Você está na página 1de 20

AKUNTANSI PERPAJAKAN

AKUNTANSI PERPAJAKAN UNTUK BIAYA


Klasifikasi Biaya dan Kompensasi Kerugian

Disusun oleh:
Kelompok

1. Rakles Candra Nurjanah (145030401111038)


2. Amelya Yustiana Putri` (145030407111027)
3. Shelly Dwidayanti (145030407111047)
4. Dicky Fajar I. (145030407111032)
5. Yeda Agung Habibuna (145030407111025)
6. Dita Ayu Yuniarti (115030407111032)
7. Sabdo Lantip Dwi N (12503040111073)
Kelas: D

PRODI PERPAJAKAN
JURUSAN ADMINISTRASI BISNIS
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Berdasarkan pada pandangan bahwa undang-undang pajak penghasilan mengenai


pemajakan yang berbasis neto (net basis of taxition). Basis tersebut berarti pengeluaran
pajak didasarkan pada penghasilan bruto (gross income) dikurangi dengan pengeluaran-
pengeluaran dan pengurangan lainnya yang di perkenankan oleh undang-undang.

Secara komersial sebagaimana diataur dalam SAK bahwa dalam laporan laba rugi
biaya diakui apabila terjadi penurunan manfaat ekonomis pada masa mendatang
sehubungan dengan penurunan aset atau peningkatan kewajiban yang dapat diukur
dengan modal. Alternatif lainnya, biaya juga diakui dengan mendasarkan pada analisis
hubungan antar biaya yang timbul dan penghasilan tertentu yang diperoleh sehubungan
dengan terdapat beberapa perbedaan perlakuan yang sering menimbulkan koreksi biaya.
Pada bab ini akan disampaikan bagaimana praktik akuntansi komersial ini membahas
masalah biaya yang sekaligus dikaitakan dengan akauntansi pajaknyaserta teknik
mengompensasikan kerugian yang menurut undang-undang perpajakan memang
diperkenankan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Biaya Menurut Undang-Undang Perpajakan?
2. Apa saja Jenis-Jenis Biaya yang Diperkenankan Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan
Bentuk Usaha Tetap untuk Dibebankan sebagai Biaya?
3. Apa saja Jenis-Jenis Biaya yang Tidak Diperkenankan Bagi Wajib Pajak Dalam
Negeri dan Bentuk Usaha Tetap untuk Dibebankan sebagai Biaya?
4. Bagaimana Tata Cara Melakukan Kompensasi Kerugian dan Batas Waktu
Kompensasi?
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Biaya Menurut Undang-Undang Perpajakan
2. Mengetahui Jenis-Jenis Biaya yang Diperkenankan Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri
dan Bentuk Usaha Tetap untuk Dibebankan sebagai Biaya
3. Mengetahui Jenis-Jenis Biaya yang Tidak Diperkenankan Bagi Wajib Pajak Dalam
Negeri dan Bentuk Usaha Tetap untuk Dibebankan sebagai Biaya
4. Mengetahui Tata Cara Melakukan Kompensasi Kerugian dan Batas Waktu
Kompensasi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biaya Menurut Undang-Undang Perpajakan

Saat pengukuran biaya dalam ketentuan perpajakan pada umumnya disesuaikan


dengan cara pencatatan yang dipakai dalam pembukuan perusahaan apakah metode kas
(cash method) atau metode akrual (acrual method).

Apabila menggunakan metode kas maka biaya diakui pada saat pembayaran
sedangkan bagi perusahaan yang menggunakan metode akrual, maka biaya diakui pada
saat terutangnya tanpa memperhatikan pembayaran. Dalam hal pembebanan biaya ini
dilakukan pengaitan (matching) dengan penghasilan yang menggunakan 3 (tiga)
pendekatan, yaitu sebagai berikut:

