Você está na página 1de 8

Analisis & Outlook Sektor Properti

Beberapa waktu lalu ketika IHSG dihantam koreksi hingga turun signifikan ke posisi 3,900-an,
tepatnya hingga posisi 3,968, saham-saham di sektor properti merupakan salah satu yang paling
terpukul, dimana banyak dari mereka yang terkoreksi hingga 50 - 60% dari puncaknya, padahal
IHSG sendiri ketika itu hanya turun 24.4% dari puncaknya. Dan sekarang ini, setelah IHSG
mulai berangsur-angsur pulih, saham-saham properti memang juga ikut kembali naik, namun
rata-rata masih berada di posisi 40% dibawah level puncaknya. Alhasil bagi siapapun yang
membeli saham-saham properti ini di harga atas, dan tidak melakukan average down,
kemungkinan besar mereka masih nyangkut.

Disisi lain, jika pada awal tahun 2013 lalu orang-orang sangat optimis terhadap prospek sektor
properti ini, maka sekarang kondisinya sudah sedikit berbeda. Berbagai kebijakan pemerintah
seperti penetapan LTV, termasuk kebijakan kenaikan BI Rate oleh Bank Indonesia (BI) yang
otomatis menaikkan bunga KPR, sedikit banyak diperkirakan akan menekan laju pertumbuhan
bisnis properti di Indonesia, sehingga bisnis properti tidak akan semenarik tahun-tahun yang dulu
lagi, atau bahkan bisa mengalami kemunduran. Meski sampai sejauh ini belum ada yang
mengatakan bahwa properti sudah tamat, namun tetap saja, hal ini bisa dipastikan akan membuat
nervous para investor yang sudah terlanjur masuk di saham-saham sektor ini pada harga yang
tinggi. Jika anda memegang LPCK di harga 10,000, misalnya, maka bukan tidak mungkin anda
segera cut loss karena khawatir terhadap masalah BI Rate dan lain-lain.

Lalu benarkah sektor properti pada saat ini sudah tidak semenarik satu dua tahun lalu? Sebelum
membahas itu, kita analisis lagi posisi dari saham-saham properti pada saat ini. Tabel berikut ini
menggambarkan posisi dari empat belas saham properti yang paling likuid pada penutupan pasar
tanggal 20 September kemarin dibandingkan dengan posisi puncaknya, serta berapa persen
kenaikan/penurunannya sepanjang tahun 2013 ini (kenaikan secara YTD, alias Year to Date).
Data diurutkan berdasarkan angka YTD-nya.

Stock Peak 20-Sep Peak to 20-Sep (%) YTD (%)


LPCK 11,000 5,750 (47.7) 81.1
CTRP 1,510 910 (39.7) 49.2
BSDE 2,200 1,600 (27.3) 44.1
CTRA 1,660 1,120 (32.5) 40.0
KIJA 410 270 (34.1) 33.7
PWON 430 300 (30.2) 33.3
LPKR 1,850 1,310 (29.2) 31.0
APLN 530 310 (41.5) 18.4
MDLN 1,220 710 (41.8) 16.4
SMRA 1,525 1,030 (32.5) 10.8
BKSL 340 210 (38.2) 10.5
ASRI 1,160 660 (43.1) 8.2
GWSA 315 184 (41.6) (18.2)
BEST 1,050 530 (49.5) (25.4)
Property Index 565 414 (26.8) 26.7
IHSG 5,251 4,584 (12.7) 6.2
Okay perhatikan. Dari tabel diatas tampak bahwa IHSG sepanjang tahun 2013, dalam hal ini dari
awal Januari hingga penutupan tanggal 20 September, telah naik 6.2%. Meski demikian jika
dibandingkan dengan posisi puncaknya yang sempat dicapai pada bulan Mei lalu, IHSG sudah
terkoreksi 12.7%. Dalam hal terkoreksi dari posisi puncaknya, penurunan yang dialami IHSG
jauh lebih baik dibanding penurunan yang dialami saham-saham properti. Seperti yang bisa anda
lihat diatas, penurunan saham-saham properti jika dibandingkan dengan posisi puncaknya
masing-masing, bervariasi antara 27.5% (BSDE) hingga 49.5% (BEST). Indeks properti sendiri
telah turun 26.8% dibanding puncaknya. Alhasil seperti yang tadi sudah penulis katakan diatas,
jika anda membeli salah satu dari saham-saham properti diatas pada harga atas, maka
kemungkinan posisi anda saat ini adalah nyangkut, karena penurunan saham-saham properti
lebih besar dibanding penurunan IHSG sendiri.

