Você está na página 1de 11

Affirmative Action in The Australian Labor Party (ALP):

Quotas for Women

Nungky Kusumawardhani. 1306384454


FISIP UI. Depok, 2015

Abstract
This paper highlight the quota of women in affirmative action ALP.
For too long the ALP have allowed the concept of affirmative action
earlier than Liberal Party. In the ALP constitution stated that ALP
is committed to men and women in the Party working in equal
partnership. Its important to see the ALP women in parliament of
Australia. This paper also highlight the role of Emilys List Australia
to affirmative action ALP.

Keywords: the ALP, women, affirmative action, quota

Bab 1. Pendahuluan

Pemilu telah diakui di seluruh dunia sebagai arena demokrasi perwakilan sekaligus
sebagai simbol terjadinya sirkulasi pergantian kekuasaan yang dilakukan secara berkala.
Menurut teori demokrasi minimalis (Schumpetrian), Pemilu merupakan sebuah arena yang
mewadahi kompetisi (kontestasi) antara aktor politik untuk meraih kekuasaan; partisipasi
politik rakyat untuk menentukan pilihan; liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga
negara1. Diskursus affirmative action dalam negara demokrasi semakin berkembang.
Namun dalam situasi yang serba multikultural, demokrasi memiliki kecenderungan untuk
melakukan pengabaian (eksklusi) terhadap kelompok-kelompok tertentu. Untuk itu-lah
affirmative action hadir dan menjadi sarana untuk memperoleh kesempatan bagi mereka
yang termarginalisasi oleh konsep universalitas individu. Dalam pemahaman ini warga
1Robert A. Dahl. Polyarchy: participation and Opposition.(New Haven: Yale
University Press.1971) hal 2. dan Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin
Lipset (eds). Democracy in Asi.(Boulder, Colorado: Lynne Rienner, 1989), hal
xvi atau Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds). Political
and developing Countries: Comparing Experience with Democracy. (Boulder,
Colorado: Lynne Rienner, 1990). Hal 6-7.

1
negara selalu dianggap memiliki kesamaan yang umum (have in common similiarity).
Sehingga demokrasi selalu mengandaikan bahwa semua warga Negara harus diperlakukan
secara sama (equal treatment). Padahal tidak semua warga negara berdasarkan sejarah dan
identitas, menempuh pengalaman yang sama dalam memaknai sesuatu, seperti halnya
demokrasi2.

Affirmative action dapat digambarkan sebagai sebuah peluang bagi perempuan dan
kelompok minoritas lainnya untuk mencapai kesetaraan. Istilah affirmative action
mengacu pada tujuan untuk mempromosikan akses terhadap pekerjaan maupun pendidikan
antara kelompok masyarakat yang secara historis kurang terwakili. Sistem kuota adalah
salah satu bentuk dari kebijakan afirmatif3. Di Australia, representasi perempuan dalam
parlemen sudah tidak diragukan lagi. Perempuan duduk di kursi parlemen sederajat dengan
laki-laki, memperjuangkan kepentingan mereka serta ikut andil dalam proses perumusan
kebijakan. Di Australia juga, perempuan telah menduduki posisi-posisi penting di
pemerintahan.

Australia saat ini menduduki peringkat 42 dalam daftar Parliamentary Union International
perempuan di parlemen nasional, berdasarkan angka yang menunjukkan bahwa anggota
perempuan membentuk 27% dari House of Representatif dan 38% dari Senat. Menurut
IPU, 30% keterwakilan perempuan adalah patokan minimum untuk partisipasi yang sama.
Rwanda tetap di bagian daftar paling atas, dengan perempuan yang membentuk 58% dari
parlemen sejak tahun 2013 (64% dari Lower House). Konstitusi Rwanda 2003
mensyaratkan bahwa kedua jenis kelamin akan menempati tidak kurang dari 30 persen dari
posisi pengambilan keputusan.

