Você está na página 1de 4

Agama dan ilmu pengetahuan modern

Posted on Februari 4, 2012 | Tinggalkan komentar

Ilmu pengetahuan modern memandang sifat,metode,struktur sain,dan agama jauh


berbeda,kalau tidak mau dikatakan kontradiktifAgama mengasumsikan atau melihat suatu
persoalan dari segi normatif (bagaimana seharusnya) sedangkan sain meneropongnya dari
segi objektifnya (bagaimana adanya).Agama melihat problematia dan solusinya melalui
petunjuk Tuhan,sedangkan sains melalui eksperimen dan ratio manusia.Karena ajaran agam
diyakini sebagai petunjuk Tuhan,kebenarannya dinilai mutlak,sedanghkan kebenaran sains
bersifat relatif.Agama banyak berbincang tentang yang gaib,sementara sains hanya berbicara
mengenai hal yang empiris(Poejawijatna,1983:62-73; Hatta,1979:40-41 ;dan Russel,1953:7-
18).[1]
Menurut pandangan umum,pengetahuan ilmiah bersifat relatif,berubah dari waktu
kewaktu,sedangkan pengetahuan agama bersifat absolut dan dogmatis.Anggapan ini akan
memperbesar jurang pemisah antara ilmu dan agama.Auguste Comte (1789-1857)
memandang tahap berfikir teologis sebagai tahap paling primitif dalam perkembangan
pemikiran masyarakat.Menurutnya cara berfikir teologis berusaha mencari jawaban absolut
dari masalah-masalah yang dihadapi,seperti sebab pertama dan terakhir segala
sesuatu,sedangkan tahap berfikir positif adalah tahap yang paling maju.Salah satu arti positif
itu menurut Comte adalah yang relatif,tidak yang absolut.Masyarakat yang berfikir positif
adalah masyarakat yang berpaham bahwa pengetahuan yang benar adalah yang didapatkan
dari motode ilmiah,yaitu pengetahuan yang didasarkan kepada fakta,serta dapat ditinjau dan
diuji lagi (Veeger,1986:17)
Kemajuan dunia barat bermula dari keberhasilannya mendobrak dominasi dominasi gereja
dalam bidang ilmu pengetahuan dan tata hidup bermasyarakat.Dalam perebutan pengaruh
antara ilimu teknologi dan negara disatu pihak dengan gereja dilain pihak munculah paham
sekuler dalam pengembangan ilmu dan budaya.Gereja secara khusus dan agama secara umum
dipisahkan dari arena ilmu,teknologi dan penataan kehidupan bermasyarakat.Wewenang dan
ruang lingkup agama adalah hubungan pribadi antara manusia denga Tuhannya,sedangkan
wewenang dan ruang lingkup ilmu dan negara adalah segala fenomena kehidupan
empiris,pengolahan alam dan tata kehidupan sosial.Populerlah adanya dua macam
kehidupan,yaitu kehidupan beragama dan kehidupan duniawi.Demikian pula ilmu
pengetahuan,ada ilmu ilmu agama dan ada pula ilmu-ilmu umum.
Umat Islam yang menjadi bangsa terbesar sampai dengan abad ke 7 H (13M) itu kemudian
mundur.Kemunduran itu disebabkan karena nilai nilai budaya yang diwarnai oleh aqidah dan
akhlak Islamiyah itu mulai dikalahkan oleh pandangan materrialistis.Kehikhlasan beribadat
kepada Allah dikalahkan oleh nafsu serakah terhadap kesenangan dunia.Penghayatan ajaran
Islam secara utuh berganti dengan penghayatan dan pengamalan Islam secara berkotak
kotak.Kegandrungan berinisiatif berijtihad digantikan dengan watak bertaklid.Menurut Amir
Syakib Arsalan kemunduran umuat islam yang terus berlanjut sampai abad ini karena umat
islam telah meninggalkan agamanya.Sedangkan barat maju dan merajai dunia karena mereka
meninggalkan agama mereka pula.Dewasa ini walaupun umat islam mentakan didri sebagai
muslim,tetapi praktik sekuler hampir meratai setiap negeri islam dan merasuki setiap bidang
kehidupan mereka.[2]Setelah Perang Dunia I kebanyakan dunia islam berada dibawah
penjajahan ataupun protektorat negara-negara barat.Jadilah barat lambang kemajuan dan
timur lambang kemunduran serta keterbelakangan.yang berilmu dan berbudaya tinggi adalah
barat,sedangkan timur yang sebagian besar adalah dunia islam sanagat terbelakang dalam
bidang ilmu,teknologi dan budaya.
Sesudah perang dunia II negeri-negeri Islam melepaskan diri dari kekuasaan penjajah
barat,namun mereka masih tetap saja mengantungkan diri kepada uluran tangan barat dalam
berbagai bidang kehidupan seperti pinjaman modal,sistem pendidikan,perangkat teknologi
dan bahkan bahan makanan.
Barat yang menganut paham sekulerisme mendidik manusia menjadi
liberal,rasional,pragmatis,dan berorientasi pada kenyataan objektif dalam kehidupan sehari-
hari,namun menjauh dari visi agama.Dewasa ini pengaruh kemajuan ilmu dan teknologi
sebagai hasil pendidikan barat yang sekuler mulai dirasakan,seperti bumerang yang
mengancam manusia penciptanya dan manusia lain secara keseluruhan karena dipengaruhi
oleh manusia-manusia yang tidak punya kendali nafsu.Pencemaran lingkungan,ancaman
perang nuklir,krisis energi dan pengurasan sumber-sumber alam semakin mengancam
eksistensi umat manusia dimuka bumi ini.Di bidang ilmu-ilmu sosial dan humanitas mulai
pula dirasakan kegagalannya.Krisis moral,sakit jiwa,gejala bunuh
diri,kriminalitas,individualisme dan kegersangan nilai-nilai spritual semakin tinggi ditengah
tengah masyarakat maju itu.Kegagalan ini terutama disebabkan oleh analisa dan teori-teori
yang dikemukakan kurang tepat karena kesalahan postulat yang dipakai sebagai tempat
berangkatnya ilmu ilmu itu. Contohnya :Teori pasar dan persaingan bebas dalam ilmu
ekonomi barat didirikan diatas filsafat individualisme.Gangguan jiwa disebabkan karena
banyaknya keinginan yang menumpuk dialam bawah sadar dalam psikoanalisa
Freaud(Langgulung 1983) didirikan di atas filsafat liberalisme.
Ketika umat islam masih bergulat dengan berbagai permasalahan ketebelakangan
sosial,ekonomi,dan kultural,apalagi karena berhadapan dengan kemajuan barat,maka diantara
pemikir-pemikir dan cendekiawan,beberapa dekade yang lalu,ada yang menyerukan supaya
pengembangan sains perlu dikembalikan kepada induknya yaitu Islam.Mereka mengkritik
pengembangan sain dan teknologi modern yang dipisahkan dari ajaran agama,seperti yang
dikemukakan oleh Muahmmad Naquib al-Attas (1981:47 ),Ismail Raji al-Faruqi (1982:3-8)
dan Seyyed Hossein Nasr (1983:7-8).Supaya ilmu pengetahuan dapat membawa
kesejahteraan bagi umat manusia.
Semangat kembali kepada agama ternyata bukan saja timbul dikalangan masyarakat
islam,tetapi juga dikalangan masyarakat barat.Naisbitt dan Abuderne (1990) dalam karya
mereka Megatrends 2000memprediksikan bahwa diantara aspek yang meningkat dalam
kehidupan masyarakat dunia abad ke-21 adalah kembali memperhatikan kehidupan spritual
dan agama.Demikian juga kecendrungan postmodernism yang merupakan reaksi terhadap
kecendrungan modernism yang menuntu supaya masalah nilai agama.dan kepentingan
kelompok minoritas diperhatikan kembali dalam pengembangan ilmu-ilmu dan p[enataan
sosial budaya
(Seidman dalam Seidman dan Wagner 1982:41-53)

