Você está na página 1de 17

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Autisme sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf pusat yang


ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak kanak hingga masa masa
sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak anak yang menyandangnya
tidak mampu menjalin hubungan sosial secara normal bahkan tidak mampu untuk
menjalin komunikasi dua arah (Wijayakusuma, 2004)

Varian symptom yang dimiliki oleh setiap anak dengan sindrom autisme berbeda
beda. Ada varian symptom yang ringan dan ada juga yang berat. Akan tetapi, secara
umum dapat dispesifikasikan kedalam tiga hal yang mencakup kondisi mental,
kemampuan berbahasa serta usia si anak.

Sebagai sindrom, autisme dapat disandang oleh seluruh anak dari berbagai tingkat
sosial dan kultur. Hasil survai yang diambil dari beberapa negara menunjukan bahwa 2
4 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang austime dengan rasio perbandingan 3 :
1 untuk anak laki laki dan perempuan. Dengan kata lain, anak laki laki lebih rentan
menyandang sindrom autisma dibandingkan anak perempuan. Bahkan diprediksikan
oleh para ahli bahwa kuantitas anak autisme pada tahun 2010 akan mencapai 60 % dari
keseluruhan populasi anak di seluruh dunia.

Sejak autisme mulai dapat dijabarkan dan dikenal mendunia, berbagai jenis
penyembuhan telah dilakuan. Beberapa implementasi penyembuhan tersebut bukan
hanya bersifat psikis, tetapi juga fisik, mental, emosional hingga fisiologis. Tetapi
penyembuhan yang diterapkanpun dilakukan dengan berbagai varian teknik, diantaranya
teknik belajar dan bermain yang dapat dilakukan secara verbal maupun non verbal.

Dari beberapa jenis terapi yang telah diimplementasikan secara meluas, ada yang
melibatkan peran serta orang tua dan ada juga yang tidak. Ada yang dapat dilakukan
sendiri oleh orang tua dirumah dan ada juga terapi yang memerlukan bantuan sejumlah
ahli atau terapis. Inti dari sejumlah terapi tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir
berbagai symptom yang diperlihatkan oleh seorang anak autisme yang tentunya dapat
disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkatan sindrom yang disandang anak.

Yang terpenting, terapi yang diberikan kepada setiap anak autisme hendaknya
tetap melibatkan peran serta orang tua secara aktif. Tujuannya agar setiap orang tua
merasa memiliki andil atas kemajuan yang dicapai anak autisma mereka dalam setiap
fase terapi. Dengan kata lain, orang tua tidak hanya memasrahkan perbaikan anak
autisme kepada para ahli atau terapis tetapi juga turut menentukan tingkat perbaikan
yang perlu dicapai oleh sianak. Dengan demikian, akan terbentuk suatu ikatan emosional
yang lebih kuat antara orang tua dengan anak autismenya dan hal ini diharapkan akan
mendukung perkembangan emosional dan mental si anak menjadi lebih baik dari
sebelumnya.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apakah defisi autisme ?
2. Ada berapa pengelompokan autisme ?
3. Bagaiman etiologi autisme ?
4. Bagaiman etiologi autisme ?
5. bagaimana karakteristik autisme ?
6. Bagaimana penatalaksanaan autisme ?

1.3. TUJUAN PENULISAN


Tujuan umum
Pembaca dapat memahami tengtang keperawatan pada anak pengidap autis
Tujuan khusus
Setelah membaca makalah ini, pembaca mampu :
Menjelaskan definisi dari autism pada anak
Menjelaskan pengelompokan autisme pada anak
Menjelaskan penatalaksanaan autisme pada anak
Menjelaskan etiologi autisme pada anak

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat
masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk
hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari
manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-
Cohen, 1993).

Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan
realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996 :
305)

Istilah autis berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme berarti aliran. Jadi
autisme adalah suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri (Purwati, 2007).

Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada bayi atau anak yang ditandai
dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku,
komunikasi dan interaksi sosial. Gangguan autis adalah salah satu perkembangan pervasif
berawal sebelum usia 2,5 tahun (Devision, 2006).

2.2. Pengelompokan autisme


Dr. faisal yatim mengelompokan autisme menjadi 3 kelompok yaitu :
1. autisme persepsi
Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme internal karena
kelainan sudah timbul sebelum lahir
2. Autisme reaksi
Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak anak usia lebih besar (6 7 tahun)
sebelum anak memasuki memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga terjadi
sejak usia minggu minggu pertama. Penderita autisme reaktif ini bisa membuat
gerakan gerakan tertentu berulang ulang dan kadang kadang disertai kejang
kejang.

