Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh von Pirquet pada tahun 1906,
yang pada dasarnya mencakup baik respons imun berlebihan yang menguntungkan
seperti yang terjadi pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan
terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang yang sebelumnya
pernah tersensitisasi dengan antigen bersangkutan dan sebagian besar pakar lebih
suka menggunakan istilah alergi dalam kaitannya dengan respons imun berlebihan
Ada dua tahap utama dalam sejarah penemuan pathogenesis alergi atopic
seperti dirangkum oleh Romagnani yaitu: tahap pertama yang dimulai pada 1879
pada saat Ahrlich untuk pertama kali menemukan sel mastosit dan eosinofil, dan
penemuan regain oleh Prausnitz dan Kustner pada tahun 1921, diakhiri dengan
identifikasi IgE yang mengungkapkan sifat regain oleh Ishizaka dan Johnson. Konsep
alergi dikemukakan pada saat itu adalah proses inflamasi yang disebabkan interaksi
antara allergen lingkungan dan IgE yang terikat pada reseptor IgE pada sel mastosit
yang melepaskan berbagai mediator. Tahap kedua dimulai pada tahun 1986 dengan
penemuan sitokin yang diproduksi oleh sel T yang mengatur produksi IgE oleh sel B,
serta deskripsi sel Th1 dan Th2. Saat ini pengertian reaksi alergi adalah akibat yang
ditimbulkan oleh respons sel Th2 terhadap allergen lingkungan. Respon sel Th2
spesifik allergen merupakan pemicu rekrutmen dan keterlibatan berbagai jenis sel lain
maupun berbagai factor terlarut dan molekul adhesi yang menghasilkan kaskade
inflamasi yang sangat kompleks. Karena itu alergi atopic saat ini disebut sebagai
hipersensitivitas terhadap allergen yang dipicu oleh sel Th2 dan dipengaruhi oleh
alergi, bahkan di negara berkembang alergi atopic dapat dijumpai pada 20% populasi
yang mencakup berbagai jenis kelainan yang dikaitakan dengan IgE, misalanya asma,
rhinitis alergi, dermatitis atopic, alergi makanan dan lain-lain. Peningkatan prevalensi
misalnya penggunaan sistem pengatur suhu ruangan di dalam ruma disetai ventilasi
yang kurang, penggunaan antibiotic spectrum luas, infeksi virus, diet, dan lain-lain.
penjelasan tentang peningkatan prevalensi alergi. Inti dari hipotesis ini adalah
interaksi yang kompleks antara lingkungan mikroba dengan sistem imun bawaan
pada masa anak-anak. Sebagai akibatnya mekanisme regulasi yang diaktivasi oleh
respon imun didapat menjadi terganggu. Lingkungan higienis yang khas untuk
paparan terhadap mikroba pada usia dini menyebabkan polarisasi sel T memori
spesifik elergen mengarah kepada sel Th2 dan bukan kepada sel Th1. Walupun pada
Konsep patogenesis alergi yang dianut saat ini adalah bahwa timbulnya alergi
dan perjalanan penyakitnya ditentukan oleh interaksi antara gen dengan lingkungan;
pada rangsangan yang sesuai atau tepat. Ada beberapa konsep mengenai interaksi
gen-lingkungan ini. Yang pertama adalah bahwa baik genotip kepekaan maupun
meningkatkan resiko terjadinya alergi pada semua individu, tetapi pada individu
dengan genotip kepekaan, resikonya lebih besar. Kemungkinan ketiga adalah paparan
allergen lingkungan hanya meningkatkan resiko pada meraka yang peka, dan
Faktor genetik berperan dalam mengatur berbagai aspek timbulnya gejala alergi,
memproleh biomarker yang dapat digunakan untuk memberikan terapi yang tepat.
Selain IgE yang sudah lama diketahui sebagai faktor yang merupakan mediator
substansi biologis saat ini telah diketahui sangat erat kaitannya dengan patofisiologi
alergi, misalnya berbagai jenis sitokin dan berbagai jenis substansi biokimiawi lain
yang dihasilkan oleh sel-sel tubuh serta berbagai molekul permukaan dan reseptor
seluler.
BAB II
ALERGI
ada respon yang berbeda antara sel Th1 dan Th2, dan bahwa respon sel IL-2, IFN-
dan TNF-, yang mengaktivasi makrofag yang terlibat pada reaksi DTH, maka respon
sel TH2 menghasilkan IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13 yang bertanggung jawab atas
Polarisasi respon imun spesifik Th1 dan Th2 tidak berasal dari lineage berbeda, tetapi
berasal dari precursor sel Th sama yang berkembang kea rah predominan sel Th1 dan
Th2 atas pengaruh faktor genetic dan lingkungan pada tingkat presentasi antigen. Sel
sitokin yang tidak terlalu sama, tetapi bila stimulasi antigen berlanjut, terjadi
polarisasi kea rah sel Th1 atau Th2, masing-masing memproduksi sitokin tertentu.
