Você está na página 1de 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Rumoh Aceh (rumah tempat tinggal orang Aceh) kelihatan sangat sederhana. Karena
terbuat dari bahan-bahan yang juga tergolong sederhana. Bahan-bahan Rumoh Aceh terdiri dari
kayu, pohon kelapa, bambu dan atapnya terbuat dari daun rumbia (on meuria)atau daun kelapa
yang biasa diikat dengan rotan. Meskipun rumoh aceh kelihatan sederhana, namun semua satuan-
satuan yang terdapat didalamnya mempunyai arti khusus bagi Adat dan Kebudayaan Aceh.

Adat dan Kebudayaan suatu masyarakat sangat di pengaruhi olehkondisi geografis di


mana masyarakat itu berada. Bahkan juga di pengaruhi oleh system kepercayaan yang di
anutnya. Begitu juga halnya tentang Rumoh Aceh banyak di pengaruhi oleh faktor geografis.
Denah Rumoh Aceh biasa menghadap ke Timur dan ke Barat, sehingga letak nya persis
membujur dari Timur ke Barat. Hal ini disebabkan oleh faktor geografis dimana angin di daerah
Aceh. Biasanya bertiup dari Timur ke Barat atau sebaliknya. Bahkan angin yang paling kencang
di daerah Aceh disebut angen barat ( angin barat ). Jadi penempatan posisi rumah yang demikian.
Sangat mendukung bagi keamanan rumah dari hempasan angin kencang ( angin barat ). Selain
itu, penempatan rumah yang demikian sangat membantu untuk menentukan arah akibat shalat
yang tepat dalam rumah.
Rumoh Aceh biasanya didirikan diatas tiang-tiang setinggi 2 sampai dengan 2,5 meter
dari atas tanah. Hal ini juga merupakan tidak terlepas dari faktor geografis yang sangat
berhubungan dengan keamanan, diman sebahagian besar daerah Aceh terletak di bagian pesisir
ujung sebelah Timur pulau Sumatra yang merupakan wilayah yang sangat rawan banjir, kecuali
di daerah Aceh Tengah dan Tenggara. Di samping itu, dulunya daerah Aceh merupakan daerah
hutan yang banyak dihuni oleh binatang buas. Jadi Konstruksi bangunan yang demikian sangat
membantu untuk menjaga keselamatan penghuninya dari banjir dan binatang buas.
Disamping itu, ada hal yang ganjil dalam arsitektur Rumoh Aceh dimana rumahnya
besar, tetapi pintu dan jendelanya kecil-kecil. Hal ini banyak dipengaruhi oleh etika (akhlak)
pergaulan yang telah mengakar dalam masyarakat Aceh. Sifat orang Aceh dari luar kelihatannya
sangat tertutup sehingga banyak anggapan yang menyatakan orang aceh sangat kejam. Bahkan

1
sifat tertutupnya itu, rakyat Aceh sangat ditakuti oleh Belanda pada masa penjajahan, padahal
sebenarnya rakyat Aceh sangat terbuka dan peramah.
Untuk mendirikan Rumoh Aceh tidaklah semudah mendirikan bangunan-bangunan
lainnya, sebab dalam pendirian Rumoh Aceh terdapat ketentuan-ketentuan khususnya yang harus
dilaksanakan sesuai menurut adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat yang
dinamakan dengan Upacara Adat. Upacara Adat dalam mendirikan Rumoh Aceh ada tiga
tahap, pertama upacara Adat yang dilaksanakan pada saat pengambilan bahan dari hutan, kedua
upacara Adat ketika hendak mendirikan rumah, dan yang ketiga upacara setelah bangunan selesai
atau saat hendak menempati rumah baru. Masing-masing dari ketiga upacara adat tersebut
memiliki makna dan tujuan tersendiri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Rumoh Aceh
Suku bangsa Aceh yang mendiami sebagian besar daerah Aceh masih memiliki bangunan
tradisioial. Jenis-jenis bangunan tradisioial yang dimilikinya berdasarkan kegunaannya dapat
dikelompokkan atas bangunan tempat tinggal, bangunan tempat ibadat, dan bangunan tempat
menyimpan harta.
Rumah tempat tinggal bagi suku bangsa Aceh disebut rumoh (rumah). Rumoh Aceh
adalah rumah yang terdiri atas tiga ruang, yaitu ruang depan yang disebut seuramoe reunyeuen
atau seuramoe keue, ruang tengah yang disebut tungai, dan ruang belakang yang disebut
seuramoe likot. (Hadjad et al., 1984:21) Letak ketiga ruang itu tidak sama rata, sebab ruang
tengah lebih tinggi dari pada ruang depan dan ruang belakang. Rumoh Aceh, adalah merupakan
bangunan di atas tiang-tiang bundar yang terbuat dari batangbatang kayu yang kuat. Tiang-tiang
disebut tameh. Jumlah tiang ada yang 20 dan 24 buah yang besarnya lebih kurang 30 cm garis
tengahnya. Tinggi bangunan sampai batas lantai lebih kurang dua setengah meter, sedangkan
tinggi keseluruhan bangunan itu lebih kurang lima meter. (Hadjad et al., 1984:25; Hurgronje
1985:39)
Bagian bangunan yang berada di bawah lantai merupakan kolong terbuka karena tidak
diberi dinding. Bagian ruangan rumah yang berada di atas tiang-tiang terbagi atas tiga ruangan,
yaitu (1) ruangan depan disebut seuramoe reunyeuen (serambi bertangga) atau seoramoe keue