Berdasarkan waktu munculnya gangguan, Kurniasih (2002) membagi autisme menjadi


dua yaitu:
1) Autisme sejak bayi (Autisme Infantil)
Anak sudah menunjukkan perbedaan-perbedaan dibandingkan dengan anak non
autistik, dan biasanya baru bisa terdeteksi sekitar usia bayi 6 bulan.
2) Autisme Regresif
Ditandai dengan regresif (kemudian kembali) perkembangan kemampuan yang
sebelumnya jadi hilang. Yang awalnya sudah sempat menunjukkan perkembangan ini
berhenti. Kontak mata yang tadinya sudah bagus, lenyap. Dan jika awalnya sudah
bisa mulai mengucapkan beberapa patah kata, hilang kemampuan bicaranya.
(Kurniasih, 2002).

2.3. Etiologi

Autisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di bawah ini adalah faktor faktor
yang menyebabkan terjadinya autis menurut Kurniasih (2002) diantaranya yaitu:
1. Faktor Genetik
Faktor pada anak autis, dimungkinkan penyebabnya adanya kelainan kromosom yang
disebutkan syndrome fragile x (ditemukan pada 5-20% penyandang autis).
2. Faktor Cacat (kelainan pada bayi)Disini penyebab autis dapat dikarenakan adanya
kelainan pada otak anak, yang berhubungan dengan jumlah sel syaraf, baik itu selama
kehamilan ataupun setelah persalinan, kemudian juga disebabkan adanya Kongenital
Rubella, Herpes Simplex Enchepalitis, dan Cytomegalovirus Infection.
3. Faktor Kelahiran dan PersalinanProses kehamilan ibu juga salah satu faktor yang
cukup berperan dalam timbulnya gangguan autis, seperti komplikasi saat kehamilan
dan persalinan. Seperti adanya pendarahan yang disertai terhisapnya cairan ketuban
yang bercampur feces, dan obat-obatan ke dalam janin, ditambah dengan adanya
keracunan seperti logam berat timah, arsen, ataupun merkuri yang bisa saja berasal
dari polusi udara, air bahkan makanan.
Sedangkan menurut buku (bony,2003) adalah :
1. Gangguan susunan saraf pusat
Ditemukan kelainan neuranotomi (anatomi susunan saraf pusat) pada beberapa
tempat didalam otak anak autis. Selain itu,ditemukan kelainan struktur pada pusat
emosi didalam otak sehingga emosi anak autis sering terganggu. Penemuan ini
membantu dokter menentukan obat yang lebih tepat. Obat-obatan yang sering dipakai
adalah dari jenis psikotropika,yang bekerja pada susunan saraf pusat.
2. Gangguan sistem pencernaan
Ada hubungan antara gangguan sistem pencernaan dengan gejala autis. Tahun
1997,seorang pasien autis,Parker Beck,mengeluhkan gangguan pencernaan yang
sangat buruk. Ternyata,ia kekurangan enzim sekretin. Setelah mendapat suntikan
sekretin,Beck sembuh dan mengalami kemajuan luar biasa. Kasus ini memicu
penelitian-penelitian yang mengaruh pada gangguan metabolisme pencernaan.
3. Peradangan dinding usus
Bersdasarkan pemeriksaan endoskopi atau peneropongan usus pada sejumlah anak
autis yang memiliki pencernaan buruk ditemukan adanya peradangan usus pada
sebagian besar anak. Dr. Andrew Wakefiled ahli pencernaan asal inggris,menduga
peradangan tersebut disebabkan virus,mungkin virus campak. Itu sebabnya, banyak
orangtua yang kemudian menolak imunisasi MMR (measles,mumps,rubella) karena
diduga menjadi biang keladi autis pada anak.
4. Faktor genetika
Ditemukan 20 gen yang terkait dengan autisme. Namun, gejala autisme baru bisa
muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. bisa saja autisme tidak muncul,meski anak
membawa gen autisme. Jadi perlu faktor pemicu lain.
5. Keracunan logam berat
Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah ditemukan
kandungan logam berat dan beracun pada banyak anak autis. Diduga,kemampuan
sekresi logam berat dari tubuh terganggu secara genetik.

