Você está na página 1de 4

BAGI sebuah korporasi, penawaran saham perdana (initial public offering/ IPO) sejatinya merupakan

sebuah bentuk corporate action yang lumrah dan wajar. Melalui IPO, korporasi bisa meningkatkan
ketersediaan modalnya untuk kepentingan ekspansi usaha dan peningkatan kapasitas produksi.
Selain itu,melalui IPO juga diharapkan terjadi perbaikan kinerja manajemen karena terciptanya
mekanisme kontrol yang lebih baik dari publik selaku pemilik dan pemegang saham (shareholders).
Namun, tujuan utama IPO seringkali tidak maksimal jika dilaksanakan pada badan usaha milik negara
(BUMN). Persoalannya, proses IPO pada BUMN kerapkali lebih mengedepankan bahasa politik
ketimbang bahasa korporasi.
Karena itu, proses IPO BUMN tak jarang hanya menciptakan gaung besar dalam wacana publik yang
sesungguhnya tidak memberikan nilai tambah bagi perusahaan yang melaksanakan IPO itu sendiri
sebagaimana terjadi pada PT Krakatau Steel (KS) saat ini. Setelah melalui berbagai proses IPO, KS
akhirnya resmi melantai di bursa dan tercatat sebagai emiten ke-413 dengan ticker KRAS pada 10
November 2010.
Sayang, proses IPO KS hingga kini masih meninggalkan polemik.Salah satu yang dipersoalkan adalah
penetapan harga saham perdana KS sebesar Rp850 yang dianggap terlalu murah dan ditengarai berbau
kepentingan politis.Terlebih,setelah harga saham KS melonjak tajam di awal perdagangannya dan
menciptakan gain besar bagi investor asing.
Pembelajaran Berharga
Dalam proses IPO, salah satu tahapan yang paling sulit adalah penetapan harga saham perdana
(offering price) yang sesuai harga pasarnya. Di banyak negara, penetapan harga saham perdana
seringkali di bawah harga pasarnya alias underpricing. Ini terbukti dari kenaikan harganya secara
tajam setelah melantai di bursa.
Hasil riset Jay Ritter, seorang Profesor Finance di Universitas Florida,menunjukkan dari 7.921 kasus
IPO di AS dalam kurun waktu 1975 hingga 2007 ditemukan rata-rata harga sahamnya naik 17,2
persen di hari pertama masuk bursa.
Di Indonesia,dari 321 kasus IPO sepanjang 1989-2007, rata-rata harga sahamnya naik 21,1 persen
pada hari pertama perdagangannya. Untuk saham KS,pada hari pertama perdagangan ditutup pada
level Rp1.270 per lembarnya atau melonjak tajam 49,4 persen. Ini artinya, kenaikan harga saham KS
jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata hasil riset di atas dan menjadi indikator bahwa harga saham
perdana KS memang terlalu murah.
Lantaran KS adalah BUMN, tentu ini menciptakan potential loss bagi KS itu sendiri dan keuangan
negara. Menyikapi hal ini, perlu ada evaluasi kebijakan dan pembelajaran agar dalam proses IPO
BUMN ke depan tidak ada lagi yang dirugikan. Satu pembelajaran berharga dari kasus IPO KS adalah
bargaining powerpemerintah dalam penetapan harga saham perdana KS tampak masih lemah dan
terkesan lebih mengutamakan kepentingan investor ketimbang kepentingan KS sebagai korporasi
yang membutuhkan dana.
Dalam proses bookbuilding IPO KS,pembentukan harga berada pada kisaran Rp850-1.150, namun
mengapa harga yang diambil adalah harga terendah meski penjualan KS saat ini sangat didukung
sejumlah faktor positif baik berupa kekuatan (strength) maupun peluang (opportunity) yaitu: Pertama,
KS dijual dalam performa terbaiknya.Sejak 2007 hingga 2010, kinerja finansial KS terus membaik
secara signifikan.
Hingga semester I-2010 saja KS sudah membukukan laba Rp997,75 miliar atau naik fantastis 190,70
persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih merugi Rp1,1 triliun.
Hingga akhir 2010 diperkirakan laba bersih KS mencapai Rp1,5-2 triliun.
Sementara pada 2014, korporasi menargetkan EBITDA akan tumbuh hingga 21,12 persen. Dari
pendekatan manajemen strategik, kondisi korporasi saat ini boleh dibilang berada pada fase growth
and expansion strategy.