dalam lingkungan mikro merupakan rangsangan kuat untuk berkembang kea rah sel
Th2, sedangkan IL-12 dan IFN dalam lingkungan mikro menyebabkan perkembangan
sel Th kea rah Th1. Mekanisme yang bertanggung jawab atas produksi IL-4 awal
maupun sumber IL-4 tidak diketahui, tetapi sel Th naf sendiri ternyata dapat
memproduksi sejumlah kecil IL-4 sejak awal stimulasi. Efek induksi IL-4
mendominasi sitokin yang lain , sehingga bila kadar IL-4 mencapai ambang yang
lingkungan mikro, diferensiasi sel Th1/Th2 juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
bergantung pada kontak (contact dependent factors), di antaranya yang paling penting
adalah ligasi TCR, dan sinyal yang diberikan oleh interaksi CD40-CD40L dan
saat pengenalan dan meningkatkan diferensiasi sel T CD4 naif menjadi sel efektor
yang memproduksi IL-4. Selanjutnya faktor yang berperan dalam polarisasi sel
Th1/Th2 adalah faktor transkripsi, termasuk diantaranya keluarga NFAT yang mampu
Profil sitokin yang diproduksi oleh sel T CD4 + pada penyakit alergi dan non
alergi dipengaruhi oleh jenis dan dosis antigen, jenis APC, sitokin dalam lingkungan
mikro, sinyal co-stimulasi yang diterima oleh sel T, dan faktor penjamu khususnya
faktor genetik. Jadi profil sitokin dan fungsi sel T CD4 + tidak ditentukan sebelumnya
melainkan bergantung pada bagaimana sel itu di stimulasi oleh antigen. Seperti
halnya sel Th1 dan sel Th2 yang aktif, populasi sel T memory yang dihasilkan in vivo
diaktivasi, tetapi profil sitokin yang dihasilkan oleh sel T memory dapat berubah,
misalnya bila distimulasi dalam lingkungan IL-12 sel Th2 memmory dapat
memproduksi IFN-g yang merupakan sitokin Th1. Di lian pihak, bila diberikan dalam
dosis tinggi, IL-12 dapat meningkatkan sintesis IL-4, mungkin melalui peningkatan
produksi IL-10. Walaupun demikian, produksi sitokin oleh sel T memory yang
reversibel ini akan hilang bila distimulasi berulang kali, karena sel T memory akan
berdiferensiasi menjadi sel Th2 efektor yang tidak memiliki reseptor IL-12.
Sebenarnya regulasi respon imun yang melibatkan sel Th1/Th2 lebih kompleks,
misalnya sel Th2 yang diidentifikasi terutama karena ia memproduksi IL-4 dan bukan
IFN-g, dapat digolongkan lebih lanjut dalam golongan dengan fungsi berbeda.
Jumlah IL-5, IL-10 dan TGF-b dapat bervariasi dan mengubah fungsi spesifik sel
Th2. Heterogenitas produksi sitokin ini dapat menjelaskan mengapa pada respon
tertentu diproduksi IgG4 atau IgE sedangakan pada respon yang lain diproduksi IgA
atau IgG2. Di samping itu berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian sel Th2
dapat berfungsi sebagai sel regulator untuk menekan respon imun, dank arena
sebagian produk sel Th2 seperti TGF-b mempunyai sifat supresor yang potensial, ada
dengan sel Th2 konvensional. Hasil penelitian respon sel T CD4 + pada mukosa mulut
mengungkapkan bahwa sel T CD4+ yang memproduksi IL-4 dan TGF-b dapat
diinduksi dengan pemberian antigen dosis rendah, sedangkan dosis oral yang tinggi,
bahwa sel T- spesifik allergen terdapat dalam jumlah besar pada mukosa saluran
nafas penderita asma, dank arena sel T- sejak lama diketahui merupakan unsur
pertahanan lini pertama pada permukaan epitel, diduga sel itu juga berperan pada
pathogenesis asma. Ada indikasi bahwa sel T- membantu fungsi sel T- dengan
memberikan respon yang cepat terhadap allergen, sebelum sel T- berfungsi penuh.
melalui MHC, tetapi bergantung pada pembentukan kompleks antara antigen atau
epitop allergen dengan TCR. Sel T- yang teraktivasi dapat memberikan sinyal
kontak yang menginduksi sel B untuk melakukan Ig switch dan menghasilkan IgE.
Dalam beberapa penelitian juga terbukti bahwa sel T- menghasilkan sitokin dengan
profil yang sama dengan yang dihasilkan oleh sel Th2. Gambar 2.1 memperlihatkan
berbagai jalur alternatif diferensiasi sel Th1/Th2 dan hubungannya dengan alergi.
Gambar 2.1. Jalur alternatif untuk sel T CD4+ naf.
Interaksi sel Th2 dengan sel B untuk menginduksi sintesis IgE dilakukan
dengan bantuan ligasi CD40 oleh CD40L. Ligasi CD40-CD40L ini penting untuk
antara sel Th2 dengan sel B juga memerlukan ko-stimulasi melalui bebagai molekul
lain. Gambar 2.2 memperlihatkan interaksi sel T dengan sel B pada pembentukan
IgE.
