Você está na página 1de 8

MAKALAH PENGELOLAAN TANAH Pengelolaan Lahan Pasang

Surut
Oleh : Adib Fauzan Dkk. H0712004 Agroteknologi Fakultas Pertanian UNS
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia oleh pemerintah secara terus menerus
bertujuan mengakatkan kesejahteraan rakyat di seluruh wilayah republik Indonesia. Wilayah
Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau yang dihubungkan oleh lautan secara geografis sangat
memerlukan kebijakan yang baik agar pembangunan di segala bidang dapat merata dan
berkelanjutan (Susanto 2010).
Saat ini luas lahan lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 13,28 juta ha yang terdiri atas
lebak dangkal 4.167 juta ha, lebak tengahan 6.075 juta ha, dan lebak dalam3.038 juta ha, tersebar
di Sumatera, Papua dan kalimantan. Lahan tersebut belum diusahakan secara maksimal untuk
usaha pertanian, padahal dengan menerapkan teknologi penataan lahan serta pengolahan lahan
dan komoditas pertanian secara terpadu, lahan lebak dapat dijadikan sebagai salah satu andalan
sumber pertumbuhan agribisnis dan ketahanan pangan nasional.
Penyebaran lahan lebak menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem perairan,
yaitu antara lahan kering dan sungai/danau, atau antara daratan dan lautan, oleh sebab itu
sepanjang tahun atau dalam waktu beberapa bulan dalam setahun selalu jenuh air (water logged),
mempunyai air tanah dangkal, atau tergenang. Lahan lebak terdapat di cekungan, depresi atau
bagian-bagian terendah di pelimbahan dan penyebar di dataran rendah sampai tinggi.
Berkurangnya lahan subur untuk usaha pertanian serta meningkatnya kebutuhan pangan
nasional terutama beras akibat pertambahan jumlah penduduk menyebabkan pilihan pemenuhan
kebutuhan pangan diarahkan pada pemanfaatan lahan lebak, untuk kepentingan pertanian.
Penggunaan lahan lebak untuk pertanian dengan semestinya dan dilakukan secara efisien.
Dengan kata lain, pemanfaatan lahan lebak dengan tidak semestinya akan menyebabkan
kehilangan salah satu sumberdaya yang berharga, dikarenakan lahan lebak merupakan lahan
merginal dan merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Pemanfaatan lahan lebak
sebagai areal produksi pertanian khususnya tanaman pangan merupakan alternatif yang sangat
tepat, mengingat arealnya yang sangat luas pemanfaatannya belum dilakukan secara intensif dan
ekstensif.
B. Tujuan
Untuk mengetahui pengelolaan dengan ameliorasi dan proses terbentuk lahan dan
penyebab kerusakan terhadap tanah aluvial di lahan rawa lebak.

II. PEMBAHASAN

A. Tanah Aluvial
Tanah Aluvial pada proses pembentukannya sangat tergantung dari bahan induk asal tanah
dan topografi, punya tingkat kesuburan yang bervariasi dari rendah sampai tinggi, tekstur dari
sedang hingga kasar, serta kandungan bahan organik dari rendah sampai tinggi dan pH tanah
berkisar masam, netral, sampai alkalin, kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation juga bervariasi
karena tergantung dari bahan induk (Hardjowigeno 1985). pH yang sangat rendah yaitu kurang
dari 4, sehingga sulit untuk dibudidayakan. Aluvial yang bermasalah adalah sulfaquepts yang
mengandung horizon sulfuric (cat clay) yang sangat masam (Munir 1996).
Tanah Aluvial memperlihatkan awal perkembangan biasanya lembab atau basa selama 90
hari berturut-turut. Umumnya mempunyai lapisan kambik, karena tanah ini belum berkembang
lanjut dan kebanyakan tanah ini cukup subur. Alluvial merupakan tanah-tanah yang memiliki
epipedon dan okrik, horizon albik (Hardjowigeno 1995).
Akumulasi besi sulfide dan oksidanya penting pada sejumlah besar tanah Alluvial. Bakteri
memerlukan bahan organic dan merupakan obligat anaerob. Bakteri ini aktif mulai dari 0-70 0 C,
pH hingga 5 sampai 9 dan konsentrasi NaCl 12% (Lopulisa 2004).