Akan tetapi bagaimana kalau anda membeli saham-saham properti tersebut pada awal tahun
2013 lalu, dan masih memegangnya sampai sekarang? Faktanya, meski sektor properti
mengalami koreksi yang paling serius dibanding sektor-sektor lainnya pada periode bear market
kali ini, namun secara keseluruhan, ternyata kinerja sektor ini sepanjang tahun 2013 masih lebih
baik ketimbang IHSG. Perhatikan bahwa meski IHSG hanya naik 6.2%, namun indeks properti
masih tumbuh jauh lebih baik, yakni 26.7%. Dari saham-saham properti diatas, bisa anda lihat
bahwa secara year to date, mereka masih tumbuh antara 30 40%. Bahkan saham ASRI yang
dihantam isu pelemahan Rupiah dikarenakan utang luar negerinya yang segunung, tetap saja
masih naik 8.2%. Hanya terdapat dua saham properti di tabel diatas yang kinerjanya sepanjang
tahun 2013 ini kalah dibanding IHSG, dan mereka adalah BEST dan GWSA. I dont know
whats wrong with BEST, tapi kalau untuk GWSA kinerjanya memang sedang sedikit
bermasalah.

Okay, jadi apa kesimpulannya?

Secara YTD, saham-saham di sektor properti sejauh ini merupakan saham-saham dengan
kenaikan tertinggi di bursa. Kenaikan sektor properti ini bahkan diatas sektor consumer goods
yang hanya naik 25.6%. Namun kenaikan tersebut tidak terjadi secara linier mengikuti garis
lurus, melainkan berfluktuasi dengan sangat tajam dimana saham-saham properti sempat dikerek
naik teruuus sejak awal tahun lalu sampai akhir bulan Mei, sebelum kemudian dibanting turun
hingga ke posisinya saat ini. But still, penurunan yang terjadi sejak akhir Mei tersebut tidak
sebanyak kenaikan yang terjadi sebelumnya, sehingga secara keseluruhan sektor properti ini
masih tumbuh signifikan dibanding sektor-sektor lainnya di BEI. Contoh paling ekstrim mungkin
ditunjukkan oleh LPCK. Saham ini, jika dibanding dengan posisi puncaknya, telah turun sangat
dalam yakni 47.7%. Tapi bagi mereka yang memegang LPCK ini sejak awal tahun, maka bahkan
pada posisinya saat ini, mereka masih cuan 81.1%.

Fakta diatas menunjukkan bahwa meski pada saat ini sektor properti tampak dihajar habis-
habisan, namun secara umum dalam jangka panjang mereka masih bertumbuh, seiring dengan
kinerja para emitennya yang rata-rata masih cukup bagus, jika tidak mau dikatakan sangat bagus,
pada tahun 2013 ini. Yup, kalau penulis sendiri menilai bahwa keterpurukan sektor properti
belakangan ini lebih karena mereka sudah naik banyak sebelumnya, sehingga sekarang waktunya
untuk menyesuaikan diri, untuk balik lagi ke harga wajarnya masing-masing. Sebab suka atau
tidak, faktanya adalah ketika kemarin IHSG di posisi 5,200-an, saham-saham properti emang
udah pada mahal-mahal banget bukan?

Lalu bagaimana kalau dengan posisi harganya saat ini? Ya sekarang sih mereka tentunya sudah
pada murah, tinggal pilih saja anda sukanya yang mana. Penulis gak akan menampilkan datanya
disini, soalnya repot juga menyusunnya, namun sekarang ini sudah banyak saham properti
dengan PBV kurang dari 2 kali, bahkan kurang dari 1 kali.