2
(serambi depan), (2) ruang tengah yang disebut tungai, dan (3) ruang belakang (serambi
belakang) yang disebut seuramoe likot. Ruang tengah letaknya lebih tinggi setengah meter dari
pada ruang depan dan ruang belakang. Keseluruhan ruangan berbentuk ruangan empat persegi
panjang. (Hadjad et al., 1984:27-28)
Pada bagian tengah dinding depan terdapat pintu masuk dan pada dinding samping kanan
dan kiri terdapat jendela, sedangkan untuk naik ke atas rumah didirikan sebuah
tangga dari kayu. Atap rumah merupakan atap berabung satu yang memanjang dari samping kiri
ke samping kanan dengan dua cucuran atap. Kedua cucuran atap berada pada bagian depan dan
belakang rumah, sedangkan perabungannya berada di bagian atas ruang tengah. Di bawah rumah
bagian depan terdapat balai tempat duduk-duduk, sedangkan pada salah satu sudut rumah
terdapat lumbung padi, dan tempat menumbuk padi.
Rumoh Aceh adalah rumah yang didirikan di atas tiang-tiang sehingga bentuk rumoh
Aceh dapat dilihat dari bagian bawah, bagian atas, dan bagian atap atau bagian kap. Bagian
bawah berbentuk kolong rumah yang berada di bawah lantai. Kolong rumah itu berada dalam
keadaan terbuka karena tidak diberi dinding. Tinggi lantai dari rumah lebih kurang 2,3 meter
bagi lantai ruang depan dan ruang belakang, dan 2,8 meter bagi lantai ruang tengah. Tinggi
kolom rumah yang berada di bawah ruang depan dan ruang belakang adalah 2,3 meter,
sedangkan tinggi kolong yang berada di bawah ruang tengah adalah 2,8 meter. (Hadjad et al.,
1984:27)
Pada kolong didapati deretan tiang-tiang rumah. Deretan tiang terdiri atas empat deretan,
yaitu deretan depan, deretan tengah depan, deretan tengah belakang dan deretan belakang. Pada
masing-masing deretan itu terdapat enam buah tiang. Tiang-tiang itu berderet menurut arah
timur-barat.
Jarak antara tiang dengan tiang dalam satu deretan lebih kurang dua setengah meter.
Demikian juga jarak antara satu deretan tiang dengan deretan tiang yang lainnya.

2.2. Studi Kasus - Rumoh Aceh Teuku Sabi Silang


2.2.1 Sejarah Bangunan Rumah Teuku Sabi Silang

Teuku Sabi Silang adalah salah seorang Ulee Balang (Pemimpin) di daerah Blang
Krueng. Beliau memerintah mulai tahun 1311 Hijriah pada masa Kesultanan terakhir di Kerajaan

3
Aceh (Sultan Mohd. Daudsyah). Pada saat itu merupakan masa puncak-puncaknya peperangan
dengan Belanda.

Nenek moyang dari Teuku Sabi Silang ini berasal dari Persia, yaitu Sjech Nurdin yang datang ke
Aceh pada tahun 920 Hijriah bersama dengan bala tentaranya.

Rumah Teuku Sabi Silang terletak di desa Blang Krueng, Kemukiman Cadek Silang, kecamatan
Baitussalam Aceh Besar, tidak jauh dari kampus IAIN Ar Raniry dan Universitas Syiah Kuala
Darussalam Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam.

Gambar 2.1. Bagian depan pintu masuk bangunan rumah Teuku Sabi Silang.

Gambar 2.2. Bagian dapur yang hilang terbawa gelombang tsunami.

Rumah Teuku Sabi Silang bentuknya seperti rumah tradisional Aceh yang memiliki tiang
dan kolong rumah yang tinggi yang ruangannya terdiri dari serambi depan, ruang tengah dan
serambi belakang dengan memakai atap pelana yang memanjang antara Timur dan Barat Rumah

4
ini memiliki pintu masuk pada bagian depan yang mengarah ke Selatan. Sewaktu dibangun,
dapur untuk rumah ini yang berbentuk panggung terletak dibagian belakang dari rumah.

Kemudian karena ada dua kepala keluarga yang tinggal dirumah ini, maka dibangun satu
dapur lagi pada sisi samping sebelah timur. Setelah kepala keluarga yang satu tidak tinggal lagi
dirumah tersebut maka dapur yang terletak pada bagian belakang rumah itu dibongkar, tinggallah
satu dapur saja di sisi timur samping rumah. Pada kolong rumah berfungsi untuk kegiatan sehari-
hari yang tidak resmi. Ada bale (bangku) untuk duduk-duduk dengan tetangga, keluarga dan juga
kegiatan menumbuk padi, tepung dan lain sebagainya. Pada bagian depan pintu masuk terdapat
tangga ditutupi dengan teras berpanggung, di samping teras tersebut terdapat sebuah bak besar
untuk menampung air. Setiap orang yang akan naik kerumah mencuci terlebih dahulu kakinya.
Rumah bagi orang Aceh adalah tempat yang suci dan bersih. Ketika berada dalam rumah kita
akan melihat dari dekat banyaknya ornamen dan ukiran yang menghiasi rumah ini. Dari
penyelesaian arsitekturnya menunjukkan bahwa pemilik rumah ini adalah orang yang berada dan
berpengaruh serta memiliki kekuasaan. Masih tersisa juga perabot-perabot tua dan hiasan
dinding yang berasal dari negeri China, Arab, Belanda yang merupakan hadiah dari tamu bagi
pemilik rumah ini.

Sejak didirikan oleh Teuku Sabi Silang rumah ini tetap berdiri dan dihuni oleh
keturunannya. Kondisi Bangunannya telah dimakan usia dan rayap serta kurang terawat, rumah
ini terbuat dari kayu dan tidak dicat sejak awal didirikan hingga kini.

Keluarga besar Teuku Sabi Silang ini sebagian masih tinggal dilahan sekeliling rumah ini.
Mereka membuat rumah panggung dan diatas tanah. Di sekitar kampung Blang Krueng tidak ada
rumah seperti rumah Teuku Sabi Silang ini.

Pada tanggal 26 Desember 2004 Aceh di landa musibah gempa dan gelombang tsunami.
Desa Blang Krueng yang letaknnya sekitar 4 km dari laut Samudera India juga tak luput dari
hantaman tsunami. Ketinggian air di bawah kolong rumah Teuku Sabi Silang ini lebih kurang 2
m. Banyak bangunan di sekitarnya yang hancur. Rumah Teuku Sabi Silang ini menjadi tempat
alternatif bagi warga di kampung tersebut dan dari kampung tetangganya desa Lam Ateuk
sebagai tempat menyelamatkan diri. Sekitar 300 jiwa yang naik ke rumah ini selamat dari
bencana, sebagian besar dari mereka adalah ibu-ibu dan anak-anak. Sementara pemilik rumah

5
(Cut Meurah Intan) dan anaknya Cut Idawati yang turun dari rumah ketika gempa kini telah tiada
dan tidak diketemukan mayatnya.

Kondisi rumah Teuku Sabi Silang ini kini telah banyak bagian yang rusak dan hilang, dan
yang tinggal terakhir di rumah ini adalah Cut Meurah Intan dan anaknya Cut Idawati. Cut
Meurah intan adalah istri dari T.M. Daud. T.M. Daud adalah salah seorang anak dari

Teuku Sabi Silang. Cucu dari Cut Meurah Intan yang bernama T.Muslian sebelum
tsunami tinggal di rumah ini bersama neneknya. Dia selamat dari bencana.