2 Andri Rusta, Tengku Rika Valentina, Nicky Nia Gustriani. AFFIRMATIVE ACTION
UNTUK DEMOKRASI YANG BERKEADILAN GENDER PADA PEMILU 2009
http://repository.unand.ac.id/584/1/...ANDRI_RUSTA_2009.doc (Diakses pada
26/10/2015 pukul 10.35)

3Ainslie van Onselen. It's Time: Women & Affirmative Action in the Liberal Party. 2008.
Australian Institute of Policy and Science. Hlm. 1 http://www.jstor.org/stable/20638564
(Diakses pada 24/10/2015 pukul 9.15)

2
Apabila menengok sejarah affirmative action di Australia tentu tidak bisa
dilepaskan dari ALP. Pada tahun 1994 ALP pertama kali memperkenalkan konsep
affirmative action dengan menerapkan sistem kuota bagi perempuan untuk dapat
berpartisipasi dalam partai. Sepak terjang ALP dalam memperkenalkan konsep affirmative
action sudah jauh lebih dulu ketimbang partai Liberal. Hal ini tentu saja dapat menjadi
poin plus bagi ALP dalam memperjuangkan perempuan untuk masuk ke dalam
pemerintahan. Oleh karenanya penting untuk melihat perempuan ALP dalam parlemen
sehingga penting untuk mengetahui:

Bagaimana kuota perempuan dalam affirmative action ALP ?

Bab 2. Kerangka Konseptual

Affirmative Action dan sistem kuota - Kalliope Migirou, (1999)


Sebenarnya tindakan affirmative terhadap perempuan merupakan sebagai suatu
pemahaman kita terhadap persoalan politik perempuan yang intinya adalah bukan untuk
menguasai, saling menjajah ataupun saling menjegal. Tujuan utamanya adalah untuk
membuka peluang bagi perempuan agar mereka sebagai kelompok yang selama ini
termarginalisasi bisa terintegrasi dalam kehidupan publik secara adil. Affirmative action
disini bisa kita jadikan sebagai alat penting untuk mempertahankan paling tidak kuota 30%
perempuan agar tetap berada pada tingkat pembuatan keputusan sehingga bisa
meminimalisir aturan-aturan yang tidak sah untuk mencapai kesetaraan gender4.

Sistem Kuota - Melanie Reyes, (2000)

Melanie Reyes, salah satu peneliti dari centre for legislative development, menurut
Melanie Reyes sistem kuota adalah sebuah pilihan antara mendapatkan kutukan atau
anugerah5. Sistem kuota memiliki beberapa makna yaitu:

4Kalliope Migirou, (1999). Menuju implementasi efektif mengenal legislasi dan


hak azazi perempuan internasional. Hal 26. Dalam Nadezhda Shvedovan
(1999) . kendala terhadap partispasi perempuan dalam parlemen. Dalam Azza
Karam dkk. (eds). Perempuan parlemen bukan sekedar jumlah, bukan sekedar
hiasan (terj). Jakarta: YJP dan IDEA.hal 24.

3
(1) Sistem kuota pada dasarnya meletakan persentase minimum bagi kedua jenis
kelamin yakni laki- laki dan perempuan, untuk memastikan adanya
keseimbangan posisi dan peran gender dari keduanya dalam dunia politik, atau
khususnya dalam pembuatan keputusan.
(2) Sistem kuota dimaknai sebagai pemeberian kesempatan dengan memaksakan
sejumlah pesentase tertentu pada keleompok tertentu (perempuan) sistem
kuota ini pada dasarnya tidak memiliki basis hukum yang kuat alias tidak
konstitusional. Belum lagi pernyataan yang menyatakan bahwa sistem kuota
bertentangan dengan hak- hak azazi manusia (baca: mendiskriminasi laki), dan
bahkan merendahkan kemampuan perempuan itu sendiri.

Bab 3. Analisis dan Pembahasan

Komitmen ALP untuk Affirmative action

Sejarah Australia Labor Party (ALP) atau partai buruh Australia selain sebagai
partai politik tertua dan masih terus aktif di Australia, melainkan juga tentang sejarah divisi
internal dan perpecahan. Perpecahan ALP membuka efek jangka panjang yang terbagi ke
dalam tiga periode: Pada tahun 1916, di awal 1930-an dan pertengahan 1950-an. Masing-
masing merusak elektoral partai, dibantu sisi politik non-Buruh, dan membawa ketegangan
yang berlangsung lama6. Terlepas dari berbagai masalah internal maupun ancaman
perpecahan, ALP berkomitmen untuk memperjungkan perempuan lewat affirmative action.

