Você está na página 1de 27

1. Apa definisi dari malpraktik?

Malpraktik didefinisikan sebagai professional misconduct or unreasonable lack of skill


atau failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and
learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average
prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to
the recipient of those services or to those entitled to rely upon them. (Blacks Law
Dictionary)
Berdasarkan definisi tersebut, maka unsur yang penting ialah malpraktik bukan dilihat
dari hasil tindakan medis melainkan peninjauan proses tindakan medis tersebut
dilaksanakan.

2. Mengapa bisa terjadi malpraktik?


Malpraktik dapat terjadi karena adanya unsur professional misconduct, lack of skill, dan
negligence. Professional misconduct merupakan kesengajaan yang dapat dilakukan dalam
bentuk pelanggaran etik ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, pidana, ataupun
perdata. Bentuknya antara lain seperti penahanan pasien, pelanggaran rahasia kedokteran,
aborsi illegal, euthanasia, penyerangan seksual, keterangan palsu, penggunaan
IPTEKDOK yang belum teruji/di luar kompetensi. Hal lain yang berakibat tuduhan
malpraktik adalah kurangnya kompetensi atau melakukan tindakan luar
kompetensi/kewenangan (lack of skill) dan tindakan kelalaian (negligence).

3. Apa saja bentuk dari kelalaian (negligence) tersebut?


Malpraktik paling sering terjadi akibat kelalaian medic, yaitu melakukan yang seharusnya
tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan oleh orang lain dengan
kualifikasi sama pada keadaan dan situasi yang sama. Dalam hal ini, ada tiga bentuk
kelalaian, yaitu:
- Malfeasance (tindakan tidak tepat atau melanggar hukum),
- Misfeasance (pilihan tindakan tepat tetapi pelaksanaan tidak tepat), dan
- Nonfeasance (tidak melakukan tindakan yang seharusnya)

4. Bagaimana cara menetapkan bahwa telah terjadi kelalaian?


Dalam menetapkan kelalaian tersebut, harus terdapat empat unsur (4D) berikut: Duty
(adanya kewajiban untuk melakukan/tidak melakukan tindakan pada situasi tertentu)
Dereliction (adanya penyimpangan kewajiban), Damage (adanya kerugian akibat layanan
kedokteran), dan Direct causal ship (adanya hubungan sebab akibat yang nyata).
Meskipun demikian, pada kenyataannya tidak semua sengketa medik yang memenuhi
unsur 4D berakhir dengan proses peradilan. Hal ini terjadi akibat adanya unsur kelima
kelalaian; yaitu willing plaintiff (keinginan menggugat).

5. Bagaimana pandangan hukum mengenai kelalaian?


Tingkat-tingkat kelalaian oleh hukum hanya dibedakan 3 (tiga) ukuran tingkat:
- Yang bersifat ringan, biasa (culpa levis): yaitu apabila seseorang tidak melakukan apa
yang seorang biasa, wajar, dan berhati-hati akan melakukan, atau justru melakukan
apa yang orang lain yang wajar tidak akan melakukan di dalam situasi yang meliputi
keadaan tersebut.
- Kesalahan ringan (slight fault or neglect): (Culpa levissima)
- Yang bersifat kasar, berat (culpa lata): yaitu apabila seseorang dengan sadar dan
dengan sengaja tidak melakukan atau melakukan sesuatu yang sepatutnya tidak
dilakukannya.
Culpa lata tidak berlaku dalam hukum perdata. Culpa levis dan Culpa levissima yang
tidak dapat dikenakan hukum pidana dapat ditampung dalam hukum Perdata dan hukum
Disiplin Tenaga Kesehatan (di Indonesia belum ada)

6. Dalam unsur professional misconduct, berarti terjadi pelanggaran sengaja pada etik
kedokteran, ketentuan disiplin profesi, dan hokum yang berlaku. Bagaimana cara
membedakan malpraktik yang terjadi apakah melanggar ketiga bidang tersebut?
Jika diukur menurut berat-ringannya maka malpraktik yang dilakukan oleh profesi
kedokteran dapat dibedakan menjadi malpraktik etika, malpraktik disiplin dan malpraktik
hukum. Untuk mengetahui lebih jelas perbedaan-perbedaan antara malpraktik etika,
disiplin dan hukum dapat dilihat pada tabel berikut:

BIDANG SIFAT TUJUAN SANKSI


Etika Intern (self Memelihara harkat Teguran, skorsing, pemecatan
imposed martabat profesi sebagai anggota
regulation) dan menjaga mutu
Disiplin Hukum publik (ada Melindungi Teguran, skorsing,
unsur pemerintah masyarakat pencabutan izin
dan awam) (termasuk anggota
profesi)
Hukum Berlaku umum Menjaga tata tertib Hukum perdata
(bersifat memaksa) masyarakat luas = ganti rugi
Hukum Pidana
= sanksi badan dan atau
pencabutan izin

