Você está na página 1de 15

TUGAS MAKALAH AGAMA

KHILAFIYAH

Disusun oleh:

JURUSANTEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2015
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas


kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yarig
menyelesaikannya dengan cara yang sangat sederhana dan mudah, karena ada
saling pengertian berdasarkan akal sehat. Akan tetapi dibalik itu, masalah
khilafiah menjadi ganjalan untuk menjalin kehanhonisan di kalangan umat Islam
karena sifat ta'asyubiyah (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan
pertimbangan akal yang sehat. Perbedaan pendapat (masalah khilafiah dalam
fiqh), dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu
dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum islam, bahkan
sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana
yang di'harapkan Nabi saw., dalam haditsnya:

Artinya: Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat (HR. Baihaqi


dalam Risalah al-Asyariyyah).

Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat
yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.

Sebenarnya ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena
perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang
sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam
masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar
penetapan hukum dan berlainan tempat. Sebagaimana diketahui, bahwa ketika
agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi
yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara yang baru tersebut.
Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah
memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Khilafiah ?

2. Apa sebab-sebab terjadinya khilafiyah ?

3. Apa saja yang termasuk khilafiyah

4. Bagaimana sikap umat islam dalam menyikapi terjadinya khilafiyah?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini
adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengertian Khilafiah.

2. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya khilafiah.

3. Untuk mengertahui contoh contoh khilafiah

4. Untuk mengetahui bagaimana menyikapi khilafiyah


BAB II
KHILAFIAH

A. Penertian Khilafiyah (Ikhtilaf)

Khilafiyah dalam bahasa kita sering diartikan dengan perbedaan pendapat,


pandangan, atau sikap. Masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya
tidak disepakati para ulama. Perbedaan pendapat di antara kalangan umat
Islam bukan hanya terdapat dalam masalah fiqih saja, tetapi khilafiyah juga
melingkupi berbagai macam hal, seperti siyasah (politik), dakwah, dan lain
sebagainya. Sebenarnya, ketidaksepakatan yang terjadi di kalangan umat
Islam terkadang hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya
perbedaan penggunaan istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perbedaannya
luas, yaitu antara halal dan haram.

Khilafiyah atau ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam perkara apa saja,


termasuk dalam masalah-masalah pandangan agama adalah sangat wajar.
Sesuatu yang mustahil dan akan menjadi suatu keajaiban apabila seluruh
umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat, pandangan,
madzhab, dan sikap dalam masalahushul, furu, dan siyasah. Hanya sebuah
mimpi jika semua umat Islam di seluruh penjuru dunia dapat bersatu padu
dalam satu istimbat hukum Islam. Akan sangat sulit, dan mustahil bisa
tercapai cita-cita orang yang ingin menyatukan umat Islam dalam masalah-
masalah tersebut. Sebuah cita-cita yang akan mendapat banyak benturan, dan
sia-sia belaka.

Bahkan Dr. Yusuf Al Qaradhawy mengatakan: ikhtilaf pun terjadi di


kalangan Nabi dan Malaikat. Adalah Nabi Musa As. berikhtilaf dengan Nabi
Harun As. hingga Nabi Musa As. menarik jenggot Nabi Harun As. ketika
mendapatkan Bani Israil menyembah anak lembu buatan Samiry.

Begitu pula ikhtilaf Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab terhadap seorang
pemuda yang sedang bertaubat yang meninggal dalam perjalanan menuju ke
negeri yang baik, apakah diputuskan berdasarkan amalan zhahirnya, ataukah
berdasarkan niyatnya.

Ikhtilaf adalah kekayaan syari'at Islam. Banyak pendapat dalam syri'at


Islam merupakan mutiara-mutiara yang tidak ternilai harganya. Karena ia
akan menjadikan ilmu fiqh itu terus tumbuh dan berkembang, karena setiap
pendapat yang diputuskan berdasarkan kepada dalil-dalil dan qa'idah-qa'idah
yang telah diambil istinbathnya, lalu diijtihadkan, ditimbang-timbang
kekuatan dalilnya, ditarjihkan kemudian diterapkan pada masalah-masalah
yang serupa dengannya (Qiyas).

