Você está na página 1de 16

Anafilaksis

Definisi Anafilaksis

Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam
beberapa menit saja. Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs tipe I atau
reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Anafilaksis
umumnya merupakan akibat dari lepasnya mediator-mediator vasoaktif seperti histamin, yang
mengakibatkan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan kontraksi otot polos.
Reaksi dapat dipicu berbagai alergen seperti makanan, obat atau sengatan serangga dan juga
lateks, latihan jasmani dan bahan diagnostik lainnya. Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis,
pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.16,18,32

Manifestasi anafilaksis yaitu kesulitan bernafas, edema laring, dan atau


bronkospasme, sering diikuti dengan turunnya tekanan darah atau syok. Manifestasi pada
kulit adanya rasa gatal dan urtikaria dengan atau tanpa pembengkakan merupakan reaksi
anafilaktik sistemik. Manifestasi pada pencernaan termasuk mual, muntah, kram perut dan
diare.

Etiologi dan Faktor Predisposisi

Tidak ada bukti yang cukup kuat yang menyatakan usia, jenis kelamin, pekerjaan atau
lingkungan tempat tinggal merupakan faktor predisposisi reaksi anafilaksis kecuali melalui
paparan immunogen. Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik,
ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal,
makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya,
basitrasin, neomisin, terasiklin, streptomisin, sulfonamid, dan lain-lain. Ekstrak alergen
biasanya berupa rumput-rumputan atau jamur, atau serum ATS, ADS dan anti bisa ular.
Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat menimbulkan
anafilaksis misalnya adalah zat radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloil-polilisin. Demikian
pula dengan anestetikum lokal seperti prokain atau lidokain.19-20,30,32
Gambaran Klinis

Secara klinis anafilaksis berlangsung cepat dan ditandai dengan gejala yang tiba-tiba
yaitu gatal-gatal, memerah pada wajah, sianosis, urtikaria diikuti dengan turunnya tekanan
darah dengan cepat lalu dapat juga terdapat edema dengan peningkatan permeabilitas
vaskular, berkembang menjadi obstruksi trakea yang menyebabkan gangguan pernapasan
dilanjutkan dengan hilangnya kesadaran hingga kematian.

Patogenesis dan Patofisiologi

Hipersensitifitas Tipe 1: Reaksi IgE atau Anafilaktik

Reaksi hipersensitifitas tipe 1 timbul segera setelah adanya pajanan dengan alergen. Reaksi
ini dapat terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi kombinassi antigen dengan antibodi
3
yang terikat pada sel mast pada individu yang telah tersensitisasi terhadap antigen. Reaksi
ini seringkali disebut sebagai alergi dan antigen yang berperan disebut sebagai alergen.
Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun berupa produksi IgE
dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtiakria, asma dan dermatitis atopi. Reaksi tipe ini
merupakan hipersensitifitas yang paling sering terjadi. 4,5

Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan. Juga,
merupakan kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari peningkatan
kepekaan, bukan penurunan ketahanan terhadap toksin.

Sementara itu, ada istilah atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada reaksi
hipersensitifitas tipe I yang berkembang secara lokal terhadap bermacam alergen yang
terhirup atau tertelan. 3

Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang lebih banyak
dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat dikode sebagai 5q31 yang
mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-CSF. Juga gen 6p yang dekat
dengan kompleks HLA.

Hipersensitifitas tipe I memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera yang ditandai
dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, tergantung pada lokasi, spasme otot polos atau
sekresi glandular. Perubahan tersebut terjadi dalam 5 sampai 30 menit sesudah eksposure dan
menghilang dalam 60 menit. Selanjutnya, seperti pada rinitis alergi dan asma bronkial, dapat
terjadi juga reaksi fase lambat yang terjadi dalam 2-24 jam kemudian, tanpa ada tambahan
eksposure antigen dan dapat bertahan dalam beberapa hari. Fase ini ditandai dengan infiltrasi
jaringan oleh eosinofil, netrofil, basofil, monosit, dan sel T CD 4++ serta kerusakan jaringan
yang seringkali bermanifestasi sebagai kerusakan epitel mukosa.

Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa fase sensitisasi, fase aktivasi dan
fase efektor. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE
sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan. Fase aktivasi merupakan
waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen spesifik dan sel mast/basofil
melepas isinya yang berisikan granul yang nantinya akan menimbulkan reaksi alergi. Hal
tersebut terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE. Fase efektor yaitu waktu terjadi
respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas oleh sel
mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.

1. Fase Sensitisasi

Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen yang hanya dapat
ditanggapi pada permukaan selaput mukosa saluran nafas, selaput kelopak mata dan bola
mata, yang merupakan fase sensitisasi. Namun, hanya 10% yang menunjuka gejala klinis
setelah terpapat alergen dari udara. Respom-respon yang berbeda tersebut dikendalikan oleh
gen MHC/HLA,terpengaruh dari limfosit T dan IL-4 yang dihasilkan oleh limfosit CD4+.
Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang senantiasa rendah karena dipertahankan
fungsi sel T supresor (Ts).

Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak berulang, penelanan, atau
suntikan sementara IgE sudah dihasilkan, individu tersebut dapat dianggap telah mengalami
sensitisasi. IgE dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh mastosit ketika
beredar dalam darah. Ikatan berlangsung pada reseptor di mastosit dan sel basofil dengan
bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut dipertahankan dalam beberapa minggu yang dapat terpicu
aktif apabila Fab IgE terikat alergen spesifik.

2. Fase Aktivasi
Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen menunjukan derajat sensitifitasnya
terhadap alergen tertentu. Respon anafilaktik kulit dapat menjadi bukti kuat bagi pasien
bahwa gejala yang dialami sebelumnya disebabkan alergen yang diujikan.

Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang terdapat pada jaringan ikat di
sekitar pembuluh darah, dinding mukosa usus dan saluran pernafasan. Selain mastosit, sel
basofil juga berperan.

Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil mempersiapkan sel
tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan alergen spesifiknya. Untuk aktivasi,
setidaknya dibutuhkan hubungan silang antara 2 molekul reseptor yang mekanisme bisa
berupa:

1. hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab molekul IgE

2. hubungan silang dengan antibodi anti IgE

3. hubungan silang dengan antibodi-antireseptor

Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE atau reseptornya.
Anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi komplemen dan berbagai obat seperti
kodein, morfin dan bahan kontras juga bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid. Faktor fisik
seperi suhu panas, dingin dan tekanan dapat mengaktifkan mastosit seperti pada kasus
urtikaria yang terinduksi suhu dingin.

Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor diawali dengan
perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti masuknya
ion Ca++ dalam sel. Kandungan cAMP dan cGMP berperan dalam regulasi tersebut.
Peningkatan cAMP dalam sitoplasma mastosit akan menghambat degranulasi sedangkan
cGMP dapat meningkatkan degranulasi. Dengan begitu, aktivasi adenylate cyclase yang
mengubah ATP menjadi cAMP merupakan mekanisme penting dalam peristiwa anafilaksis.

3. Fase Efektor
Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik aktif yang
dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang teraktivasi. Terdapat sejumlah mediator yang
dilepaskan oleh mastosit dan basofil dalam fase efektor.

Sel Mast dan Mediator pada Reaksi Tipe I1

Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain histamin yang
disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat memproduksi mediator baru atau
sekunder atau newly generated seperti LT dan PG. Secara umum, mediator yang dihasilkan
oleh sel mast dan mekanisme aksinya adalah sebagai berikut:

Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular: Histamin, PAF, Leukotrien C4 D4


E4, protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin, prostaglandin D2.

Spasme otot polos: Leukotrienes C4 D4 E4, Histamin, prostaglandin, PAF

Infintrasi seluler: sitokin (kemokin, TNF), leukotrien B4, faktor kemotaktik eosinofil
dan netrofil.

a. Mediator Jenis Pertama (Histamin dan Faktor Kemotaktik)


Reaksi tipe I dapat mencapai puncak dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi, terjadi
perubahan dalam membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca ++
yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini, energi dilepas akibat glikolisis dan
beberapa enzim diaktifkan dan menggerakan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP
dan cGMP dalam sel berpengaruh pada degranulasi. Peningkatan cAMPakan mencegah
degranulasi sementara peningkatan cGMP akan memacu degranulasi. Pelepasan granul ini
merupakan proses fisiologis dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi juga
dapat terjadi akibat pengaruh dari anafilatoksis, c3a dan c5a.

Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul.
Histamin akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi berbeda dalam
jaringan dan bila berikatan dengan histamin, menunjukan berbagai efek.

Manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya histamin di antaranya adalah bintul dan
kemerahan kulit di samping pengaru lain seperti perangsangan saraf sensoris yang dirasakan
gatal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil yang menyebabkan edema. Pada
saluran pernafasan, dapat terjadi sesak yang disebabkan oleh kontaksi otot-otot polos dan
kelenjar saluran pernafasan.

Pengaruh histamin pada sel-sel sasaran utamanya melalui reseptor H1. Namun, pada
membran mastosit terdapat pula reseptor H2 yang dapat berfungsi sebagai umpan balik
negatif. Hal tersebut karena pengikatan histamin pada reseptor tersebut justru menghambat
pelepasan histamin oleh sel mastosit tersebut.

Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara cepat saat mastosit teraktivasi. Ada
dua macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor id anaphylaxis) untuk menarik eosinofil
dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anaphylaxis) untuk menarik netrofil. Dalam2-8
jam, terjadi kumpulan granulosit berupa netrofil, eosinofil dan basofil, sedang dalam 24 jam
yang lebih dominan adalah sel limfosit.

Meski dilepaskan secara cepat, inflitrasi ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat sehingga
perannya akan lebih penting dalam reaksi tahap lambat.

b. Mediator Jenis Kedua


Mediator kategori ini terikat erat dengan proteoglikan yang terlepas apabila ada kenaikan
kadar NaCl. Mediator ini mencakup heparin, kemotripsin, tripsin dan IF-A (inflammatory
factor of anaphylaxis). IFA-A memiliki potensi kemotaktik yang lebih besar dari ECF-A dan
NCF-A dan berperan dalam reaksi tahap lambat. Pelepasan yang perlahan membuat mediator
ini memiliki pengaruh lebih lama di jaringan.

Dalam reaksi tahap lambat, selain mediator yang dilepaskan oleh mastosit terdapat juga
keterlibatan sistem komplemen dan sistem koagulasi. Secara umum, mediator yang
dilepaskan akan berperan daam vaodilatasi dan peningkatan permeabilitas lokal dan
mendorong berkumpulnya netrofil dan eosinofil

b. Mediator Jenis Ketiga

Selain dari degranulasi mastosit, terdapat juga pelepasan asam arakhidonat yang bersumber
dari fosfolipid membran sel. Asam arakhidonat ini menjadi substrat enzim siklooksigenase
dan lipooksigenase. Aktivasi siklooksigenase akan menghasilkan prostaglandin dan
tromboxan yang menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah.1,2
Sedangkan aktivasi lipooksigenase akan menghasilkan leukotrien. Leuktrien C,D, dan E
seringkali disebut sebagai SRS-A (slow reactive substance of anaphylaxis) karena
pengaruhnya lebih lambat dari histamin.

LT berperan dalam bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas vaskular dan produksi


mukus. Leuktrien B4 mempunyai efek kemotaktik untuk sel netrofil dan eosinofil dan
mempercepat ekspresi reseptor untuk C3b pada permukaan sel tersebut.

Di antara sel-sel yang direkrut pada saat fase lambat, eosinofil merupakan yang paling
penting. Eosinofil ditarik oleh eotaxin dan kemokin lainnya yang dihasilkan oleh sel epitelial,
sel Th2 dan sel mast. Eosinofil membebaskan enzim proteolitik berupa major basic protein
dan eosinofil catationic protein yang bersifat toksik terhadap sel epitel. Aktivasi eosinofil dan
leukosit lain juga menghasilkan leukotrien C4 dan PAF yang secara langsung mengaktifkan
sel mast untuk melepaskan mediator. Oleh karena itu, perekrutan sel tersebut akan
mengamplifikasi dan menjaga respon inflamasi tanpa tambahan eksposure antigen pemicu.

Sumber:
Pratiwi, MN. 2015. Alergi. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/48251/4/Chapter
%20II.pdf. Diakses tanggal 19 Desember 2016.

