Você está na página 1de 4

MAKNA UPACRA MAPANDES (POTONG GIGI)

Upacra mapandes disebut pula matatah, masangih yang dimaksud adalah memotong atau
meratakan empat gigi seri dan dua taring kiri dan kanan, pada rahang atas, yang secara simbolik
dipahat 3 kali, diasah dan diratakan. Rupanya dari kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang
telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata masangih
tersebut.

Bila kita mengkaji lebih jauh, upacra Mapandes dengan berbagai istilah atau nama seperti
tersebut di atas, merupakan upacra arra Saskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang,
guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para
dewata dan leluhur. Di Bali upacra ini dikelompokkan dalam upacra Manusa Yaja.

1. Adapaun makna yang dikandung dalam upaca mapandes ini adalah:


Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah
mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devas ya yang
artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah
memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci
Bhagavadgt.

2. Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, karena telah memperoleh kesempatan untuk
beryaja, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut
mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat
manusia.

3. Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri
dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan
meninggal dunia, tma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam
Pit r a (Pit r aloka).

Berdasarkan pengertian dan makna upacra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami
bahwa upacra ini merupakan upacra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat
Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan sifat-sifat
angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan
atau Asuri-Sampad lainnya. Dalam lontar Pujakalapati dinyatakan, seseorang yang tidak
melakukan upacra Mapandes, tidak akan dapat bertemu dengan roh leluhurnya yang telah suci,
demikian pula dalam tmaprasangsa dinyatakan roh mereka yang tidak melaksanakan upacra
potong gigi mendapat hukuman dari dewa Yma (Ymdhipati) berupa tugas untuk menggit
pangkal bambu petung yang keras di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita hubungkan
dengan kitab Klatattwa, Bhatra Kla tidak dapat menghadap dewa bila belum keempat gigi seri
dan 2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur. Demikian pula dalam kitab Smaradahana,
putra Sang Hyang iva, yakni Bhatra Gan a, Gan ea atau Gan apati belum mampu mengalahkan
musuhnya raksasa Nilarudraka, sebelum salah satu taringnya patah.

Upacra ini merupakan sebagai wujud bhakti seorang tua (ibu-bapa) kepada leluhurnya yang
telah menjelma sebagai anaknya, untuk ditumbuh-kembangkan keperibadiannya, diharapkan
menjadi putra yang suputra sesuai dengan kitab Nitistra

Adapun tujuan dari upacra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati
yang mengandung makna penyucian seorang anak saat akil balig menuju ke alam dewasa,
sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan keterangan
dalam lontar Pujakalapati dan juga tmaprasangsa, maka upacra Mapandes mengandung
tujuan, sebagai berikut:

1. Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat
kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai
sifat Bhta, Kla, Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengarhui pribadi manusia, di
samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi hormon pendorong
lebido seksualitas.

2. Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang
Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan
raddh dan Bhakti kepada-Nya.

3. Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu
meningkatkan kesucian pribadi.

4. Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan
kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini
merupakan Yaja dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi
pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-
benar menjadi seorang putra yang suputra.

Kini timbul pertanyaan, kapankah saat yang tepat untuk melaksanakan upacra Mapandes? Bila
kita memperhatikan berbagai sumber yang tertulis di dalam lontar, seperti lonatr Dharma
Kahuripan dan lain-lain, sebenarnya upacra ini dilakukan saat mulai pubertasnya seorang anak,
dan bagi seorang gadis, saat setelah pertama kali mengalami menstruasi. Upacra ini dapat
digabungkan dengan Rajasewala atau Rajasingha bagi seorang gadis atau seorang perjaka.

Dalam kenyataan di kalangan umat Hindu, upacra Mapandes ini dilakukan bersamaan atau
dirangkai dengan upacra Pit r a Yajna terutama Mamukur atau dirangkai sebelum upacra
Pawiwahan (perkawinan), dilakukan secara masal bergabung dengan keluarga besar untuk
mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan.

Berdasarkan rangkaian upacra Mapandes yang dilaksanakan, maka makna yang dikandung dari
rangkaian upacra tersebut adalah sebagai berikut:

1. Magumi Padangan. Upacra ini disebut juga Masakapan Kapawon dan dilaksanakan di
dapur, mengandung makna bahwa tugas pertama seseorang yang sudah dewasa dan siap
berumah tangga adalah mengurus masalah dapur (logistik). Seseorang diminta
bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup keluarga di kemudian hari, melalui
permohonan waranugraha dari Sang Hyang Agni (Brahma) yang disimboliskan bersthana
di dapur.