Ummat Islam memang harus bersatu itu iya, tetapi persatuan tersebut
bukanlah dengan cara menyatukan pendapat dalam masalah ushul, furu,
ataupun siyasah. Melainkan dengan berusaha sekuat mungkin agar ummat
Islam bisa saling menghargai perbedaan di antara kalangan setauhid, agar
ummat Islam bersatu padu dalam satu cita-cita yang yakni menegakkan dan
menyebarluaskan agama Allah di muka bumi ini.

Bagaimana pun perbedaan adalah suatu kepastian, sunnatullah yang manusia


tidak mungkin untuk merubahnya. Allah SWT sendiri telah menetapkan
adanya perbedaan itu dalam firmanNya:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi


dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
Mengetahui. (Q.S. Ar-Rum: 22)

Ada banyak sekali ikhtilaf dalam Islam, namun yang macam-macam secara
umum bisa dibagi menjadi dua golongan besar:

1. Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan; dan

2. Ikhtilaf yang bisa dibenarkan.

Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah aqidah
yang prinsip. Masalah yang prinsip atau pokok itu seperti aqidah yang paling
dasar, tauhid yang esensial serta konsep ketuhanan yang fundamental, tidak
pernah terjadi perbedaan pendapat. Ikhtilaf sebenarnya sedikit menyentuh
masalah kerangka dasar ibadah. Namun, ketika para fuqoha mulai memasuki
teknis dan operational yang tidak prinsipilikhtilaf tidak bisa dibendung
kemunculannya.

Ikhtilaf yang bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah furu dan dalam
masalah itiqod yang tidak prinsip, seperti masalah membaca Basmalah
Fatihah Shalat Jahar, masalah Qunut Shubuh, amaliyah kalangan
tradisionalis seperti Tahlil, dan lain sebagainya.

Ikhtilaf dalam masalah furu adalah boleh. Rasulullah SAW telah bersabda:
Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, maka
janganlah kamu melanggarnya, telah mewajibkan sejumlah kewajiban, maka
janganlah kamu abaikan, telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah
kamu melanggarnya, telah mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagi
kamu bukan karena lupa maka janganlah kamu mencari (kesulitan) di
dalamnya. (HR Imam Daruquthni)

Mari kita cermati baik-baik hadist di atas. Di sana jelas sekali tersirat bahwa
Allah tidak lupa ketika membiarkan masalah-masalah yang muncul tanpa
diiringi dengan aturan atau ketetapan yang jelas. Allah mendiamkannya dan
menetapkan masalah yang didiamkan itu sebagai rahmat bagi kita. Dan
karenanya ketika kita mencoba mencari jawaban atas apa yang tidak
diterangkan secara rinci dalam kitab suci maka tak boleh kita mencari
kesulitan. Artinya, tidaklah kita perlu memaksakan penyatuan pendapat atas
masalah-malasah furu tersebut.

Betapa seringkali kita menemukan suatu masalah yang tidak kita temukan
jawabannya secara rinci di dalam al-Quran maupun hadist. Ini kemudian
mengharuskan dilakukannya suatu ijtihad. Ijtihad adalah bersungguh-
sungguh dalam menggali hukum agama setelah memperhatikan sekalian ayat
Al-Quran dan Hadits Nabi SAW. Ijtihad merupakan perkara yang
dibenarkan dalam Islam. Sebuah hadis berikut ini memberikan penjelasan
kapan dan bagaimana semestinya ijtihad dilakukan:

Ketika Rasulullah SAW mengutus Muadz bin Jabal sebagai gubernur


Yaman, beliau bertanya kepada Muadz, Bagaimana kamu akan
memutuskan perkara yang dibawa ke hadapanmu? Muadz menjawab: Saya
putuskan berdasarkan Kitabullah. Rasulullah bertanya lagi: Apabila kamu
tidak mendapatkannya dalam Kitabullah? Muadz menjawab: Saya
putuskan berdasarkan sunnah Rasul. Rasulullah bertanya lagi: Apabila
kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya?
Muadz menjawab: Maka saya akan berijtihad (rayi) dan saya tidak akan
ragu sedikit pun. Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke dada
Muadz dan bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq
kepada utusan Rasulullah, sesuatu yang menyenangkan hati Rasulul-Nya.
(HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud).