Pada fase ini,nilai saham korporasi seharusnya dijual pada level lebih tinggi ketimbang fase
normalnya; Kedua, hasil rilis World Steel Association di Brussel, Belgia menyebutkan, pada 2010
permintaan baja dunia meningkat 13,1 persen dibandingkan 2009. Untuk 2011, permintaan baja di
berbagai negara utama konsumen seperti China, India, Jepang, AS, dan Uni Eropa diperkirakan akan
meningkat tinggi.
Harga baja dunia juga akan terus melambung dan pada gilirannya akan meningkatkan laba KS sebagai
salah satu produsen baja berorientasi ekspor. Selanjutnya,hal ini akan berimbas positif pada
peningkatan earning per share (EPS) yang akan dinikmati pemegang saham; Ketiga, dari sisi makro,
boleh dibilang kondisi fundamental Indonesia saat ini juga berada pada momentum terbaiknya.
Berbagai indikator ekonomi seperti laju PDB, inflasi, suku bunga, nilai tukar rupiah, neraca
pembayaran, hingga cadangan devisa relatif stabil dan cenderung terus menguat. Selain itu, peringkat
investasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir juga terus mengalami upgrading menuju
investment grade. Hal ini telah meningkatkan kepercayaan investor asing sebagaimana tercermin dari
derasnya net foreign buying di pasar saham dalam beberapa waktu terakhir.Ini semestinya bisa
meningkatkan bargaining power pemerintah dalam menjual saham KS, khususnya di mata investor
asing yang dijatah 35 persen;
Keempat,dalam proses IPO KS, ditunjuk tiga penjamin emisi yaitu Danareksa Sekuritas, Mandiri
Sekuritas, dan Bahana Sekuritas. Terbentuknya underwriting groups ini menandakan biaya emisi yang
ditanggung KS selaku emiten juga semakin tinggi dan sebaliknya risiko yang ditanggung penjamin
emisi semakin rendah. Dalam kondisi demikian, pemerintah semestinya menentukan harga saham
perdana KS sebesar Rp1.150 atau titik tertinggi selama proses bookbuilding.
Ini karena risiko atas sisa saham yang tidak laku semuanya menjadi tanggungan penjamin emisi
(dalam hal metode IPO yang digunakan Firm Commitment); Kelima, dari 3,15 miliar saham yang
ditawarkan ke publik,jumlah permintaan investor mencapai 30 miliar atau sekitar 9,5 kali lipatnya. Ini
maknanya,terjadi oversubscribe yang sangat tinggi dan semestinya bisa dijadikan power untuk
menekan investor.
Keenam,pembelajaran penting lainnya adalah jangan terlalu percaya kepada investor khususnya asing
yang berjanji akan memegang saham perdana dalam jangka panjang sebagaimana terjadi pada proses
IPO KS beberapa waktu lalu.
Pasalnya, karakter berinvestasi saham adalah investasi jangka pendek dan berorientasi margin,
berbeda dengan investasi langsung di infrastruktur yang bersifat jangka panjang.Ketika capital gain di
depan, investor dengan sigap akan segera melepas sahamnya dan ini terbukti terjadi pada perdagangan
saham KS beberapa waktu lalu. (*)
MUHAMMAD ROMLI
NERACA
Jakarta Keserakahan penjamin emisi (underwriter) BUMN yang memonopoli penawaran saham
perdana (initial public offering-IPO) emiten BUMN, ternyata harus menelan kerugian cukup besar.
Contoh kasus IPO PT Garuda Indonesia, maskapai penerbangan domestik, yang akhirnya tidak laku di
pasar telah membuat kerugian underwriter-nya. Untuk menghindari potensi kerugian lebih besar para
penjamin emisi (Mandiri Sekuritas, Bahana, Danareksa), Kementerian BUMN pun menginstruksikan
underwriter tersebut untuk segera melepas saham Garuda ke publik.
Menyikapi kondisi tersebut, pengamat bursa dari FEUI Budi Frensidy mengatakan, desakan
Kementerian BUMN agar tiga sekuritas melepas sisa saham Garuda dinilai sah-sah saja, namun
kondisi ini membuktikan pelaksanaan penjamin emisi tidak lagi independen. Melepas saham Garuda,
ya itukan dikarenakan tiga perusahaan tersebut terus rugi, daripada samakin parah kan lebih baik
dilepas saat ini,katanya kepada Neraca di Jakarta, Kamis (17/11).
Menurut dia, terlepas tepat atau tidak segera melepas sisa saham Garuda, hal yang terpenting adalah
pembenahan dalam penetapan IPO BUMN. Karena kasus yang terjadi pada Garuda, dinilai tidak
independen. Penjelasannya, saat itu pada dasarnya penjamin emisi menolak dikhawatirkan akan
terulang pada kasus saham KS. Penjamin emisi pada dasarnya keberatan, tapi karena perintah dan
tidak bisa menolak,paparnya.
