Você está na página 1de 7

ANEMIA DEFISIENSI BESI

PENDAHULUAN

Anemia defisiensi besi merupakan masalah umum dan luas dalam


bidang gangguan gizi di dunia. Kekurangan zat besi bukan satu-satunya
penyebab anemia. Secara umum penyebab anemia yang terjadi di masyarakat
adalah kekurangan zat besi. Prevalensi anemia defisiensi besi masih tergolong
tinggi sekitar dua miliar atau 30% lebih dari populasi manusia di dunia.
Prevalensi ini terdiri dari anak-anak, wanita menyusui, wanita usia subur, dan
wanita hamil di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.1

TUJUAN

Tujuan penulisan refarat ini untuk menjelaskan definisi, etiologi,


epidemiologi, patogenesis, klasifikasi, pemeriksaan penunjang, diagnosis,
komplikasi, dan penatalaksanaan dari anemia defisiensi besi.

DEFINISI

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat


kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb)
berkurang.1

ETIOLOGI

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya asupan


besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:

1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:


a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau
NSAID, kanker lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing
tambang.
b. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.
c. Saluran kemih: hematuria.
d. Saluran nafas: hemoptisis.

1
2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan
(asupan yang kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang
rendah.
3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan, dan kehamilan.
4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau
dikonsumsi bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi),
polyphenol (coklat, teh, dan kopi), dan kalsium (susu dan produk susu). 2

EPIDEMIOLOGI

Prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-
kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan
tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan,
atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB
juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi
yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada
remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB, angka
kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-
45%.3

KLASIFIKASI

Anemia defisiensi besi dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1. Deplesi Besi (Iron depleted state) :


keadaan dimana cadangan besinya menurun, tetapi penyediaan besi
untuk eritropoesis belum terganggu.
2. Eritropoesis Defisiensi Besi (Iron Deficient Erytropoesis) :
keadaan dimana cadangan besinya kosong dan penyediaan besi untuk
eritropoesis sudah terganggu, tetapi belum tampak anemia secara
laboratorik.
3. Anemia defisiensi besi :
keadaan dimana cadangan besinya kosong dan sudah tampak gejala
anemia defisiensi besi. 4

PATOGENESIS

2
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan zat besi sehingga cadangan
zat besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut iron
depleted state. Apabila kekurangan zat besi berlanjut terus maka penyediaan zat
besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk
eritrosit, tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut iron
deficient erythropoiesis. Selanjutnya timbul anemia hipokromik mikrositer
sehingga disebut iron deficiency anemia.5

MANIFESTASI KLINIS

Gejala Khas Defisiensi Besi Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi
besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah:

a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh,


bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya peradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring. 6

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat


dijumpai adalah :

1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit :


Didapatkan anemia hipokrom mikrositer dengan penurunan kadar
hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC dan MCH
menurun.
2. Apus sumsum tulang :
Hiperplasia eritropoesis, dengan kelompok-kelompok normo-blast
basofil. Bentuk pronormoblast-normoblast kecil-kecil, sideroblast.

3. Kadar besi serum


Menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat
>350 mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.

3
4. Feritin serum
Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum,
konsentrasinya sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya
retikuloendotel.
5. Pemeriksaan lain :
Endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop,
pemeriksaan ginekologi.6

DIAGNOSIS

Penegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dilakukan anamnesis dan


pemeriksaan fisik yang diteliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat.
Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat
dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi sebagai berikut :

1. Adanya riwayat perdarahan kronis atau terbukti adanya sumber


perdarahan.

2. Laboratorium : Anemia hipokrom mikrosister, Fe serum rendah, TIBC


tinggi.

3. Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast-)

4. Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.7

DIAGNOSIS BANDING

1. Thalasemia (khususnya thallasemia minor)

2. Anemia karena infeksi menahun

3. Keracunan timah hitam.7

PENATALAKSANAAN

1. Mengatasi penyebab perdarahan kronik


Misalnya pada ankilostomiasis diberikan antelmintik yang sesuai.
2. Pemberian preparat Fe :

4
Pemberian preparat besi (ferosulfat/ferofumarat/feroglukonat) dosis
4-6 mg besi elemental/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di
antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan
setelah kadar hemoglobin normal.
3. Bedah
Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan
karena diverticulum Meckel.
4. Suportif
Makanan gizi seimbang terutama yang megandung kadar besi tinggi
yang bersumber dari hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam,
kacang-kacangan).8

TERAPI

Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi, terapi


terhadap anemia difesiensi besi dapat berupa :

Terapi kausal, tergantung penyebabnya,misalnya :


Pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan
menoragia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan
kambuh kembali.
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh :

Besi per oral : merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah, dan
aman. preparat yang tersedia, yaitu:

A. Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparat pilihan pertama (murah


dan efektif). Dosis: 3 x 200 mg.

B. Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous


succinate,harga lebih mahal, tetepi efektivitas dan efek samping
hampir sama.

C. Besi parenteral.8

Efek samping lebih berbahaya, serta harganya lebih mahal. Indikasi, yaitu :

1. Intoleransi oral berat


Kepatuhan berobat kurang

5
2. Kolitis ulserativa

3. Perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester


akhir).8

PROGNOSIS

Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya kekurangan besi saja dan
diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.8

DAFTAR PUSTAKA

1. Irwin JJ, Kirchner JT. Anemia In Children. Am Fam Physician. 2001;64:


1379-86.
2. Janus J, Moerschel SK. Evaluation of anemia in children. Am Fam
Physician. 2010;81(12):1462-71.
3. Glader. The anemias. Dalam: Kliegman RM, Stanton BM, Geme J, Schor-
N, Behrman RE, penyunting. Nelsons text book of pediatrics. Edisi ke- 19.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.

6
4. Lanzkowsky P. Classification and diagnosis of anemia in childhood.
Dalam: Lanzkowsky P, penyunting. Manual of pediatric hematology and
oncology. Edisi ke-5. Oxford: El-sevier Saunders; 2010. H.1-14.
5. Hoffbrand, A., Petit, J. & Moss, P. Kapita Selekta Hematologi. 11-18
(EGC: Jakarta, 2005).
6. Corwin, E. Buku Saku Patofisiologi. 410 (Jakarta, 2009).
7. Glader Anemias of Inadequate Production. Textbook of Pediatrics (2004).
8. Windiastuti, E. Anemia Defisiensi Besi Pada Bayi dan Anak. Anemia
Defisiensi Besi Pada Bayi dan Anak (2009).

Você também pode gostar