Setelah tsunami rumah ini tidak ditempati lagi. Dapur dari rumah yang letaknya terpisah
dari rumah utama (rumah Aceh) dan berbentuk panggung yang berada pada sisi sebelah Timur
telah tiada hilang dibawa tsunami begitu juga dengan orang-orang yang berada di dalamnya
ketika tsunami datang, tidak ada yang selamat.

Rumah Teuku Sabi Silang sebagaimana rumah Aceh lainnya tebuat dari kayu. Dengan
usianya yang sudah tua (sekitar 200 tahun), ada bagian dari rumah ini yang di makan rayap dan
lapuk. Salah satu tiangnya dibawa tsunami dan ada yang patah. Tiang lainnya ada yang bergeser.
Dinding dan lantainya ada juga yang sudah lubang. (lihat tabel kerusakan Bangunan). Teras yang
terletak dibagian selatan dan melindungi tangga untuk pintu masuk kerumah juga rusak.

Rumah Teuku Sabi Silang yang beratapkan seng ini, kini kondisinya semakin parah.
Lantai pada bagian serambi belakang telah lepas, karena tiang penyangga yang patah ketika
gempa dan tsunami tidak ada yang memperbaiki, sedangkan tiang disebelahnya telah hilang
dibawa tsunami.

Kini rumah Teuku Sabi Silang merupakan salah satu warisan budaya yang masih bisa
dilihat dan dijadikan acuan untuk mempelajari bagaimana arsitektur rumah aceh yang pernah
dibangun oleh bangsanya sendiri. Bagaimana nasib rumah ini kedepan sangat tergantung sikap
yang diambil saat ini.

2.2.2. Tipologi Bangunan Rumah Teuku Sabi Silang

Bagian atas merupakan bagian ruangan rumah. Keseluruhan ruangan rumah Teuku Sabi
Silang berbentuk ruangan empat persegi panjang yang dibagi atas tiga ruangan yang lebih kecil,
yaitu (1) ruang depan (serambi depan), yang disebut seuramoe keue atau seuramoe reunyeuen

6
(serambi bagian tangga), (2) ruang tengah yang disebut tungai dan (3) ruang belakang yang
disebut seuramoe likot. Letak ruang tungai lebih tinggi setengah meter daripada ruang depan dan
ruang belakang. Serambi depan dan serambi belakang sama tingginya. Oleh karena itu, lantai
ketiga ruangan tidak bersatu. Jadi masing-masing ruangan mempunyai lantai yang terpisah-pisah.

Pada sekeliling ruangan itu terdapat dinding rumah. Pintu masuk utama ke rumah
terdapat pada bagian tengah dinding depan. Letak pintu dapur terdapat pada ujung sebelah kiri
ruangan bagian belakang. Tepatnya pada dinding sebelah kiri.

Gambar 2.3. Letak serambi depan, tengah dan belakang, antara serambi depan

Atap rumah adalah atap yang berabung satu. Rabung itu memanjang dari samping kiri ke
samping kanan, sedangkan cucuran atapnya berada dibagian depan dan belakang rumah. Rabung
rumah yang disebut tampong berada dibagian atas ruangan tengah. Atap rumah adalah dari bahan
seng.

Pada dinding sebelah depan yang menghadap ke halaman rumah terdapat pintu masuk
yang disebut pinto rumoh, yang berukuran lebih kurang lebar 0,8 meter, dan tingginya 1 meter.

Gambar 2.4. Sisi ujung dinding sebelah timur dihubungkan dengan pintu yang ke dapur.

7
Pada dinding sebelah samping kanan dan kiri terdapat jendela yang berukuran lebih
kurang lebar 0,6 meter dan tingginya 1 meter yang disebut tingkap. Kadang-kadang jendela
terdapat juga pada dinding sisi depan.

Jendela rumah yang disebut tingkap terdapat pada dinding sebelah kiri, kanan, depan dan
belakang setiap ruangan, kecuali pada sisi dinding pada pintu yang ke dapur.

Pada dinding yang ujung sebelah barat dari ruangan belakang itu terdapat sebuah jendela
yang besarnya sama dengan jendela yang terdapat pada serambi depan, sedangkan pada ujung
sebelah timur tidak terdapat jendela karena di tempat itu ada dapur.

Di atas dinding depan bagian luar terdapat rak tempat meletakkan barang-barang kecil
yang disebut sandeng. Untuk tempat duduk pada umumnya menggunakan tikar yang dihampar
sepanjang serambi depan tersebut. Jadi, serambi depan ini sifatnya terbuka.

Kalau serambi depan sifatnya terbuka, maka ruangan tengah sifatnya tertutup, karena di
ruangan tengah ini terdapat tiga buah bilik (kamar) tempat tidur. Ketiga kamar tersebut masing-
masing terletak di ujung sebelah kiri satu kamar dan diujung sebelah kanan dua ruangan tengah
tersebut. Letak kedua kamar itu didasarkan pada kebiasaan letak rumah, yaitu menghadap ke
Utara atau ke Selatan, maka ketiga kamar itu masingmasing terletak di sebelah Timur dan di
sebelah Barat, sedangkan di tengah-tengah ruangan tersebut gang yang menghubungkan serambi
depan dengan serambi belakang yang disebut rambat. Ketiga kamar tersebut masing-masing
diberi nama rumoh inong dan anjong. Rumoh inong adalah kamar yang berada di sebelah barat,
sedangkan anjong adalah dua kamar yang berada di sebelah Timur.

Pada setiap kamar masing-masing terdapat sebuah jendela, hanya pada kamar bagian
tengah tidak terdapat jendela. Jendela untuk anjong terdapat pada dinding kamar sebelah Timur,
sedangkan rumoh inong terdapat pada dinding kamar sebelah Barat. Pintu rumoh inong
menghadap ke rambat, sedangkan pintu anjong satu menghadap ke rambat dan satunya
menghadap ke serambi belakang. Di dalam kamar terdapat para yang berfungsi sebagai loteng
dan juga berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan barangbarang yang jarang digunakan atau
senjata-senjata tajam seperti tombak, pedang, kelewang, dan lain-lain.