BI Rate, LTV, dan Pelemahan Rupiah

Lalu BI Rate dan lain-lain? Nah, kalau ini baru persoalannya lain lagi. However, penulis melihat
hal ini dari perspektif yang agak berbeda.

Jadi begini. Permasalahan yang terjadi di sektor properti belakangan adalah karena terdapat
banyak developer yang membangun properti, atau investor yang membeli properti, kemudian
dengan seenaknya menaik-naikkan harganya, seringkali hingga ke level yang tidak masuk akal.
Ambil contoh, harga space kantor di ********** Office Tower pada tahun 2009 lalu, ketika itu
gedungnya belum jadi, masih di kisaran Rp20 juta per meter. Sekarang? Rp60 juta per meter!
Kenaikan hingga 3 kali lipat dalam tempo hanya 4 tahun inilah, yang kemudian menjadi jualan
utama para developer, dimana mereka mengklaim bahwa membeli properti itu pasti untung tak
peduli meski anda membelinya pada harga selangit, karena nantinya pasti akan ada orang yang
bersedia membeli pada harga yang lebih tinggi lagi.

Nah kalau begitu jadinya, maka apa itu bukan goreng menggoreng harga namanya? Sebab harga
yang katanya Rp60 juta per meter tersebut biasanya ditentukan sendiri oleh developernya,
bukan oleh transaksi yang terjadi pada harga Rp60 juta tersebut. Maksud penulis begini. Kalau di
saham, sebuah saham hanya akan naik dari harga 1,000 ke 1,100, misalnya, kalau memang
terjadi transaksi jual beli saham di harga 1,100 tersebut. Jadi sebuah saham akan naik (atau
turun) ke posisi 1,100, jika ada orang yang pasang jual (offer) di harga 1,100, dan ada orang yang
pasang beli (bid) di harga 1,100 juga, sehingga transaksinya terjadi (match).

Sementara di properti? Mekanismenya nggak begitu. Developer/pemilik properti bisa menaikkan


harga jual propertinya dari Rp1 milyar ke Rp1.2 milyar, kemudian mengumumkannya ke publik
bahwa harga properti mereka naik 20%, bahkan meski mereka sebenarnya tidak menjual satu
pun unit propertinya di harga Rp1.2 milyar tersebut. Lucunya banyak pembeli yang justru baru
tertarik untuk membeli properti tersebut di harga Rp1.2 milyar, ketimbang harga sebelumnya
yakni Rp1 milyar, karena mereka berpikir bahwa nantinya mereka bisa menjualnya pada harga
yang lebih tinggi lagi. Jadi intinya para pembeli ini tidak membeli properti tersebut untuk
ditempati/dijadikan tempat tinggal, melainkan untuk menjualnya lagi untuk memperoleh
keuntungan jangka pendek.

Karena itulah, belakangan ini orang-orang membeli properti bukan lagi untuk tujuan memiliki
properti itu sendiri, melainkan untuk menjualnya kembali pada harga yang lebih tinggi. Jika hal
ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan menyebabkan bubble, karena orang tidak lagi membeli
properti untuk tujuan investasi, melainkan lebih ke spekulasi. Mirip-mirip seperti kalau anda beli
saham TMPI dan sebangsanya lah.
Namun, hal ini bukan berarti bahwa semua kenaikan harga yang dialami oleh produk-produk
properti, itu adalah karena dinaikkan oleh developernya sendiri. Ada banyak juga produk-produk
properti yang harganya naik secara wajar, karena supply dan demand-nya memang ada.

Sebagai contoh, jika anda mencari tanah kavling di township Alam Sutera, atau BSD City, maka
jangan harap bisa dapet yang harganya kurang dari Rp10 juta per meter. Jika dibandingkan
dengan harga tanah kavling perumahan di Bandung, misalnya, maka banyak tanah disini yang
harganya cuma Rp2 juta per meter, atau bahkan kurang dari itu, padahal lokasinya sama-sama di
lingkungan perumahan.

