Você está na página 1de 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Proses persalinan sering menimbulkan komplikasi akibat adanya stres terhadap jaringan
jalan lahir dan bayi. Pribakti (2006) menyatakan lamanya persalinan dapat mengakibatkan
terjadinya keru-sakan saraf otot dasar panggul, termasuk uterus, dan otot-otot kandung kemih.
Lemahnya otot dasar panggul dapat menimbulkan inkontinensia. Data WHO menyebutkan
200 juta penduduk dunia mengalami inkontinensia urin. Di Amerika Serikat, penderita
inkontinensia urin mencapai 13 juta de-ngan 85% perempuan. Jumlah ini sangat sedikit dari
kondisi sebenarnya, sebab masih banyak ka-sus yang tidak dilaporkan (Saifudin, 2001).
Inkontinensia urin tidak mengancam jiwa pada penderita, tetapi dapat berdampak terhadap
fisik dan kualitas hidup. Dalam penelitian Srikrishna, Robinson, dan Cardozo (2009) tentang
pengalam-an dan harapan wanita yang mengalami inkon-tinensia urin secara kualitatif dan
kuantitatif bah-wa wanita dengan inkontinensia urin membatasi aktivitas (71,26%),
pembatasan peran (67,24%), dan pembatasan sosial (50,38%). Secara kualita-tif, ditemukan
juga bahwa wanita dengan inkon-tinensia urin merasakan gangguan body images, tidak
percaya diri karena menimbulkan bau, dan melakukan pembatasan aktivitas seperti belanja,
dansa, bermain dengan anak-anaknya, tertawa dan bersin.
Menurut Heit, Blackwell, dan Kelly (2008), komplikasi fisik yang paling umum terjadi
pada penderita inkontinensia urin antara lain; infeksi kandung kemih, infeksi uretra, dan iritasi
vagina. Iritasi vagina dapat berkembang menjadi infeksi dan sampai terjadinya infeksi pada
sistem re-produksi lainnya. Melihat dampak yang timbul akibat inkontinensia urin, maka
perawat harus mampu melakukan pencegahan masalah inkon-tinensia urin. Salah satu cara
yang bisa dilakukan perawat adalah dengan mengoptimalkan fungsinya sebagai edukator
dengan memberikan pengetahu-an tentang pencegahan masalah inkontinensia akibat
kehamilan dan persalinan. Pencegahan in-kontinensia urin yang dapat dilakukan oleh perawat
adalah meningkatkan kekuatan otot-otot dasar panggul termasuk otot detrusor dan uretra.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi vesika urinaria pada wanita?


1.2.2 Apa yang dimaksud dengan Inkontinensia Urin Pada Postpartum ?

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 1


1.2.3 Bagaimana epidemiologi Inkontinensia Urin Pada Postpartum ?
1.2.4 Apa saja etiologi Inkontinensia Urin Pada Postpartum ?
1.2.5 Apa saja faktor resiko terjadinya Inkontinensia Urin Pada Postpartum ?
1.2.6 Bagaimana patofisiologi Inkontinensia Urin Pada Postpartum ?
1.2.7 Apa saja manifestasi klinis Inkontinensia Urin Pada Postpartum ?
1.2.8 Bagaimana cara mendiagnosis Inkontinensia Urin Pada Postpartum ?
1.2.9 Apa saja pemeriksaan penunjang Inkontinensia Urin Pada Postpartum ?
1.2.10 Bagaimana penatalaksanaan Inkontinensia Urin Pada Postpartum ?
1.2.11 Apa saja komplikasi Inkontinensia Urin Pada Postpartum ?
1.2.12 Bagaimana prognosis Inkontinensia Urin Pada Postpartum ?