Pada serambi belakang bagian barat di sebelah rumoh inong terdapat satu buah kamar
tidur, sedangkan bagian lainnya polos seperti serambi depan. Pada ruangan ini terdapat pintu

8
yang menuju ke dapur, dan kondisi saat ini dapur sudah tidak ada lagi dibawa tsunami. Rumoh
dapu itu didirikan di samping rumah bagian belakang dan

berdempetan dengan berhubungan dengan ruang serambi belakang. Letak ruangan dapur
tersebut lebih rendah dari serambi belakang, dan berada di atas tanah. Antara ruangan belakang
dengan ruangan dapur dihubungkan oleh sebuah tungai.

Ruangan lain yang juga kita dapati di bagian depan luar rumah adalah ruangan balai yang
disebut bale. Bale ini merupakan ruangan terbuka sebagai tempat duduk-duduk bersantai. Tinggi
ruangan itu kira-kira satu meter dari tanah.

2.2.3. Fungsi Ruang-Ruang Dalam Rumah Teuku Sabi Silang

Ruangan depan adalah ruangan yang serba guna sesuai dengan keadaannya yang terbuka
karena tidak berbilik-bilik. Fungsi ruangan depan antara lain sebagai tempat menerima tamu,
tempat duduk untuk makan ketika ada acara-acara kenduri dan perkawinan, tempat anak-anak
belajar dan mengaji, tempat sembahyang dan tempat tidurtiduran. Selain itu, ruangan depan ini
dipergunakan sebagai tempat tidur bagi anak-anak, terutama anak laki-laki.

Gambar 2.5. Ruang depan (serambi depan), yang disebut seuramoe keueseuramoe

Bagi rumah yang menggunakan tradisi menggunakan kursi tempat duduk, maka kursi
tersebut ditempatkan di ruangan ini. Ruangan ini dipergunakan juga sebagai tempat menyimpan
padi jika padi tersebut tidak muat lagi di dalam lumbung.

Ruangan tengah sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu adalah
ruangan yang terdiri atas tiga buah bilik (kamar), masing-masing terdapat di sebelah Timur dan

9
di sebelah Barat, dan sebuah gang. Oleh karena itu, fungsi utama ruangan tengah ini adalah
sebagai ruangan tempat tidur, sedangkan gang yang terdapat di tengah-tengah berfungsi sebagai
tempat lalau lintas antara ruangan (serambi) depan dengan ruangan (serambi) belakang.

Kamar sebelah Barat yang disebut rumoh inong biasanya ditempati oleh kepala keluarga,
sedangkan kamar sebelah Timur yang disebut rumoh anjong ditempati oleh anak-anak
perempuan. Jika ada anak perempuan yang sudah dikawinkan, rumah inong ditempati oleh anak
perempuan tersebut, sedangkan kepala keluarga pindah ke rumoh anjong. Anak-anak yang
semula menempati rumoh anjong pindah ke ruangan (serambi) belakang di ujung sebelah Barat.
Selanjutnya bila ada dua anak perempuan yang sudah dikawinkan, sedangkan kepala keluarga
tersebut belum mampu mendirikan rumah yang lain, maka kamar sebelah Barat diserahkan untuk
anak perempuan yang tertua dan kamar sebelah Timur diserahkan untuk anak perempuan yang
muda. Dalam keadaan seperti ini kepala keluarga terpaksa menyingkir ke serambi belakang
bagian Barat.

Sebagaian ruangan belakang dipergunakan sebagai ruangan dapur, dan ruangan tempat
makan. Dapur biasanya terletak sebelah timur. Jika ruangan belakang ini menggunakan anjong
atau ulee kuede, maka dapur diletakkan di anjong.

Bagian Barat dari ruangan belakang ini dipergunakan sebagai tempat duduk dan tempat
sembahyang. Kadang-kadang dipergunakan juga untuk tempat tidur bagi keluarga yang banyak
anggota keluarga.

2.2.4. Ragam Hias Rumah Teuku Sabi Silang

Pada bangunan rumah Teuku Sabi Silang banyak dijumpai ukir-ukiran, karena suku
bangsa Aceh pada hakekatnya termasuk suku bangsa yang berjiwa seni. Ukir-ukiran yang
terdapat pada bangunan tradisional seperti tersebut di atas mempunyai berbagai motif atau ragam
hias. Motif-motif tersebut adalah motif yang berhubungan dengan lingkungan alam seperti, flora,
fauna, dan awan. Fungsi utama dari berbagai jenis motif dan ragam hias itu adalah sebagai
hiasan semata-mata, sehingga dari ukiran tersebut tidak mengandung arti dan maksud-maksud
tertentu, kecuali motif bintang dan bulan, yang menunjukkan simbol ke-Islaman, motif awan
berarak (awan meucanek) yang menunjukkan lambang kesuburan, dan motif tali berpintal (taloe
meuputa) yang menunjukkan ikatan persaudaraan yang kuat bagi masyarakat suku bangsa Aceh.

10
Gambar 2.6. Ragam hias pada bangunan Rumah Teuku Sabi Silang.reunyeuen atau (serambi bagian tangga).dapur.

Ragam hias yang bermotif flora (tumbuh-tumbuhan) adalah ragam hias yang bermotif
bunga-bunga seperti bungong meulu (bunga melur), bungong jeumpa (sejenis bunga cempaka),
bungong mata uroe, yang kadang-kadang dilengkapi juga dengan daundaunnya. Hiasan-hiasan
bunga itu bukanlah merupakan yang berdiri sendiri, tetapi setiap ukiran bunga tersebut
dipadukan dalam satu ikatan ukiran yang berbentuk taloe meuputa (pintalan tali). Taloe meuputa
itulah yang dijadikan sebagai batang dan tangkai untuk setiap ukiran yang bermotif bunga
tersebut. Setiap ukiran yang bermotif bunga-bungan beserta dengan daun-daunnya itu tidak
diberi corak warna tersendiri, karena pada umumnya ragam hias bangunan tradisional suku
bangsa Aceh tidak diberi warna. Jika ada yang berwarna, itu merupakan akibat pengaruh masa
kini. Warna hiasan itu pada umumnya disesuaikan dengan warna dasar dari pada keseluruhan
warna zat bangunan tersebut. Ragam hias yang bermotif bunga-bunga yang ditempatkan pada
bangunan rumah Teuku Sabi Silang terutama terdapat pada binteh (dinding), tulak angen
(penahan angin), kindang (landasan dinding), indreng (balok pada bagian kap), dan tingkap
(jendela. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa hiasan-hiasan (ukir-ukiran) yang terdapat pada
umumnya tidak mempunyai arti dan maksud-maksud tertentu. Demikian pula halnya dengan
hiasan yang bermotif bunga-bunga, semata-mata hanya berfungsi sebagai keindahan saja.