2.4. Patofisiologi

Penyebab pasti dari autisme belum diketahui. Yang pasti diketahui adalah bahwa
penyebab dari autisme bukanlah salah asuh dari orang tua, beberapa penelitian
membuktikan bahwa beberapa penyebab autisme adalah ketidakseimbangan biokimia,
faktor genetic dan gangguan imunitas tubuh. Beberapa kasus yang tidak biasa
disebabkan oleh infeksi virus (TORCH), penyakit- penyakit lainnya seperti
fenilketonuria (penyakit kekurangan enzim), dan sindrom X (kelainan kromosom).
Menurut Lumbantobing (2000), penyebab autisme dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu:
1. Faktor keluarga dan psikologi
2. Respon anak-anak terhadap stressor dari keluarga dan lingkungan.
3. Kelainan organ-organ biologi dan neurologi (saraf)
Berhubungan dengan kerusakan organ dan saraf yang menyebabkan gangguan
fungsi-fungsinya, sehingga menimbulkan keadaan autisme pada penderita
4. Faktor genetik
Pada hasil penelitian ditemukan bahwa 2 - 4% dari saudara kandung juga menderita
penyakit yang sama.
5. Faktor kekebalan tubuh

2.5. Epidemiologi
Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autisme semakin tinggi. Dua puluh
tahun yang lalu hanya 2 sekitar 1 dari 10.000 anak kena autis. Lima tahun yang lalu 1
dari 1000, satu tahun yang lalu 1 dari 166 anak, dan saat ini 1 dari 150 anak atau setiap
tahun timbul sekitar 9000 anak autis baru(Dwinoto, 2008).Di Indonesia yang
berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui persis jumlah anak autis namun
diperkirakan dapat mencapai 150 -200 ribu orang. Perbandingan laki dan perempuan 4 :
1, namun pasien anak perempuan akan menunjukkan gejala yang lebih berat.Sebagai
sindrom, autisme dapat disandang oleh semua anak dari berbagai tingkat sosial dan
kultur. Hasil survai dari beberapa Negara menunjukkan bahwa 2 - 4 anak per 10.000
anak berpeluang menyandang autis dengan rasio 3 : 1 untuk anak laki-laki dan
perempuan; anak laki-laki lebih rentan menyandang sindrom autisme dibandingkan anak
perempuan(Sari, 2009).Anak laki-laki memiliki hormon testosteron yang mempunyai
efek yang bertolak belakang dengan hormon estrogen pada perempuan, hormon
testosteron menghambat kerja RORA (retinoic acid-related orphan receptor-alpha) yang
berfungsi mengatur fungsi otak, sedangkan estrogen meningkatkan
kinerja RORA (Darmawan, 2009).

2.6. Manisfestasi Klinik


1. Di bidang komunikasi :
Perkembangan bahasa anak autis lambat atau sama sekali tidak ada. Anak nampak
seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara lalu kemudian hilang kemampuan
bicara.
Terkadang kata kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
Mengoceh tanpa arti secara berulang ulang, dengan bahasa yang tidak dimengerti
orang lain.
Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi. Senang meniru atau membeo
(Echolalia).
Bila senang meniru, dapat menghafal kata kata atau nyanyian yang didengar tanpa
mengerti artinya.
Sebagian dari anak autis tidak berbicara (bukan kata kata) atau sedikit berbicara
(kurang verbal) sampai usia dewasa.
Senang menarik narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang dia inginkan,
misalnya bila ingin meminta sesuatu.
1. Di bidang interaksi sosial :
Anak autis lebih suka menyendiri
Anak tidak melakukan kontak mata dengan orang lain atau menghindari tatapan muka
atau mata dengan orang lain.
Tidak tertarik untuk bermain bersama dengan teman, baik yang sebaya maupun yang
lebih tua dari umurnya.
Bila diajak bermain, anak autis itu tidak mau dan menjauh.
2. Di bidang sensoris :
Anak autis tidak peka terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
Anak autis bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
Anak autis senang mencium cium, menjilat mainan atau benda benda yang ada
disekitarnya. Tidak peka terhadap rasa sakit dan rasa takut.
3. Di bidang pola bermain :
Anak autis tidak bermain seperti anak anak pada umumnya.Anak autis tida suka
bermain dengan anak atau teman sebayanya.
Tidak memiliki kreativitas dan tidak memiliki imajinasi.
Tidak bermain sesuai fungsinya, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya diputar
putar.Senang terhadap benda benda yang berputar seperti kipas angin, roda sepeda,
dan sejenisnya.
Sangat lekat dengan benda benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana
mana.
4. Di bidang perilaku :
Anak autis dapat berperilaku berlebihan atau terlalu aktif (hiperaktif) dan berperilaku
berkekurangan (hipoaktif).
Memperlihatkan perilaku stimulasi diri atau merangsang diri sendiri seperti
bergoyang goyang, mengepakkan tangan seperti burung.
Berputar putar mendekatkan mata ke pesawat televisi, lari atau berjalan dengan
bolak balik, dan melakukan gerakan yang diulang ulang.
Tidak suka terhadap perubahan.
Duduk bengong dengan tatapan kosong.