Representasi perempuan dalam parlemen Australia terjadi dua dekade setelah


pengenalan pertama aturan affirmative action oleh ALP pada tahun 1994. Laporan ini telah
disusun oleh EMILY List, yang didirikan pada tahun 1996 oleh sekelompok Buruh wanita
progresif yang erat terlibat dalam kampanye untuk memperkenalkan affirmative action.

5 Melanie Reyes et all. (2000). The quota system : Womens Boon or bane?
The centre for legislative development. Vol 1, No3, April 2000.

6 Australia Political Parties: The Search Engine of Representative Democracy


dalam Chusnul Mariyah dan Nur Alia Pariwita (ed.), Reading Kit Politics in
Australia, FISIP UI. Chapter 5

4
Untuk mewujudkan affirmative action ALP melakukan perubahan struktural. Joan Kirner,
Carmen Lawrence, Meredith Burgmann, Jan Burnswoods, Kay Setches, Cheryl Davenport,
Judy Spence, Carolyn Pickles, Sue Mackay and Fran Bladel joined emerging labor women
leaders Julia Gillard, unionist Helen Creed, assistant ALP national secretary Landy Broad
and community advocate Leonie Morgan, to make structural change within the ALP 7.
Menyadari bahwa perubahan struktural pada Landasan ALP tidak akan menjamin
kesetaraan dalam partai, mereka mulai menciptakan perubahan budaya. EMILY List, yang
tetap hanya menjadi jaringan politik, keuangan dan dukungan pribadi Australia, disiapkan
untuk mengupayakan kandidat yang berasal dari Buruh wanita progresif. Status dari
Womens Report menunjukkan bahwa sistem kuota ALP telah berjalan dengan sukses. Hal
ini telah meningkatkan representasi perempuan ALP dari satu digit di awal tahun 1990-an
menjadi 43% saat ini. Kendati demikian laporan tersebut juga menunjukkan bahwa masih
banyak yang harus dilakukan oleh ALP. Keseluruhan keterwakilan perempuan ALP di
parlemen berdiri di angka lebih dari 30%, sedangkan perempuan dari Partai Liberal masih
berjuang untuk perwakilan dengan tidak adanya kuota di partai mereka sendiri. Pun masih
ada hambatan bagi perempuan yang berpartisipasi dalam ALP. Mengingat adanya fakta
bahwa ALP tidak memiliki perempuan di Negara / Wilayah atau Sekretaris Nasional yang
tetap menjadi masalah bagi partai8.

Australian Labor Party (ALP) sudah sejak lama memperkenalkan kebijakan affirmative
action. ALP telah lebih dulu menjadi partai yang menerima konsep affirmative action
ketimbang partai liberal. Sejak memperkenalknan affirmative action ALP memperoleh
suara yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Juga, ALP memperoleh suara perempuan
yang lebih besar dalam Pemilu apabila dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya,

7
http://www.emilyslist.org.au/images/stories/pdf/Publications/elhousebound2015
.pdf

8Status of Women Report 2015 by Emilys List Australia.


http://apo.org.au/files/Resource/elsowreport2015v2.pdf (Diakses pada 25/10/2015
pukul 12.21)

5
hanya pada saat ketika Mark Latham memimpin, ALP memperoleh hasil yang buruk
diantara pemilih perempuan.