Maka untuk menghindari kondisi yang sama, dia menilai sudah saatnya pemerintah memberikan akses
selebar-lebarnya bagi penjamin emisi swasta terlibat sepenuhnya dalam pelaksanaan IPO BUMN dan
tidak lagi harus dimonopoli BUMN sekuritas.
Budi mengatakan, kalangan swasta juga pengaruh besar dalam hal ini. Selain itu dengan melibatkan
swasta penetapan IPO dapat lebih independent, karena mereka juga punya daya saing yang bagus.
Pastinya, dari sekian banyak perusahaan swasta ada beberapa yang dipercaya BUMN, tandasnya.
Namun, soal keberhasilan IPO 25 perusahaan BUMN seperti yang ditargetkan tahun ini, menurut
Budi dapat berhasil asalkan kondisi pasar bursa Indonesia telah pulih. Kalau masih fluktuatif maka
pesimistis akan berhasil. Kalau masih fluktuatif seperti ini akan banyak yang mundur, ujarnya.
Jual Sisa Saham
Sebelumnya, jauh sebelum ada instruksi dari Kementerian BUMN, para penjamin emisi IPO Garuda
yang terdiri dari Mandiri Sekuritas, Bahana Sekuritas dan Danareksa Sekuritas. Tersiar kabar mereka
akan ramai-ramai bakal menjual saham Garuda juga terungkap dalam hasil riset Samuel Sekuritas.
Danareksa akan menjual saham GIAA miliknya kepada investor asing yang telah terbiasa berinvestasi
ke sektor penerbangan. Harga yang diincar Danareksa seperti saat IPO yaitu Rp750 per saham.
Sedangkan Bahana dan Mandiri Sekuritas masih belum menghitung harga yang akan dilepas ke pasar.
Kemudian langkah tersebut diamini langsung oleh Deputi Bidang Jasa Kementerian BUMN Parikesit
Suprapto yang mengatakan, guna menghindari potensi kerugian lebih dalam sebaiknya tiga penjamin
emisi IPO Garuda segera melepas sisa saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA).
Kementerian meminta penjualan saham Garuda yang tak laku itu dilakukan dengan cermat sehingga
akhir tahun 2011 nanti tidak ada kerugian di ketiga perusahaan sekuritas milik pemerintah tersebut.
"Kita minta ketiga perusahaan tersebut agar sebelum akhir tahun 2011 sudah bisa diselesaikan. Nanti
saham Garuda dilepas tapi skemannya seperti apa itu diserahkan kepada masing-masing perusahaan,"
kata Parikesit.
Saat ini. Kementerian BUMN terus mencoba berbicara agar tidak lagi ada masalah nantinya tercatat
sebagai kerugian. Parikesit mengatakan, Kementerian BUMN telah meminta bentuk aksi korporasinya
terkait pelepasan saham Garuda ini kepada tiga sekuritas tersebut."Corporate plan-nya seperti apa itu
terserah mereka yang jelas dengan sebaik-baiknya saja. Sehingga nanti pas akhir tahun tutup buku
masalah Garuda selesai dan tidak ada kerugian yang tercatat,"ujarnya.
Asal tahu saja, penjamin pelaksana emisi saham PT Garuda Indonesia harus menyerap saham Garuda
senilai Rp2,25 triliun. Saham yang diambil oleh penjamin emisi efek mencapai 3,008 miliar saham
atau sekitar 47,5% dari saham yang ditawarkan. PT Garuda Indonesia menawarkan 6,33 miliar saham
dengan harga Rp750 per saham.
Sedangkan publik hanya memesan 3,327 miliar saham. Saham Garuda yang diserap penjamin emisi
efek pun mempengaruhi modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) penjamin emisi. Hal ini dikarenakan
saham Garuda terus menurun. dampak buruk tidak terserapnya saham Garuda di pasar perdana
membuat underwriter mengalami kerugian paling telak dan kabarnya bisnis usaha tersebut nyaris
collapse karena harus menyerap sisa saham senilai Rp 2,5 triliun dari target Rp 4 trilun hanya terserap
Rp 1,5 triliun.
Berdasarkan sebuah sumber underwriter, kabar tersebut dibenarkan dan diakui perseroan mengalami
kerugian sangat besar. Namun dipastikan tidak memberikan dampak pada gulung tikar perseroan
akibat dana yang terkuras abis. Kita akui penjaminan emisi kemarin mengalami kerugian besar,
karena harga saham yang tidak laku,katanya. iwan/ahmad/bani

Você também pode gostar