7. Bagaimana pandangan aspek pidana terhadap malpraktik?


Dalam ilmu hukum pidana, suatu perbuatan dikatakan perbuatan pidana apabila
memenuhi unsur yang telah ditentukan secara limitatif dalam suatu peraturan perundang-
undangan pidana pasal (1) KUHP menyatakan suatu perbuatan yang dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan itu dilakukan, atas asas legalitas. Perbuatan pidana dapat bersifat kesengajaan
(delik culpa) maupun kealpaan (delik alpa). Berdasarkan doktrin ilmu hhukum pidana
inilah malpraktik medis juga harus dpat dibedakan apakah masuk dalam delik culpa
atau delik alpa
Malpraktik medis dapat terjadi karena faktor kesengajaan atau tidak dengan kesengajaan.
Perbedaannya terletak pada motif tindakan yang dilakukannya. Apabila dilakukan secara
sadar dan tujuannya diarahkan kepada akibat atau mengetahui bahwa tindakan itu
bertentangan dengan hukum, maka tindakan ini disebut malpraktik (malpraktik kriminal).
Apabila tindakan tersebut tidak didasari dengan motif untuk menimbulkan akibat buruk,
maka tindakan tersebut adalah tindakan kelalaian. Akibat yang ditimbulkan dari suatu
kelalaian sebenarnya terjadi di luar kehendak yang melakukannya. Apabila disimak dari
berbagai kasus malpraktik medis yang terjadi sebenarnya sebagian besar disebabkan oleh
suatu kelalaian. Beberapa kesalahan suatu tindakan malpraktik kriminal antara lain,
perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap
batin yang salah (mens rea) dan merupakan perbuatan sengaja (intensional), ceroboh
(recklessness) atau kealpaan (negligence).
Malpraktik kriminal adalah kesalahan dalam menjalankan praktik yang berkaitan dengan
pelanggaran undang-undang hukum pidana. Pelanggaran undang-undang tersebut bisa
berhubungan dengan 1) menyebabkan pasien mati/luka karena kelalaian, 2) melakukan
abortus provokatus criminalis, 3) melakukan pelanggaran kesusilaan/kesopanan, 4)
membuka rahasia kedokteran, 5) memalsukan surat keterangan, 6) bersepakat melakukan
tindak pidana, 7) sengaja tidak memberikan pertolongan pada orang yang dalam keadaan
bahaya.

8. Bagaimana pandangan aspek perdata terhadap?


Malpraktik medis selain dapat dituntut secar pidana juga dapat dituntut secara perdata
dalam bentuk pembayaran ganti rugi. Dasar hukum malpraktik perdata/sipil adalah
transaksi atau kontrak teraupetik antara dokter dengan pasien yaitu hubungan dokter
dengan pasien, dimana dokter bersedia memberikan pengobatan atau perawatan medis
kepada pasien dan pasien bersedia membayar sejumlah honorium/imbalan kepada dokter.
Ketentuan yang terkait denagn KUHP perdata adalah: Pasal 1366 KUHP perdata, setiap
orang bertanggungjawab bukan hanya kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi
juga kerugian yanng disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hati

9. Bagaimana pandangan aspek hukum administrasi terhadap malpraktik?


Malpraktik sebagaimana disebutkan secara singkat diatas, merupakan perbuatan yang
melanggar kewajiban yang seharusnya dilakukan, yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana yang diatur dalam standar profesi. Standar profesi merupakan pengaturan
terhadap cara pelaksanaan tindakan medis sehingga tindakan tersebut sesuai dengan
tujuan yang diharapkan, jadi merupakan ketentuan hukum administrasi yang harus ditaati
oleh tenaga medis yang bersangkutan. Kesalahan tindakan berarti pelanggaran terhadap
ketentuan hukum administrasi dan karenanya dapat dikenakan tindakan administrasi oleh
pihak pemerintah.
Secara yuridis semua kasus accident/risk in treatment/error in judgement dapat diajukan
ke pengadilan pidana maupun perdata sebagai malpraktik untuk dilakukan pembuktian
berdasarkan standar profesi kedokteran dan informed consent. Bila dokter terbukti tidak
menyimpang dari standar profesi kedokteran dan sudah memenuhi informed consent
maka ia tidak dipidana atau diputuskan bebas membayar kerugian.

10. Apa yang mendasari tentang malpraktik?


Pada peraturan perundang-undangan Indonesia yang sekarang berlaku tidak ditemukan
pengertian mengenai malpraktik. Akan tetapi makna atau pengertian malpraktik justru
didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan
(UU Tenaga Kesehatan) yang telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan. Oleh karena itu secara perundang-undangan, menurut Dr. H. Syahrul
Machmud, S.H., M.H., ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan dapat
dijadikan acuan makna malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik dengan
melalaikan kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan:
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap
tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip dalam hal sebagai
berikut:
a. melalaikan kewajiban;
b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga
kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai
tenaga kesehatan;
c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
d. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.
Jadi, dilihat dari arti istilah malpraktik itu sendiri, malpraktik tidak merujuk hanya kepada
suatu profesi tertentu sehingga dalam hal ini akan dijelaskan dengan merujuk pada
ketentuan beberapa profesi yang ada, misalnya:
- Dokter dan dokter gigi sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran);
- Advokat sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU
Advokat);
- Notaris sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(UU Jabatan Notaris);
- Akuntan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan
Publik (UU Akuntan Publik).