Agama dan masyarakat adalah bagaikan ikan dan air, dua hal yang tak bisa
dipisahkan.Keduanya lahir dan berkembang hampir bersama-sama. Agama yang pada
dasarnya adalah bangunan nilai-nilai yang dilandasi atau bersumber pada suatu kepercayaan
supernatural itu, adalah sumber kelahiran suatu masyarakat, sebab norma-norma sebagai
ketentuan tentang apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan untuk dilakukan, adalah
pedoman perilaku orang seorang atau masyarakat. Karena itu, masyarakat
membutuhkannorma-normauntuk bisa tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, norma-norma
lahir untuk mengaturpergaulan antara sesama manusia dan antara manusia dan makhluk
lainnya atau alamsemesta yang merupakan lingkungan hidup manusia.
Selanjutnya,agar agama yang sudah berwujud norma dan masyarakat dapat bersama-sama
saling mendukung dan mengisi berdasrkan fungsinya masing-masing,diperlukan lembaga
kepengurusan yang bertugas mengurus kepentingan dan kebutuhan masyarakat.

Menurut Rousseau, demi kelestarian suatu masyarakat, para anggota masyarakat bersepakat
untuk memberikan sebagian hak-hak mereka kepada mereka yang akan mengatur masyarakat
atau suatu pengurus, yang dalam al-Quran diistilahkan dengan ulil amri. Kepada pengurus
atau ulil amri itulah, setiap individu harus
taat, karena ketaatan itu adalah merupakan persetujuan bersama-sama yang berdasarkan suatu
prinsip sentral yang disebut oleh John Rawls sebagai keadilan (justice) dan prinsip-prinsip
lainnya yang merupakan nilai-nilai keutamaan atau virtue yang dalam al-Quran disebut
al-khair.

Itulah, menurut Rousseau, persetujuan masyarakat (social contract). Hasil dari persetujuan
masyarakat itu disebut masyarakat sipil (civil soceity), sebuah struktur yang sifatnya mandiri
dan berswadaya dan karena itu secara eksistensial,bebas.