Tanah endapan aluvial atau koluvial muda atau agak muda dengan tanapa atau
perkembangan prifil lemah. Sifat tanah alufial sangat beragam tergantung sifat bahan asal yang
diendapkan. Penyebarannya tidak terpengaruhi oleh iklim maupun ketingian (Hardjowigeno
1993).
Tanah Aluvial yang dipersawahan akan berbeda sifat morfologisnya dengan tanah yang
tidak dipersawahan. Perbedaan yang sangat nyata dapat dijumpai pada epipedonnya, dimana
pada epipedon yang tidak pernah dipersawahan berstruktur granular dan warna coklat tua (10 YR
4/3). Sedangkan epipedon tanah Aluvial yang dipersawahan tidak berstruktur dan berwarna
berubah menjadi kelabu (10 YR5/1) (Munir 1984).
Sarief (1987) menyatakan bahwa tanah Aluvial berwarna kelabu sampai kecoklat-coklatan.
Tekstur tanahnya liat atau liat berpasir, mempunyai konsistensi keras waktu kering dan teguh
pada waktu lembab. Kandungan unsur haranya relatif kaya dan banyak tergantung pada bahan
induknya. Reaksi tanahnya dari asam, netral sampai basa. Berdsarkan bahan induknya terdapat
tanah Aluvial pasir, lempung, kapur, basa, asam dan lain-lain (Darmawijaya 1990).
Tanah Aluvial memiliki kemantapan agregat tanah yang didalamnya terdapat banyak bahan
organik sekitar setengah dari kapasitas tukar kation(KTK) berasal dari bahan bahan sumber hara
tanaman. Disamping itu bahan organik adalah sumber energi dari sebagian besar
organisme tanah. Dalam memainkan peranannya bahan organik sangat dibutuhkan oleh sumber
dan susunanya (Hakim dkk 1986).
Tanah Aluvial mengalami pencucian selama bertahun-tahun tanah ini ditandai dengan
kandungan bahan organik yang tinggi. Vegetasi kebanyakan lumut yang tumbuh rendah.
Tumbuhan tumbuh dengan lambat, tetapi suatu lahan yang rendah menghambat dekomposisi
bahan organik sehingga menghasilkan tanah yang mengandung bahan organik dan KTK yang
tinggi (Foth 1994).
Tanah Aluvial berwarna kelabu muda bersifat fisik keras dan pijal jika kering dan lekat jika
basah. Kaya akan fosfor yang mudah larut dalam sitrat 2% mengandung 5% CO 2 dan tepung
kapur yang halus dan juga berstruktur pejal yang dalam keadaan kering dapat pecah menjadi
fragmen berbetuk persegi sedang sifat kimiawinya sama dengan bahan asalnya (Munir
1996).Kadar fosfor Aluvial ditentukan oleh banyak atau sedikitnya cadangan mineral yang
megandung fosfor dan tingkat pelapukannya. Permasalahan fosfor ini meliputi beberapa hal yaitu
peredaran fosfor di dalam tanah, bentuk-bentuk fosfor tanah, dan ketersediaan fosfor (Pairunan
dkk 1997).
Status kesuburan Aluvial amat tergantung dengan bahan induk dan iklim. Suatu
kecenderungan memperlihatkan bahwa di daerah beriklim basa P dan K relative rendah dan pH
lebih rendah dari 6,5. Daerah-daerah dengan curah hujan rendah di dapat kandungan P dan K
lebih tinggi dan netral (Hakimdkk 1986).
B. Lahan Rawa Lebak
Lahan rawa lebak mempunyai ciri yang sangat khas, pada musim hujan terjadi genangan
air yang melimpah dalam variasi kurun waktu yang cukup lama. Genangan air dapat kurang dari
satu bulan sampai enam bulan atau lebih, dengan ketinggian genangan 50-100 cm. Air yang
menggenang tersebut bukan merupakan limpasan air pasang, tetapi berasal dari limpasan air
permukaan yang terakumulasi di wilayah tersebut karena topografinya yang lebih rendah dan
drainasinya jelek. Kondisi genangan air sangat dipengaruhi oleh curah hujan, baik di daerah
tersebut maupun wilayah sekitarnya serta daerah hulu (Ismail et al. 1993).