11. Apa peran dari kode etik?


Setiap profesi yang telah dsebutkan juga memiliki kode etik masing-masing sebagai
pedoman dalam menjalankan tugas profesi. Selain peraturan perundang-undangan, kode
etik biasanya juga dijadikan dasar bagi organisasi profesi tersebut untuk memeriksa
apakah ada pelanggaran dalam pelaksanaan tugas.
Untuk profesi akuntan publik, selain kode etik, ditambah pula dengan Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP), yaitu acuan yang ditetapkan menjadi ukuran mutu yang wajib
dipatuhi oleh Akuntan Publik dalam pemberian jasanya (Pasal 1 angka 11 UU Akuntan
Publik). Seperti juga profesi akuntan publik, profesi dokter dan dokter gigi juga memiliki
peraturan disiplin profesional yang diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
No. 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.

12. Apa peran dari kedisiplinan?


Atas segala ketentuan terkait pedoman profesi-profesi di atas (baik yang ada dalam
peraturan perundang-undangan maupun kode etik), terdapat pihak yang akan melakukan
pengawasan dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran ketentuan profesi-profesi tersebut.
Biasanya terdapat organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi
profesi tersebut.
Untuk profesi advokat, pihak yang melakukan pengawasan dan dapat menjatuhkan sanksi
terhadap malpraktik advokat adalah Organisasi Advokat dan Dewan Kehormatan
Organisasi Advokat (Pasal 26 UU Advokat). Sedangkan untuk profesi Notaris dilakukan
oleh Majelis Pengawas (Pasal 67 UU Jabatan Notaris), untuk profesi akuntan publik
dilakukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 53 UU Akuntan Publik), dan untuk profesi
dokter serta dokter gigi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (Pasal 1 angka 3 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia).

13. Apa peran dari Kodeki dan MKEK dalam hal malpraktik?
Kodeki (Kode Etik Kedokteran Indonesia) atau disebut juga etika profesi dokter adalah
merupakan pedoman bagi dokter Indonesia dalam melaksanakan praktik kedokteran.
Dasar dari adanya Kodeki ini dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 8 huruf f UU No. 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) Pasal 24 UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).

Pasal 8 Huruf f UU Praktik Kedokteran

Etika profesi adalah kode etik dokter dan kode etik dokter gigi yang disusun
oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia
(PDGI).

Pasal 24 UU Kesehatan
a) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
b) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
c) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Penegakan etika profesi kedokteran ini dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Pedoman
Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia,
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah salah satu badan otonom Ikatan
Dokter Indonesa (IDI) yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan
Cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan
atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing.
Dengan demikian, MKEK adalah lembaga penegak etika profesi kedokteran (kodeki), di
samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) yakni lembaga
yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan
dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan
menetapkan sanksi (lihat Pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran).
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kode etik kedokteran (kodeki) merupakan amanat
dari peraturan perundang-undangan yang penyusunannya diserahkan kepada organisasi
profesi (IDI) sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat terhadap setiap anggota
pada organisasi profesi tersebut.

14. Apa saja langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh korban malpraktik?
Terkait dengan malpraktik, menurut Wakil Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) Sabir Alwi dalam artikel Kelalaian Tenaga Kesehatan
Tidak Dapat Dipidana, sebenarnya kelalaian tenaga kesehatan dan dokter dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat/pasien tidak dapat dipidana. Sebab,
dalam tiga paket undang-undang di bidang kesehatan (UU No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit) tak ada satu pasal pun yang menyebutkan bahwa karena
kelalaian seorang tenaga kesehatan termasuk dokter bisa dipidana.
Pada dasarnya, dalam hukum pidana ada ajaran kesalahan (schuld) dalam hukum pidana
terdiri dari unsur kesengajaan (dolus) atau kealpaan/kelalaian (culpa). Namun, dalam
ketiga undang-undang tersebut di atas yang aturannya bersifat khusus (lex specialis)
semua ketentuan pidananya menyebut harus dengan unsur kesengajaan. Namun, dalam
artikel yang sama, Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), M. Nasser
tidak sepakat jika kelalaian tidak bisa dipidana sama sekali. Sebab, sesuai UU Praktik
Kedokteran (lihat Pasal 66 ayat [3] UU Praktik Kedokteran), masyarakat yang merasa
dirugikan atas tindakan dokter/dokter gigi dapat melaporkan kepada MKDKI dan
laporannya itu tak menghilangkan hak masyarakat untuk melapor secara pidana atau
menggugat perdata di pengadilan.
Namun, dalam hal terjadi kelalaian dokter/tenaga kesehatan sehingga mengakibatkan
terjadinya malpraktik, korban tidak diwajibkan untuk melaporkannya ke MKEK/MKDKI
terlebih dahulu. Dalam Pasal 29 UU Kesehatan justru disebutkan bahwa dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut
harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Meskipun, korban malpraktik dapat
saja langsung mengajukan gugatan perdata.