1.3 Tujuan Laporan


1.3.1 Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi vesika urinaria pada wanita.
1.3.2 Untuk mengetahui definisi Inkontinensia Urin Pada Postpartum.
1.3.3 Untuk mengetahui epidemiologi Inkontinensia Urin Pada Postpartum.
1.3.4 Untuk mengetahui etiologi Inkontinensia Urin Pada Postpartum.
1.3.5 Untuk mengetahui faktor resiko terjadinya Inkontinensia Urin Pada Postpartum.
1.3.6 Untuk mengetahui patofisiologi Inkontinensia Urin Pada Postpartum.
1.3.7 Untuk mengetahui manifestasi klinis Inkontinensia Urin Pada Postpartum.
1.3.8 Untuk mengetahui cara mendiagnosis Inkontinensia Urin Pada Postpartum.
1.3.9 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada Inkontinensia Urin Pada Postpartum.
1.3.10 Untuk mengetahui penatalaksanaan Inkontinensia Urin Pada Postpartum.
1.3.11 Untuk mengetahui komplikasi Inkontinensia Urin Pada Postpartum.
1.3.12 Untuk mengetahui prognosis Inkontinensia Urin Pada Postpartum.

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 2


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Vesika Urinaria Pada Wanita

Vesika urinaria (kandung kemih) dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet,
terletak di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Bentuk kandung kemih seperti
kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan dengan ligamentum vesika umbilikalis
medius.

Gambar. Anatomi Vesika Urinaria

Bagian vesika urinaria terdiri dari:

Fundus yaitu, bagian yang menghadap ke arah belakang dan bawah, bagian ini terpisah
dari rektum oleh spatium rectovesikale yang terisi oleh jaringan ikat duktus deferen, vesika
seminalis dan prostat.

Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus.

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 3


Verteks, bagian yang mancung ke arah muka dan berhubungan dengan ligamentum vesika
umbilikalis.

Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium), tunika muskularis
(lapisan otot), tunika submukosa, dan lapisan mukosa (lapisan bagian dalam). Pembuluh limfe
vesika urinaria mengalirkan cairan limfe ke dalam nadi limfatik iliaka interna dan eksterna.

Lapisan otot vesika urinaria terdiri dari otot polos yang tersusun dan saling berkaitan dan
disebut m. detrusor vesikae. Peredaran darah vesika urinaria berasal dari arteri vesikalis superior
dan inferior yang merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Venanya membentuk pleksus
venosus vesikalis yang berhubungan dengan pleksus prostatikus yang mengalirkan darah ke vena
iliaka interna.

Persarafan vesika urinaria berasal dari pleksus hipogastrika inferior. Serabut ganglion
simpatikus berasal dari ganglion lumbalis ke-1 dan ke-2 yang berjalan turun ke vesika urinaria
melalui pleksus hipogastrikus. Serabut preganglion parasimpatis yang keluar dari nervus splenikus
pelvis yang berasal dari nervus sakralis 2, 3 dan 4 berjalan melalui hipogastrikus inferior
mencapai dinding vesika urinaria.

Sebagian besar serabut aferen sensoris yan g keluar dari vesika urinaria menuju sistem
susunan saraf pusat melalui nervus splanikus pelvikus berjalan bersama saraf simpatis melalui
pleksus hipogastrikus masuk kedalam segmen lumbal ke-1 dan ke-2 medula spinalis.

2.2 Definisi Inkontinensia Urin Pada Postpartum

Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan sebagai


keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan higiene serta secara
objektif tampak nyata. International Consultation on Incontinence membagi klasifikasi
inkontinensia urine menjadi 6, yaitu : Inkontinensia urine desakan, inkontinensia urine stress ,
inkontinensia urine campuran, Inkontinensia urine berlebih, Nokturnal Enuresis, Post Micturition
Dribbling dan Incontinencia continua.
Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pascapartum adalah
inkontinensia urine stress. The International Continence Society (ICS) mendefinisikan
inkontinensia urine stres sebagai keluhan pelepasan involunter saat melakukan aktivitas, saat
bersin dan pada waktu batuk. Inkontinensia urine stres terjadi akibat peningkatan tekanan intra
abdomen yang tiba-tiba (misalnya, tekanan mendadak yang timbul akibat bersin atau batuk).

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 4


Sedangkan inkontinensia urine desakan disebabkan oleh gangguan pada kandung kemih dan
uretra. Kedua jenis inkontinensia ini merupakan tipe yang paling sering terjadi pada ibu
postpartum. Terkadang muncul gejala campuran dari kedua tipe inkontinensia ini, yang disebut
juga dengan inkontinensia urine campuran.