Jadi, ijtihad sudah dilakukan sejak Rasulullah masih hidup. Dan Rasulullah
sendirilah yang menyuruh ummatnya untuk berijtihad. Dalam sabdanya yang
lain, Nabi menyuruh Amr ibn Nash untuk memutuskan suatu perkara.
Namun Amr Ibn Nashmenolak karena ada Nabi di hadapannya. Kemudian
Nabi menjawab, Ya, Berijtihadlah, apabila hakim hendak memutuskan
perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua
pahala dan apabila hakim hendak memutuskan perkara, kemudian ia
berijtihad dan ijtihadnya salah maka mendapat satu pahala.
Wilayah dan masalah khilafiyah fiqh.

Masalah khilafiyah biasanya ini terjadi pada masalah furu tidak pada
masalah pokok yang perinsip. Misalnya masalah-masalah fiqh berikut.

1) Kedudukan qunut pada shalat shubuh.

2) Teknis pelaksanaan dan jumlah rakaat shalat tarawih.

3) Adzan pertama pada shalat jumat.

4) Dzikir wirid dan doa secara berjamaah pada selesai shalat berjemaah.

5) Upacara talqin mayyit.

6) Lafazh tempat niat dalam shalat.

7) Membaca tahlil beramai-ramai.

8) Tambahan Saidina dalam sholawat.

9) Membaca Yaasin malam jumaat.

10) Berpuasa nisfu Syaban

11) Dan lain-lain.

B. Sebab-Sebab Terjadinya Khilafiah

Berbagai sebab telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan fuqaha


(ahli fiqih), yang pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
pertama, perbedaan pendirian tentang kedudukan sumber-sumber hukum,
apakah bisa dijadikan dasar penetapan hukum atau tidak. Kedua, perbedaan
pendirian tentang aturan-aturan bahasa dalam pemahaman terhadap sesuatu
nash (Alquran dan Alhadits).

Sebab sebab mengapa suatu perkara bisa menjadi masalah yang tidak
disepakati hukumnya antara lain:

Adanya ayat yang berbeda satu dengan lainnya secara zhahirnya. Sehingga
membutuhkan jalan keluar yang bisa cocok untuk keduanya. Di titik inilah
para ulama terkadang berbeda dalam mengambil jalan keluar.

Adanya perbedaan penilaian derajat suatu hadits di kalangan ahli hadits.


Di mana seorang ahli hadits menilai suatu hadits shahih, namun ahli hadits
lainnya menilainya tidak shahih. Sehingga ketika ditarik kesimpulan
hukumnya, sangat bergantung dari perbedaan ahli hadits dalam menilainya.
Adanya ayat atau hadits yang menghapus berlakunya ayat atau hadits yang
pernah turun sebelumnya. Dalam hal ini sebagaian ulama berbeda pendapat
untuk menentukan mana yang dihapus dan mana yang tidak dihapus.

Adanya perbedaan ulama dalam menetapkan mana ayat yang berlaku


mujmal dan mana yang berlaku muqayyad. Juga dalam menetapkan mana
yang bersifat umum dan mana yang bersifat khusus .

Adanya perbedaan ulama dalam menggunakan metodologi teknik


pengambilan kesimpulan hukum, setelah sumber yang disepakati. Misalnya,
ada yang menerima syaru man qablana dan ada yang tidak. Ada yang
menerima istihsan dan ada juga yang tidak mau memakainya. Dan masih
banyak lagi metode lainnya seperti saddan lidzdzriah, qaulu shahabi,
istishab, qiyas dan lainnya.

C. Contoh-Contoh Khilafiah

1. Kedudukan Qunut Pada Shalat Subuh

Secara etimologis qunut berarti berdiri, diam, taat, berdo'a, dan rendah hati.
Dalam ilmu fiqh, yang dimaksurl dengan qunut adalah do'a yang dibaca
ketika berdiri tegak (setelah i'tidal) pada rakaat terakhir setiap salat yang
dilaksanakan, terlebih lagi bila situasi dalam keadaan genting atau perihatin
(Depag RI, 1996/1997: 50).