1. Sebab Akibat (Kausalitas)


Pada pendekatan sebab akibat ini mengaitkan biaya ini secara langsung dengan
penghasilan. Pengakuan biaya sebagai beban dalam periode diakuinya penghasilan.
Contoh konkret yaitu persediaan sebagai penyebab dari hasil penjualan (penghasilan
pada masa mendatang, diakuinya sebagai biaya alokasi harga pokok pada saat
persediaan tersebut dijual).
2. Alokasi Sistematis Dan Rasional
Pada pendekatan ini tidak mengaitkan secara langsung biaya dengan penghasilan
tetapi biaya dialokasikan secara sistematis dan rasional dengan penghasilan atas dasar
masa manfaat. Contoh konkret terletak pada aset tetap, alokasi biayanya segera pada
tahun tersebut sebagai pengurang terhadap penghasilan atau dilakukan penundaan
atau dikurangkan dengan penghasilan di masa mendatang melalui alokasi penyusutan
dan amortisasi.
3. Pengakuan Segera
Pendekatan pengakuan segera ini yaitu terhadap biaya yang dapat dikaitkan dengan
penghasilan melalui pendekatan kesatu atau pendekatan kedua akan dibebankan
segera terhadap penghasilan pada yahun pengeluaran. Sebagi contoh konkret yaitu
biaya pendirian, biaya emisi, dan lain sebagainya.

Untuk tujuan perpajakan, atas dasar pertimbangan penerimaan dan pengaruh


sosial ekonomi, tidak seluruh biaya dapat dikurangkan terhadap penghasilan sehingga
apabila dibandingkan, komponen biaya menurut akuntansi komersial dapat dikoreksi
yang memengaruhi penghasilan.

Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi wajib pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap dibagi dalam dua (2) golongan yaitu sebagai berikut:

1. Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak tidak lebih dari satu (1) tahun.
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari satu (1) tahun merupakan
biaya pada tahun yang bersangkutan misalnya, gaju, biaya administrasi dan bunga,
biaya rutin pengolahan limbah, dan sebagainya.
2. Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari (1) satu tahun.
Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari (1) satu tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi.

Kemudian pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh wajib pajak dapat


puladibedakan sebagai berikut:

1. Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya (deductible expenses)


Pengeluaran yang dapat diebankan sebagai biaya adalah pengeluaran yang
mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang
pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa
manfaatdari pengeluaran tersebut.
2. Pengeluaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (nondeductible expenses)
Pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau tidak dapat
dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang bukan merupakanobjek pajak atau pengeluaran
dilakukan tidak dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang
yang baik. Oleh karena itu, pengeluaran yang melampaui batas kewajaran
dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka pengeluaran tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto.

Pasal 6 Undang-Undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa untuk menghitung


besarnya penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:

1. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan termasuk biaya


pembelian bahan, biaya yang berkenan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah,
gaji, honorarium, bonus gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang,
bungan, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi,
biaya promosi, dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, biaya administrasi, dan pajak kecuali pajak penghasilan:

Biaya di maksud adalah biaya-biaya yang lazimnya disebut dengan biaya sehari-hari
yang di bebankan pada tahun pengeluaran yang diperlukan persyaratan hubungan
langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak. Sebagai contoh, bunga atas pinjaman yang
di gunakan untuk membeli saham atau mengakuisisi saham pendiri tidak dapat
dibebankan sebagai biaya dengan syarat deviden yang diterima bukan objek pajak,
kecuali bunga atas pinjaman tersebut di gunakan untuk melakukan penyertaan
perusahaan yang baru berdiri atau untuk membeli sebagian right issue perusahaan
yang lama berdiri. Bunga pinjaman yang tidak boleh di biayakan akan dikapitalisasi.
Khusus untuk biaya promosi harus memeperhatikan/ membedakan hakikat yang
benar-benar untuk promosi dengan sumbangan. Biaya promosi dan penjualan yang
diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto di atur dengan atau berdasarkan
Peraturan Mentri Keuangan. Pengeluaran pengeluaran untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara pengahsilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh
dibebankan sevagai biaya. Sebagai contoh, PT Aman memperoleh penhasilan bruto
yang terdiri atas:

a. Penghasilan bruto dari usaha Rp300.000.000,00


(Ps. 4 ayat (1)) sebesar
b. Penghasilan bruto lainnya yang bukan Rp200.000.000,00
Merupakan objek pajak (Ps. 4 ayat (3))
Jumlah penghasilan bruto Rp500.000.000,00

Bila di ketahui biaya-biaya yang dbebankan sebesar Rp 250.000.000,00 maka biaya


untuk mendapatkan, menagih dan memelihara pengahsilan dapat dihitung 3/5 x Rp
250.000.000,00= Rp 150.000.000,00.