2.3 Epidemiologi

Marshal et al., (1996) menyatakan berdasarkan surveinya, sebanyak 59% dari wanita Irlandia
pascapartum mengalami gejala inkontinensia. Dalam sebuah penelitian tahun 1990, ditemukan
fakta 80% ibu primipara yang telah menjalani persalinan per vaginam dari hasil pemeriksaan
elektromiografik memperlihatkan terjadinya reinervasi otot dasar panggul pada minggu ke-8
pascapartum (Allen et al., 1990).

2.4 Etiologi

Penyebab utama inkontinensia urin setelah melahirkan adalah peregangan dan melemahnya
otot dasar panggul, yang memberikan dukungan yang cukup untuk rahim selama kehamilan.
Dasar panggul adalah lapisan otot-fasia kuat yang digunakan untuk menjaga organ-organ internal,
mempertahankan posisi normal mereka, mengontrol tekanan intra-abdomen, serta memfasilitasi
pengeluaran janin saat lahir, membentuk jalan lahir. Peregangan otot-otot dasar panggul terjadi di
bawah berat rahim dan pertumbuhan janin dalam uterus. Berat lahir, janin besar, cedera lahir juga
menyebabkan melemahnya otot.

Etiologi dari Inkontinensia Urin stress tidak begitu dimengerti, namun trauma pada saat
kelahiran bayi merupakan penyebab potensial terhadap kejadian ini ( Handa et al, 1996; Volleys
1988; Morkved & Bo 1996; Chiarelli & Cockburn, 1999; Persson et al, 2000). Ada pandangan
umum bahwa sepertiga dari seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai
dari seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai dari kondisi ringan
sampai berat pada masa pascanatal (Wilson et al., 1996; Morkved & Bo, 1999).

2.5 Faktor Resiko

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 5


Setiap kelahiran dapat menyebabkan kerusakan pada otot dasar panggul. Pada saat kepala bayi
keluar dari vagina, tekanan yang terjadi pada kandung kemih, uretra dan terlebih pada otot dasar
panggul serta penyokongnya dapat merusak struktur ini. Sobekan atau tekanan yang berlebihan
pada otot, ligamentum, jaringan penyambung dan jaringan syaraf akan menyebabkan kelemahan
yang progresif akibat kelahiran bayi.Wanita yang melahirkan dengan forcep, ekstraksi vakum atau
melhirkan bayi dengan berat badan > 4000 gr akan mengalami resiko peningkatan inkontinensia
urin. Persalinan seperti ini memiliki tendensi terjadinya peningkatan kerusakan saraf dasar
panggul.

Kelainan struktur atau fungsi otot dasar panggul akan menyebabkan timbulnya prolapsus organ
panggul, disfungsi seksual, sindrom nyeri panggul kronis dan inkontinensia urin serta fekal.
Kebanyakan disfungsi dasar panggul (terutama prolapsus organ panggul inkontinensia urin dan
fekal) dihubungkan dengan kerusakan dasar panggul selama persalinan pervaginam.

Pada 24 jam pertama setelah melahirkan akan terjadi retensi urin yang disebabkan oleh edema
trigonium, diphorosis dan depresi dari sphincter uretra. Bila wanita pasca persalinan tidak dapat
berkemih dalam waktu 4 jam pasca persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera
dipasang dower kateter selama 24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4
jam, lakukan kateterisasi dan bila jumlah residu > 200 ml maka kemungkinan ada gangguan proses
urinasinya. Maka kateter tetap terpasang dan dibuka 4 jam kemudian , bila volume urine < 200 ml,
kateter dibuka dan pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa.

Setelah retensi teratasi dan plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun sehingga
menyebabkan hilangnya peningkatan tekanan vena pada tingkat bawah, dan hilangnya
peningkatan volume darah akibat kehamilan, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi
kelebihan cairan. Keadaan ini disebut dengan diuresis pasca partum.

Diuresis pada ibu dengan disfungsi dasar panggul akan memudahkan terjadinya inkontinensia
urin pada ibu post partum. Hal ini diperburuk oleh penambahan berat badan yang harus
disokongnya. Etiologi dari Inkontinensia Urin stress tidak begitu dimengerti, namun trauma pada
saat kelahiran bayi merupakan penyebab potensial terhadap kejadian. Ada pandangan umum
bahwa sepertiga dari seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai dari
seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai dari kondisi ringan sampai
berat pada masa pascanatal.