Qunut sunat dilaksanakan pada setiap salat fardhu apabila ada terjadi bala
bencana yang menimpa umat Islam, mendo'akan seseorang atau suatu kaum
untuk kebaikan atau keburukan. Sabda Nabi Saw.

Rasulullah saw. telah berqunut sebulan berturut-turut dalam salat Z,huhur,


'Ashar, Maghrib, 'Isya dan Subuh yaitu dalam rakaat terakhir ketika i'tidal
sehabis mengucapkan, "Sami'allahu liman hamidah". Disitu beliau berdo'a
untuk kebinasaan Banu Sulaim, Ra'al, Dzakwan dan Ishaiyah, sedang ma'
mum yang dibelakangnya mengaminkan do'a itu" (Diriwayatkan oleh Abu
Daud dan Ahmad yang memambahkan demikian "Rasulullah saw.
mengirimkan beberapa orang muballigh untuk mengajak mereka ke dalam
Agama Islam, tetapi mereka itu dibunuh (Sabiq, 1993:41).

Ikrimah berkata bahwa peristiwa itulah yang merupakan permulaan qunut


(Sabiq, 1993:41). Pada beberapa peristiwa lain juga Rasulullah saw.
melakukan qunut seperti itu, dan qunut ini disebut dengan "qunut Nazilah".
Diterangkan, "menurut mazhab Syafi'i, maka berqunut dalam shalat subuh
sesudah ruku' kedua itu adalah sunat (Sabiq, 1993:44). Ini berdasar hadits
yang diriwayatkan oleh jama'ah selainTurmudzi dari Ibnu Sirin, bahwa :

Anas bin Malik pernah ditanya demikian : "apakah Nabi saw. berqunut
salam shalat subuh ? Ia menjawab: "Ya" Ditanya pula: "sebelum ruku' atau
sesudahnya ?" Ia menjawab : "sesudah ruku" (Al-Bukhary, t.th.:177).

Selain hadits di atas juga berdasar hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Badzar, Daru Quthni, Baihaqi dan Hakim yang menganggapnya shahih, dari
Anas katanya: "Rasulullah saw. itu selalu berqunut dalam shalat subuh
hingga beliau wafat" (Sabiq, 1993: 44).

Seiring dengan pendapat dari Imam Syafi'i itu ada pula yang menyatakan
bahwa : "qunut yang tertentu pada sembah yang subuh itu tidak disunnatkan,
hadits Anas tersebut menurut penyelidikan mereka hadits dha'if, hanya yang
disyariatkan qunut nazilah (qunut karena bahaya, bala, yang menimpa akan
masyarakat Islam) seperti musim penyakit ta'un, kolera, zaman rusuh, musim
kemarau, qunut nazilah disunnatkan pada sekalian shalat lima waktu"
(Rasyid, 1976:102). Persi kedua ini didasari pula oleh hadits berikut:

Dari Anas, sesungguhnya Nabi saw. telah membaca qunut satu bulan
lamanya, beliau mendo'akan atas segolongan masyarakat Arab, kemudian
beliau hentikan (Riwayat Ahmad, Muslim,-Nasai dan Ibnu Majah) (Muslim,
1992:302).

Melihat adanya pertentangan kedua persi yang sarna-sama mendasarkan


pada hadits Nabi saw. itu, Sayyid Sabiq Mengemukakan analisa beliau
bahwa : andaikata hadits yang menyatakan bahwa Nabi selalu berqunut pada
shalat subuh sampai beliau meninggal itu dianggap shah, maka yang
dimaksud ialah memperpanjang berdiri sehabis ruku' untuk berdo'a atau
mengucapkan puji-pujian sampai beliau saw. meninggal dunia, sebab
perbuatan semacam inipun termasuk pula dalam arti qunut" (Sabiq,
1993:44).