Jadi semula tidak diberi warna dan dalam perkembangan akhir-akhir ini warnanya
disesuaikan dengan warna dasar keseluruhan warna cat bangunan itu. Seperti telah dikemukakan
di atas, maka hiasan yang bermotif burung, ayam dan itik pada umunya untuk dinding-dinding
berlobang seperti tulak angen yang ditempatkan pada kedua ujung kap bagian atas yang
berbentuk segitiga. Selain itu ditempatkan pada dinding bagian atas yang berfungsi sebagai
lobang angin.

11
Ragam hias alam, adalah ragam hias yang disebut canek awan (awan berarak). Disebut
canek awan karena berbentuk awan berarak. Penempatan ukiran yang bermotif canek awan ini
biasanya ditempatkan pada reunyeun (tangga), pada kindang (landasan dinding) dan kadang-
kadang pada peulangan bagian dalam, yaitu balok besar yang dipasang pada ujung balok toi
ruang tengah.

2.2.5. Sistem dan Struktur Bangunan

Pada kolong bangunan terdapat tiang-tiang rumah (tameh rumoh). Bentuk tiang
itu bundar dan dibuat dari batang kayu yang kuat. Jumlah tiang tergantung kepada besar kecilnya
rumah. Rumah yang besar yang disebut rumoh limong reweueng (rumah lima ruang) mempunyai
24 buah tiang. Tiang-tiang itu tidak ditanam dalam tanah, tetapi didirikan di atas pondasi
(landasan tiang) dari batu sungai yang disebut gaki tameh. Gaki tameh ini pun tidak ditanam
dalam tanah, tetapi diletakkan di atas pondasi persegi yang dicor dari campuran semen yang
tingginya 20 cm.

Gambar 2.7. Pondasi persegi yang dicor dari campuran semen yang tingginya 20 cm.

Tiang-tiang itu didirikan dalam empat deretan, yaitu pada deretan depan, tengah depan,
tenagh belakang dan pada deretan belakang, sehingga pada masing-masing deretan terdapat
enam buah tiang. Tinggi tiang pada deretan depan dan belakang kira-kira empat meter dan pada
deretan tengah depan dan tengah belakang kira-kira lima setengah meter. Jarak antara tiang
dengan tiang yang lain kira-kira dua setengah meter. Pada bagian tengah masing-masing tiang
dibuat dua buah lobang dan pada bagian ujungnya dibuat sebuah puting (puteng tameh).

12
Gambar 2.8. Kayu balok yang menghubungkan tiang dengan tiang.

Gambar 2.9. Dinding dalam itu bertumpu pada peulangan

Tiang-tiang itu dihubungakan antara satu dengan yang lain oleh kayu-kayu balok yang
dimasukkan ke dalam lobang-lobang tiang-tiang tersebut. Kayu balok yang menghubungkan
tiang dengan tiang-tiang dalam satu deretan disebut rok, sedangkan kayu balok yang
menghubungkan satu deretan tiang dengan deretan tiang deretan tiang yang lain disebut toi.
Dengan dipasangnya rok dan toi itu, maka tiang-tiang yang didirikan di atas tanah yang
beralaskan batu dapat berdiri dengan kokoh, karena sudah saling berhubungan. Untuk lebih
mengokohkan bangunan itu, maka selain dipasang rok dan toi dipasang pula dua buah balok
besar yang disebut peulangan. Peulangan itu masing-masing dipasang pada ujung balok toi
ruangan tengah (tungai). Selain itu, untuk menguatkan pemasangan rok atau toi pada lobang-
lobang tiang, maka pada setiap lobang tiang dipasang pula pasak yang disebut bajoe. Dengan
berdirinya tiang-tiang itu, maka terbentuklah bangunan rumah bagian bawah.

Bagian atas rumah Teuku Sabi Silang adalah bagian ruangan rumah yang terdiri atas
ruangan serambi depan (seuramoe reunyeuen atau seuramoe keue), ruangan tengah (tungai) dan

13
ruangan serambi belakang (seuramoe likot). Ruangan tengah lebih tinggi sedikit kira-kira
setengah meter daripada ruangan depan dan belakang. Pada masingmasing ruangan diberi lantai
dan dinding. Pemasangan lantai yang disebut aleue dilakukan dengan cara terlebih dahulu
dipasang beberapa balok (kira-kira sembilan buah) di atas balok-balok toi pada setiap ruangan
yang disebut lhue. Demikian pula untuk lhue dahulu kebanyakan terbuat dari batang bamboo,
sedangkan sekarang kebanyakan terbuat dari balok kayu. Bagi rumah yang memakai lantai
papan, maka cara pemasangannya dengan cara memaku lantai papan itu pada balok lhue.

Pemasangan dinding yang disebut binteh dilakukan berdasarkan jenis dinding yang
dipakai. Bagi rumah yang memakai dinding papan pemasangannya dilakukan dengan cara
memaku dinding itu pada tiang-tiang rumah. Untuk dinding di samping kiri dan samping kanan
pemakuannya dilakukan juga pada rang, yaui tiang kecil yang dipasang di antara tiang-tiang
rumah. Rang itu bertumpu pada balok toi yang terdapat pada tiang-tiang samping. Pemasangan
dinding rumah Teuku Sabi Silang selain dipaku atau diikat pada tiang-tiang juga diletakkan di
atas balok-balok yang dipasang pada ujung toi atau ujung lhue yang disebut kindang. Kindang
itulah tempat tumpuan dinding rumah, sehingga pemasangan dinding-dinding itu lebih kuat.
Sebenarnya di bagian atas kindang dipasang lagi papan kecil yang disebut boh pisang. Dinding
rumah tidak hanya memakai dinding luar saja, tetapi juga memakai dinding dalam, yaitu dinding
pada ruangan tengah (tungai). Dinding itu merupakan dinding-dinding besar yang terdapat pada
ruangan tengah. Dinding dalam itu bertumpu pada peulangan.