Gambar 2.2 Interaksi sel T dan B yang terlibat pada sintesis IgE (dimodifikasi dari Bacharier)
Sintesis IgE oleh sel B memerlukan 2 sinyal. Sinyal pertama dihasilkan oleh
IL-4 yang mengaktifkan transkripsi pada lokus Ce, jadi menentukan spesifisitas isotip
IgE dan sinyal kedua melalui ligasi CD40-CD40L mengaktifkan mesin rekombinasi
Selain molekul CD3, CD4, CD28, dan CD40 beserta ligandnya, molekul
CD19, CD22 dan CD 58 yang diekspresikan pada sel B terbukti juga berperan dalam
interaksi antara sel T dan sel B memproduksi IL-4, sel Th2 yang teraktivasi juga
memproduksi berbagai sitokin lain (GM-CSF, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10). Sebagai
respon terhadap sitokin yang diproduksi oleh sel Th2, sel-sel lain memproduksi
berbagai mediator misalnya eotaxin, TGF-b, IL-11, dan interaksi antara berbagai
faktor di atas bertanggung jawab atas mekanisme atau patofisiologi alergi yang
dinyatakan dengan produksi IgE, rekrutmen dan aktivasi mastosit, basofil, dan
eosinofil; fibrosis subepitel dan perubahan bentuk jaringan. Dengan pengertian bahwa
produksi sitokin Th2 pada penderita alergi menimbulkan penyakit alergi, sedangkan
sel Th1 dengan IFN- yang diproduksinya menghambat stimulasi sintesis IgE, maka
konversi sel Th2 spesifik allergen menjadi sel Th1 dianggap bermanfaat untuk
penderita tersebut.
acuan untuk memahami biologi sel T CD4+ dan interaksi antara imunitas bawaan dan
mengungkapkan salah satu jenis sel T efektor yang dahulu tidak dikenal yaitu sel
Th17 dan sel T regulator (Treg) yang mengubah pengertian kita tentang regulasi
sitokin yang dikenal sebagai IL-17. Kaitan antara IL-17 dengan alergi telah banyak
dipelajari khususnya dalam kaitannya dengan asma. Telah terbukti bahwa mRNA IL-
17 banyak dijumpai dalam paru, sputum, bronchoalveolar lavage (BAL) dan serum
penderita asma, dan kadar IL-17 sesuai dengan beratnya hipersensitivitas saluran
nafas pada penderita asma, sehingga diduga ada kontribusi IL-17 dalam pathogenesis
asma.
Jenis sel T CD4+ yang lain adalah sel T CD4+ T CD25+ yang sekarang dikenal
sebagai Treg. Banyak bukti-bukti yang menyatakan peran sel Treg dalam
pathogenesis alergi. Sl Treg diketahui menghambat baik sel Th1 maupun sel Th2.
Akhir-akhir ini dilaporkan dilaporkan bahwa terdapat penurunan jumlah sel Treg
pada pasien penyakit alergi dibandingkan dengan individu yang menunjukkan kadar
IgE dan jumlah eosinofil tinggi tetapi asimtomatik. Karena itu diduga bahwa Treg
berfungsi menekan awalan penyakit alergi dengan menekan sel-sel sistem imun yang
lain disamping menekan sel Th1 dan Th2. Sel Th17 yang memproduksi IL-17 diduga
juga melawan fungsi sel Treg pada alergi selain pada penyakit autoimun dan ada
interaksi antagonistic antara sel Th17 dengan sel Treg. Treg juga berkembang dalam
jaringan inflamasi dan diduga mengatur sensitisasi den beratnya inflamasi pada
alergi. Salah satu penelitian telah membuktikan adanya Treg dalam darah tali pusat
dan ada atau tidak adanya T reg dalam tali pusat dapat digunakan untuk memprediksi
apakah neonates itu akan menderita alergi dikemudian hari atau tidak.
Salah satu jenis sel lain yang juga memegang peran penting pada alergi adalah
sel NKT. Sel-sel NKT merupakan populasi sel heterogen dengan cirri ko-ekspresi
TCR dan berbagai reseptor sel NK, termasuk diantaranya CD16, CD56, CD161,
CD94. Peningkatan jumlah maupun fungsi sel NKT dijumpai pada berbagai keadaan
di antaranya pada asma, sehingga diduga sel NKT memegang peran pada
imunopatogenesis asma.
2.2 Peran Sel-sel Lain Pada Alergi
mastosit merupakan komponen utama dari semua penyakit alergi dan manifestasi
klinik serta patologiknya bergantung pada jaringan di mana mediator mastosit itu
meberikan efek maupun kronisitas proses inflamasi yang dihasilkannya. Ada dua
subset utama sel mastosit yang berbeda dalam hal lokasi anatomic, kandungan
granula dan aktivitas. Subset pertama terdapat dalam mukosa saluran cerna dan
rongga alveolar dalam paru. Granula sel-sel mastosit mukosa ini mengandung banyak
chondroitin sulfate tetapi hanya sedikit histamine. Perkembangan sel ini in vivo
bergantung pada IL-3 yang diproduksi oleh sel T. Subset yang kedua terdapat dalam
paru dan serosa rongga tubuh dan disebut mastosit jaringan ikat. Kandungan utama
granula mastosit ini adalah heparin dan histamin. Perkembangan sel ini tidak
bergantung pada sel T. Sel mastosit diaktifkan oleh cross-linking molekul FceRI yang
terjadi akibat pengikatan antigen multivalent pada molekul IgE yang melekat pada
reseptor Fc. Pada individu dengan alergi terhadap antigen tertentu, sebagian besar IgE
yang terikat pada mastosit adalah spesifik untuk antigen tersebut. Walaupun
demikian, pengikatan antigen ini dapat ditiru oleh anti IgE polivalen atau anti-FceRI
dan pengikatan antibody inipun dapat mengaktifkan mastosit pada individu atopik
maupun non-atopik. Selain itu mastosit dapat diaktivasi oleh berbagai substansi
aktivasi mastosit ini penting pada reaksi hipersensitifitas yang tidak dimediasi oelh
sel imun dan dapat menigkatkan reaksi yang dimediasi oleh IgE. Mastosit
mengandung anzin triptase yang mengaktifkan reseptor pada endotel dan epitel.