2.6 Patofisiologi

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 6


Inkontinensia urin disebabkan oleh gangguan fungsi penyimpanan dan fungsi
pengosongan traktus urinarius bagian bawah. Beberapa orang mengalami gangguan pada
sfingter uretra dan kandung kemih. Hal ini bisa terjadi pada saat partus pervaginam dimana
overaktifitas dari jumlah detrusor yang sama dapat menjadi simptomatis dengan desakan
inkontinensia. Adanya trauma saat melahirkan dapat merusak otot dasar panggul, dimana hal
ini dapat mengganggu mekanisme kontinensia dimana uretra secara anatomis juga didukung
oleh otot-otot dasar panggul. Stres inkontinensia urin 95% disebabkan oleh persalinan
pervaginam.

Stres inkontinensia urin muncul ketika tekanan intrabdomen meningkat tiba-tiba dan
tekanan kandung kemih lebih besar dari tekanan uretral. Kenaikan tekanan ini dapat
disebabkan perubahan anatomi atau karena faktor neuromuskuler sfingter. Kerusakan otot
langsung menyebabkan berkurangnya kesanggupan untuk menahan besarnya tekanan pada
bladder neck sewaktu terjadi stres fisik. Kerusakan vaskular akibat tekanan yang besar dari
kepala janin dapat berpengaruh terhadap otot dan saraf. Keadaan ini dapat terdeteksi pada saat
batuk, tertawa, bersin, dan gerakan-gerakan lainnya yang meningkatkan tekanan
intraabdominal. Selanjutnya tekanan pada kandung kemih meningkat disertai keluarnya urin
pada penderita.

Stres inkontinensia urin dibagi dalam 3 stadium:

1. Stadium I (ringan) : aktifitas tidak terganggu

2. Stadium II (sedang) : aktifitas mulai terganggu, sering pakai pembalut urin keluar
kalau batuk atau bersin.

3. Stadium III (berat) : aktifitas terganggu, selalu memakai pembalut kalau berjalan atau
berdiri urin keluar.

Urge inkontinensia urin adalah kehilangan urin yang tidak terkontrol, dimana tiba-tiba ada
perasaan terdesak untuk berkemih. Dapat disebabkan oleh kelainan neurologik, yang
terbanyak adalah idiopatik. Kandung kemih yang terlalu sensitif dapat berasal dari epitel
kandung kemih atau otot detrusor itu sendiri. Melahirkan anak dan proses penuaan
menyebabkan ganggguan neuromuskular kandung kemih. Kontrol sistem saraf pusat yang
tidak baik terhadap proses penyimpanan urin dapat menyebabkan keadaan ini.

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 7


Overflow inkontinensia terjadi karena keluarnya urin yang tidak dapat dikontrol dari
kandung kemih yang sangat penuh dengan tekanan intravesikal lebih besar dari tekanan
penutup uretra. Urin biasanya keluar menetes terus menerus.

Mixed inkontinensia urin adalah suatu keadaaan yang merupakan gabungan dari stres
inkontinensia urin dan urge inkontinensia urin.

2.7 Manifestasi klinis

Kencing keluar pada waktu batuk, tertawa, bersin dan latihan.

Keluarnya kencing tidak dapat ditahan.

Kencing keluar menetes pada keadaan kandung kencing penuh.

2.8 Diagnosis dan Pemeriksaan penunjang

Hal yang penting dalam menilai wanita dengan inkontinensia urine adalah dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Pemeriksaan awal tidak selalu diagnostik, tetapi
informasi yang didapat akan menuntun klinisi dalm memilih test diagnostik yang diperlukan. Pada
umumnya keluhan penderita yaitu:

Kencing keluar pada waktu batuk, tertawa, bersin dan latihan.

Keluarnya kencing tidak dapat ditahan.

Kencing keluar menetes pada keadaan kandung kencing penuh.

Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen, vaginal, pelvis, rektal dan
penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa didapatkan distensi kandung kemih, yang
menunjukkan suatu inkontinensia luapan, dan dikonfirmasi dengan kateterisasi. Inspekulo bisa
tampak prolaps genital, sistokel dan rektokel. Adanya urine dalam vagina terutama pasca
histerektomi mungkin mengetahui adanya massa pelvis.

Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan fisik untuk membantu dalam menentukan
tindakan selanjutnya. Test Q-tip (the cotton swab test), merupakan test sederhana untuk
menunjukan adanya inkontinensia stres sejati. Penderita disuruh mengosongkan kandung

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 8


kemihnya, urine ditampung. Kemudian spesimen urine diambil dengan kateterisasi. Jumlah urine
dari kencing dan kateter merupakan volume kandung kemih. Volume residual menguatkan
diagnosis inkontinensia luapan. Spesimen urine dikirim ke laboratorium.

Test diagnostik lanjut yaitu sistourethroskopi dan diagnostik imaging. Sistourethroskopi


dikerjakan dengan anestesi umum maupun tanpa anestesi, dapat dilihat keadaan patologi seperti
fistula, ureter ektopik maupun divertikulum. Test urodinamik meliputi uroflowmetri dan
sistometri. Sistometri merupakan test yang paling penting, karena dapat menunjukan keadaan
kandung kemih yang hiperaktif, normal maupun hipoaktif. Diagnostik imaging meliputi USG, CT
scan dan IVP yang digunakan untuk mengidentifikasi kelainan patologi (seperti fistel/tumor) dan
kelainan anatomi (ureter ektopik).

Test tambahan yang diperlukan untuk evaluasi diagnostik yaitu Pessary Pad Test.
Penderita minum 500 ml air selama 15 menit untuk mengisi kandung kemih. Setelah jam,
penderita melakukan latihan selama 45 menit dengan cara : berdiri dari duduk (10 kali), batuk (10
kali), joging di tempat (11 kali), mengambil benda dari lantai (5 kali), dan mencuci tangan dari air
mengalir selama 1 menit. Test positif bila berat Pad sama atau lebih besar dari 1g. Test ini dapat
menunjukan adanya inkontinesia stres hanya bila tidak didapatkan kandung kemih yang tidak
stabil.

2.9 Penatalaksanaan

Pada umumnya terapi inkontinensia urin adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus
ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah
terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan
pemakaian alat mekanis.

1. Latihan Otot Dasar Pinggul (Pelvic Floor Exercises)

Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar pelvis. Fisioterapi
meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu penutupan urethra pada
keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat
mengangkat sambungan urethrovesikal kedalam daerah yang ditransmisi tekanan abdomen
dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan intraabdominal, perubahan posisi
dan pengisian kandug kemih.

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 9


Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi tekanan abdominal pada
uretra proksimal. Fisio terapi membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra
dan periuretra.

Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (bladder training) telah
menunjukan hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah upaya melatih kandung kemih
dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional kandung kemih tersebut kembali normal
dari keadaannya yang abnormal.

2. Obat-obatan

a) Alfa Adrenergik Agonis

b) Efedrin

c) Phenylpropanololamine

d) Estrogen

3. Stimulasi Elektrik

Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin digunakan selama 2
dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan kontraksi otot lurik uretra dan
parauretra dengan memakai implant/non-implant (anal atau vaginal) elektrode untuk
meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama beberapa jam
per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara implant, tapi
metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbiditas karena infeksi.
Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator mini yang digerakkan dengan baterai dan
dapat dibawa dalam pakaian penderita dan dihubungkan dengan elektrode anal/vaginal.
Bentuk elektrode vaginal : ring, Hodge pessary, silindris.

4. Alat Mekanis (Mechanical Devices)

Tampon : Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila kebocoran
hanya terjadi intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan terus menerus dapat
menyebabkan vagina kering/luka.

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 10


Edward Spring : Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada penderita dg
inkontinensia stres dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi ulserasi vagina.

Bonnass Device: Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat
mengangkat sambungan urethrovesikal dan urethra proksimal.

Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan dengan beberapa
cara meliputi :

1) Kolporafi anterior

2) Uretropeksi retropubik

3) Prosedur jarum

4) Prosedur sling pu

5) Periuretral bulking agent

6) Tension vaginal tape (TVT)

2.10 Komplikasi

Inkontinensia urin postpartum dapat menimbulkan komplikasi pada masa nifas. Beberapa
komplikasi akibat inkontinensia urin postpartum adalah terjadinya uremia, infeksi, sepsis, bahkan
terjadinya merupakan ruptur spontan vesika urinaria. Perubahan signifikan struktur dan fungsi
saluran kemih yang terjadi selama kehamilan dan masa nifas berkonsekuensi meningkatkan resiko
infeksi saluran kemih . Sekitar 8,3 juta alasan kunjungan ke pelayanan kesehatan adalah karena
infeksi saluran kemih (ISK) setiap tahunnya. Dimana wanita lebih rentan terkena ISK karena
uretra yang lebih pendek dan kedekatan anus dengan meatus uretra. Urin yang tertinggal di
kandung kemih menjadi lebih basa dan mudah menjadi tempat pertumbuhan mikroorganisme.
Kebanyakan infeksi saluran kemih postpartum disebabkan oleh mikroorganisme gram positif
seperti Escherichia coli. Menurut Menhert-Kay mikroorganisme jenis ini merupakan patogen
penyebab ISK utama yaitu 75%-95%. Bakteriuria (bakteri di dalam urin) dari kandung kemih
mungkin naik ke ginjal karena aliran aliran urin balik vesikouretral sewaktu berkemih, sehingga
menyebabkan pielonefritis setelah beberapa hari. Ibu postpartum beresiko tinggi mengalami hal
ini, karena sensitivitas kandung kemih akibat peregangan, trauma, dan retensi dari urin residu;
bakteri yang masuk mellaui jalur pemasangan kateter, dan trauma kandung kemih selama
kelahiran bayi .

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 11


2.11 Prognosis

Pengobatan tekanan urin pada inkontinesia urin tidak begitu efektif, pengobatan yang efektif
adalah dengan latihan otot (latihan kegel ) dan tindakan bedah. Perbaikan dengan terapi alfa
agonis hanya sebesar 17%-74%, tetapi perbaikan dengan latihan kegel bisa mencapai 87%-88%.

BAB III

PENUTUP

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 12


3.1 Kesimpulan

Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pascapartum adalah
inkontinensia urine stress. The International Continence Society (ICS) mendefinisikan
inkontinensia urine stres sebagai keluhan pelepasan involunter saat melakukan aktivitas, saat
bersin dan pada waktu batuk. Inkontinensia urine stres terjadi akibat peningkatan tekanan intra
abdomen yang tiba-tiba (misalnya, tekanan mendadak yang timbul akibat bersin atau batuk).
Sedangkan inkontinensia urine desakan disebabkan oleh gangguan pada kandung kemih dan
uretra. Kedua jenis inkontinensia ini merupakan tipe yang paling sering terjadi pada ibu
postpartum. Terkadang muncul gejala campuran dari kedua tipe inkontinensia ini, yang
disebut juga dengan inkontinensia urine campuran.
Kelainan struktur atau fungsi otot dasar panggul akan menyebabkan timbulnya prolapsus
organ panggul, disfungsi seksual, sindrom nyeri panggul kronis dan inkontinensia urin serta
fekal. Kebanyakan disfungsi dasar panggul (terutama prolapsus organ panggul inkontinensia
urin dan fekal) dihubungkan dengan kerusakan dasar panggul selama persalinan pervaginam.

DAFTAR PUSTAKA

Andrianto P. Urologi Untuk Praktek Umum. EGC. Jakarta, 1991 : 175-186.

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 13


Burnnet LS. Novaks Texbook of Gynecology. Eleventh Ed. William & Wilkins, 1988 ; 467-478.

Burnnet LS. Relaxations, Malpositions, Fistulas, and Incontinence. In : Jones HW, Wentz AC,

Cunningham F.G. Gilstrap LC. VanDorsten JP. 2005. Obstetry Williams. Ind Edition.McGraw-Hill
Medical Publlishing Division. New York.

Junizaf. Buku Ajar Uroginekologi. FK.UI. Jakarta, 2002; 90-96.

Marchant DJ. Urinary Incontinence. Obsterics and Gynecology Annual, 19809 ; 9 : 261-2

Prawirohardjo S. Ilmu kandungan. Edisi I. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta, 1991 : 392-404.

Runa B, Sudarsan S, Padma K, Arunangsu T. Postpartum urinary stress incontinence-its relation


with the mode of delivery. J Obstet Gynecol India 2006.

Wiknjosastro H, dkk : Ilmu Kebidanan Ed 2. Jakarta, Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

TR Inkontinensia Urine Postpartum Page 14

Você também pode gostar