Menurut Widjaja Adhi et al. (1992), berdasar lama dan ketinggian maksimum genangan
air, lahan lebak dapat dikelompokkan dalam tiga kategori besar yaitu :
a. Lebak dangkal, yaitu daerah yang dicirikan dengan ketinggian genangan air permukaan pada
musim hujan di bawah atau sama dengan 50 cm, lama genangan 1-3 bulan, katagori ini
menempati luas 4,168 juta ha.
b. Lebak tengahan, dicirikan dengan ketinggian genagan air permukaan pada musim hujan diatas
50 cm-100 cm, dengan lama genangan lebih 3 bulan - 6 bulan, menempati luas 6,076 juta ha.
c. Lebak dalam, dicirikan dengan ketinggian genangan air pada musim hujan di atas 100 cm,
dengan lama genangan lebih dari 6 bulan, menempati luas 3.038 juta ha.
Namun demikian berdasarkan pengalaman dan pengamatan selama melaksanakan kegiatan
penelitian di berbagai wilayah lahan lebak, ketiga katagori tersebut ternyata belum dapat
diterapkan pada seluruh kondisi lebak yang ada, sehingga memunginkan untuk dilengkapi dan
disempurnakan. Diantaranya adalah kondisi lahan lebak yang mempunyai ciri periode lama
genangannya 10-15 hari, dengan ketinggian genangan 30-50 cm kemudian terjadi (flushing) dan
beberapa waktu kemudian genangan air naik kembali akibat curah hujan diwilayah sekitarnya,
tetapi secara komulatif periode lama genangan tersebut dapat mencapai 4 bulan, wilayah lebak
dengan kondisi genangan demikian disebut sebagai dangkal fluktuatif . Lahan lebak dengan
ciri tersebut banyak terdapat di wilayah lebak Sumatera Barat, Bengkulu dan berapa wilayah
lainnya (Ar-Riza dan Alihamsyah 2004).
Berdasar jenis tanahnya lahan lebak dapat dibedakan menjadi tanah bergambut seluas 4,99
juta hektar dan tidak bergambut/mineral seluas 8,292 juta hektar, data yang dipaparkan ini adalah
data yang cukup lama. Menurut pengamatan, lahan rawa lebak di wilayah Kalimantan dan
Sumatera kondisinya telah banyak berubah. Wilayah lebak yang dahulunya termasuk kategori
bergambut telah banyak yang berubah menjadi tidak bergambut, yang dahulunya lebak dangkal
telah banyak berubah menjadi seperti lahan tadah hujan. Hal tersebut terjadi karena adanya
reklamasi lahan dengan pembuatan saluran-saluran drainase intensif terbuka. Oleh karenanya
pemetaan kembali merupakan hal yang sangat penting dilakukan, agar potensi lebak yang
sebenarnya diketahui. Secara alami dan terus menerus, lahan lebak umumnya mendapat endapan
lumpur dari daerah di atasnya terutama daerah pinggiran sungai besar, sehingga walaupun
kesuburan tanah umumnya tergolong sedang, tetapi keragamannya sangat tinggi antar wilayah
ataupun antar lokasi.
C. Terbentuk dan Penyebab Kerusakan Lahan
USDA, tanah hidrik adalah tanah yang terbentuk dibawah keadaan jenuh, banjir, atau
tergenang yang berlangsung cukup lama selama musim tumbuh sehingga menimbulkan keadaan
anaerob dibagian atas tanah. Ciri-ciri pokok tanah hidrik adalah:
1. hasil bentukan keadaan jenuh dan anaerobiosis
2. air tanah sangat dangkal yang menimbulkan keadaan air tergenang
3. mengandung bahan sulfidik yang apabila mengalami oksidasi
Sehubungan dengan peningkatan drainase akan menghasilkan bahan sulfat rnasarn yang
rnenyebabkan pH tanah menjadi rendah. Anaerobiosis dan air tergenang membuat bagian atas
tanah berkadar bahan organik tinggi, termasuk pembentukan epipedon umbrik atau lapisan
gambut, memunculkan tampakan redoksimorfik berupa warna berbecak atau warna glei dengan
kroma rendah, pengumpulan oksida Fe atau Mn, dan perubahan warna karena penyingkapan
(exposure) terhadap atmosfir (Fe2+ teroksidasi menjadi Fe3+), serta menebarkan bau H2S.
Kegagalan pertanaman dan kerusakan lingkungan pada lahan rawa bertanah sulfat masam
karena adanya proses oksidasi pirit yang dapat terjadi akibat drainase berlebihan (overdrained),
dan pada lahan rawa bertanah gambut karena terputusnya siklus hara setelah penebangan hutan
dan lemahnya daya dukung hara dari bahan gambut. Disamping itu juga masalah kering tak balik
(irreversible drying) dari bahan gambut serta kesalahan pengelolaan air (Hardjoamidjojo 1999).