Tapi apa itu berarti harga tanah kavling di Alam Sutera dan BSD City kemahalan dan bisa
dikatakan mengalami bubble? Jelas tidak. Dua kawasan pemukiman tersebut, harus diakui,
memang bukan perumahan biasa, melainkan itu tadi: Township terintegrasi, yang terdiri dari
rumah-rumah yang besar dengan arsitektur yang unik nan mewah, jalan yang lebar serta terawat,
lingkungan yang asri dan penuh pepohonan, akses pintu tol langsung menuju Jakarta, petugas
security yang stand by 24 jam, fasilitas umum yang lengkap, dan sebagainya. Tentunya tidak
mudah untuk membangun kawasan pemukiman sebagus dan selengkap itu, dan itu sebabnya
harga jual properti disana tidak mungkin murah. Jadi jika di BSD City ada tanah kavling yang
dijual Rp15 juta per meter, atau bahkan Rp20 juta, maka ya memang segitulah harganya. Namun
harga yang cukup tinggi tersebut setimpal dengan segala fasilitas serta kenyamanan hunian yang
akan anda peroleh nantinya.

Salah satu kluster perumahan di BSD City

Sementara harga tanah kavling di perumahan biasa pada umumnya, dengan lokasi yang tidak se-
strategis Serpong, Sentul, atau Cikarang, dan fasilitasnya juga tidak selengkap township, rata-
rata memang jauh lebih rendah tapi tidak bisa dikatakan lebih murah karena sekali lagi, memang
segitulah harganya. Jika anda beli rumah di kawasan perumahan biasa (bukan township) di
Bogor, misalnya, maka harganya akan jauh lebih bersahabat. But of course, selain lokasinya
yang lebih jauh dari pusat Kota Jakarta, fasilitas serta kualitas hunian yang ditawarkan tidak akan
sebagus serta selengkap di BSD City.

Btw terkait hal ini pula penulis harus merevusu opini yang pernah penulis sampaikan
sebelumnya kepada beberapa orang teman, yakni bahwa harga tanah kavling sebesar Rp20 juta
itu tidak masuk akal. Karena setelah penulis jalan-jalan sendiri ke beberapa township seperti
Alam Sutera, BSD City, Lippo Karawaci, Lippo Cikarang, Jababeka, dan Sentul City, maka
yaaa.. sepertinya memang segitulah harga yang harus anda bayar kalau mau punya rumah disitu.
Jakarta adalah kota yang sumpek, rumah-rumah saling berhimpitan, jalan-jalan yang sempit
penuh dengan mobil diparkir sembarangan, udaranya pengap, dan itu tidak hanya di Jakarta tapi
juga di kota-kota padat penduduk lainnya penulis yakin seperti itu juga. Tapi ketika penulis
mampir ke Sentul (the recent township Ive visited), kesan pertama yang penulis dapatkan
adalah.. legaaa... Dan itu adalah kesan yang penulis kira anda harus membayar mahal untuk bisa
merasakannya setiap pagi. Kalau sekedar rumah gede dan bagus di tengah-tengah perumahan
elit, itu dimanapun juga ada. Tapi kalau rumah yang bagus dengan lingkungan 'kota' yang juga
nyaman dan tertata rapih, maka anda cuma bisa menemukannya di township-township seperti ini.

Nah, jika dulu kawasan township di Indonesia tidak begitu berkembang, dimana masyarakat
lebih suka tinggal di perumahan yang biasa-biasa saja asalkan harganya terjangkau, maka seiring
dengan pertumbuhan ekonomi dll selama beberapa tahun ini, selera masyarakat Indonesia akan
hunian yang berkualitas mulai meningkat. Dan hal inilah yang kemudian membawa keuntungan
besar bagi perusahaan-perusahaan properti spesialis pembangunan kawasan pemukiman
terintegrasi, seperti ASRI, SMRA, CTRA, BSDE, hingga LPCK. Kota township sendiri sekarang
ini menjadi semacam trend, dimulai dari Serpong, Cikarang, Sentul, dan berlanjut hingga ke
Balikpapan dan Samarinda. Untuk kota-kota lainnya sepertinya belum ada township semacam
ini, namun jika permintaan akan hunian berkelas seperti ini tetap tinggi, maka mungkin
Surabaya, Bandung, Medan, Pekanbaru, dan Makassar akan segera menyusul (atau memang
sudah?).