5. Di bidang emosi :
Anak autis sering marah marah tanpa alasan yang jelas, tertawa tawa dan
Dapat mengamuk tak terkendali jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya.
Kadang agresif dan merusak.
Kadang kadang menyakiti dirinya sendiri.
Tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan orang lain yang ada disekitarnya
atau didekatnya.

2.7. Karakteristik

Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati
pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan
hingga terberat sekalipun.

Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.


Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta
menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu

Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam


kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa
diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas
bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia).
Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-
tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian,
selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.

Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para
orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang
terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD)
di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya
evaluasi lebih lanjut :

Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan


Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam)
hingga usia 12 bulan
Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu

Adanya kelima lampu merah di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang
autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka
seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat
meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya
yang memahami persoalan autisme.

2.8. Cara Mengetahui Autisme pada Anak Sejak Dini


Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan:
Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal.
Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak.
Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat
bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.
2.8.1. Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya.
a) Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang bila
diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan
sederhana (ciluk baa atau kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata.
Orang tua perlu waspada bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan gmainan
untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila anak terlihat
tertarik pada kedua tangannya sendiri.
b) Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-benda, disertai
kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau alat, menolak
untuk dipeluk, menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif
cuek menghadapi kedua orang tuanya.
c) Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat
terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau
berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan orang
lain segera atau setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada
suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata terbatas
(walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa juga
berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.

2.8.2. Ciri yang khas pada anak yang austik :


1. Defisit keteraturan verbal.
2. Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.
3. Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan
orang lain).
Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:
1. Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.
2. Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.
3. Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak
imajinatif.Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.
2.9. Penatalaksanaan Autisme
1. Terapi Perilaku
Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral
Analysis yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los
Angeles (UCLA) (Rudy, 2007). Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak
pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai
instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan
tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali
maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini
diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi
kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang
diberikan (Muhardi, 2009). Dalam suatu penelitian dikatakan dengan terapi yang
intensif selama 1-2 tahun, anak yang masih muda ini dapat berhasil meningkatkan IQ
dan fungsi adaptasinya lebih tinggi dibanding kelompok anak yang tidak memperoleh
terapi intensif. Bahkan pada akhir terapi sekitar 42% dapat masuk ke sekolah
umum(Gamayanti, 2003). Menurut Sutadi (2003), walaupun tidak bisa disembuhkan
100 persen, autis dapat dilatih melalui terapi sedini mungkin sehingga ia bisa tumbuh
normal. Alasannya karena hasil penatalaksanaan terapi setelah usia lima tahun akan
berjalan lebih lambat.