Hal lainnya seperti bunga atass pinjaman yang digunakan untuk membeli saham tidak
dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang deviden yang diterima tidak merupakan
objek pajak sesuai Pasal 4 ayat 3 huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh
dibiayakan tersebut akan dikapitalisasi sebagai penambahan harga perolehan saham.

2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh aset berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun :
Terdapat pengeluaran pengeluaran untuk memperoleh aset berwujud dan aset tak
berwujud sert pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaatnya melalui
penyusutan untuk aset tak berwujud. Sedangkan terhadap pengeluaran sebagai
pembayaran dimuka seperti pembayaran sewa di muka untuk beberapa tahun,
misalnya 3 tahun, pembebanannya dilakukan melalui alokasi sesuai masa
manfaatnya yaitu selama 3 tahun.
3. Iuran kepada dana pensiun telah tegasdibatasi yaitu yang pendiriannya telah di
sahkan oleh Mentri Keuangan. Oleh karena itu, terdapat iuran dana pensiun
yang pembayarannya kepada dana pensiun di mana pendiriannya tidak atau belum
disahkan oleh Mentri Keuangan tidak diperkenankan untuk dibebankan sebagai
biaya.
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan aset yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk untuk mendapatkan , menagih dan
memelihara pengahasilan. Sering terjadi bahwa penjualan atau pengalihan aset
yang menurut tujuannya semula tidak dimaksudkan dijual atau dialihkan kepada
konsumen, namun untuk dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau dimiliki
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Apabila terjadi
kerugian atas transaksi penjualan atau pengalihan seperti itu , maka kerugian
tersebut boleh dibebankan sebagai biaya. Kerugian karena penjualan atas
pengalihan aset yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan ,
menagih dan memelihara penghasilan, tentu tidak boleh di krangkan dari
pengahsilan bruto.
5. Kerugian selisih krus mata uang asing
Kerugia selisih krus mata uang asing ini diakibatkan adanya fluktuasi krus sehari-
hari, terutama dalam kondisi krisi moneter. Pembebanan selisih krus dilakukan
berdasarkan sistem pembukuan perusahaan yang dianut dengan syarat taat asas
(konsisten) sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia.
Kemungkinan dalam melakukan pembukuan, wajib pajak mendasarkan pada krus
tetap, maka pembebanan kerugian selisih krus dilakukan pada saat realisasi atas
perkiraan mata uang tersebut. Sebaliknya , apabila menggunakan krus tengah
Bank Indonesia atau krus pada akhir tahun. Kerugian selisih krus dibukukan
dalam perkiraan sementara di neraca dan pebebanan secara bertahap sesuai
realisasi mata uang tersebut.
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di indonesia.
Pengeluaran perusahaan untuk penelitian dan pengembangan perusahaan yang
dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi
atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya.
Dengan diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya inilah diharapkan lebih
meningkatkan masalah penelitian dan pengembangan IPTEK agar proses alih
teknologi dapat dipercepat.
7. Biaya beasiswa,magang dan pelatihan
Baya-biaya ini lebih ditekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Oleh karenanyabiaya beasiswa yang di berikan kepada pelajar, mahasiswa dan
pihak lain magang, dan pelatihan diperkenankan untuk di bebankan sebagai biaya
dengan tetap memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan.
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat di tagih, dengan syarat :
a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
b. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat di tagih
kepada Direktorat Jendral Pajak;dan
c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara atau adanya Perjanjian
tertulis mengenai Penghapusan Piutang/Pembebasan Utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus;atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
d. Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf k Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Piutng yang nyata-nyata tidak dapat ditagih diperkenankan untuk dibebankan
sebagai biaya dengan syarat Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya
dalam laporan laba rugi komersial dan telah dilakukan upaya-upaya penagihan
yang maksimal atau terakhir. Pengertian penerbitan umum atau khusus bukan
berarti berskala nasional tetapi dapat pula penerbitan internal asosiasidan
sejenisnya
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
B. Biaya Yang Tidak Boleh Dibebankan
Tidak setiap pengeluaran itu boleh dibebankan sebagai biaya sesuai ketentuan
perundang-undangan perpajakan. Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan
mengatur yaitu untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap tidak boleh dikurangkan, yaitu sebagai berikut:
1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Pengeluaran-pengeluaran seperti tersebut diatas tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan badan yang dibagikan karena pembagian laba tersebut merupakan
bagian dari penghasilan badan yang akan dikenakan pajak sesuai perundang-
undangan perpajakan. Ketentuan inilah sebagai wujud pelaksanaan classical system
yang dianut oleh undang-undang perpajakan. Dengan dasar pemikiran bahwa