Konstruksi kap rumah pada bagian depan dan belakang bertumpu pada balok yang
dipasang pada ujung tiang deretan depan dan belakang yang disebut bara. Konstruksi kap bagian
tengah yang berada di atas ruangan tengah bertumpu pada balok yang dipasang pada puting tiang
deretan tengah depan dan tengah belakang yang disebut bara panyang yang letaknya sejajar
dengan bara. Selain bertumpu pada bara panyang konstruksi kap juga bertumpu pada bara
linteueng (bara yang melintang), yaitu balok yang menghubungkan puting tiang deretan tengah
belakang. Di tengah-tengah setiap bara linteueng didirikan balok tinggi lebih kurang satu meter
yang disebut diri (deuri). Ujung atas diri ini dihubungkan antara satu dengan yang lain oleh
sebuah balok yang disebut tuleueng rueng.

Tuleueng rueng inilah yang merupakan bagian puncak dari konstruksi kap. Pada kedua
ujung bara linteueng itu dipasang pula sebuah balok dalam posisi miring yang disebut indreng

14
yang letaknya sejajar dengan bara panyang. Pada masing-masing indreng dipasang pula sebuah
balok yang dalam posisi agak miring yang disebut ceureumen. Letak ceureumen itu sejajar
dengan bara linteueng. Ceureumen itu terdapat pada kedua ujung indreng. Pada bagaian tengah
masing-masing ceureumen didirikan sebuah diri lagi, sehingga diri inilah yang menjadi
penunjang tuleueng rueng pada kedua ujung hubungan rumah.

Setelah terdapatnya bara, bara linteueng, bara panyang, indreng, ceureumen, diri dan
tuleueng rueng, maka sebagian besar konstruksi sudah terpasang, yang tinggal hanyalah kasau,
tumpuan kasau, kasau pendek, kayu-kayu kecil tempat pengikat atap. Kasau rumah yang disebut
gaseue dibuat dari pohon-pohon kayu yang agak kecil sebesar batang bambu. Kasau itu dipasang
di atas bara dan indreng, sedangkan pada bagian pangkal kasau bertumpu pada sebuah balok
yang disebut neuduek gaseue dan bagian ujungnya bersandar pada teleueng rueng. Pada bagian
pangkal kasau akan merupakan bagian cucuran atap dan pada bagian ujung kasau akan
merupakan bubungan atap (puncak atap). Pada neuduek gaseue dipasang beberapa potong kayu
penahan yang disebut bui teungeuet. Pada bagian ujung bui teungeuet diikat dengan tali kawat
yang disebut taloe bawai. Lalu taloe bawai ini disangkutkan pada setiap puting tiang deretan
depan dan belakang. Sebenarnya taloe bawai inilah yang merupakan penahan utama dari
keseluruhan kap rumah yang berbentuk kerucut.

Untuk pemasangan atap yang terbuat dari daun rumbia (daun sagu) diperlukan bilahan
batang pinang sebagai tempat pengikat atap rumah yang disebut beuleubah. Beuleubah itu
dipasang di antara kasau-kasau. Pada bagian pangkal, beuleubah itu bertumpu pada sepotong
kayu panjang yang disebut neuduek beuleubah. Pada beuleubah itulah atap rumah diikat dengan
tali rotan. Pada ujung kiri dan kanan atap dipasang selembar papan yang agak kecil, sejenis les
palang yang disebut seupi. Untuk pemasangan kap dan atap tidak dipergunakan paku. Pengganti
paku dipergunakan tali ijuk atau tali rotan untuk pengikatnya. Penggunakan paku untuk rumah
hanya terbatas untuk pemasangan dinding dan lantai, itu pun kalau rumah itu berdinding papan
dan berlantai papan.

15
BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT

3.1. Tujuan

- Untuk mengetahui bahan bahan tradisional dalam pembangunan rumah

- Untuk Mengetahui nilai nilai filosofi dalam Arsitektur Rumoh Aceh

- Untuk mengetahui Konstruksi Rumoh Aceh

3.2. Manfaat

- Dapat mengetahui ciri khas arsitektur Rumoh Aceh

- Dapat mengetahui Ilmu Konstruksi Rumoh Aceh

- Dapat mengetahui Bahan Bahan Arsitektur Rumoh Aceh

- Dapat mengetahui Nilai Nilai filosofis Rumoh Aceh

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Filosofi Rumoh Aceh

Masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi
rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke
timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya
masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Kabah yang berada di Mekkah.

Keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin
banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang
tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan
tidak ada sama sekali.

16
Gambar 4.1. Filosofi Rumoh Aceh

4.2 Organisasi Ruang Rumoh Aceh

Bagian rumah adat aceh

Bagian bawah

Bagian tengah

Ruang depan

Ruang tengah

Ruang belakang

Bagian atas

17
4.2.1 Bagian Bawah

Bagian bawah di gunakan untuk menyimpan hasil panen pemiliknya, menumbuk


padi, dan juga sebagai tempat menjual kain yan dibuat oleh perempuan aceh.

Gambar 4.2. Bagian bawah Rumoh Aceh.

4.2.2 Bagian tengah

Bagian tengah terbagi tiga ruangan yaitu ruang depan ruang tengah dan ruang belakang,
bada bagian ini merupakan pusat kehidupan keluarga.

Gambar 4.3. Bagian tengah dalam Rumoh Aceh. Gambar 4.4. denah Rumoh Aceh.

Gambar 4.5.. Bagian depan Rumoh Aceh

18
Ruangan depan memiliki pintu dengan ketinggian 120-150 cm sehingga ketika ada orang
masuk harus merunduk dengan maksud menghormati pemilik rumah. Pada ruangan depan
digunakan sebagai tempat menerima tamu.

Gambar 4.6. Bagian tengah Rumoh Aceh

Pada ruang tengah terdapat kamar tidur yang digunakan untuk kamar orang tua dan anak
perempuan pintu kamar menghadap ke ruang belakang dan ruang tengah lebih tinggi daripada
ruang belakang dan depan hal ini dimaksudkan sebagai ruangan yang privat. Pada ruangan ini
juga terdapat gang mang memisahkan kamar di kiri dan di kanan, gang ini juga menghubungkan
ruang depan dan ruang belakang.

Gambar 4.7. Bagian belakang Rumoh Aceh

Pada ruang belakang merupakan ruang dapur dan tempat makan. Ruangan ini juga
merupakan tempat berkumpul dan berkerja perempuan seperti menenun.

