Você está na página 1de 4

9.

5 ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILE

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak Etiologi


pembuluh darah di nasofaring yang secara histologik Penyebab angiofibroma nasofaring belum
jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai diketahui secara jelas. Beberapa teori dikemukakan
kemampuan mendestruksi tulang dan jaringan oleh para ahli, diantaranya teori jaringan asal dan
sekitarnya. Penyebaran dapat ke sinus paranasal, pipi, teori hormonal.
mata, dan tengkorak serta sangat mudah berdarah
yang sulit dihentikan. Teori jaringan asal
Secara histopatologik tumor ini mengandung Pertama kali diperkenalkan oleh Verneuil
2 unsur, yakni jaringan ikat fibrosa dan pembuluh yang diikuti oleh Bensch tahun 1878. Ia menduga
darah. Dinding pembuluh darah disini tidak bahwa tumor terjadi karena pertumbuhan yang
mempunyai jaringan ikat elastis ataupun otot, abnormal dari jaringan fibrokartilago embrionik di
sehingga bila disentuh akan mudah terjadi perdarahan daerah occipital.
yang hebat. Yang dianut sekarang adalah teori yang
Hippocrates mendiskripsikan tumor ini pada dikemukakan oleh Nell. Tempat perlekatan spesifik
abad ke 5 sebelum masehi, tetapi Friedberg yang angiofibroma nasofaring adalah di dinding postero
pertama kali menggunakan terminologi angiofibroma lateral atap rongga hidung, tempat prosesus spenoid
pada tahun 1940. Terminologi lain yang dipakai palatum bertemu dengan ala horizontal dari vomer
adalah nasopharyngeal fibroma, fibro angioma, dan dan akar prosesus pterigoideus tulang spenoid.
bleeding fibroma of adolescence. Teori hormonal
Angiofibroma nasofaring ditegakkan Faktor ketidak seimbangan hormonal juga
berdasarkan gejala klinis dan radiologi. Trias gejala banyak dilaporkan sebagai penyebab, terjadi
klinis adalah obstruksi hidung menahun, epistaksis kekurangan androgen atau kelebihan estrogen.
berulang, dan rinorea menahun. Anggapan ini didasari atas adanya hubungan erat
Tindakan operasi merupakan pilihan utama antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak
dengan penyulit perdarahan hebat saat operasi. ditemukan pada anak atau remaja laki laki.
Pengobatan lain seperti terapi hormonal, radiasi, atau
sitostatika dilakukan jika tumor inoperabel atau Patogenesis
diberikan sebelum operasi untuk mengecilkan tumor Angiofibroma pertama kali tumbuh di
dan mengurangi perdarahan selama operasi. bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral
koana di atap nasofaring. Tumbuh di bawah mukosa
sepanjang atap nasofaring sampai tepi posterior
Kekerapan septum dan meluas ke arah bawah membentuk
Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Ke
1/5000 1/60.000 dari pasien THT, dan hanya 0,05 anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong
persen dari tumor leher dan kepala. Tumor ini septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka.
umumnya terjadi pada laki laki dekade ke 2 antara 7 Perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah
19 tahun. Jarang terjadi pada usia lebih dari 25 foramen spenopalatina, masuk ke fissura
tahun. pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior
Antonelli dkk melaporkan kasus sinus maksila. Bila meluas terus akan masuk ke fossa
angiofibroma nasofaring di Mayo Clinic dari tahun infratemporal yang akan menimbulkan benjolan di
1968 sampai 1985 sebanyak 19 kasus. Ungkanont pipi, dan rasa penuh di wajah. Bila telah mendorong
dkk dalam penelitiannya tahun 1955 sampai 1993 salah satu atau kedua bola mata maka akan tampak
menemukan 43 kasus. Asroel HA melaporkan kasus gejala yang khas pada wajah, yang disebut muka
angiofibroma nasofaring di RSUP H Adam Malik kodok.
sebanyak 11 kasus. Nutrisno dkk melaporkan 25 Perluasan ke intrakranial akan terjadi
kasus periode 1983 1985 di RS Kariadi Semarang. melalui fossa infratemporal dan pterigomaksila
masuk ke fosa serebri anterior atau dari sinus sfenoid
ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.