Masyarakat seperti inilah yang dicita-citakan oleh Nabi Abraham atau Ibrahim,
Bapak tiga agama monotheis Timur Tengah, Yudaisme, Kristianisme dan Islam. Sekalipun
demikian, dalam sejarahnya masyarakat bebas itu selalu mengalami konflik, karena adanya
perbedaan kepentingan dan persaingan di antara individu dan kelompok yang menyebabkan
pelanggaran norma. Karena itu, Hegel meramalkan bahwa masyarakat sipil itu pada suatu
ketika akan hancur dari dalam. Sebab, anggota masyarakat hanya direkatkan oleh etika,
sehingga, dalam istilah Hegel, hanya merupakan komunitas etik (ethical community).

Struktur etika atau nilai itu jika dijalan atau berlaku secara konsisten, akan membentuk
kebudayaan. Menurut St. Takdir Alisyahbana, dalam masayarakat sederhana atau primitif,
yang menonjol adalah tiga nilai, yaitu nilai kepercayaan atau agama, nilai solidaritas dan nilai
seni. Baru kemudian lahir atau datang dari luar, nilai kuasa termasuk nilai
hukum, yang membentuk negara. Dalam perkembangannya kemudian, akan lahir nilai
pengetahuan dan nilai ekonomi. Itulah yang berkembang dalam komunitas Arab-Islam dan
juga Indonesia. Menurutnya, nilai kuasa dibawa atau datang dari budaya India, dan nilai
ekonomi dan ilmu-teknologi (Iptek) dibawa oleh Islam dan kemudian Barat-Eropa.

Agar etika dan norma-norma itu tidak dilanggar, maka diperlukan transformasi etika dan
norma menjadi hukum positif yang harus ditaati dan mengandung sanksi jika hukum itu
dilanggar. Yang melakukan transformasi itu adalah lembaga yang disebut negara (state).
Selain melahirkan hukum positif, negara juga berfungsi menjamin berlakunya dan ditaatinya
hukum, demi menjaga kelestarian dan keutuhan masyarakat. Itulah sebabnya, maka semua
agama besar pada akhirnya akan membentuk kekuasaan. Hal ini terjadi pada tiga agama
Timur Tengah: Yudaisme, Kristianisme dan Islam; dua agama Asia Selatan: Hindu dan
Budha; dan tiga agama Timur Jauh: Konfusianisme, Taoisme dan Shintoisme. Sebelumnya
juga sudah terjadi pada agama Zoroaster di Persia dan agama penyembah matahari, Rha di
Mesir.

Dengan merosotnya kedudukan dan peranan agama-agama formal, dan berkembangnya


pluralisme, maka lahir agama publik (public religion) dan agama sipil (civilreligion) yang
berkembang dari etika. Jika di Eropa, agama meraih ruang publik lewat etika,maka di AS dan
Kanada, agama meraih ruang publik politik lewat agama publik yang sebenarnya merupakan
singkrete antara agama-agama dan antara agama dan filsafat. Dari agama publik itu muncul
misalnya konsep mengenai masyarakat baik (good society) yang dalam al-Quran disebut al-
khair al- ummah.
Di AS, etika yang bersumber pada agama, telah meraih ruang publik melalui konsep etika
bisnis. Dalam konteks masyarakat kapitalis, etika bisnis berperan
memanusiawikan kapitalisme.

Etika bisnis ini merupakan alternatif terhadap hukum yang mengatur ekonomi,
sebagaimana berkembang dalam neo-liberalisme Jerman awal pasca Perang Dunia II
mendampingi
rekonstruksi ekonomi Eropa Barat. Etika bisnis ini hampir menggantikan ilmu manajemen.
Paling tidak, etika bisnis telah memausiawikan manajemen ilmiah. Etika bisnis tidak
memerlukan legislasi menjadi hukum positif.

Dalam zaman sekularisme ini, ternyata agama masih punya peluang untuk meraih ruang
publik, melalui agama publik. Menurut Cassanova, agama publik ini lahir melalui ensiklik-
ensiklik Gereja Katholik Roma. Di ruang publik ini gereja Katholik, melalui teologi
perdamaiannya, telah berperan penting dalam politik perdamaian dunia.

Juga dalam agama Katholik yang paling parah mengalami proses sekularisasi, agama tampil
perkasa melalui agama publik. Di antara yang paling menonjol adalah konsep
teologi pembebasan (liberation theologi) yang lahir di Amerika Latin yang merasa paling
dalam dan langsung dalam cengkeraman kapitalisme dan Neo-liberalisme AS. Dan baru-baru
ini, dengan mengusung teologi pembebasan, Hugo berhasil terpilih menjadi Presiden Chili
yang memakai gaya politik yang berbeda dengan Hugo Chavez dari Venezuela dan Evo
Morales
dari Bolivia yang lebih kiri-radikal dan Marxis itu.[3]

Você também pode gostar