4.2.3 Bagian Atas

19
Bagian atas merupakan loteng yang difungsikan untuk menyimpan barang barang
keluarga.

Gambar 4.9. Bagian atas Rumoh Aceh

4.3 Struktur Rumoh Aceh

4.3.1 Bahan Konstruksi

Untuk membuat Rumah Aceh, bahan-bahan yang diperlukan di antaranya adalah:

Kayu. Kayu merupakan bahan utama untuk membuat Rumah Aceh. Kayu digunakan
untuk membuat tameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng,
indreng, dan lain sebagainya.

Papan, digunakan untuk membuat lantai dan dinding.

Trieng (bambu). Bambu digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah
(tempat menyemat atap), dan lain sebagainya.

Enau (temor). Selain menggunakan bambu, ada kalanya untuk membuat lantai dan
dinding Rumah Aceh menggunakan enau.

Taloe meu-ikat (tali pengikat). Tali pengikat biasanya dibuat dari tali ijuk, rotan, kulit
pohon waru, dan terkadang menggunakan tali plastik.

Oen meuria (daun rumbia), digunakan untuk membuat atap.

Daun enau. Selain mengunakan oen meuria, terkadang untuk membuat atap
menggunakan daun enau.

20
Peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Bahan ini digunakan untuk membuat dinding
rumah, rak-rak, dan sanding.

4.3.2 Bagian Struktur Rumah Aceh

A. Pondasi

Pondasi (landasan tiang) dari batu sungai yang disebut gaki tameh. Gaki tameh ini
pun tidak ditanam dalam tanah, tetapi diletakkan di atas pondasi persegi yang dicor
dengan campuran semen yang tingginya 20 cm.

B. Kolom

Pada kolong bangunan terdapat tiang-tiang rumah (tameh rumoh). Bentuk tiang
itu bundar dan dibuat dari batang kayu yang kuat. Jumlah tiang tergantung kepada besar
kecilnya rumah. Rumah yang besar yang disebut rumoh limong reweueng (rumah lima
ruang) mempunyai 24 buah tiang.Tiang-tiang itu tidak ditanam dalam tanah, tetapi
didirikan di atas gaki tameh.

Tiang-tiang itu didirikan dalam empat deretan, yaitu pada deretan depan, tengah
depan, tengah belakang dan pada deretan belakang, sehingga pada masing-masing
deretan terdapat enam buah tiang. Tinggi tiang pada deretan depan dan belakang kira-kira
empat meter dan pada deretan tengah depan dan tengah belakang kirakira lima setengah
meter. Jarak antara tiang dengan tiang yang lain kira-kira dua setengah meter. Pada
bagian tengah masing-masing tiang dibuat dua buah lobang dan pada bagian ujungnya
dibuat sebuah puting (puteng tameh).

C. ATAP

Konstruksi kap rumah pada bagian depan dan belakang bertumpu pada balok
yang dipasang pada ujung tiang deretan depan dan belakang yang disebut bara.

Konstruksi kap bagian tengah yang berada di atas ruangan tengah bertumpu pada
balok yang dipasang pada puting tiang deretan tengah depan dan tengah belakang yang
disebut bara panyang yang letaknya sejajar dengan bara.

21
4.3.3 Struktur Tumpuan

Selain bertumpu pada bara panyang konstruksi kap juga bertumpu pada bara
linteueng (bara yang melintang), yaitu balok yang menghubungkan puting tiang deretan
tengah belakang. Di tengah-tengah setiap bara linteueng didirikan balok tinggi lebih
kurang satu meter yang disebut diri (deuri). Ujung atas diri ini dihubungkan antara satu
dengan yang lain oleh sebuah balok yang disebut tuleueng rueng. Tuleueng rueng inilah
yang merupakan bagian puncak dari konstruksi kap. Pada kedua ujung bara linteueng itu
dipasang pula sebuah balok dalam posisi miring yang disebut indreng yang letaknya
sejajar dengan bara panyang.

Pada masing-masing indreng dipasang pula sebuah balok yang dalam posisi agak
miring yang disebut ceureumen. Letak ceureumen itu sejajar dengan bara linteueng.
Ceureumen itu terdapat pada kedua ujung indreng. Pada bagaian tengah masing-masing
ceureumen didirikan sebuah diri lagi, sehingga diri inilah yang menjadi penunjang
tuleueng rueng pada kedua ujung hubungan rumah.

Setelah terdapatnya bara, bara linteueng, bara panyang, indreng, ceureumen, diri
dan tuleueng rueng, maka sebagian besar konstruksi sudah terpasang, yang tinggal
hanyalah kasau, tumpuan kasau, kasau pendek, kayu-kayu kecil tempat pengikat atap.
Kasau rumah yang disebut gaseue dibuat dari pohon-pohon kayu yang agak kecil sebesar
batang bambu.

Kasau itu dipasang di atas bara dan indreng, sedangkan pada bagian pangkal
kasau bertumpu pada sebuah balok yang disebut neuduek gaseue dan bagian ujungnya
bersandar pada teleueng rueng.

Pada bagian pangkal kasau akan merupakan bagian cucuran atap dan pada bagian
ujung kasau akan merupakan bubungan atap (puncak atap). Pada neuduek gaseue
dipasang beberapa potong kayu penahan yang disebut bui teungeuet. Pada bagian ujung
bui teungeuet diikat dengan tali kawat yang disebut taloe bawai.

Lalu taloe bawai ini disangkutkan pada setiap puting tiang deretan depan dan
belakang. Sebenarnya taloe bawai inilah yang merupakan penahan utama dari
keseluruhan kap rumah yang berbentuk kerucut. Untuk pemasangan atap yang terbuat

22
dari daun rumbia (daun sagu) diperlukan bilahan batang pinang sebagai tempat pengikat
atap rumah yang disebut beuleubah.

Beuleubah itu dipasang di antara kasau-kasau. Pada bagian pangkal, beuleubah itu
bertumpu pada sepotong kayu panjang yang disebut neuduek beuleubah. Pada beuleubah
itulah atap rumah diikat dengan tali rotan. Pada ujung kiri dan kanan atap dipasang
selembar papan yang agak kecil, sejenis les palang yang disebut seupi. Untuk
pemasangan kap dan atap tidak dipergunakan paku. Pengganti paku dipergunakan tali
ijuk atau tali rotan untuk pengikatnya. Penggunakan paku untuk rumah hanya terbatas
untuk pemasangan dinding dan lantai, itu pun kalau rumah itu berdinding papan dan
berlantai papan.