perusahaannya dan pemegang saham sama-sama sebagai subjek hukum tetapi
terpisah sehingga terhadap laba yang telah dikenakan pajak pada tingkat badan
apabila selanjutnya dibagikan kepada pemegang saham akan dikenai pajak.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu atau anggota.
Secara akuntansi komersial pun bahwa biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota tidak diperkenankan untuk
dibebankan sebagai biaya. Demikian pula pada akuntansi pajak sebagai contoh
perbaikan rumah pribadi, biaya premi asuransi yang dibayar perusahaan untuk
kepentingan pribadi pemegang saham atau keluarganya, dan lain sebagainya.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tidak
tertagih untuk usaha bank dan sewa dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi,
dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-
syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Dalam praktik akuntansi komersial seperti perbankan atau lembaga keuangan lainnya
termasuk juga leasing dengan hak opsi diperkenankan untuk membentuk cadangan
piutang tidak tertagih. Besarnya cadangan piutang tidak tertagih untuk usaha
perbankan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Dalam akuntansi pajak
sewakerugian dan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibukukan ke dalam
cadangan penghapusan piutang tidak tertagih. Sedangkan kekurangan atau
kelebihan cadangan itu sebagai koreksi Penghasilan Kena Pajak pada akhir tahun.
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali jika dibayar
oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak
yang bersangkutan.
Jenis-jenis pengeluaran diatas tidak diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya
atau pengurangan penghasilan bruto apabila dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi.
Kebalikannya apabila Wajib Pajak Orang Pribadi selanjutnya menerima santunan
asuransi otomatis bukan merupakan objek pajak. Oleh karena itu, perlu diperhatikan
unsur pengecualian bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan di daerah tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 4 ayat (3) huruf d meemberikan penjelasan bahwa penggantian atau imbalan
dalam bentuk natura dan kenikmatan tidak dianggap sebagai objek pajak, dengan
sendirinya tidak boleh dibebankan sebagai biaya bagi si pemberi kerja. Namun
khusus untuk kepentingan daerah tertentu (dikenal dengan daerah terpencil)
diberlakukan berbeda, artinya dapat dibebankan sebagai biaya bagi si pemberi kerja.
Hal ini dimaksudkan guna menunjang kebijakan pemerintah untuk lebih mendorong
pembangunan di daerah. Imbalan dalam bentuk pemberian kepada pegawai berupa
penyediaan makanan dan minuman di tempat kerja untuk seluruh pegawai secara
bersama-sama ataupun pemberian natura yang merupakan keharusan dalam
pelaksanaan pekerjaan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam keamanan, antar
jemput karyawan, serta penginapan awak kapal dan sejenisnya tersebut bukan
merupakan penghasilan yang dikenakan pajak bagi karyawan yang menerimanya.
Tetapi biaya tersebut diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya perusahaan
(pemberi kerja).
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan.
Dapat terjadi di perusahaan adanya pembayaran imbalan yang diberikan kepada
pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa
sehubungan dengan pekerjaan. Pengeluran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya
asalkan jumlahnya wajar sesuai kelaziman usaha yang sering disebut dengan sound
business practices. Sebagai contoh seorang tenaga ahli itu sebagai pemegang saham
dari perusahaan dengan imbalan sebesar Rp8.000.000,00. Ternyata jasa yang sama
diberikan oleh tenaga ahli lainnya yang mempunyai keahlian yang sama dibayar
Rp3.000.000,00 dianggap tidak wajar. Selisihnya sebesar Rp5.000.000,00 dapat
dianggap sebagai dividen atau disebut constructive dividend.
7. Harta yang dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil (termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan) serta
bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima
zakat yang berhak. Zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib
Pajak Orang Pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, sepanjang tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-
pihak yang bersangkutan serta warisan.
8. Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutamg oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan. Dalam penentuan tarif pajak terdapat teori yang
dikenal dengan rate of tax reckoned on a tax-inclusive basis, yang berarti tarif
pajak diterapkan atas penghasilan termasuk pajak itu sendiri. Teori ini dianut oleh
undang-undang Pajak Penghasilan, sehingga apabila terdapat penghasilan badan
Rp50.000.000,00 dianggap belum dikurangi pajak atau dengan kata lain Pajak
Penghasilan merupakan bagian dari penghasilan tersebut. Dalam praktik akuntansi
komersial Pajak Penghasilan tidak dianggap sebagai biaya dan dengan demikian tidak
mengurangi Penghasilan Kena Pajak.
9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya.
Dalam praktik auntansi komersial dikenal bahwa perlu dibedakan antara pengeluaran
untuk memperoleh penghasilan atau business expenditure dengan pengeluaran yang
dapat dikategorikan sebagai business expenditure yang diperkenankan untuk
dibebankan sebagai biaya.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan, serta sanksi pidana