inflamasi alergi, sedangkan eosinofil yang terdapat dalam jumlah besar dalam
infiltrate inflamasi pada reaksi fase lambat juga member kontribusi pada berbagai
proses patologik pada penyakit alergi. Rekrutmen dan aktivasi eosinofil terjadi akibat
dilepaskannya IL-5 yang merupakan sitokin pengaktivasi eosinofil yang sangat poten.
tulang.
tidak mengikuti konsep Mendel seperti yang terjadi pada penyakit genetic tunggal,
tetapi mengikuti konsep multigenetik yang kompleks. Hal ini sesuai dengan
kenyataan bahwa kecenderungan sel T berkembang menjadi sel Th2 diatur oleh
Berdasakan hal itu diduga bahwa kecenderungan itu berbeda antara satu individu
dengan individu yang lain. Penelitian awal yang berhubungan dengan genetik pada
atopi difokuskan pada beberapa gen yang besar kemungkinannya terlibat dalam
reaksi alergi, misalnya gen MHC, gen yang menyandi sitokin pro-inflamasi, gen yang
menyandi reseptor IgE dengan afinitas tinggi dan lokus TCR. Selain itu juga
dipelajari beberapa gen lain yang produknya diduga berperan dalam patofisiologi
penyakit alergi, misalnya gen yang menyandi molekul adhesi, gen yang menyandi
khemokin dan reseptornya dan gen yang menyandi faktor pelepasan histamin
HLA. Hasil berbagai penelitian mengungkapkan bahwa MHC kelas II, diantaranya
HLA-DRB1, DRB3 dan DRB5 mempunyai peranan penting dalam mengatur respon
IgE spesifik terhadap beberapa allergen tertentu. HLA-DR2, khususnya DR2.2 dan
individu bersangkuatn terhadap atopi. Seorang individu dengan HLA-B8 dan HLA-
DW3 menunjukkan kepekaan yang lebih besar terhadap alergi dibanding orang
normal, dan hal ini diperkuat dengan kadar IgE total dan IgE spesifik yang lebih
tinggi.
Gen yang menyandi subunit b dari reseptor IgE spesifik yang lebih tinggi
(FceRI) yang terletak pada kromososm 11q13, terbukti merupakan gen atopi yang
sangat poten. FceRI pada permukaan APC mempunyai peranan besar dalam
reseptor ini menyesuaikan fungsi stimulasi dan sekresinya dengan lingkungan mikro.
Hal yang hamper sama dikemukakan oleh pakar lain yang menyatakan bahwa subunit
kepekaan reseptor terhadap ligand, atau dengan mengatur volume sinyal yang
ditransduksikan.
Suatu lokus pada kromosom 5q31-q33 merupkan kelompok gen yang megatur
produksi IgE secara umum. Gen yang menyandi IL-4 dan beberapa gen lain dalam
memproduksi IgE melalui class switching. Berbagai faktor mengatur transkripsi gen
Hingga saat ini bukti keterlibatan faktor-faktor transkripsi tersebut pada alergi adalah
dalam menginduksi diferensiasi sel T kea rah Th2, jadi lebih berfungsi sebagai
regulator transkripsi secara umum untuk berbagai sitokin Th2, dan tidak secara
langsung mengatur transkripsi gen IL-4, kecuali c-maf yang menunjukkan aktivitas
aksesori dalam mengatur kadar IgE. Kelompok gen sitokin yang terletak pada
kromosom 5q terdiri atas banyak gen yang berperan pada atopi, termasuk diantaranya
gen IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13. IL-4 merupakan komponen kunci dalam
reseptornya merupakan sinyal pertama untuk produksi IgE setelah stimulasi antigen.
Adanya beberapa polimorfisme reseptor IL-4 yang terletak pada kromosom 6 juga
telah dilaporkan dan kemudian terbukti bahwa polimorfisme ini dihubungkan dengan
lingkungan merupakan faktor yang penting untuk manifestasi klinik penyakit alergi,
alergi. Akhir-akhir ini diketahui bahwa pola reaktivitas sel T tehadap allergen
orang dewasa, ditentukan sejak sebelum lahir. Sensitisasi awal sel T terjadi dalam
kandungan sebagai akibat transfer transplasental allergen dengan kadar rendah, yaitu
bila ibunya terpapar pada allergen bersangkutan pada saat hamil. Pada kehamilan
yang sukses, respon janin terhadap allergen ini terjadi demikian rupa sehingga secara
intrinsic condong kea rah perkembangan sel Th2. Predominasi sel Th2 pada masa
janin ini karakteristik untuk kompartemen sel Th janin dan diperlukan untuk
mencegahperkembangan sel Th1 karena produk sel Th1 sangat toksik untuk plasenta.