Lahan sulfat masam di daerah rawa yang mengalami drainase berlebih (over drain) akan
mengakibatkan pirit teroksidasi. Kondisi ini mengakibatkan tingkat kemasaman tanah
meningkat. Roroson, juga Bloomfield dan Coulter dalam Dent (1986) mengungkapkan bahwa
pengaruh langsung dari tanah sulfat masam di drainase adalah kemasaman tanah, keracunan
alumunium, mangan, ion-ion hidrogen, rendahnya ketersediaan fosfat, rendahnya basa-basa,
defisiensi unsur hara maupun kegaraman. Defisiensi unsur hara terjadi karena pH rendah
mencapai pH kurang dari 4 sehingga konsentrasi alumunium terlarut naik dan dapat menghambat
ketersediaan fosfat (P), kalium (K), kalsium (Ca) maupun magnesium (Mg).
Pada lahan yang memiliki tingkat kemasaman tinggi, tanaman padi dan palawija tidak
dapat tumbuh dengan baik, sehingga seringkali menjadi lahan tidur (Sutikno et al. 1997).
Tanaman padi varietas IR-42 yang ditanam pada tanah SMA di Karang Agung Ulu (Sumsel)
menghasilkan gabah kering giling 4,32 ton/ha dengan persentase gabah hampa 30,97% (Sri
Ratmini et al. 2000). Sedangkan tanaman kedelai yang juga ditanam pada lahan SMA di
Basarang (Kalteng) pada akhir musim hujan menghasilkan biji kedelai 0,28 t/ha (Aribawa et al.
1997).
D. Ameliorasi dan Pemupukan
Tanah aluvial yang mengandung pirit dalam dan dangkal maupun aluvial bersulfat
sebaiknya dijadikan lahan sawah, karena lebih murah dan aman untuk pertanaman. Namun,
sering dengan adanya saluran primer, sekunder, dan tersier, lahan ini menjadi lahan yang bertipe
luapan pasang C atau D, sehingga seringkali tanahnya pecah-pecah membentuk bongkahan. Oleh
karena itu, diperlukan:
1. Pemberian amelioran
Amelioran adalah bahan untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Amelioran dapat
berupa bahan organik atau anorganik. Amelioran dapat meningkatkan pH gambut dan memiliki
kandungan unsur hara yang lengkap bagi kebutuhan tanaman (Nakertrans 2007).
2. Pemupukan
Untuk meningkatkan pH dan status hara perlu dilakukan dalam upaya pengelolan sulfat
masam, sehingga tanaman dapat berkembang. Bahan ameliorasi berupa kapur, pupuk kandang
dan air laut dapat digukan sebagai ameliorasi. Kapur mempenagruhi pertumbuhan tanaman
dengan dua cara yaitu peningkatan ketresediaan unsur Ca dan perbaikan ketersediaan unsur-
unsur hara lain yang tergantung pada pH tanah. Peningkatan ketersediaan Ca dan pH tanah
menyebabkan tanaman dapat berkembang. (Aribawa et al. 1997).
Pupuk kandang merupakan sumber hara mikro dan sumber hara makro, sehingga
perananya sangat penting dalam peningkatan kesuburan tanah dan menekan kelarutan Al dan
menigkatkan KTK tanah . Sedangkan air laut dapat berfungsi sebagai amelioran karena air laut
mempunyai daya penukar yang sangat besar Al3+ dan Fe3+ yang berada dikompleks pertukaran
dapat diganti dengan Na+ , Ca2+ atau Mg2+ dari air yang ditambahkan . Oleh karena itu air laut
denan kosentrasi tertentu dapat berperan sebagai ion exchanger atau sebagai bahan amelioran.
(Maas et al. 1999).
Penggunaan pupuk organik seperti pupuk kandang akan meningkatkan kemasaman tanah.
Oleh karena itu pemberian pupuk kandang harus dengan pemberian kapur (Hakim, 2006).
Menurut Novizan (2007) pemberian pupuk kandang berfungsi sebagai perekat butir-butir tanah
pada lahan gambut sehingga struktur lahan menjadi lebih baik.