C. Klasifikasi Biaya Sesuai Aturan Pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan

Klasifikasi atau penetapan biaya yang diperkenankan untuk dibebankan dan biaya
yang tidak diperkenankan untuk di bebankan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 dan
Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan seperti yang telah dijelaskan, umumnya
diikuti pula dengan aturan pelaksanaannya dengan bentuk Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri Keuangan, atau Peraturan direktur Jendral Pajak. pada bagian ini akan
disampaikan beberapa aturan pelaksanaan dimaksud yang aplikasinya dalam bentuk
latihan soal.

1. Biaya Program Jamsostek (Integrasi BPJS Kesehatan)


Dalam program Jamsostek berkaitan dengan pembayaran premi atau iuran:
a. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
Besarnya premi yang dibayarkan oleh perusahaan dapat dibebankan dan bagi
karyawan sebagai penghasilan ssehingga sebagai objek PPh Pasal 21. Sedangkan
karyawan atau keluarga penerima penggantian pengobatan atau santunan yang
diterima kelurga bukan objek PPh pasal 21.
b. Jaminan Hari Tua (JHT)
Besarnya premi yang dibayar perusahaan dapat dibebankan sebagai
biaya/pengurangan penghasilan bruto dan bagi karyawan bukan merupakan objek
PPh pasal 21. Karyawan yang menerima pesangon merupakan penghasilan objek
PPh pasal 21 yang penanganannya bersifat final.
2. Biaya Pengobatan
Pembebanan biaya pengobatan ini perlu diperhatikan cara pembayarannya, yaitu ;
a. Biaya pengobatan karyawan yang dibayar perusahaan langsung ke rumah sakit
atau dokter dan apotek, pembayaran tersebut sebagai pemberian kenikmatan
sehingga tidak boleh dibiayakan dan bukan objek PPh pasal 21 bagi penerimanya.
b. Biaya penggantian pengobatan, pemberian tunjangan pengobatan, uang
pengobatan, sebagai biaya yang dapat dikurangkan terhadap penghasilan bruto
dan objek PPh pasal 21.
3. Biaya Rekreasi dan Olahraga
Biaya ini juga dianggap sebagai kenikmatan karyawan, sehinggan tidak boleh
dibebankan dan bukan objek PPh pasal 21.
4. Biaya Perumahan
Biaya perumahan/sewa rumah tidak diperkenankan untuk dibebankan tetapi
dikecualikan apabila karyawan yang bersangkutan diberikan tunjangan sewa rumah.
5. Biaya Kendaraan Dinas
Untuk biaya kendaraan dinas sebagai kendaraan operasional yang tidak dibawa
pulang, segala biaya yang melekat pada kendaraan seperti penyusutan, pemeliharaan,
dan lain-lain boleh dibebankan ke perusahaan. Kendaraan bus dan sejenisnya untuk
antar-jemput karyawan (tidak termasuk sedan) biaya penyusutannya termasuk
kelompok 2 boleh dibebankan ke perusahaan. Namun untuk kendaraan termasuk
sedan yang digunakan karyawan tertentu karena jabatannya dan dibawa pulang oleh
karyawan yang bersangkutan, pembebanannya diperkenankan hanya lima puluh
persen yang mjulai berlaku 18 April 2002 (kep. 220/PJ./2002). Penyusustan aset
tersebut dalam kelompok 2.
6. Telepon Seluler Karyawan
Mengikuti kep.220/PJ./2002 yang diberlakukan mulai 18 April 2002, terhadap
telepon seluler yang dimiliki dan digunakan perusahaan pegawaitertentu karena
jabatan atau pekerjaannya, pembebanan biaya yang diperkenannkan adalah biaya
penyusustan sebesar 50% dengan kelompok 1. Sedangkan untuk biaya pulsa,
pembebanannya diperkenankan juga 50%.
7. Sesuai dengan pasal 3 PP No. 138 tahun 2000, yaitu Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan berdasarkan pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN dan PPnBM dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali :
a. Pajak masukan sesuai pasal 9 ayat (8) huruf f dan huruf g Undang-undang PPn
dan PPnBM, sepanjang tidak dapat dibuktikan bahwa pajak masukan tersebut
benar-benar telah dibayar;
b. Pajak masukan diperkenankan dengan pengeluaran yang tidak dikurangkan
dalam menentukan pesarnya penghasilan kena pajak sesuai dengan pasal 9 ayat