Keputusan dan komitmen ALP untuk memperkenalkan kuota keterwakilan gender di


parlemen telah meningkatkan jumlah perempuan mereka pra-pemilihan. Pada tahun 1982
ALP memperkenalkan kuota untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di tingkat
organisasi partai, kemudian pada tahun 1994 menindaklanjuti perubahan dengan
mengadopsi sistem kuota untuk parlemen. Konferensi Nasional ALP menyatakan bahwa
pada tahun 2000, 35% dari calon terpilih untuk kursi yang dapat dimenangkan harus-lah di
isi oleh perempuan. Setelah mencapai target, ALP tidak berhenti sampai di sana. Sebuah
resolusi baru telah dicanangkan oleh ALP dengan menargetkan kuota perempuan sebesar
40% pada tahun 20129. Pun, tidak hanya sampai disitu, idealisme ALP kini menginginkan
kuota perempuan sebesar 50% pada 2020. Alasan peningkatan kuota hingga 50% ini
dikarenakan bahwa kuota 40% tidak sama atau sederajat10.

Peran Emilys List dalam Affirmative Action ALP

Bukan hanya ALP yang menginginkan kuota 50% perempuan, ALP juga
terintegrasi dengan Emilys List Australia. Anggota Emily List (EL) sejak awal memang
terintegrasi dengan affirmative action ALP ke dalam platform nasional ALP pada tahun
1994. Dampak positif dari upaya Emilys List untuk meningkatkan keterwakilan
perempuan ALP progresif juga telah diakui oleh laporan PBB 2012, yang mengatakan
bahwa ini telah menunjukkan bagaimana kombinasi strategi terpadu dapat membawa
tentang kepemimpinan politik meningkat perempuan dan kebijakan yang sensitif gender.
Laporan ini juga menemukan fakta bahwa, setelah meningkatkan jumlah anggota parlemen
perempuan ALP, Buruh fokus pada kesehatan dan pendidikan program perempuan, hukum
kekerasan anti-domestik, cuti dan membayar undang-undang ekuitas telah mengubah

9 Ibid. Hlm. 6

10Sebuah status laporan perempuan dari Emilys List menyimpulkan bahwa target
40% afimatif nasional ALP ini telah memainkan peran penting dalam meningkatkan
jumlah anggota parlemen perempuan dalam beberapa tahun terakhir. But, 40 %
its not equal, katanya. http://apo.org.au/files/Resource/elsowreport2015v2.pdf
(Diakses pada 24/10/2015 pukul 9.15)

6
persepsi untuk kebijakan sosial mengenai isu-isu perempuan dengan relevansi untuk
semua masyarakat Australia. Pada 2015, Emilys List dan Labor womens Network akan
menjadi ujung tombak dalam upaya untuk meyakinkan ALP untuk meresmikan semua pra-
pemilihan yang dibagi sama antara laki-laki dan kandidat perempuan. Ini mengikuti
gerakan bulat di 2014, konferensi perempuan tenaga kerja Nasional menyerukan partai
untuk bekerja menuju representasi 50% perempuan dalam semua bidang pengambilan
keputusan, termasuk di sekretariat / wilayah nasional dan Negara bagian dan kabinet.
Alasan kuota 50% adalah seperti yang sudah dijelaskan bahwa 40% dianggap tidak equal.

Perempuan ALP dalam Parlemen

Sumber : Status of Women Report 2015 by Emilys List Australia.

7
Berbicara mengenai affirmative action tentunya dapat dilihat dari representatif
perempuan di dalam parlemen. ALP terlihat memiliki pencapaian, pada tahun 1994, target
awal dari perempuan yang terpilih di 35% dari semua negara dan kursi federal dapat
dimenangkan pada tahun 2002, target ini kemudian diubah menjadi 40% pada tahun 2012
setelah kampanye yang melibatkan EL, anggota parlemen Sharryn Jackson, Penny Wong,
Julia Gillard, Jenny Macklin, Trish Crossin, Sue Mackay dan Carmen Lawrence dan
pemimpin serikat Helen Creed dan Sharan Burrow. Target ini membantu dalam
meningkatkan proporsi perempuan Tenaga Kerja federal dari 14,5% pada tahun 1994
menjadi 38,2% pada 2015. Pemilu Victorian 2014 menunjukkan hasil wanita mengalami
kenaikan menjadi 47% dari ALP Kaukus dan 41% dari Kabinet. Dengan semua sembilan
menteri yang berasal dari dalam Daftar EL. Salah satu pencapaian terbesar ALP dan EL
dalam perjuangan affirmative action mereka ialah Julia Gillard yang menjadi Perdana
Menteri perempuan pertama Australia. Kemudian Anna Bligh yang merupakan Premier
pertama Queensland.