Kesimpulannya, meski memang sebagian industri properti di Indonesia mulai dihiasi oleh
bubble-bubble disana-sini, namun tidak semuanya demikian. Masih banyak, bahkan mungkin
sebenarnya lebih banyak, jenis-jenis properti yang kenaikan harganya memang disebabkan oleh
faktor supply dan demand sesuai dengan kualitas properti yang ditawarkan, dan bukan karena
adanya unsur spekulasi.

Nah, ketika BI mengeluarkan kebijakan pengetatan LTV (loan to value, selengkapnya bisa search
di google), maka itu tujuannya bukan untuk menekan industri properti secara umum, melainkan
untuk mengurangi terjadinya unsur-unsur spekulasi tadi, yang pada akhirnya menekan bubble
karena kenaikan harga yang semu. Dan itu tentu bagus bukan? Para spekulator akan jadi mikir-
mikir kalau mau beli rumah pake utang bank untuk langsung dijual lagi pada harga yang lebih
tinggi, karena sekarang syaratnya lebih sulit, dan hal itu dengan sendirinya akan mengurangi
kemungkinan adanya goreng menggoreng harga properti. Nantinya, hanya orang-orang yang
berniat membeli rumah untuk benar-benar dijadikan tempat tinggal, yang akan memperoleh
pinjaman dari bank. Sementara orang yang membeli properti untuk memperoleh 'Keuntungan
130% dalam 6 bulan', mereka tidak akan diladeni oleh bank.

Sementara terkait kenaikan BI Rate, sudah tentu sedikit banyak akan mempengaruhi penjualan
properti, terutama properti jenis KPR. Namun hal ini juga masih sebatas teori, dalam artian
belum tentu juga hal ini (kenaikan BI Rate) akan menurunkan penjualan properti. Jika keinginan
masyarakat untuk memiliki hunian yang berkualitas lebih besar ketimbang efek yang
ditimbulkan oleh kenaikan BI Rate, maka faktor BI Rate ini seharusnya tidak berpengaruh
negatif. Sebab ketika BI Rate kita berada di level 5.75%, beberapa waktu lalu, maka level
tersebut sebenarnya merupakan level yang terendah sejak tahun 2005. Termasuk posisi BI Rate
pada saat inipun, yakni 7.25%, sebenarnya masih relatif rendah.

Faktor lainnya adalah pelemahan Rupiah, yang bisa dipastikan akan meningkatkan jumlah
kewajiban perusahaan-perusahaan properti yang memiliki utang dalam mata uang US Dollar.
Sejauh ini di BEI terdapat setidaknya lima perusahaan yang memiliki utang cukup besar dalam
mata uang US Dollar, biasanya dalam bentuk obligasi. Mereka adalah ELTY, ASRI, LPKR,
KIJA, dan MDLN. Beberapa waktu lalu sebenarnya Agus Marto, yang ketika itu menjabat
sebagai Menteri Keuangan, pernah mengingatkan perusahaan-perusahaan properti untuk jangan
mengambil utang dalam bentuk mata uang US Dollar, karena jumlah utang mereka bisa
membengkak andaikata Rupiah melemah (ketika itu Rupiah masih di 9,000-an per US Dollar).
Ketika itu hanya ELTY dan LPKR yang punya utang US Dollar tersebut, tapi sekarang ketiga
emiten properti lainnya malah ikut-ikutan juga.

Pelemahan Rupiah bisa dipastikan akan menyebabkan beban bunga obligasi yang harus dibayar
perusahaan meningkat, sehingga akhirnya menekan laba bersih. Nilai utang obligasi itu sendiri
tentunya akan meningkat meski hal ini seharusnya tidak jadi masalah karena utang tersebut rata-
rata merupakan utang jangka panjang yang tidak akan dilunasi sekarang. Risiko yang dihadapi
perusahaan yang memiliki utang ini adalah jika Rupiah terus saja melemah, maka mungkin
obligasi tersebut harus di-call lebih awal, dan perusahaan harus menjual sebagian asetnya untuk
membayar obligasi tersebut.