Analisis Masalah

1. Bagaimana hubungan jenis kelamin, umur, dan pekerjaan terhadap keluhan pada kasus? 2,6
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian
anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik
golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden
anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta
penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis
dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan
prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden
lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan
pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.

2. Bagaimana interaksi obat kotrimoksazol dan parasetamol? 9,2


Tidak ada
3. Mengapa sesak nafas, ujung-ujung tangan dan kaki yang dingin timbul enam jam yang lalu,
sedangkan bengkak pada mata, bibir, lalu timbul bentol disertai gatal pada kedua lengan, tungkai
hingga seluruh badan dan mual muncul sejak dua belas jam yang lalu? 2,6
Bengkak pada mata, bibir, lalu timbul bentol disertai gatal pada kedua lengan, tungkai hingga
seluruh badan dan mual merupakan gejala ringan yang muncul diawal sedangkan sesak nafas dan
akral dingin merupakan gejala berat. Dimana sesak nafas disebabkan oleh brokspasme , sehingga
kekurangan oksigen yang dibuktikan akral dingin.
4. Frekuensi nafas 9,2
Normal: 32 kali/menit
Interpretasi: Meningkat
Mekanisme: Bronko spasme hipoksia kompensasinya dengan peningkatan frekuensi nafas.
5. Thoraks 2,6
Mekanisme wheezing:
Mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien, bradikinin, serotonin,prostaglandin kontraksi
otot polos, terutama otot-otot saluran pernafasan bronkospasme wheezing
6. Kreatinin 9,2
Normal: perempuan 0,5-0,9 ng/mL, laki-laki 0,6 1,2 ng/mL
Interpretasi: Menurun
Mekanisme: Hipoksia metabolisme otot menurun kreatinin menurun.
Kreatinin merupakan produk sisa dari perombakan kreatin fosfat yang terjadi di otot.

7. Bagaimana cara mendiagnosis pada kasus? 2,6


Diagnosis Klinis

Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and
Immunology telah membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam) dengan
terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh
tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia)
dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya
hipotonia, sinkop, inkontinensia).

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar alergen
yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan
mukosa kulit; respiratory compromise; penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan; dan
gejala gastrointestinal yang persisten.

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang diketahui
beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah
sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada
orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari
30% dari tekanan darah awal.

Pemeriksaan Fisik

Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena edema laring dan bronkospasme.
Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Adanya takikardia, edema
periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit berupa urtikaria dan
eritema.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis, memantau
keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengobatan serta
mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian
halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang
tinggi.

Pemeriksaan secara in vivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji cukit
(prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin
end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh
sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal.

8. Bagaimana patofisiologi dan patogenesis pada kasus? 9,2

Hipersensitifitas Tipe 1: Reaksi IgE atau Anafilaktik

Reaksi hipersensitifitas tipe 1 timbul segera setelah adanya pajanan dengan alergen. Reaksi ini dapat
terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi kombinassi antigen dengan antibodi yang terikat pada sel
3
mast pada individu yang telah tersensitisasi terhadap antigen. Reaksi ini seringkali disebut sebagai
alergi dan antigen yang berperan disebut sebagai alergen. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan
menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtiakria,
4,5
asma dan dermatitis atopi. Reaksi tipe ini merupakan hipersensitifitas yang paling sering terjadi.

Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan. Juga, merupakan
kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari peningkatan kepekaan, bukan penurunan
ketahanan terhadap toksin.

Sementara itu, ada istilah atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada reaksi hipersensitifitas tipe
3
I yang berkembang secara lokal terhadap bermacam alergen yang terhirup atau tertelan.

Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang lebih banyak
dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat dikode sebagai 5q31 yang mengkode
sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GM-CSF. Juga gen 6p yang dekat dengan kompleks
HLA.

