Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
6. Dalam unsur professional misconduct, berarti terjadi pelanggaran sengaja pada etik
kedokteran, ketentuan disiplin profesi, dan hokum yang berlaku. Bagaimana cara
membedakan malpraktik yang terjadi apakah melanggar ketiga bidang tersebut?
Jika diukur menurut berat-ringannya maka malpraktik yang dilakukan oleh profesi
kedokteran dapat dibedakan menjadi malpraktik etika, malpraktik disiplin dan malpraktik
hukum. Untuk mengetahui lebih jelas perbedaan-perbedaan antara malpraktik etika,
disiplin dan hukum dapat dilihat pada tabel berikut:
13. Apa peran dari Kodeki dan MKEK dalam hal malpraktik?
Kodeki (Kode Etik Kedokteran Indonesia) atau disebut juga etika profesi dokter adalah
merupakan pedoman bagi dokter Indonesia dalam melaksanakan praktik kedokteran.
Dasar dari adanya Kodeki ini dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 8 huruf f UU No. 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) Pasal 24 UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
Etika profesi adalah kode etik dokter dan kode etik dokter gigi yang disusun
oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia
(PDGI).
Pasal 24 UU Kesehatan
a) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
b) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
c) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Penegakan etika profesi kedokteran ini dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Pedoman
Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia,
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah salah satu badan otonom Ikatan
Dokter Indonesa (IDI) yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan
Cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan
atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing.
Dengan demikian, MKEK adalah lembaga penegak etika profesi kedokteran (kodeki), di
samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) yakni lembaga
yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan
dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan
menetapkan sanksi (lihat Pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran).
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kode etik kedokteran (kodeki) merupakan amanat
dari peraturan perundang-undangan yang penyusunannya diserahkan kepada organisasi
profesi (IDI) sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat terhadap setiap anggota
pada organisasi profesi tersebut.
14. Apa saja langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh korban malpraktik?
Terkait dengan malpraktik, menurut Wakil Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) Sabir Alwi dalam artikel Kelalaian Tenaga Kesehatan
Tidak Dapat Dipidana, sebenarnya kelalaian tenaga kesehatan dan dokter dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat/pasien tidak dapat dipidana. Sebab,
dalam tiga paket undang-undang di bidang kesehatan (UU No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit) tak ada satu pasal pun yang menyebutkan bahwa karena
kelalaian seorang tenaga kesehatan termasuk dokter bisa dipidana.
Pada dasarnya, dalam hukum pidana ada ajaran kesalahan (schuld) dalam hukum pidana
terdiri dari unsur kesengajaan (dolus) atau kealpaan/kelalaian (culpa). Namun, dalam
ketiga undang-undang tersebut di atas yang aturannya bersifat khusus (lex specialis)
semua ketentuan pidananya menyebut harus dengan unsur kesengajaan. Namun, dalam
artikel yang sama, Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), M. Nasser
tidak sepakat jika kelalaian tidak bisa dipidana sama sekali. Sebab, sesuai UU Praktik
Kedokteran (lihat Pasal 66 ayat [3] UU Praktik Kedokteran), masyarakat yang merasa
dirugikan atas tindakan dokter/dokter gigi dapat melaporkan kepada MKDKI dan
laporannya itu tak menghilangkan hak masyarakat untuk melapor secara pidana atau
menggugat perdata di pengadilan.
Namun, dalam hal terjadi kelalaian dokter/tenaga kesehatan sehingga mengakibatkan
terjadinya malpraktik, korban tidak diwajibkan untuk melaporkannya ke MKEK/MKDKI
terlebih dahulu. Dalam Pasal 29 UU Kesehatan justru disebutkan bahwa dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut
harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Meskipun, korban malpraktik dapat
saja langsung mengajukan gugatan perdata.
Jadi, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga
kesehatan yakni:
b. Melakukan mediasi;
Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat
dilakukan upaya pelaporan secara pidana.
PERMENKES RI No.1419/MENKES/PER/X/2005
Pasal 24
1. Menteri, Konsil Kedokteran Indonesia,Pemerintah Daerah, dan organisasi
profesimelakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini sesuai
dengan fungsi,tugas dan wewenang masing-masing.
2. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diarahkan pada
pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan yang diberikan oleh dokter dan dokter
gigi.
Pasal 25
1. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat
mengambil tindakan administratip terhadap pelanggaran peraturan ini.
2. Sanksi administratip sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat berupa peringatan lisan,
tertulis sampai pencabutan SIP.
3. Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dalam memberikan sanksi administratip
sebagaimana dimaksud ayat 2 terlebih dahulu dapat mendengar pertimbangan
organisasi profesi.
Pasal 26
Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dapat mencabut SIP dokter dan dokter gigi:
1. Atas dasar keputusan MKDKI
2. STR dokter atau dokter dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
3. Melakukan tindak pidana.
Pasal 27
1. Pencabutan SIP yang dilakukan Dinas KesehatanKabupaten / Kota wajib
disampaikan kepada dokter dan dokter gigi yang bersangkutan dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal keputusan
ditetapkan.
2. Dalam hal keputusan dimaksud pada ayat 1 tidak dapat diterima, yang bersangkutan
dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk
diteruskan kepada Menteri Kesehatan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah
keputusan diterima.
3. Menteri setelah menerima keputusan sebagaimana dimaksud ayat 2 meneruskan
kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia paling lambat 14 (empat
belas) hari.
Pasal 28
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota melaporkan setiap pencabutan SIP dokter dan
dokter gigi kepada Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia dan Dinas
Kesehatan Provinsi, serta tembusannya disampaikan kepada organisasi profesi setempat.
Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum
itu maka dia yang bertanggung jawab.
Dan banyak sekali penjelasan dari ulama mengenai hal ini.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu berkata,
Maka wajib mengganti rugi [bertanggung jawab] bagi dokter yang bodoh jika
melakukan praktek kedokteran dan tidak mengetahui/mempelajari ilmu kedokteran
sebelumnya
Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak
mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya.
Barangsiapa lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari
perbuatannya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya,
maka ia harus bertanggung jawab.
Dokter yang mahir, jika melakukan [praktek kedokteran] dan tidak melakukan
kesalahan, kemudian terjadi dalam prakteknya kerusakan/bahaya. Maka ia tidak
harus mengganti rugi. Karena ia mendapat izin dari pasien atau wali pasien. Dan
segala kerusakan yang timbul dalam perbuatan yang mendapat izin, maka tidak harus
mengganti rugi.
Maksud mendapat izin yaitu ada ridha dari pasien bahwa ia mau diobati oleh dokter atau
ia meminta dokter untuk melakukan pengobatan padanya. Hal ini diperkuat dengan
kaidah fiqhiyah.
Apa-apa [kerusakan] yang timbul dari sesuatu yang mendapat izin, maka tidak harus
mengganti rugi, dan kebalikannya
Karena dokter tidak berniat mencelakakan pasien bahkan berniat membantu pasien. Kita
tahu dalam ilmu fiqh bab Al-Jinayat hal ini di bahas. Jika melakukan bahaya dan
kerusakan pada orang lain maka harus diqishas jika sengaja dan jika tidak sengaja maka
harus mengganti rugi atau membayar diyat.
1. Dokter yang mahir, melakukan praktek sesuai standar dan tidak melakukan
kecerobohan
Kemudian terjadi efek yang kurang baik bagi pasien, maka ia tidak harus
bertanggung jawab dengan mengganti.
Misalnya pasien mendapat obat dari dokter, kemudian dokter sudah bertanya apakah
ia mempunyai alergi dengan obat tertentu, maka pasien menjawab tidak tahu,
kemudia dokter menjelaskan bisa jadi terjadi alergi. Kemudian pasien memilih
menggunakan obat tersebut. Kemudian terjadi alergi berupa gatal-gatal pada pasien
tersebut. Maka dokter tidak wajib mengganti kerugian. Alasannya lainnya juga
karena kita tidak tahu apakah ia alergi obat apa tidak, karena ketahuan hanya jika
sudah dicoba mengkonsumsi.
Kemudian terjadi bahaya bagi pasien, maka dokter wajib bertanggung jawab atau
ganti rugi berupa diyat.
Misalnya mahasiswa kedokteran yang masih belajar [co-aas] dan dia tidak
menyiapkan diri untuk melakukan praktek kemudian terjadi kesalahan yang
merugikan pasien maka ia wajib bertaggung jawab.
Maka ia wajib bertanggung jawab, akan tetapi ada perselisihan dalam penggantian
diyat, bisa jadi dari harta dokter ataupun dari baitul mal (kas Negara).
Misalnya dokter bedah ketika membedah, pisau bedah tertinggal diperut pasien,
kemudian perut pasien rusak, maka dokter bedah wajib bertanggung jawab.