Histopatologi Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis
Secara makroskopis terlihat massa tumor eksterna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor
yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari yang biasanya berasal dari cabang a maksila interna
abu abu sampai merah muda. Bagian tumor yang homolateral. Pada beberapa keadaan , tumor
terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput mendapat perdarahan dari sistem carotis eksterna
lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang kontralateral, dan sebagian menerima suplai darah
meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu dari sistem carotis interna ipsi dan kontralateral.
abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada Arteri maksilaris interna terdorong ke depan
usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior
banyak komponen fibromanya. Mukosa mengalami ke anterior dan dari nasofaring ke arah fossa pterigo
hipervaskularisasi dan tidak jarang adanya ulserasi. maksila. Selain itu massa tumor akan terisi oleh
Secara mikroskopis tumor terdiri dari dua kontras pada fase kapiler dan akan mencapai
unsur yaitu unsur jaringan ikat fibroma dan unsur maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikan.
pembuluh darah dengan dinding yang tidak Pemerisaan kadar hormonal dan
mempunyai jaringan ikat elastin ataupun otot. Tumor pemeriksaan immunohistokimia terhadap reseptor
yang baru mengandung komponen pembuluh darah estrogen, progesteron, dan androgen sebaiknya
sangat dominan dan sedikit jaringan fibrosa sehingga dilakukan untuk melihat adanya gangguan hormonal.
lebih besar kemungkinan perdarahan. Tumor yang
sudah lanjut tampak banyak mengandung jaringan Klasifikasi1
ikat fibrosa. Dikenal beberapa klasifikasi angiofibroma
nasofaring jouvenil. Yang paling banyak dipakai
Diagnosis adalah klasifikasi Session dan Fisch
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan radiologi. Klasifikasi Session :
Gejala yang paling sering muncul adalah hidung Stadium IA Tumor terbatas pada hidung dan
tersumbat yang progresif dan epistaksis berulang atau nasofaring
yang masif. Adanya obstruksi hidung memudahkan Stadium IB Tumor meluas ke 1 atau lebih sinus
terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul paranasal
rinorea kronis yang diikuti terjadinya gangguan Stadium IIA Perluasan minimal ke fossa
penciuman. Tuba Eustachius akan menimbulkan pterigomaksila
gangguan pendengaran atau otalgia. Sakit kepala Stadium IIB Memenuhi fossa pterigomaksila
terjadi karena sumbatan pada sinus paranasal. dengan atau tanpa erosi tulang
Sedangkan sakit kepala hebat biasanya menunjukan orbita
bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial. Stadium IIC Perluasan ke infratemporal dengan
Pada pemeriksaan rinoskopi akan terlihat atau tanpa pipi
massa yang konsistensinya kenyal, warna dari abu Stadium III Perluasan intrakranial
abu sampai merah muda dan biasanya dilapisi sekret
dan mudah berdarah. Diagnosis pasti ditegakkan dari
pemeriksaan histopatologi jaringan pasca operasi. Sedangkan klasifikasi menurut Fisch
Tindakan biopsi tidak disarankan karena bahaya sebagai berikut :
perdarahan hebat yang akan timbul. Stadum I Tumor terbatas di rongga hidung,
Pada pemeriksaan penunjang radiologi nasofaring tanpa destruksi tulang
konvesional ( foto kepala potongan anteroposterior, Stadium II Tumor menginvasi fossa
lateral dan posisi water ) akan terlihat gambaran pterigomaksila, sinus paranasal
klasik yang disebut sebagai tanda Holman Miller, dengan destruksi tulang
yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke Stadium III Tumor menginvasi fossa
belakang, sehingga fissura pterigo palatina melebar. infratemporal, orbita dengan atau
Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di regio paraselar
daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding Stadium IV Tumor menginvasi sinus
orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring. kavernosus, regio chiasma optik
Pada pemeriksaan CT Scan dengan zat kontras akan dan atau fossa pituitari
tampak secara tepat perluasan massa tumot serta
destruksi tulang ke jaringan sekitarnya. Sedangkan
pada pemeriksaan magnetik resonansi imaging
( MRI ) akan dapat ditentukan batas tumor terutama
yang telah meluas ke intra kranial.