E. Permasalahan Dalam Pengembagan Lahan Rawa Lebak
1. Kondisi Lahan
Kondisi dan karakteristik fisik lahan pasang surut merupakan lahan yang tidak normal
karena banyak faktor pembatas, diantaranya:
a. Kondisi Gambut
Umumnya kondisi gambut tebal hingga kedalaman 3 5 m dimana nilai keasaman sangat
tinggi (pH<4) sehingga unsur hara yang merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman
sangat minim atau terbatas.
b. Kondisi Pirit
Umumnya kondisi pirit adalah dangkal sehingga jika teroksidasi dengan udara akan
menjadi racun bagi tanaman
c. Salinitas/ Intrusi Air Laut
Perilaku pasang surut air laut berdampak pada masuknya air asin di lahan, terutama di
daerah pesisir atau berdekatan dengan laut/selat.
d. Hidrotopografi Lahan
Secara umum, kondisi hidrotopografi lahan Tipe C dan D dimana air saluran/parit tidak
dapat menggenangi lahan tetapi sebatas membasahi permukaan lahan usaha. Kondisi topografi
umumnya adalah datar sehingga pada musim kemarau, air sungai turun dan tanaman banyak
yang mati. Pada musim hujan jika terjadi banjir, air sungai naik menggenangi lahan.
2. SDA dan SDM
Permasalahan yang terkait dengan ketenagakerjaan dan sumber daya manusia di daerah
rawa yang menonjol diantaranya adalah:
a. Rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan.
b. Terbatasnya ketersediaan tenaga kerja untuk pertanian.
3. Teknologi Budidaya
Produksi pertanian masih rendah, hal ini disebabkan beberapa hal diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Sistem tata air yang masih sederhana.
b. Tidak adanya O&P jaringan yang memadai.
c. Sistem dan pola bercocok tanam yang sederhana.
d. Tingginya harga saprodi dan rendahnya daya beli masyarakat petani.
e. Rendahnya harga komoditas pangan.
f. Faktor alam/cuaca yang kurang mendukung, misalnya curah hujan yang rendah.
F. Teknologi Konservasi Lahan Rawa
Konservasi lahan rawa mencakup kegiatan perlindungan, pengawetan dan peningkatan
fungsi dan manfaat. Oleh karena itu, berdasarkan fungsinya lahan rawa dibedakan menjadi tiga
kawasan, yaitu (1) kawasan lindung, (2) kawasan pengawetan, dan (3) kawasan reklamasi untuk
peningkatan fungsi dan manfaat. Kawasan lindung dan pengawetan disebut juga kawasan non-
reklamasi atau non-budidya, sedangkan kawasan reklamasi disebut juga kawasan budidaya.
Pengelolaan lahan rawa menjaga keseimbangan antara kawasan budidaya dan non-budidaya serta
kelestarian sumberdaya alam rawa (Widjaja-Adhi, 1997).
1. Kawasan non reklamasi
Kawasan non reklamasi adalah lahan-lahan yang relatif belum terganggu oleh tindakan
manusia, terdiri atas lahan gambut sangat dalam (> 3 m) dengan vegetasi alami. Menurut
Widjaja-Adhi (1997), lahan tersebut dapat dijadikan kawasan konservasi dengan berbagai tujuan,
antara lain : (a) sebagai kawasan tampung hujan, (b) sebagai kawasan untuk perlindungan hewan
dan tanaman langka, dan (c) untuk keperluan penelitian masa depan yang melibatkan ekosistem
gambut di lahan rawa pasang surut.
Kawasan tampung hujan merupakan daerah penyangga yang berfungsi sebagai
penampung dan pendistribusian air untuk keperluan irigasi di musim kemarau untuk sawah-
sawah di sekelilingnya. Hutan suaka alam praktis bisa dikembangkan di kawasan ini, karena
umumnya masih memiliki vegetasi alami dan sebagai tempat hewan-hewan langka hidup dan
berkembang biak.
Di bawah lapisan gambut umumnya adalah tanah sulfat masam potensial, yaitu tanah
sulfat masam yang belum mengalami pemasaman karena terpeliharanya kondisi reduksi.
Konservasi lahan gambut sekaligus menghindari munculnya tanah sulfat masam di permukaan,
dan menghindari degradasi lahan akibat pemasaman tanah.
2. Kawasan reklamasi
Lahan-lahan di kawasan ini umumnya telah mengalami degradasi yang sebagian besar
disebabkan oleh proses pemasaman. Penyebab lain dari penurunan produktivitas lahan di
kawasan ini antara lain adalah penurunan permukaan tanah (subsidence), genangan
(water logging), polusi lingkungan perairan oleh asam-asam organik dan anorganik serta unsur
beracun seperti besi (Fe2+), dan keracunan (toxicity) oleh unsur bersifat racun bagi tanaman.