2. Terapi Biomedik
Terapi biomedik merupakan penanganan secara biomedis melalui perbaikan
metabolism tubuh serta pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang, vitamin
dan obat yang dianjurkan adalah vitamin B6,risperidone, dll (Veskarisyanti, 2008).
Sedangkan menurut Handojo (2008), obat- obatan yang dipakai terutama untuk
penyandang autisme, sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati. Dosis dan
jenisnya sebaiknya diserahkan kepada Dokter Spesialis yang memahami dan
mempelajari autisme (biasanya Dokter Spesialis Jiwa Anak). Baik obat maupun
vitamin hendaknya diberikan secara sangat berhati-hati, karena baik obat maupun
vitamin dapat memberikan yang tidak diinginkan. Vitamin banyak dicampurkan pada
nutrisi khusus, karena itu telitilah lebih dahulu sebelum membeli dan memberikannya
kepada penyandang autisme. Terapi biomedik tidak menggantikan terapiterapi yang
telah ada, seperti terapi perilaku, wicara, okupasi dan integrasi sensoris. Terapi
biomedik melengkapi terapi yang telah ada dengan memperbaiki dari dalam.
Dengan demikian diharapkan bahwa perbaikan akan lebih cepat terjadi (Muhardi,
2009).
3. Terapi Integrasi Sensori
Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikan seluruh
rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian
menghasilkan respons yang terarah.
Disfungsi dari integrasi sensoris atau disebut juga disintegrasi sensoris berarti ketidak
mampuan untuk mengolah rangsang sensoris yang diterima. Gejala adanya
disintegrasi sensoris bisa tampak dari : pengendalian sikap tubuh, motorik halus, dan
motorik kasar. Adanya gangguan dalam ketrampilan persepsi , kognitif, psikososial,
dan mengolah rangsang. Namun semua gejala ini ada juga pada anak dengan
diagnosa yang berbeda(Handojo, 2008).
4. Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan
motorik halus. Gerakgeriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang
pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap
makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat
penting untuk melatih mempergunakan otot otot halusnya dengan benar (Muhardi,
2009).
5. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi khusus bagi anak autisme yang dalam
pelaksanaannya harus meibatkan peran aktif dari orang tua. Psikoterapi menggunakan
teknik bermain kreatif verbal dan non verbal yang memungkinkan orang tua lebih
mendekatkan diri kepada anak autisme mereka dan lebih mengenal lagi berbagai
kondisi anak secara mendetail guna membantu proses penyembuhan anak.
6. Terapi Diet
a. Diet bebas gluten dan bebas kasein. Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet
tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan minuman yang
mengandung gluten dan kasein. Gluten adalah protein yang secara alami terdapat
dalam keluarga rumput seperti gandung/terigu, havermuth/oat, dan barley.
Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada tepung terigu dan tepung bahan
sejenis. Sedangkan jenis bahan makanan sumber kasein adalah susu sapi segar
(mengandung 80% kasein), susu skim, tepung susu, dan produk olahan susu
seperti, keju, mentega, margarine, krim, yoghurt, es krim(Hariyadi, 2009).
Meskipun masih kontroversial namun teori adanya kelainan peptida di otak yaitu
ditemukannya gliodorphin dan casomorphin, adanya zat tersebut pada penderita
dapat dideteksi dengan pemeriksaan tes peptida urin dimana ditemukan zat sejenis
opioid yang merupakan hasil pencernaan yang tidak sempurna dari gluten dan
kasein (Prabaningrum & Wardhani, 2008). Hal ini yang mendasari diet bebas
gluten dan kasein bagi penyandang autisme karena gluten dan kasein dapat
menjadi racun / toksik bila dikonsumsi (Veskarisyanti, 2008). Pada orang sehat,
mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang
serius/memicu timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan
karena makanan pokok orang Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung
gluten. Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya dapat
dilihat dalam waktu antara 13 minggu. Menghindari makanan sumber gluten dan
kasein meningkatkan perbaikan 65% anak autis. Apabila setelah beberapa bulan
menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok
dan anak dapat diberi makanan seperti sebelumnya (Muhardi, 2009). Hasil
penelitian oleh Ishak (2008), menyebutkan bahwa terdapat pengaruh pemberian
diet terhadap perkembangan anak autisme. Sedangkan menurut Hyman (2010),
tidak ada efek khusus pada perkembangan prilaku dengan terapi diet bebas gluten
dan kasein dikatakan juga diet gluten dan casein tidak berkaitan dengan sifat
agresif penderita autisme dan kinerja usus mereka, dikarenakan banyak faktor
yang mempengaruhinya, sehingga harus diketahui terapi mana yang paling sesuai
dan efektif pada masing-masing anak. Didalam penelitan Hyman (2010),
responden penelitian tidak mengalami perubahan dalam pola aktivitas dan
frekuensi tidur. Anak-anak menunjukkan peningkatan kecil dalam sosial, bahasa
dan minat setelah diberikan terapi gluten dan kasein dan diukur gejala yang
timbul dengan Ritvo Freeman Real Life Rating Scale namun tidak mencapai
signifikansi statistic.
b. Diet bebas zat aditif. Zat aditif terdiri dari pewarna, penambah rasa sintetis,
aspartam, nitrat pada makanan, dan pestisida yang mungkin ada dalam makanan
dapat memperparah keadaan anak autis (Hariyadi, 2009). Contoh bahan makanan
yang mengandung zat aditif adalah sosis, kornet, chicken nugget dan lain-lain.
Beberapa zat pewarna merusakDNA yang menyebabkan mutasi genetik.
Sedangkan zat penambah rasa seperti MSG dapat mempengaruhi saraf
otak (Sunartini, 2003).
c. Diet bebas fenol dan salisilat. Sejak The Feingold Diet (salah satu jenis
pengaturan pola makan) diperkenalkan banyak orang melihat bahwa salisilat
mempunyai efek buruk bagi penyandang autisme. Bahan makanan yang harus
dihindari adalah almond, apel, tomat, mangga muda dan alpokat. Efek yang
dimungkinkan dari bahan makanan yang mengandung salisilat dapat memperberat
kebocoran usus (Budhiman, 2002). Diet bebas fenol dimaksudkan untuk
menghindari jenis bahan makanan yang memerlukan ion sulfat untuk
metabolisme karena dapat memperburuk sistem pencernaan. Khusus bagi anak
autisme, bahan makanan ini berupa jus apel, jus jeruk, coklat, dan anggur
merah(Hariyadi, 2009).
d. Pemberian suplemen makanan. Selain pengaturan pola makan, disarankan juga
untuk mengkonsumsi berbagai suplemen bagi anak autisme. Suplemen-suplemen
tersebut adalah vitamin C, mineral Zn, enzim, melatonin (semacam hormone
untuk memperbaiki jam biologis tubuh) dan kalsium (Budhiman, 2002).