Jadi, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga
kesehatan yakni:

a. Melaporkan kepada MKEK/MKDKI;

b. Melakukan mediasi;

c. Menggugat secara perdata.

Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat
dilakukan upaya pelaporan secara pidana.

15. Bagaimana cara mencegah terjadinya malpraktik?


Di negara-negara maju terdapat Dewan Medis (Medical Council) yang bertugas
melakukan pembinaan etika profesi dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan terhadap etik kedokteran.
Di Negara kita IDI telah mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK),
baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang. Walaupun demikian, MKEK ini belum
lagi dimanfaatkan dengan baik oleh para dokter maupun masyarakat.
Masih banyak kasus yang keburu diajukan ke pengadilan sebelum ditangani oleh MKEK.
Oleh karena fungsi MKEK ini belum memuaskan, maka pada tahun 1982 Departeman
Kesehatan membentuk Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK)
yang terdapat pula di pusat dan di tingkat propinsi.
Tugas P3EK ialah menangani kasus-kasus malpraktek etik yang tidak dapat
ditanggulangi oleh MKEK, dan memberi pertimbangan serta usul-usul kepada pejabat
berwenang.Jadi instansi pertama yang akan menangani kasus-kasus malpraktek etik ialah
MKEK cabang atau wilayah. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK dirujuk
ke P3EK Propinsi dan jika P3EK Propinsi tidak mampu menanganinya maka kasus
tersebut diteruskan ke P3EK Pusat.
Demikian juga kasus-kasus malpraktek etik yang dilaporkan kepada propinsi, diharapkan
dapat diteruskan lebih dahulu ke MKEK Cabang atau Wilayah. Dengan demikian
diharapkan bahwa semua kasus pelanggaran etik dapat diselesaikan secara tuntas.
Tentulah jika sesuatu pelanggaran merupakan malpraktek hukum pidana atau perdata,
maka kasusnya diteruskan kepada pengadilan. Dalam hal ini perlu dicegah bahwa oleh
karena kurangnya pengetahuan pihak penegak hukum tentang ilmu dan teknologi
kedokteran menyebabkan dokter yang ditindak menerima hukuman yang dianggap tidak
adil.

16. Bagaimana malpraktik menurut hukum di Indonesia?


Menurut UU RI No. 23 Tahun 1992
Pasal 15
1. Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau
janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
2. Tindakan medis tertentu, sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan:
a. Berdasarkan indikasi medis yangmengharuskan diambilnya tindakan tersebut.
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan
tim ahli.
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
d. Pada sarana kesehatan tertentu.
Pasal 32
4. Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu
keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu.
Pasal 34
1. Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di
saranakesehatan tertentu.
Pasal 35
1. Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pasal 36
1. Implan obat dan atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
Pasal 37
1. Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu
Pasal 53
1. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hokum dalam melaksanakan tugas
sesuai dengan profesinya.
2. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi dan menghormati hak pasien.
Pasal 70
1. Dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah mayat
untuk penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tenaga
kesehatan.
2. Bedah mayat hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam
masyarakat.

Menurut UU RI No. 29 Tahun 2004


Pasal 29
1. Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib
memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib
memiliki surat izin praktik.
Pasal 41
2. Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan
menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib
memasang papan nama praktik kedokteran.
Pasal 45
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Pasal 46
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
Pasal 48
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional.
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional.
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.
d. Menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien.
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
ataupengobatan.
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.
d. Melakukan pertolongan darurat atau dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.
Pasal 52
Pasien dalammenerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat 3.
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhanmedis.
d. Menolak tindakan medis.
e. Mendapatkan isi rekammedis.
Pasal 53
Pasien dalammenerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban:
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya.
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi.
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan.
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

17. Apa sanksi pidana bagi dokter yang melakukan malpraktik?


Bila terbukti malpraktik, seorang dokter antara lain dapat dikenakan pasal 359, 360, dan
361 KUHP bila malpraktik itu dilakukan dengan sangat tidak berhati-hati (culpa lata),
kesalahan serius, dan sembrono.
KUHP 359
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
KUHP 360
1. Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selam-lamanya
satu tahun.
2. Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga
orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau
pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan
bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda
setinggi-tingginya Rp.4500,-
KUHP 361
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu
jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan
sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan
hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan.

UU RI No. 23 Tahun 1992


Pasal 80
1. Barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 1dan ayat
2, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
Pasal 81
1. Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
a. Melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat 1.
b. Melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.
c. Melakukan bedah plastik dan rekonstruksisebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat 1.Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan atau pidana
denda paling banyakRp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta rupiah).
Pasal 82
1. Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja:
a. Melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat 4.
b. Melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 1.
c. Melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1.
d. Melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat 1.
e. Melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat 2.Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).