4. Dokter yang mahir, berijtihad memberikan suatu resep obat, kemudian ia salah dalam
ijtihadnya
Maka ia wajib bertanggung jawab dan ada dua pendapat tentang harta pengganti, bisa
dari baitul mal (kas Negara) atau harta keluarganya.
5. Dokter yang mahir, melakukan pengobatan kepada anak kecil atau orang gila tanpa
izinya tetapi mendapat izin walinya
Kemudian terjadi kerusakan/bahaya bagi pasien maka ganti rugi dirinci, jika ia
melakukan kecorobohan, maka ia wajib mengganti jika tidak maka tidak perlu
mengganti.
24. Apakah bisa seorang dokter yang malpraktik dihukum masuk penjara menurut
pandangan agama Islam?
Bisa saja, jika hukuman ini berasal dari peraturan pemerintah. Di mana dalam Islam,
pemerintah berhak mengeluarkan kebijaksanaan hukuman tertentu pada kasus kejahatan
tertentu. Hal ini di kenal dalam Islam sebagai hukuman Tazir. Yaitu hukuman yang bisa
membuat jera dan manusia tidak akan coba-coba melakukannya. Misalnya pemerintah
menerapkan hukuman mati bagi pemerkosa atau hukuman cambuk di depan publik.
Ringkasnya tazir adalah hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah walaupun tidak ada
dalam syariat atau tidak dijelaskan dalam syariat.
. :
At-Tazir adalah hukuman terhadap suatu pelanggaran yang tidak dijelaskan oleh
syariat hukumannya
Untuk kasus dokter, misalnya terlalu banyak dokter yang gadungan, terlalu banyak yang
tidak update ilmunya. Sudah dibuat peringatan dan hukuman diyat tetapi tidak mempan.
Kemudian pemerintah merasa hukuman yang tepat adalah penjara untuk mencegah
merajalelanya para dokter seperti ini. Maka hal ini diperbolehkan dalam Islam.
25. Apakah wajar mengkriminalisasi (hukuman penjara) seorang dokter? (Kasus dr.
Ayu)
1. Jika dokter yang kompeten dan tidak melakukan kelalaian, sudah mendapat izin
pasien kemudian terjadi kerusakan/bahaya, maka dokter tidak perlu bertanggung
jawab
2. Dijelaskan hukumannya adalah diyat (mengganti rugi), karena dokter tidak berniat
mencelakai bahkan berniat membantu
3. Pemerintah tidak setuju dengan hukuman penjara (jika berdalih bahwa penjara adalah
tazir dari pemerintah). Hal ini terbukti bahwa pemerintah (dalam hal ini adalah
menteri kesehatan yang diberi wewenang oleh presiden dan lembaga negara), menteri
kesehatan tidak setuju dengan dokter dipenjara. Bahkan dalam kasus dokter dipenjara,
menteri kesehatan berusaha menangguhkan penahanan dokter tersebut.
Sebagai tergugat, dokter harus membela diri antara lain membuktikan bahwa tidak ada
kerugian pasien akibat tindakan atau kelalaian dokter, atau kerugian tersebut tidak
berhubungan dengan tindakan atau kelalaian dokter. Dalam menilai peristiwa, perlu
dilihat apakah risiko tersebut sudah dapat dibayangkan (foreseeable) atau tidak, dapat
dihindari (avoidable) atau tidak, telah diantisipasi atau tidak, dan apakah risiko tersebut
telah diinformasikan dan disetujui sebelumnya (informed consent) oleh pasien. Dokter
perlu bersikap hati-hati dalam berespon ke media massa dan menggunakan hak jawab
bila informasi menyudutkan atau menyesatkan dan dapat mengakibatkan persepsi buruk,
tanpa membuka rahasia kedokteran.
27. Seorang dokter spesialis kulit-kelamin memberi injeksi penisilin pada pasien
dengan penyakit GO, pasien tak lama kemudian meninggal dunia. Apa saja
kelalaian yang dilakukan oleh dokter tersebut yang bisa menyebabkan dirinya baru
saja melakukan malpraktik medis?
Kesalahan yang dilakukan oleh dokter ahli tersebut adalah 1) tidak melakukan anamnesis
dengan baik yang berkaitan dengan alergi; 2) tidak melakukan skin tes, dan yang lebih
mendasar; 3) bukankah pemberian suatu preparat secara parenteral harus mempunyai
alasan yang tepat, misalnya terdapat gangguan absorbs atau keadaan kesadaran yang
menurun.
Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada 183 kasus kelalaian medik atau bahasa awamnya
malpraktek yang terbukti dilakukan dokter di seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti
dilakukan dokter setelah melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI). Akibat dari malpraktek yang terjadi selama ini, sudah
ada 29 dokter yang izin prakteknya dicabut sementara. Ada yang tiga bulan, ada yang
enam bulan.
29. Apakah ada hukumnya untuk dokter yang menghina pasien dengan sebutan
"PASIEN TOLOL" ketika seorang ibu dari pasien berkonsultasi masalah penyakit
dan obat untuk anaknya?
Penghinaan yang dilakukan oleh dokter tersebut dengan menyebut Pasien Tolol
merupakan salah satu dari 28 bentuk pelanggaran disiplin dokter sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf h Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 4 Tahun 2011
tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, yaitu:
tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information)
kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan Praktik Kedokteran.
Keputusan MKDKI dapat menyatakan tidak bersalah atau memberi sanksi disiplin.
Sanksi disiplin dapat berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda
registrasi atau surat izin praktik, dan/atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan
di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi (Pasal 69 UU Praktik
Kedokteran)
30. Bagaimana seharusnya usaha seorang pasien agar ia tidak menjadi korban
malpraktik?
1. Pilih tempat pengobatan (RS atau Klinik) yang memiliki reputasi cukup baik. Jangan
hanya mempertimbangkan jarak dengan rumah sebagai dasar memilih tempat
berobat. Jangan ragu memilih di tempat yang jauh asalkan reputasinya bagus,
meskipun di dekat rumah anda ada layanan kesehatan tetapi belum jelas reputasinya.
2. Ketika pasien melakukan rawat inap, akan ada dokter yang ditunjuk untuk
menangani pasien. Jangan ragu untuk meminta dokter yang anda percayai kepada
pihak manajemen
3. Jangan takut untuk bertanya kepada dokter mengenai tindakan medis yang dilakukan.
Menurut UU Kesehatan, keluarga pasien berhak tahu apa saja tindakan medis yang
dilakukan dokter kepada pasien.
4. Jangan takut untuk bertanya kepada dokter obat yang diberikan kepada pasien.
Sebagai keluarga, anda berhak tahu dan dilindungi oleh UU Kesehatan.
5. Cari Pendapat Kedua bahkan Ketiga. Setiap orang tentu memiliki pendapat yang
berbeda, begitu juga dengan dokter. Mereka memiliki pengalaman, ilmu, dan terlebih
lagi hati nurani yang berbeda. Semua perbedaan ini bisa jadi bahan pertimbangan
yang baik bagi Anda.
6. Jika Memungkinkan Cari Dokter yang Anda Kenal Baik Karakternya sesingga kita
tidak perlu lagi akan kesungguhan mereka dalam menangani penyakit kita. Karena
rasa percaya tersebut maka kita tidak perlu merasa takut bahwa sang dokter akan
mencelakai kita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman dan Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat (FK ULM). Romans forensik. Edisi ke-32. Banjarmasin: Bagian Ilmu Kedokteran
Kehakiman dan Forensik FK ULM; 2016.
3. Tanto C, et al. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-4 jilid II. Jakarta: Media Aesculapius;
2014.
4. Hadi I. Hukum malpraktik di Indonesia [internet]. 2013 [cited 1 Maret 2017]; Available from:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51314ec548bec/hukum-malpraktik-di-indonesia
5. Febryanti K, Kusumasari D. Langkah-langkah yang dapat dilakukan pasien korban malpraktik
[internet]. 2012 [cited 1 Maret 2017]; Available from:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4224/langkah-langkah-yang-dapat-dilakukan-
pasien-korban-malpraktik.
6. Bahraen R. Wajarkah dokter dipenjara jika melakukan malpraktek? [internet]. 2013 [cited
1 Maret 2017]; Available from: https://muslimafiyah.com/wajarkah-dokter-dipenjara-
jika-melakukan-malpraktek.html
7. Hadi I. Prosedur mengadukan dokter yang menghina pasien [internet]. 2012 [cited 1
Maret 2017]; Available from:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50018eda24203/prosedur-mengadukan-
dokter-yang-menghina-pasien
8. Anonim. Dampak hukum malpraktek kedokteran [internet]. 2013 [cited 1 Maret 2017];
Available from: https://dokterindonesiaonline.com/2013/12/02/dampak-hukum-
malpraktek-kedokteran/