Hipersensitifitas tipe I memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera yang ditandai dengan
vasodilatasi, kebocoran vaskular, tergantung pada lokasi, spasme otot polos atau sekresi glandular.
Perubahan tersebut terjadi dalam 5 sampai 30 menit sesudah eksposure dan menghilang dalam 60
menit. Selanjutnya, seperti pada rinitis alergi dan asma bronkial, dapat terjadi juga reaksi fase lambat
yang terjadi dalam 2-24 jam kemudian, tanpa ada tambahan eksposure antigen dan dapat bertahan
dalam beberapa hari. Fase ini ditandai dengan infiltrasi jaringan oleh eosinofil, netrofil, basofil,
monosit, dan sel T CD 4++ serta kerusakan jaringan yang seringkali bermanifestasi sebagai kerusakan
epitel mukosa.

Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa fase sensitisasi, fase aktivasi dan fase
efektor. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan. Fase aktivasi merupakan waktu yang
diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang
berisikan granul yang nantinya akan menimbulkan reaksi alergi. Hal tersebut terjadi oleh ikatan silang
antara antigen dan IgE. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.

1. Fase Sensitisasi

Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen yang hanya dapat ditanggapi pada
permukaan selaput mukosa saluran nafas, selaput kelopak mata dan bola mata, yang merupakan fase
sensitisasi. Namun, hanya 10% yang menunjuka gejala klinis setelah terpapat alergen dari udara.
Respom-respon yang berbeda tersebut dikendalikan oleh gen MHC/HLA,terpengaruh dari limfosit T
dan IL-4 yang dihasilkan oleh limfosit CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang
senantiasa rendah karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts).

Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak berulang, penelanan, atau suntikan
sementara IgE sudah dihasilkan, individu tersebut dapat dianggap telah mengalami sensitisasi. IgE
dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh mastosit ketika beredar dalam darah. Ikatan
berlangsung pada reseptor di mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut
dipertahankan dalam beberapa minggu yang dapat terpicu aktif apabila Fab IgE terikat alergen
spesifik.

2. Fase Aktivasi

Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembaran alergen menunjukan derajat sensitifitasnya terhadap
alergen tertentu. Respon anafilaktik kulit dapat menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala yang
dialami sebelumnya disebabkan alergen yang diujikan.
Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang terdapat pada jaringan ikat di sekitar
pembuluh darah, dinding mukosa usus dan saluran pernafasan. Selain mastosit, sel basofil juga
berperan.

Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil mempersiapkan sel tersebut
untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan alergen spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya
dibutuhkan hubungan silang antara 2 molekul reseptor yang mekanisme bisa berupa:

1. hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab molekul IgE

2. hubungan silang dengan antibodi anti IgE

3. hubungan silang dengan antibodi-antireseptor

Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE atau reseptornya.
Anafilatoksin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi komplemen dan berbagai obat seperti kodein,
morfin dan bahan kontras juga bisa menyebabkan reaksi anafilaktoid. Faktor fisik seperi suhu panas,
dingin dan tekanan dapat mengaktifkan mastosit seperti pada kasus urtikaria yang terinduksi suhu
dingin.

Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor diawali dengan perubahan
fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti masuknya ion Ca ++ dalam sel.
Kandungan cAMP dan cGMP berperan dalam regulasi tersebut. Peningkatan cAMP dalam sitoplasma
mastosit akan menghambat degranulasi sedangkan cGMP dapat meningkatkan degranulasi. Dengan
begitu, aktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP menjadi cAMP merupakan mekanisme penting
dalam peristiwa anafilaksis.

3. Fase Efektor

Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik aktif yang dilepaskan oleh
mastosit atau basofil yang teraktivasi. Terdapat sejumlah mediator yang dilepaskan oleh mastosit dan
basofil dalam fase efektor.
Sel Mast dan Mediator pada Reaksi Tipe I1

Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain histamin yang disimpan
dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly
generated seperti LT dan PG. Secara umum, mediator yang dihasilkan oleh sel mast dan mekanisme
aksinya adalah sebagai berikut:

Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular: Histamin, PAF, Leukotrien C 4 D4 E4,


protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin, prostaglandin D 2.