Dari uraian di atas barangkali hal mendasar yang menjadikan adanya


khilafiyah itu adalah beranjak dari perbedaan pemahaman arti qunut itu
sendiri. Seperti dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, bahwa Nabi memang selalu
memperpanjang waktunya untuk berdo'a atau mengucapkan puji-pujian
kepada Allah setelah ruku' kedua pada shalat subuh, itu merupakan bagian
dari arti qunut. Sedang qunut nazilah tidak terkhusus pada shalat subuh saja,
ini merupakan qunut khusus karena ada musibah bagi umat Islam dan
sejenisnya. Dengan demikian hemat penulis kita dapat memaklumi adanya
permasalahan khilafiyah di atas.

2. Jumlah Rakaat dan Teknik Pelaksanaan Shalat Tarawih.

Tarawih adalah shalat Malam pada bulan Ramadhan, hukumnya sunnat


mu'akkad (penting bagi laki-Iaki dan perempuan), boleh dikerjakan sendiri-
sendiri dan boleh berjamaah. Waktunya sesudah shalat 'isya sampai terbit
(waktu subuh) (Rasyid, 1976: 149). Lebih utama dilaksanakan sebelum
shalat witir (Sabiq, 1993:60).11

Menurut riwayat bahwa Nabi saw. melakukan shalat tarawih berjamaah di


masjid hanya beberapa kali (tidak lebih dari tiga kali) dalam hidupnya. Hal
ini karena beliau khawatir kalau shalat ini diwajibkan atau dianggap wajib
oleh jemaah. Diriwayatkan dari 'Aisyah ra.

Nabi saw. bershalat di Mesjid, maka banyak pula orang-orang yang


mengikutinya bershalat bahkan makin bertambah banyak, selanjutnya pada
malam ketiga, orang orang sudah berkumpul, tetapi beliau tidak keluar. Pada
pagi harinya beliau bersabda: "Aku tahu apa-apa. yang kamu lakukan
semaIam, sedang akupun tidak ada halangan un tuk keluar, hanya saja aku
kuatir kalau-kalau shalat itu difardhukan atasmu nanti (HR. Muslim)
(Muslim, 1992:339).

Mengenai jumlah rakaat dan teknik pelaksanaan shalat tarawih ada terdapat
khilafiyah seiring dengan perbedaan riwayat yang diperpegangi. Satu persi
melakukan sebanyak dua puluh rakaat dan tiga rakaat shalat witir dengan
dua rakaat satu kali salam. Pelaksanaan ini berdasarkan riwayat oleh Imam
Malik ra. yang diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi.

Adalah orang-orang pada zaman Umar Ibn Khattab mengerjakan shalat


malam di bulan Ramadhan sebanyak dua puIuh tiga rakaat (Depag
RI,1996/1997:43).

Pelaksanaan ini merupakan ijma shahabat masa itu yang diperakarsai oleh
khalifah Umar sendiri. Hal ini beliau maksudkan untuk penyeragaman dan
tertibnya pelaksanaan shalat tarawih itu sendiri. Imam Bukhari, Ibn
Khuzaimah dan Al Baihaqi dari 'Umar (dalam Bukhary,t.th.: 342)
meriwayatkan sebagai berikut :

Telah diriwayatkan kepadaku oleh 'Abd urrahman al Qariyyi bahwa Umar


bin Khattab ra. suatu Malam keluar mengelilinngi masjid di bulan
Ramadhan. Di dalam mesjid itu terdapat orang-orang yang sedang
mengerjakan shalat secara terpisah-pisah dan berkelompok-kelornpok. Ada
yang shalat sendirian, ada pula yang shalat sedang dibelakangnya terdapat
beberapa orang yang mengikuti shalatnya. Maka Umar Ibn Khattab berkata :
Demi Allah saya kira bila mereka itu dikumpulkan menjadi satu, lalu disuruh
mengikuti seorang qari' (imam) tentu lebih baik. Kemudian Umar menyuruh
Ubay bin Kaab untuk mengimami mereka dalam shalat malam di bulan
Ramadhan. Kemudian Umar ra. keluar, sementara orang-orang sedang shalat
dengan diimami oleh Ubay bin Ka 'ab. Melihat itu Umar berkata "Inilah
sebaik-baik bid 'ah

Pelaksanaan seperti itu juga dilaksanakan pada masa shahabat berikutnya


yaitu Usman dan Ali ra. Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama ahli
fiqh dari golongan Hanafi, Hanbali, dan Daud. Turmudzi berkata bahwa
sebagian ahli sependapat dengan apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali dan
lain-lain shahabat Nabi saw. yakni dua puluh rakaat itu. Ini adalah pendapat
Tsauri, Ibnul Mubarak dan Syafi'i juga berkata saya mendapatkan orang-
orang di Mekkah bershalat dua puluh rakaat (Sabiq, 1993: 62).