(1) UU Pajak penghasilan.
8. Pajak masukan (PP No. 138 tahun 2000) diperkenankan sebagai pengurang dengan
penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) sehubungan dengan
pengeluaran untuk memperoleh aset berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sesuai pasal 11 dan pasal 11A Undang-Undang
Pajak penghasilan, yang terlebih dahulu harus dikapitalisasi dengan pengeluaran
tersebut dan dibebankan melalui penyusustan atau amortisasi.
9. Pasal 4 PP No. 138 tahun 2000 yaitu pengeluaran dan biaya yang tidak boleh
dikurangkan dalam menghitung besarnya penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam
negeri dan Bentuk Usaha Tetap termasuk :
a. Biaya untuk mendapatkan, ,menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan
merupakan objek pajak;
b. Biaya u tuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan
pajaknya bersifat final;
c. Biaya yang mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
diekanakan pajak berdasarkan Norma Perhitungan penghasilan neto sebagaiman
dimaksdukan dalam pasal 14 dan Norma Perhitungan Khusus sebagaiman
dimaksudkan dalam pasal 15 Undang-Undang Pajak penghasilan;
d. Pajak penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) Undang-undang
Pajak Penghasilan tetapi tidak termasuk deviden sepanjang Pajak Penghasilan
tersebut ditambahkan kedalam perhitungan dasar untuk pemotongan pajak.
e. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan digunakan dalam usaha
atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan objek pajak.
10. Pemberian natura atau kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan
dapat dibebankan dan bukan merupakan objek PPh Pasal 21. Sesuai Keputusan
Menteri Keuangan No. 466/KMK.04/2000 dan Keputusan Direktur Jendral Pajak No.
Kep. 213/PJ/2001 yang perlu diperhatikan adalah daerah terpencil.
Harus mendapat persetujuan dari Direktur jendral Pajak, dengan melihat :
a. Tempat tinggal termasuki perumahan bagi pegawai dan keluarganya, epanjang
dilokasi kerja tidak ada tempat tinggal yang dapat disewa.
b. Pelayanan kesehatan, sepanjang di lokasi kerja tersebut tidak ada sarana
kesehatan.
c. Pendidikan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang dilokasi kerja tersebut tidak
ada sarana pendidikan yang setara.
d. Pengangkutan bagi pegawai dilokasi kerja, sedangkan untuk keluarga terbatas
pada kedatanagn pertama dan kepergian pegawai karena terhentinya hubungan
kerja.
e. Olahraga bagi pegawai dan keluarganya tidak termasuk boling, golf, atau pacuan
kuda sepanjang tidak tersedia sarana dimaksud.
11. Biaya entertaiment, Representasi, jamuan tamu, dan sejenisnya kecuali SE-
27/PJ.22/1986 tidak diperkenankan untuk dibebenkan, tetapi apabila di bebenkan
disyaratkan adanya daftar nominatif (bukti) yang dilampirkan dalam SPT tahunan
PPh.
12. Pajak daerah dan retribusi daerah dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung
penghasilan kena pajak sepanjang memenuhi sayarat yang memenuhi ketentuan
Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah;
berkaitan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan tidakbersifat final dan/atau tidak berdasarkan norma perhitungan
penghasilan neto; dan tidak termasuk sanksi berupa bunga, denda, dan atau kenaikan.
D. Kompensasi Kerugian
Terdapat dua macam kompensasi kerugian yaitu:
1. Kompensasi Horizontal
Kompensasi ini diterapkan apabila wajib pajak dalam tahun pajak yang bersamaan
memperhitungkan kompensasinya antara penghasilan suatu bidang usaha dengan
princian dan bidang usaha lainnya.
2. Kompensasi Vertikal
Dalam kompensasi vertikal ini dilakukan yaitu dengan jalan wajib pajak untuk
mengompensasikan penghasilan suatu tahun pajak dengan kerugian tahun
sebelumnya. Undang-undang pajak penghasilan menganut kompensasi vertikal.