Spasme otot polos: Leukotrienes C4 D4 E4, Histamin, prostaglandin, PAF

Infintrasi seluler: sitokin (kemokin, TNF), leukotrien B 4, faktor kemotaktik eosinofil dan
netrofil.

a. Mediator Jenis Pertama (Histamin dan Faktor Kemotaktik)

Reaksi tipe I dapat mencapai puncak dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi, terjadi perubahan dalam
membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca ++ yang menimbulkan aktivasi
fosfolipase. Dalam fase ini, energi dilepas akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan
menggerakan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh pada
degranulasi. Peningkatan cAMPakan mencegah degranulasi sementara peningkatan cGMP akan
memacu degranulasi. Pelepasan granul ini merupakan proses fisiologis dan tidak menimbulkan lisis
atau matinya sel. Degranulasi juga dapat terjadi akibat pengaruh dari anafilatoksis, c3a dan c5a.
Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul. Histamin
akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi berbeda dalam jaringan dan bila
berikatan dengan histamin, menunjukan berbagai efek.

Manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya histamin di antaranya adalah bintul dan kemerahan
kulit di samping pengaru lain seperti perangsangan saraf sensoris yang dirasakan gatal dan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil yang menyebabkan edema. Pada saluran pernafasan,
dapat terjadi sesak yang disebabkan oleh kontaksi otot-otot polos dan kelenjar saluran pernafasan.

Pengaruh histamin pada sel-sel sasaran utamanya melalui reseptor H1. Namun, pada membran
mastosit terdapat pula reseptor H2 yang dapat berfungsi sebagai umpan balik negatif. Hal tersebut
karena pengikatan histamin pada reseptor tersebut justru menghambat pelepasan histamin oleh sel
mastosit tersebut.

Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara cepat saat mastosit teraktivasi. Ada dua
macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor id anaphylaxis) untuk menarik eosinofil dan NCF-A
(neutrophil chemotactic factor of anaphylaxis) untuk menarik netrofil. Dalam 2-8 jam, terjadi
kumpulan granulosit berupa netrofil, eosinofil dan basofil, sedang dalam 24 jam yang lebih dominan
adalah sel limfosit.

Meski dilepaskan secara cepat, inflitrasi ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat sehingga perannya
akan lebih penting dalam reaksi tahap lambat.

b. Mediator Jenis Kedua

Mediator kategori ini terikat erat dengan proteoglikan yang terlepas apabila ada kenaikan kadar NaCl.
Mediator ini mencakup heparin, kemotripsin, tripsin dan IF-A (inflammatory factor of anaphylaxis).
IFA-A memiliki potensi kemotaktik yang lebih besar dari ECF-A dan NCF-A dan berperan dalam
reaksi tahap lambat. Pelepasan yang perlahan membuat mediator ini memiliki pengaruh lebih lama di
jaringan.

Dalam reaksi tahap lambat, selain mediator yang dilepaskan oleh mastosit terdapat juga keterlibatan
sistem komplemen dan sistem koagulasi. Secara umum, mediator yang dilepaskan akan berperan
daam vaodilatasi dan peningkatan permeabilitas lokal dan mendorong berkumpulnya netrofil dan
eosinofil

b. Mediator Jenis Ketiga


Selain dari degranulasi mastosit, terdapat juga pelepasan asam arakhidonat yang bersumber dari
fosfolipid membran sel. Asam arakhidonat ini menjadi substrat enzim siklooksigenase dan
lipooksigenase. Aktivasi siklooksigenase akan menghasilkan prostaglandin dan tromboxan yang
menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah. 1,2 Sedangkan aktivasi
lipooksigenase akan menghasilkan leukotrien. Leuktrien C,D, dan E seringkali disebut sebagai SRS-A
(slow reactive substance of anaphylaxis) karena pengaruhnya lebih lambat dari histamin.

LT berperan dalam bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas vaskular dan produksi mukus.


Leuktrien B4 mempunyai efek kemotaktik untuk sel netrofil dan eosinofil dan mempercepat ekspresi
reseptor untuk C3b pada permukaan sel tersebut.

Di antara sel-sel yang direkrut pada saat fase lambat, eosinofil merupakan yang paling penting.
Eosinofil ditarik oleh eotaxin dan kemokin lainnya yang dihasilkan oleh sel epitelial, sel Th2 dan sel
mast. Eosinofil membebaskan enzim proteolitik berupa major basic protein dan eosinofil catationic
protein yang bersifat toksik terhadap sel epitel. Aktivasi eosinofil dan leukosit lain juga menghasilkan
leukotrien C4 dan PAF yang secara langsung mengaktifkan sel mast untuk melepaskan mediator. Oleh
karena itu, perekrutan sel tersebut akan mengamplifikasi dan menjaga respon inflamasi tanpa
tambahan eksposure antigen pemicu

9. Bagaimana komplikasi?
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten
c. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
Kemungkinan rekurensi di masa mendatang dan kematian.