Sel-sel limfosit dalam plasenta diduga memproduksi IL-10 yang menghambat fungsi
Th1. Predominasi Th2 tersebut tampak jelas pada keluarga dengan riwayat atopi.
Respon Th2 spesifik allergen pada janin yang berlanjut pada masa anak-anak
merupakan gambaran fase induksi alergi atopi dan dihubungkan dengan penurunan
yang atopi. Gambar 2.4 dan 2.5 berturut-turut memperlihatkan produksi mRNA IL-4
spesifik allergen dan IFN- oleh sel-sel mononuclear individu atopi dan non-atopi
menurut umur.
Gambar 2.4. Produksi mRNA IL-4 spesifik allergen oleh sel-sel mononuclear pada individu atopi
dan non-atopi
Gambar 2.5. Produksi mRNA IFN spesifik allergen oleh sel-sel mononuclear pada individu atopi
dan non-atopi
Faktor lingkungan yang berperan sesudah lahir merupakan faktor yang lebih
hypothesis). Di antara faktor lingkungan yang penting adalah alergen dalam rumah,
misalnya tungau, polusi udara, perubahan pola makanan, dan paparan mikroba.
sel Th1/Th2. Peningkatan paparan terhadap beberapa jenis allergen seperti tungau
penurunan paparan terhadap infeksi alami dengan mengurangi jumlah keluarga yang
tinggal serumah, akomodasi yang tidak terlalu padat, vaksinasi dan pengobatan
oleh sel mastosit dan basofil akibat rangsangan alergen yang terikat pada
sekretorik sel basofil dan sel mastosit mengandung berbagai mediator baik yang ada
leukotrien, platelet activating factor (PAF) dan berbagai jenis sitokin. Mediator-
mediator ini menarik sel-sel inflamasi lain sehingga menimbulkan manifestasi klinik
histamin, dapat terjadi melalui rangsangan khemokin atau interleukin tertentu (IL-3)
sebagai faktor yang bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersentivitas tipe I.
Pada penderita alergi, IgE terdapat bebas dalam serum maupun dalam keadaan
bantuan sel T dengan perantara berbagai molekul terlarut yang diskresi maupun
molekul ko-stimulator yang terdapat pada permukaan sel CD4+ yang teraktivasi.
Yang paling penting diantara molekul yang terdapat pada permukaan sel (membrane
diekpresikan oleh CD4+ aktif. Interaksi antara sel T CD4+ dengan sel B melalui
dan diferensiasi sel B. Di antara sitokin yang berperan pada sintesis IgE adalah IL-4
dan IL-3 yang diproduksi oleh sel Th2. Berbeda dengan IL-4 yang diproduksi oleh
Th2, IL-3 selain diproduksi oleh Th2 juga diproduksi oleh Th1. Sitokin ini
menginduksi sel B yang mengekspresikan IgM dan IgD untuk melakukan
Ada perbedaan yang jelas antara produksi IgE pada penderita atopi dan orang
normal. Penderita atopi memproduksi IgE dalam jumlah berlebihan sebagai respon
imunoglobulin lain, misalnya IgG atau IgM dan hanya sedikit IgE.
Reaksi alergi terjadi bila IgE terikat silang (crosslinked) dengan allergen pada
permukaan sel efektor seperti sel mastosit atau basofil yang mengakibatkan
degranulasi sel-sel tersebut, diikuti keluarnya berbagai mediator yang berperan dalam
menimbulkan reaksi geajala alergi. Pengikatan IgE pada basofil dan sel mastosit
terjadi melalui FceRI yang diekspresikan pada sel-sel tersebut. Pada penderita alergi
FceRI yang diekspresikan pada sel basofil, mastosit, lengerhans, sel dentitrik maupun
monosit merupakan reseptor IgE dengan afinitas tinggi sehingga IgE lebih mudah
Presentasi antigen atau allergen oleh APC yang diperantarai oleh IgE kepada
sel Th terjadi melalui interaksi dengan FceRI atau dengan CD23 dan mengakibatkan
aktivasi sistem imun secara terus meneus walaupun kadar antigen rendah. Akibatnya
adalah sel Th2 akan berproliferasi dan melalui sitokin yang diproduksinya, khususnya
IL-4, merangsang banyak sel B untuk melakukan Ig switch dan memproduksi IgE.
APC yang mengekspresikan FceRI, khususnya sel Langerhans dan sel dentritik pada
epidermis diduga mempunyai peranan penting pada terjadinya dermatitis atopik,
sehingga dermatitis atopik merupakan paradigma dari reaksi tipe lambat yang
diperantarai IgE-FceRI.
sering dihubungkan dengan alergi atau proses inflamasi yang menyertainya. Ada
beberapa bukti yang menyatakan bahwa granula eosinofil berrsifat toksik untuk epitel
saluran nafas, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan dapat merangsang sel-sel lain
termasuk basofil, mastosit, neutrofil, dan sel-sel goblet dalam paru-paru. Peran
eosinofil dalam alergi dibuktikan dengan adanya infiltrasi eosinofil pada kulit atau
mukosa pada daerah inflamasi dan seringkali jumlahnya tidak sebanding dengan yang
ada dalam darah. Rekrutment eosinofil dari darah ke dalam mukosa melalui:
imunitas spesifik terhadap antigen yang ditandai dengan produksi sitokin Th2, yaitu
IL-4, IL-5 dan IL-3 yang meningkatkan produksi IgE dan eosinofil.