Apabila penghasilan bruto dari wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
setelah dilakukan pengurangan-pengurangan sesuai dengan pengeluaran-pengeluaran
yang diperkenankan seperti diatas didapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat
dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama lima tahun berturut-
turut dimulai darai tahun pajak berikutnya sesudah tahun didapatkan kerugian tersebut.

Contoh:

Pada tahun 2009, PT A menderita kerugian fiskal sebesar Rp. 1.200.000.000,00. Dalam
lima tahun berikutnya laba (rugi) fiskal PT. A sebagai berikut:

2010 Laba Fiskal Rp. 200.000.000,00

2011 Rugi Fiskal Rp. (300.000.000,00)

2012 Laba Fiskal NIHIL

2013 Laba Fiskal Rp. 100.000.000,00

2014 Laba Fiskal Rp. 800.000.000,00

Kompensasi Kerugian dilakukan sebagai berikut:

Rugi Fiskal Tahun 2009 (1.200.000.000,00)

Laba Fiskal Tahun 2010 200.000.000,00 (+)


Rugi fiskal tahun 2011 (300.000.000,00)

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (1.000.000.000,00) *

Lab fiskal tahun 2011 NIHIL

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (1.000.000.000,00)

Laba fiskal tahun 2013 100.000.000,00 (+)

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (900.000.000,00)

Laba fiskal tahun 2014 (800.000.000,00) (+)

Sisa rugi fiskal tahun 2009 (100.000.000,00)

*tidak ditambahkan

E. Akuntansi Perpajakan

Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang
masih tersisa pada akhir tahun 2014, tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal
tahun 2011. Sedangkan rugi fiskal 2011 sebesar Rp. 300.000.000,00 hanya boleh
dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu 5
tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.

Kompensasi ini hanya diberlakukan apabila wajib pajak menyelenggarakan pembukuan.


Dalam praktik akuntansi komersial, kompensi kerugian vertikal ini dilakukan secara
otomatis yaitu dalam akun saldo laba karena hasil operasi akhir tahun (penghasilan
setelah pajak) selalu di lakukan ke akun saldo laba. Sementara akuntansi pajak perlu
diperhatikan bahwa perhitungan laba fiskal berada diluar ekstra komtbale (di luar jalur
pembukuan). Sebenarnya cara akuntansi komersial itulah lebih sederhana.

Bagi perusahaan yang mempunyai cabang-cabang di luar negeri, sesui penjelasan pasal 4
Undang-Undang Pajak Penghasilan, tidak dapat mengonsolidasikan kerugian yang di
derita cabang luar negeri ini selalu dikenakan pajak tanpa memperhitungkan kerugian.
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi atau sumber daya berupa barang
dan jasayang di ukur dalam satuan uang dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang
bisa meningkatkan laba di masa yang akan datang.

Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi wajib pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap dibagi dalam dua (2) golongan yaitu sebagai berikut:

1. Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak tidak lebih dari satu (1)
tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari satu (1) tahun
merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan misalnya, gaju, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah, dan sebagainya.
2. Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari (1) satu tahun.
Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari (1) satu tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Waluyo., 2012.,Akuntansi Pajak.,Jakarta.,Salemba Empat

Você também pode gostar