8
Sumber: Women in Parliament Western Australian Parliamentary Library May 2013

ALP selalu memperoleh kursi perempuan terbesar dalam parlemen jika dibandingkan
dengan partai lainnya. Hal ini dapat menjadi indikator dari keberhasilan affirmative action
ALP di Australia. Pada tahun 2013, hanya pada parlemen Tasmania ALP memperoleh
jumlah kursi yang beda tipis dengan Partai Liberal.

9
Kesimpulan

Dapat dipahami bahwa affirmative action dalam ALP telah memenehui kuota
minimum 30% perempuan agar tetap berada pada tingkat pembuatan keputusan sehingga
bisa meminimalisir aturan-aturan yang tidak sah untuk mencapai kesetaraan gender.
Bahkan lebih dari itu mengingat pada tahun 2012 ALP mencanangkan kuota 40% bagi
perempuan. Tidak berhenti sampai disitu, idealisme ALP kini menginginkan kuota
perempuan sebesar 50% pada 2020. Alasan peningkatan kuota hingga 50% ini dikarenakan
bahwa kuota 40% tidak sama atau sederajat. Jika itu benar terjadi dikemudian hari, maka
proporsi antara perempuan dan laki-laki adalah 50:50. Maka baik perempuan maupun laki-
laki memiliki kuota yang benar-benar seimbang dan mencapai kata kesetaraan. Hematnya,
sistem kuota ALP berfungsi untuk memastikan adanya keseimbangan posisi dan peran
gender dari keduanya dalam dunia politik, atau khususnya dalam pembuatan keputusan.
Kesuksesan affirmative action ALP tidak terlepas dari campur tangan Emilys List
yang telah lama berafiliasi dan bekerja sama dengan ALP untuk membantu perempuan
duduk di kursi parlemen. Banyak juga dari anggota ALP yang juga merupakan bagian dari
EL sehingga kedekatan antara keduanya tidak diragukan lagi.

10
Daftar Pustaka

A. Dahl , Robert. (1971). Polyarchy: participation and Opposition. New Haven: Yale
University Press (1990). Political and developing Countries: Comparing
Experience with Democracy. Boulder, Colorado: Lynne Rienner.

Migirou, Kalliope. (1999). Menuju implementasi efektif mengenal legislasi dan hak azazi
perempuan internasional.

Reyes, Melanie et all. (2000). The quota system : Womens Boon or bane? The centre for
legislative development. Vol 1, No3, April

Chusnul Mariyah dan Nur Alia Pariwita (ed.), Reading Kit Politics in Australia, FISIP UI.

Andri Rusta, Tengku Rika Valentina, Nicky Nia Gustriani. AFFIRMATIVE


ACTION UNTUK DEMOKRASI YANG BERKEADILAN GENDER PADA
PEMILU 2009. 2009
http://repository.unand.ac.id/584/1/...ANDRI_RUSTA_2009.doc (Diakses pada
26/10/2015 pukul 10.35)
Ainslie van Onselen. It's Time: Women & Affirmative Action in the Liberal
Party. 2008. Australian Institute of Policy and Science.
http://www.jstor.org/stable/20638564 (Diakses pada 24/10/2015 pukul 9.15)
Status of Women Report 2015 by Emilys List Australia.
http://apo.org.au/files/Resource/elsowreport2015v2.pdf (Diakses pada 25/10/2015
pukul 12.21)
Women in Parliament Western Australian Parliamentary Library May 2013
http://www.parliament.wa.gov.au/intranet/libpages.nsf/WebFiles/FACTSHEETS+
SN+08+WOmen+in+Parliament+2013+May+updated+9+april/
$FILE/FACTSHEETS+SN+8+Women+in+Parliament+2013+May+updated+9+a
pril.pdf (Diakses pada 24/10/2015 pukul 9.15)
http://apo.org.au/files/Resource/elsowreport2015v2.pdf (Diakses pada 24/10/2015 pukul
9.15)

11

Você também pode gostar