Penatalaksanaan Komplikasi yang mungkin timbul akibat
tindakan pembedahan adalah perdarahan, meningitis,
Pembedahan amaurosis, stenosis duktus lakrimalis, otitis media,
Telah disepakati bahwa pilihan utama untuk dan diplopia. Juga dilaporkan terjadinya kebocoran
penangganan angiofibroma nasofaring adalah cairan serebrospinal, transient oculomotor nerve
tindakan operasi. Selain itu terdapat pilihan terapi palsy, exotropia, dan proptosis.
lain seperti radioterapi, terapi hormonal, sitotastika, Pendekatan transpalatal
dan embolisasi. Pendekatan transpalatal dijelaskan oleh
Tindakan operasi dapat dilakukan dengan Wilson tahun 1951. Pendekatan ini memberikan
beberapa pendekatan yang dibagi atas pendekatan pandangan yang baik ke nasofaring dan akses ke
anterior, lateral, dan kombinasi. Pendekatan anterior spenoid dan koana. Tidak menimbulkan jaringan
adalah pendekatan transnasal, transbuccal, parut serta memberikan hasil penyembuhan yang
transmaksila, pendekatan nasomaksila, transfaringeal, baik. Pendekatan ini dipakai untuk pengangkatan
dan transmandibula. tumor yang terbatas pada nasofaring, kavum nasi dan
Pendekatan lateral termasuk transzigoma sinus spenoid. Insisi dapat dilakukan vertikal dan
dan infratemporal. Pendekatan kombinasi adalah longitudinal. Dengan insisi vertikal, suplai pembuluh
transmaksila dan transpalatal serta frontotemporal darah pada palatum lebih dapat dijaga sehingga
dan nasomaksila. resiko terjadinya fistel lebih dapat dihindari.
Jenis pendekatan yang dipilih disesuaikan
dengan ukuran dan perluasan tumor serta pengalaman Radioterapi
operator. Pengobatan radiasi dapat dilakukan sebagai
Spector mengemukakan pilihan pendekatan tindakan pre operasi untuk mengurangi resiko
sebagai berikut : perdarahan saat operasi, penderita yang menolak
A. Pendekatan transpalatal jika tumor terbatas dilakukan operasi, dan pada tumor yang tidak
di nasofaring, hidung, dan sinus spenoid mungkin dioperasi. Juga diberikan pada tumor yang
B. Pendekatan kombinasi transpalatal dan reccuren dan meluas ke intrakranial. Pengobatan
transantral atau transbuccal jika tumor radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik
meluas ke pipi, sinus maksila, dan fossa radioterapi atau jika meluas ke intrakranial dengan
pterigo maksila radioterapi konformal 3 dimensi.
C. Pendekatan kombinasi transpalatal dan Pemberian radioterapi harus
rinotomi lateral jika tumor meluas ke sinus mempertimbangkan efek yang ditimbulkan berupa
etmoid dan retro orbita gangguan pertumbuhan tulang muka, radionekrosis
D. Pendekatan kombinasi degloving dan dan perubahan tumor menjadi ganas. Telah
labiomandibulotomi pada tumor yang dilaporkan komplikasi terjadinya carsinoma thyroid,
meluas ke fossa infratemporal bagian basal cell carsinoma,katarak, dan hipopituitarism.
anterior. Pada tumor yang meluas ke fossa Ligasi Arteri karotis eksterna
infratemporal bagian inferior dilakukan Ligasi arteri karotis eksterna dilakukan
kombinasi transpalatal dan transmandibula sebelum tindakan pengangkatan tumor. Dilakukan
anterior.Pendekatan infratemporal dilakukan untuk dapat mengurangi perdarahan yang terjadi.