2.6 Alergi Makanan
dinding saluran cerna disertai muntah dan diare. Urtikaria seringkali dihubungkan
dengan reaksi alergi terhadap makanan dan anafilaksis sistemik kadang-kadang juga
terjadi.
oleh IgE dan yang tidak dimediasi oleh IgE. Tetapi yang sudah sangat terkenal ciri-
cirinya adalaha reaksi terhadap makanan yang dimediasi oleh IgE. Reaksi yang
dimediasi oleh IgE muncul apabila IgE spesifik yang terdapat pada permukaan
mastositdan basofil berikatan dengan alergen dalam sirkulasi yang merangsang sel-sel
tersebut untuk melepaskan mediator dan sitokin. Reaksi yang dimediasi oleh IgE
biasanya timbul cepat, kebanyakan terjadi pada kulit dan dapat berakibat anafilaksis.
Pada alergi yang tidak dimediasi oleh IgE berbagai sel inflamasi dan mediator yang
dari eosinofil dan mastosit merupakan gambaran utama penyakit ini. Reaksi hanya
Diagnosis alergi makanan didasarkan atas deteksi IgE spesifik makanan dan
adanya tanda-tanda alergi yang muncul segera (biasanya < 1jam) setelah menyantap
makanan tertentu. Sebagian besar alergi makanan dimulai sejak masa anak-anak dan
Ada dua macam reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat, yaitu reaksi yang
berdasarkan efek farmakologis obat misalnya efek toksik atau efek samping yang
dapat diprediksi dan bergantung pada dosis obat, dan reaksi yang berdasarkan
hipersensitivitas yang tidak dapat diprediksi dan tidak bergantung pada dosis obat.
Alergi obat didasarkan atas induksi reaksi immunologik spesifik dan berlatar
belakang sensitisasi limfosit atau substansi yang dihasilkannya, baik antibodi maupun
sitokin. Karena itu patofisiologi alergi obat berbeda dengan jenis reaksi-reaksi obat
yang lain, Misalnya reaksi akibat dosis obat berlebihan atau efek samping obat.
Walaupun gejala klinik elergi obat sulit dibedakan dengan gejala klinik yang
disebabkan efek samping obat atau dosis obat berlebihan, ciri penting yang
membedakan keduanya adalah bahwa pada alergi obat, terdapat reaksi imunologik
yang tidak tepat (inapproprate) atau berlebihan terhadap oabat tertentu atau
metabolitnya.
suli sekali meramalkan dan mencegah terjadinya reaksi alergi obat karena mekanisme
proses imunologik yang mendasari reaksi itu seluruhnya diketahui secara pasti. Sudah
diterima secara luas bahwa obat yang umumnya mempunyai berat molekul kurang
dari 1000Da membentuk konjugat dengan protein endogen untuk dapat mengawali
respon imun. Ini adalah dasar dari hipotesis hapten pada hipersentifitas terhadap obat.
Namun demikian sebagian besar antibiotik tidak dapat bereaksi langsung dengan
kulit dan respon inflamasi lain terhadap misalnya sulfonamida, fenotoin dan penisilin
dikaitkan dengan limfosit T tersensititasi yang ada dalam sirkulasi darah. Sel efektor
utama pada reaksi yang diperantarai IgE adalah sel mastosit yang diaktivasi oleh
antigen yang dalam waktu beberapa detik dapat melepaskan histamin dan mediator
lain. Sel T diduga dapat melepaskan sitokin pro-inflamasi sebagai respon terhadap
antigen, sehingga sel itu penting dalam fase induksi respon antibodi IgE karena
merupakan sumber IL-4, tetapi di samping itu sel T juga penting dalam fase efektor
Klon sel T spesifik obat dapat diperoleh dari darah pasien yang alergi terhadap
fenotip CD4+ atau CD8+ dan aktivitasnya diatur oleh MHC kelas I dan II.
gejala reaksi kulit mengekspresikan HLA-DR yang kadarnya sesuai dengan beratnya
reaksi. Hal ini membuktikan peranan limfosit yang berada di kulit untuk menginduksi
reaksi alergi pada kulit. Walaupun ada bukti-bukti peranan sel T dalam alergi terhadap
obat, sulit menggunakan limfosit untuk menentukan diagnosis karena jumlah klon sel
Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan pada respon imun terhadap obat
adalah apakah obat itu secara kimiawi reaktif dan mampu berikatan secara kovalen
dengan protein carrier. Bila tidak, maka ia memerlukan metabolisme oksidatif untuk
menjadi reaktif. Beberapa jenis obat cenderung berikatan dengan protein atau
imunogenik. Beberapa jenis obat lain tidak mengikat protein secara langsung tetapi
cytochrome P450 yang menghasilkan hapten yang dikenal oleh sel T tersensititasi.
ontoh obat yang secara spontan membentuk hapten adalah penisilin dan betalaktam,
yang segera berikatan dengan protein carrier. Alternatif lain adalah, bahwa klon sel T
spesifik distimulasi oleh obat yang dipresentasikan oleh APC, dalam hal ini
lagi diperlukan.