Você também pode gostar

  • Jenis Dan Jadwal Imunisasi
    Jenis Dan Jadwal Imunisasi
    Documento15 páginas
    Jenis Dan Jadwal Imunisasi
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Contusio Cerebri
    Contusio Cerebri
    Documento21 páginas
    Contusio Cerebri
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Tinjauan Pustaka
    Tinjauan Pustaka
    Documento4 páginas
    Tinjauan Pustaka
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Jurnal Anak
    Jurnal Anak
    Documento22 páginas
    Jurnal Anak
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Jurnal Anak
    Jurnal Anak
    Documento22 páginas
    Jurnal Anak
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Referat
    Referat
    Documento22 páginas
    Referat
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Tugas Akhir TB
    Tugas Akhir TB
    Documento73 páginas
    Tugas Akhir TB
    Nur Ilmi Sofiah
    Ainda não há avaliações
  • Referat
    Referat
    Documento22 páginas
    Referat
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Referat RSK DR Denny
    Referat RSK DR Denny
    Documento4 páginas
    Referat RSK DR Denny
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Contoh Kasus: Biodata Ny. N
    Contoh Kasus: Biodata Ny. N
    Documento8 páginas
    Contoh Kasus: Biodata Ny. N
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Terjemahan Jurnal - Izzy Vikrat 04054821820054
    Terjemahan Jurnal - Izzy Vikrat 04054821820054
    Documento16 páginas
    Terjemahan Jurnal - Izzy Vikrat 04054821820054
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Referat Radiologi Aneursyma Aorta
    Referat Radiologi Aneursyma Aorta
    Documento13 páginas
    Referat Radiologi Aneursyma Aorta
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Referat Jurnal
    Referat Jurnal
    Documento11 páginas
    Referat Jurnal
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Case Frozen Shoulders
    Case Frozen Shoulders
    Documento8 páginas
    Case Frozen Shoulders
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Perdarahan Pascapersalinan
    Perdarahan Pascapersalinan
    Documento42 páginas
    Perdarahan Pascapersalinan
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • ASMA
    ASMA
    Documento30 páginas
    ASMA
    Frilia ChanChan
    Ainda não há avaliações
  • Jurnal
    Jurnal
    Documento23 páginas
    Jurnal
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Terjemahan Jurnal - Izzy Vikrat 04054821820054
    Terjemahan Jurnal - Izzy Vikrat 04054821820054
    Documento16 páginas
    Terjemahan Jurnal - Izzy Vikrat 04054821820054
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Anafilaksis
    Anafilaksis
    Documento16 páginas
    Anafilaksis
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Referat
    Referat
    Documento25 páginas
    Referat
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • LI Faringitis
    LI Faringitis
    Documento7 páginas
    LI Faringitis
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Strategi BelaJar
    Strategi BelaJar
    Documento5 páginas
    Strategi BelaJar
    ilayyinan
    Ainda não há avaliações
  • Chapter II
    Chapter II
    Documento17 páginas
    Chapter II
    Didik Darmaji
    Ainda não há avaliações
  • Kejang Demam
    Kejang Demam
    Documento18 páginas
    Kejang Demam
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Asma Malam
    Asma Malam
    Documento11 páginas
    Asma Malam
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Kejang Demam
    Kejang Demam
    Documento18 páginas
    Kejang Demam
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Clostridium Tetani
    Clostridium Tetani
    Documento2 páginas
    Clostridium Tetani
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Moti Vasi
    Moti Vasi
    Documento1 página
    Moti Vasi
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Li Infark Miokardium
    Li Infark Miokardium
    Documento3 páginas
    Li Infark Miokardium
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações
  • Psoriasis
    Psoriasis
    Documento3 páginas
    Psoriasis
    Izzy Vikrat
    Ainda não há avaliações