4.3.4 Bagian detail rumah Aceh

A. Tangga

Untuk memasuki Rumoh Aceh, pertama-tama harus melewati reunyeun


(tangga). Tangga yang terdapat pada setiap Rumoh Aceh memiliki jumlah anak tangga
ganjil yaitu antara 7 sampai 9 buah anak tangga. Makna dari jumlah anak tangga tersebut
berdasarkan kepercayaan orang Aceh bahwa setiap jumlah hitungan selalu ada hubungan
dan pengaruhnya dengan ketentuan langkah, rezeki, pertemuan dan maut.

B. Pintu

Tinggi pintu masuk Rumoh Aceh sekitar 120-150 cm. Dengan ketinggian yang
tidak melebihi dahi manusia ini membuat siapapun yang hendak masuk ke dalam Rumoh
harus merunduk. Hal ini merupakan aturan turun menurun yang berarti sebuah
penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki rumahnya.

C. Jendela

Jendela Rumoh Aceh umumnya dibuat pada dinding sebelah Barat dan Timur.
Jendela ini merupakan jendela utama yang menyambut udara bersih dan sinar mataharai
pagi ke dalam rumah. Sedangkan jendela yang dibuat pada dinding bagian Utara dan
Selatan hanya berfungsi untuk menerangi bagian dalam rumah.

23
D. Dinding

Dinding Rumoh Aceh berbahan dasar kayu enau. Hanya berfungsi sebagai
pembatas ruang luar dengan ruang dalam.

E. Lantai

Lantai Rumoh Aceh terbuat dari papan. Jarak celah antara papan sekitar 1 cm. Hal
ini berfungsi untuk mempermudah pembuangan kotoran dari dalam rumah saat sedang
menyapu.

4.4 Analisis Konstruksi

Rumah Aceh terbukti mampu bertahan dari gempa karena struktur utama yang kokoh dan
elastis. Kunci kekokohan dan keelastisan ini adalah pada hubungan antar struktur utama yang
saling mengunci, hanya dengan pasak dan bajoe, tanpa paku, serta membentuk kotak tiga
dimensional yang utuh (rigid). Keelastisan ini menyebabkan struktur bangunan tidak mudah
patah, namun hanya terombang-ambing ke kanan kiri yang kemudian kembali tegak atau pun
bangunan terangkat ke atas yang kemudian mampu jatuh kembali ke tempat semula. Jika
bangunan bergeser pun hanya beberapa centimeter saja dan dalam keadaan utuh. Sebuah pondasi
batu utuh yang hanya ditanam sedikit (lima centimeter) juga memperlentur pergerakan
keseluruhan bangunan sesuai dengan pergerakan tanah.

Demikianlah, tiga komponen struktur utama yang menjadi pusat kekokohan bangunan
meliputi pondasi (komponen kaki) sebagai pusat beban bangunan terbesar, kemudian tiang dan
balok antar tiang (komponen badan) sebagai penyalur beban dari atas dan dari samping, serta
rangka atap (komponen kepala) sebagai penyangga beban elemen paling atas bangunan dan dari
samping atas.

24
Beberapa Teknik Tradisionil yang Ditemukan Dalam Bangunan :

Penempatan tiang-tiang yang diletakkan di atas pondasi, dan masing-masing tiang tidak
dihubungkan dengan balok penghubung. Hal ini merupakan ciri khas dari bangunan tahan
gempa.

Tiang-tiang yang terdapat di bagian samping kanan dan kiri bangunan pada bagian
atasnya tidak menopang beban. Pada bagian atas dari tiang dibuat menonjol dan lebih
kecil ukurannya, kemudian balok-balok yang menghubungkan antar tiang diberi lobang
sebesar ukuran yang menonjol tersebut kemudian diletakkan di atas tiang.

Penempatan skoor pada kuda-kuda yang dihubungkan dengan balok melintang yang ada
di bawahnya tidak menggunakan baut atau paku. Pada bagian bawah dari skoor tersebut
sebagai pengikat hanya diberi dua buah pasak, sehingga kalau menerima

beban atau gerakan dari atas akan melentur tidak merusak struktur kuda-kuda atau atap
secara keseluruhan.

Pertemuan balok melintang yang menopang pada ruang-ruang utama dengan balok
memanjang, yaitu dengan memberi lobang pada balok memanjang yang fungsinya untuk
memasukkan sebagian dari balok melintang agar sebagian dari balok melintang tersebut
dapat dimasukkan, sehinga bila terjadi gerakan tidak merusak struktur bangunan.

25
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Pada Analisis Rumoh Adat Aceh ini, Penulis telah mendapat beberapa ilmu dan hasil
pengetahuan yang lebih terhadap keadaan nilai filosofis dan konsep arsitektural rumoh adat
Aceh. Masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi
rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke
timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Hirarki Ruangnya memiliki
susunan yang runtut dari public menuju privat secara vertical dan horizontal. Adapun bahan
arsitektur utama yang digunakan pada rumoh aceh ini yaitu kayu yang di gunakan pada setiap
sisi bangunan tiang, kuda-kuda, kolom dan lain-lain. Kontruksinya juga memiliki kecirikhasan
dengan struktur rumah panggung dimana Rumah Aceh terbukti mampu bertahan dari gempa
karena struktur utama yang kokoh dan elastis. Kunci kekokohan dan keelastisan ini adalah pada
hubungan antar struktur utama yang saling mengunci, hanya dengan pasak dan bajoe, tanpa
paku, serta membentuk kotak tiga dimensional yang utuh (rigid).

26
DAFTAR PUSTAKA

Alfian, T. I. 2005. Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Hadjad, A., Zaini, A., Mursalan, A., Kasim, S. M., & Razali, U. 1884. Arsitektur Tradisional
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian
Sejarah dan Budaya, Proyek Inventarisasi Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1981/1982

Hurgronje, S. 1985. Aceh Di Mata Kolonialis, Jilid I, Jakarta: Yayasan Soko Guru.

Hurgronje, S. 1985. Aceh Di Mata Kolonialis, Jilid II, Jakarta: Yayasan Soko Guru

JURNAL TEKNIK, XIII (3):188-201 tahun 2006, judul Arsitektur Bangunan Rumah Teuku
Sabi Silang di Blang Krueng, Aceh Darussalam Pasca Gempa dan Tsunami

Reid, A. 2005. Asal Mula Konflik Aceh Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir
Kerajaan Aceh Abad ke-19, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.

27

Você também pode gostar