pada tumor yang meluas ke fossa Komplikasi yang sering timbul akibat tindakan ini
infratemporal lateral. adalah gangguan serebrovaskular akibat aliran darah
E. Kombinasi transpalatal dan kraniotomi serebrovaskular yang tidak adekuat.
frontotemporal jika tumor meluas ke
intrakranial. Hormonal
Pengobatan hormonal diberikan pada pasien
Penulis lain menganjurkan pendekatan dengan stadium I dan II dengan preparat testoteron
transpalatal pada tumor yang terdapat pada reseptor bloker flutamid . Pemberian testoteron
nasofaring, koana, rongga hidung dan sinus etmoid. reseptor bloker flutamid mengurangi tumor sampai
Dan pendekatan transmaksila dengan insisi Weber 44 persen.
Ferguson atau kombinasi dengan transpalatal untuk
tumor yang meluas ke fossa infratemporal,
pterigomaksila dan pipi.
Pemakaian endoscopi diperkenalkan oleh Kamel
tahun 1996. Dilakukan pada tumor yang masih belum
luas. Sitostatika
Pemberian sitostatika pertama kali dilakukan DAFTAR PUSTAKA
oleh Geopfert dkk tahun 1985 terhadap 5 kasus
angiofibroma nasofaring yang mengalami residif 1. Andrews JC, Fish U, Valavanis A et al. The surgical
dengan memberikan kombinasi doksorubusin dan management of extensive nasopharyngeal angiofibromas
dakarbasin atau kombinasi vinkristin, daktinomisin with the infratemporal fossa approach. The Laryngoscope,
dan siklofosfamid dengan hasil yang cukup 99, 4:429-37
memuaskan. 2. Maves MD, Stevens CR. Vascular tumors of the head and
Sitostatika diberikan pada tumor yang neck. In: JT Johnson, J Gluckman, AM Pou, eds. Head and
kambuh dan besar. Juga diberikan pada tumor yang neck surgery-otolaryngology, 3rd edition, vol. 2. Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia. 2001. pp. 1561-73
meluas ke intrakranial.
3. Gopal HV, Frankenthaler R, Fried MP. Advanced cancer
of the Larynx. In : BJ Bailey, et al., eds. Head and Neck
Embolisasi Surgery Otolaryngology.Vol 2. 3rd Ed. Philadelphia.
Embolisasi dilakukan preoperatif terhadap Lippincott Williams & Wilkins. 2001, pp. 1505-22
pembuluh darah yang mensuplai tumor. Embolisasi
4. Randall DA. The nose and paranasal sinuses. In : KJ Lee, ed.
dilakukan 24 72 jam sebelum operasi. Bahan yang Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 8th Ed.
dipakai biasanya gelfoam , polyvinyl alkohol , McGraw-Hill, New York. 2003, pp. 682-723
dextran,ivalon atau terbal.
5. Mandpe AH. Paranasal sinus neoplasms. In : AK Lalwani,
ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology
Kekambuhan Head and Neck Surgery. International Edition. McGraw-Hill,
Kekambuhan angiofibroma nasofaring Boston, 2004. pp. 299-305
antara 30 46 %. Postulat Howard mengatakan 6. Miller RH. Neoplasms of the nose and paranasal sinuses. In :
bahwa waktu operasi, apakah waktu dioperasi tumor JJ Ballenger, ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and
dalam fase pertumbuhan yang agresif atau fase laten , Neck. 14th Ed. Lea & Febiger. Philadelphia. 1991, pp. 209-19
ikut menentukan angka kekambuhan. Ia mengatakan 7. Ballenger JJ. The nasopharynx. In : JJ Ballenger, ed.
bahwa 93 % kekambuhan terjadi pada pasien yang di Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th Ed.
pemeriksaan radiologi ditemukan infiltrasi ke spenoid Lea & Febiger. Philadelphia. 1991, pp. 294-8
melalui kanal pterigoid dan angka kekambuhan
sebanding dengan perluasan ke spenoid.

Você também pode gostar