UU RI No. 29 Tahun 2004


Pasal 75
1. Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat tandaregistrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah)
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat 1.
b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat 1.
c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
huruf a,huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

18. Apa sanksi perdata bagi dokter yang melakukan malpraktik?


KUH Perdata 1366
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang
hati-hatinya
KUH Perdata 1367
Mengatur tentang kewajiban pemimpin atau majikan untuk mengganti kerugian yang
disebabkan oleh kelalaian yang dilakukan oleh anak buah atau bawahannya.
KUH Perdata 1370
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau kurang
hati-hatinya seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua
korban yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk
menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua
belah pihak serta menurut keadaan.
KUH Perdata 1371
Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-hati,
memberikan hak kepada korban selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, juga
menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut.

UU RI No. 23 Tahun 1992


Pasal 55
1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 80 (lihat sanksi pidana)
Pasal 81 (lihat sanksi pidana)
Pasal 82 (lihat sanksi pidana)
UU RI No.29 Tahun 2004
Pasal 75 (lihat sanksi pidana)
Pasal 76 (lihat sanksi pidana)
Pasal 79 (lihat sanksi pidana)

19. Apa sanksi administratif bagi dokter yang melakukan malpraktik?


UU RI No. 29 Tahun 2004
Pasal 66
1. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter
atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara
tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
2. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Identitas pengadu
b. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan
dilakukan.
c. Alasan pengaduan.
3. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1dan ayat 2 tidak menghilangkan hak
setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang
berwenang dan atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Pasal 67
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan
keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.
Pasal 69
1. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter,
dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia.
2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapatberupa dinyatakan tidak bersalah
atau pemberian sanksi disiplin.
3. Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat berupa:
a. Pemberian peringatan tertulis.
b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan diinstitusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.

PERMENKES RI No.1419/MENKES/PER/X/2005
Pasal 24
1. Menteri, Konsil Kedokteran Indonesia,Pemerintah Daerah, dan organisasi
profesimelakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini sesuai
dengan fungsi,tugas dan wewenang masing-masing.
2. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diarahkan pada
pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan yang diberikan oleh dokter dan dokter
gigi.
Pasal 25
1. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat
mengambil tindakan administratip terhadap pelanggaran peraturan ini.
2. Sanksi administratip sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat berupa peringatan lisan,
tertulis sampai pencabutan SIP.
3. Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dalam memberikan sanksi administratip
sebagaimana dimaksud ayat 2 terlebih dahulu dapat mendengar pertimbangan
organisasi profesi.
Pasal 26
Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dapat mencabut SIP dokter dan dokter gigi:
1. Atas dasar keputusan MKDKI
2. STR dokter atau dokter dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
3. Melakukan tindak pidana.
Pasal 27
1. Pencabutan SIP yang dilakukan Dinas KesehatanKabupaten / Kota wajib
disampaikan kepada dokter dan dokter gigi yang bersangkutan dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal keputusan
ditetapkan.
2. Dalam hal keputusan dimaksud pada ayat 1 tidak dapat diterima, yang bersangkutan
dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk
diteruskan kepada Menteri Kesehatan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah
keputusan diterima.
3. Menteri setelah menerima keputusan sebagaimana dimaksud ayat 2 meneruskan
kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia paling lambat 14 (empat
belas) hari.
Pasal 28
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota melaporkan setiap pencabutan SIP dokter dan
dokter gigi kepada Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia dan Dinas
Kesehatan Provinsi, serta tembusannya disampaikan kepada organisasi profesi setempat.

20. Bagaimana pandangan agama Islam terhadap malpraktik?


Jika melakukan malpraktek harus bertanggung jawab
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum
itu maka dia yang bertanggung jawab.
Dan banyak sekali penjelasan dari ulama mengenai hal ini.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu berkata,

Maka wajib mengganti rugi [bertanggung jawab] bagi dokter yang bodoh jika
melakukan praktek kedokteran dan tidak mengetahui/mempelajari ilmu kedokteran
sebelumnya

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi rahimahullahu berkata,



.

Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak
mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya.
Barangsiapa lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari
perbuatannya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya,
maka ia harus bertanggung jawab.

21. Apakah hukuman malpraktik dalam agama Islam?


Hukuman malpraktek adalah mengganti diyat (ganti rugi)
Jika seorang dokter yang sudah ahli (mendapat gelar dokter, baik umum maupun spesialis
dan sudah teruji) kemudian dia melakukan kecerobohan yang TIDAK WAJAR
(misalnya ketinggalan gunting diperut pasien ketika operasi, dan hal ini sudah dibahas
dalam ilmu kedokteran rinciannya). Maka ia wajib mengganti rugi berupa membayar
diyat.

Al-khathabi rahimahullahu berkata

Saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam pengobatan apabila seseorang


melakukan kesalahan, sehingga menimbulkan mudharat pada pasien, maka ia harus
menanggung ganti rugi. Orang yang melakukan praktek [kedokteran] yang tidak
mengetahui ilmu dan terapannya, maka ia adalah orang yang melampui batas. Apabila
terjadi kerusakan akibat perbuatannya, maka ia harus bertanggung jawab dengan
mennganti diyat.