Untuk tidak terjadi proses degradasi yang berkelanjutan, maka lahan-lahan di kawasan ini perlu
tindakan konservasi.
Kawasan ini dicirikan dengan telah dibangunnya jaringan irigasi/drainase. Untuk lahan
dengan tanah sulfat masam, mempertahankan tinggi muka air di atas lapisan pint merupakan
strategi yang bisa dilakukan untuk mempertahankan tanah dalam kondisi tereduksi dan
mencegah terjadinya pemasaman akibat oksidasi pirit. Pengelolaan air sekaligus clapat
difungsikan sebagai tindakan konservasi tanah.
Untuk menghindari kerusakan lahan yang berkelanjutan, sistem pengelolaan lahan harus
didasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan. Pada dasamya sawah merupakan alternatif yang
sangat memungkinkan untuk mempertahankan tanah dalam kondisi tergenang dan reduktif.
Namun demikian, bervariasinya tipologi lahan pada setiap kawasan dengan tipe luapan yang
berbeda berimplikasi pada pola pengelolaan yang berbeda. Widjaja-Adhi ef al. (1992)
mengetengahkan afternatif sistem pengelolaan rawa pasang surut berdasarkan tipologi lahan dan
tipe luapan

III. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:


A. Tanah aluvial adalah tanah yang memilki pH rendah kurang dari 4, bahan induk asal tanah dan
topografi, punya tingkat kesuburan yang bervariasi dari rendah sampai tinggi, tekstur dari sedang
hingga kasar, serta kandungan bahan organik. Alluvial yang bermasalah adalah sulfaquepts yang
mengandung horizon sulfuric ( cat clay ) yang sangat masam.
B. Lahan rawa lebak mempunyai ciri yang sangat khas, pada musim hujan terjadi genangan air yang
melimpah dalam variasi kurun waktu yang cukup lama, berdasar lama dan ketinggian maksimum
genangan air, lahan lebak dapat dikelompokkan dalam tigakategori besar yaitu :Lebak dangkal,
Lebak tengahan dan Lebak dalam.
C. Penyebab dari kerusakan adalah hasil bentukan keadaan jenuh dan anaerobiosis, air tanah sangat
dangkal yang menimbulkan keadaan air tergenang dan mengandung bahan sulfidik yang apabila
mengalami oksidasi. Hal ini apa bila ter reduksi dapa menyebakan degardasi tanah atau
kerusakan tanah
D. Untuk meningkatkan pH dan sataus hara perlu dilakukan dalam upaya pengelolan sulfat masam,
sehingga tanaman dapat berkembang. Bahan ameliorasi berupa kapur, pupuk kandang.
E. Permasalahan lahan rawa lebak yaitu kondisi lahan, SDM dan SDA, teknologi budidaya
F. Cara konservasi lahan rawa dibedakan menjadi 2 yaitu konservasi kawasan non reklamasi dan
konservasi kawasan reklamasi

DAFTAR PUSTAKA
Aribawa IB, A Supardi, M Al Jabri, dan IPG Widjaja Adhi 1997. Rehabilitasi lahan tidur pasang surut
jenis sulfat masam di Basarang, Kuala Kapuas, Kalteng.Hlm 155-161 dalam Prosiding
Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat Bidang Kimia
dan Biologi Tanah. Cisarua, Bogor, 4-6 Maret 1997.
Halim A 2001. Kendali Levei Air Otomatis. Laporan Tugas Akhir. Fakultas Teknologi Pertanian
IPB. Bogor.
Hardjoamidjojo S 1999. Kajian Tanah Gambut untuk Lahan Pertanian. Makalahsuplemen dalam
rangka penelitian RUT-VII: Pengembangan Sistem Tata Air Terkendali untuk Pertanian Lahan
Gambut.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1998. Pengembangan dan Pengelolaan Lahan Rawa. Laporan
Juli 1998 untuk Tim PLBT.

Sartohadi J 2002. Prosiding Simposium Nasional Pencegahan Bencana Alam: Daerah Rawan Bencana
Longsor dan Erosi di Daerah Istimewa Yogyakarta-Tinjauan Geomorfologi-Tanah.

Você também pode gostar