Hal lain yang mempengaruhi reaksi alergi obat adalah faktor penjamu,
diantaranya umur dan sifat genetik individu bersangkutan. Reaksi alergi obat jarang
dijumpai pada anak kecil, diduga hal ini disebabkan perkembangan sistem imun yang
belum lengkap atau kemungkinan untuk terpapar pada obat anak. Sama halnya seperti
pada reaksi alergi yang lain, faktor genetik mempengaruhi sifat struktural reseptor
mediator dll, sehingga manifestasi klinik reaksi alergi obat berbeda antara satu
imunologik yang ditimbulkannya dan organ atau jaringan yang menjadi sasaran.
Reaksi anafilaktik merupakan reaksi yang paling berbahaya dan seringkali fatal.
Reaksi lain yang mungkin dijumpai adalah anemia hemolitik, serum sickness,
vaskulitis, reaksi arthus, nefritis dan lain-lain. Walaupun adanya reaksi imunologik
tidak dapat dipastikan secara langsung, alergi obat dapat diduga bila dijumpai
keadaan-keadaan berikut :
a. Adanya kelainan pada berbagai organ sekaligus, misalnya pada kulit, kelenjar
limfe, sendi, ginjal, susunan saraf perifer, khususnya yang disertai demam.
b. Adanya kelinan pada kulit misalnya urtikaria, eksim, ptechiae atau eritema.
c. Perubahan hematologik yang menyertai gejala alergi, misalnya eosinifilia, limfosit
gejala alergi.
f. Risiko reaksi anafilaktik lebih sering terjadi pada awal pemberian obat
dibandingkan waktu terapi sudah berlangsung beberapa saat, dan tidak ada korelasi
laboraturium lebih banyak digunakan untuk menunjang riset pada penderita alergi
dan belum banyak digunakan untuk pelayanan laboraturium secara rutin, walaupun di
inflamasi saluran nafas secara non-invasif yang memedakan asma dari penyakit paru
ang lain. Terdapatnya eosinofil dalam sputum merupakan indikasi untuk asma,
penting untuk timbulnya alergi. Namun hingga saat ini pengukuran kadar allergen,
seperti kadar allergen tungau debu rumah, masih terbatas pada penelitian, tetapi kelak
Berbagai cara standardisasi allergen telah dikembang kan, demikian pula metode
pengukurannya, di antaranya metode difusi radial dan RIA, cross immuno-
Uji kulit hingga saat ini masih dilakukan secara luas untuk menunjang
diagnosis alergi terhadap allergen-allergen tertetu. Metode ini dapat dilakukan secara
masal dan dalam waktu singkat dengan hasil cukup baik. Prinsip test ini adalah
bahwa adanya IgE spesifik pada permukaan basofil atsu sel mastosit pada kulit akan
merangsang penglepasan histamin, leukotrien dan mediator lain bila IgE tersebut
berikatan dengan allergen yang digunakan pada uji kulit, sehingga menimbulkan
reaksi positif. Tetapi uji kulit itu tidak selalu memberikan hasil positif walaupun
pemeriksaan dengan cara lain berhasil positif, terutama pada alergi terhadap obat.
Besar kemungkinan bahwa alergi ditunjukan terhadap epitiop yang terdapat pada
metabolit obat dan bukan terhadap obat itu sendiri sehingga uji kulit yang
menggunakan obat bersangkutan memberikan hasil negatif. Hasil uji kulit karenanya
sulit di-interpretasikan untuk menentukan ada tidaknya alergi sistemik terhadap obat.
Berbaud dan kawan-kawan melakukan studi untuk medapatkan cara menditeksi alergi
sistemik terhadap obat. Pertama-tama dilakukan patch test terhadap obat yang
dicurigai ; bila hasilnya negatif dilakukan pitch test dan bila hasilnya tetap negatif
dilakuka uji intradermal. Reaksi positif dapat terjadi segera atau dalam waktu
beberapa hari pada DTH. 72% penderita menunjukkan hasil positif dan pada 42%
digunakan pada umunya metode ELISA atau RAST dengan berbagai modifikasi.