Dokter kompeten, tidak melakukan kesalahan kemudian terjadi kerusakan TIDAK


WAJIB mengganti rugi
Adapun jika dokter tersebut sudah ahli (kompeten), kemudian melakukan sesuai dengan
prosedur (tidak melakukan kelalaian) kemudian terjadi kerusakan atau bahaya, maka
TIDAK PERLU mengganti rugi, karena ia sudah mendapat izin dari pasien untuk
mengobati

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi rahimahullahu berkata,

Dokter yang mahir, jika melakukan [praktek kedokteran] dan tidak melakukan
kesalahan, kemudian terjadi dalam prakteknya kerusakan/bahaya. Maka ia tidak
harus mengganti rugi. Karena ia mendapat izin dari pasien atau wali pasien. Dan
segala kerusakan yang timbul dalam perbuatan yang mendapat izin, maka tidak harus
mengganti rugi.

Maksud mendapat izin yaitu ada ridha dari pasien bahwa ia mau diobati oleh dokter atau
ia meminta dokter untuk melakukan pengobatan padanya. Hal ini diperkuat dengan
kaidah fiqhiyah.

Apa-apa [kerusakan] yang timbul dari sesuatu yang mendapat izin, maka tidak harus
mengganti rugi, dan kebalikannya

22. Mengapa hukumannya sekedar mengganti rugi (bayar diyat)?

Karena dokter tidak berniat mencelakakan pasien bahkan berniat membantu pasien. Kita
tahu dalam ilmu fiqh bab Al-Jinayat hal ini di bahas. Jika melakukan bahaya dan
kerusakan pada orang lain maka harus diqishas jika sengaja dan jika tidak sengaja maka
harus mengganti rugi atau membayar diyat.

Kita ambil contoh kasus pembunuhan ada 3 jenis:

1. Pembunuhan sengaja dan diniatkan (), maka hukumananya bisa diqishah


2. Pembunuhan tidak sengaja () , hukumannya bayar diyat, misalnya tidak sengaja
menabrak

3. Pembunuhan semi sengaja () , hukumannya juga bayar diyat, misalnya dia


menempeleng orang kemudian mati (padahal tempeleng insyaAllah tidak membuat
mati).

23. Bagaimana rincian mengenai ganti rugi tersebut?

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu merincinya ada lima pembagian:

1. Dokter yang mahir, melakukan praktek sesuai standar dan tidak melakukan
kecerobohan

Kemudian terjadi efek yang kurang baik bagi pasien, maka ia tidak harus
bertanggung jawab dengan mengganti.

Misalnya pasien mendapat obat dari dokter, kemudian dokter sudah bertanya apakah
ia mempunyai alergi dengan obat tertentu, maka pasien menjawab tidak tahu,
kemudia dokter menjelaskan bisa jadi terjadi alergi. Kemudian pasien memilih
menggunakan obat tersebut. Kemudian terjadi alergi berupa gatal-gatal pada pasien
tersebut. Maka dokter tidak wajib mengganti kerugian. Alasannya lainnya juga
karena kita tidak tahu apakah ia alergi obat apa tidak, karena ketahuan hanya jika
sudah dicoba mengkonsumsi.

2. Dokter yang bodoh dan melakukan praktek kedokteran

Kemudian terjadi bahaya bagi pasien, maka dokter wajib bertanggung jawab atau
ganti rugi berupa diyat.

Misalnya mahasiswa kedokteran yang masih belajar [co-aas] dan dia tidak
menyiapkan diri untuk melakukan praktek kemudian terjadi kesalahan yang
merugikan pasien maka ia wajib bertaggung jawab.

3. Dokter yang mahir, mendapatkan izin, kemudian melakukan kecerobohan.

Maka ia wajib bertanggung jawab, akan tetapi ada perselisihan dalam penggantian
diyat, bisa jadi dari harta dokter ataupun dari baitul mal (kas Negara).

Misalnya dokter bedah ketika membedah, pisau bedah tertinggal diperut pasien,
kemudian perut pasien rusak, maka dokter bedah wajib bertanggung jawab.
4. Dokter yang mahir, berijtihad memberikan suatu resep obat, kemudian ia salah dalam
ijtihadnya

Maka ia wajib bertanggung jawab dan ada dua pendapat tentang harta pengganti, bisa
dari baitul mal (kas Negara) atau harta keluarganya.

5. Dokter yang mahir, melakukan pengobatan kepada anak kecil atau orang gila tanpa
izinya tetapi mendapat izin walinya

Kemudian terjadi kerusakan/bahaya bagi pasien maka ganti rugi dirinci, jika ia
melakukan kecorobohan, maka ia wajib mengganti jika tidak maka tidak perlu
mengganti.

24. Apakah bisa seorang dokter yang malpraktik dihukum masuk penjara menurut
pandangan agama Islam?

Bisa saja, jika hukuman ini berasal dari peraturan pemerintah. Di mana dalam Islam,
pemerintah berhak mengeluarkan kebijaksanaan hukuman tertentu pada kasus kejahatan
tertentu. Hal ini di kenal dalam Islam sebagai hukuman Tazir. Yaitu hukuman yang bisa
membuat jera dan manusia tidak akan coba-coba melakukannya. Misalnya pemerintah
menerapkan hukuman mati bagi pemerkosa atau hukuman cambuk di depan publik.

