaat kemudian berwitir. Pada malam
berikutnya mereka menunggu-nnggu, tetapi beliau tidak muncuI.
Hadits senada juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban (dalam Rasyid, 1976: 151)
sebagai berikut :
Dari beberapa keterang hadits tersebut jelas sekali bahwa Nabi saw. shalat di
Masjid pada bulan ramadhan dan di ikuti oleh para shahabat adalah tidak
lebih dari sebelas rakaat. Kaum muslimin diperintahkan shalat mencontoh
shalatnya Rasulullah saw. Mencontoh shalat beliau tentunya seperti apa yang
beliau contohkan secara terbuka dan langsung, terlepas apakah beliau
menambah shalatnya di rumah atau tidak.
Selain kedua persi di atas ada yang melakukan shalat tarawih sebanyak tiga
puluh enam rakaat, terutama penduduk Madinah yang menganut mazhab
Maliki. Hal ini sudah menjadi kebiasaan sejak masa khalifah Umar bin
Abdul Aziz (Depag RI,1996/1997: 44). Hal ini mereka lakukan dengan
pertirnbangan kalau mereka yang di Mesjidil Haram melakukan dua puluh
rakaat mereka juga banyak melakukan ibadah thawab, sedang di Madinah
hal itu tidak mungkin dilakukan, untuk itu mereka memperbanyak jemlah
rakaat shalat tarawih.
Hemat penulis yang terpenting bagi kita adalah menyadari bahwa hal ini
adalah pekerjaan sunnat yang Nabi sendiri tidak banyak menjelaskan serara
tegas jumlah rakaatnya, dimana beliau melakukannya ada di Mesjid dan ada
pula di rumah, keragaman jumlah rakaat ini terjadi pula dikalangan para
shahabat, sehingga timbul inisiatif khalifah Umar untuk menyeragamkannya.
Untuk itu yang penting pengamalannya secara baik dengan dilandasi
pengetahuan yang memadai atas apa yang kita amalkan itu.
Adzan dan iqamat menurut jumhur hukumnya sunnat, tetapi sebagian ulama
berpendapat, bahwa adzan dan iqamat itui adalah fardhu kifayah, karena
keduanya menjadi syiar Islam. Adzan dan iqamat ini disyariatkan pada shalat
fardhu, baik shalat lima waktu maupun shalat jumat. Firman Alah Swt.
Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan ) shalat, mereka
menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena
mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (Q.S. Al
Maidah;58).
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada
hari jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui (Q.S. Al Jumu'ah; 9).
Dari kedua ayat tersebut diterangkan bahwa untuk melakukan shalat itu
harus ada yang menyeru untuk mengingatkan. Kemudian ayat tersebut
dioperasionalkan oleh sabda Nabi saw. berikut :
Dari Malik bin Hawarits, sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda, kata
beliau: "Apabila datang waktu shalat, hendaklah adzan salah seorang
diantara kamu dan hendaklah yang tertua diantara kamu yang menjadi imam
(HR. Bukhari dan Muslim) (Bukhary, t.th.: 70).
Shalat jumat adalah shalat fardhu dan disyariatkan adzan, namun dalam
pelaksanaannya oleh kaum muslimin terjadi perbedaan (khilafiyah), yaitu
ada yang dilaksanakan adzan dua kali dan ada yang satu kali saja. Khilafiyah
ini terjadi sejak zaman shahabat. Hal ini antara lain seperti diterangkan oleh
Imam Syafii (dalam Rasyid, 1976: 129) beliau menerangkan; seorang yang
saya percayai telah mengabarkan kepada saya bahwa bang Jum'at itu di masa
Nabi s.a.w. dan di masa Khalifah pertama dan kedua, dilakukan ketika imam
sedang duduk di atas mimbar, maka setelah KhaIifah yang ketiga ('Usman),
ketika itu orang sudah bertambah banyak, maka disuruh mengadakan bang
sebelum imam duduk di mimbar, kemudian bang yang asal dilakukan pula.
Sejak waktu itu, terjadilah keadaan seperti yang ada sekarang (dua bang).
Berkata Syafi'i: "Atha' telah membantah keterangan yang mengatakan
Usman yang mengadakan bang pertama itu, tetapi sebenarnya, kata 'Atha'
yang mengadakan bang yang seperti itu ialah Mu'awiyah.
Yakin bahwa masalah khilafiyah itu wajar dan tidak bisa dihindari
terjadinya. Khilafiyah sudah ada sejak awal mula risalah Islam pertama kali
diturunkan di muka bumi.
Yakin bahwa beda pendapat itu bukan dosa, justru sebaliknya kita jadi
semakin punya khazanah yang kaya tentang ragam alur hukum.
Yakin bahwa khilafiyah itu bukan persoalan yang harus ditangani dengan
sewot dan emosi, melainkan sebuah kewajaran yang manusiawi.
Selama masih ada Quran dan sunnah, sudah pasti muncul perbedaan
pendapat. Karena sejak zaman nabi dan shahabat di mana Quran sedang
turun dan hadits masih diucapkan oleh nabi, sudah ada perbedaan pendapat
di kalangan mereka. Kalau perbedaan pendapat mau dihilangkan, maka
hapus dulu Quran dan sunnah dari muka bumi.
Kita diharamkan merasa diri paling benar dengan pendapat kita. Padahal
kapasitas kita tidak pernah sampai kepada derajat ulama ahli istimbath
hukum.