2. Ngekeb. Upacra ini dilakukan di meten atau di gedong, mengandung makna


pelaksanaan Brata, yakni janji untuk mengendalikan diri dari berbagai dorongan dan
godaan nafsu, terutama dorongan negatif yang disimboliskan dengan Sadripu, yakni
enam musuh pada diri pribadi manusia berupa loba, emosi, nafsu seks dan sebagainya.

3. Mabhyakla. Upacra ini dilakukan di halaman rumah, di depan meten atau gedong,
mengandung makna membersihkan diri pribadi dari unsur-unsur Bhtakla, yakni sifat
jahat yang muncul dari dalam maupun karena pengaruh dari luar (lingkungan pergaulan).
Upacra ini juga disebut Mabhyakawon yang artinya melenyap kotoran batin dan di India
disebut Prayascitta, menyucikan diri pribadi.

4. Persaksian dan persembahyangan ke Pamarajan. Upacra ini mengandung makna untuk:

aUpacra di tempat (bale) Mapandes. Setelah selesai upacra di pamarajan, maka remaja yang
mengikuti upacra Mapandes kembali ke gedong untuk selanjutnya menuju tempat upacra
Mapandes dilaksanakan, adapun rangkaian dan makna upacra yang dikandung adalah sebagai
berikut:

1. Menikmati Sirih-lekesan, simbolis kehidupan baru telah dimulai dengan bermacam


kenikmatan hidup dan tantangan, dan Sang Hyang iva beserta Paca Dewata senantiasa
akan melindunginya.

2. Kembali ke tempat Ngekeb, mengandung makna kembali melakukan tapa brata,


menyucian diri, lahir dan batin.

3. Mejaya-jaya, yakni mengikuti upacra yang dipimpin oleh Pandita (Sulinggih) berupa
pemercikkan Trtha, yang mengandung makna yang bersangkutan telah dan senantiasa
akan memperoleh kemenangan dalam menghadapi godaan dan dorongan untuk berbuat
jahat.
4. Mapinton. Upacra ini mengandung makna mempermaklumkan kehadapan Sang Hyang
Widhi, para dewata dan leluhur, bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan upacra
Mapandes dan senantiasa memohon bimbingan dan perlindungan-Nya.

Demikianlah sepintas makna yang terkandung dari rangkaian upacra Mapandes, yang tidak lain
guna membimbing umat manusia lebih meningkatkan raddh dan Bhaktinya kepada Sang
Hyang Widhi, para dewata dan leluhur.

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA DAN KELUARGA

Upacra Mapandes adalah merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) untuk


menyelenggarakannya, dan bila kita kaji secara seksama, seorang anak sesungguhnya adalah
pula leluhur kita yang menjelma untuk meningkatkan kualitas kehidupannya (lahir dan batin)
yang pada akhirnya dapat mengantarkannya guna mewujudkan Jagadhita (kesejahtraan dan
kebahagian hidup di dunia ini) dan Moks a (bersatunya tman dengan Paramtman).

Dalam melakukan Yaja ini, landasan yang paling mendasar bagi Sang Yajamana (yang
melaksanakan atau yang memiliki upacra itu), Sang Amancagra (tukang bebanten dan
sangging), dan Sang Pandita (yang memimpin dan menyelesaikan upacra) adalah ketulusan
hati. Ketulusan ini patut pula diikuti oleh para Athiti tamu undangan) guna Yaja tersebut
berhasil iddhakarya.

Untuk mengembangkan ketulusan hati, utamanya Sang Yajamana bersama keluarga hendaknya
dapat melakukan berbagai Brata, seperti Upavaa (mengendalikan diri untuk tidak menikmati
makanan) pada saat puncak upacra berlangsung, dan senantiasa memusatkan pikiran kehadapan
Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur untuk keberhasilan dari Yaja yang
diselenggarakan.
PENUTUP

Demikianlah tulisan singkat ini kami sampaikan dalam rangka mewujudkan partisipasi kami,
semoga Yaja yang sangat mulia ini mencapai iddhaning Don, iddhakarya sebagai yang kita
harapkan.

O nti nti nti O

Você também pode gostar