Ringkasnya tazir adalah hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah walaupun tidak ada
dalam syariat atau tidak dijelaskan dalam syariat.

Al-Mawardi menukil perkataan An-Nawari

. :

At-Tazir adalah hukuman terhadap suatu pelanggaran yang tidak dijelaskan oleh
syariat hukumannya

Untuk kasus dokter, misalnya terlalu banyak dokter yang gadungan, terlalu banyak yang
tidak update ilmunya. Sudah dibuat peringatan dan hukuman diyat tetapi tidak mempan.
Kemudian pemerintah merasa hukuman yang tepat adalah penjara untuk mencegah
merajalelanya para dokter seperti ini. Maka hal ini diperbolehkan dalam Islam.
25. Apakah wajar mengkriminalisasi (hukuman penjara) seorang dokter? (Kasus dr.
Ayu)

Beberapa poin alasan sehingga dianggap tidak wajar:

1. Jika dokter yang kompeten dan tidak melakukan kelalaian, sudah mendapat izin
pasien kemudian terjadi kerusakan/bahaya, maka dokter tidak perlu bertanggung
jawab

2. Dijelaskan hukumannya adalah diyat (mengganti rugi), karena dokter tidak berniat
mencelakai bahkan berniat membantu

3. Pemerintah tidak setuju dengan hukuman penjara (jika berdalih bahwa penjara adalah
tazir dari pemerintah). Hal ini terbukti bahwa pemerintah (dalam hal ini adalah
menteri kesehatan yang diberi wewenang oleh presiden dan lembaga negara), menteri
kesehatan tidak setuju dengan dokter dipenjara. Bahkan dalam kasus dokter dipenjara,
menteri kesehatan berusaha menangguhkan penahanan dokter tersebut.

26. Bagaimana seharusnya sikap dokter apabila ia tergugat malpraktik?

Sebagai tergugat, dokter harus membela diri antara lain membuktikan bahwa tidak ada
kerugian pasien akibat tindakan atau kelalaian dokter, atau kerugian tersebut tidak
berhubungan dengan tindakan atau kelalaian dokter. Dalam menilai peristiwa, perlu
dilihat apakah risiko tersebut sudah dapat dibayangkan (foreseeable) atau tidak, dapat
dihindari (avoidable) atau tidak, telah diantisipasi atau tidak, dan apakah risiko tersebut
telah diinformasikan dan disetujui sebelumnya (informed consent) oleh pasien. Dokter
perlu bersikap hati-hati dalam berespon ke media massa dan menggunakan hak jawab
bila informasi menyudutkan atau menyesatkan dan dapat mengakibatkan persepsi buruk,
tanpa membuka rahasia kedokteran.

27. Seorang dokter spesialis kulit-kelamin memberi injeksi penisilin pada pasien
dengan penyakit GO, pasien tak lama kemudian meninggal dunia. Apa saja
kelalaian yang dilakukan oleh dokter tersebut yang bisa menyebabkan dirinya baru
saja melakukan malpraktik medis?

Kesalahan yang dilakukan oleh dokter ahli tersebut adalah 1) tidak melakukan anamnesis
dengan baik yang berkaitan dengan alergi; 2) tidak melakukan skin tes, dan yang lebih
mendasar; 3) bukankah pemberian suatu preparat secara parenteral harus mempunyai
alasan yang tepat, misalnya terdapat gangguan absorbs atau keadaan kesadaran yang
menurun.

28. Bagaimana dampak berlakunya hukum malpraktik kedokteran di Indonesia?

Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada 183 kasus kelalaian medik atau bahasa awamnya
malpraktek yang terbukti dilakukan dokter di seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti
dilakukan dokter setelah melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI). Akibat dari malpraktek yang terjadi selama ini, sudah
ada 29 dokter yang izin prakteknya dicabut sementara. Ada yang tiga bulan, ada yang
enam bulan.

Hingga Januari 2013 jumlah pengaduan dugaan malpraktik ke konsil kedokteran


Indonesia atau KKI tercatat mencapai 183 kasus. Jumlah tersebut meningkat tajam
dibanding tahun 2009 yang hanya 40 kasus dugaan malpraktik. Bahkan kasus-kasus ini
pun tidak mendapatkan penanganan yang tepat dan hanya berakhir di tengah jalan, tanpa
adanya sanksi atau hukuman kepada petugas kesehatan terkait. Dari 183 kasus
malpraktek di seluruh Indonesia itu, sebanyak 60 kasus dilakukan dokter umum, 49 kasus
dilakukan dokter bedah, 33 kasus dilakukan dokter kandungan, dan 16 kasus dilakukan
dokter spesialis anak. Siasanya di bawah 10 macam-macam kasus yang dilaporkan.
Selain itu, ada enam dokter yang diharuskan mengenyam pendidikan ulang. Artinya,
pengetahuan dokter kurang sehingga menyebabkan terjadinya kasus malpraktek. Mereka
kurang dalam pendidikannya sehingga ilmu yang didapatkan itu kurang dipraktekn atau
terjadi penyimpangan dari standar pelayanan atau penyimpangan dari ilmu yang
diberikan. Maka, dia wajib sekolah lagi dalam bidang tertentu. Di samping kasus
malpraktek, beberapa kasus lain yang juga ikut menjerat dokter ke ranah pidana hingga
pencabutan izin praktek di antaranya soal komunikasi dengan pasien, ingkar janji,
penelantaran pasien, serta masalah kompetensi dokter.

Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik


tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari
kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada
kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam
bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.

29. Apakah ada hukumnya untuk dokter yang menghina pasien dengan sebutan
"PASIEN TOLOL" ketika seorang ibu dari pasien berkonsultasi masalah penyakit
dan obat untuk anaknya?

Penghinaan yang dilakukan oleh dokter tersebut dengan menyebut Pasien Tolol
merupakan salah satu dari 28 bentuk pelanggaran disiplin dokter sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 ayat (2) huruf h Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 4 Tahun 2011
tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi, yaitu:

tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information)
kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan Praktik Kedokteran.

Keputusan MKDKI dapat menyatakan tidak bersalah atau memberi sanksi disiplin.
Sanksi disiplin dapat berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda
registrasi atau surat izin praktik, dan/atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan
di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi (Pasal 69 UU Praktik
Kedokteran)

30. Bagaimana seharusnya usaha seorang pasien agar ia tidak menjadi korban
malpraktik?
1. Pilih tempat pengobatan (RS atau Klinik) yang memiliki reputasi cukup baik. Jangan
hanya mempertimbangkan jarak dengan rumah sebagai dasar memilih tempat
berobat. Jangan ragu memilih di tempat yang jauh asalkan reputasinya bagus,
meskipun di dekat rumah anda ada layanan kesehatan tetapi belum jelas reputasinya.

2. Ketika pasien melakukan rawat inap, akan ada dokter yang ditunjuk untuk
menangani pasien. Jangan ragu untuk meminta dokter yang anda percayai kepada
pihak manajemen

3. Jangan takut untuk bertanya kepada dokter mengenai tindakan medis yang dilakukan.
Menurut UU Kesehatan, keluarga pasien berhak tahu apa saja tindakan medis yang
dilakukan dokter kepada pasien.

4. Jangan takut untuk bertanya kepada dokter obat yang diberikan kepada pasien.
Sebagai keluarga, anda berhak tahu dan dilindungi oleh UU Kesehatan.

5. Cari Pendapat Kedua bahkan Ketiga. Setiap orang tentu memiliki pendapat yang
berbeda, begitu juga dengan dokter. Mereka memiliki pengalaman, ilmu, dan terlebih
lagi hati nurani yang berbeda. Semua perbedaan ini bisa jadi bahan pertimbangan
yang baik bagi Anda.

6. Jika Memungkinkan Cari Dokter yang Anda Kenal Baik Karakternya sesingga kita
tidak perlu lagi akan kesungguhan mereka dalam menangani penyakit kita. Karena
rasa percaya tersebut maka kita tidak perlu merasa takut bahwa sang dokter akan
mencelakai kita.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman dan Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat (FK ULM). Romans forensik. Edisi ke-32. Banjarmasin: Bagian Ilmu Kedokteran
Kehakiman dan Forensik FK ULM; 2016.

2. Munim Idries A. Pedoman ilmu kedokteran forensik.Tanggerang Selatan: Binarupa Aksara;


1997.

3. Tanto C, et al. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-4 jilid II. Jakarta: Media Aesculapius;
2014.

4. Hadi I. Hukum malpraktik di Indonesia [internet]. 2013 [cited 1 Maret 2017]; Available from:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51314ec548bec/hukum-malpraktik-di-indonesia
5. Febryanti K, Kusumasari D. Langkah-langkah yang dapat dilakukan pasien korban malpraktik
[internet]. 2012 [cited 1 Maret 2017]; Available from:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4224/langkah-langkah-yang-dapat-dilakukan-
pasien-korban-malpraktik.

6. Bahraen R. Wajarkah dokter dipenjara jika melakukan malpraktek? [internet]. 2013 [cited
1 Maret 2017]; Available from: https://muslimafiyah.com/wajarkah-dokter-dipenjara-
jika-melakukan-malpraktek.html

7. Hadi I. Prosedur mengadukan dokter yang menghina pasien [internet]. 2012 [cited 1
Maret 2017]; Available from:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50018eda24203/prosedur-mengadukan-
dokter-yang-menghina-pasien

8. Anonim. Dampak hukum malpraktek kedokteran [internet]. 2013 [cited 1 Maret 2017];
Available from: https://dokterindonesiaonline.com/2013/12/02/dampak-hukum-
malpraktek-kedokteran/

Você também pode gostar