Persi kedua melaksanakan shalat tarawih sebanyak delapan rakaat dan tiga
rakaat witir, dikasanakan empat rakaat satu kali salam dan witir tiga rakaat
satu kali salam. Ini berdasar kepada beberapa riwayat berikut :

Dari 'Aisyah ra. menerangkan: Bahwa Nabi saw. tidak pernah menambah
shalat sunnatnya pada waktu malam baik dalam bulan Ramadhan maupun
lainnya lebih dari sebelas rapkaat (HR. Jama' ah) (Bukhary, t.th.: 343).

Ibnu Khuzaimah dan Ibn Hibban meriwayatkan dalam kedua shahihnya dari
Jabir (dalam Sabiq, 1993:62) "Sesungguhnya Rasulullah saw. bershalat
dengan orang banyak delapan rakaat kemudian berwitir. Pada malam
berikutnya mereka menunggu-nnggu, tetapi beliau tidak muncuI.
Hadits senada juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban (dalam Rasyid, 1976: 151)
sebagai berikut :

Dari Jabir : Sesungguhnya Nabi saw. telah shalat bersama-sama mereka


delapan rakaat, kemudian beliau shalat witir.

Dari beberapa keterang hadits tersebut jelas sekali bahwa Nabi saw. shalat di
Masjid pada bulan ramadhan dan di ikuti oleh para shahabat adalah tidak
lebih dari sebelas rakaat. Kaum muslimin diperintahkan shalat mencontoh
shalatnya Rasulullah saw. Mencontoh shalat beliau tentunya seperti apa yang
beliau contohkan secara terbuka dan langsung, terlepas apakah beliau
menambah shalatnya di rumah atau tidak.

Selain kedua persi di atas ada yang melakukan shalat tarawih sebanyak tiga
puluh enam rakaat, terutama penduduk Madinah yang menganut mazhab
Maliki. Hal ini sudah menjadi kebiasaan sejak masa khalifah Umar bin
Abdul Aziz (Depag RI,1996/1997: 44). Hal ini mereka lakukan dengan
pertirnbangan kalau mereka yang di Mesjidil Haram melakukan dua puluh
rakaat mereka juga banyak melakukan ibadah thawab, sedang di Madinah
hal itu tidak mungkin dilakukan, untuk itu mereka memperbanyak jemlah
rakaat shalat tarawih.

Hemat penulis yang terpenting bagi kita adalah menyadari bahwa hal ini
adalah pekerjaan sunnat yang Nabi sendiri tidak banyak menjelaskan serara
tegas jumlah rakaatnya, dimana beliau melakukannya ada di Mesjid dan ada
pula di rumah, keragaman jumlah rakaat ini terjadi pula dikalangan para
shahabat, sehingga timbul inisiatif khalifah Umar untuk menyeragamkannya.
Untuk itu yang penting pengamalannya secara baik dengan dilandasi
pengetahuan yang memadai atas apa yang kita amalkan itu.

3. Pelaksanaan Adzan Pada Shalat Jumat.

Adzan menurut bahasa berarti pernberitahuan. Menurut istilah (ahli fiqh):


Kalimat tertentu yang diserukan untuk memberitahu datangnya shalat wajib.
(Demikian juga iqamat) (RifaI, 1978:70).

Adzan dan iqamat menurut jumhur hukumnya sunnat, tetapi sebagian ulama
berpendapat, bahwa adzan dan iqamat itui adalah fardhu kifayah, karena
keduanya menjadi syiar Islam. Adzan dan iqamat ini disyariatkan pada shalat
fardhu, baik shalat lima waktu maupun shalat jumat. Firman Alah Swt.
Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan ) shalat, mereka
menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena
mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (Q.S. Al
Maidah;58).