Orang tua perlu menyesuaikan diri dengan keadaan anaknya, orang tua harus
memeberikan perawatan kepada anak temasuk perawat atau staf residen lainnya.
Orang tua sadar adanaya scottish sosiety for autistik children dan natinal sosiety for
austik children yang dapat membantu dan dapat memmberikan pelayanan pada anak
autis. Anak autis memerlukan penanganan multi disiplin yaitu terapi edukasi, terapi
perilaku, terapi bicara, terapi okupasi, sensori integasi, auditori integration training
(AIT),terapi keluarga dan obat, sehingga memerlukan kerja sama yang baik antara
orang tua , keluarga dan dokter.

Pendekatan terapeutik dapat dilakukan untuk menangani anak austik tapi


keberhasilannya terbatas, pada terapi perilaku dengan pemanfaatan keadaan yang
terjadi dapat meningkatkan kemahiran berbicara. Perilaku destruktif dan agresif dapat
diubah dengan menagement perilaku.

Latihan dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan (operant konditioning


yaitu dukungan positif (hadiah) dan hukuman (dukungan negatif). Merupakan metode
untuk mengatasi cacat, mengembangkan ketrampilan sosial dan ketrampilan praktis.
Kesabaran diperlukan karena kemajuan pada anak autis lambat.
Neuroleptik dapat digunakan untuk menangani perilaku mencelakkan diri sendiri
yang mengarah pada agresif, stereotipik dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Antagonis opiat dapat mengatasi perilaku, penarikan diri dan stereotipik, selain itu
terapi kemampuan bicara dan model penanganan harian dengan menggunakan
permainan latihan antar perorangan terstruktur dapt digunakan.
Masalah perilaku yang biasa seperti bising, gelisah atau melukai diri sendiri dapat
diatasi dengan obat klorpromasin atau tioridasin.

Keadaan tidak dapat tidur dapat memberikan responsedatif seperti kloralhidrat,


konvulsi dikendalikan dengan obat anti konvulsan. Hiperkinesis yang jika menetap
dan berat dapat ditanggulangi dengan diit bebas aditif atau pengawet.
Dapat disimpulkan bahwa terapi pada autisme dengan mendeteksi dini dan tepat
waktu serta program terapi yang menyeluruh dan terpadu.
Penatalaksanaan anak pada autisme bertujuan untuk:

a. Mengurangi masalah perilaku.


b. Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama bahasa.
c. Anak bisa mandiri.
d. Anak bisa bersosialisasi.

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
3.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Sacharin, r.m.1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2. EGC: Jakarta


Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Ilmu kesehatan anak volume 3. FKUI :
Jakarta.
Mary. C.T. 1998. Buku saku diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri. EGC :
Jakarta.
Maramis, W.F. 2005. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Airlangga : Jakarta.
Wikipedia.2011.Autisme. http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme. dikunjungi pada Selasa 1
Maret 2011
Ircham, Raden.2008.Asuhan Keperawatan Anak
Autisme. http://asuhankeperawatananak.blogspot.com/ dikunjungi pada Selasa 1 Maret
2011
Mansjoer, Aris, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius : Jakarta
Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit. Buku Kedokteran EGC : Jakarta
1.

Você também pode gostar