Jika dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya, pelemahan Rupiah ini merupakan faktor yang
kemungkinan akan lebih berpengaruh terhadap kinerja emiten properti, khususnya bagi kelima
emiten dengan utang obligasi diatas. Tapi perhatikan pula hal ini: Ketika perusahaan memperoleh
uang dari penerbitan obligasi, maka uangnya dipakai untuk membeli lahan bukan? Biasanya
lahan kosong (landbank). Jika karena satu dan lain hal, misalnya karena pelemahan Rupiah ini,
utang tersebut harus dibayar lebih awal, maka ya tinggal jual lagi aja landbank-nya, meski
mungkin harga jualnya jadi rendah (karena jualnya buru-buru, seperti orang lagi butuh uang).
Jadi bisa dikatakan bahwa jika terjadi kemungkinan terburuk, maka solusinya ya tinggal gitu aja.
Equity perusahaan tidak berkurang karena yang dilepas adalah aset yang diperoleh dari
penerbitan utang, dan itu sebabnya akan lebih aman kalau anda memilih saham di sektor ini yang
PBV-nya rendah.

However, sampai sekarang kecuali ELTY, belum ada satupun emiten properti yang kedengaran
berniat melego aset-asetnya karena masalah pelemahan Rupiah ini (ELTY pun menjual asetnya
bukan karena pelemahan Rupiah, tapi karena apa gitu). Tapi terkait hal ini pula kalau penulis
sendiri nggak begitu tertarik dengan saham-saham konstruksi, karena perusahaannya tidak
memiliki aset seperti landbank dan semacamnya. Tapi untungnya, perusahaan-perusahaan
konstruksi jarang yang memiliki utang yang mengandung bunga (utang bank atau obligasi).

Properti = No Outlook, but hopefully this is just the Beginning

At the end, berbeda dengan sektor perbankan yang sudah kita bahas minggu lalu, sektor properti
merupakan sektor yang rentan terhadap perubahan dalam perekonomian, sebab mereka menjual
produk yang pembelinya tidak selalu ada setiap saat (berbeda dengan perusahaan perbankan,
atau perusahaan makanan, yang produknya selalu ada yang menggunakan setiap saat), apalagi
jika produknya tersebut berharga milyaran Rupiah per unitnya. Untuk perusahaan properti jenis
kawasan industri, harga produk mereka biasanya bebas dari unsur spekulasi, karena pembelinya
adalah perusahaan-perusahaan besar yang mau bikin pabrik, alias untuk invest sungguhan dan
bukan untuk dijual kembali. Tapi ini bukan berarti sektor ini tidak berisiko. Jika iklim investasi
disini memburuk, dan perusahaan-perusahaan gak mau buka pabrik lagi, maka KIJA, BEST,
SSIA dan lainnya juga akan kehilangan pembeli.

Berdasarkan hal inilah, jika kita bersikap konservatif, maka sektor properti sejatinya merupakan
investasi yang high risk, tapi juga high return jika timing-nya tepat. Penulis katakan sektor ini no
outlook, karena kita tidak akan pernah bisa memprediksi bagaimana pendapatan serta laba bersih
dari emiten-emiten properti dalam jangka panjang, katakanlah 5 10 tahun kedepan, karena
terdapat banyak sekali faktor yang bisa entah menyebabkan sektor ini semakin menjulang tinggi,
atau justru tersungkur jatuh ke jurang. Kalau anda masih ingat, properti kita juga pernah
booming tahun 1995 lalu, tapi hanya dalam dua tahun berikutnya langsung jatuh berantakan
karena krisis moneter. Orang-orang boleh ngomong apa saja soal prospek properti dalam
beberapa tahun kedepan, namun tetap saja, berbagai prospek tersebut memerlukan banyak sekali
asumsi yang harus dipenuhi untuk bisa terealisasi.