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada
hari jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui (Q.S. Al Jumu'ah; 9).

Dari kedua ayat tersebut diterangkan bahwa untuk melakukan shalat itu
harus ada yang menyeru untuk mengingatkan. Kemudian ayat tersebut
dioperasionalkan oleh sabda Nabi saw. berikut :

Dari Malik bin Hawarits, sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda, kata
beliau: "Apabila datang waktu shalat, hendaklah adzan salah seorang
diantara kamu dan hendaklah yang tertua diantara kamu yang menjadi imam
(HR. Bukhari dan Muslim) (Bukhary, t.th.: 70).

Sebagaiman disebutkan terdahulu bahwa adzan dan iqamat itu disunnatkan


pada shalat-shalat fardhu, adapun untuk shalat sunnat, shalat jenazah, shalat
nadzar, tidak disunnatkan adzan dan iqamah, hanya saja kalau disyariatkan
berjamaah hendaklah diserukan asshalata jami' ah (marilah shalat jama'ah)
(Rasyid, 1976: 67).

Shalat jumat adalah shalat fardhu dan disyariatkan adzan, namun dalam
pelaksanaannya oleh kaum muslimin terjadi perbedaan (khilafiyah), yaitu
ada yang dilaksanakan adzan dua kali dan ada yang satu kali saja. Khilafiyah
ini terjadi sejak zaman shahabat. Hal ini antara lain seperti diterangkan oleh
Imam Syafii (dalam Rasyid, 1976: 129) beliau menerangkan; seorang yang
saya percayai telah mengabarkan kepada saya bahwa bang Jum'at itu di masa
Nabi s.a.w. dan di masa Khalifah pertama dan kedua, dilakukan ketika imam
sedang duduk di atas mimbar, maka setelah KhaIifah yang ketiga ('Usman),
ketika itu orang sudah bertambah banyak, maka disuruh mengadakan bang
sebelum imam duduk di mimbar, kemudian bang yang asal dilakukan pula.
Sejak waktu itu, terjadilah keadaan seperti yang ada sekarang (dua bang).
Berkata Syafi'i: "Atha' telah membantah keterangan yang mengatakan
Usman yang mengadakan bang pertama itu, tetapi sebenarnya, kata 'Atha'
yang mengadakan bang yang seperti itu ialah Mu'awiyah.

D. Sikap terhadap Masalah Khilafiyah

Sikap kita sebagai umat islam dalam menghadapi terjadinya khilafiyah


antara lain:

Yakin bahwa masalah khilafiyah itu wajar dan tidak bisa dihindari
terjadinya. Khilafiyah sudah ada sejak awal mula risalah Islam pertama kali
diturunkan di muka bumi.

Yakin bahwa beda pendapat itu bukan dosa, justru sebaliknya kita jadi
semakin punya khazanah yang kaya tentang ragam alur hukum.

Yakin bahwa khilafiyah itu bukan persoalan yang harus ditangani dengan
sewot dan emosi, melainkan sebuah kewajaran yang manusiawi.

Selama masih ada Quran dan sunnah, sudah pasti muncul perbedaan
pendapat. Karena sejak zaman nabi dan shahabat di mana Quran sedang
turun dan hadits masih diucapkan oleh nabi, sudah ada perbedaan pendapat
di kalangan mereka. Kalau perbedaan pendapat mau dihilangkan, maka
hapus dulu Quran dan sunnah dari muka bumi.

Kita diharamkan merasa diri paling benar dengan pendapat kita. Padahal
kapasitas kita tidak pernah sampai kepada derajat ulama ahli istimbath
hukum.

Kita diharamkan untuk mencaci maki ulama, apalagi sampai menuduh


mereka ahli bidah, hanya lantaran para ulama itu tidak sama pandangannya
dengan apa yang kita pikirkan.

Kita tidak bisa memaksakan manusia untuk berpendapat sesuai dengan


pendapat kita sendiri dengan menafikan, mengecilkan atau malah menghina
pendapat orang lain. Tindakan seperti ini hanya dilakukan oleh mereka yang
jahil dan tak berilmu.

Você também pode gostar