demikian, dalam menginterpretasikan hasil test perlu diingatuntuk tidak serta merta
menyingkirkan alergi bila kada IgE rendah, sebaliknya tidak memastikan diagnosa
alergi bila kadar IgE tinggi. Di samping itu, kadar IgE juga bergantung pada usia. IgE
diketahui tidak dapat menembus plasenta karena itu kada IgE dalam darah tali pusat
biasanya sangat rendah (kurang sari 2 IU/ml). kadar IgE meningkat secara progresif
pada anak normal hingga usia 10-15 tahun, kemudian menurun kembali hingga
mencapai kadar IgE pada orang dewasa no-atopi, yaitu sekitar 90 IU/ml. Anak-anak
yang atopi menunjukkna peningkatan kada IgE lebih cepat dan lebih tajam sejak
tahun pertama dibanding mereka yang non-atopi. Dia atas usia 14 yahun, kadar IgE
melebihi 333 IU/ml (800 ug/ml) pada umumnya dianggap abnormal tinggi. Kadar IgE
terhadap alergen. Pada saat pemaparan kadar IgE umunya lebih tinggi dibandingkan
saat tidak terpapar (kadar basal). Tetapi pada penderita alergi kadar IgE basal
umumnya lebih tinggi dibanding penderita nonatopik. Kadar basal ini dipengaruhi
oleh faktor genetik yang telah dibuktikan bahwa limfosit T memegang peran penting
pada pengaturan sintesis IgE. Anti-IgE dan anti-FceRI dapat berfungsi sebagai
antigen yang aktif mendapat berakibat klinik sama dengan reaksi alergi. Karena itu
deteksi anti-IgE dan anti-FceRI dalam serum mempunya makna diagnosis dan bahkan
kemungkinan besar makna terapeutik di kemudian hari. Selain miningkatkan kadar
IgE spesifik, alergen juga dapat meningkatkan kadar IgG spesifik terhadap alergen
bersangkutan. Pada individu yang tidak terimunisasi dan kemudian terpapar pada
alergen tertentu kadar IgG spesifik biasanya rendah. Sebaliknya pada individu yang
pernah mandapat injeksi antigen tertentu, baik secara kebetulan (gigitan serangga atau
injeksi obat) maupun secara imunoterapi allergen, kadar IgG spesifik dapat sangat
mengetahui apakah seseorang pernah terpapar pada antigen tertentu atau untuk
penderita. Pemeriksaan ini menunjukkan korelasi naik dengan uji kulit yang
seringkali dirasakan tidak nyaman oleh penderita. Di samping itu kelebihan test
reaksi anafilaktik, menghindari bahaya booster respons imun sebelumnya dan dapat
dilakukan pada penderita yang menderita dermatitis dengan lesi kulit luas yang tidak
memungkinkan dilakukannya uji kulit. Berbagai kit reagen untuk mengukur kadar
pemeriksaan dengan kit ini memerlukan darah segar, penggunaannya menjadi lebih
terbatas dibanding test RAST. Pengukuran kadar histamin dalam serum juga terbatas
histamin releasing factor pada penderita sindrom alergi obat multipel (multiple drug
Aktivitas sel matosit juga dapat diukur dengan parameter enzim triptase dan
pengukuran kadar enzin triptase dalam serum penderita bermanfaat untuk menunjang
diagnosis atopi. Triptase adalah protease yang hanya terdapat dalam sel mastosit
manusia dan dalam basofil walaupun kadarnya dalam basofil jauh lebih rendah (1/500
kadarnya dalam mastosit). Enzim ini terdapat dalam granula dan dilepaskan pada saat
bahwa enzim ini stabil dan imunoreaktivitasnya tidak hilang dalam waktu beberapa
hari. Dengan demikian enzim ini dapat digunakan sebagai petanda aktivitas sel
mastosit dan kadarnya dalam serum menunjukkan tingkat aktivitas sel tersebut.
Penderita dengan reaksi anafilaksis menunjukkan kadar triptase yang meningkat dan
menetap untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga dapat digunakan untuk
Uji reaksi imunologik terhadap obat ditujukan untuk mendeteksi respons imun
spesifik terhadap obat tertentu dengan menentukan IgE spesifik atau mengidentifikasi
sebagai faktor kemotaktik, LTC4 dan LTE4 yang merupakan bronkhokonstriktor yang
poten belum terbukti mempunyai makna klinik demikian pula pengukuran kadar
metabolit PGD2 dalam plasma penderita alergi masih sulit dilakukan secara rutin.
Pengukuran kadar sitokin bermanfaat untuk mengetahui fenotip respons Th, misalnya
ketidak mampuan seorang anak untuk meproduksi IFN-g merupakan faktor risiko
untuk terjadinya atopi di kemudian hari, demikian pula pengukuran kadar IL-4
mungkin akan sangat bermakna di kemudian hari untuk diagnosis dan evaluasi
penderita alergi. Cytokine assay dapat dilakukan dengan cara ELISA, RIA maupun
bioassay. ELISA dan RIA pada umumnya lebih sederhana dan tidak dipengaruhi oleh
berbagai inhibitor dalam plasma, sedangkan bioassay lebih sensitive dan mendeteksi
sitokin dalam bentuk aktif. Tetapi bioassay memerlukan cara kerja yang cermat,
memerlukan cell-line, lingkungan yang steril dan memerlukan sarana untuk kultur sel
dan haversting yang memenuhi syarat. Ada beberapa sitokin yang perlu diukur di
untuk menentukan dan meyingkirkan faktor risiko. Dalam hal ini perkembangan
yang berperan dalam alergi. Berbagai studi telah dilakukan melalui berbagai
pendekatan, antara lain positional cloning approach dan candidate gene approach.
KESIMPULAN
Alergi dan perjalanan penyakitnya ditentukan oleh interaksi antara gen dengan
pertama adalah bahwa baik genotip kepekaan maupun paparan terhadap faktor
alergi pada semua individu, tetapi pada individu dengan genotip kepekaan, resikonya
meningkatkan resiko pada meraka yang peka, dan kemungkinan keempat adalah baik
IgE, respon imun spesifik terhadap allergen tertentu dan respon imun berlebihan.