Disisi lain, at some point I think this is just the beginning. Jika anda ke Singapura, maka anda
akan bisa melihat kualitas properti disana memang luar biasa, dengan infrastruktur jalan raya dll
yang juga luar biasa. Sementara di Jakarta, suka atau tidak, pada saat sebagian besar lokasinya
terbilang masih kumuh dan tidak tertata rapih (jika anda selama ini lebih sering nongkrong di
Senayan, Kuningan, dan Sudirman, maka sekali-kali coba deh jalan-jalan keluar dari kawasan
tersebut). Namun Jakarta belakangan ini mulai cantik, dimana banyak superblok-superblok yang
dibangun, dan di sekitar kotanya sendiri banyak dibangun township. Maksud penulis adalah,
dulupun tahun 1960-an, Singapura juga merupakan kota pelabuhan yang becek dan kotor (coba
lihat foto-fotonya, banyak kok di google), dan pastinya ketika itu harga properti disana adalah
harga standar properti yang kumuh. Tapi sekarang? Anda bisa lihat Hotel Marina Bay Sands
berdiri dengan megahnya disana.

Nah, di Jakarta pun, meski tentunya akan membutuhkan banyak waktu, namun someday bisa
pula menuju ke arah sana. Intinya adalah, peluang pertumbuhan itu masih terbuka! Karena
Jakarta ini juga masih merupakan kota yang minim infrastruktur (jika dibandingkan kota besar
lainnya di dunia), namun berbagai jenis infrastruktur tersebut terus dibangun sehingga akan
meningkatkan nilai properti itu sendiri. Dan jika suatu hari nanti Jakarta menjadi kota yang ada
'Orchard Road'-nya, maka kota-kota besar lainnya akan segera menyusul. Jika kita melihat dari
sisi ini, termasuk jika melihat fakta bahwa pertumbuhan industri di tanah air juga baru dimulai,
maka sektor properti, entah itu jenis residensial, komersial, maupun kawasan industri, masih
menawarkan pertumbuhan yang menarik. Sektor batubara mengalami masa-masa jayanya selama
sekitar 10 tahun, sebelum kemudian mulai melambat sejak tahun 2012 lalu. Sementara sektor
properti baru mulai ramai sejak tahun 2011 kemarin, dan saya tidak menganggap bahwa sektor
ini akan langsung stop secepat itu.

Okay, sebagai penutup, meski penulis memberi judul artikel ini Analisis & Outlook Sektor
Properti, tapi mungkin judul itu nggak cocok karena penulis nggak memaparkan outlook
apapun. Tapi judul tersebut tetap penulis pakai karena judul Analisis Sektor Properti tampak
kurang menarik. Jika anda hendak membaca lebih lanjut mengenai outlook sektor properti ini,
maka anda bisa membaca prospektus dari perusahaan-perusahaan properti yang menerbitkan
obligasi di Singapura (prospektusnya dalam bahasa Inggris, tapi bacanya gampang kok). Berikut
cara untuk memperoleh prospektusnya:

Anda buka website Bursa Singapura, www.sgx.com. Di halaman muka lihat bagian paling
bawah, ada bagian Company Disclosure, anda klik tulisan Prospectus/Circulars. Di halaman
berikutnya, di kotak Select Company Name, cari dan pilih nama perusahaan Alam Synery Pte.
Ltd. Dan di kotak Select Type, pilih Prospectus. Lalu klik tombol Go (tombolnya berwarna
hijau). Nanti keluar link dengan tulisan US$235,000,000 6.95% Senior Notes Due 2020. Anda
klik link tersebut, itulah prospektusnya dalam bentuk file PDF, ukurannya 6.83 MB.

Di prospektus yang sudah anda download, silahkan baca bab Industry Overview. Selain
propektus milik ASRI tersebut, anda juga bisa baca prospektus milik KIJA dan LPKR. Caranya
di kotak Select Company Name tadi, cari dan pilih nama perusahaan Jababeka International
BV, dan Theta Capital Pte. Ltd. Di dua prospektus tersebut, silahkan baca juga bagian
Industry Overview, semuanya lengkap disitu, dan kalau anda membacanya dengan baik maka
anda mungkin bisa juga menjadi konsultan properti :p Sedikit tips, kalau saya sendiri lebih suka
menghabiskan waktu untuk baca-baca dokumen seperti itu ketimbang baca koran atau baca
berita tentang saham di internet.

Semoga bermanfaat!

Você também pode gostar